Berikut penjelasan konsep takwa sosial sebagai tujuan utama puasa.
Syahdan, Umat Islam di pelbagai dunia, kini tengah menjalani ibadah puasa. Puasa adalah kewajiban yang diperintahkan Allah bagi setiap muslim. Dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan tujuan seseorang berpuasa adalah agar menjadi orang yang bertakwa.
Hal itu sejalan dengan firman Allah dalam Q.S al-Baqarah ayat 183. Allah berfirman;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya; Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Tak dapat dipungkiri, jamak orang memahami adalah sebagai “Menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan Allah”. Konsep takwa ini terkesan vertikal. Takwa dalam tatanan ini terkesan satu arah. Takwa yang diajukan terkesan “melangit”. Allah sebagai titik utama utama.
Padahal bila kita tilik al-Qur’an, akan diperoleh makna takwa lebih jauh. Takwa tak sekadar konsep antara manusia dengan Tuhan. Lebih dari itu, takwa memiliki dimensi horizontal. Penulis menyebutnya konsep takwa sosial. Takwa dalam pengertian ini adalah konsep takwa yang lebih membumi. Pendek kata; terjadi pergeseran takwa yang awalnya theosentris menuju antroposentris.
Adapun konsep takwa sosial itu dapat kita temukan dalam Q.S Ali Imran ayat 133-134. Dalam ayat ini terdapat empat konsep tentang Takwa. Menariknya, konsep takwa ini bersifat sosial. Takwa yang lebih membumi. Allah berfirman;
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan mema’afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.
Konsep takwa sosial pertama adalah bersedekah dalam keadaan lapang atau sempit. Penting digaris bawahi, sejak kemunculan Islam pertama kali, dimensi sosialnya sangatlah dominan. Pun tujuan dari Islam sejatinya sebagai rahmat dan kasih terhadap makhluk di bumi ini. Lebih dari itu, Islam ingin memanusiakan manusia. Menganggakat harkat martabat manusia.
Konsep sedekah ini merupakan salah satu dimensi sosial Islam. Pun ini sering dicontohkan Nabi Muhammad. Beliau adalah orang yang dermawan. Rajin menolong manusia. Dan menginfakkan pelbagai hartanya demi kalangan yang membutuhkan.
Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al Misbah,mengatakan bahwa golongan pertama yang menjadi ciri orang yang bertakwa adalah mereka orang-orang yang membelanjakan dan menginfakkan hartanya, baik dalam keadaan cukup, kurang, mampu maupun tidak mampu, demi mendapatkan perkenan Allah.
Kedua, konsep takwa sosial adalah orang yang mampu menahan amarah. Emosi yang berlebihan makan akan membuat seseorang binasa. Marah yang tak terkontrol akan menyulut perkelahian dan permusuhan.
Lebih dari itu, marah akan menimbulkan dendam kusumat. Bila dendam yang mendominasi, tak jarang berakibat fatal, seperti urusan dengan pihak berwajib, terluka dan dirawat di rumah sakit. Pun terkadang, marah yang berlebihan akan menimbulkan korban jiwa. Jamak kita dapati, marah berujung pembunuhan.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud;
اِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَالشَّيْطَانُ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَاِنَّمَا يَطْفَاُ بِالْمَاءِ النَّارُ. فَاِذَا غَضَبَ اَحَدُكُمْ فَالْيَتَوَضَاءْ
“Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan diciptakan dari api sementara api akan padam ketika terkena air. Maka jika diantara kalian ada yang marah maka berwudu’lah.
Maka orang yang mampu menahan amarah dalam hatinya, maka kelak di akhirat Allah akan memuliakannya. Pasalnya, sikap marah yang tak terkontrol akan berujung binasa. Nabi bersabda;
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ
Artinya; barangsiapa menahan amarah sedang ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan semua manusia hingga Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jelita yang ia kehendaki. (HR. Abu Dawud)
Ciri ketiga , takwa sosial adalah memaafkan keselahan manusia. Saling memaafkan merupakan perintah Tuhan. Islam mengajarkan manusia untuk saling memaafkan. Terlebih menjelang Idul Fitri ini. Sejatinya Idul Fitri sebagai medium untuk saling bermaaf-maafan, ajang menjalin silaturahmi, dan menjalin cinta dan kasih sayang pada sesama manusia.
Simaklah nasihat Imam Syafi’I berikut terkait indahnya memaafkan dan menjauh sikap bermusuhan. Imam Syafi’i berkata dalam syairnya;
لَمَّا عَفَوْتُ وَلَمْ أَحْقِدْ عَلىَ أَحَدٍ * أَرِحْتُ نَفْسِي مِنْ هـمِّ العَـدَاوَات
Artinya: Tatkala aku mema’afkan saya, aku tidak iri pada siapa pun* saya tenangkan jiwa ini dari keinginan bermusuhan.
Dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid III, Imam Ghazali mengatakan bahwa manusia memiliki karakter al-bahimiyah (binatang buas) dalam dirinya. Bila sifat bahimiyah ini telah menguasai dirinya, maka manusia itu akan menjadi tamak, rakus, doyan mencuri, makan, pendendam, dan suka perbuatan maksiat, dan gemar melakukan perbuatan zina. Itulah sifat hewani manusia.
Lantas bagaimana membersihkan sikap bahimiyah dalam diri manusia? Salah satu caranya adalah dengan mengerjakan pelbagai kembali kepada sifat lahiriyah manusia, yaitu suci dan tak ternodai. Salah satu cara kembali pada sikap lahiriyah manusia adalah suka memaafkan manusia. Dengan memaafkan hati manusia akan tentram.
Demikianlah penjelasan terkait takwa sosial sebagai tujuan utama puasa. Semoga bermanfaat.