Takwa Sosial Sebagai Tujuan Utama Puasa

Berikut penjelasan konsep takwa sosial sebagai tujuan utama puasa.

Syahdan, Umat Islam di pelbagai dunia, kini tengah menjalani ibadah puasa. Puasa adalah kewajiban yang diperintahkan Allah bagi setiap muslim. Dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan tujuan seseorang berpuasa adalah agar menjadi orang yang bertakwa.

Hal itu sejalan dengan firman Allah dalam Q.S al-Baqarah ayat 183. Allah berfirman;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya; Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Tak dapat dipungkiri, jamak orang memahami adalah sebagai “Menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan Allah”. Konsep takwa ini terkesan vertikal. Takwa dalam tatanan ini terkesan satu arah. Takwa yang diajukan terkesan “melangit”. Allah sebagai titik utama utama.

Padahal bila kita tilik al-Qur’an, akan diperoleh makna takwa lebih jauh. Takwa tak sekadar konsep antara manusia dengan Tuhan. Lebih dari itu, takwa memiliki dimensi horizontal. Penulis menyebutnya konsep takwa sosial. Takwa dalam pengertian ini adalah konsep takwa yang lebih membumi. Pendek kata; terjadi pergeseran takwa yang awalnya theosentris menuju antroposentris.

Adapun konsep takwa sosial itu dapat kita temukan dalam Q.S Ali Imran ayat 133-134. Dalam ayat ini terdapat empat konsep tentang Takwa. Menariknya, konsep takwa ini bersifat sosial. Takwa yang lebih membumi. Allah berfirman;

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan mema’afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.

Konsep takwa sosial pertama adalah bersedekah dalam keadaan lapang atau sempit. Penting digaris bawahi, sejak kemunculan Islam pertama kali, dimensi sosialnya sangatlah dominan. Pun tujuan dari Islam sejatinya sebagai rahmat dan kasih terhadap makhluk di bumi ini. Lebih dari itu, Islam ingin memanusiakan manusia. Menganggakat harkat martabat manusia.

Konsep sedekah ini merupakan salah satu dimensi sosial Islam. Pun ini sering dicontohkan Nabi Muhammad. Beliau adalah orang yang dermawan. Rajin menolong manusia. Dan menginfakkan pelbagai hartanya demi kalangan yang membutuhkan.

Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al Misbah,mengatakan bahwa golongan pertama yang menjadi ciri orang yang bertakwa adalah mereka orang-orang yang membelanjakan dan menginfakkan hartanya, baik dalam keadaan cukup, kurang, mampu maupun tidak mampu, demi mendapatkan perkenan Allah.

Kedua, konsep takwa sosial adalah orang yang mampu menahan amarah. Emosi yang berlebihan makan akan membuat seseorang binasa. Marah yang tak terkontrol akan menyulut perkelahian dan permusuhan.

Lebih dari itu, marah akan menimbulkan dendam kusumat. Bila dendam yang mendominasi, tak jarang berakibat fatal, seperti urusan dengan pihak berwajib, terluka dan dirawat di rumah sakit. Pun terkadang, marah yang berlebihan akan menimbulkan korban jiwa. Jamak kita dapati, marah berujung pembunuhan.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud;

اِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَالشَّيْطَانُ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَاِنَّمَا يَطْفَاُ بِالْمَاءِ النَّارُ. فَاِذَا غَضَبَ اَحَدُكُمْ فَالْيَتَوَضَاءْ

“Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan diciptakan dari api sementara api akan padam ketika terkena air. Maka jika diantara kalian ada yang marah maka berwudu’lah.

Maka orang yang mampu menahan amarah dalam hatinya, maka kelak di akhirat Allah akan memuliakannya. Pasalnya, sikap marah yang tak terkontrol akan berujung binasa. Nabi bersabda;

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ

Artinya; barangsiapa menahan amarah sedang ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan semua manusia hingga Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jelita yang ia kehendaki. (HR. Abu Dawud)

Ciri ketiga , takwa sosial adalah memaafkan keselahan manusia. Saling memaafkan merupakan perintah Tuhan. Islam mengajarkan manusia untuk saling  memaafkan. Terlebih menjelang Idul Fitri ini. Sejatinya  Idul Fitri seba­gai medium untuk saling bermaaf-maafan, ajang menjalin silaturahmi, dan menjalin cinta dan kasih sayang pada sesama manusia.

Simaklah nasihat Imam Syafi’I berikut terkait indahnya memaafkan dan menjauh sikap bermusuhan. Imam Syafi’i berkata dalam syairnya;

لَمَّا عَفَوْتُ وَلَمْ أَحْقِدْ عَلىَ أَحَدٍ * أَرِحْتُ نَفْسِي مِنْ هـمِّ العَـدَاوَات

Artinya: Tatkala  aku mema’afkan saya, aku tidak iri pada siapa pun* saya tenangkan jiwa ini dari keinginan bermusuhan.

Dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid III, Imam Ghazali mengatakan bahwa manusia memiliki karakter al-bahimiyah (binatang buas) dalam dirinya. Bila  sifat bahimiyah ini telah menguasai dirinya, maka manusia itu akan  menjadi tamak, rakus,  doyan mencuri, makan, pendendam, dan suka perbuatan maksiat, dan gemar melakukan perbuatan zina. Itulah sifat hewani manusia.

Lantas bagaimana membersihkan sikap bahimiyah dalam diri manusia? Salah satu caranya adalah dengan mengerjakan pelbagai kembali kepada sifat lahiriyah manusia, yaitu suci dan tak ternodai.  Salah satu cara kembali pada sikap lahiriyah manusia adalah suka memaafkan manusia. Dengan memaafkan hati manusia akan tentram.

Demikianlah penjelasan terkait takwa sosial sebagai tujuan utama puasa. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Takwa dalam Al-Qur’an

Ketika Allah Swt memerintahkan kaum mukminin untuk berpuasa, Allah menyebutkan tujuan dibaliknya yaitu untuk meraih ketakwaan. Seperti dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.al-Baqarah:183)

Takwa adalah tingkatan tertinggi dalam ibadah kepada Allah Swt. Yaitu ketika seorang hamba memiliki perlindungan dari kemarahan, kemurkaan dan siksa Allah Swt. Tentunya perlindungan itu di raih karena ketaatan kepada Allah, rasa takut kepada siksa-Nya dan meninggalkan segala perbuatan maksiat kepada-Nya.

Pondasi ketakwaan adalah rasa takut kepada Allah. Dan itu adalah urusan hati. Seperti dalam Firman-Nya :

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS.al-Haj:32)

Dan kita temukan dalam Al-Qur’an bahwa takwa adalah perintah pertama sebelum perintah lainnya. Karena ketakwaan adalah pendorong untuk melakukan semua kebaikan yang lain.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS.al-Ma’idah:35)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (QS.al-Ahzab:70)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS.atTaubah:119)

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman” (QS.al-Anfal:1)

Dan terkadang, takwa juga disebutkan sebelum Allah memberikan larangan. Karena selaian pendorong kepada kebaikan, takwa juga menjadi perisai yang melindungi kita dari keburukan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS.al-Baqarah:278)

Lebih dari itu, semua Rasul yang di utus oleh Allah kepada umat manusia membawa satu seruan yang sama yaitu mengajak kepada takwa.

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ

“maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (QS.asy-Syuara:150)

Karena itulah wasiat yang terpenting yang disampaikan oleh Allah kepada kaum terdahulu hingga akhir zaman menurut Al-Qur’an adalah wasiat tentang takwa.

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ ۚ

dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. (QS.an-Nisa’:131)

Namun Al-Qur’an mengingatkan bahwa sekedar takwa saja tidak cukup, namun harus meraih takwa yang sebenar-benarnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS.Ali Imran:102)

Takwa bukan berarti kemaksuman dari dosa, namun ketakwaan adalah sebuah karakter yang dimiliki seorang mukmin sehingga hatinya selalu sadar dan hidup.

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS.al-A’raf:201)

Ketika kakinya tergelincir kepada kesalahan, ia segera memohon ampun dan kembali kepada Tuhannya. Sebagaimana sifat yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang bertakwa :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS.Ali Imran :135)

Semoga Allah menggabungkan kita bersama orang-orang yang bertakwa.

KHAZANAH ALQURAN

Tauhid dan Aqidah Yang Benar, Melahirkan Adab dan Akhlak Mulia

Apabila kita merasa sudah lama ngaji

Sudah merasa jadi ikhwan senior

Sudah selesai belajar beberapa kitab tauhid dan aqidah

Merasa sebagai pembawa bendera dakwah tauhid

Sudah sekian lama berdakwah tauhid

Ini semua Alhamdulillah

Akan tetapi apabila adab semakin buruk, akhlak semakin kasar, lisan semakin pedas dan hati semakin keras

Ketauhilah bahwa ada yang salah dengan tauhid dan keimanan kita

Karena tauhid dan keimanan berbanding lurus dengan akhlak

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya (HR At-Thirmidzi no 1162)

Mukmin yg paling baik iman dan tauhidnya adalah yang paling baik akhlaknya

lihat, iman disejajarkan dengan akhlak

Iman itu apa yang ada di dalam dada, sedangkan akhlak adalah output atau keluarannya

Jika teko isinya kopi, pasti yang keluar kopi, tidak mungkin teh

Apabila akhlak rusak itulah cerminan tauhid dan imannya

Penyusun: Raehanul Bahraen

Muslim Afiyah

Pentingnya Kesungguhan dalam Kebaikan

عن أنس رضي الله عنه عن النَّبيّ صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربّه عز وجل قَالَ: ((إِذَا تَقَربَ العَبْدُ إلَيَّ شِبْرًا تَقَربْتُ إِلَيْه ذِرَاعًا، وَإِذَا تَقَرَّبَ إلَيَّ ذِرَاعًا تَقَربْتُ مِنهُ بَاعًا، وِإذَا أتَانِي يَمشي أتَيْتُهُ هَرْوَلَةً)). رواه البخاري.

Dari Anas r.a. dari Nabi sholallahu alaihi wassalam dalam sesuatu yang diriwayatkan dari Tuhannya ‘Azzawajalla, firmanNya – ini juga Hadis Qudsi :

“Jikalau seseorang hamba itu mendekat padaKu sejengkal, maka Aku mendekat padanya sehasta dan jikalau ia mendekat padaKu sehasta, maka Aku mendekat padanya sedepa. Jikalau hamba itu mendatangi Aku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan bergegas-gegas.” (Riwayat Bukhari)

 

HIDAYATULLAH

Taqwa: Infaq dan Istighfar di Waktu Sahur

Salafush sholeh tidak hanya berlomba-lomba dalam aspek kesalehan individual, namun juga dalam aspek kesalehan sosial

Allah Ta’ala berfirman:

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu Sahur. (QS. Ali Imron [3]: 17)

Tafsir ayat

Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat tersebut – selain ayat ke-16 – menggambarkan sifat-sifat hamba Allah yang bertaqwa. Dua di antara karakteristik yang disebut ayat itu adalah munfiiqin (orang-orang yang berinfaq) dan mustaghfiriin bil ashaar (orang-orang yang memohon ampun di waktu Sahur, yakni penghujung malam sebelum fajar/Subuh). Menurutnya, tafsir kata al-munfiqiin adalah menafkahkan sebagian dari harta mereka di jalan-jalan ketaatan yang diperintahkan kepada mereka, silaturahmi, amal taqarrub, memberikan santunan, dan menolong orang-orang yang membutuhkannya. Sedangkan ketika menafsirkan mustaghfiriin bil ashaar beliau mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan keutamaan beristigfar di waktu Sahur.

Munasabah ayat

Ayat-ayat yang senada dengan ayat ke-17 dari suroh Alu Imron adalah ayat ke-18 dan 19 dari suroh Adz-Dzaariyaat.

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 18)

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 19)

 

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ke-19 di atas mengatakan, setelah Allah Ta’ala menyifati mereka sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan shalat malam (dan ditutup dengan memohon ampun di waktu Sahur), lalu menyebutkan sifat terpuji mereka lainnya, yaitu bahwa mereka selalu membayar zakat dan bersedekah serta bersilaturahmi.

Tadabbur ayat

Dari kedua kelompok ayat itu dapat diketahui bahwa:

Pertama, karakteristik orang bertaqwa meliputi dua aspek kesalehan: individual dan sosial. Bukan hanya satu aspek saja, individual saja, atau sosial saja. Kedua aspek ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang.

Salah satu karakteristik orang bertaqwa dalam aspek kesalehan individual adalah memohon ampun di waktu Sahur. Mereka memohon ampun di waktu Sahur setelah sebelumnya “mereka sedikit sekali tidur di malam hari” sebagaimana disebutkan dalam ayat ini:

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

Mereka (dulu ketika di dunia) sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 17).

Al-Hasan Al-Basri ketika menjelaskan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam mengatakan mereka melakukan shalat malam hari dengan keteguhan hati, karenanya mereka tidak tidur di malam hari kecuali hanya sedikit. Mereka mengerjakannya dengan penuh semangat hingga waktunya memanjang sampai waktu Sahur, sehingga bacaan istigfar mereka dilakukan di waktu Sahur.

Sedangkan karakteristik orang bertaqwa dalam aspek kesalehan sosial di antaranya adalah berinfaq dan bersedekah. Dalil lain dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa aspek kesalehan sosial merupakan salah satu sifat orang bertaqwa adalah ayat ke-17 dan 18  dari suroh Al-Lail.

Kedua, kedua aspek ini merupakan kunci masuk surga. Bukan salah satu aspek saja, indivual saja, atau sosial saja. Hubungan erat antara kesalehan indivual dan kesalehan sosial yang merupakan kunci masuk surga ini juga dapat diketahui dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berikut:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا، وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا“. فَقَالَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ: لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: “لِمَنْ أَلَانَ الْكَلَامَ، وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَبَاتَ لِلَّهِ قَائِمًا، وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari bagian dalamnya, dan bagian dalamnya dapat dilihat dari bagian luarnya. Abu Musa Al-Asy’ari Ra. bertanya, “Wahai Rasulullah, untuk siapakah kamar-kamar itu?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam menjawab: Untuk orang yang lembut dalam tutur katanya, dan gemar memberi makan (fakir miskin), serta melakukan salat malam harinya karena Allah di saat manusia lelap dalam tidurnya.” (HR. Imam Ahmad)

 

Dalam riwayat lain beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَأَفْشُوا السَّلَامَ، وصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Wahai manusia, berilah makan, hubungkanlah tali persaudaraan, sebarkanlah salam, dan shalatlah di malam hari pada saat manusia lelap dalam tidurnya, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.”

Sedangkan salah satu dalil dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa kesalehan sosial bisa menjauhkan diri dari neraka – yang berarti membuat diri masuk surga – adalah ayat ke-17 dan 18 dari Suroh Al-Lail.

 

Teladan salafush sholeh dalam beristighfar di waktu Sahur

Salafush sholeh begitu berusaha sungguh-sungguh memanfaatkan akhir malam hingga waktu Sahur. Berikut adalah sebagian kisah mereka. 

Abdullah ibnu Umar sesuai salam dari shalat malam bertanya, “Hai Nafi’, apakah waktu Sahur telah masuk?” Apabila dijawab ya maka ia mulai berdo’a dan memohon ampun hingga waktu Subuh.

Ibnu Mas’ud Ra. ketika suatu malam berada di salah satu bagian dalam masjid terdengar mengucapkan do’a berikut: Ya Tuhanku, Engkau telah memerintahkan kepadaku, maka aku taati perintah-Mu; dan inilah waktu sahur, maka berikanlah ampunan bagiku

Anas ibnu Malik Ra. mengatakan bahwa kami (para sahabat) bila melakukan shalat malam diperintahkan untuk melakukan istighfar di waktu Sahur sebanyak tujuh puluh kali.

 

Teladan salafush sholeh dalam bersedekah dan berinfaq

Salafush sholeh tidak hanya berlomba-lomba dalam aspek kesalehan individual, namun juga dalam aspek kesalehan sosial. Begitu banyak kisah mereka dalam hal ini, salah satunya adalah “perlombaan” menginfaqkan harta untuk fi sabilillah antara Abu Bakar Ra. – yang menginfaqkan seluruh hartanya – dan Umar bin Khoththob Ra. – yang menginfaqkan separoh hartanya .

Berjihad, istiqomah dan dampaknya

Ramadhan adalah madrasah untuk melatih diri berjihad (berusaha sungguh-sungguh) untuk memanfaatkan akhir malam hingga waktu Sahur, dan berjihad untuk tetap istiqomah. Diharapkan ketika lulus dari madrasah ini para lulusannya memiliki kebiasaan Qiyamul lail untuk menghidupkan kehidupan malamnya dengan bermunajat kepada Robbnya. Jika demikian halnya insya Allah ketaqwaan  – yang meliputi kesalehan individual dan sosial – yang melekat para diri mereka akan terus mengalami peningkatan sepanjang tahun. Ini berarti mereka telah memiliki kunci masuk surga.  Wallahu a’lam bish-showab.*

Oleh: Abdullah al-Mustofa, Anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur

 

 

HIDAYATULLAH