Tidak Boleh Sembarangan Mengkafirkan Seseorang

Tidak Boleh Sembarangan Mengkafirkan Seseorang

Di antara akidah ahlussunnah waljama’ah adalah membedakan antara takfīr muṭlaq dan takfīr mu’ayyan.

Pertama: al-Takfīr al-Muṭlaq (التكفير المطلق), yaitu menjatuhkan vonis kekufuran kepada suatu keyakinan, ucapan, atau perbuatan yang merupakan pembatal keislaman, atau menjatuhkan vonis kafir kepada pelakunya secara umum tanpa menunjuk pada orang tertentu.

Contoh:

  • Menyembah berhala adalah kekufuran.
  • Membenci syariat Allah dan tuntunan Nabi-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah kekufuran.
  • Barangsiapa yang meyakini bahwa shalat itu tidak wajib atau zina itu tidak haram adalah kafir.

Kedua: al-Takfīr al-Mu’ayyan (التكفير المعين), yaitu menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang tertentu karena dia telah melakukan suatu pembatal keislaman.

Contoh:

  • Si Fulan itu kafir.

Takfīr mu’ayyan tidak boleh diarahkan kepada seseorang kecuali jika telah terpenuhi syarat-syarat dan hilang penghalang-penghalang dari pengkafirannya. Oleh karena itu, yang hanya boleh melakukan takfīr mu’ayyan adalah para ulama’ besar atau mufti yang telah mengetahui apakah si Fulan yang melakukan pembatal keislaman tersebut telah terpenuhi syarat atau hilang penghalang dari kekafirannya.

Adapun tugas kita sebagai penuntut ilmu adalah mempelajari apa saja yang merupakan pembatal keislaman sehingga kita bisa menghindarinya dan memperingatkan orang lain darinya. Dengan kata lain, tugas kita adalah seputar takfīr muṭlaq, bukan takfīr mu’ayyan.

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita agar tidak sembarangan mengkafirkan seseorang secara mu’ayyan.

Dari Ibn ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā, bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما.

Artinya:

“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir,’ maka tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya.” [Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhariy (no. 6104) dan Muslim (no. 60). al-Bukhariy juga meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu (no. 6103).]

Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud “tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya” bukan bermakna si penuding itu telah kafir dengan ucapannya. Akan tetapi, ini termasuk dalam bab memberikan ancaman yang keras kepada orang yang melakukan sebuah dosa yang besar di mata syariat.

Adapun jika Fulan tersebut telah tegas kekafirannya dalam dalil secara mu’ayyan, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafirannya. Contoh: Fir’aun, Abu Jahl, Abu Lahb, Abu Thalib, dll. Demikian pula orang-orang yang memang beragama selain Islam, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafiran mereka.

Penulis:Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id