Tren Hijrah Pengaruhi Jumlah Mualaf di Indonesia

Mualaf Center Indonesia (MCI) mencatat sejak 2003 jumlah mualaf ada lebih dari 50 ribu. Dalam dua tahun terakhir angkanya lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Etnis Tionghoa mendominasi populasi mualaf di Tanah Air. Berdasarkan wawancara wartawan Republika, Zahrotul Oktaviani, dengan Ketua MCI, Steven Indra Wibowo, salah satu penyebab tingginya jumlah mualaf karena tren hijrah. Berikut wawancara selengkapnya:

Berapa jumlah mualaf yang terdata di MCI?

Sejak 2003, di data kita ada 58.500-an. Rata-rata untuk demo grafi paling banyak di usia 30 ke atas hingga 40. Untuk Status Eko nomi Sosial (SES)-nya di kategori B-C di mana pengeluaran rumah tangganya antara 2-4 juta perbulan. Ini masuk kategori average atau ra ta-rata. Untuk tingkat pendidikannya di antara lulus D3 sampai S1. Untuk suku paling banyak masih dominan dari Jawa, sementara untuk etnis dominasi Tionghoa. Etnis Tionghoa ini sekitar 27 persen. Angka mualaf setahun terakhir mengalami peningkatan sekitar 18 persen dari tahun sebelumnya. Dari 2.800 menjadi 3.500 dalam satu tahun.

menunjukkan pada lingkungan dan sekitarnya bagaimana beradab dan berakhlak yang baik.

Nah yang melihat pun akhirnya tertarik. Mereka melihat orang Muslim di Indonesia baik, bagus, bisa diajak ngobrol dan bercanda. Ratarata dari teman yang mampu memberi contoh dan ilmu yang baik. Ini bagusnya tren hijrah sekarang. Nah sekarang bagaimana kita menjaga agar mereka menjadi mualaf yang betul-betul memahami Islam, bukan sekadarnya.

Sesudah mualaf, hal pertama yang diajarkan kepada mereka?

Setelah mereka mengucapkan kalimat syahadat, mereka diajari untuk shalat. Kita ajari dari thaharah, doa, dan gerakan shalat sem bari kita ajari juga membaca Alquran. Nah kita juga beri pengajaran tentang akidah-akidah dasar sem bari melancarkan bacaannya.

Target pengajaran ini dua sampai tiga bu lan, setelah itu kita lepas. Artinya, dia siap menjalankan ilmu itu di masyarakat. Cuma nanti setelahnya biasanya kita buka juga semacam kajian atau pembekalan lanjutan.

Tujuan kita kan mencetak mualaf bukan dia selamanya jadi mualaf. Namun, dengan mualafnya dia, dia bisa betul-betul hidup sebagai seorang Muslim sejati. Ilmunya juga harus bertambah. Mualaf ini kan bukan sekadar baru masuk Islam, melainkan juga orang yang terpaut dan dilembutkan hatinya untuk menerima hidayah dari Allah SWT. Tujuan kita mempersiapkan dan menciptakan Muslim yang baik dan sesungguhnya.

Apa tantangan dakwah yang diha dapi kalangan Tionghoa ini?

Tantangan ya ada. Butuh pendekatan tersendiri karena bukan hanya Tionghoa, melainkan dari su ku lain kan karakternya juga berbeda, nah itu disesuaikan lagi. Kalau dari nonmualaf ya butuh pende katan yang lebih mudah dimengerti bagi mereka. Kita lebih ke mengajari mereka bagaimana berakhlak dan beradab yang baik dan benar.

Saat perayaan imlek, apakah Mus lim Tionghoa juga ikut meraya kan? Ini disebut budaya saja atau tradisi?

Ini aku dapat banyak pertanyaan. Banyak dari mereka yang bilang bahwa dari keluarga masih ada yang mengajak untuk ikut malam xincia, ngumpul chengbeng, atau makanmakan capgo. Nah ini aku sendiri mengambil sikap, aku tidak ikut.

Imlek ini kan bentuknya sebagai syukuran kepada dewa bumi setelah tahun baru atas rezeki yang di be rikan tahun kemarin, nah setelahnya dilakukan pemujaan bagi dewa langit semoga berkahnya kembali turun. Nah ini sama dengan syirik, ada dua dewa yang disembah, nah ini dosa besar. Belum lagi bakar shio itu tidak sekadarnya, ada hitung-hi tungannya dari shio sesepuh atau leluhur yang sudah meninggal. Ini sudah menyasar pada akidah dan salah. Jadi, kalau saya sendiri lebih baik tidak usah ikut.

Bagaimana cara agar mualaf tetap menghargai dan menghormati keluarga yang merayakan Imlek?

Sabtu, 09 Feb 2019 05:00 WIB

Tren Hijrah Pengaruhi Jumlah Mualaf di Indonesia

Banyak yang mukai belajar agama lebih baik
Red: Agung Sasongko
Fian Firatmaja/ROL

Steven Indra Wibowo

Steven Indra Wibowo

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA — Mualaf Center Indonesia (MCI) mencatat sejak 2003 jumlah mualaf ada lebih dari 50 ribu. Dalam dua tahun terakhir angkanya lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Etnis Tionghoa mendominasi populasi mualaf di Tanah Air. Berdasarkan wawancara wartawan Republika, Zahrotul Oktaviani, dengan Ketua MCI, Steven Indra Wibowo, salah satu penyebab tingginya jumlah mualaf karena tren hijrah. Berikut wawancara selengkapnya:

Berapa jumlah mualaf yang terdata di MCI?

Sejak 2003, di data kita ada 58.500-an. Rata-rata untuk demo grafi paling banyak di usia 30 ke atas hingga 40. Untuk Status Eko nomi Sosial (SES)-nya di kategori B-C di mana pengeluaran rumah tangganya antara 2-4 juta perbulan. Ini masuk kategori average atau ra ta-rata. Untuk tingkat pendidikannya di antara lulus D3 sampai S1. Untuk suku paling banyak masih dominan dari Jawa, sementara untuk etnis dominasi Tionghoa. Etnis Tionghoa ini sekitar 27 persen. Angka mualaf setahun terakhir mengalami peningkatan sekitar 18 persen dari tahun sebelumnya. Dari 2.800 menjadi 3.500 dalam satu tahun.

ADVERTISEMENT

Rata-rata apa yang menyebabkan mereka untuk menjadi mualaf?

Untuk alasan, 61 persen masih di dominasi oleh pernikahan. Dua sisanya karena pengaruh teman dan pergaulan.

Apa yang menjadi penyebab naiknya jumlah mualaf?

Dua tahun terakhir memang signifikan perbedaannya. Salah satunya karena ada tren hijrah, banyak yang mulai belajar agama lebih baik. Mereka yang belajar adab yang baik, akhlak yang baik mampu menunjukkan pada lingkungan dan sekitarnya bagaimana beradab dan berakhlak yang baik.

Nah yang melihat pun akhirnya tertarik. Mereka melihat orang Muslim di Indonesia baik, bagus, bisa diajak ngobrol dan bercanda. Ratarata dari teman yang mampu memberi contoh dan ilmu yang baik. Ini bagusnya tren hijrah sekarang. Nah sekarang bagaimana kita menjaga agar mereka menjadi mualaf yang betul-betul memahami Islam, bukan sekadarnya.

Sesudah mualaf, hal pertama yang diajarkan kepada mereka?

Setelah mereka mengucapkan kalimat syahadat, mereka diajari untuk shalat. Kita ajari dari thaharah, doa, dan gerakan shalat sem bari kita ajari juga membaca Alquran. Nah kita juga beri pengajaran tentang akidah-akidah dasar sem bari melancarkan bacaannya.

Target pengajaran ini dua sampai tiga bu lan, setelah itu kita lepas. Artinya, dia siap menjalankan ilmu itu di masyarakat. Cuma nanti setelahnya biasanya kita buka juga semacam kajian atau pembekalan lanjutan.

Tujuan kita kan mencetak mualaf bukan dia selamanya jadi mualaf. Namun, dengan mualafnya dia, dia bisa betul-betul hidup sebagai seorang Muslim sejati. Ilmunya juga harus bertambah. Mualaf ini kan bukan sekadar baru masuk Islam, melainkan juga orang yang terpaut dan dilembutkan hatinya untuk menerima hidayah dari Allah SWT. Tujuan kita mempersiapkan dan menciptakan Muslim yang baik dan sesungguhnya.

Apa tantangan dakwah yang diha dapi kalangan Tionghoa ini?

Tantangan ya ada. Butuh pendekatan tersendiri karena bukan hanya Tionghoa, melainkan dari su ku lain kan karakternya juga berbeda, nah itu disesuaikan lagi. Kalau dari nonmualaf ya butuh pende katan yang lebih mudah dimengerti bagi mereka. Kita lebih ke mengajari mereka bagaimana berakhlak dan beradab yang baik dan benar.

Saat perayaan imlek, apakah Mus lim Tionghoa juga ikut meraya kan? Ini disebut budaya saja atau tradisi?

Ini aku dapat banyak pertanyaan. Banyak dari mereka yang bilang bahwa dari keluarga masih ada yang mengajak untuk ikut malam xincia, ngumpul chengbeng, atau makanmakan capgo. Nah ini aku sendiri mengambil sikap, aku tidak ikut.

Imlek ini kan bentuknya sebagai syukuran kepada dewa bumi setelah tahun baru atas rezeki yang di be rikan tahun kemarin, nah setelahnya dilakukan pemujaan bagi dewa langit semoga berkahnya kembali turun. Nah ini sama dengan syirik, ada dua dewa yang disembah, nah ini dosa besar. Belum lagi bakar shio itu tidak sekadarnya, ada hitung-hi tungannya dari shio sesepuh atau leluhur yang sudah meninggal. Ini sudah menyasar pada akidah dan salah. Jadi, kalau saya sendiri lebih baik tidak usah ikut.

Bagaimana cara agar mualaf tetap menghargai dan menghormati keluarga yang merayakan Imlek?

Dengan diam dan tidak menghadiri acara keluarga. Nanti pasti keluarga akan bertanya, mengapa tidak datang? Nah, baru di situ kita jelaskan alasannya, sejarah, dan tradisinya. Diam itu termasuk kita menghargai diri sendiri dan keluarga. Kalau diundang, ya, ditolak.

Kalau ada keluarga yang ngajak dengan alasan hanya kumpul-kum pul keluarga, juga kita tolak. Kalau mau kumpul-kumpul, itu bisa dila kukan 15 hari setelah Imlek. Jadi, setelah semua rangkaian imlek itu selesai, baru kita kumpul, sowan. Nanti pasti ada tuh keluarga yang nyeletuk, “Ke mana aja, lu?” Nah, itu baru kita jawab, kita beri pengertian.

REPUBLIKA