Usamah bin Zaid adalah kesayangan Rasulullah. Ia putra dari orang yang juga merupakan kesayangan Rasulullah dan anak angkat beliau. Yaitu Zaid bin Haritsah.
Masa Kecilnya
Nama dan nasabnya adalah Usamah bin Zaid bin Haritsah al-Kalbi. Ayahnya, Zaid, dulu budak dari Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha. Lalu diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat Zaid masih kecil, ayah dan pamannya pernah datang menjemputnya ke Mekah. Keduanya ingin menebus dan membebaskannya dari perbudakan. Ternyata Zaid menolak itu ikut bersama ayahnya. Ia lebih memilih tinggal bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah, Rasulullah sangat mencintainya. Beliau membebaskannya dari status budak dan mengangkatnya sebagai anak. Kedudukan Zaid di sisi Rasulullah juga terbawa pada anaknya, Usamah.
Karena termasuk orang kesayangan Rasulullah, Usamah juga digelari “Hubbu Rasulillah” (kesayangan Rasulullah). Usamah lahir di Mekah 7 tahun sebelum hijrah. Sejak lahir, Usamah tumbuh di tengah keluarga muslim. Karena itulah ia tak mengenal masa jahiliyah. Saat perintah hijrah ditetapkan, Usamah kecil turut hijrah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.
Ibunya adalah Ummu Aiman radhiallahu ‘anha. Namanya adalah Barakah. Sang ibu juga merupakan budak Rasulullah dan wanita yang pernah menyusui beliau. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskan Zaid, beliau menikahkannya dengan Ummu Aiman. Dari pasangan ini kemudian lahir Usamah.
Pengaruh Rasulullah Pada Usamah
Pada tahun ke-6 diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lahirlah Usamah bin Zaid dari pasangan Zaid bin Haritsah dan Ummu Aiman Barakah binti Tsa’labah. Tumbuhlah Usamah kecil di lingkungan dan pendidikan islami. Ia tidak merasakan gelapnya jahiliyah.
Sejak kecil, Usamah selalu menyertai Nabi. Ia sangat dekat dengan lingkungan nubuwwah. Diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahamd, dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Saat di Arafah, aku dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Lalu ontanya miring dan terjatuhlah tali kekangnya. Beliau raih tali itu dengan salah satu tangannya. Sementara tangan satunya tetap terangkat berdoa.”
Ini menunjukkan kedekatannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kondisi haji dan sedang menunaikan rukun terbesarnya, beliau membonceng Usamah. Anak kecil itu duduk erat bersama beliau. Menyaksikan aktivitas Nabi di hari yang paling mulia.
Dalam Riwayat al-Bukhari disebutkan, dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah memegangku dan al-Hasan. Beliau bersabda,
اللهم أحبهما؛ فإني أحبهما
“Ya Allah cintailah keduanya. Karena aku mencintai keduanya.”
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencintai Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu.
مَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُبْغِضَ أُسَامَةَ ، بَعْدَمَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ كَانَ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَلْيُحِبَّ أُسَامَةَ
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Tidak boleh bagi siapapun untuk membenci Usamah setelah aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka cintailah Usamah’.”
Usamah juga adalah orang yang memahat cincin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Nabi menikahkannya saat ia berusia 15 tahun.
Dimarahi Rasulullah
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Urwah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhuma, diceritakan di zaman Rasulullah, tepatnya saat fathu Mekah, ada seorang wanita yang melakukan pencurian. Keluarga besarnya takut kalau si wanita ini akan diqishahsh. Mereka pun melobi Usamah bin Zaid. Saat Usamah membicarakan hal itu dengan Rasuullah, berubahlah rona wajah beliau. Beliau bersabda,
أتكلمني في حد من حدود الله؟!
“Apakah engkau melobi untuknya dalam permasalahan hukum Allah”!?
Usamah menjawab, “Mohonkan ampun untukku wahai Rasulullah.”
Di sore harinya, Rasulullah berkhutbah di hadapan khalayak. Beliau memuji Allah dengan pujian yang layak untuk-Nya. Kemudian berkata,
أما بعد، فإنما أهلك الناس قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه، وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد، والذي نفس محمد بيده لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang terpandang yang melakukan pencurian, mereka biarkan. Apabila yang melakukan pencurian orang yang lemah, mereka tegakkan hukum. Demi Allah yang jiwaku berada dalam gengamnya, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tangan wanita tersebut dipotong. Kemudian wanita tersebut baik dalam taubatnya. Dan iapun menikah. Aisyah berkata, “Setelah itu ia datang menemui Rasulullah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memenuhi keperluannya.”
Bimbingan Ummu Aiman
Ummu Aiman radhiallahu ‘anhu adalah seorang wanita yang sempat menyusui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah seorang mujahidah yang turut serta di medan pertempuran bersama Rasulullah. Ia hadir di Perang Uhud dan juga di Khaibar. Tugasnya adalah memberi minum pasukan. Dan mengobati mereka yang terluka.
Ummu Aiman juga meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam al-Ishabah, Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هذه بقية أهل بيتي
“Dia ini (Ummu Aiman) adalah bagian keluargaku yang tersisa.”
Ayah Usamah, Zaid bin Haritsah, yang merupakan suami Ummu Aiman syahid di Perang Mu’tah. Kemudian di Perang Hunain, gugur juga Aiman, putra Ummu Aiman, saudara se-ibu dari Usamah. Di bawah bimbingan Ummu Aiman-lah Usamah tumbuh besar. Ia menjadi seorang pejuang dan pahlawan. Ia diajarkan akan nilai-nilai jihad, perjuangan, dan kepemimpinan. Dari hasil didikan itu, di usia 18 tahun, Usamah telah memimpin pasukan besar yang juga dianggotai tokoh-tokoh sahabat Muhajirin dan Anshar.
Memimpin Mujahidin Menghadapi Romawi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Usamah yang masih begitu beliau untuk memimpin pasukan menghadapi Romawi. Beliau berkata, “Usamah, berangkatlah atas nama Allah dan keberkahan dari-Nya. Saat engkau sampai di tempat terbunuhnya ayahmu (wilayah Romawi), berhentikan pasukan. Aku angkat engkau sebagai pimpinan pasukan ini…” kemudian Rasulullah serahkan pasukan kepada Usamah. Beliau berkata, “Berangkatlah dengan nama Allah.”
Pengangkatan Usamah tentu sedikit kontroversi. Karena secara kultur, bangsa Arab terbiasa mengangkat orang-orang yang ber-usia dan memiliki pengalaman. Jarang mereka menuakan seseorang yang tidak diketahui rekam jejaknya sebelumnya. Karena itu, sebagian sahabat mempertanyakan pengangkatan Usamah. Bukan karena hasad dan tidak suka. Tapi karena hal itu tak biasa.
Mengetahui penolakan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan ekspresi ketidak-sukaan. Beliau keluar dari rumahnya kemudian naik ke mimbar. Beliau berpidato, “Saudara-saudara sekalian, ucapan apa dari kalian yang sampai padaku tentang penunjukan Usamah bin Zaid? Demi Allah, kalau kalian mencela keputusanku menunjuk Usamah. Artinya kalian juga mencela keputusanku sebelumnya yang telah menunjuk ayahnya. Demi Allah, kalau kepemimpinan itu ada syarat kepatutan, maka anaknya ini memiliki kepatutan setelah ayahnya. Kalau kepemimpinan itu karena orang yang paling aku cintai. Usamah ini adalah orang yang paling aku cintai. Dia dan ayahnya representasi dari setiap kebaikan. Aku wasiatkan kepada kalian agar berbuat baik padanya. Karena dia termasuk orang terbaik di tengah kalian.”
Saat Usamah tengah berada di pinggiran kota, utusan Ummu Aiman mendatanginya. Utusan itu mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Usamah pun mengarahkan pasukannya kembali ke Madinah. Saat itu Umar, Abu Ubaidah bin al-Jarah berada di tengah pasukan. Mereka menatap jasad Rasulullah. Rasulullah wafat saat matahari di hari senin 12 Rabiul Awal itu sudah bergeser dari tengah.
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menggantikan beliau memimpin umat. Saat itu, banyak orang-orang Arab pinggiran murtad. Para tokoh sahabat datang menemui Abu Bakar. Mereka berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, orang-orang Arab (luar Madinah) dari segala sisi telah membatalkan perjanjian denganmu. Karena itu, jangan Anda buat pasukan ini terpisah-pisah ke berbagai daerah. Buatlah pasukan terkumpul di satu titik untuk menghadapi orang-orang murtad itu. Alasan lainnya, (kalau pasukan keluar) Madinah tidak akan aman. Padahal di dalamnya ada anak-anak dan kaum wanita. Pertimbangkanlah untuk menunda menghadapi Romawi agar kita tidak dikalahkan oleh orang-orang sekitar kita sendiri. Setelah orang-orang murtad ini kembali atau ancaman pedang mereka hilang, barulah Anda kirim Usamah. Saat itu baru kita hadapi ancaman Romawi.” Namun Abu Bakar ash-Shiddiq tetap teguh untuk memberangkatkan pasukan Usamah. Ia berkata, “Demi Allah, seandainya ada hewan buas memangsaku di Kota Madinah, aku tidak akan membatalkan keberangkatan pasukan ini.”
Berangkatlah pasukan Usamah. Dan pasukan ini berhasil menyelesaikan misinya dengan baik. Mereka kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan. Kewibawaan Usamah pun bertambah. Meskipun ia masih sangat muda, namun penunjukannya adalah sesuatu yang tepat. Ia benar-benar bisa diandalkan.
Pengiriman pasukan ini ternyata memberi dampak besar terhadap kokohnya Daulah Islamiyah di Madinah. Padahal setelah wafatnya Nabi, kondisi Jazirah Arab goncang. Banyak kabilah yang murtad. Mereka bersiap berbalik menyerang Madinah. Ternyata pasukan yang keluarnya dikira akan melemahkan materi kaum muslimin di mata musuh, malah sebaliknya. Allah munculkan kekuatan secara moral. Justru mental musuh-musuh mereka yang melemah.
Pasukan besar yang diberangkatkan jauh meninggalkan Madinah berhasil mengalahkan Romawi. Runtuhlah rencana makar kabilah murtad tersebut. Niat mereka untuk menyerang tiba-tiba rontok begitu saja. Sebab terbesarnya adalah karena keteguhan Abu Bakar untuk memberangkatkan pasukan yang telah Rasulullah siapkan. Ia tak ingin menarik apa yang telah disiapkan oleh Rasulullah. Dari sini kita bisa ketahui, kemenangan itu bukan hanya berbekal persiapan materi. Ada faktor maknawi yang bisa jadi jauh lebih kuat. Yaitu menaati Allah dan Rasul-Nya.
Jiwa Kepemimpinan
Usamah bin Zaid adalah salah seorang sahabat yang mendapat bimbingan langsung dari rumah Nabawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendidiknya dan menumbuhkan jiwa kepemimpinan padanya. Hasilnya, di usia 15 tahun ia memimpin pasukan besar untuk menghadapi Romawi. Satu kerajaan kuat dengan pengalaman militer yang panjang. Cukup sebagai bukti kemampuan kepemimpinannya, Rasulullah mengangkatnya menjadi pemimpin pasukan yang di dalamnya terdapat Umar bin al-Khattab dan Abu Ubadidah bin al-Jarrah. Dua tokoh sahabat senior.
Melihat pemuda yang tidak berpengalaman memimpin sahabat-sahabat senior yang berpengalaman, orang-orang pun meragukan. Mereka mulai berkomentar terhadap Usamah. Namun Rasulullah membela. Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka yang mencela kepemimpinan Usamah juga telah mencela kepemimpinan ayahnya. Demi Allah, kalau kepemimpinan itu ada syarat kepatutan, maka anaknya ini memiliki kepatutan setelah ayahnya. Kalau kepemimpinan itu karena orang yang paling aku cintai. Usamah ini adalah orang yang paling aku cintai sepeninggal ayahnya.”
Bersama Rasulullah
Dari Muhammad bin Usamah bin Zaid, Usamah bin Zaid berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai padaku pakaian Mesir yang tebal. Pakaian ini adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi kepada Rasulullah. Lalu pakaian itu kupakaikan pada istriku. Rasulullah bertanya, ‘Mengapa kau tidak memakai pakaian Mesir itu’? Aku menjawab, ‘Kupakaikan pada istriku’. Rasulullah berkata, ‘Perintahkan dia untuk memakai pakaian di dalamnya. Karena aku khawatir akan terbentuk tubuhnya’.”
Usamah bin Zaid berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat Anda berpuasa begitu sering seperti di bulan Sya’ban.” Beliau menjawab, “Karena bulan itu orang-orang lalai padanya. Antara Rajab dan Ramadhan. Di bulan itu diangkat amalan-amalan menuju Rabbul ‘alamin. Dan aku suka amalanku diangkat saat aku berpuasa.” [Hadits Hasan Riwayat Ahmad (21753) dan an-Nasai (2358)].
Bersama Para Sahabat
Bersama Umar bin al-Khattab
Dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, tatkala Umar bin al-Khattab menetapkan pembagian, ia menetapkan 5000 untuk Usamah bin Zaid. Sementara untuk anaknya, Abdullah bin Umar, ia beri 2000. Abdullah bin Umar pun mengomentari, ‘Anda melebihkan Usamah, padahal aku menghadiri peperangan yang tidak dia hadiri’. Umar menjawab, ‘Sesungguhnya Usamah lebih dicintai oleh Rasulullah dari dirimu. Dan ayahnya lebih dicintai Rasulullah dibanding ayahmu’.”
Pengaruh Keilmuannya
Setidaknya ada 30 orang sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan hadits dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Di antara para sahabat yang meriwayatkan hadits darinya adalah Saad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum. Sementara tabi’in, seperti: Said bin al-Musayyib, Ibrahim bin Saad bin Abi Waqqash, Amir bin Syurahbil, Syaqiq bin Salamah, dll.
Dari budaknya Usamah bin Zaid, ia menceritakan bahwa ia pernah berangkat bersama Usamah menuju Wadil Qura. Mereka ke sana dalam rangka mengambil harta milik Usamah. Katanya, Usamah adalah seorang terbiasa puasa Senin dan Kamis. Budaknya berkata pada Usamah, “Mengapa Anda rutin berpuasa di hari Senin dan Kamis, padahal Anda sudah tua”? Usamah menjawab, “Sesungguhnya Nabinya Allah terbiasa puasa di hari Senin dan Kamis. Beliau ditanya mengapa melakukan itu, beliau menjawab,
إن أعمال العباد تعرض يوم الاثنين ويوم الخميس
“Sesungguhnya amalan-amalan hamba diangkat pada hari Senin dan Kamis.”
Di antara hadits yang diriwayatkan oleh Usamah adalah sebuah hadits yang dicatat oleh al-Bukhari. Dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء
“Tidak kutinggalkan ujian yang lebih berbahaya bagi laki-laki melebihi ujian wanita.”
Demikian juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Dari Usamah bin Zaid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يرث المسلم الكافر، ولا يرث الكافر المسلم
“Orang muslim tidak mewariskan kepada kafir. Demikian juga orang kafir tidak mewariskan kepada muslim.”
Wafatnya
Ketika terjadi fitnah di tengah para sahabat, Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu mengambil sikap untuk tidak ikut-ikutan dalam masalah tersebut. Ia tidak memihak kubu Ali. Tidak juga kubu Muawiyah.
Dan Usamah wafat di akhir pemerintahan Muawiyah radhiallahu ‘anhu. Ia sempat di al-Mizzah. Sebuah daerah yang terletak di Barat Damaskus. Setelah itu kembali ke Wadil Qura dan tinggal di sana. Akhirnya, ia Kembali ke Madinah dan wafat di kota suci tersebut.
Sejarawan berbeda pendapat tentang kapan wafatnya Usamah bin Zaid. Ada yang berpendapat ia wafat pada tahun 54 H. Ada pula yang mengatakan ia wafat pada tahun 61 H.
Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com