Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa Ramadhan? (Bag. 3)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Alasan ilmiah selanjutnya dari pendapat terkuat adalah,

Kedua, hadits sahih dan hasan yang menunjukkan bahwa pengguguran tuntutan qodho’ dari wanita menyusui atau hamil dan tidak ada kewajiban mengulang puasa baginya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاةِ وَالصِّيَامَ ، وَعَنْ الْحَامِلِ وَالْمُرْضِع

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menggugurkan dari musafir setengah salat dan puasa, serta menggugurkan (puasa) dari wanita menyusui dan wanita hamil” (HR. Abu Dawud, sahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ اللهَ تبارك وتعالى وضَع عن المُسافِر شَطرَ الصَّلاةِ، وعن الحامِلِ والمرضِعِ الصَّومَ أو الصِّيامَ

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan dari musafir setengah salat dan menggugurkan puasa (atau siyam) dari wanita menyusui dan hamil” (HR. At-Tirmidzi dan selainnya, hasan).

Makna “menggugurkan puasa” bagi musafir berbeda dengan bagi wanita hamil atau menyusui

Makna  “menggugurkan puasa” bagi wanita hamil atau menyusui adalah pengguguran puasa tanpa tuntutan qodho’ dan tanpa tuntutan pengulangan.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi rahimahullah menjelaskan bahwa seorang musafir jika memendekkan (qoshor) salat saat safar, lalu telah pulang dari safarnya, dia tidaklah dituntut untuk menyempurnakan salat yang telah di-qoshor tersebut. Maka demikian pulalah seorang wanita hamil dan menyusui, tidak ada kewajiban baginya untuk meng-qodho’ puasa yang ditinggalkannya [1].

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa makna “menggugurkan puasa” bagi musafir sama dengan bagi wanita hamil atau menyusui, sehingga kewajiban mereka semua sama, yaitu qodho’, maka ini sangkaan yang salah [2]. Karena selain alasan di atas, juga alasan bahwa makna “menggugurkan puasa” bagi musafir adalah dia mendapatkan udzur tidak puasa, tetapi dia wajib mengqodho’nya, sebagaimana ini dijelaskan dalam Al-Quran,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau safar, sedangkan dia tidak puasa, hendaklah dia mengganti dengan puasa pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah: 184).

Sedangkan makna “menggugurkan puasa” bagi wanita hamil atau menyusui adalah dia mendapatkan uzur tidak puasa, tetapi dia wajib menunaikan fidiah. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada firman-Nya,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) menunaikan fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah: 185).

Kewajiban fidiah selaras dengan kemudahan syariat Islam

Wanita hamil atau menyusui jika memilih keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa karena uzur syar’i, lalu diwajibkan qodho’, maka dia  akan merasa berat dan bisa jadi justru malah dia tidak suka rukhshah tersebut karena terbayang beratnya meng-qodho’ hutang puasa Ramadhan yang demikian banyaknya di luar Ramadhan. Apalagi jika hamil dan menyusui secara berurutan dan bertahun-tahun.

Contoh,  jika seorang wanita yang 3 tahun berturut-turut tidak puasa Ramadhan karena hamil dan menyusui, maka dia punya hutang puasa sekitar 3 bulan yang harus dikerjakan sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. Dan jika telah datang berikutnya, dia harus puasa Ramadhan 1 bulan. Berarti dia dalam setahun harus puasa 4 bulan.

Padahal faktanya, banyak wanita yang beruzur hamil dan menyusui, sampai dia tidak bisa berpuasa Ramadhan di atas 3 tahun. Bahkan sebagian wanita ada yang sampai dua puluh tahunan!

Padahal dalam hadis yang sahih, Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang mengambil keringanan (rukhshah) dari-Nya. Maka, kewajiban meng-qodho’ bagi wanita hamil atau menyusui yang memiliki banyak hutang itu tidaklah selaras dengan kecintaan Allah, berupa diambil  rukhshah-Nya. Karena wanita yang banyak hutang puasa tersebut akan merasa berat dan tidak suka mengambil keringanan Allah berupa tidak puasa di bulan Ramadhan, karena harus menanggung beratnya qodho’.

Hal ini pun tidak selaras dengan kehendak Allah dalam syariat-Nya,

 وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesulitan” (QS. Al-Hajj: 78).

Allah Ta’ala tidak menghendaki hamba-Nya mengalami kesulitan dan berat dalam bergama Islam, maka pendapat yang menyatakan wajibnya fidiah itulah yang mudah dilakukan bagi ibu hamil atau menyusui yang memiliki uzur untuk tidak berpuasa.

Bahkan ayat Al-Baqarah ayat 185 tentang keringanan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa Ramadhan, di akhir-akhir ayat tersebut Allah sebutkan,

 فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian” (QS. Al-Baqrah: 185).

Ini menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki kesulitan dalam ibadah puasa, dan bahkan seluruh syariat Islam pada asalnya adalah mudah, lalu jika dalam pelaksanaannya terdapat kesulitan, maka Allah Ta’ala akan mudahkan dalam bentuk pengguguran atau peringanan.

Sekali lagi, dengan demikian pendapat yang menyatakan wajibnya fidiah itulah yang mudah dilakukan bagi ibu hamil atau menyusui yang memiliki uzur untuk tidak berpuasa.

Ibu hamil lebih dekat disamakan dengan orang lanjut usia daripada disamakan dengan orang sakit

Hal itu dikarenakan dalam Al-Quran, Allah mensifati ibu yang hamil dengan dua sifat yang sama dengan dua sifat orang lanjut usia. Sifat ibu yang hamil, yaitu:

Sifat pertama: lemah

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14)

Sifat kedua: susah payah

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Sifat orang lanjut usia:

Sifat pertama: lemah

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

“Dia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku” (QS. Maryam: 4).

Sifat kedua: kurus dan keringnya tulang yang mengandung sifat lemah dan susah payah

 قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا

“Zakaria berkata, ‘Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua’” (QS. Maryam: 8)

“Sangat tua” disini menunjukkan konsekuensi sifat lemah dan susah payah dalam beraktifitas.

Oleh karena itulah, pakar Tafsir di kalangan tabi’in, Mujahid dan Qotadah dan Imam Thabari  rahimahumullah menafsirkan عِتِيًّا dalam ayat di atas dengan: kurus dan keringnya tulang [3], yang menunjukkan status sangat tua dan berkonsekuensi sifat lemah dan susah payah dalam berakifitas sebagaimana layaknya orang yang sudah sangat tua.

Dengan demikian, wanita hamil lebih dekat disamakan dengan orang lanjut usia yang kewajibannya ketika dia tidak berpuasa Ramadhan adalah fidiah, dibandingkan jika disamakan dengan orang sakit yang kewajibannya ketika dia tidak berpuasa Ramadhan adalah qodho’.

Kesimpulan

Pendapat terkuat adalah wanita hamil atau menyusui jika tidak puasa karena uzur syar’i hamil atau menyusui, maka wajib menunaikan fidiah saja, dan ini pendapat dua sahabat yang mulia, yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma serta pendapat para imam dari kalangan tabi’in, seperti Sa’id bin Al-Musayyib (tentang wanita hamil), Sa’id bin Jubair (tentang wanita hamil), Al-Qosim bin Muhammad (tentang wanita hamil), Atha’, Mujahid, Thawus, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’i (tentang wanita hamil), As-Suddi (tentang wanita menyusui) serta selain mereka, seperti Ishaq bin Rohawaih [4]. Dan di antara ulama zaman-zaman ini adalah Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ali Hasan Al-Halabi rahimahumullah. 

Baca Juga:

Penulsi: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki

[1] Jami’ Ahkamin Nisa’, Jilid 5.

[2] Shifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan, Syaikh Ali Hasan & Syaikh Salim Al-Hilali, hal : 85.

[3] Tafsir Al-Baghawi, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Ath-Thabari rahimahumullah.

[4] Al-Istidzkar, Mushannaf Abdur Razzaq, Tafsir Ath-Thabari (https://www.almoslim.net/node/280212).

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/63349-wajibkah-fidyah-bagi-wanita-hamil-atau-menyusui-jika-tidak-puasa-ramadhan-bag-3.html