SEMALAM kami ditraktir sahabatnya Mat Kelor makan di DEHAPPY SEA FOOD HALAL AND PORK FREE di Penang Malaysia. Di sinilah saya pertama kali merasakan sirip ikan hiu. Status ini tentu bukan tentang menu makanan itu, melainkan tentang obrolan penuh hikmah di meja makan itu. Ada juga sih hubungannya dengan makanan. Kisah ini perawinya adalah sahabat Mat Kelor itu, Pak Haji Adri.
Saat makan malam di suatu restoran, satu keluarga sedikit agak dibuat malu oleh salah seorang ibu, anggota keluarga, yang meminta pramusaji untuk membungkus sisa makanan. Memang ada dilema, tak dibungkus ya eman karena mahal dan enak, dibungkus ya agak malu karena menurunkan gengsi. Pro kontra terjadi di meja makan itu. Hmmm, bukan hanya di kantor dan di panggung politik, di manapun ada pro kontra.
Di meja sebelah juga terjadi pro dan kontra. Namun rupanya pertimbangan gengsi menjadi pertimbangan utama di samping pertimbangan eman juga akan sisa makanan yang mahal itu. Seorang pria berkulit hitam di meja itu berkata pada staff restoran: “Eee, tolong ini dibungkus sisa makanan ini. Akan saya kasihkan pada anjing saya di rumah.” Pria itu merasa gengsinya terjaga karena sisa makanan itu dinyatakan untuk anjingnya, padahal aslinya untuk dirinya.
Kedua keluarga itu pulang dari restoran dengan tetap membahas pro kontra. Sesampainya di rumah, makanan sisa yang dibawa ibu itu tak langsung dimakan karena masih merasa malu walau akhirnyapun dimakan. Sementara sisa makanan yang dibawa pria meja kedua tadi juga tak jadi dimakan karena kaget. Kaget kenapa? Rupanya karena sisa makanan itu bercampur dengan banyak tulang ikan dan tulang sapi dan kambing. Pria itu marah, menelpon restoran bertanya mengapa bercampur dengan banyak tulang. Dijawabnya: “Lho katanya untuk anjing?” Pria itu terdiam.
Jangan berbohong hanya karena jaga gengsi. Kemuliaan diri dan harga diri itu ada bedanya juga. Kejujuran adalah kemuliaan. Salam, AIM. [*]