Mulanya, tak pernah tebersit sedikit pun keinginan di benak pemilik nama lengkap Ita Meigavitri ini untuk memeluk Islam. Bahkan, perempuan berdarah Tionghoa yang akrab disapa Ita ini mengaku benci luar biasa dengan orang Islam. “Saya benci sekali. Yang terdoktrin dalam otak saya, Islam itu agama yang senang ribut dan ribet,” kata dia.
Latar belakang perempuan asal Kutoarjo ini semakin mengkristalkan kebenciannya terhadap risalah Muhammad SAW ini. Sulung dari enam bersaudara ini adalah orang pertama dari keluarga besarnya yang masuk Katolik. Orang tuanya semula menganut Konghucu.
Berikut cerita Ita dalam memperoleh hidayah Islam:
Mencari Kesalahan Alquran
Ita memeluk Katolik lantaran sejak TK-SMA bersekolah di lembaga pendidikan Katolik. Setelah Ita dibaptis, barulah ayah ibu dan adik-adiknya mengikuti jejak masuk Katolik. “Saya tidak sekadar duduk sebagai umat, tapi menjadi bagian dari tim sukses gereja,” ungkap Ita. Dia aktif menjadi putra-putri altar di gereja.
Seolah takdir Allah SWT menuntun, selepas kuliah dia bekerja di lingkungan Muslim. Alumnus S-2 Universitas Tarumanegara itu berprofesi sebagai advokat. Ita mengaku, dia berambisi ‘mengkristenkan’ teman kerjanya. Identitas kekristenan dengan bangga dia perlihatkan. “Saya selalu membuat tanda salib. Tanda salib itu simbol kemenangan bagi umat Katolik,” tutur dia.
Tindakan itu membuat risih teman Muslimnya. Mereka pun berbalik menyerang agama Katolik yang dianut Ita. Dia tak terima. Ia mengajukan pembelaan. “Heh, yang salah itu agamamu. Islam itu agama paling tidak rasional,” sahut Ita.
Merasa jengkel, perempuan itu pun pergi ke toko buku mencari Alquran. Dia beli Alquran cetakan paling besar. Ita mengira itu edisi yang paling lengkap. Sampai di rumah, dia membukanya dan terheran. Tulisan macam apa ini. Dia tidak dapat membaca! Ita sempat marah, tapi segeralah dia kembali ke toko buku. Dia tukar dengan Alquran tafsir terjemahan.
Ambisinya hanya satu, yaitu mencari kesalahan Alquran dan menunjukkannya kepada kolega Muslimnya. Namun, Allah Maha Membalikkan hati seorang hamba. Perempuan itu malah jatuh hati. Dia merasa tidak ada satu pun kalimat yang salah atau kontradiktif dalam Alquran. Seketika, dia tergelitik kembali mendalami Injil yang selama 33 tahun belum pernah ia kaji serius.
Giliran membuka Alkitab, Ita kaget luar biasa. Dia terantuk pada satu ayat dalam Imamat 11. Ayat itu menyebutkan, haram bagimu makan babi dan binatang berkuku belah lain. Bahkan, bangkainya pun jangan kamu sentuh. Ita heran, merasa selama ini umat Katolik sah-sah saja makan daging anjing dan babi. Setelah itu, Ita makin bernafsu membuka Alkitab.
Singkatnya, ia menemukan 17 alasan masuk Islam. Menurut dia, Yesus pun mengajarkan dua kalimat syahadat. Yesus tidak pernah menyebut dirinya Tuhan dan menyuruh manusia menyembah hanya kepada Allah. Sama seperti Alquran, Alkitab mengajarkan khitan, berwudhu, mandi junub, berjilbab, shalat menghadap ke kiblat, hukum qisas, dan larangan membungakan uang. “Bukan Alkitab yang salah, tapi penerapannya yang tidak pas,” kata Ita.
Jadi Santri
Ita lalu mencari seorang kiai. Dia belajar di salah satu pondok pesantren di Yogyakarta tentang perbandingan agama dan kristologi. Dari situ, dia semakin mantap. Islam adalah agama yang paling baik dan benar. “Semua agama baik, saya setuju. Tapi, maaf, saya tidak setuju dengan dalil yang mengatakan semua agama benar. Karena bagi saya, agama yang benar hanya Islam,” tegas perempuan itu.
Tepat 20 Desember 2008, Ita berikrar syahadat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Tanggal 20 sengaja dia pilih karena takut diajak Natalan ke gereja. Dari Yogyakarta, Ita pergi dengan alasan bertemu klien di Ibu Kota. “Ketika saya mengucap dua kalimat syahadat, saya merasa ada sesuatu yang sejuk sekali masuk ke lubuk hati saya.” Dia tersungkur. Ita yang mulanya sesumbar tidak akan menangis, nyatanya tak kuat menahan deraian air mata.
Selama 15 menit, Ita menangis di depan petugas takmir Istiqlal. Ita teringat dosa-dosanya dulu. Dia ingin bertobat. “Berapa orang sudah saya masukkan ke dalam gereja. Saya menyesal sekali. Sejak itu saya bernazar, hidup atau mati, saya akan terus menyampaikan Islam,” janji dia.
Menikmati Risiko Menjadi Muslim
Pilihan itu bukan tanpa risiko. Tidak ada Muslim di tengah keluarga besar Ita. Ia harus menghadapi seorang diri. Setiap azan berkumandang, dia masuk dan mengunci kamar. Sebagai mualaf, dia hanya shalat bermodalkan hafalan syahadat dan al-Fatihah. Bacaan lain belum ada yang dia hafal. Tapi, Ita tetap berusaha istiqamah.
Tak dinyana, kegiatan ini diamati oleh sang suami. Suaminya heran. Suatu petang, ketika Ita masuk Islam, lelaki itu mengambil kursi dan mengintip lewat jendela. Dia lihat istrinya sedang shalat. “Oalah Ma, gemblung!” seru suaminya.
Mendengar makian sang suami, hati perempuan itu sudah tidak keruan. Keluar dari kamar, Ita langsung disuruh duduk dan disidang. Tiga anaknya ikut dipanggil. Mereka diultimatum supaya tidak ikut-ikutan ‘kegilaan’ ibunya.
“Suami saya bilang, katamu dulu orang Islam bodoh. Mengapa kamu sekarang ketularan bodoh?” kata Ita menirukan. Kepada lelaki itu, Ita menjelaskan dari segi Alkitab. Shalat, jelas Ita, bukan hanya perintah kepada umat Islam. Yang menyuruh dia shalat menghadap kiblat adalah Alkitab. Yang mengajarkan wudhu juga Alkitab. Tapi, lelaki itu tidak bisa terima.
Kabar berislamnya Ita pun akhirnya sampai di keluarga besarnya. Mereka menolak. Keputusannya itu dianggap mempermalukan geraja. Bahkan, ibundanya sempat memanggil rohaniwan dari Wamena untuk ‘mengembalikan’ Ita. “Saya akan ke gereja lagi kalau Romo bisa menemukan Yesus beragama Katolik di Alkitab,” tantang dia.
Tak terhenti di situ, bahtera rumah tangganya dengan sang suami goyah sejak peristiwa itu. Keduanya bercerai. Semua harta dibawa suami. Bermodalkan uang Rp 600 ribu, perempuan Tionghoa itu mengontrak sebuah rumah. “Nelangsa saat itu. Anak saya kebutuhannya besar karena terbiasa hidup enak,” kenang dia. Tapi, Ita berusaha tegar.
Ia hanya mengadu pada Allah. Alhamdulillah, seiring waktu, ia bisa merajut hidup kembali. Ia telah membeli sebuah rumah dan menikah dengan lelaki Muslim. Nikmat itu kian bertambah setelah ketiga anaknya ikut memeluk Islam.
Kini, Ita aktif menjadi seorang pendakwah. Semangatnya semasa Katolik mewaris dalam nadinya setelah masuk Islam. Perempuan itu aktif mengisi pengajian di berbagai tempat. Walau sering mendapat ancaman saat berdakwah, ia tidak surut.
Ita juga mengaku membina puluhan mualaf di rumahnya. Sebagian adalah orang-orang Katolik, Kristen, dan Tionghoa yang terbuang dari keluarga. Belajar dari pengalaman, Ita mengajak setiap Muslim untuk memerhatikan saudara-saudara sesama Muslim yang ada di sekitarnya.