20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah

20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada artikel sebelumnya telah kami jelaskan tiga keindahan bahasa dalam Al-Fatihah, diantaranya:

1. Keindahan maknanya

2. Keindahan akar bahasanya

3. Keindahan statusnya sebagai nama Allah yang teragung

Pada tulisan ini kami akan melanjutkan penjelasan delapan keindahan Al-Qur’an.

Keempat, bentuk pujian yang tertinggi dan menyeluruh untuk Allah Ta’ala semata (Al-Mubaalaghah fits Tsanaa’)

Diantara mutiara keindahan bahasa dalam Al-Fatihah adalah terdapat bentuk pujian yang tertinggi dan menyeluruh untuk Allah Ta’ala semata.

Hal ini didapatkan dengan menerjemahkan alif lam  pada {ٱلۡحَمۡدُ} sebagai alif lam lilistighraaq. Sehingga kita dapat mengartikannya sebagai alif lam yang memiliki cakupan menyeluruh dan meliputi segala bentuk pujian serta syukur yang sempurna dari semua aspek.

Semua pujian dan syukur yang sempurna dikhususkan hanya untuk Allah Ta’ala. Hal tersebut merupakan hak Allah Ta’ala karena hanya Allah Ta’ala yang berhak mendapatkannya. Keistimewaan dan hak Allah Ta’ala ini didapatkan dari makna huruf lam yang ada pada {لِلَّهِ}. Lam disini adalah lilistihqaq wal ikhtishash [1] yang menunjukkan makna hak dan pengkhususan.

Disamping itu, {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} adalah kalimat yang diawali isim (jumlah ismiyyah) yang menunjukkan faedah pujian yang sempurna dan dilakukan secara terus-menerus untuk Allah Ta’ala semata [2].

Kelima, terdapat berbagai kandungan seruan (talwiinul khithaab)

Pada {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} zhahir-nya adalah kalimat berita bahwa Allah Tabaraka wa ta’ala memuji diri-Nya. Namun, maksud  {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} sebenarnya adalah perintah kepada hamba-Nya untuk mengucapkan {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ}. Hal itu dikarenakan dalam berita {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} terkandung pengajaran untuk hamba Allah Ta’ala agar mereka memuji-Nya.

Keenam, rahasia pengkhususan kepemilikan Allah terhadap hari pembalasan

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

“Pemilik Hari Pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 4).

Allah adalah pemilik segala sesuatu, termasuk hari-hari di dalamnya. Namun, di dalam Al-Fatihah dikhususkan bahwa Allah adalah pemilik hari pembalasan. Rahasianya ada beberapa kemungkinan berikut ini:

Pertama, untuk mengagungkan hari tersebut dan menampakkan kengeriannya.

Kedua, menampakkan hanya Allah yang maha memiliki dengan kepemilikan yang hakiki. Pada hari pembalasan itu tidak ada lagi perbedaan antara kepemilikan raja dan rakyat biasa. Seluruh kepemilikan makhluk sirna. Yang tersisa di sana adalah iman dan amal saleh.

Ketujuh, faedah sifat lafaz “Allah” (At-Taqyiid bin Na’ti)

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ (2) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (3) مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ (4)

“(2) Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh alam (3) Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (4) Pemilik Hari Pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 2-4).

Kandungan beberapa ayat ini menunjukkan bahwa Allah disifati dengan empat sifat, yaitu:

Pertama, tuhan yang memelihara seluruh alam;

Kedua, tuhan yang Maha Pengasih;

Ketiga, tuhan yang Maha Penyayang; dan

Keempat, pemilik hari pembalasan.

Kedelapan, pendahuluan dan pengakhiran (At-Taqdiim wat Ta’khiir)

Dalam ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين} terdapat pendahuluan sesuatu yang pada asalnya di akhirkan.

Susunan {إِيَّاكَ نَعْبُدُ} pada asalnya adalah {نعبدك}, dengan mengakhirkan obyek {ك} setelah kata kerjanya {نعبد}. Namun, dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek {إِيَّاك} didahulukan sebelum kata kerjanya {نَعْبُدُ}.

Demikian pula {إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} pada asalnya adalah {نستعين بك}, dengan mengakhirkan obyek {ك} setelah kata kerjanya {نستعين}. Namun, dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek {إِيَّاك} didahulukan sebelum kata kerjanya {نَسْتَعِينُ}. Hal ini menunjukkan faedah pembatasan dan pengkhususan yang diterjemahkan sebagai, “Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah” dan “Hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan”.

Di dalam pembatasan ini terdapat dua rukun tauhid, yaitu meniadakan sesembahan selain Allah (nafi’) dan menetapkan satu-satunya sesembahan yang berhak disembah adalah Allah (itsbat). Inilah hakikat tauhid.

Hanya kepada Allah Ta’ala seluruh peribadatan ditujukan. Tidak boleh mempersembahkan apa pun ibadah kepada selain-Nya. Begitu juga halnya isti’anah (memohon pertolongan) yang termasuk ibadah. Oleh karena itu, wajib memohon pertolongan (isti’anah) hanya kepada Allah Ta’ala saja.

Disamping terdapat faedah pembatasan dan pengkhususan, dalam ayat ini juga terdapat faedah pengagungan dan perhatian besar. Biasanya bangsa Arab itu mendahulukan sesuatu yang terpenting sehingga layak diagungkan dan diperhatikan dengan sebesar-besarnya.

Kesembilan, rahasia pendahuluan ibadah daripada isti’anah

Dalam {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} terdapat pendahuluan ibadah daripada isti’anah. Faedanya antara lain:

Pertama, isti’anah dibutuhkan dalam setiap ibadah.

Kedua, mendahulukan hak Allah (mendapatkan persembahan ibadah) daripada hak makhluk.

Ketiga, mendahulukan tujuan (ibadatullah) sebelum sarana (isti’anah billah).

Keempat, mendahulukan ibadah secara umum daripada ibdah khusus (isti’anah billah).

Kesepuluh, rahasia pengulangan {إِيَّاكَ} pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat ini terdapat dua kata kerja yang berbeda sehingga masing-masing membutuhkan penegasan dan perhatian. Pengulangan {إِيَّاكَ} pada ayat ini mengandung dua faedah, yaitu:

Pertama, penegasan kekhususan Allah atas hak-Nya disembah dan hak-Nya tempat meminta pertolongan (isti’anah).

Kedua, kenikmatan dalam bermunajat kepada Allah dan menyeru kepada-Nya dengan mengulangnya hingga dua kali.

Kesebelas, rahasia penyebutan kata kami pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} disebutkannya kata kami. Konteks kalimat ini adalah menampakkan penghambaan dan rasa butuh kepada Allah Ta’ala. Selain itu, ayat ini menampakkan pengakuan bahwa diri seorang hamba membutuhkan penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan meminta hidayah-Nya. Tentulah dalam kondisi ini yang cocok seorang hamba menyatakan kami daripada saya.

Lebih cocok seorang hamba menyatakan bahwa, “Kami, seluruh makhluk adalah hamba-Mu & ciptaan-Mu, kami semua menyembah-Mu semata dan memohon pertolongan kepada-Mu saja”. Tidaklah pantas seorang hamba dalam kondisi ini mengatakan, “Hanya saya saja hamba-Mu dan ciptaan-Mu, saya menyembah-Mu semata dan memohon pertolongan kepada-Mu saja”.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73267-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-2.html