20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 3)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

  1. Perintah, namun maksudnya adalah doa

Pada ayat {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم} terdapat perintah : “Tunjukilah kami jalan yang lurus”, dan “Tunjukilah” disini adalah kata perintah, namun maksudnya bukan untuk memerintah, tapi untuk memohon atau berdoa, yaitu “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu petunjuk jalan yang lurus”.

  1. Rahasia kata kerja berobjek tanpa ditambahi dengan huruf jar

Pada ayat {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم}, terdapat kata kerja perintah yang memiliki dua obyek : “kami” dan “Ash-Shiroth Al-Mustaqim”, dan antara kata kerja perintah { ٱهۡدِ } dan obyek { ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم}tidak diiringi dengan huruf jar sebagaimana pada ayat lainnya.

Rahasianya adalah firman Allah Ta’ala (ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) ini mengandung makna yang menyeluruh, yaitu mengandung :

1) اِهْدِنَا إلى الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم , yaitu teguhkanlah kami di atas agama Islam (jalan lurus).

2) اِهْدِنَا في الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم , yaitu tunjukilah kami perincian agama Islam baik ilmu Syar’i maupun pengamalannya.[1]

Disamping juga mengandung makna permohonan ilmu Syar’i dan amal shaleh sehingga maksud keseluruhan ayat ini adalah

Teguhkanlah kami di atas agama Islam, di atas jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman, serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya, serta anugerahkanlah ilmu Syar’i dan pengamalannya.

  1. Memohon sesuatu yang maksudnya BUKANLAH agar didapatkannya sesuatu tersebut

Dalam ayat ke-6, terdapat permohonan kepada Allah terhadap sesuatu yang maksudnya bukanlah agar didapatkannya sesuatu tersebut, namun seorang hamba yang telah mendapatkan sesuatu tersebut bertujuan agar sesuatu yang didapatkan itu langgeng dan bertambah sehingga sempurna.

Allah Ta’ala berfirman :

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Maksudnya bukanlah agar diberi petunjuk masuk kedalam agama Islam (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim), namun maksudnya adalah teguhkanlah kami di atas agama Islam di atas jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga langgeng sampai meninggal dunia dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman, serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya.

  1. Adanya kalimat penjelasan setelah kalimat sebelumnya yang belum dijelaskan (At-Tashrih ba’dal ibham) dan kalimat perincian setelah kalimat global (At- Tafshiil ba’dal ijmaal)

Hal ini didapatkan pada ayat ke-6 {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم} yang bemakna : Tunjukilah kami jalan yang lurus.

Pada ayat ini belum dijelaskan apa itu “Jalan Lurus”, lalu pada ayat selanjutnya (ke-7) barulah dijelaskan :

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Oleh karena itulah, ulama Bahasa Arab ada yang menyatakan kata Shiraath yang terdapat dalam { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ } bisa dipahami sebagai ‘athaf bayaan (penggabungan berfungsi penjelasan) [2], sehingga faedahnya adalah sebagai penjelasan pada ayat sebelumnya.

Dengan demikian, disamping faedah penjelasan setelah kalimat sebelumnya yang tidak dijelaskan (At-Tashrih ba’dal ibham), juga terdapat faedah perincian setelah kalimat global (At- Tafshiil ba’dal ijmaal), karena dalam ayat terakhir dirinci apa itu Ash-Shiraath Al-Mustaqiim (jalan lurus).

Hikmah penjelasan & perincian setelah disebutkan kalimat global

-Seorang yang membaca ayat ke-6 yang masih global akan menunggu-nunggu dan penasaran terhadap penjelasan & perinciannya pada ayat ke-7, sehingga ketika ia membaca ayat ke-7 akan siap jiwa dan pikirannya dalam merenungi kandungannya dan demikian besar perhatiannya terhadap ayat tersebut.

-Dan hal ini semua sangat membantu pemahaman pembacanya, karena disamping ayat ke-7 mengandung keterangan yang jelas dengan rinci, juga hati, pikiran, jiwa dan perhatiannya telah siap merenunginya.

  1. Rahasia badal yang ada pada { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ}

Ulama Bahasa Arab menyatakan kata Shiraath yang terdapat dalam { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ } disamping bisa dipahami sebagai ‘athaf bayaan (penggabungan berfungsi penjelasan), bisa juga dibawakan sebagai badal (pengganti).

Dibawakan sebagai badal (pengganti), dengan maksud menegaskan makna, karena mengandung makna pengulangan

{ ٱهۡدِنَا }, seolah-olah kalimatnya adalah

اهدِنا الصِّراط المستقيم، اهدِنا صراطَ الذين أنعمۡت علیهم

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Tunjukilah kami jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat”.

Sehingga menegaskan benar-benar bahwa Ash-Shiraath Al-Mustaqiim (jalan lurus) adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat, yaitu jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum[3], maka ikutilah mereka, dan janganlah menjadi orang yang menyelisihi jalan mereka.[4]

  1. Rahasia Al-Hadzfu : Tidak disebutkannya kata (صِرَ ٰ⁠طَ) pada { غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّین }

Pada asalnya kalimat pada ayat terakhir ini disebutkan kata (صِرَ ٰ⁠طَ) dua kali, yaitu :

غير صراط المغضوب عليهم، وغير صراط الضالين

Hal ini mengandung keindahan bahasa, karena menjadi singkat namun padat makna dan mudah dipahami dengan gaya bahasa yang mengandung keterikatan makna yang selaras.

  1. Rahasia perpindahan seruan (al-iltifaat) pada { غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ}

Allah Ta’ala berfirman :

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai.

Pada ayat { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ} itu dinyatakan dengan jelas pemberi nikmat adalah Allah Ta’ala, karena kata ganti { أَنۡعَمۡتَ } adalah “Engkau”, namun pada kelanjutan dari ayat tersebut, yaitu : { غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ}, tidak disebutkan siapa yang murka, hanya disebutkan keterangan “bukan jalan orang-orang yang dimurkai”.

Rahasia semuanya adalah dihindarkan penyandaran murka kepada Allah itu sebagai bentuk adab dan kesantunan yang tinggi kepada Allah, Tuhan Yang Menciptakan dan Mengatur seluruh makhluk.

  1. Rahasia perpindahan seruan (al-iltifaat) pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat ke-1 sampai ke-4, disebutkan pihak ketiga (dhamiir ghaibah), yaitu pihak yang dibicarakan atau diberitakan,

Allah Ta’ala berfirman :

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (1) ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ (2) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (3) مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ (4)

  1. Dengan menyebut hanya seluruh nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
  2. Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh alam,
  3. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
  4. Pemilik Hari Pembalasan.

Pada ayat-ayat ini, dikhabarkan tentang Allah Ta’ala dengan bentuk dhamiir ghaibah (pihak ketiga, pihak yang sedang dikhabarkan)

Sedangkan pada ayat ke-5, seruan (khithaab) ditujukan kepada pihak kedua (mukhaathab), yaitu pihak yang diajak bicara, yaitu Allah Ta’ala, yang diungkapkan dengan {كَ} artinya : “Engkau” :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ  (5)

Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.

Padahal bisa saja pada seruan (khithaab) ayat ke-5 ditujukan kepada pihak ketiga  “Dia” :

إِيّاه نعبد وإِيّاه نستعينُ

“Hanya kepada Dia-lah kami menyembah dan hanya kepada Dia-lah kami mohon pertolongan”.

Namun Allah Ta’ala tidak berfirman begitu, tetapi beralih dari pihak yang sedang dibicarakan “Dia” (pada ayat ke-1 sampai ke-4) kepada pihak yang diajak bicara “Engkau” (pada ayat ke-5).

Ini adalah sebuah keindahan bahasa yang mengagumkan, karena lebih mengena di hati seorang hamba yang membacanya, lebih merasa dekat dengan Allah Ta’ala, karena setelah seseorang memuji Allah Ta’ala pada ayat pertama sampai keempat dengan dhamiir ghaibah, lalu seolah-olah hamba tersebut hadir dihadapan Allah dan ia menyatakan kepada Allah : Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.

  1. Kesamaan akhir kata dalam hal timbangan kata (wazan) dan huruf sya’ir (rowiy)

Misalnya :

}بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ……ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ…..ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ{

Lihatlah pada ayat-ayat di atas, ada kesamaan pada akhir kata pada setiap ayat, demikian pula pada kumpulan ayat-ayat di bawah ini :

} ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ….مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ….إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ….صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ{

Tentulah orang yang memahami ilmu Balaghah, khsususnya tentang seluk beluk sya’ir dalam Bahasa Arab akan sadar bahwa Al-Fatihah ini bukan sya’ir buatan manusia, Al-Fatihah adalah wahyu Allah, firman-Nya yang tidak ada sedikitpun aib dan kekurangsempurnaan padanya. Bahkan ia akan bisa merasakan keindahan yang mengagumkan dan sempurna pada surat yang paling agung dalam Al-Qur’an Al-Karim, Al-Fatihah !!

Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

Referensi Pokok

  1. Rawa’iul Bayan, Muhammad Ash-Shabuni rahimahullah.
  2. https://dorar.net/tafseer/1/1bvg
  3. Tafsir Abu Hayan rahimahumallah.
  4. I’rabul Qur’an, Ad-Darwisy rahimahumullah
  5. Dalilul hairan ‘ala maurizh zham’an, Ibrahim At-Tunisi rahimahullah
  6. Syarah Tsalatsatul Ushul, Al-‘Utsaimin rahimahumullah,
  7. Al-Bayan fi Gharib I’rabil Qur’an, Al-Anbari rahimahullah
  8. Ad-Durrul Mashuun, Al-Halabi rahimahumullah
  9. Fathul Majid, Abdur Rahman Alusy Syaikh rahimahullah.
  10. At-Tamhid, Shaleh Alusy Syaikh rahimahullah.
  11. Tafsir Ibnu ‘Asyur rahimahumallah.
  12. Tafsir As-Sa’di rahimahullah
  13. Tafsir Abu Su’ud rahimahullah

[1]  Lihat Tafsir As-Sa’di rahimahullah dan Tafsir Al-Utsaimin rahimahullah di https://tafsir.app/ibn-uthaymeen/1/6 dan Ibnul Anbari rahimahullah di https://tafsir.app/zad-almaseer/1/6

[2] . Tafsir Abu Su’ud & Tafsir Ibnu ‘Asyur rahimahullah

[3] . Tafsir Ahli Tafsir dari kalangan Tabi’ut Tabi’in, Abdur Rahman bin Zaid rahimahullah

[4]  https://bit.ly/3uTKI6d

Sumber: https://muslim.or.id/73269-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-3.html

20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada artikel sebelumnya telah kami jelaskan tiga keindahan bahasa dalam Al-Fatihah, diantaranya:

1. Keindahan maknanya

2. Keindahan akar bahasanya

3. Keindahan statusnya sebagai nama Allah yang teragung

Pada tulisan ini kami akan melanjutkan penjelasan delapan keindahan Al-Qur’an.

Keempat, bentuk pujian yang tertinggi dan menyeluruh untuk Allah Ta’ala semata (Al-Mubaalaghah fits Tsanaa’)

Diantara mutiara keindahan bahasa dalam Al-Fatihah adalah terdapat bentuk pujian yang tertinggi dan menyeluruh untuk Allah Ta’ala semata.

Hal ini didapatkan dengan menerjemahkan alif lam  pada {ٱلۡحَمۡدُ} sebagai alif lam lilistighraaq. Sehingga kita dapat mengartikannya sebagai alif lam yang memiliki cakupan menyeluruh dan meliputi segala bentuk pujian serta syukur yang sempurna dari semua aspek.

Semua pujian dan syukur yang sempurna dikhususkan hanya untuk Allah Ta’ala. Hal tersebut merupakan hak Allah Ta’ala karena hanya Allah Ta’ala yang berhak mendapatkannya. Keistimewaan dan hak Allah Ta’ala ini didapatkan dari makna huruf lam yang ada pada {لِلَّهِ}. Lam disini adalah lilistihqaq wal ikhtishash [1] yang menunjukkan makna hak dan pengkhususan.

Disamping itu, {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} adalah kalimat yang diawali isim (jumlah ismiyyah) yang menunjukkan faedah pujian yang sempurna dan dilakukan secara terus-menerus untuk Allah Ta’ala semata [2].

Kelima, terdapat berbagai kandungan seruan (talwiinul khithaab)

Pada {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} zhahir-nya adalah kalimat berita bahwa Allah Tabaraka wa ta’ala memuji diri-Nya. Namun, maksud  {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} sebenarnya adalah perintah kepada hamba-Nya untuk mengucapkan {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ}. Hal itu dikarenakan dalam berita {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} terkandung pengajaran untuk hamba Allah Ta’ala agar mereka memuji-Nya.

Keenam, rahasia pengkhususan kepemilikan Allah terhadap hari pembalasan

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

“Pemilik Hari Pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 4).

Allah adalah pemilik segala sesuatu, termasuk hari-hari di dalamnya. Namun, di dalam Al-Fatihah dikhususkan bahwa Allah adalah pemilik hari pembalasan. Rahasianya ada beberapa kemungkinan berikut ini:

Pertama, untuk mengagungkan hari tersebut dan menampakkan kengeriannya.

Kedua, menampakkan hanya Allah yang maha memiliki dengan kepemilikan yang hakiki. Pada hari pembalasan itu tidak ada lagi perbedaan antara kepemilikan raja dan rakyat biasa. Seluruh kepemilikan makhluk sirna. Yang tersisa di sana adalah iman dan amal saleh.

Ketujuh, faedah sifat lafaz “Allah” (At-Taqyiid bin Na’ti)

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ (2) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (3) مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ (4)

“(2) Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh alam (3) Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (4) Pemilik Hari Pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 2-4).

Kandungan beberapa ayat ini menunjukkan bahwa Allah disifati dengan empat sifat, yaitu:

Pertama, tuhan yang memelihara seluruh alam;

Kedua, tuhan yang Maha Pengasih;

Ketiga, tuhan yang Maha Penyayang; dan

Keempat, pemilik hari pembalasan.

Kedelapan, pendahuluan dan pengakhiran (At-Taqdiim wat Ta’khiir)

Dalam ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين} terdapat pendahuluan sesuatu yang pada asalnya di akhirkan.

Susunan {إِيَّاكَ نَعْبُدُ} pada asalnya adalah {نعبدك}, dengan mengakhirkan obyek {ك} setelah kata kerjanya {نعبد}. Namun, dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek {إِيَّاك} didahulukan sebelum kata kerjanya {نَعْبُدُ}.

Demikian pula {إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} pada asalnya adalah {نستعين بك}, dengan mengakhirkan obyek {ك} setelah kata kerjanya {نستعين}. Namun, dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek {إِيَّاك} didahulukan sebelum kata kerjanya {نَسْتَعِينُ}. Hal ini menunjukkan faedah pembatasan dan pengkhususan yang diterjemahkan sebagai, “Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah” dan “Hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan”.

Di dalam pembatasan ini terdapat dua rukun tauhid, yaitu meniadakan sesembahan selain Allah (nafi’) dan menetapkan satu-satunya sesembahan yang berhak disembah adalah Allah (itsbat). Inilah hakikat tauhid.

Hanya kepada Allah Ta’ala seluruh peribadatan ditujukan. Tidak boleh mempersembahkan apa pun ibadah kepada selain-Nya. Begitu juga halnya isti’anah (memohon pertolongan) yang termasuk ibadah. Oleh karena itu, wajib memohon pertolongan (isti’anah) hanya kepada Allah Ta’ala saja.

Disamping terdapat faedah pembatasan dan pengkhususan, dalam ayat ini juga terdapat faedah pengagungan dan perhatian besar. Biasanya bangsa Arab itu mendahulukan sesuatu yang terpenting sehingga layak diagungkan dan diperhatikan dengan sebesar-besarnya.

Kesembilan, rahasia pendahuluan ibadah daripada isti’anah

Dalam {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} terdapat pendahuluan ibadah daripada isti’anah. Faedanya antara lain:

Pertama, isti’anah dibutuhkan dalam setiap ibadah.

Kedua, mendahulukan hak Allah (mendapatkan persembahan ibadah) daripada hak makhluk.

Ketiga, mendahulukan tujuan (ibadatullah) sebelum sarana (isti’anah billah).

Keempat, mendahulukan ibadah secara umum daripada ibdah khusus (isti’anah billah).

Kesepuluh, rahasia pengulangan {إِيَّاكَ} pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat ini terdapat dua kata kerja yang berbeda sehingga masing-masing membutuhkan penegasan dan perhatian. Pengulangan {إِيَّاكَ} pada ayat ini mengandung dua faedah, yaitu:

Pertama, penegasan kekhususan Allah atas hak-Nya disembah dan hak-Nya tempat meminta pertolongan (isti’anah).

Kedua, kenikmatan dalam bermunajat kepada Allah dan menyeru kepada-Nya dengan mengulangnya hingga dua kali.

Kesebelas, rahasia penyebutan kata kami pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} disebutkannya kata kami. Konteks kalimat ini adalah menampakkan penghambaan dan rasa butuh kepada Allah Ta’ala. Selain itu, ayat ini menampakkan pengakuan bahwa diri seorang hamba membutuhkan penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan meminta hidayah-Nya. Tentulah dalam kondisi ini yang cocok seorang hamba menyatakan kami daripada saya.

Lebih cocok seorang hamba menyatakan bahwa, “Kami, seluruh makhluk adalah hamba-Mu & ciptaan-Mu, kami semua menyembah-Mu semata dan memohon pertolongan kepada-Mu saja”. Tidaklah pantas seorang hamba dalam kondisi ini mengatakan, “Hanya saya saja hamba-Mu dan ciptaan-Mu, saya menyembah-Mu semata dan memohon pertolongan kepada-Mu saja”.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73267-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-2.html

20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Al-Qur’an dan Al-Fatihah

Al-Qur’an Al-Karim adalah kitabullah yang paling sempurna diantara seluruh kitab-Nya. Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, yang merupakan bahasa paling sempurna. Al-Qur’an tentunya memiliki mutu bahasa yang paling tinggi. Tata bahasa Al-Qur’an, gaya bahasa Al-Qur’an, dan keindahan bahasa Al-Qur’an memiliki nilai tertinggi karena Al-Qur’an adalah kalamullah yang paling sempurna. Tidak ada satu pun yang menyamai Al-Qur’an, apalagi mengalahkannya.

Al-Fatihah merupakan salah satu surah di dalam Al-Qur’an. Keindahan surah Al-Fatihah tentunya memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan surah lainnya. Surah Al-Fatihah juga merupakan surah paling utama dalam Al-Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا أُنْزِلَتْ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا

“Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidaklah diturunkan dalam At-Taurah, Al-Injil, Az-Zabuur, dan Al-Furqan (Al-Qur’an), semulia Al-Fatihah” (HR. At-Tirmidzi, sahih).

Al-Fatihah memiliki banyak keutamaan

Surah Al-Fatihah memiliki banyak nama. Surah Al-Fatihah disebut juga dengan nama Ummul Qur’an (induk Al-Qur’an), Ummul Kitab (induk kitabullah), dan masih banyak nama lainnya. Imam As-Suyuthi Rahimahullah menyebutkan ada 25 nama untuk surah Al-Fatihah.

Surah Al-Fatihah mengandung tujuan Al-Qur’an yang terbesar, yaitu penetapan tauhid, janji dan ancaman, perintah dan larangan Allah dalam hal ibadah, jalan kebahagiaan dan bagaimana melaluinya, dan kisah-kisah orang yang melanggar hukum Allah. Al-Fatihah juga mencakup tiga macam tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma’ wa sifat.

Surah Al-Fatihah dapat menjadi obat untuk hati dan badan. Surah Al-Fatihah juga mengandung doa terpenting dan mengandung sebab terkabulkannya doa. Masih banyak keistimewaan surah ini sehingga tidak heran jika para ulama Rahimahumullah memberi perhatian yang khusus terhadapnya.

Para ulama membuat penjelasan ilmiah dan pengamalan terkait surah Al-Fatihah. Ulama melakukan hal tersebut dikarenakan surah Al-Fatihah mengandung prisnsip-prinsip keimanan yang dibutuhkan oleh setiap muslim dan muslimah. Oleh karena itu, surah Al-Fatihah benar-benar surah yang paling istimewa.

Keindahan Bahasa Al-Fatihah

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (١) ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ (٢) ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (٣) مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ (٤) إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ (٥) ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ (٦) صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ (٧)

“(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (2) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (3) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (4) Yang menguasai di Hari Pembalasan. (5) Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (6) Tunjukilah kami jalan yang lurus, (7) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” (QS. Al-Fatihah: 1-7).

Indahnya pembukaan surah Al-Fatihah

Pembukaan surah Al-Fatihah sangat indah karena diawali dengan menyebut seluruh nama Allah Ta’ala dan pujian kepada-Nya dengan berbagai sifat ketuhanan yang sempurna. بِسْمِ اللّٰهِ mengandung makna, “Saya memulai bacaan ini dengan menyebut hanya seluruh nama Allah sembari memohon pertolongan dan keberkahan kepada-Nya.”

Alasan diartikan sebagai “seluruh nama Allah” karena adanya kata tunggal ismun yang disandarkan kepada lafaz Allah yang menunjukkan makna umum, seluruh nama Allah. Apabila isim mufrod (tunggal) disandarkan kepada isim lainnya, maka akan menunjukkan makna umum yang cakupannya menyeluruh.

Rahasia huruf ba’ yang ada dalam ayat pertama

Mengucapkan { بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ } hakikatnya adalah memohon pertolongan dan keberkahan kepada Allah Ta’ala.

Huruf ba’ dalam ayat ini adalah ba’ lilisti’anah. Maknanya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala semata. Segala permohonan pertolongan kepada Allah semata pasti memohon keberkahan dari Allah juga. Keberkahan adalah kebaikan yang banyak dan tetapnya kebaikan tersebut. Tentu saja permohonan pertolongan seorang hamba kepada Allah Ta’ala hakikatnya memohon pertolongan terbaik sehingga mengandung keberkahan.

Makna ayat pertama adalah, “Saya mulai bacaanku dengan hanya [1] menyebut seluruh nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang sembari memohon pertolongan dan keberkahan kepada-Nya dalam bacaanku ini [2].”

Rahasia yang mengagumkan dalam lafzhul jalaalah “الله”

Dalam lafzhul jalaalah “الله” terdapat beberapa keindahan bahasa yang mengagumkan, yaitu:

Pertama, keindahan maknanya

“الله” adalah salah satu dari nama-nama-Nya yang paling indah (al-asma’ul husna). Sifat yang terkandung dalam nama “الله” adalah sifat al-uluhiyyah karena setiap nama-Nya pasti mengandung sifat-Nya.

Ulama tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas Radiyallahu‘anhuma, berkata ketika menjelaskan makna nama “الله”,

الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين

“Allah adalah Yang memiliki hak untuk diibadahi atas seluruh makhluq-Nya.”

Inilah yang disebut dengan sifat al-uluhiyyah (berhak untuk diibadahi/disembah).

Kedua, keindahan akar bahasanya

Menurut Al-Kisaa’i dan Al-Farraa’ Rahimahumullah [3] bahwa lafzhul jalaalah “الله” asalnya dari الإله dengan hamzah yang dihilangkan. Kemudian di-idgham-kan huruf lam yang satu ke lam yang lainnya. Sehingga menjadi satu lam saja, namun ber-tasydid dan dibaca tebal.

Sebagian ahli bahasa menyebutkan ditebalkan (di-tafkhim) dalam membaca “الله” dalam rangka mengagungkan Allah Ta’ala.

Hamzah setelah alif lam dihilangkan dari lafzhul jalaalah “الله” karena hamzah itu berat diucapkan oleh lisan Arab jika letaknya di tengah kata [4].

Alif (setelah lam sebelum ha’) dihilangkan dalam penulisan lafzhul jalaalah “الله”, meski tetap ada saat diucapkan. Ini merupakan pendapat terkuat menurut para ulama. Dikarenakan lafzhul jalaalah “الله” banyak diucapkan dan ditulis, sehingga diringankan dalam penulisannya dengan cara menghilangkan alif dari lafzhul jalaalah “الله”.

Sebagaimana dihilangkan alif (setelah mim sebelum nun) dalam penulisan الرحمن, maka huruf alif (setelah lam sebelum ha’) dihilangkan juga dalam penulisan إله dan اللهم, meski tetap ada saat diucapkan [5].

Az-Zujaji Rahimahullah berpendapat bahwa alif lam ta’riif dimasukkan pada awal lafzhul jalaalah “الله” untuk menunjukkan bahwa Allah adalah tuhan yang haqq. Lafaz إله itu umum penggunaannya sehingga bisa untuk tuhan yang haqq dan bisa juga untuk tuhan yang batil. Sedangkan lafzhul jalaalah “الله” hanya untuk nama bagi tuhan yang haqq, yaitu Allah Ta’ala semata [6].

Adapun الإله disini mengikuti wazan فعال yang maknanya adalah sesembahan (yang berhak disembah). Hal ini berdasarkan qira’ah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,

وَقَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اَتَذَرُ مُوْسٰى وَقَوْمَهٗ لِيُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَيَذَرَكَ وَاٰلِهَتَكَۗ

“Dan para pemuka dari kaum Fir‘aun berkata, ‘Apakah engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu dan tuhan-tuhanmu?‘” (QS. Al-A’raf: 127).

Ini adalah qiro’ah yang terkenal di tengah-tengah kaum muslimin. Akan tetapi, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma membacanya dengan salah satu dari Qiro’ah Sab’ah lainnya, yaitu (وَيَذَرَكَ وَ إِلاَهَتَكَ) yang artinya, “dan meninggalkanmu serta penyembahan terhadap dirimu”. Apabila dua macam qiro’ah ini digabungkan, maka akan menunjukkan bahwa beliau memahami makna الإله sebagai sesembahan (yang berhak disembah) [7].

Ketiga, keindahan statusnya sebagai nama Allah yang teragung

Nama “الله” adalah nama-Nya yang paling agung [8]. Seluruh nama Allah Ta’ala yang lain merupakan turunan dari nama “الله”.

“الله” adalah nama Allah yang khusus bagi-Nya dan mengandung sifat al-uluhiyyah (berhak diibadahi). Tidak boleh makhluk bernama dengan nama tersebut dan tidak boleh pula makhluk bersifat dengan sifat yang terkandung di dalamnya.

Nama “الله” adalah nama Allah yang paling agung dan asal dari seluruh nama-nama Allah yang lain. Dengan demikian, seluruh nama-nama Allah yang lain disandarkan kepada nama “الله”. Nama Allah yang lain digunakan untuk menyifati nama “الله”.

Nama “الله” menunjukkan kepada seluruh nama-nama yang lain secara global. Sedangkan nama-nama Allah yang lain adalah perincian dan penjelasan makna nama “الله”.

Allah disifati dengan sifat al-uluhiyyah (berhak diibadahi) karena menunjukkan bahwa Allah Mahasempurna dalam segala sifat-sifat-Nya. Konsekuensi nama “الله” itu menunjukkan kepada seluruh nama dan sifat Allah lainnya.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73265-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-1.html