Album Penyanyi Inggris Ini Laris Berkat Lirik Keislaman

Penyanyi muda asal Inggris Harris J berhasil memadukan musik pop dengan lirik keislaman. Karyanya pun berhasil menarik ribuan penggemar Muslim dari seluruh dunia.

“Saya hanya ingin bermusik dengan cara yang berbeda. Membicarakan tentang hal-hal yang sehat secara moral akan memberikan manfaat bagi mereka yang mendengarkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Harris J seperti dikutip Onislam.net, Kamis (29/10).

Bintang berusia 18 tahun ingin musiknya bisa membuat perubahan terhadap oranglain, khususnya para remaja yang mendengarkan musiknya.

Pria kelahiran Chelsea, London ini memiliki bakat alami dalam bernyanyi. Harris pertama kali menunjukkan kepandaiannya dalam bernyanyi saat berusia lima tahun dalam sebuah acara pertemuan di sekolah.

Harris mengawali karirnya dengan mengikuti kompetisi pencarian bakat pada 2013 lalu. Ia pun berhasil keluar sebagai pemenang dan langsung dan menandatangani kontrak rekaman eksklusif dengan Awakening Records.

Ketika ditanya tentang apa arti Islam baginya, Harris mengatakan, Islam adalah sesuatu yang dia jalani dari hari ke hari dalam hidupnya. Islam baginya berarti harus menjalankan perintah shalat lima waktu seperti yang ia lakukan.

“Ini agama murni dan sepenuhnya berisi tentang perdamaian. Setiap kali aku dalam kesulitan, saya beralih ke agama saya. Ini adalah sumber kenyamanan bagi saya. Ini adalah faktor yang sangat penting dalam hidup saya,” kata Harris.

 

Republika Online

Profesor Ini Lebih Kagum Muslim daripada Orang Jepang

REPUBLIKA.CO.ID,TANGERANG SELATAN — Profesor dari Chuo University Jepang Hisanori Kato mengagumi Islam sebagai agama yang mampu menjadi tempat bergantung sekaligus pendorong hidup bagi umatnya.

Prof Kato mengatakan demikian karena telah membandingkan masyarakat Jepang dengan masyarakat Indonesia. Masyarakat Jepang yang menurut dia masih tabu dengan agama tercatat ada 30 ribu orang yang melakukan bunuh diri, dengan berbagai sebab.

Sementara, dia melihat rekannya di Indonesia yang merupakan seorang Muslim, ketika mendapatkan musibah dianggap sebagai ujian hidup.

“Orang Jepang tidak pernah menganggap penting agama. Sedangkan Islam tidak ada di Jepang sehingga tidak ada sesuatu yang menjadi tempat bergantung dan juga pendorong untuk hidup,” tuturnya saat konferensi pers usai International Public Lecture di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, (Selasa (1/12).

Ketika terjadi Perang Dunia II, menurut Prof Kato, Jepang mulai menganggap agama sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Padahal sebelumnya Jepang merupakan negara religius dengan agama yang mereka anut adalah agama Shinto dan Buddha.

Namun, ketika agama menjadi hal yang tabu, sementara agama di Indonesia masih sangat berperan penting dalam kehidupan sosial masyarakatnya, hal itu yang membuat perbedaan signifikan antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Indonesia.

Mengenai hal ini, Prof Kato menilai orang Indonesia masih lebih pintar daripada orang Jepang. Karena orang Jepang tidak memiliki dasar agama, sementara orang Indonesia berpegang teguh pada agamanya.

Derai Air Mata Harun Ar-Rasyid (2-habis)

Para khalifah kerap meminta nasihat kepada para ulama.

Beberapa saat kemudian, diketuklah pintu rumah Ibnu Iyadh. “Siapa yang datang?” kata pemilik rumah. “Pemimpin umat,” jawab Ibnu ar-Rabi’.

Saya tidak ada urusan dengannya,” jawab al-Fadhil bin ‘Iyadh. “Subhanallah, apakah kau tidak menaatinya?” ujar Ibnu ar-Rabi’.

Akhirnya, Ibnu ‘Iyadh membuka pintu lantas kembali naik ke lantai atas, lalu mematikan lampu dan kembali ke sudut rumahnya untuk beribadah.

Sontak, rumah gelap gulita. Para tamu mencoba meraba-raba dan secara tak sengaja tangan Khalifah Harun ar-Rasyid menyentuh telapak tangan al-Fadhil bin ‘Iyadh.

Betapa lembutnya tangan ini, seandainya besok selamat dari siksa Allah SWT,” ujar Ibnu ‘Iyadh. Harun kaget bukan main, ia pun meminta tokoh sufi itu meneruskan petuahnya.

Ketika Umar bin Abd al-Aziz memimpin, ia merasa tanggung jawab yang diemban sangat berat, ia pun meminta asupan semangat kepada tiga ulama, yaitu yang pertama, Salim bin Abdullah. Ia berpetuah, jika Anda ingin selamat dari siksa Allah, berpuasalah dari dunia dan jadikan kematian adalah waktu berbukanya.

Kedua, Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhi berpesan hormati ayahmu, muliakan saudaramu, dan sayangi buah hatimu.

Sedangkan, ketiga, Raja’ bin Hayawih berujar, berikanlah apa yang mereka suka seperti kesukaanmu dan hindari apa yang tidak mereka senang seperti kau juga merasa tidak suka.

Silakan Anda meninggal, tetapi aku takut ketika datang waktu itu, tak seorang pun yang mengatakan ini seperti mereka berpesan kepada Umar bin Abd al-Aziz. Apakah Anda pernah mendapat pesan semacam ini?” ujar Ibnu ‘Iyadh.

Harun ar-Rasyid menangis tersedu-sedu, air matanya tak berhenti berderai. Ia jatuh pingsan. Ibnu ar-Rabi’ sempat iba dan meminta agar Ibnu ‘Iyadh jangan terlalu keras menasihati. “Kalian telah membunuh (jiwanya) dan aku harus berhalus ria?” tutur Ibnu ‘Iyadh.

Begitu sadar, Harun meminta agar nasihat itu diteruskan. Ia kembali menangis. Tangisan itu semakin kencang saat Ibnu ‘Iyadh berpesan tentang bahaya kecurangan dan kezaliman jika ia memimpin rakyat.

Ia pun tersadar dan berjanji akan menunaikan segala utang dan mengemban jabatannya dengan penuh amanat.

Rombongan pun meminta izin pulang. Harun ar-Rasyid memberikan hadiah kepada Ibnu ‘Iyad seribu dinar. Tetapi, pemberian itu ditolak.

“Aku menunjukkanmu kepada keselamatan dan engkau membayarku dengan dunia. Semoga Allah menyelamatkanmu,” ujar Ibnu ‘Iyadh.

Harun ar-Rasyid pun lalu terdiam. Rombongan memutuskan pergi dan sempat membujuk istrinya supaya menerima itu lantaran kondisi ekonomi yang mengimpit keluarga mereka. Tetapi, Ibnu ‘Iyadh bersikeras menolaknya.

 

 

Oleh: Nashih Nashrullah

Sumber: Republika Online

Derai Air Mata Harun Ar-Rasyid (1)

Para khalifah kerap meminta nasihat kepada para ulama.

Di tengah kesibukan mengurus negara, kegundahan dan kekosongan luar biasa dari dalam diri Khalifah Harun ar-Rasyid. Penguasa Dinasti Abbasiyah itu berada dalam titik nadir spiritualitas.

Hatinya gersang. Harun ar-Rasyid pun memutuskan mendatangi sejumlah ulama untuk meminta petuah dan nasihat. Apa gerangan yang merundung jiwanya?

Ditemani sejumlah ajudannya, pria kelahiran Tus, Iran, 17 Maret 763 M, itu mendatangi beberapa ulama secara diam-diam. Al-Fhadhil bin ar-Rabi’ adalah tokoh yang pertama mendapat kehormatan mengantar sang Khalifah.

Al-Fadhil tak menyangka orang yang mengetuk pintu rumahnya saat ia tertidur lelap itu adalah orang nomor wahid di Baghdad.

“Wahai, pemimpin umat, tak semestinya Anda datang kemari, jika Anda memanggilku hadir di istana, akan kupenuhi panggilan itu,” kata al-Fadhil.

“Celaka, ada persoalan yang mengganjal dalam diriku, bantu aku mencari ulama untuk berkonsultasi,” jawab Harun ar-Rasyid. Al-Fadhil akhirnya mengiyakan permintaan tersebut dan segera mendatangi beberapa nama ulama terkemuka.

Tujuan yang pertama, al-Fahdil mengajak menghadap ke Sufyan bin ‘Uyainah, salah satu pakar fikih tersohor pada masa itu. Harun menghadap tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini membuat Sufyan kaget bukan kepalang.

Dalam diskusi yang berlangsung selama sekira satu jam itu, Sufyan menanyakan apakah Pemimpin Abbasiyah yang berkuasa pada 786-809 M itu memiliki utang atau tanggungan yang belum terpenuhi. Sang Khalifah menjawab ia memang berutang. “Penuhi utangmu itu,” saran Sufyan kepada Harun.

Usai berdiskusi, khalifah yang mendirikan Bayt al-Hikma (House of Wisdom) itu beranjak pergi dan menyatakan ketidakpuasannya kepada al-Fadhil.

Kegelisahannya belum terobati. Ia meminta diantarkan ke ulama yang lain. Giliran Abd ar-Razaq al-Hamam yang mendapat kehormatan berikutnya.

Sama seperti sebelumnya, cendekiawan yang tersohor dengan kepakarannya di bidang ilmu agama itu mengaku kaget dengan kunjungan yang terkesan tiba-tiba sang Khalifah.

Singkat kata, setelah berdialog dalam kurun waktu yang sama, akhir percakapan tidak berbeda jauh dengan kesimpulan diskusi Harun dan Sufyan.

Al-Hamam menyarankan Harun agar membayar utangnya secepat mungkin. Jawaban itu tetap saja tidak menenangkan hatinya.

Putra dari al-Mahdi dan al-Khayzuran itu meminta al-Fadhil supaya mempertemukannya dengan tokoh lainnya.

Berangkatlah mereka ke al-Fadhil bin ‘Iyadh, sufi ternama pada masa itu. Tibalah rombongan ke kediaman Ibnu ‘Iyadh. Mereka mendapatinya tengah shalat dengan membaca Alquran.

 

Oleh: Nashih Nashrullah

sumber: Republika Online

Apa Gerangan yang Membuat Harun Ar-Rasyid Menangis?

Di tengah-tengah kesibukan mengurus negara, ada kegundahan dan kekosongan luar biasa dari dalam diri Khalifah Harun ar-Rasyid. Penguasa Dinasti Abbasiyah itu berada dalam titik nadir spiritualitas. Hatinya gersang. Ia pun memutuskan mendatangi sejumlah ulama untuk meminta petuah dan nasihat.

Apa gerangan yang merundung jiwanya?

Ditemani sejumlah ajudannya, pria kelahiran Tus, Iran, 17 Maret 763 M, itu mendatangi beberapa ulama secara diam-diam. Al-Fhadhil bin ar-Rabi’ adalah tokoh pertama mendapat kehormatan mengantar sang khalifah.

Al-Fadhil tak menyangka orang yang mengetuk pintu rumahnya saat ia tertidur lelap itu adalah orang nomor wahid di Baghdad. “Wahai, pemimpin umat, tak semestinya Anda datang kemari, jika Anda memanggilku hadir di istana, akan kupenuhi panggilan itu,” kata al-Fadhil.

“Celaka, ada persoalan yang mengganjal dalam diriku, bantu aku mencari ulama untuk berkonsultasi,” jawab Harun ar-Rasyid. Al-Fadhil akhirnya mengiyakan permintaan tersebut dan segera mendatangi beberapa nama ulama terkemuka.

Tujuan yang pertama, al-Fahdil mengajak menghadap ke Sufyan bin ‘Uyainah, salah satu pakar fikih tersohor pada masa itu. Harun menghadap tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini membuat Sufyan kaget bukan kepalang.

Dalam diskusi yang berlangsung selama sekira satu jam itu, Sufyan menanyakan apakah pemimpin Abbasiyah yang berkuasa pada 786-809 M itu memiliki utang atau tanggungan yang belum terpenuhi. Sang khalifah menjawab bahwa ia memang berutang.

“Penuhi utangmu itu,” saran Sufyan kepada Harun.

Usai berdiskusi, khalifah yang mendirikan Bayt al-Hikma (House of Wisdom) itu beranjak pergi dan menyatakan ketidakpuasannya kepada al-Fadhil.

 

Kegelisahan Harun ar-Rasyid

Kegelisahannya belum terobati. Ia meminta diantarkan ke ulama yang lain. Giliran Abd ar-Razaq al-Hamam yang mendapat kehormatan berikutnya.

Sama seperti sebelumnya, cendekiawan yang tersohor dengan kepakarannya di bidang ilmu agama itu mengaku kaget dengan kunjungan yang terkesan tiba-tiba dari sang khalifah. Singkat kata, setelah berdialog dalam kurun waktu yang sama, akhir percakapan tidak berbeda jauh dengan kesimpulan diskusi Harun dan Sufyan.

Al-Hamam menyarankan Harun agar membayar utangnya secepat mungkin. Jawaban itu tetap saja tidak menenangkan hatinya.

Putra dari al-Mahdi dan al-Khayzuran itu meminta al-Fadhil supaya mempertemukannya dengan tokoh lain . Berangkatlah mereka ke al-Fadhil bin ‘Iyadh, sufi ternama pada masa itu. Tibalah rombongan ke kediaman Ibnu ‘Iyadh. Mereka mendapatinya tengah shalat dengan membaca Alquran.

Beberapa saat kemudian, diketuklah pintu rumah Ibnu Iyadh. “Siapa yang datang?” kata pemilik rumah. “Pemimpin umat,” jawab Ibnu ar-Rabi’. “Saya tidak ada urusan dengannya,” jawab al-Fadhil bin ‘Iyadh. “Subhanallah, apakah kau tidak menaatinya?” ujar Ibnu ar-Rabi’.

Akhirnya, Ibnu ‘Iyadh membuka pintu lantas kembali naik ke lantai atas, lalu mematikan lampu dan kembali ke sudut rumahnya untuk beribadah. Sontak, rumah gelap gulita. Para tamu mencoba meraba-raba dan secara tak sengaja tangan Khalifah Harun ar-Rasyid menyentuh telapak tangan al-Fadhil bin ‘Iyadh.

“Betapa lembutnya tangan ini, seandainya besok selamat dari siksa Allah SWT,” ujar Ibnu ‘Iyadh. Harun kaget bukan main, ia pun meminta tokoh sufi itu meneruskan petuahnya.

“Ketika Umar bin Abd al-Aziz memimpin, ia merasa tanggung jawab yang diemban sangat berat, ia pun meminta asupan semangat kepada tiga ulama, yaitu yang pertama, Salim bin Abdullah. Ia berpetuah, jika Anda ingin selamat dari siksa Allah, berpuasalah dari dunia dan jadikan kematian adalah waktu berbukanya.

Kedua, Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhi berpesan hormati ayahmu, muliakan saudaramu, dan sayangi buah hatimu. Sedangkan, ketiga, Raja’ bin Hayawih berujar, berikanlah apa yang mereka suka seperti kesukaanmu dan hindari apa yang tidak mereka senang seperti kau juga merasa tidak suka.

Silakan Anda meninggal, tetapi aku takut ketika datang waktu itu, tak seorang pun yang mengatakan ini seperti mereka berpesan kepada Umar bin Abd al-Aziz. Apakah Anda pernah mendapat pesan semacam ini?” ujar Ibnu ‘Iyadh.

 

Harun ar-Rasyid Menangis

Harun ar-Rasyid menangis tersedu-sedu, air matanya tak berhenti berderai. Ia jatuh pingsan. Ibnu ar-Rabi’ sempat iba dan meminta agar Ibnu ‘Iyadh jangan terlalu keras menasihati. “Kalian telah membunuh (jiwanya) dan aku harus berhalus ria?” tutur Ibnu ‘Iyadh.

Begitu sadar, Harun meminta agar nasihat itu diteruskan. Ia kembali menangis.

Tangisan itu semakin kencang saat Ibnu ‘Iyadh berpesan tentang bahaya kecurangan dan kezaliman jika ia memimpin rakyat. Ia pun tersadar dan berjanji akan menunaikan segala utang dan mengemban jabatannya dengan amanah.

Rombongan pun meminta izin pulang. Harun ar-Rasyid memberikan hadiah kepada Ibnu ‘Iyad seribu dinar. Tetapi, pemberian itu ditolak. “Aku menunjukkanmu kepada keselamatan dan engkau membayarku dengan dunia. Semoga Allah menyelamatkanmu,” ujar Ibnu ‘Iyadh.

Ia pun lalu terdiam. Rombongan memutuskan pergi dan sempat membujuk istrinya supaya menerima itu lantaran kondisi ekonomi yang mengimpit keluarga mereka. Tetapi, Ibnu ‘Iyadh bersikeras menolaknya.  

 

sumber: Republika Online

 

Beberapa Ibadah yang Dilakukan Rasulullah

Malam yang larut telah menyelimuti kota Madinah sehingga membuat dunia gelap gulita. Akan tetapi Nabi Muhammad di tengah malam, beliau bangun dan menghidupkan malamnya dengan shalat dan bermunajat kepada Allah, Tuhan pemilik langit dan bumi. Beliau memohon kepada Rabb yang memegang kendali segala kehidupan, “Wahai orang yang berselimut, bangunlah di tengah malam, tidurlah sebentar saja separuh malam atau kurang sedikit, atau tambahlah. Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil (perlahan-lahan dan merdu).” (Qs. Al-Muzammil: 1-4)

Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi Muhammad selalu melaksanakan shalat malam sampai-sampai kakinya bengkak. Kemudian Aisyah bertanya, “Mengapa engkau melakukannya sampai begini, padahal dosa-dosamu sudah diampuni oleh Allah?” Beliau pun menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” (H.R. Ibnu Majah) Sungguh suatu jawaban yang keluar dari hati yang penuh cinta. Diriwayatkan dari al-Aswad bin Yazid, “Aku bertanya kepada Aisyah radiyallahu ‘anha bagaimana Rasulullah melakukan shalat malam?” Aisyah berkata, “Beliau tidur agak awal kemudian bangun di tengah malam. Kalau beliau punya keperluan kepada istrinya, beliau laksanakan. Dan ketika mendengar adzan, beliau bangun. Kalau junub, beliau mandi lalu bergegas ke masjid.’” (H.R. Bukhari)

Jika shalat malam (sunnah) sendirian bukan main lamanya, namun kalau shalat fardhu berjama’ah di masjid, beliau mempercepat shalatnya karena beliau memahami keadaan makmumnya yang beragam dan beliau tidak ingin mempersulit mereka. Berkata Hudzaifah ibnul Yaman, “Aku pernah shalat bersama Rasulullah (shalat malam). Beliau membaca surat al-Baqarah, lalu rukuk ketika sampai pada ayat yang keseratus. Lalu beliau bangun dan menamatkannya pada raka’at yang kedua. Kemudian beliau bangun lagi dan membaca Ali Imran, lalu an-Nisaa’. Kalau ada ayat tasbih, beliau bertasbih. Kalau membaca ayat do’a, beliau berdo’a. Lalu beliau rukuk lama sekali, seakan-akan sama dengan satu raka’at, lalu bangun dan diam agak lama. Kemudian beliau sujud lama sekali, hampir sama dengan bangunnya.” (H.R. Bukhari)

Setelah Fajar Menyingsing

Lalu malam pun berlalu, cahaya fajar mulai membuka lembaran hari. Setelah shalat Shubuh berjama’ah, Rasulullah duduk berdzikir sampai matahari terbit. Kemudian beliau shalat lagi dua raka’at. Inilah yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah, bahwa beliau belum beranjak dari dzikirnya sampai terbitnya matahari. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas, Nabi Muhammad bersabda,

Barangsiapa shalat Shubuh berjama’ah, lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai terbitnya matahari, kemudian shalat dua raka’at, maka dia mendapat pahala haji dan umrah. Sempurna, sempurna, sempurna.” (H.R. Muslim)

Ketika pagi beranjak siang dan matahari sudah mulai menampakkan wajahnya dan sinarnya sudah menyapa wajah-wajah penduduk Madinah, itulah waktu dhuha. Waktu memulai segala aktivitas dunia, waktu kerja dan beramal shaleh, waktu memeras keringat dan membanting tulang. Rasulullah menggunakan waktu ini untuk menerima tamu (utusan), mengajar, dan bersilaturahmi. Aisyah ditanya, “Apakah Rasulullah selalu shalat dhuha?” Jawabnya, “Ya. Sebanyak 4 raka’at, dan beliau menambah lagi berapa saja yang beliau mau.” (H.R. Muslim)

Pernah Nabi Muhammad berpesan kepada Abu Hurairah yang kemudian diceritakannya kepada kita,

Kekasihku Rasulullah berwasiat kepada kita tentang tiga perkara: Pertama, berpuasa tiga hari dalam setiap bulan. Kedua, shalat 2 raka’at dhuha. Ketiga, hendaklah shalat witir sebelum tidur.” (H.R. Tirmidzi)

Shalat Sunnah Nawafil

Di rumah yang penuh dengan bunga-bunga keimanan, ibadah, dan dzikir, Nabi Muhammad berpesan agar rumah kita selalu dihiasi dengan shalat sunnah.

Shalatlah kamu di rumah, jangan jadikan rumahmu seperti kuburan.(H.R. Bukhari)

Berkata Ibnul Qayyim, “Rasulullah selalu melakukan shalat sunnah di rumahnya, termasuk shalat sunnah mutlak, terutama shalat sunnah setelah maghrib. Karena belum pernah ada riwayat yang mengatakan bahwa beliau melakukannya di masjid. Mengerjakan shalat sunnah di rumah mempunyai beberapa faedah. Di antaranya adalah: mengikuti jejak Rasulullah sebagai saran efektif untuk mendidik anak dan keluarga agar mendirikan shalat, mengusir setan dan jin karena setan sangat benci kepada rumah yang di dalamnya ada orang yang shalat dan membaca Al-Qur’an serta berdzikir, dan yang terakhir menghindari riya (ingin dipuji), dan tidak ikhlas.

 

sumber: Republika Online

Meneladani Rasulullah dalam Membela Kehormatan Orang Lain

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang pribadi yang memiliki akhlaq mulia. Beliau senantiasa membela kehormatan orang lain dan tidak menyukai apabila ada yang melanggar hak orang lain. Beliau juga seringkali berkumpul bersama para sahabat di majelis taklim dan dzikir. Hal ini dikarenakan majelis taklim dan dzikir adalah tempat berkumpul yang paling mulia. Bahkan para malaikat pun ikut berkumpul di majelis-majelis dimana umat manusia mengagungkan dan mengingat Allah subhanahu wa ta’ala. Di majelis itu beliau seringkali memberikan petunjuk, pengajaran, dan nasihat-nasihat yang berharga kepada para sahabat. Para sahabat yang hadir disana mendengarkan beliau dengan penuh antusias karena butiran-butiran nasihat yang beliau sampaikan adalah sesuatu yang sangat berharga dan penuh dengan manfaat. Dalam majelis itu beliau meluruskan kesalahan, mengingatkan yang lupa, dan memberikan segala petunjuk kebaikan. Dalam majelis itu beliau shalallahu ‘alaihi wassalam melarang gosip, bergunjing, dan adu domba. Beliau tidak rela bila ada seseorang yang menceritakan aib orang lain.

Ada sebuah kejadian yang diriwayatkan oleh Utbah bin Malik, “Rasulullah berdiri untuk shalat kemudian berkata, ‘Dimana Malik Ibnu Dakhsyam?’ Seseorang menjawab, ‘Dia adalah munafik yang tidak suka kepada Allah dan rasul-Nya.’ Kemudian Rasulullah berkata, ‘Jangan begitu, bukankah dia telah mengatakan tiada tuhan selain Allah dengan mengharapkan ridha Allah? Sesungguhnya, Allah mengharamkan masuk neraka bagi orang yang mengatakan laa ilaaha illa Allahuntuk meraih keridhaan Allah.’ (Muttafaq ‘alaih). Beliau mengulanginya sampai tiga kali.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memperingatkan agar kita jangan sampai memberikan kesaksian palsu dan berbuat dzalim terhadap hak orang lain. Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kewajiban kita dan memenuhi hak orang lain, di antaranya dengan menepati janji, berbakti kepada kedua orang tua, dan menghargai orang lain. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Maukah kalian kuberitahu tentang dosa yang paling besar?” Kami mengiyakan, lalu beliau berkata, “Yaitu menyekutukan Allah dan durhaka kepada orangtua.” Waktu itu beliau sedang bersandar ke dinding lalu duduk dan berkata, “Ingatlah juga, kesaksian palsu (berdusta).” Beliau terus-menerus mengulanginya sampai kami berkata, “Mudah-mudahan beliau diam.” (Muttafaq ‘alaih)

Walaupun beliau shalallahu ‘alaihi wassalam sangat mencintai istrinya, namun beliau tetap tidak rela apabila ada di antara mereka yang bergunjing atau bergosip. Aisyah meriwayatkan, “Aku berkata kepada Rasulullah, ‘Cukuplah bagimu tentang Shafiyah begini dan begitu…’” Sebagian perawi menjelaskan bahwa Aisyah mengatakan Shafiyah adalah orang yang bertubuh pendek. Lalu Rasulullah bersabda, “Kamu telah mengatakan suatu kalimat yang seandainya bisa dicampur dengan air laut, maka akan kucampur.” (H.R. Abu Daud)

Rasulullah juga memberi kabar gembira kepada orang yang membela kehormatan orang lain melalui sabdanya, “Barangsiapa yang membela saudaranya yang sedang digunjingkan, maka orang itu berhak untuk dibebaskan oleh Allah dari neraka.”

 

sumber: Lampu Islam

Betapa Mesranya Nabi Muhammad dengan Istri-Istrinya

Dalam mahligai keluarga, istri adalah teman hidup yang menempati posisi sebagai buah bagi pohonnya, tangkai bagi bunganya, dan pelana bagi kudanya. Rasulullah bersabda, “Dunia adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah istri yang saleh.” [1]

Nabi Muhammad memanggil istrinya dengan panggilan mesra yang menyejukkan hati dan menentramkan pikiran. Ini adalah bagian dari akhlaq dan perilaku beliau yang agung dan cemerlang. Suatu hari dipanggilnya Aisyah dengan sebutan “Humairaa” atau yang merah-merekah karena cantiknya. Dan pernah pula beliau panggil dengan sebutan “Aisy” yang merupakan sebuah panggilan mesra. Pernah beliau memanggil Aisyah dengan penuh kasih sayang, “Wahai Aisyah, ada salam dari Jibril untukmu.”

Hati siapa yang tidak berbunga-bunga dipanggil dengan penuh kelembutan dan kemesraan seperti itu? Kemesraan Nabi Muhammad dengan istri-istrinya tidak hanya lewat perkataan, tetapi juga dalam perbuatan. Nabi Muhammad sangat penuh kasih sayang dalam memperlakukan istri-istrinya. Aisyah berkata,

Pernah aku minum sedang aku waktu itu dalam keadaan haid. Kemudian Rasulullah minum dari bekas tempat minumku dan bibirnya diletakkan di tempat bibirku minum. Dan beliau pernah memakan daging bekas gigitanku.” (H.R. Muslim)

Betapa mesranya, makan sepiring berdua, minum secangkir berdua. Memang ada cerita yang dibuat oleh kaum orientalis tentang kekasaran Rasulullah dengan para istrinya. Namun, hal itu tidak perlu dipikirkan karena itu adalah fitnah dari mereka yang sengaja mau merusak dan menjelek-jelekkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Berkata Aisyah, “Rasulullah mencium salah seorang istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu.” (H.R. Abu Daud)

 

Di banyak kesempatan beliau selalu menjelaskan bahwa wanita dalam Islam mempunyai kedudukan yang terhormat yang tidak tergantikan oleh laki-laki. Ketika Amru ibnul Ash menanyakan kepada beliau tentang hal itu, beliau menjawab bahwa sesungguhnya sayang dan cinta kepada istri tidak sedikit pun mengurangi kewibawaan dan kedudukan suami.

Diriwayatkan pula bahwa Amru ibnul Ash bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang paling engkau cintai ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aisyah.” (Muttafaq ‘alaih). Jadi barangsiapa yang ingin merasakan kebahagiaan rumah tangga, hendaklah meniru Rasulullah dalam hal ini. Tentang bagaimana Rasulullah bermesraan dengan istrinya, kita bisa melihat bagaimana Aisyah meriwayatkan tentang ini, “Saya sering mandi bersama dengan Rasulullah dari satu bak.” (H.R Bukhari)

Hal ini dilakukan oleh beliau untuk membahagiakan istri-istrinya, dengan segala sesuatu yang dibolehkan agama.

Dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Aisyah meriwayatkan bahwa dia pernah berlomba lari dengan Nabi Muhammad. Aisyah bercerita, “Aku mendampingi Rasulullah dalam sebuah perjalanan bersama para sahabat. Waktu itu aku masih kurus. Tiba-tiba Rasulullah memerintahkan rombongan untuk meninggalkan kami berdua. Maka tinggallah kami berdua di belakang rombongan (pasukan). Setelah mereka jauh, Rasulullah berkata, ‘Mari kita berlomba lari.’ Maka aku pun mendahuluinya. Beliau diam saja tidak berkomentar, sedangkan aku senang karena menang. Sampai bertahun-tahun berikutnya aku menjadi gemuk. Dan pada suatu kesempatan aku pun mendampinginya dalam sebuah perjalanan. Beliau mengajakku lagi untuk berlomba seperti dulu. Dan aku kalah karena gemuk. Melihat aku kalah, Rasulullah tertawa dan berkata, ‘Ini untuk membalas kekalahanku yang dulu.’” (H.R. Ahmad)

Masya Allah, inilah bentuk kemesraan yang sesungguhnya. Sebuah canda lembut yang penuh perhatian. Kalau kita kaji lebih dalam lagi, riwayat tadi agaknya menyentil egoisme kita yang kerap kali melupakan pentingnya menjaga perasaan wanita yang halus dan lemah. Nabi Muhammad membawa istrinya ikut dalam rombongan pasukan untuk menghibur hati yang tegang dalam menghadapi musuh. Begitu juga, istri yang diajak perlu hiburan karena tidak terbiasa dengan suasana perang. Jadi secara psikologis, tindakan Nabi Muhammad sangat manusiawi untuk menghibur kepenatan dan keletihan di perjalanan.

Imam Bukhari menceritakan, sewaktu Rasulullah pulang dari perang Khaibar dan membawa tawanan wanita yang kemudian dinikahinya, yaitu Shafiyyah binti Huyay, Rasulullah melingkari untanya dengan tabir agar Shafiyyah tidak kelihatan oleh orang lain. Kemudian beliau berjongkok di samping untanya dan menyediakan lututnya untuk pijakan Shafiyyah yang mau naik ke atas unta. Inilah salah satu contoh sikap tawadhu’ beliau. Jadi janganlah kita menganggap bahwa pekerjaan-pekerjaan yang kita anggap enteng seperti membuang sampah, menambal baju, memperbaiki sendal, dan sebagainya mengurangi derajat seseorang. Tidak! Bahkan sebaliknya, hal itu akan menambah kemuliaannya, terlebih lagi di mata Allah.

 

 

sumber: Lampu Islam

Sifat Mulia Rasulullah

Bayangkan kita mendekati rumah Nabi Muhammad dan mengetuk pintunya,kemudian ita khayalkan seakan-akan kita mendengar langsung dari orang yang pernah bertemu dengan beliau, bertatap muka, atau hidup bersama beliau. Biarkan orang itu menggambarkan kepada kita sifat dan fisik Nabi Muhammad seakan-akan kita melihatnya secara langsung, agar kita melihat pancaran sinar matanya yang agung dan senyumnya yang menawan. Diriwayatkan oleh al-Barra’ bin Azib radiyallahu ‘anhu,

Setahuku, Rasulullah itu adalah orang yang paling tampan wajahnya, paling baik akhlaqnya. Tidak tinggi sekali dan juga tidak pendek (tubuhnya).” (H.R. Bukhari)

“Rasulullah adalah orang yang sedang (tingginya), jarak antara kedua bahunya menandakan beliau lelaki yang gagah, rambutnya panjang menyentuh ujung telinganya, aku melihat (wajahnya) kemerah-merahan. Belum pernah aku melihat sesuatu yang lebih bagus dan indah daripada Rasulullah.” [1]

Di antara sifat-sifat beliau adalah malu. Malu dalam hal yang pantas untuk malu, tetapi tegas dalam hal yang menyangkut akhlaq dan kebenaran. Sampai-sampai Sahabat Abu Said al-Khudri mengatakan,

Rasulullah lebih pemalu dari seorang perawan dalam pingitan. Bila beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, kami tahu dari raut wajahnya.” (H.R. Bukhari)

Cara Nabi Muhammad Berbicara

Sekarang, mari kita lihat bagaimana Rasulullah berbicara. Sebelumnya, dengarlah apa yang dikatakan Aisyah radiyallahu ‘anha,

Rasulullah tidak pernah berbicara penuh sebagaimana bicaramu ini (cerewet), tetapi beliau berbicara dengan perkataan yang pas, jelas, padat, sehingga bisa dihafal oleh orang yang ada di sekitarnya.” (H.R. Abu Daud)

Rasulullah selalu berbicara dengan mudah dan sopan serta lemah-lembut, karena beliau ingin agar orang lain mengerti arah pembicaraannya. Beliau sangat menjaga perbedaan-perbedaan di antara umatnya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Beliau sangat peka bahwa pemahaman dan cara berpikir umatnya berbeda-beda. Oleh karena itu, beliau memilih untuk bersikap halim (menerima perbedaan walaupun tidak sesuai dengan isi hati) dan sabar, sehingga menyenangkan lawan bicaranya. Diriwayatkan dari Aisyah,

Rasulullah selalu berbicara dengan perkataan yang jelas yang bisa dipahami orang yang mendengar.”

Renungkanlah bagaimana Rasulullah yang berakhlaq mulia sangat lembut dan bersahabat, lapang dada, serta terbuka. Beliau rela mengulangi perkataannya agar dimengerti oleh orang lain. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik,

Rasulullah sering mengulang perkataannya sampai tiga kali supaya dimengerti dan dipahami.” (H.R. Bukhari)

Rasulullah juga suka bercanda dengan para Sahabat untuk mengurangi rasa takut karena sebagian di antara mereka ada yang takut kepada yang lain.

Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah pernah didatangi oleh seorang laki-laki yang sangat ketakutan hingga gemetar seluruh tubuhnya. Laki-laki itu lalu ditenangkan oleh Rasulullah sambil berkata,

Tenanglah karena aku bukanlah seorang raja. Aku adalah anak seorang wanita yang memakan daging kering (dendeng).” (H.R. Ibnu Majah)

Mencintai Nabi Muhammad Sepenuh Hati

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Kesejahteraan dan keselamatan semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan imam bagi para nabi, yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.

Sebagian besar manusia di masa sekarang ini terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang ekstrim dan yang apatis. Kelompok yang ekstrim adalah mereka yang sampai mengkultuskan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, bahkan ada yang sampai memuja beliau shalallahu ‘alaihi wassalam sampai mengantarkannya pada tingkat kemusyrikan, dengan jalan berdo’a dan memohon pertolongan kepada beliau (memposisikan beliau sebagai Tuhan). Sedangkan golongan yang apatis adalah golongan orang-orang yang lupa dan tidak mengacuhkan, bahkan mencampakkan tradisi agung Nabi Muhammad berupa akhlaqnya yang mulia. Kelompok ini tidak menjadikan beliau sebagai panutan, pelita, sekaligus petunjuk jalan hidup.

Seharusnya kita sebagai umat Muslim harus merealisasikan rasa cinta dan kasih sayang kita kepada beliau serta meneladani sisi-sisi kehidupan beliau sebagai manusia utusan Allah, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun kemasyarakatan. Dan juga tidak bisa kita pungkiri bahwa kehidupan Nabi Muhammad adalah cerminan dakwah dan kehidupan umat yang sejati. Allah sendiri memuji beliau, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlaq yang agung.”

Kita sebagai umat Muslim menempatkan Nabi Muhammad dalam posisi yang seharusnya, sebagaimana Allah memposisikan beliau dalam posisi yang tertinggi (maqaaman mahmuuda). Nabi Muhammad adalah seorang hamba Allah dan rasul-Nya. Tidak lebih dan tidak kurang, tidak dikultuskan seperti Tuhan dan tidak menyanjung-nyanjung beliau secara berlebihan. Sikap kita jelas, tidak merayakan maulid (hari kelahiran Rasulullah) sebagai ibadah, melainkan sekadar memperingati karena kecintaan kita terhadap beliau. Al-Bushiri dalam syair Burdahnya, dengan indah melukiskan kedudukan Rasulullah,

Muara segala pengetahuan kita

Tentang beliau sebagai manusia

dan sebaik-baik makhluk Allah

Cahaya putih penutup segala nabi

Bersinar melambai penuh saksi

Sandingan namanya

dengan nama Tuhan

Tak cukupkah itu sebagai bukti?

Kesaksian lima waktu

shalat dan adzan

Separuh nama penuh cinta

separuh lagi terpatri di atas ‘Arasy

Yang terpuji dan dialah Ahmad”

Walaupun kita tidak bisa melihat Nabi Muhammad secara langsung karena jarak historis, kita masih berharap mempunyai kesempatan menjadi saudara beliau. Sebagaimana sabda beliau, “Aku ingin sekali seandainya aku melihat saudara-saudaraku.” Para Sahabat bertanya, “Bukankah kami ini saudara-saudaramu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kalian adalah para sahabatku, sedangkan yang datang (generasi) setelah kalian adalah saudara-saudaraku.” Para sahabat kian bingung, “Bagaimana engkau bisa tahu tentang orang yang datang setelah kita, dari umatmu ya Rasulullah?” Nabi Muhammad berkata, “Kalau ada kuda yang bertanda putih cemerlang di mukanya dan berada di antara kuda-kuda hitam, tidakkah pemilik kuda itu akan mengenalinya? Begitu juga dengan umatu. Mereka akan datang dengan wajah cerah karena wudhu’. Dan aku akan berada di tengah-tengah mereka di telaga (surga) nanti.” (H.R. Muslim)

Mari kita berdo’a semoga Allah berkenan menjadikan kita sebagai orang yang mengikuti dan “menyisir” jejak langkah serta menjalankan Sunnah beliau. Dan, semoga kita bisa berkumpul bersama beliau di surga nanti. Semoga Allah membalas dengan sempurna apa yang telah beliau perjuangkan. Shalawat dan salam bagimu ya Rasulullah, bagi sahabatmu, dan seluruh keluargamu.

 

sumber: Lampu Islam