Ini Keutamaan Memelihara Anak Perempuan dengan Baik

Islam sangat menghormati anak perempuan. Bahkan Rasulullah SAW menjanjikan tiga ganjaran yang besar ketika seseorang mampu memelihara anak gadisnya dengan baik dan memenuhi segala kebutuhannya.

Dilansir dari Muslimvillage, disbeutkan bahwa Pertama, orang tua akan dijauhi dari api neraka dan tidak akan pernah memasukinya. Kedua, di Hari Kiamat nanti mereka akan dikumpulkan menjadi satu dengan umat Rasulullah SAW. Ketiga, Surga telah terjamin untuk mereka.

Rasulullah dalam hadistnya menyebut bahwa siapa pun yang diuji dengan anak-anak perempuan, kemudian dia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang dari siksa api neraka (HR Muslim 2629).

Tidak hanya itu, Rasulullah juga berjanji jika orang tua dapat mendidik dan memelihara dua anak perempuan hingga dewasa maka saat kiamat nanti orang tuanya akan datang bersama Rasulullah sedekat jari-jari tangan. Anak perempuan mereka tentu harus mendapatkan perlindungan dan diperlakukan dengan baik.

Ada tiga hal perlindungan yang diutamakan. Pertama memberikan perlindungan dengan memiliki ibu yang baik dan dapat menjadi teladan. Kedua, memberikan perlindungan di kamar, di dalam rumah, artinya anak perempuannya dijaga agar tidak keluar rumah jika tidak terlalu penting.

Ketiga, anak perempuan mereka harus mendapat perlindungan dari orang yang bukan mahramnya. Sehingga orang tua harus berusaha memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya.

 

sumber: Republika Online

Memuliakan Anak Perempuan

Kelahiran anak laki-laki, hingga kini, dianggap sebagai pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak sedikit pula yang menjadikannya penanda kehormatan. Sebaliknya, berbagai belitan kesedihan dan rasa malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan. Padahal, dalam Islam, jika anak-anak perempuan itu dimuliakan yang terurai dalam sikap kasih sayang, memberikan pendidikan dan pengajaran agama yang baik, janji surga telah menantikannya.

Perasaan kecil hati kadang menyelimuti pasangan yang belum juga dikaruniai anak laki-laki. Bahkan tak sedikit orang tua yang lebih mendambakan bayi yang hendak lahir ini laki-laki dibanding keinginan untuk mendapatkan anak perempuan. Demikianlah keadaan mayoritas manusia sebagaimana dikatakan Rasulullah n dalam hadits ‘Aisyah x:

“Barangsiapa yang diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629)
Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah n menyebutnya sebagai ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang tidak menyukai keberadaan anak perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 16/178)
Bahkan dulu pada masa jahiliyah, orang bisa merasa sangat terhina dengan lahirnya anak perempuan. Sehingga tergambarkan dalam firman Allah  I :

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
Sementara di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah I mengancam perbuatan mengubur anak-anak perempuan. Allah I berfirman:

“Dan ketika anak perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, atas dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9)
Al-Mau`udah adalah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyah karena kebencian terhadap anak perempuan. Pada hari kiamat, dia akan ditanya atas dosa apa dia dibunuh, untuk mengancam orang yang membunuhnya. Apabila orang yang dizalimi ditanya (pada hari kiamat kelak, –pen.), maka bagaimana kiranya persangkaan orang yang berbuat zalim (tentang apa yang akan menimpanya, –pen.)? (Tafsir Ibnu Katsir, 8/260)
Demikianlah Islam memuliakan anak perempuan. Selain dalam Al Qur’an, dalam Sunnah Rasulullah n didapati pula larangan yang jelas dari mengubur anak perempuan. Hadits ini disampaikan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah z, bahwa Nabi  bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka pada ibu, menolak untuk memberikan hak orang lain dan menuntut apa yang bukan haknya, serta mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah membenci bagi kalian banyak menukilkan perkataan, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
Wa`dul banat adalah menguburkan anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di dalam tanah. Ini merupakan dosa besar yang membinasakan pelakunya, karena merupakan pembunuhan tanpa hak dan mengandung pemutusan hubungan kekerabatan. (Syarh Shahih Muslim, 12/11)
Di sisi lain, dalam agama yang mulia ini ada anjuran agar orang tua yang dikaruniai anak perempuan memuliakan anaknya. Allah U yang menganugerahkan anak perempuan telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang berbuat kebaikan kepada anak perempuannya.
‘Aisyah x pernah mengatakan:

Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua anak perempuannya, maka aku memberinya tiga butir kurma. Kemudian dia memberi setiap anaknya masing-masing sebuah kurma dan satu buah lagi diangkat ke mulutnya untuk dimakan. Namun  kedua anak itu meminta kurma tersebut, maka si ibu pun membagi dua kurma yang semula hendak dimakannya untuk kedua anaknya. Hal itu sangat menakjubkanku sehingga aku ceritakan apa yang diperbuat wanita itu kepada Rasulullah n. Beliau  berkata: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dan membebaskannya dari neraka.” (HR. Muslim no. 2630)
Dalam riwayat dari Anas bin Malik z, Rasulullah n juga menyebutkan kedekatannya dengan orang tua yang memelihara anak-anak perempuan mereka dengan baik kelak pada hari kiamat:

“Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jari jemarinya. (HR. Muslim no. 2631)
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikan nafkah, dan bersabar terhadap mereka dan dalam segala urusannya. (Syarh Shahih Muslim, 16/178)
Masih berkenaan dengan keutamaan membesarkan dan mendidik anak perempuan, seorang shahabat, ‘Uqbah bin ‘Amir z pernah mendengar Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar atas mereka, memberi mereka makan, minum, dan pakaian dari hartanya, maka mereka menjadi penghalang baginya dari api neraka kelak pada hari kiamat.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 56: “Shahih”)
Tidak hanya itu saja, dalam berbagai riwayat Rasulullah n juga menggarisbawahi hal ini. Jabir bin Abdillah t mengatakan, Rasulullah n pernah bersabda:

“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan yang dia jaga, dia cukupi dan dia beri mereka kasih sayang, maka pasti baginya surga.” Seseorang pun bertanya, “Dua juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dan dua juga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 58: “Hasan”)
Abdullah bin ‘Abbas c juga meriwayatkan dari beliau n:

“Tidaklah seorang muslim yang memiliki dua anak perempuan yang telah dewasa, lalu dia berbuat baik pada keduanya, kecuali mereka berdua akan memasukkannya ke dalam surga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 57: “Hasan lighairihi”)
Agama yang sempurna ini juga memberikan gambaran tentang pengungkapan sikap kasih sayang orang tua kepada anak perempuannya. Rasulullah n memberikan contoh bagi umat beliau melalui pergaulannya dengan putri beliau, Fathimah x . Tentang ini, ‘Aisyah x berkisah:

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi n dalam cara bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya apabila Nabi n melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Begitu pula apabila Nabi n datang padanya, maka Fathimah mengucap-kan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu menciumnya.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 725)
Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat beliau yang terbaik, Abu Bakr Ash-Shiddiq z . Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib z:

“Aku pernah masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang terbaring sakit panas. Aku pun melihat Abu Bakr mencium pipi putrinya sambil bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?” (HR. Al-Bukhari no. 3918)
Dalam hal pemberian, Islam juga mengajarkan untuk memberikan bagian yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini  berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir x:

“Ayahku pernah memberiku sebagian hartanya, lalu ibuku, ‘Amrah bintu Rawahah, mengatakan padanya, “Aku tidak ridha hingga engkau minta persaksian Rasulullah n.” Maka ayahku pun menemui Rasulullah n untuk meminta persaksian beliau. Kemudian Rasulullah n bertanya padanya, “Apakah ini kau lakukan pada semua anakmu?” “Tidak,” jawab ayahku. Beliau pun bersabda, “Bertakwalah kepada Allah tentang urusan anak-anakmu.” Ayahku pun kembali dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623)
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan tentang hadits ini bahwa semestinya orang tua menyamakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian. Dia berikan pada seorang anak sesuatu yang semisal dengan yang lain dan tidak melebihkannya, serta menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 11/29)
Begitu pula dari sisi pendidikan, orang tua harus memberikan pengajaran dan pengarahan kepada anak-anaknya, termasuk anak perempuannya. Abu Hurairah z mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak akan melahirkan binatang ternak yang sempurna. Apakah engkau lihat ada binatang yang lahir dalam keadaan telah terpotong telinganya?” (HR. Al-Bukhari no. 1385)
Seorang anak yang terlahir di atas fitrah ini siap menerima segala kebaikan dan keburukan. Sehingga dia membutuhkan pengajaran, pendidikan adab, serta pengarahan yang benar dan lurus di atas jalan Islam. Maka hendaknya kita berhati-hati agar tidak melalaikan anak perempuan yang tak berdaya ini, hingga nantinya dia hidup tak ubahnya binatang ternak. Tidak mengerti urusan agama maupun dunianya. Sesungguhnya pada diri Rasulullah n ada teladan yang baik bagi kita. (Al-Intishar li Huquqil Mukminat, hal. 25)
Bahkan ketika anak perempuan ini telah dewasa, orang tua selayaknya tetap memberikan pengarahan dan nasehat yang baik. Ini dapat kita lihat dari kehidupan seseorang yang terbaik setelah Rasulullah n, Abu Bakr Ash-Shiddiq z, dalam peristiwa turunnya ayat tayammum. Diceritakan peristiwa ini oleh ‘Aisyah x:

“Kami pernah keluar bersama Rasulullah n dalam salah satu safarnya. Ketika kami tiba di Al-Baida’ –atau di Dzatu Jaisy– tiba-tiba kalungku hilang. Rasulullah n pun singgah di sana untuk mencarinya, dan orang-orang pun turut singgah bersama beliau dalam keadaan tidak ada air di situ. Lalu orang-orang menemui Abu Bakr sembari mengeluhkan, “Tidakkah engkau lihat perbuatan ‘Aisyah? Dia membuat Rasulullah n dan orang-orang singgah di tempat yang tak ada air, sementara mereka pun tidak membawa air.” Abu Bakr segera mendatangi ‘Aisyah. Sementara itu Rasulullah n sedang tidur sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Abu Bakr berkata, “Engkau telah membuat Rasulullah n dan orang-orang singgah di tempat yang tidak berair, padahal mereka juga tidak membawa air!” Aisyah melanjutkan, “Abu Bakr pun mencelaku dan mengatakan apa yang ia katakan, dan dia pun menusuk pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk bergerak karena rasa sakit, kecuali karena Rasulullah n sedang tidur di pangkuanku. Keesokan harinya, Rasulullah n bangun dalam keadaan tidak ada air. Maka Allah turunkan ayat tayammum sehingga orang-orang pun melakukan tayammum. Usaid ibnul Hudhair pun berkata, “Ini bukanlah barakah pertama yang ada pada kalian, wahai keluarga Abu Bakr.” ‘Aisyah berkata lagi, “Kemudian kami hela unta yang kunaiki, ternyata kami temukan kalung itu ada di bawahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 224 dan Muslim no. 267)
Al-Imam An-Nawawi t mengatakan bahwa di dalam hadits ini terkandung ta`dib (pendidikan adab) seseorang terhadap anaknya, baik dengan ucapan, perbuatan, pukulan, dan sebagainya. Di dalamnya juga terkandung ta`dib terhadap anak perempuan walaupun dia telah dewasa, bahkan telah menikah dan tidak lagi tinggal di rumahnya. (Syarh Shahih Muslim, 4/58)
Inilah di antara pemuliaan Islam terhadap keberadaan anak perempuan. Tidak ada penyia-nyiaan, tidak ada peremehan dan penghinaan. Bahkan diberi kecukupan, dilimpahi kasih sayang diiringi pendidikan yang baik, agar kelak memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya di negeri yang kekal abadi.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

 

ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman

sumber: AsSyaria

Arti sebuah Niat

Dari Umar bin Khathab ra, Rasulullah SAW bersabda, “Segala amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah dengan niat mencari keuntungan duniawi atau untuk mengawini seorang perempuan, maka (pahala) hijrahnya sesuai dengan niatnya itu”. (HR. Bukhari).

Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini ketika beliau hijrah ke Yatsrib atau Madinah. Saat itu tersebar sebuah informasi bahwa ada seseorang yang ikut berhijrah karena mengejar wanita tunangannya. Nama wanita itu Ummul Qais. Sehingga pada waktu itu terkenal sebuah istilah muhajjir Ummul Qais atau yang berhijrah karena Ummul Qais. Niat biasanya diartikan sebagai getaran batin untuk menentukan jenis ibadah yang kita lakukan.

Contoh, kalau kita melakukan shalat pukul 05.30, ada beberapa kemungkinan; shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Fajar, Istikharah, atau shalat Shubuh. Setidaknya ada enam kemungkinan. Kita lihat semuanya sama, gerakannya sama, bacaannya sama, rakaatnya sama, tapi ada satu yang membedakannya yaitu niat. Masalah niat termasuk salah satu masalah yang mendapatkan perhatian “serius” dalam kajian Islam.

Niat dibahas panjang lebar baik itu dalam ilmu fikih, ushul fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat ditempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji. Niat dalam ushul fikih biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan status hukum suatu perbuatan. Nikah adalah salah satu contohnya. Ia bisa berstatus wajib, haram, dan sunnat, tergantung pada niat dari nikah tersebut.

Begitu pula ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang dari Makkah, hukumnya bisa wajib, bisa sunnat, bahkan haram. Tingkatannya sangat tergantung pada niat untuk apa ia memakai gelar haji tersebut. Niat dalam sudut pandang akhlak pengertiannya lebih menunjukkan getaran batin yang menentukan kuantitas sebuah amal. Shalat yang kita lakukan dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sama, dan bacaan yang sama, penilaian bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya tergantung kualitas niatnya.

 

 

Sumber : Pusat Data Republika

Jebakan Iblis untuk Sang Ahli Ibadah

Jebakan Iblis untuk Sang Ahli IbadahJebakan Iblis untuk Sang Ahli IbadahJebakan Iblis untuk Sang Ahli Ibadah

Akhirnya, mereka pun sepakat untuk meninggalkan saudara perempuan mereka pada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani israil. Dialah orang yang dipercaya oleh mereka. Lalu mereka mendatangi ahli ibadah tersebut dan memintanya agar mereka diperkenankan untuk menitipkan saudara perempuan mereka, sehingga saudara perempuan mereka berada dalam pengawasan si ahli ibadah sampai mereka kembali dari perjalanan.

Awalnya, si ahli ibadah menolak permintaan tersebut dan memohon perlindungan diri kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala dari mereka dan dari saudara perempuan mereka. Tetapi mereka pun terus mendesak hingga akhirnya si ahli ibadah menuruti keinginan mereka dan menerima permintaan mereka. Dia berkata kepada mereka,

“Tempatkanlah saudara perempuanmu di rumah dekat tempat ibadahku.” Lantas mereka menempatkan saudara perempuan mereka di rumah tersebut, kemudian mereka pergi meninggalkannya.

Maka perampuan tersebut tinggal bersama si ahli ibadah tersebut selama beberapa waktu. Si ahli ibadah selalu turun dari tempat ibadahnya untuk membawakan makanan. Kemudian dia memanggil perempuan tersebut, lalu si perempuan keluar dari dalam rumah untuk mengambil makanan yang dihidangkan kepadanya. Lantas setan membisikinya. Setan pun menebarkan tipu dayanya, seolah-olah senantiasa memberi motivasi kepada ahli ibadah untuk berbuat kebaikan. Setan membisikkan rasa keberatan kepada ahli ibadah jika perempuan tersebut keluar dari rumahnya di siang hari, dan menakut-nakutinya jangan sampai ada seorang pun yang melihat perempuan tersebut. Akhirnya, si ahli ibadah mengunci perempuan tersebut.

“Seandainya engkau mau datang membawa makanan untuknya dan engkau letakkan di pintu rumah yang ditinggali perempuan tersebut, niscaya engkau mendapat pahala yang besar.”

Setan pun terus-menerus membisiki hal tersebut, hingga akhirnya dia berjalan ke tempat perempuan tersebut dengan membawa makanan serta meletakkannya di pintu rumah tanpa mengajak bicara perempuan tersebut. Si ahli ibadah melakukan hal ini selama beberapa waktu.

Iblis pun datang lagi untuk memperdaya si ahli ibadah, “Seandainya kamu mau berbicara dan mengobrol dengan perempuan tersebut, maka pasti dia merasa terhibur dengan obrolanmu lantaran dia sedang kesepian.”

Demikianlah Iblis senantiasa membisikinya, hingga akhirnya si ahli ibadah mau berbincang-bincang dengan perempuan tersebut dalam beberapa waktu. Si ahli ibadah itu pun selalu memandangi perempuan tersebut dari atas tempat ibadahnya. Setelah itu, iblis datang lagi membisikinya, “Seandainya engkau mau turun menghampirinya, hingga engkau duduk di pintu tempat ibadahmu lalu berbicara dengannya dan dia duduk di pintu rumahnya berbicara denganmu, niscaya hal ini lebih baik dan lebih menghibur dirinya.”

Iblis senantiasa membisikinya, hingga akhrinya iblis berhasil membuat si ahli ibadah turun dan duduk di depan pintu tempat ibadahnya untuk berbicara dengan perempuan tersebut dan demikian pula sebaliknya. Perempuan tersebut keluar dari rumah sehingga dia duduk di pintu rumah. Mereka berdua pun melakukan hal ini selama beberapa waktu.

Kemudian iblis datang lagi. Ia memperdayai ahli ibadah seolah hendak melakukan kebaikan dan meraih pahala ketika dia melakukan itu semua terhadap perempuan tersebut. Iblis membisikkan, “Seandainya kamu mau keluar dari pintu tempat ibadahmu, lalu kamu duduk di dekat pintu rumah perempuan tersebut untuk berbincang-bincang dengannya, niscaya hal tersebut lebih menghibur dan lebih baik baginya.” Iblis senantiasa membisikkan hal tersebut sampai si ahli ibadah melakukannya. Akhirnya, si ahli ibadah pun melakukannya dalam beberapa waktu.

Lantas iblis datang lagi seolah memotivasi untuk melakukan kebaikan seraya membisikkan, “Andai zaja kamu mau berdekatan dengannya, engkau duduk di pintu rumahnya untuk berbincang-bincang dengannya dan si perempuan tidak perlu keluar dari rumahnya.”

Lantas dia pun melakukan hal tersebut. Dia pun turun dari tempat ibadanya dan berdiri di pintu rumah si perempuan dan berbincang-bincang dengannya. Mereka berdua pun melakukan hal tersebut selama beberapa waktu. Selanjutnya, iblis datang lagi membisikinya, “Andai saja kamu mau masuk ke dalam rumah perempuan tersebut, lalu kamu berbincang-bincang dengannya dan kamu tidak membiarkan dirinya menampakkan wajahnya kepada seorang pun, niscaya hal tersebut lebih baik bagimu.”

Iblis senantiasa membisikinya, sehingga dia pun masuk ke dalam rumah dan berbincang-bincang dengan perempuan tersebut seharian penuh. Ketika waktu siang telah berlalu, dia naik ke tempat ibadahnya.

Lagi-lagi iblis mendatangi setelah itu, dia terus-menerus menghiasi perempuan tersebut di hadapan si ahli ibadah. Hingga akhirnya si ahli ibadah menyentuh paha dan kemaluan si perempuan. Iblis pun terus-menerus memoles si perempuan di kedua mata si ahli ibadah. Iblis membujuknya hingga akhirnya dia menzinai perempuan tersebut dan menghamilinya. Akhirnya perempuan tersebut melahirkan seorang anak.

Kemudian iblis datang dan membisiki, “Bagaimana pendapatmu, jika saudara-saudara ini datang, seementara saudara perempuannya melahirkan anak-anak darimu apa yang akan kamu perbuat? Pastilah keburukanmu akan terungkap atau mereka akan membuka keburukanmu. Oleh karena itu, datangi anak itu, sembelihlah dia, lalu kuburkan. Sungguh, si perempuan akan tutup mulut karena dia juga takut saudara-saudaranya tahu apa yang telah engkau perbuat terhadapnya.”

Lantas si ahli ibadah melakukannya. Dia pun membunuh anak tersebut. Selanjutnya iblis membisiki lagi, “Apakah kamu yakin perempuan tersebut dapat merahasiakan pada saudara-saudara atas apa yang telah engkau perbuat terhadapnya dan perbuatanmu yang telah membunuh anaknya. Maka, tangkap perempuan tersebut, lalu sembelih, dan kuburkan bersama anaknya!”

Iblis pun terus-menerus membisikkan hal itu, hingga akhirnya dia pun menyembelih perempuan tersebut dan menceburkannya ke dalam lubang beserta anaknya, menutupi keduanya dengan batu besar, dan meratakan tanahnya. Kemudian dia naik ke tempat ibadahnya dan beribadah di dalamnya.

Si ahli ibadah masih tetap dalam keadaan seperti itu hingga saudara-saudara perempuan tersebut pulang dari medan perang. Mereka mendatangi si ahli ibadah dan menanyakan perihal saudara perempuannya. Si ahli ibadah memberitahukan kepada mereka bahwa perempuan tersebut telah meninggal. Dia pun berdoa agar perempuan tersebut mendapat rahmat, dan mengisinya. Dia berkata, “Dia sudah perempuan terbaik.”

Ketika malam telah menjadi gelap dan mereka terlelap dalam pembaringannya, iblis mendatangi mereka dalam tidur dengan menjelma sebagai seorang musafir. Awalnya, setan mendatangi saudara paling tua. Iblis bertanya kepadanya tentang saudara perempuannya. Dia pun menceritakan sebagaimana yang dikatakan oleh si ahli ibadah tentang kematiannya, tentang ahli ibadah yang mendoakannya agar mendapat rahmat, dan tentang si ahli ibadah yang menunjukkan kuburan saudara perempuannya tersebut kepadanya. Lantas Iblis menganggapnya keliru. Iblis mengatakan, “Si ahli ibadah tidak berkata jujur kepada kalian tentang saudara perempuan kalian. Sungguh, si ahli ibadah telah menghamili saudara perempuanmu sehingga dia melahirkan seorang anak, lalu si ahli ibadah menyembelih saudara perempuan kalian beserta anaknya karena takut kepada kalian. Dia menceburkan keduanya ke dalam lubang yang digalinya di belakang pintu rumah yang ditempati oleh saudara perempuan kalian di sebelah kanan tempat orang masuk rumah. Oleh karena itu, pergilah dan masuklah ke dalam rumah yang kemarin ditempati saudara perempuan kalian, pastilah kalian akan menemukan keduanya sebagaimana yang saya katakan.”

Lantas Iblis mendatangi saudara kedua di dalam tidurnya. Iblis pun mengatakan hal yang sama kepadanya. Kemudian iblis mendatangi saudara paling kecil dan mengatakan hal yang sama kepadanya. Ketika mereka bangun tidur, mereka pun heran akan mimpi yang dialami oleh masing-masing dari mereka. Mereka saling berpandangan satu sama lain dan berkata kepada saudaranya, “Sungguh, tadi malam saya bermimpi aneh.” Mereka pun saling menceritakan mimpi mereka satu sama lain. Lantas saudara paling tua berpendapat, “Ini hanya bunga tidur. Tidak ada kenyataannya. Biarkan berlalu begitu saja.”

Sedangkan saudara paling kecil berpendapat, “Demi Allah, aku tidak akan melewatkan begitu saja sehingga aku mendatangi tempat tersebut dan aku melihatnya sendiri.”

Akhirnya mereka semua berangkat ke rumah yang pernah ditempati saudara perempuan mereka. Mereka membuka pintu dan mencari lokasi yang dijelaskan oleh iblis kepada mereka di dalam mimpi. Dan ternyata mereka menemukan saudara perempuan mereka bersama anaknya di dalam lubang dalam keadaan disembelih sebagaimana yang dikatakan iblis kepada mereka. Lantas mereka meminta penjelasan kepada si ahli ibadah mengenai hal tersebut.

Si ahli ibadah pun membenarkan perkataan iblis tentang apa yang telah dia perbuat terhadap keduanya. Selanjutnya mereka mengadukan kasus ini kepada Raja. Mereka pun menyeret si ahli ibadah dari tempat ibadahnya dan diajukan agar disalib. Ketika mereka telah mengikatnya pada tiang untuk dieksekusi, iblis mendatanginya dan berkata, “Saya adalah temanmu yang telah membujukmu dengan perempuan yang telah engkau hamili dan engkau sembelih beserta anaknya. Jika kamu sekarang kamu mau menurutiku dan engkau kufur terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menciptakanmu dan membentukmu, niscaya saya akan menyelamatkanmu dari keadaanmu sekarang ini.” Lantas si ahli ibadah kufur terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ketika dia telah kufur terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, iblis pun meninggalkannya. Akhirnya mereka menyalibnya dan membunuhnya. Mengenai hal inilah ayat berikut ini diturunkan.

(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) shaitan ketika dia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah kamu’, maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta Alam.’ Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hasyr: 16-17)

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Artikel www.KisahMuslim.com

Riya’ Penghapus Amal

Syarat paling utama suatu amalan diterima di sisi Allah adalah ikhlas. Tanpanya, amalan seseorang akan sia-sia belaka. Syaitan tidak henti-hentinya memalingkan manusia, menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah satunya adalah melalui pintu riya’ yang banyak tidak disadari setiap hamba.

Yang dimaksud riya’ adalah seseorang melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk dalam definisi riya’ adalah sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang dilakukan, sehingga pujian dan ketenaran pun datang. Riya’ dan semua derivatnya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik.
Hukum Riya’

Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal ini terjadi jika seseorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun mengharap wajah Allah. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Allah berfirman tentang keadaan mereka (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’ : 142). Dengan kata lain, riya’ yang tergolong syirik akbar adalah masuk Islam karena motivasi riya’.

Adapun yang kedua adalah riya’ yang terkadang menimpa orang yang beriman. Sikap riya’ ini terkadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan perbuatan syirik ashghar. (lihat I’aanatul Mustafiid, Syaikh Shalih Fauzan)

Jadi, hukum asal riya’ yang ada pada orang beriman adalah syirik ashghar (syirik kecil). Namun, riya’ bisa berubah hukumnya menjadi syirik akbar (syirik besar) dalam tiga keadaan berikut :
1. Jika seseorang riya’ kepada manusia dalam pokok keimanan. Misalnya seseorang yang menampakkan dirinya di hadapan manusia bahwa dia seorang mukmin demi menjaga harta dan darahnya.
2. Jika riya’ dan sum’ah mendominasi dalam seluruh jenis amalan seseorang.

3. Jika seseorang dalam seluruh amalannya lebih dominan menginginkan tujuan dunia, dan tidak mengharapkan wajah Allah. (Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid, Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi)
Ibadah yang Tercampur Riya’

Bagaimanakah status suatu amalan ibadah yang tercampu riya’? Hukum masalah ini dapat dirinci pada beberapa keadaan. Jika seseorang beribadah dengan maksud pamer di hadapan manusia, maka ibadah tersebut batal dan tidak sah. Adapun jika riya’ atau sum’ah muncul di tengah-tengah ibadah maka ada dua keadaan. Apabila amalan ibadah tersebut berhubungan antara awal dan akhirnya, misalnya ibadah shalat, maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha dihilangkan dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Jenis yang kedua adalah amalan yang tidak berhubungan antara bagian awal dan akhir, misalnya sedekah. Apabila seseorang bersedekah seratus ribu, lima puluh ribu dari yang dia sedekahkan tercampuri riya’, maka sedekah yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan sedekah lima puluh ribu yang lain tidak. (Lihat Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid)

Jika Demikian Keadaan Para Sahabat, Bagaimana dengan Kita?
Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Keteguhan iman mereka sudah teruji, pengorbanan mereka terhadap Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengkhawatirkan riya’ menimpa mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik ashghar. Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’” (HR. Ahmad, shahih)

Dalam hadits di atas terdapat pelajaran tentang takut terjerumus dalam syirik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kesyirikan menimpa para sahabat muhajirin dan anshor, sementara mereka adalah sebaik-baik umat. Maka bagaimana lagi dengan selain mereka? Jika yang beliau khawatirkan menimpa mereka adalah syirik ashghar yang tidak mengeluarkan dari Islam, bagaimana lagi dengan syirik akbar? Wal ‘iyadzu billah !! (lihat I’aanatul Mustafiid)

Lebih Bahaya dari Fitnah Dajjal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Maukah kuberitahukan kepadamu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika seseorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “(HR. Ahmad, hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya’ termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’ terkait dengan niat yang merupakan amalan hati yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Tidak ada yang mengetahui niat dan maksud  seseorang kecuali Allah semata. Hadits di atas menunjukkan tentang bahaya riya’. Kekhawatiran beliau lebih besar daripada kekhawatiran terhadap ancaman fitnah Dajjal karena hanya sedikit yang dapat selamat dari bahaya riya’ ini. Fitnah Dajjal yang begitu berbahaya, hanya menimpa pada orang yang hidup pada zaman tertentu, sedangkan bahaya riya’ menimpa seluruh manusia di setiap zaman dan setiap saat. (lihat I’aanatul Mustafiid)

Berlindung dari Bahaya Riya’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil. Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya, ‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah : Allāhumma inni a’uudzubika an usyrika bika wa anaa a’lam wa astaghfiruka limaa laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui)” (HR. Ahmad, shahih)

Tidak Tergolong Riya’
An Nawawi asy Syafi’i rahimahullah membuat suatu bab dalam kitab Riyadus Shalihin dengan judul, “Perkara yang dianggap manusia sebagai riya’ namun bukan termasuk riya’“. Beliau membawakan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian dia mendapat pujian dari manusia? Beliau menjawab, “Itu adalah kebaikan yang disegerakan bagi seorang mukmin “ (HR. Muslim).

Di antara amalan-amalan yang tidak termasuk riya’ adalah :

  1. Rajin beribadah ketika bersama orang shalih. Hal ini terkadang menimpa ketika seseorang berkumpul dengan orang-orang shalih sehingga lebih semangat dalam beribadah. Perbuatan ini tidak termasuk riya’.
  2. Menyembunyikan dosa. Kewajiban bagi setiap muslim apabila berbuat dosa adalah menyembunyikan dan tidak menampakkan dosa tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang menampakkan perbuatan dosanya. Di antara bentuk menampakkan dosa adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  3. Memakai pakaian yang bagus. Hal ini tidak termasuk riya’ karena termasuk keindahan yang disukai oleh Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong walau sebesar dzarrah (semut kecil).” Lantas ada seseorang yang berkata,“Sesungguhnya ada orang yang suka berpenampilan indah (bagus) ketika berpakaian atau ketika menggunakan alas kaki.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Yang dimaksud sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
  4. Menampakkan syiar ajaran Islam. Sebagian syariat Islam tidak mungkin dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti haji, umroh, shalat jama’ah, dan shalat jum’at. Seorang hamba tidak berarti riya’ ketika menampakkan ibadah tersebut, karena di antara kewajiban dalam Islam ada yang harus ditampakkan dan diketahui manusia yang lain. Karena hal tersebut merupakan bentuk menampakkan syiar-syiar islam. (Lihat Bahjatun Nazhirin, Syaikh Salim al Hilali)

Ikhlas Memang Berat

Pembaca yang budiman, ikhlas adalah satu amalan yang sangat berat. Cobalah kita renungkan setiap amalan kita, sudahkah terbebas dari maksud duniawi? Sudahkah semuanya murni ikhlas karena Allah Ta’ala? Jangan sampai ibadah yang kita lakukan siang dan malam menjadi sia-sia tanpa pahala. Urusan niat dalam hati bukanlah hal yang mudah. Tidaklah salah jika Sufyan ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah aku berusaha untuk membenahi sesuatu yang lebih berat  daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab). Hanya kepada Allah kita memohon taufik. Wallahu a’lam.

Penulis : Ustadz dr. Adika Mianoki
Muroja’ah : Ustadz Aris Munandar, M.Pi.

 

sumber: Buletin Muslim

Ahli Ibadah, tapi Ahli Neraka

Betapa banyak manusia di alam ini yang tersesat, sehingga mereka tidak menyembah Allah, namun yang mereka sembah adalah setan. Mereka menyembah, namun salah sasaran. Kita dan mereka sama-sama ibadah. Bedanya, kita beribadah kepada Tuhan yang benar, Al-Haq. Sementara mereka beribadah kepada tuhan yang batil, menyembah thaghut, yang tidak layak untuk disembah.

Kita dan mereka sama-sama capek, kita dan mereka sama-sama mengorbankan waktu dan tenaga. Bahkan bisa jadi, mereka lebih capek dibandingkan kita.

Allah berfirman menceritakan keadaan salah satu ahli neraka,

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ . تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً

“Rajin beramal lagi kepayahan, namun, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al-Ghasyiyah: 3 – 4).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan satu riwayat dari Abu Imran Al-Jauni, bahwa suatu ketika Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah melewati sebuah kuil, yang ditinggali seorang rahib nasrani.

Umarpun memanggilnya, ‘Hai rahib… hai rahib.’ Rahib itupun menoleh. Ketika itu, Umar terus memandangi sang Rahib. Dia perhatikan ada banyak bekas ibadah di tubuhnya. Kemudian tiba-tiba Umar menangis.

Beliaupun ditanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuat anda menangis?. Mengapa anda menangis ketika melihatnya.’
Jawab Umar, ‘Aku teringat firman Allah dalam Al-Quran, (yang artinya) ‘Rajin beramal lagi kepayahan, namun, memasuki neraka yang sangat panas’ Itulah yang membuatku menangis.’ (Tafsir Ibn Katsir, 8/385).

 

Tahukah Anda mengapa mereka di neraka?

Mereka rajin ibadah, namun semua sia-sia, justru mengantarkan mereka ke neraka?

Apakah Allah mendzalimi mereka? Tentu tidak, karena Allah tidak akan pernah mendzalimi hamba-Nya. Allah haramkan diri-Nya untuk mendzalimi hamba-Nya.

Lalu apa sebabnya?

Tentu saja semua itu kembali kepada pelaku perbuatan itu. Sebabnya adalah dia salah dalam beribadah. Dia beribadah, namun salah sasarannya, salah tata caranya, salah niatnya, salah yang disembah, atau salah semuanya. Sehingga bagaimana mungkin Allah akan menerimanya? Dan di saat yang sama, Allah justru memberikan hukuman kepada mereka. Wal ‘iyadzu billah..

Saudaraku sesama muslim, yang dirahmati Allah..,
Menyadari hal ini, sudah selayaknya kita bersyukur, Allah jadikan kita orang mukmin, padahal kita tidak pernah memintanya. Kita patut bersyukur, kita terlahir dari keluarga muslim, padahal kita tidak pernah diminta untuk memilihnya. Yang ini menjadi salah satu modal bagi kita agar ibadah kita diterima oleh Allah.

 

Kita sudah memiliki modal iman, tinggal saatnya kita berusaha agar amal kita diterima Allah. Bagaimana caranya? Caranya: kita berupaya agar amal yang kita kerjakan adalah amal yang benar. Benar sesuai dengan kriteria yang ditetapkan syariat.

Kriteria itu, Allah nyatakan dalam firman-Nya,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi: 110).

 

Keterangan ayat,

  • “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya” artinya dia siap bertemu Allah dengan membawa bekal amal yang diterima.
  • “hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, itulah amal yang diajarkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • “dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, dengan ikhlas karena Allah ketika beribadah.

Itulah salah satu ayat yang menjelaskan kriteria amal yang benar dalam syariat,

  • Benar niatnya: ikhlas karena mengharap balasan dari Allah
  • Benar tata caranya: sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Niat yang ikhlas semata, belumlah cukup untuk membuat amal kita diterima. Semangat, bukan modal utama agar amal kita diterima. Karena kita juga dituntut untuk benar dalam tata caranya.

Sebagai mukmin, kita tentu tidak ingin amal kita ditolak karena salah prakteknya. Kita dalam beramal telah mengeluarkan modal tenaga, waktu, atau bahkan harta. Jangan sampai menjadi batal, karena kita kurang perhatian dengan tata cara beramal.

Karena itu, mari kita menjadi orang yang mencintai sunah dan berusaha membumikan sunah. Berusaha menyesuaikan amal kita dengan sunah. Dengan itu, kita bisa berharap, amal kita diterima. Kita bisa tiru semangat para ulama dalam meniti sunah, hingga mereka berdoa,

اللهم أمتنا على الإسلام وعلى السنة

“Ya Allah, matikanlah aku di atas islam dan sunah…” (HR. Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad, 9/354).

 

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

 

 

sumber: KonsultasiSyariah.com

Ahli Ibadah Bisa Masuk Neraka karena Tetangga

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dikisahkan bahwa pada suatu ketika datanglah sekelompok orang kepada Rasulullah SAW seraya menceritakan profil dua orang perempuan yang satu sama lain saling bertentangan.

Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, ada seorang perempuan yang terkenal karena ia telah melaksanakan ibadah shalat, puasa, dan zakat dengan sempurna. Namun, ia sering menyakiti hati dan perasaan tetangganya.” Jawab Rasulullah SAW: “Tempat perempuan itu di neraka.”

Kemudian orang-orang tadi menceritakan kepada Rasulullah SAW tentang seorang perempuan yang terkenal justeru karena ia tidak melaksanakan ibadah shalat, puasa, dan zakat dengan sempurna, namun ia sama sekali tidak pernah menyakiti hati dan perasaan tetangganya. Maka, Rasulullah SAW berkata: “Tempat perempuan itu di surga.”

Memahami hadis di atas perlu kehati-hatian. Hadis di atas sama sekali bukan merupakan ajakan untuk meminimalisasi pelaksanaan ibadah-ibadah ritual seperti shalat, puasa, dan zakat; juga tidak mengajarkan untuk lebih memperhatikan ibadah-ibadah sosial ketimbang ibadah-ibadah ritual.

Mengedepankan ibadah-ibadah sosial tidak mesti dengan mengenyampingkan ibadah-ibadah ritual. Esensi hadis di atas sesungguhnya adalah penegasan bahwa tidak ada pemisahan antara ibadah ritual dan ibadah sosial atau dengan kata lain antara ibadah dan akhlak. Keduanya harus mewarnai aktivitas hidup setiap muslim secara seimbang.

Pemahaman yang tidak seimbang terhadap pentingnya ibadah ritual dan akhlak akan melahirkan dua macam kelompok manusia. Pertama, kelompok manusia yang pandai melaksanakan ibadah ritual tapi berakhlak buruk. Di samping sempurna melaksanakan shalat, puasa, zakat, bahkan haji, mereka juga terbiasa melakukan penyelewengan, korupsi, manipulasi, dan sejenisnya. Kedua, kelompok manusia yang berakhlak mulia tapi tidak secara maksimal melaksanakan ibadah-ibadah ritual.

 

 

Sumber : Pusat Data Republika

Rajin Shalat tapi tak Pernah Dicatat Malaikat

Rasulullah SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang sesuatu yang di kemudian hari bisa menjangkiti umatnya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya ada sesuatu yang aku takutkan di antara sesuatu yang paling aku takutkan menimpa umatku kelak, yaitu syirik kecil.

Para sahabat bertanya, ‘Apakah syirik kecil itu?’ Beliau menjawab, riya. Dalam sebuah hadis diceritakan pula bahwa di akhirat kelak akan ada sekelompok orang yang mengeluh, merangkak, dan menangis. Mereka berkata, “Ya Allah di dunia kami rajin melakukan shalat, tapi kami dicatat sebagai orang yang tidak mau melakukan shalat”.

Para malaikat menjawab, ‘Tidakkah kalian ingat pada waktu kalian melakukan shalat kalian bukan mengharap ridha Allah, tapi kalian mengharap pujian dari manusia, kalau itu yang kalian cari, maka carilah manusia yang kau harapkan pujiannya itu.” Jelaslah, bahwa kualitas sebuah amal berbanding lurus dengan kualitas niat yang melatarbelakanginya.

Bila niat kita lurus, maka lurus pula amal kita. Tetapi bila niat kita bengkok, maka amal kita pun akan bengkok. Agar niat kita senantiasa lurus dan ikhlas, alangkah baiknya apabila kita menghayati kembali janji-janji yang selalu kita ucapkan saat shalat, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam”.

 

 

Sumber : Pusat Data Republika

 

Terjalinnya Persaudaraan Antara Kaum Muhajirin Dengan Kaum Anshâr

Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla surat al-Hujurât/49 ayat 10, yang artinya: Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara. Konsekwensi dari persaudaraan itu, maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr. Persaudaraan antara kaum Muhajirîn dan kaum Anshâr yang deklarasikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki konsekwensi lebih khusus bila dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat umum.

Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan[1]. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang dihadapi kaum Muhajirîn di daerah baru.

Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum Anshâr tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshâr dengan pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshâr yang mengagumkan ini diabadikan di dalam Al-Qur`ân, surat al-Hasyr/59 ayat 9 :

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshâr) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).

Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah Radhiyallahu anhumenceritakan:

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali air”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshâr berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam !” Istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak”. Orang Anshâr itu berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung –Qs. al-Hasyr/59 ayat 9. [HR Bukhari]

Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshâr membantu saudaranya, namun permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak merasa sebagai benalu bagi kaum Anshâr. Disinilah tampak nyata pandangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang cerdas dan bijaksana. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr.

Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tempat deklarasi persudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin Mâlik,[2] dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.[3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dua dua, satu dari Anshâr dan satu lagi dari Muhajirin.

Ibnu Sa’ad dengan sanad dari syaikhnya, al-Waqidi rahimahullah menyebutkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan mempersaudarakan antara kaum Anshâr dengan kaum Muhajirin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong, saling mewarisi setelah (saudaranya) wafat. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari 45 kaum Anshâr dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50 orang.

Imam Bukhâri meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah, kaum Muhajirin bisa mewarisi kaum Anshâr karena persaudaraan yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan dzawil-arhâm (kerabat yang bukan ahli waris) tidak.

Di antara contoh praktis buah dari persaudaraan yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu kisah ‘Abdurrahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu dengan Sa’ad bin Rabi’ Radhiyallahu anhu . Sa’ad Radhiyallahu anhu berkata kepada ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu : “Aku adalah kaum Anshâr yang paling banyak harta. Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa ‘iddahnya, engkau bisa menikahinya”.

Mendengar pernyataan saudaranya itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu menjawab: “Aku tidak membutuhkan hal itu. Adakah pasar (di sekitar sini) tempat berjual-beli?”

Lalu Sa’ad Radhiyallahu anhu menunjukkan pasar Qainuqa’. Mulai saat itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu sering pergi ke pasar untuk berniaga, sampai akhirnya ia berkecukupan dan tidak memerlukan lagi bantuan dari saudaranya.[4]

Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berlanjut. Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara mencari nafkah, maka Allah Azza wa Jalla menggugurkan syariat waris-mewarisi dengan sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum mukminin. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. [al-Anfâl/8 : 75]

Dan firman-Nya :

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا

Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). [al-Ahzâb/33 : 6]
.
Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyebutkan, yang digugurkan adalah saling mewarisi, sedangkan tolong-menolong dan saling menasihati tetap disyariatkan. Dan dua orang yang telah dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk saudaranya. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah [5] .

Di antara bukti yang menunjukkan persaudaraan ini terus berlanjut namun tidak saling mewarisi, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu dengan Abu Darda’ Radhiyallahu anhu . Padahal Salmân Radhiyallahu anhu masuk Islam pada masa antara perang Uhud dan perang Khandaq. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempersaudarakan antara Muawiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu dengan al-Hattât at-Tamîmi Radhiyallahu anhu . Juga antara Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu dengan Mu’adz bin Jabar Radhiyallahu anhu . Semua peristiwa ini terjadi setelah perang Uhud. Ini menunjukkan persaudaraan itu masih disyariatkan namun tidak saling mewarisi.

Pelajaran dan Hikmah
Sikap Abdurrahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu terhadap tawaran saudaranya, yaitu Sa’ad bin Rabi’ Radhiyallahu anhu , merupakan iffah atau menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta. Tampak kesiapan mental kaum Muhajirin untuk melakukan pekerjaan yang sanggup mereka lakukan.

Sumber:
– As-Sîratun-Nabawiyah ash-Shahîhah, Dr. Akram Dhiya` al-Umari.
– As-Sîratun-Nabawiyyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. As-Sîratun-Nabawiyah ash-Shahîhah, hlm. 241.
[2]. Ucapan ini disampaikan sendiri oleh Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu , sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Fath (10/41, no. 2294) dan Muslim (4/196/2529). Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, hlm. 302.
[3]. Ucapan ini dibawakan oleh Abu Sa’id dalam Syaraful-Musthafa sebagaimana juga disebutkan Ibnu Hajar dalam al-Fath (15/130). Dr. Akram Dhiya’ al-Umari mengatakan: “Nampaknya –wallahu a’lam- antara pendapat-pendapat ini tidak saling bertentangan. Karena persaudaraan itu tidak tuntas hanya dalam sekali pertemuan, namun tergantung dengan kedatangan orang yang baru (masuk) Islam dan yang baru tiba di Madinah. Riwayat yang terdapat dalam kitab shahîh didahulukan dari yang lainnya. Teks hadits riwayat Muslim mengisyaratkan, awal deklarasi dilakukan di rumah Anas bin Malik Radhiyallahu anhu “. Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, hlm. 302.
[4]. Hadits ini selengkapnya bisa dilihat dalam Shahîh al-Bukhâri, al-Fath, 9/133-134, no. 2048.
[5]. Lihat, Shahîh Muslim, 4/1960.

 

sumber: AlManhaj

Pentingnya Ukhuwah Islamiyah (2)

Tak ada bentuk ukhuwah yang paling baik untuk dikembangkan umat Islam, selain ukhuwah Islamiyah.

Pentingnya menjaga dan memelihara ukhuwah juga diajarkan oleh Rasulullah SAW. “Orang Mukmin itu bagaikan satu jasad, atau bagaikan bangunan yang saling mengukuhkan,” sabda beliau dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

Dalam hadis lainnya, Rasulullah bersabda, “Orang Islam itu satu sama lain bersaudara.” (HR Abu Dawud).

Hadis dan ayat di atas menegaskan bahwa tak ada bentuk ukhuwah yang paling baik untuk dikembangkan umat Islam, selain ukhuwah Islamiyah.

Ukhuwah Islamiyah merupakan ikatan yang paling hakiki dan kuat, mengungguli semua jenis ikatan lainnya. Boleh jadi, ikatan lainnya hanyalah bersifat sarana ukhuwah, tetapi tak dapat dijadikan dasar yang kuat bagi bangunan persaudaraan.

Perbedaan yang terdapat di antara manusia, seperti fisik, ideologi dan sebagainya hanya dapat dijembatani dengan iman kepada Allah SWT. Sejatinya, ketika seseorang  menyatakan dirinya beriman, maka saat itu pula ia terikat persaudaraan dengan orang yang seiman.

“Tak sempurna iman seseorang, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia cintai dirinya sendiri,” sabda Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi itu.

Sungguh indah, jika setiap Muslim memelihara dan menjaga ukhuwah, sehingga umat Islam bisa menjadi sebuah kekuatan yang paling hebat di dunia ini.

 

 

sumber: Republika Online