Kiat Membuang Pikiran Kotor

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Ustadz, saya ingin bertanya: Bagaimana caranya untuk menghilangkan pikiran kotor? karena hal itu membuat saya tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Apakah saya harus diruqyah? dan apakah saya harus segera menikah? terima kasih. Wassalamu’alaikum.

Dian

 

 

Jawaban Ustadz:

‘Alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,
Cara untuk menghilangkan pikiran kotor dapat dilakukan dengan beberapa hal
berikut:

Pertama,
Menjauhi segala sebab yang dapat menimbulkan hal tersebut seperti menonton film, membaca cerita porno atau berita tentang terjadinya pemerkosaan, begitu juga melihat gambar porno, serta menjaga pandangan dari melihat wanita (apa lagi di negeri kita porno aksi sebagai santapan yang biasa dinikmati), semoga Allah melindungi kita dari fitnah wanita dan fitnah dunia.

Kedua,
Mengambil pelajaran dari kisah para nabi atau orang sholeh yang mampu menjaga diri ketika dihadapkan kepada fitnah wanita, seperti kisah nabi Yusuf ‘alaihissalam, betapa beliau saat digoda oleh wanita yang bangsawan lagi cantik, tapi hal itu tidak mampu menebus tembok keimanan beliau, bahkan beliau memilih untuk ditahan dari pada terjerumus ke dalam maksiat.

Ketiga,
Ingat akan besarnya pahala diri di sisi Allah yang dijanjikan bagi orang yang mampu menjaga kehormatan diri sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tujuh golongan yang akan mendapat naungan dari Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah disebutkan di antaranya adalah seorang pemuda yang diajak untuk melakukan zina oleh seorang wanita cantik lagi bangsawan, anak muda itu menjawab: “Aku takut pada Allah”. Di samping mengingat tentang balasan yang akan diterimanya dalam surga yaitu bidadari yang senyumnya berkilau bagaikan cahaya, silakan baca bagaimana kecantikan bidadari yang diceritakan Allah dalam Al Quran.

Keempat,
Ingat betapa besarnya azab yang akan diterima bagi orang yang melakukan zina silakan baca ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan zina, seperti yang disebutkan dalam hadits bawa para pezina akan diazab dalam gerbong yang berbentuk kerucut, yang arah kuncupnya ke atas di bawahnya dinyalakan api bergelora dan membara, mereka melayang-layang dalam gerbong yang berbentuk kerucut tersebut karena disembur api dari bawah, tapi tidak bisa keluar karena lobang atas gerbong itu sangat kecil. Mereka berteriak dan memekik sekuat-kuatnya, sehingga pekik satu sama lainnya pun menyiksa. Semoga Allah menjauhkan kita dari api neraka.

Kelima,
Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat, jangan banyak menyendiri dan berkhayal. Di samping selalu berdoa kepada Allah supaya dihindarkan dari berbagai maksiat.

Keenam,
Bila memiliki kemampuan untuk berkeluarga ini adalah jalan yang paling terbaik yang dianjurkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bila tidak mampu maka usahakan berpuasa Senin Kamis, wallahu a’lam.

***

 
Dijawab Oleh: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra,M.A.

Artikel www.konsultasisyariah.com

Hukum Puasa setelah Nisfu Sya’ban

Apa hukum puasa setelah nisfu syaban, mohon penjelasan..!

Trim’s

 

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Terdapat hadis dari Abu Hurairahradliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا

“Jika sudah masuk pertengahanSya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud 2337)

Dalam hadis yang lain, yang juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari 1914 dan Muslim 1082).

Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkan puasa selama sya’ban. Bahkan beliau melakukan puasa sya’ban sebulan penuh. Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Bukhari 1970 dan Muslim 1156)

Demikian pula yang disampaikan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. beliau mengatakan,

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ

“Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut selain di bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR. An Nasa’i 2175, At-Turmudzi 736 dan dishahihkan Al-Albani).

Dari beberapa hadis di atas, kita mendapatkan dua premis yang zahirnya bertentangan,

1. Dilarang melakukan puasa sunah setelah masuk pertengahan puasa syaban

2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan puasa syaban hampir sebulan penuh, dan dipastikan setelah masuk pertengahan beliau juga puasa.

Namun sejatinya, jika kita perhatikan, tidak ada pertentangan dari hadis-hadis di atas. Para ulama telah menjelaskan, bagaiamana mengkompromikan beberapa hadis di atas, sehingga semuanya tetap berlaku. Salah satu penjelasan itu, disampaikan oleh Al-Qurthubi. Beliau menjelaskan tentang cara mengkompromikan hadis, hadis di atas. Beliau mengatakan,

لا تعارض بين حديث النهي عن صوم نصف شعبان الثاني والنهي عن تقدم رمضان بصوم يوم أو يومين وبين وصال شعبان برمضان

“Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah memasuki pertangahan Sya’ban, serta hadis yang melarang mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, dengan hadis yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan.

والجمع ممكن بأن يحمل النهي على من ليست له عادة بذلك ويحمل الأمر على من له عادة حملا للمخاطب بذلك على ملازمة عادة الخير حتى لا يقطع

Kompromi memungkinkan untuk dilakukan, dengan memahami bahwa hadis larangan puasa berlaku untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah. Sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” (Aunul Ma’bud, 6/330).

Sejatinya kompromi semacam ini telah dijelaskan dalam hadis Abu Hurairah di atas, tentang larangan berpuasa sehari atau dua hari menjelang ramadhan. Dalam hadis itu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengecualian, “kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.” Puasa sunah ini mencakup puasa sunah selama setahun, seperti senin-kamis, daud, 3 hari tiap bulan, atau puasa sunah sya’ban yang sudah dirutinkan sejak awal.

Sementara bagi mereka yang tidak memiliki kebiasaan puasa sunah, baik puasa sunah tahunan atau dia tidak ada keinginan untuk rajin berpuasa selama sya’ban, maka tidak dibolehkan baginya untuk berpuasa setelah memasuki pertengahan sya’ban.

Kebiasaan ini sempat kita jumpai pada sebagian orang yang melakukan pemanasan dengan melatih diri untuk berpuasa ketika hendak memasuki ramadhan.

Allahu a’lam..

 

 

 

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembinawww.KonsultasiSyariah.com)

1 Juni, Ingatlah Sukarno, Tapi Jangan Sepelekan Jasa Tokoh Islam

Tak ada yang dapat membantah bahwa esok hari, yakni tanggal 1 Juni, adalah hari kelahiran Pancasila. Siapa penggalinya? Ya, tidak juga dapat dibantah karena tak lain dan tak bukan adalah Ir Sukarno.

Memang, pada awal tahun 1980-an, sempat ada usaha untuk membuang jasa Sukarno terhadap Pancasila. Namun, usaha itu gagal total. Publik tetap sadar dan mengakui bahwa Pancasila itu lahir dari karya pikir Sukarno. Tak urung Bung Hatta pun dengan tegas mengakuinya. Sikap ini sempat diulang kembali oleh putrinya, Meutia Hatta, ketika berpidato pada sebuah acara ormas pemuda beberapa waktu silam.

“Pancasila itu dasar negara kita. Dan yang melahirkannya adalah Bung Karno. Bahkan, penegasan ini dinyatakan langsung Bung Hatta dalam surat wasiatnya kepada putra Bung Karno (Guntur Soekarnoputra). Dan saya yakin surat wasiat itu pun masih ada dan disimpan Mas Guntur,” kata Meutia Hatta.

Meutia mengatakan, dalam surat wasiat yang ditujukan kepada Guntur itu sebenarnya berisi dua hal. Salah satunya adalah pernyataan dari Bung Hatta bahwa yang melahirkan Pancasila adalah Bung Karno. Ini penting karena pada saat surat wasiat dituliskan, yakni pada awal 1980-an, berkembang pernyataan yang meragukan Bung Karno adalah penggali Pancasila. Sedangkan, hal satunya lagi adalah wasiat ketidaksediaan Bung Hatta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Bila kemudian mengacu pada risalah sidang BPUPKI yang rangkumannya merupakan karya dua stenografer yang pada tahun 1945 mencatat seluruh pembicaraan sidang itu, yaitu Ibu Letjen (Pur) TB Simatupang dan Ibu Netty Karundeng, terbaca secara jelas peran seperti apa yang dimainkan Sukarno pada 1 Juni 1945 itu.

Dan memang, meski Sukarno berpidato bukan pada sidang hari pertama, apa yang diuraikannya begitu memukau. Suasana ini dalam risalah itu tercatat jelas. Berulang kali anggota BPUPKI bertepuk tangan riuh dan kadang tertawa menanggapi isi pidatonya.

Pancadharma, Pancasila, Trisila, dan Ekasila

Dari pidato tanggal 1 Juni 1945 itulah kemudian ada kata Pancasila untuk menyebut lima falsafah yang merupakan dasar Negara Indonesia. Sukarno menyebut nama “Pancasila” adalah nama yang diberikan oleh seorang temannya yang ahli bahasa Sanskerta (sebagian sejarawan mengatakan orang tersebut adalah M Yamin yang merupakan teman Sukarno dan memang ahli dalam bahasa-bahasa kuna).

Salah satu penggalan pidato yang menyebut lima dasar negara yang diucapkan Sukarno pada 1 Juni 1945 adalah:

“… Saudara-saudara, apakah prinsip kelima itu? Saya telah mengemukakan empat prinsip: (1) kebangsaan Indonesia, (2) internasionalisme, (3) mufakat atau demokrasi, (4) kesejahteraan sosial. (Prinsip kelima–Red) prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Sukarno.

Dalam soal nama Pancasila (Lima Dasar) ini, Sukarno sempat menyebut nama lain, yakni “Pancadharma”. Namun, dia menyatakan tak tepat dengan nama itu sebab “Pancadharma” itu artinya lima kewajiban.

Pada bagian selanjutnya, Sukarno pun masih membuka kemungkinan bila usulan soal lima dasar (Pancasila) itu tidak disetujui. “… Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka pada bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga sila saja,” kata Sukarno.

Setelah itu, dia kemudian menyebut tiga prinsip negara itu dengan sebutan “Trisila”. “… Jadi, yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, sosio-democratie, dan Ke-Tuhanan. Kalau tuan senang kepada simbol ini, ambillah yang tiga ini …,” tegas Sukarno lagi.

Dan, setelah menyebutkan Trisila, Sukarno pun masih menawarkan kepada anggota Sidang BPUPKI bila masih ada yang tidak setuju dengan tawaran “tiga dasar” tersebut:

“ … Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apalah yang satu itu? Sebagai tadi saya telah katakan, kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemoto yang kaya buat Indonesia, tapi Indonesia buat Indonesia! Jika saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia dengan yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!

Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!” (tepuk tangan riuh rendah).

 

Benarkah Ki Bagus Ngotot Mendirikan Negara Beradasarkan Asas Islam?

Pada pidato tanggal 1 Juni, Sukarno memang menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo (dalam ejaan lama ditulis dengan Ki Bagus Hadikoesoemo, 1890-1954) sebanyak dua kali. Pertama, ketika membahas soal dasar negara dan kedua ketika memberi ilustrasi soal pemilihan sistem pemerintahan yang memakai sistem presidensial, bukan sistem monarki atau kerajaan.

Lalu, mengapa nama Ki Bagus sempat disebut beberapa kali dalam pidato Sukarno itu? Jawabnya dengan mengutip  tulisan pengantar dari dua sejarawan yang menjadi tim penyunting untuk edisi keempat Risalah Sidang BPUPKI, Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati: memang ada kaitannya.

Analisis lain, itu karena Sukarno sangat hormat kepada Kasman selaku tokoh senior yang saat itu memimpin Persyarikatan Muhammadiyah. Ini dapat dimengerti karena Sukarno pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu. Dan dia pun menikahi Fatmawati yang juga merupakan putri tokoh penting Muhammadiyah di Sumatra. Khusus dengan Kasman, Sukarno pun enggan berdebat berkepanjangan dengannya.

”Sukarno cenderung menjaga perasaan Ki Bagus. Kalau ada soal, maka dia mencari Pak Kasman Singodimedjo untuk melobi dan meluluhkan hatinya,” kata Lukman Hakiem, mantan staf pribadi mantan perdana menteri M Natsir.

Sedangkan, khusus untuk buku Risalah Sidang BPUPKI edisi keempat (terbitan Sekneg RI tahun 1998) itu, memang ada materi penting di dalamnya. Menurut Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, hal itu adalah adanya reproduksi pidato Ki Bagus Hadikusumo tanggal 31 Mei 1945 yang memuat usul beliau mengenai dasar negara. Naskah reproduksi ini diantarkan sendiri ke sekretaris negara oleh putra beliau, Kolonel Laut (P) Basmal Hadikusumo.

Dalam kata pengantar itu, tim penyunting menyatakan telah menelaah secara sungguh-sungguh materi pidato Ki Bagus Hadikusumo tersebut, khususnya dalam kaitan dengan keseluruhan pembahasan dasar negara dalam BPUPKI. Yang menjadi perhatian penyunting adalah dinamika perkembangan pembahasannya, yang meliputi pandangan awal, tanggapan para anggota BPUPKI lainnya, dan tanggapan balik dari yang bersangkutan sendiri. Sudah lama para penyunting (di situ disebut dengan kata kami–Red) berpendapat bahwa adalah tidak tepat untuk membaca pendapat para anggota BPUPKI sepotong-sepotong. Dalam bermusyawarah, sudah barang tentu ada proses memberi dan menerima sebelum mufakat dapat dicapai.

” … Menilik isinya, usul Ki Bagus Hadikusumo inilah yang merangsang tanggapan dari Prof Mr Dr Soepomo pada hari yang sama dan dari Ir Soekarno pada hari berikutnya. Tanggapan-tanggapan para anggota BPUPKI itu diperhatikan beliau dengan sungguh-sungguh. Walaupun mulanya beliau menyarankan agar agama Islam dijadikan dasar negara, namun karena menyadari risiko terpecahnya bangsa jika usul itu dilaksanakan, beliau (Ki Bagus–Red) pula bersama Kiai Sanusi yang pada tanggal 14 dan 15 Juli 1945 mencabut kembali usulan itu,’’ tulis Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati.

Dalam kalimat berikutnya, keduanya kembali menuliskan, “… Apalagi karena tidak jelasnya arti anak kalimat yang tercantum dalam rancangan pembukaan UUD tanggal 22 Juli 1945, yaitu “ … Dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Oleh karena itulah, kedua ulama itu kemudian dengan gigih menuntut agar kalimat tersebut dicoret saja. Mereka berpendirian bahwa jika BPUPKI tidak menyetujui negara berdasar agama (baca: agama Islam) agar negara bersikap netral saja terhadap masalah agama ini.

 

Radjiman dan Sukarno Justru Menolak Pencoretan

Dalam kata pengantar tim penyunting tersebut, Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, keduanya menyatakan, sungguh mengherankan bahwa usul Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi itu justru ditolak dengan keras oleh Ketua BPUPKI Dr  Radjiman Wedyodiningrat dan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar Ir Sukarno.

” … Keterangan yang kami peroleh dalam membaca risalah ini hanyalah bahwa sikap Radjiman dan Soekarno tersebut didasarkan pada argumen yang amat bersifat formal dan legalistik. Kedua beliau ini berpendapat bahwa rumusan tersebut (Piagam Jakarta–Red) merupakan kompromi yang dicapai dengan susah payah antara apa yang dinamakan ‘golongan Islam’ dan ‘golongan kebangsaan’. Pencoretan ‘tujuh kata’ tersebut dikhawatirkan akan mementahkan kembali masalah yang sudah diselesaikan,” tulis Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati.

Pendapat keduanya menyatakan, adanya pendirian Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi tanggal 14 dan 15 Juli di atas mengharuskan kita meninjau kembali dikotomi “golongan Islam” dan “golongan kebangsaan” yang dianut selama ini, Sebabnya ialah ternyata semangat kebangsaan itu juga terdapat dengan kuat pada kalangan yang disebut sebagai golongan Islam.

“Semangat kebangsaan Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi itu pulalah yang menyebabkan beliau-beliau pada tanggal 18 Agustus 1945 pagi para tokoh Islam–bersama KH Wachid Hasyim, Mr Tengku Mohammad Hassan, dan Mr Kasman Singodimedjo–dengan serta-merta menyambut baik permintaan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia bagian timur kepada Drs Moh Hatta pada tanggal 17 Agustus sore agar kalimat itu dicoret saja. Sebab, ialah oleh karena justru beliau-beliau sendiri yang mengusulkan hal itu lebih dari sebulan sebelumnya,” tulis Saafroedin Bahar dan Nanie Hudawati.

Maka janganlah lupa sama sejarah itu. Sebab, seperti yang sering dikatakan sejak akhir 1970-an: “Disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara adalah kado terindah dari umat Islam Indonesia.”

 

sumber: Republka Online