Wasiat Bung Karno untuk Menentang Penjajahan Zionis Israel

Para pemuda pun turut bersuara, menyerukan kemerdekaan Palestina. Para pemuda yang kelak menjadi para pendiri Bangsa yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB). 

Mereka diantaranya adalah Natsir, Kasman Singodimedjo, Samsurizal dan lainnya bersama mentornya H. Agus Salim konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina.

“Tidak sunyi berita pertempurannya tia-tiap hari. Sudah beribu orang menjadi korban, menjadi syahid mati terbunuh di dalam jihadnya atau kena bom udara atau tembak balasan Inggris. Beribu-ribu pula orangnya, orang tua, perempuan dan anak-anak beratus-ratus janda dan yatim hidup sengsara di dalam negeri yang menderitakan bencana perang bertahun-tahun.” (H. Agus Salim, Pandji Islam: 1939)

“Memang, seharusnyalah umat Islam Indonesia mempersatukan pula suaranya berkenaan dengan hal itu dan menyebuahkan daya dan upaya, jika ada yang dapat dilakukan, untuk membuktikan persatuan hatinya dan pengakuannya akan pertalian dengan umat Islam tiap-tiap bangsa Islam di seluruh dunia.” Tegas H. Agus Salim.

Suara-suara solidaritas terus mengalir, hingga pada tahun 1953-1955, dalam persiapan Konferensi Asia Afrika (KAA), Presiden Soekarno menentang keras jika Israel jika dilibatkan dalam konferensi yang bertemakan antikolonialisme tersebut. Pada Konferensi KAA tahun 1955, di Gedung Merdeka, Soekarno menegaskan kembali untuk memperjuangkan Negara-negara yang belum merdeka termasuk Palestina.

Keteguhan Soekarno berlanjut, dalam aksi-aksi solidaritas kemerdekaan Palestina seperti mengirimkan bantuan, hingga tahun 1962. Tepatnya 17 tahun setelah Indonesia merdeka, negara ini menjadi tuan rumah Asian Games ke-4. Bertempat di Jakarta, kompetisi olahraga empat tahunan itu diselenggarakan pada tanggal 24 Agustus – 4 September 1962.

Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah pada saat itu ditentukan oleh hasil voting yang dilakukan oleh Dewan Federasi Asian Games di Tokyo, Jepang, sebelum Asian Games 1958 dimulai, tepatnya pada tanggal 23 Mei 1958. Dari hasil pemungutan suara yang diikuti oleh dua kandidat tuan rumah Asian Games 1962, yakni Pakistan dan Indonesia, sebanyak 22 suara memilih Jakarta sebagai tuan rumah dan jumlah suara ini mengungguli Karachi, ibu kota Pakistan yang hanya meraih 20 suara. Sehingga, pada saat itu resmi ditetapkan tuan rumah Asian Games 1962 adalah Jakarta, Indonesia.

Soekarno menolak keterlibatan dan keikutsertaan Israel dalam Asian Games.
“..Untuk Israel, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel” tegas Soekarno kepada wartawan.

Dalam ruang serba terbatas dan sulit, bangsa ini selalu mengajarkan akan anti kolonialisme yang lahir dari nurani kemanusiaan, walau negeri ini baru seumur jagung.

Bapak-bapak pendiri bangsa ini, dalam segala keterbatasannya telah mengajarkan kita arti sebuah kemanusiaan, solidaritas, ukhuwah, kebersamaan, yang tak lekang oleh jarak dan waktu, bahwa kemerdekaan Palestina adalah wasiat sekaligus amanat dari para pendiri bangsa untuk segenap bangsa Indonesia.

Kini, berpuluh tahun sudah, suara-suara perjuangan dan degup cita para pendiri Bangsa Indonesia akan kemerdekaan Palestina seakan tinggal lirih terdengar diantara gemerlap laju pembangunan, yang menyisakan pertanyaan, apakah kita akan terus melanjutkan perjuangan ini?•••

SADAQA.or.id

Bung Karno Proklamasikan Tanggal 17 Merujuk Islam

DUA hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI (15 Agustus 1945), suasana Jakarta sangat tegang dan penuh kesibukan.

Rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), didatangi para pemuda yang telah mengetahui Jepang sudah menyerah kepada Sekutu.

Sampai ia diculik ke Rengasdenglok, Bung Karno menolak desakan para pemuda agar saat itu juga kemerdekaan diproklamasikan. Dia lebih memilih tanggal 17 Agustus.

“Mengapa diambil tanggal 17 Agustus? Mengapa tidak sekarang atau tanggal 16 Agustus?” tanya Sukarni, salah seorang pemimpin radikal itu.

Dijawab, “Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan secara pertimbangan akal mengapa tanggal lebih memberi harapan. Angka 17 adalah suci. Orang Islam salat 17 rakaat sehari, Jumat hari suci.” [Alwi Shahab]

 

MOZAIK

Haul Sukrno: Sukarno Minta Kesediaan Hamka Shalatkan Jenazahnya

Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) salah satu ulama besar yang pernah bersitegang dengan Sukarno. Meski menjadi lawan politik, Hamka tidak pernah menyimpan dendam kepada Sukarno, pria yang dianggap sahabat namun pernah mengurungnya di jeruji besi selama dua tahun empat bulan tanpa proses pengadilan. Tuduhan kepada Hamka tidak main-main; terlibat dalam rencana pembunuhan

Anak kelima Buya Hamka, Irfan Hamka, dalam buku Ayah menceritakan bagaimana ayahnya bersikap terhadap pemerintahan Sukarno. Dalam suatu acara yang digelar Dewan Kesenian Jakarta pada 1969, Buya Hamka memaparkan dua hal, pertama pelarangan peredaran buku-buku Pramoedya Ananta Toer, dan kedua bagaimana sikapnya terhadap Pramoedya yang menjadi penyebab Hamka dipenjara.

Buya Hamka, tulis Irfan Hamka, tidak pernah menyetujui pelarangan tersebut, karena filsafat hidup Buya Hamka adalah cinta. “Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula, kata beliau,” tulis Taufiq Ismail menceritakan sosok Buya Hamka dalam pengantar buku Ayah.

Di sini kebesaran hati seorang Buya Hamka teruji. Ia memaafkan Pramoedya. Padahal, namanya dihancurkan Pramoedya lewat tulisan di surat kabar Bintang Timur yang merupakan media pro-PKI.

Dalam surat kabar ini terdapat kolom seni-budaya bernama Lentera. Kolom itu diasuh Pramoedya.

Dalam kolom itu, sejumlah satrawan yang kontra PKI diserang, seperti HB Jasin, Sutan Takdir Alisjahbana, Trisno Sumardjo, Asrul Sani, Misbach Yusa Biran, Bur Rasuanto, termasuk Buya Hamka. Hamka yang aktif di Muhammadiyah dan Masyumi yang jelas-jelas kontra PKI menjadi sasaran tembak.

Buya kemudian ditahan karena dianggap melanggar UU Anti-Subversif Pempres No. 11. Ia dituding terlibat dalam upaya pembunuhan Sukarno dan Menteri Agama saat itu, Syaifuddin Zuhri. Namanya dihancurkan, perekonomiannya dimiskinkan, kariernya dimatikan dan buku-bukunya dilarang beredar sejak itu.

Tetapi, Hamka yang seorang ulama besar Indonesia tidak pernah menyimpan dendam. Bukti shahihnya adalah saat Kafrawi, Sekjen Departemen Agama dan Mayjen Soeryo, ajudan Presiden Soeharto, datang ke rumah Hamka membawa pesan dari keluarga Sukarno pada 16 Juni 1970. Pesannya, Buya Hamka dengan sangat hormat diminta mengimami shalat jenazah Sukarno.

“Jadi beliau sudah wafat?” kata Hamka bertanya kepada Kafrawi.

“Iya Buya. Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso.”

“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku,” kata Sukarno berpesan.

Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Sukarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Sukarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah mantan presiden yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.

Hamka bahkan memuji Sukarno yang membangun Masjid Baitul Rahim di Istana Negara dan Masjid Istiqlal. Ia pun menyelesaikan tafsir Al-Azhar yang menjadi karya fenomenalnya berkat andil Sukarno. Sebab, tafsir yang mahsyur seantero Asia itu diselesaikan saat ia berada di penjara.

“Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”

 

Pemikiran Sukarno Tentang Islam Saat Diasingkan

Sudah berkali-kali Sukarno diasingkan. Salah satu yang menjadi tempat pembuangannya adalah Endeh, Flores (1934-1941). Selama dalam pengasingan, ia rutin menyurati Ustaz A Hasan, pemimpin Persatuan Islam (Persis) di Bandung, yang bersimpati kepada dia.

Surat-surat yang ditulis Sukarno itu menjadi pengobat kesepian dalam pengasingan lantaran ia hanya ditemani istrinya Inggit Ganarsih (setelah ia menceraikan Utari, putri Haji Oemar Said Tjokroaminoto), anak angkatnya, dan mertuanya.

Pada 18 Agustus 1936, dari Endeh Sukarno menuangkan pemikirannya tentang Islam, ”….Tetapi apa jang kita ‘tjutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinja, bukan njalanja, bukan flamenja, tetapi abunja, debunja, asbesnja. Abunja jang berupa tjelak mata dan sorban, abunja yang yang mentjintai kemenjan dan tunggangan onta, abunja jang bersifat Islam mulut dan Islam-ibadat —zonder taqwa, abunja jang cuma tahu batja Fatihah dan tahlil sahaja— tetapi bukan apinja jang menjala-njala dari udjung zaman jang satu ke udjung zaman jang lain ….”

Dalam 12 pucuk suratnya, Sukarno memperlihatkan keresahan, kerisauan, dan keprihatinan melihat umat Islam yang dihinggapi penyakit kekolotan, kejumudan. Islam, menurut dia, agama yang tidak pernah membedakan harkat dan derajat manusia.

Ia mengkritik keras kaum sayid, yang disebutnya sebagai pengeramatan atas manusia dan telah menghampiri kemusyrikan. “Tersesatlah orang yang mengira bahwa Islam mengenal suatu ‘aristokrasi Islam’. Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya suatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan,” tulis Sukarno.

 

Kritik Mubaligh

Dalam suratnya yang lain, Sukarno menulis: Demi Allah, Islam science bukan hanya pengetahuan Alquran dan hadis saja. Islam science adalah pengetahuan Alquran-hadis plus pengetahuan umum! Orang tidak akan dapat memahami betul Alquran dan hadis kalau tidak berpengetahuan umum.

Walau tafsir-tafsir Alquran yang masyhur dari zaman dulu —yang orang sudah beri titel ‘keramat’, seperti tafsir Al-Baghowi, tafsir Al-Baidhowi, tafsir Al-Mashari— masih bercacat sekali; cacat-cacat yang saya maksudkan ialah, misalnya bagaimanakah orang bisa mengerti betul-betul firman Tuhan, bahwa segala sesuatu itu dibikin oleh-Nya, berjodoh-jodohan, kalau tidak mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif negatif, tak mengetahui aksi reaksi? Bagaimanakah mengerti ayat-ayat yang yang meriwayatkan Iskandar Zulkarnain, kalau tak mengetahui sedikit history dan archaeologi.

Sukarno berharap mubaligh-mubaligh berilmu tinggi. Ia memuji M Natsir —salah seorang murid Hassan— yang pada hari kemudian berpolemik keras dengannya tentang Islam dan politik. Sebaliknya, Sukarno secara keras mengkritik mubaligh-mubaligh yang tidak bisa memadukan pengajaran Islam dengan pengetahuan modern itu.

Ia menulis surat kepada Ustaz Hassan: Tanyalah kepada itu ribuan orang Eropa yang masuk Islam di dalam abad ke-20 ini. Dengan cara apa dan dari siapa mereka mendapat tahu, baik tidaknya Islam dan mereka akan menjawab bukan dari guru-guru yang hanya menyuruh muridnya ‘beriman’ dan ‘percaya’ saja. Bukan dari mubaligh-mubaligh yang tarik muka angker dan hanya tahu putarkan tasbih saja, tetapi dari mubaligh yang memakai cara penerangan yang masuk akal —karena berpengetahuan umum.

Mereka masuk Islam karena mubaligh-mubaligh yang menghela mereka itu ialah mubaligh-mubaligh modern dan scientific dan bukan mubaligh ‘ala Hadramaut’ atau ‘ala kiai bersorban’. Percayalah bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam.

 

Ingin Dimakamkan Membawa Nama Muhammadiyah

Sukarno dilahirkan 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya, Raden Sukemi Sastrodihardjo, seorang guru. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai masuk Islam setelah menikah dengan Sukemi. Kusno —nama kecil Sukarno— tidak mendapatkan pendidikan yang cukup tentang Islam.

”Ibu adalah meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, teosofi. Jadi kedua kedua orang tua saya ini yang saya cintai dengan segenap jiwa saya, sebenarnya tidak dapat memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam,” ujar Sukarno ketika berpidato di hadapan Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Gelora Sukarno, Jakarta, 25 November 1962.

Sukarno wafat di RSPAD Jakarta pada 21 Juni 1970 pukul 03.30 WIB dalam keadaan merana, setelah tiga tahun menjalani karantina politik. Semasa hidup, Sukarno meminta dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafannya.

Ia juga meminta dimakamkan di suatu tempat di Kebun Raya Bogor. Pada wasiat lain, ia meminta dimakamkan di Batutulis, Bogor. Tetapi Sang Proklamator akhirnya dimakamkan di Blitar.

 

Sukarno Kagumi KH Ahmad Dahlan

Perkenalan Sukarno dengan Islam tidak diawali dari surat menyurat dengan Hasan. Setelah tamat dari sekolah dasar Ropa (Europese Lagera School), 1915, Sukarno memperoleh kesempatan melanjutkan studinya di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya.

Selama di Surabaya, Sukarno menumpang di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh Islam pimpinan kharismatik Serikat Islam (SI). Di sinilah ia mulai ikut dalam pergerakan Islam dan di sini pula ia lebih mengenal Islam melalui ceramah-ceramah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Perkenalannya dengan Dahlan ketika Dahlan berceramah di dekat rumah Tjokroaminoto di Penilih. Setelah itu, setiap Dahlan ceramah, ia selalu ikut.

”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan saya sering mengikuti ceramah-ceramahnya,” kata Sukarno di Muktamar Muhammadiyah.

”Saya sudah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938…. Tahun 46 ini saya berkata, moga-moga jikalau saya diberi umur panjang oleh Allah, saja dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya.”

 

sumber: Republika Online

1 Juni, Ingatlah Sukarno, Tapi Jangan Sepelekan Jasa Tokoh Islam

Tak ada yang dapat membantah bahwa esok hari, yakni tanggal 1 Juni, adalah hari kelahiran Pancasila. Siapa penggalinya? Ya, tidak juga dapat dibantah karena tak lain dan tak bukan adalah Ir Sukarno.

Memang, pada awal tahun 1980-an, sempat ada usaha untuk membuang jasa Sukarno terhadap Pancasila. Namun, usaha itu gagal total. Publik tetap sadar dan mengakui bahwa Pancasila itu lahir dari karya pikir Sukarno. Tak urung Bung Hatta pun dengan tegas mengakuinya. Sikap ini sempat diulang kembali oleh putrinya, Meutia Hatta, ketika berpidato pada sebuah acara ormas pemuda beberapa waktu silam.

“Pancasila itu dasar negara kita. Dan yang melahirkannya adalah Bung Karno. Bahkan, penegasan ini dinyatakan langsung Bung Hatta dalam surat wasiatnya kepada putra Bung Karno (Guntur Soekarnoputra). Dan saya yakin surat wasiat itu pun masih ada dan disimpan Mas Guntur,” kata Meutia Hatta.

Meutia mengatakan, dalam surat wasiat yang ditujukan kepada Guntur itu sebenarnya berisi dua hal. Salah satunya adalah pernyataan dari Bung Hatta bahwa yang melahirkan Pancasila adalah Bung Karno. Ini penting karena pada saat surat wasiat dituliskan, yakni pada awal 1980-an, berkembang pernyataan yang meragukan Bung Karno adalah penggali Pancasila. Sedangkan, hal satunya lagi adalah wasiat ketidaksediaan Bung Hatta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Bila kemudian mengacu pada risalah sidang BPUPKI yang rangkumannya merupakan karya dua stenografer yang pada tahun 1945 mencatat seluruh pembicaraan sidang itu, yaitu Ibu Letjen (Pur) TB Simatupang dan Ibu Netty Karundeng, terbaca secara jelas peran seperti apa yang dimainkan Sukarno pada 1 Juni 1945 itu.

Dan memang, meski Sukarno berpidato bukan pada sidang hari pertama, apa yang diuraikannya begitu memukau. Suasana ini dalam risalah itu tercatat jelas. Berulang kali anggota BPUPKI bertepuk tangan riuh dan kadang tertawa menanggapi isi pidatonya.

Pancadharma, Pancasila, Trisila, dan Ekasila

Dari pidato tanggal 1 Juni 1945 itulah kemudian ada kata Pancasila untuk menyebut lima falsafah yang merupakan dasar Negara Indonesia. Sukarno menyebut nama “Pancasila” adalah nama yang diberikan oleh seorang temannya yang ahli bahasa Sanskerta (sebagian sejarawan mengatakan orang tersebut adalah M Yamin yang merupakan teman Sukarno dan memang ahli dalam bahasa-bahasa kuna).

Salah satu penggalan pidato yang menyebut lima dasar negara yang diucapkan Sukarno pada 1 Juni 1945 adalah:

“… Saudara-saudara, apakah prinsip kelima itu? Saya telah mengemukakan empat prinsip: (1) kebangsaan Indonesia, (2) internasionalisme, (3) mufakat atau demokrasi, (4) kesejahteraan sosial. (Prinsip kelima–Red) prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Sukarno.

Dalam soal nama Pancasila (Lima Dasar) ini, Sukarno sempat menyebut nama lain, yakni “Pancadharma”. Namun, dia menyatakan tak tepat dengan nama itu sebab “Pancadharma” itu artinya lima kewajiban.

Pada bagian selanjutnya, Sukarno pun masih membuka kemungkinan bila usulan soal lima dasar (Pancasila) itu tidak disetujui. “… Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka pada bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga sila saja,” kata Sukarno.

Setelah itu, dia kemudian menyebut tiga prinsip negara itu dengan sebutan “Trisila”. “… Jadi, yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, sosio-democratie, dan Ke-Tuhanan. Kalau tuan senang kepada simbol ini, ambillah yang tiga ini …,” tegas Sukarno lagi.

Dan, setelah menyebutkan Trisila, Sukarno pun masih menawarkan kepada anggota Sidang BPUPKI bila masih ada yang tidak setuju dengan tawaran “tiga dasar” tersebut:

“ … Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apalah yang satu itu? Sebagai tadi saya telah katakan, kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemoto yang kaya buat Indonesia, tapi Indonesia buat Indonesia! Jika saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia dengan yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!

Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!” (tepuk tangan riuh rendah).

 

Benarkah Ki Bagus Ngotot Mendirikan Negara Beradasarkan Asas Islam?

Pada pidato tanggal 1 Juni, Sukarno memang menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo (dalam ejaan lama ditulis dengan Ki Bagus Hadikoesoemo, 1890-1954) sebanyak dua kali. Pertama, ketika membahas soal dasar negara dan kedua ketika memberi ilustrasi soal pemilihan sistem pemerintahan yang memakai sistem presidensial, bukan sistem monarki atau kerajaan.

Lalu, mengapa nama Ki Bagus sempat disebut beberapa kali dalam pidato Sukarno itu? Jawabnya dengan mengutip  tulisan pengantar dari dua sejarawan yang menjadi tim penyunting untuk edisi keempat Risalah Sidang BPUPKI, Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati: memang ada kaitannya.

Analisis lain, itu karena Sukarno sangat hormat kepada Kasman selaku tokoh senior yang saat itu memimpin Persyarikatan Muhammadiyah. Ini dapat dimengerti karena Sukarno pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu. Dan dia pun menikahi Fatmawati yang juga merupakan putri tokoh penting Muhammadiyah di Sumatra. Khusus dengan Kasman, Sukarno pun enggan berdebat berkepanjangan dengannya.

”Sukarno cenderung menjaga perasaan Ki Bagus. Kalau ada soal, maka dia mencari Pak Kasman Singodimedjo untuk melobi dan meluluhkan hatinya,” kata Lukman Hakiem, mantan staf pribadi mantan perdana menteri M Natsir.

Sedangkan, khusus untuk buku Risalah Sidang BPUPKI edisi keempat (terbitan Sekneg RI tahun 1998) itu, memang ada materi penting di dalamnya. Menurut Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, hal itu adalah adanya reproduksi pidato Ki Bagus Hadikusumo tanggal 31 Mei 1945 yang memuat usul beliau mengenai dasar negara. Naskah reproduksi ini diantarkan sendiri ke sekretaris negara oleh putra beliau, Kolonel Laut (P) Basmal Hadikusumo.

Dalam kata pengantar itu, tim penyunting menyatakan telah menelaah secara sungguh-sungguh materi pidato Ki Bagus Hadikusumo tersebut, khususnya dalam kaitan dengan keseluruhan pembahasan dasar negara dalam BPUPKI. Yang menjadi perhatian penyunting adalah dinamika perkembangan pembahasannya, yang meliputi pandangan awal, tanggapan para anggota BPUPKI lainnya, dan tanggapan balik dari yang bersangkutan sendiri. Sudah lama para penyunting (di situ disebut dengan kata kami–Red) berpendapat bahwa adalah tidak tepat untuk membaca pendapat para anggota BPUPKI sepotong-sepotong. Dalam bermusyawarah, sudah barang tentu ada proses memberi dan menerima sebelum mufakat dapat dicapai.

” … Menilik isinya, usul Ki Bagus Hadikusumo inilah yang merangsang tanggapan dari Prof Mr Dr Soepomo pada hari yang sama dan dari Ir Soekarno pada hari berikutnya. Tanggapan-tanggapan para anggota BPUPKI itu diperhatikan beliau dengan sungguh-sungguh. Walaupun mulanya beliau menyarankan agar agama Islam dijadikan dasar negara, namun karena menyadari risiko terpecahnya bangsa jika usul itu dilaksanakan, beliau (Ki Bagus–Red) pula bersama Kiai Sanusi yang pada tanggal 14 dan 15 Juli 1945 mencabut kembali usulan itu,’’ tulis Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati.

Dalam kalimat berikutnya, keduanya kembali menuliskan, “… Apalagi karena tidak jelasnya arti anak kalimat yang tercantum dalam rancangan pembukaan UUD tanggal 22 Juli 1945, yaitu “ … Dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Oleh karena itulah, kedua ulama itu kemudian dengan gigih menuntut agar kalimat tersebut dicoret saja. Mereka berpendirian bahwa jika BPUPKI tidak menyetujui negara berdasar agama (baca: agama Islam) agar negara bersikap netral saja terhadap masalah agama ini.

 

Radjiman dan Sukarno Justru Menolak Pencoretan

Dalam kata pengantar tim penyunting tersebut, Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, keduanya menyatakan, sungguh mengherankan bahwa usul Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi itu justru ditolak dengan keras oleh Ketua BPUPKI Dr  Radjiman Wedyodiningrat dan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar Ir Sukarno.

” … Keterangan yang kami peroleh dalam membaca risalah ini hanyalah bahwa sikap Radjiman dan Soekarno tersebut didasarkan pada argumen yang amat bersifat formal dan legalistik. Kedua beliau ini berpendapat bahwa rumusan tersebut (Piagam Jakarta–Red) merupakan kompromi yang dicapai dengan susah payah antara apa yang dinamakan ‘golongan Islam’ dan ‘golongan kebangsaan’. Pencoretan ‘tujuh kata’ tersebut dikhawatirkan akan mementahkan kembali masalah yang sudah diselesaikan,” tulis Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati.

Pendapat keduanya menyatakan, adanya pendirian Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi tanggal 14 dan 15 Juli di atas mengharuskan kita meninjau kembali dikotomi “golongan Islam” dan “golongan kebangsaan” yang dianut selama ini, Sebabnya ialah ternyata semangat kebangsaan itu juga terdapat dengan kuat pada kalangan yang disebut sebagai golongan Islam.

“Semangat kebangsaan Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi itu pulalah yang menyebabkan beliau-beliau pada tanggal 18 Agustus 1945 pagi para tokoh Islam–bersama KH Wachid Hasyim, Mr Tengku Mohammad Hassan, dan Mr Kasman Singodimedjo–dengan serta-merta menyambut baik permintaan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia bagian timur kepada Drs Moh Hatta pada tanggal 17 Agustus sore agar kalimat itu dicoret saja. Sebab, ialah oleh karena justru beliau-beliau sendiri yang mengusulkan hal itu lebih dari sebulan sebelumnya,” tulis Saafroedin Bahar dan Nanie Hudawati.

Maka janganlah lupa sama sejarah itu. Sebab, seperti yang sering dikatakan sejak akhir 1970-an: “Disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara adalah kado terindah dari umat Islam Indonesia.”

 

sumber: Republka Online