Tiga Bahaya Cinta terhadap Dunia

KITA telah akrab dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Cinta dunia adalah pangkal dari semua kesalahan.”

Kali ini kita akan mengambil hikmah dari Firman Allah pada Surat Al-Kahfi ayat 28. Jika kita merenungkan ayat ini, akan kita temukan efek buruk dari cinta dunia. Perhatikan ayat berikut,

“Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (QS.Al-Kahfi:28).

Dari ayat ini, dapat kita simpulkan bahwa cinta dunia memiliki tiga pengaruh yang sangat berbahaya, yaitu:

– Hatinya lalai dari mengingat Allah swt.

– Selalu menuruti keinginan hawa nafsunya.

– Perilakunya selalu melampaui batas. Apakah itu kurang atau berlebihan.

Coba bayangkan apa yang terjadi kepada orang yang terjangkit tiga virus ini. Hidupnya akan hancur karena selalu dikendalikan oleh hawa nafsu. Hatinya tak pernah tenang karena tak pernah mengingat Allah swt. Kemudian perbuatannya akan selalu melampaui batas. Entah selalu kurang atau malah berlebih-lebihan.Semoga kita terjauhkan dari virus cinta dunia![]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2307218/tiga-bahaya-cinta-terhadap-dunia#sthash.bSP6fqpn.dpuf

Warga Betawi dari Zaman Kuda Gigit Besi

Jakarta yang kini berusia 489 tahun merupakan salah satu dari kota-kota di dunia yang sangat tinggi pertumbuhan penduduknya. Kalau pada 1961 penduduknya berjumlah 2,9 juta jiwa, pada 1966 menjadi 3,6 juta.

Pada 1994, kota yang hari jadinya ditandai dengan kemenangan para prajurit Islam mengusir tentara Portugis di Sunda Kelapa itu meningkat menjadi 8,9 juta jiwa. Jakarta kini berpenduduk 11 juta jiwa pada malam hari dan 14 juta jiwa di siang hari. Tidak mengherankan jika dari jantung kota hingga daerah pinggiran Jakarta makin mekar.

Daerah-daerah yang sampai 1970-an dicemoohkan sebagai tempatjin buang anak” kini berubah menjadi hutan beton, berupa perumahan, perkantoran, shopping centre, dan entah apa lagi namanya. Namun, di mana penduduk asli yang bernama Betawi? Bagaimana nasibnya? Nasib orang Betawi, kata dramawan Nano Riantiarno, bisa diibaratkan seperti sungai Ciliwung yang membelah Kota Jakarta.

“Sungai itu makin lama makin menjadi parit dan pada suatu masa, entah kapan, bisa jadi akan hilang dari peta karena sudah diuruk untuk dijadikan perumahan atau jalan layang.”

Orang Betawi Diyakini Tetap Eksis

Sedangkan, budayawan Betawi Ridwan Saidi yakin warga Betawi masih tetap eksis di kota kelahirannya. Ia menunjuk masih banyaknya perkampungan Betawi di kelima wilayah DKI.

Bahkan, Ridwan memperkirakan jumlah pendatang dengan warga Betawi berimbang, alias fifty-fifty. “Jumlah orang Betawi tidak berkurang, malah nambah. Cuma, mereka tidak ngumpul seperti dulu.Udeh pada berpencaran,” kata Yahya Andi Saputra, sekretaris Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB).

Yang jelas, orang Betawi sejak “zaman kuda gigit besi” sudah merasakan banyak pendatang yang ngendon di kotanya. “Kalomemang Jakarta serbajelek dan kagak enak, mustahil orang dari daerah lain cari makan di sini,” kata Bang Doel sewot pada anaknya yang hendak merantau.

Memang, karena sejak zaman kompeni Jakarta selalu dibanjiri pendatang, dan segalanya ada di kota ini, menyebabkan orang Betawi enggan merantau.

Bangga tidak Merantau ke Kampung Lain

Kalau pendatang tidak sukses di Betawi pulang kampung malu, tidak demikian bagi orang Betawi. Namanya di kampung sendiri, bisa pergi ke kerabat yang agak mampu, minta sedikit bantuan dan bisanyambung hidup.

Hal itu terjadi karena warga Betawi punya kekerabatan yang kental. Akibat Jakarta selama ratusan tahun menjadi pusat pemerintahan, dan segala-galanya dimulai di sini, setidaknya membuat orang Betawi tidak minder.

Kite warga Betawi yang lebih dulu liat trem, kereta api, mobil, dan kapal terbang,” kata Bang Amat, mencoba membanggakan diri.

Sepaye-payenye orang Betawi, tidak ada yang jadi tukang becak, jadigembel, jadi WTS juga tidak ade,” tambahnya.

Atau seperti yang dikatakan Bang Mamid yang lagi nongkrongberjualan soto. Sambil tangannya menunjuk pada mobil Baby Benz yang lewat berkata, “Biar die naek Mercy, tapi gue lebih kaya. Gini-gini gue enggak cari makan di tempat laen.”

 

Betawi Memegang Teguh Agama

Namun, jangan dikira kehidupan orang Betawi tidak berat. Kalau ada yang mengatakan hidup di Jakarta berat dan penuh tantangan, menurut Ridwan Saidi, warga Betawi merasa lebih berat lagi.

Mereka menghadapi pukulan bertubi-tubi, sejak masa VOC, zaman Jepang, Orla, dan Orba. Namun, pukulan-pukulan itu mereka alihkan dengan humor agar tidak stres. Karena itu, humor bagi orang Betawi tidak pernah pudar dalam situasi dan
kondisi bagaimanapun.

Menurut Irwan Sjafi’ie, ini karena kentalnya orang Betawi memegang teguh agama. Itulah yang membuat mereka tidak iri hati terhadap pendatang yang sukses di kotanya.

Mereka dilarang untuk berprasangka buruk. Dalam ihwal humor, ketika Bang Doel menasihati istrinya yang lagi terbaring karena darah tinggi, tidak lupa menyelipkan unsur itu. “Jangan lupe, Ram, bangsamakanan yang berminyak lu jauhin. Apalagi minyak oli, jangan. Buat sementara makan aje rebusan, jangan yang digoreng.”

Tentu saja Ramelah, istrinya, nyap-nyap. Lu kire gue motor bejat pakeminum oli segale. “Eh iye, gue telepasan ngomong,” jawab sang suami.

 

Silat dan Shalat Prinsip Utama Warga Betawi

Salah satu ciri khas orang Betawi, mulutnya tidak bisa diam. Selalu ada saja yang dikatakannya tentang diri orang lain, termasuk penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Tujuannya humor, tetapi sering kali timbul keributan dengan orang yang dijadikan objek humornya. Kalau ada orang yang kepalanya botak dan mengilap, apalagi kalau kena panas, si Azis berkomentar, “Gue heran tuh mentege dari kemaren kagak lumer-lumer juga.”

Atau bertemu orang yang kepalanya ditumbuhi rambut yang kurang lebat, si Mamat berkomentar, “Gue liat tuh rambut tumbuhnya ogah-ogahan.”

Kembali kepada prinsip hidup, biar bagaimanapun, bagi orang Betawi nomor satu itu agama. Dulu bahkan ada yang bilang yang utama itu shalat, lalu silat.

Karena itulah para jagoan Betawi tempo doeloe pantang melakukan pemerasan seperti para preman sekarang. Hingga Mohammad Sobary, peneliti dari LIPI, menyatakan, “Bila Betawi dilepas dari keislamannya, ia akan menjadi bukan Betawi.”

 

Oleh: Alwi Shahab

sumber: Republika Online

Fatahillah dan Masjid Luar Batang yang Terbuang

Berdiri di puncak Menara Syahbandar di Pasar Ikan, Jakarta Utara, kita akan dapat menikmati kawasan paling tua di Kota Jakarta yang berusia 476 tahun. Tapi, untuk itu kita harus mau sedikit berfantasi untuk merasakan apa yang pernah terjadi ratusan tahun lalu.

Memandang ke utara terlihat kapal-kapal Phinisi yang berdatangan dari berbagai tempat di Nusantara sedang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa. Ratusan pekerja tengah menurunkan kayu dan bahan bangunan lainnya untuk kebutuhan Ibu Kota. Membaur di antara para pekerja ini terlihat para wisatawan bule yang tertarik akan keberadaan kapal ini.

Kira-kira 300 meter ke arah selatan menara, kita akan mendapati jembatan tua yang pada masa VOC disebut Jembatan Pasar Ayam (Hoenderpasarbrug). Dinamakan demikian karena ratusan tahun lalu pada malam hari tempat menjadi ngumpulnya kupu-kupu malam mencari mangsa laki-laki hidung belang.

Pada tempo doeloe, kapal-kapal dapat berlayar hingga ke arah hulu Sungai Ciliwung. Kala itu jembatan dapat dinaikturunkan. Menurut keterangan, letak Pelabuhan Sunda Kelapa pada masa kejayaannya sekitar 700 meter dari muara Ciliwung. Pada masa Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor) perdagangan melalui sungai antara Pakuan dan Sunda Kelapa cukup ramai.

Membangun Patuh Fatahillah

Menyusuri Ciliwung ke Sunda Kelapa selama dua hari, perahu-perahu banyak membawa hasil bumi. Kembalinya membawa barang dari mancanegara yang mereka beli di Bandar Sunda Kelapa.

Suatu organisasi Betawi beberapa tahun lalu pernah ingin membangun patung Fatahillah di Pelabuhan Sunda Kelapa, seperti patung Victoria di pintu masuk Pelabuhan New York, AS. Untuk ini telah dikirimkan utusan ke New York guna mempelajarinya. Entah bagaimana rencana ini tidak kesampean.

Sineas Misbach Yusa Biran saat hendak membuat film “Fatahilah” telah mengalami kesulitan untuk menampilkan wajah Fatahilah. Akhirnya, untuk tokoh ini dalam filmnya, Misbach menampilkan pemuda berwajah Timur Tengah tempat Fatahilah berasal.

Sebelum Perang Dunia II (1942-1945) di dekat muara Ciliwung atau Kali Besar, warga ibu kota dapat menikmati pesta Pehcun atau pesta air pada hari keseratus Imlek (tahun baru Cina). “Ramenye kagak kepalang. Ratusan perahu hias saling seliweran di tempat ini,” kata Derahman, warga Pekojan, Jakarta Barat, mengenang masa mudanya.

Menara Syahbandar, Menara Pisanya Jakarta

Menara Syahbandar yang kini dijuluki ‘Menara Pisa’ karena bangunannya agak miring akibat lalu-lalang kontainer dan truk besar, dulu berfungsi sebagai pengawas bagi keluar masuknya kapal-kapal dari Pelabuhan Sunda Kelapa di muara Ciliwung. Setelah pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok usai (1886), menara yang dalam bahasa Belanda disebut Uitlij itu sudah berkurang perannya. Sampai 1960-an di sekitar tempat inilah tanda kilometer satu Kota Jakarta, sebelum dipindahkan ke Monas.

Hanya beberapa meter di sebelah kiri menara, terletak Museum Bahari, gedung bersejarah yang pernah menjadi gudang rempah-rempah VOC. Kala itu gedung ini terletak di tepi laut sehingga kapal-kapal ketika mengangkut barang-barang dapat merapat ke gudang.

Beberapa tahun lalu pihak Museum dan Sejarah DKI untuk mengenang masa kejayaan Sunda Kelapa ingin membangun Museum Rempah-rempah di tempat ini. Di depan Museum Barau, yang dulunya merupakan laut, terdapat Pasar Heksagon berdampingan dengan Pasar Ikan. Disebut Pasar Heksagon karena bangunannya berbentuk segi enam.

Bangunan bergaya arsitektur Indische ini didirikan pada 1920. Bangunan ini dijadikan sebagai balai penelitian kelautan dan ditempatkan akuarium besar dengan berbagai jenis ikan.

 

Kejayaan Pasar Ikan

Sebelum digusur Pemprov DKI Jakarta belum lama ini, di pasar ini setiap malam hingga dini hari berlangsung lelang ikan. Pembelinya para pedagang ikan dari Jakarta dan sekitarnya untuk dijual kepada para konsumen dari rumah ke rumah.

Pasar Ikan dulu merupakan salah satu kawasan yang banyak didatangi warga Jakarta untuk rekreasi, terutama di hari libur. Mereka datang ke tempat ini dengan naik trem listrik yang kala itu merupakan angkutan umum utama di Jakarta.

Di samping menikmati akurium dengan berbagai jenis ikan, banyak yang datang untuk berziarah ke Masjid Luar Batang karena. Di sini terdapat makam Habib Husein Alaydrus yang letaknya di belakang Museum Bahari.

Jakarta yang kini metropolis dengan penduduk 11 juta sebagai kota pelabuhan sudah bercorak internasional sejak masa Sunda Kelapa. Orang dengan latar belakang budaya, warna kulit, dan keyakinan agama yang berbeda-beda bertemu di Sunda Kelapa sudah berabad-abad lamanya.

Dalam sejarah kota ini mereka bergaul tanpa prasangka. Bermacam-macam bahasa terdengar di pelabuhan, dalam kantor, gereja, masjid, dan kelenteng. Sekalipun kini Pelabuhan Sunda Kelapa bukan lagi bandar besar, kastel-kastel peninggalan Belanda sudah menjadi gedung tua yang eksotik. Tapi, di Sunda Kelapa kita masih dapat merasakan nostalgia sejarah.

 

 

Oleh: Alwi Shahab

sumber: Republika Online

Syekh Djunaid, Ulama Indonesia yang Jadi Imam Masjidil Haram

Orang Indonesia di mata warga Saudi dianggap berkelakuan baik. Ada panggilan masyhur dari para pedagang di Mekkah ataupun Madinah untuk perempuan Indonesia, Siti Rahmah.

Siti Rahmah adalah panggilan yang paling banyak diteriakkan para pedagang di Tanah Suci, baik di Makkah maupun Madinah, terhadap para wanita Indonesia, baik saat haji maupun umroh. ”Siti Rahmah… Siti Rahmah, harga murah, homsah (lima) real,” kata mereka untuk menarik para pembeli wanita.

Sebutan ”Siti Rahmah” untuk wanita Indonesia saat beribadah ke Tanah Suci bukan hanya muncul akhir-akhir ini. Teriakan semacam itu sudah muncul sejak lebih seabad lalu.

 

Asal Mula Panggilan Siti Rahmah untuk Perempuan Indonesia

Sejak abad ke-18 orang Betawi telah banyak yang menunaikan ibadah haji. Meskipun untuk menunaikan rukun Islam kelima itu mereka harus menempuh perjalanan berbulan-bulan dengan kapal layar.

Setelah menjalankan ibadah haji, ada yang pulang dan ada yang bermukim di sana. Mereka yang bermukim menggunakan al Betawi sebagai nama keluarga.

Memang merupakan kebiasaan para pemukim dari Nusantara di Mekkah menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Syekh Abdul Somad al Falimbangi dari Palembang. Syekh Arsyad Al-Banjari dari Banjarmasin, Syekh Basuni Imam al Sambasi dari Sambas (Kalimantan Barat).

Pada awal abad ke-19 seorang ulama Betawi bernama Syekh Djunaidbermukim di Mekkah. Ia pun memakai nama Syekh Djunaid al-Betawi.

Ia amat termasyhur karena dipercaya menjadi Imam Masjidil Haram. Dia juga mengajar agama Islam di serambi masjid tersebut.

Muridnya bukan hanya dari Nusantara, tapi juga umat Islam dari berbagai belahan dunia. Konon, Syekh Djunaid yang telah kesohor di Negeri Hijaz itu mempunyai istri bernama Siti Rahmah.

Diduga, itulah asal mulanya, sehingga sejak ratusan tahun lalu wanita Indonesia yang beribadah ke Tanah Suci dipanggil ”Siti Rahmah”. Panggilan ini populer hingga sekarang, meski zaman telah berubah dan para keluarga Betawi menamakan putra-putri dengan nama modern.

Deretan Ulama Betawi di Saudi

Syekh Djunaid mulai bermukim di Mekkah sejak 1834. Salah seorang putrinya menikah dengan Imam Mudjitaba yang diberi gelar waliullah oleh masyarakat Islam di Tanah Suci.

Orang Betawi berguru kepadanya ketika ia bermukim di Mekkah selama 40 tahun. Di antara muridnya adalah Guru Mansyur dari Jembatan Lima (Jakarta Barat) dan Guru Mugni dari Kuningan, dekat perumahan Pertamina. Guru Mujitaba kembali ke Betawi pada 1904.

Tokoh satu angkatan dengan Syekh Djunaid adalah para mukiman Indonesia yang bukan saja terkenal di dalam negeri tapi juga di manca negara, seperti Syekh Abdul Somad al-Falimbangi. Di Makkah ia berguru pada Syekh Mohammad Saman.

Ia memiliki keahlian dalam bidang tauhid dan tasawuf. Di antara banyak tulisan hasil karyanya adalah Hidayat al Salihin. Dalam salah satu bukunya ia menganjurkan agar kaum Muslim Indonesia berjihad di jalan Allah melawan penjajah Belanda. Anjuran itu tertuang dalam dua suratnya, masing-masing untuk Hamengkubuono I dan Pangeran Singasari.

Belanda ‘Kebakaran Jenggot’ dengan Perlawanan Ulama Betawi

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) juga seorang mukiman di Arab Saudi yang terkenal, karena mengarang buku fiqih Perukunan Melayu yang menjadi pegangan selama 200 tahun. Ia seorang tokoh ilmu fiqih, tasauf dan falak.

Selama di Mekkah dia belajar pada Syekh Abdurahman al-Misri, seorang ulama Mesir yang mengajar di Jakarta. Al-Misri mengawini salah satu putera Syekh Djunaid al-Betawi. Dia meninggal di Jakarta dan dimakamkan di Petamburan, Jakarta Barat.

Tokoh lainnya, Syekh Ahmad Ripangi (1786-1859), lahir di Kendal, Jawa Tengah, dan bermukim di Mekkah selama delapan tahun. Setelah kembali ke Indonesia dia enggan tunduk pada pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya sering merugikan umat Islam.

Akibatnya, gubernur jenderal Hindia Belanda, pada 9 Mei 1859, mengasingkan dan memenjarakannya di Ambon. Dia dianggap membakar semangat nasional dengan azas Islam yang dinilai membahayakan pemerintah kolonial.

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916) juga seorang mukimin terkenal di Negeri Hijaz. Dia bermukim di Mekkah selama 10 tahun dan merangkap sebagai guru besar di Masjidil Haram.

Dia mengarang banyak buku. Di antara muridnya adalah KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Haji Abdul Karim Amarullah (ayah Buya Hamka), dan H Mahmud Ismail Djambek

 

Syekh Nawawi Al-Bantani Ulama Kesohor asal Banten

Mukimin Indonesia yang paling kesohor di dunia Islam adalah Syekh Nawawi al-Bantani. Ulama besar, penulis dan pendidik dari Banten, ini masih keturunan Maulana Hasanudin, pendiri Kerajaan Islam Banten. Begitu banyaknya karya beliau di dunia Islam, hingga pemerintah Arab Saudi, Mesir dan Suriah, memberikan gelar kehormatan kepadanya Sayid Ulama Al-Hedjas, Mufti, dan Fakih.

Syeh Nawawi pergi ke Mekkah dalam usia 15 tahun dan bermukim selama tiga tahun. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram.

Seperti Syekh Ahmad Nahrawi, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Di Madinah ia belajar pada Syekh Muhamad Khatib al-Hambali. Setelah tiga tahun berada di Tanara, Banten, ia kembali ke Tanah Suci dan mengajar di Masjidil Haram.

Kelebihan Syekh Nawawi telah terlihat sejak kecil. Ia hafal Alquran pada usia 18 tahun.

Sebagai seorang syekh ia menguasai seluruh cabang ilmu agama, seperti tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh dan bahasa Arab. Menurut suatu sumber, ia mengarang sekitar 115 buah kitab, sedangkan sumber lain menyebut 99 buah kitab dari berbagai disiplin ilmu.

Jadi, sejak ratusan tahun lalu telah banyak mukimin Indonesia di Tanah Suci yang menjadi tokoh agama, tapi tidak kurang banyaknya yang kini berperan dalam bidang pemerintahan di Arab Saudi.

 

Oleh: Alwi Shahab

sumber: Republika Online

Antara Puasa Qadha dan Syawal

Assalamualaikum wr wb..

langsung aja ustad.. saya mau nanya tentang bulan syawal.
kita diharuskan syawal terlebih dahulu atau mengqodho puasa ramadhan?
pada tgl brp saja dimulainya puasa syawal? apakah harus terusmenerus atw boleh terputus?
saya sangat butuh jawabannya.
terimakasih ustad.

wassalamualaikum wr wb.

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Anna yang dimuliakan Allah swt

Mengqodho puasa Ramadhan dan berpuasa enam hari di bulan syawal merupakan ibadah yang disyariatkan. Tentang mengqodho ini terdapat didalam firman Allah swt :

أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya : “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqoroh : 184)

Sedangkan berpuasa enam hari di bulan syawal terdapat didalam riwayat dari Abu Ayyub dari Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,”Barangsiapa yang berpuasa ramadhan lalu menlanjutkannya dengan (berpuasa) enam hari di bulan syawal maka itulah puasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim)

Orang yang berpuasa selama bulan ramadhan ditambah lagi dengan puasa enam hari sama dengan puasa sepanjang tahun dikarenakan setiap kebaikan sebanding dengan sepuluh kebaikan. Puasa ramadhan sama dengan sepuluh bulan sedangkan enam hari bulan syawal sama dengan dua bulan sehingga seluruhnya menjadi dua belas bulan atau setahun penuh.

Yang paling utama melakukan puasa enam hari syawal ini adalah langsung melanjutkan puasa ramadhannya kecuali pada hari raya idul fitri karena pada hari ini diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa. Jadi seseorang dapat melakukannya secara terus menerus tanpa terputus sejak hari kedua bulan syawal hingga hari ketujuhnya.

Dan dibolehkan juga bagi seseorang untuk berpuasa enam hari bulan syawal dengan cara terputus-putus dihari yang dikehendakinya di bulan syawal kecuali pada hari idul fitri.

Adapun mana yang harus didahulukan antara mengqodho ramadhan atau puasa enam hari di bulan syawal ?

Syeikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin mengatakan bahwa logikanya adalah mendahulukan yang wajib daripada yang sunnah karena yang wajib adalah utang yang harus dilunasi sedangkan yang sunnah adalah sesuatu yang dianjurkan ditunaikan apabila mendapatkan kemudahan dan jika ia tidak mendapati maka tidak ada kesempitan baginya untuk meninggalkannya.

Dari sini, kami mengatakan kepada seorang yang diharuskan mengqodho ramadhannya adalah,”Qodholah ramadhan yang menjadi kewajiban anda sebelum anda melakukan puasa sunnah. Dan jika anda melakukan puasa sunnah sebelum mengqodho ramadhan maka puasa sunnah itu dibenarkan selama waktu (mengqodho) itu masih luas (panjang). Karena qodho ramadhan bisa dilakukan hingga ramadhan berikutnya. Dan selama perkara itu masih memiliki keluasan waktu maka diperbolehkan melakukan puasa yang sunnah, seperti shalat fardhu, apabila seorang melaksanakan shalat sunnah sebelum fardhu yang masih memiliki keluasan waktunya maka hal itu diperbolehkan.

Sehingga barangsiapa yang berpuasa arafah atau asy syuro sementara dirinya masih memiliki utang qodho ramadhan maka puasanya itu sah. Akan tetapi seandainya dirinya meniatkan berpuasa hari itu dengan niat mengqodho ramadhannya maka dirinya akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala puasa hari arafah atau puasa asy syuro dengan pahala mengqodho.

Hal demikian adalah bagi puasa sunnah yang tidak ada hubungannya dengan puasa ramadhan. Adapun puasa enam hari bulan syawal adalah puasa sunnah yang berhubungan dengan ramadhan, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang berpuasa ramadhan lalu melanjutkannya dengan enam hari bulan syawal maka ia seperti puasa sepanjang tahun.”

Ada sebagian orang beranggapan bahwa jika dirinya mengkhawatirkan bulan syawal akan berakhir sebelum dirinya berpuasa enam hari syawal maka hendaklah dia berpuasa enam hari itu walaupun ia belum mengqodho ramadhannya, sungguh ini pemahaman yang salah. Sesungguhnya puasa enam hari bulan syawal tidaklah bisa dilakukan kecuali apabila dirinya telah menyelesaikan qodho ramadhannya.” (Liqo’at al Bab al Maftuh juz V hal 5)

Wallahu A’lam

 

 

sumber: Era Muslim

 

baca juga: Rahasia Puasa Syawal

Keutamaan Puasa Enam Hari Bulan Syawal

Apa hukumnya puasa enam hari bulan Syawal, apakah wajib?

Puasa enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa wajib bulan Ramadhan adalah amalan sunnat yang dianjurkan bukan wajib. Seorang muslim dianjurkan mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal. Banyak sekali keutamaan dan pahala yang besar bagi puasa ini. Diantaranya, barangsiapa yang mengerjakannya niscaya dituliskan baginya puasa satu tahun penuh (jika ia berpuasa pada bulan Ramadhan). Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh.”
(H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Rasulullah telah menjabarkan lewat sabda beliau:

“Barangsiapa mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal selepas ‘Iedul Fitri berarti ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Dan setiap kebaikan diganjar sepuluh kali lipat.”

Dalam sebuah riwayat berbunyi:

“Allah telah melipatgandakan setiap kebaikan dengan sepuluh kali lipat. Puasa bulan Ramadhan setara dengan berpuasa sebanyak sepuluh bulan. Dan puasa enam hari bulan Syawal yang menggenapkannya satu tahun.”
(H.R An-Nasa’i dan Ibnu Majah dan dicantumkan dalam Shahih At-Targhib).

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dengan lafazh:

“Puasa bulan Ramadhan setara dengan puasa sepuluh bulan. Sedang puasa enam hari bulan Syawal setara dengan puasa dua bulan. Itulah puasa setahun penuh.”

Para ahli fiqih madzhab Hambali dan Syafi’i menegaskan bahwa puasa enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa Ramadhan setara dengan puasa setahun penuh, karena pelipat gandaan pahala secara umum juga berlaku pada puasa-puasa sunnat. Dan juga setiap kebaikan dilipat gandakan pahalanya sepuluh kali lipat.
Salah satu faidah terpenting dari pelaksanaan puasa enam hari bulan Syawal ini adalah menutupi kekurangan puasa wajib pada bulan Ramadhan. Sebab puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan pasti tidak terlepas dari kekurangan atau dosa yang dapat mengurangi keutamaannya. Pada hari kiamat nanti akan diambil pahala puasa sunnat tersebut untuk menutupi kekurangan puasa wajib.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam :

“Amal ibadah yang pertama kali di hisab pada Hari Kiamat adalah shalat. Allah Ta’ala berkata kepada malaikat -sedang Dia Maha Mengetahui tentangnya-: “Periksalah ibadah shalat hamba-hamba-Ku, apakah sempurna ataukah kurang. Jika sempurna maka pahalanya ditulis utuh sempurna. Jika kurang, maka Allah memerintahkan malaikat: “Periksalah apakah hamba-Ku itu mengerjakan shalat-shalat sunnat? Jika ia mengerjakannya maka tutupilah kekurangan shalat wajibnya dengan shalat sunnat itu.” Begitu pulalah dengan amal-amal ibadah lainnya.” H.R Abu Dawud
Wallahu a’lam.

 

 

sumber: Islamqa.info

Bolehkah Puasa Syawal Sebelum Qadha Ramadhan?

Tidak Boleh Puasa Syawal Sebelum Qadha Ramadhan

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Ustadz, saya mau bertanya. Bagi kaum hawa, puasa wajib di bulan Ramadan sangat sulit untuk dipenuhi dalam satu bulannya. Pertanyaan saya, jika setelah Ramadan, kita ingin melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, apakah kita wajib membayar puasa Ramadan dahulu, baru (setelah itu) mengerjakan puasa enam hari (puasa Syawal) atau boleh langsung mengerjakan puasa enam hari baru (kemudian) membayar puasa Ramadan?

Selain itu, saya juga pernah mendengar sekilas tentang pembahasan tentang membayar puasa Ramadan dan puasa enam hari dalam satu niat. Apakah memang ada ketentuan seperti itu, Ustadz? Bagaimana niatnya? Mohon dijelaskan, dan jika memang ada dalil, sunah, dan lain-lain, mohon dicantumkan, Ustadz.

Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Dyanti (vieXXXX@yahoo.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Bismillah wash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah.

Pertama, terkait dengan puasa wajib Ramadan, puasa sunah ada dua:

[1]. Puasa sunah yang berkaitan dengan puasa Ramadan. Contoh puasa sunah semacam ini adalah puasa sunah Syawal. Berdasarkan hadis,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa selama setahun.” (HR. Ahmad 23533, Muslim 1164, Turmudzi 759, dan yang lainnya)

[2]. Puasa sunah yang tidak ada kaitannya dengan puasa Ramadan. Seperti: puasa Arafah, puasa Asyura’, dan lain-lain.

Kedua, untuk puasa sunah yang dikaitkan dengan puasa Ramadan, puasa sunah ini hanya boleh dikerjakan jika puasa Ramadan telah dilakukan dengan sempurna, karena hadis di atas menyatakan, “Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian …,”

Sementara orang yang memiliki utang puasa Ramadan tidak dikatakan telah melaksanakan puasa Ramadan. Karena itu, orang yang memiliki utang puasa Ramadan dan ingin melaksanakan puasa Syawal harus
meng-qadha utang puasa Ramadan-nya terlebih dahulu, baru kemudian melaksanakan puasa Syawal.

Fatwa Imam Ibnu Utsaimin tentang wanita yang memiliki utang puasa ramadhan, sementara dia ingin puasa syawal,

إذا كان على المرأة قضاء من رمضان فإنها لا تصوم الستة أيام من شوال إلا بعد القضاء ، ذلك لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول : ( من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال ) ومن عليها قضاء من رمضان لم تكن صامت رمضان فلا يحصل لها ثواب الأيام الست إلا بعد أن تنتهي من القضاء

Jika seorang wanita memiliki utang puasa ramadhan, maka dia tidak boleh puasa syawal kecuali setelah selesai qadha. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal…”. Sementara orang yang masih memiliki utang puasa ramadhan belum disebut telah berpuasa ramadhan. Sehingga dia tidak mendapatkan pahala puasa 6 hari di bulan syawal, kecuali setelah selesai qadha. (Majmu’ Fatawa, 19/20).

Ketiga, untuk puasa sunah yang tidak terkait dengan puasa Ramadan, boleh dikerjakan, selama waktu pelaksanaan qadha puasa Ramadan masih panjang. Akan tetapi, jika masa pelaksanaan qadha hanya cukup untuk melaksanakan qadha puasanya dan tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakan puasa sunah lainnya maka pada kesempatan itu dia tidak boleh melaksanakan puasa sunah. Contoh: Ada orang yang memiliki utang enam hari puasa Ramadan, sedangkan bulan Sya’ban hanya tersisa enam hari. Selama enam hari ini, dia hanya boleh melaksanakan qadha Ramadhan dan tidak boleh melaksanakan puasa sunah.

Keempat, makna tekstual (tertulis) hadis di atas menunjukkan bahwa niat puasa Syawal dan niat qadha puasa Ramadan itu tidak digabungkan, karena puasa Syawal baru boleh dilaksanakan setelah puasa Ramadhan telah dilakukan secara sempurna. Bagaimana mungkin bisa digabungkan?

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits, (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Sumber: https://konsultasisyariah.com/4544-qadha-puasa-ramadan-atau-puasa-syawal.html

Ini Dia Dua Tarekat Tasawuf yang Ditakuti Penjajah Belanda

Di nusantara, ada dua tarekat yang paling ditakuti penjajah Belanda. Menurut Cendekiawan Muslim, Prof Azyumardi Azra, kedua tarekat yang paling dikhawatirkan penjajah itu adalah Tarekat Qadariyah dan Tarekat Naksabandiah. Mengapa penjajah takut terhadap dua tarekat tasawuf itu?

Kekhawatiran Belanda terhadap gerakan yang dimotori tarekat memang sangat beralasan.  Sebab, begitu banyak perlawanan dan gerakan menentang penjajahan yang dipimpin tokoh tarekat atau pengikut tarekat tertentu. Karena itulah, tarekat mendapatkan pengawasan khusus dari Belanda.

Lantas mengapa tarekat sangat ditakuti prapenjajah pada masa kolonial dulu? Menurut Bruinessen, antara tasawuf dan tarekat memang terdapat dua persepsi yang bertolak belakang. “Para pejabat penjajah Belanda, Prancis, Italia, dan Inggris lazim mencurigai tarekat karena dalam pandangan mereka, fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik,” papar Bruinessen.

Tarekat Naksabandiyah, menurut Ensiklopedi Islam, tersebar ke nusantara pada abad ke-19 M. Tarekat ini dibawa para pelajar asal Indonesia yang menimba ilmu di tanah suci Makkah atau melalui jamaah yang pulang dari menunaikan ibadah haji.

“Pada abad ke-19 M, di Makkah terdapat sebuah pusat Tarekat Naksabandiyah yang dipimpin oleh Sulaiman Effendi,” tulis Ensiklopedi Islam. Markas Tarekat itu berada di kaki gunung Abu Qubais. Sejarawan J Spencer Trimingham, pernah menyebutkan bahwa sekitar 1845 M, seorang  syekh Naksabandiyah  dari Minangkabau di baiat di Makkah.

Di Indonesia, terdapat dua versi tarekat Naksabandiyah: Khalidiah dan Muzhariyah. Tarekat Naksabandiyah Khalidiah disebarkan oleh Syekh Ismail al-Khalidi di Minangkabau. Penyebaran tarekat ini dimulai dari kampung halaman sang syekh, yakni Simabur, Batusangkar, Sumatra Barat.

“Dari Simabur, tarekat ini menyebar ke Riau, kemudian ke Kerajaan Langkat dan Deli, selanjutnya ke Kerajaan Johor,” ungkap Ensiklopedi Islam. Sedangkan Tarekat Naksabandiyah Muzhariyah bersumber dari Sayid Muhammad saleh az-Zawawi. Kedua syekh penyebar tarekat dengan versi beda itu hidup sezaman.

Selain kedua Tarekat Naksabandiyah itu, di nusantara juga dikenal Tarekat Kadiriyah Naksabandiyah. Tarekat itu merupakan penggabungan antara Tarekat Kadiria dan tarekat Naksabandiah yang dipelopori oleh Syekh Ahmad Khatib sambasi, yang berasal dari kampung Dagang atau Kampung Asam di daerah Sambas, Kalimantan Barat.

Seperti halnya Tarekat Naksabandiyah, Qadariyah yang juga menyebar di Indonesia berasal dari Makkah. Ada yang menyebutkan, Tarekat Qadiriyah menyebar di nusantara pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur, dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.

Tarekat ini mengalami perkembangan  yang amat pesat pada abad ke-19 M, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Menurut Annemerie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam, tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan guna menandingi kekuatan lain.

Pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani  itu benar-benar mengguncang Belanda karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Menurut Martin van Bruneissen, para pemberontak yang melawan penjajah itu adalah pengikut Tarekat Qadiriyah yang dipimpin oleh Syekh Abdul Karim dan KH Marzuki. Belanda dibuat keteteran oleh gerakan kaum sufi itu.

 

 

sumber: Republika Online

Kembali ke Surga

Nuansa ibadah Ramadhan tentu memberikan kesan luar biasa bagi jiwa yang mendamba ketenangan dan kebahagiaan. Terutama kala jiwa telah memenangkan 10 hari terakhir Ramadhan dengan ibadah penuh khusyuk dalam rangkaian iktikaf, ketentraman hati benar-benar menguasai diri.

Namun, seiring berjalannya waktu, ketentraman hati itu rawan pudar karena orientasi hidup yang memang belum diarahkan pada surga. Ibadah belum sepenuhnya berpengaruh kuat pada cara pandang dalam hidup sesuai Islam. Hawa nafsu kadang lolos menguasai diri dan angkara merasuk menjadi penentu kendali atas pikiran dan tindakan.

Hati gelisah hanya kala kehormatan diri ada yang menghinakan. Tetapi, sama sekali tidak risau kala umat dan agama didiskreditkan. Kebahagiaan selanjutnya diukurnya berdasarkan besarnya pendapatan, bukan lagi ibadah, kepedulian dan perjuangan dalam menegakkan kebenaran.

Berteman pun bukan lagi didasarkan iman, tetapi semata-mata keuntungan diri sendiri. Ramadhan benar-benar telah lepas. “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS Huud [11]: 113).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan Rasul dan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bersikap teguh dan tetap berjalan pada jalan yang lurus. Sebab, hanya dengan itulah akan ada pertolongan dari-Nya. Ibn Jarir meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang aniaya.

Pendapat ini cukup baik, yang maksudnya ialah janganlah kalian meminta pertolongan kepada orang-orang yang aniaya, karena jadinya seakan-akan kalian rela kepada amal perbuatan mereka. Ramadhan memang palagan penuh keberkahan, namun ia hakikatnya adalah momen perbekalan guna menghadapi kenyataan yang kadang kala membutuhkan pengorbanan dan perjuangan tiada henti.

Saat itu, ibadah tidak boleh sekadar ritual, tetapi juga harus mampu menumbuhkan sistem kesadaran berpikir Islami dan cara pandang yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Ibn Al-Jauzi berkata, “Pikiran yang jernih bila digunakan secara seksama pasti akan menyuruh pemiliknya memburu kedudukan paling mulia dan melarangnya puas dengan kedudukan yang hina dalam semua situasi.”

Oleh karena itu, jangan sampai kenikmatan ibadah Ramadhan menguap tanpa bekas dalam cara berpikir dan perilaku kehidupan. Kita patut merenungkan apa yang disampaikan Rasulullah SAW kepada para sahabat, perihal seorang penghuni surga yang setelah dicek oleh Amru bin Ash tidak memiliki keistimewaan dalam hal ibadah.

Lelaki penghuni surga itu berkata, “Sebagaimana yang kamu lihat, aku tidak mengerjakan amalan apa-apa, hanya saja aku tidak pernah mempunyai rasa iri kepada sesama Muslim atau hasad terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya,” ucapnya.

Abdullah bin Amr berkata, “Rupanya itulah yang menyebabkan kamu mencapai derajat itu, sebuah amalan yang kami tidak mampu melakukannya.” Jadi mari kembali ke surga dengan berlapang dada.

 

 

Oleh: Imam Nawawi

sumber: Republika Online

Setelah 85 Tahun, Adzan Kembali Terdengar dari Dalam Hagia Sophia

Untuk pertama kalinya setelah 85 tahun suara adzan kembali dikumandangkan dari dalam bangunan Hagia Sophia pada Jumat (1/7) kemarin. Seperti dilansir lamanhurriyetdailynews.com, Sabtu (2/7), gema adzan subuh yang dikumandangkan dari ruangan dalam Hagia Sophia itu dalam rangka memperingati Lailatul Qadar.

Meskipun suara adzan sudah terdengar lewat menara-menara Hagia Sophia sejak empat tahun silam, tetapi muadzin mengumandangkannya dari ruangan shalat yang berada di halaman kompleks Hagia Sophia. Ruangan shalat tersebut bukan bagian dari bangunan bekas masjid dan katedral yang menjadi landmark kota Istanbul itu.

Dibangun sebagai pusat Kristen Orthodoks pada era Kaisar Bizantium Justinian I tahun 537, Hagia Sophia dikenal sebagai Ayasofya di Turki. Pusat kekuasaan Kristen Orthodoks itu kemudian dialihfungsikan menjadi masjid setelah Sultan Mehmet II menguasai kota Istanbul pada 1453. Status Hagia Sophia sekarang masih sebagai museum dan bukan masjid, sejak ditetapkan demikian pada 1935 oleh Mustafa Kemal Ataturk.

Beberapa tahun belakangan muncul seruan agar memfungsikan lagi Hagia Sophia sebagai masjid. Seruan adzan tersebut ditayangkan di stasiun televisi Turki pada Sabtu (2/7) dalam program yang menampilkan Mehmet Gormez, ketua Direktorat Urusan Agama Islam (Diyanet).

Dalam tayangan itu Gormez menyebut serangan di Bandara Ataturk Istanbul sebagai perang terhadap Islam.Dia mengatakan Islam termasuk korban dari terorisme.

“Yang dibunuh bukan hanya nyawa-nyawa kita, tetapi juga nilai-nilai tertinggi bagi kemanusiaan yang dibawa oleh Islam,” kata pemuka Muslim Turki itu seperti dikutip Hurriyet.

 

sumber: Republika Online