Jakarta yang kini berusia 489 tahun merupakan salah satu dari kota-kota di dunia yang sangat tinggi pertumbuhan penduduknya. Kalau pada 1961 penduduknya berjumlah 2,9 juta jiwa, pada 1966 menjadi 3,6 juta.
Pada 1994, kota yang hari jadinya ditandai dengan kemenangan para prajurit Islam mengusir tentara Portugis di Sunda Kelapa itu meningkat menjadi 8,9 juta jiwa. Jakarta kini berpenduduk 11 juta jiwa pada malam hari dan 14 juta jiwa di siang hari. Tidak mengherankan jika dari jantung kota hingga daerah pinggiran Jakarta makin mekar.
Daerah-daerah yang sampai 1970-an dicemoohkan sebagai tempat“jin buang anak” kini berubah menjadi hutan beton, berupa perumahan, perkantoran, shopping centre, dan entah apa lagi namanya. Namun, di mana penduduk asli yang bernama Betawi? Bagaimana nasibnya? Nasib orang Betawi, kata dramawan Nano Riantiarno, bisa diibaratkan seperti sungai Ciliwung yang membelah Kota Jakarta.
“Sungai itu makin lama makin menjadi parit dan pada suatu masa, entah kapan, bisa jadi akan hilang dari peta karena sudah diuruk untuk dijadikan perumahan atau jalan layang.”
Orang Betawi Diyakini Tetap Eksis
Sedangkan, budayawan Betawi Ridwan Saidi yakin warga Betawi masih tetap eksis di kota kelahirannya. Ia menunjuk masih banyaknya perkampungan Betawi di kelima wilayah DKI.
Bahkan, Ridwan memperkirakan jumlah pendatang dengan warga Betawi berimbang, alias fifty-fifty. “Jumlah orang Betawi tidak berkurang, malah nambah. Cuma, mereka tidak ngumpul seperti dulu.Udeh pada berpencaran,” kata Yahya Andi Saputra, sekretaris Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB).
Yang jelas, orang Betawi sejak “zaman kuda gigit besi” sudah merasakan banyak pendatang yang ngendon di kotanya. “Kalomemang Jakarta serbajelek dan kagak enak, mustahil orang dari daerah lain cari makan di sini,” kata Bang Doel sewot pada anaknya yang hendak merantau.
Memang, karena sejak zaman kompeni Jakarta selalu dibanjiri pendatang, dan segalanya ada di kota ini, menyebabkan orang Betawi enggan merantau.
Bangga tidak Merantau ke Kampung Lain
Kalau pendatang tidak sukses di Betawi pulang kampung malu, tidak demikian bagi orang Betawi. Namanya di kampung sendiri, bisa pergi ke kerabat yang agak mampu, minta sedikit bantuan dan bisanyambung hidup.
Hal itu terjadi karena warga Betawi punya kekerabatan yang kental. Akibat Jakarta selama ratusan tahun menjadi pusat pemerintahan, dan segala-galanya dimulai di sini, setidaknya membuat orang Betawi tidak minder.
“Kite warga Betawi yang lebih dulu liat trem, kereta api, mobil, dan kapal terbang,” kata Bang Amat, mencoba membanggakan diri.
“Sepaye-payenye orang Betawi, tidak ada yang jadi tukang becak, jadigembel, jadi WTS juga tidak ade,” tambahnya.
Atau seperti yang dikatakan Bang Mamid yang lagi nongkrongberjualan soto. Sambil tangannya menunjuk pada mobil Baby Benz yang lewat berkata, “Biar die naek Mercy, tapi gue lebih kaya. Gini-gini gue enggak cari makan di tempat laen.”
Betawi Memegang Teguh Agama
Namun, jangan dikira kehidupan orang Betawi tidak berat. Kalau ada yang mengatakan hidup di Jakarta berat dan penuh tantangan, menurut Ridwan Saidi, warga Betawi merasa lebih berat lagi.
Mereka menghadapi pukulan bertubi-tubi, sejak masa VOC, zaman Jepang, Orla, dan Orba. Namun, pukulan-pukulan itu mereka alihkan dengan humor agar tidak stres. Karena itu, humor bagi orang Betawi tidak pernah pudar dalam situasi dan
kondisi bagaimanapun.
Menurut Irwan Sjafi’ie, ini karena kentalnya orang Betawi memegang teguh agama. Itulah yang membuat mereka tidak iri hati terhadap pendatang yang sukses di kotanya.
Mereka dilarang untuk berprasangka buruk. Dalam ihwal humor, ketika Bang Doel menasihati istrinya yang lagi terbaring karena darah tinggi, tidak lupa menyelipkan unsur itu. “Jangan lupe, Ram, bangsamakanan yang berminyak lu jauhin. Apalagi minyak oli, jangan. Buat sementara makan aje rebusan, jangan yang digoreng.”
Tentu saja Ramelah, istrinya, nyap-nyap. Lu kire gue motor bejat pakeminum oli segale. “Eh iye, gue telepasan ngomong,” jawab sang suami.
Silat dan Shalat Prinsip Utama Warga Betawi
Salah satu ciri khas orang Betawi, mulutnya tidak bisa diam. Selalu ada saja yang dikatakannya tentang diri orang lain, termasuk penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Tujuannya humor, tetapi sering kali timbul keributan dengan orang yang dijadikan objek humornya. Kalau ada orang yang kepalanya botak dan mengilap, apalagi kalau kena panas, si Azis berkomentar, “Gue heran tuh mentege dari kemaren kagak lumer-lumer juga.”
Atau bertemu orang yang kepalanya ditumbuhi rambut yang kurang lebat, si Mamat berkomentar, “Gue liat tuh rambut tumbuhnya ogah-ogahan.”
Kembali kepada prinsip hidup, biar bagaimanapun, bagi orang Betawi nomor satu itu agama. Dulu bahkan ada yang bilang yang utama itu shalat, lalu silat.
Karena itulah para jagoan Betawi tempo doeloe pantang melakukan pemerasan seperti para preman sekarang. Hingga Mohammad Sobary, peneliti dari LIPI, menyatakan, “Bila Betawi dilepas dari keislamannya, ia akan menjadi bukan Betawi.”
Oleh: Alwi Shahab
sumber: Republika Online