Muslimah Cabut Bulu Alis, Bolehkah?

Perkembangan dunia fashion saat ini membuat manusia melakukan berbagai eksperimen terhadap tubuhnya. Demi mendapatkan penampilan sempurna, tak jarang mereka melakukan perawatan kecantikan. Salah satu yang kian digandrungi oleh kaum hawa adalah mencabuti bulu alis mata. Fasilitas pelayanan ini biasa didapatkan di berbagai rumah kecantikan dan salon.

Para pengguna jasa ini  akan membentuk sendiri bulu matanya dengan cara dilukis sesuai dengan tren fashion. Tak hanya kaum ibu, banyak remaja putri yang sudah menggunakan jasa ini. Masalah mencabut atau mencukur bulu alis yang dilakukan kaum hawa telah berkembang sejak zaman dahulu.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah SAW memberi perhatian khusus terhapa masalah ini. Nabi SAW bersabda, ”Allah mengutuk perempuan-perempuan penato dan mereka yang minta ditato, perempuan-perempuan yang mencukur alis dan mereka yang minta dicukur alisnya, perempuan-perempuan yang mengikir giginya agar lebih indah dan mereka yang mengubah ciptaan Allah.”

Mufti Agung Mesir, Syekh Ali Jum’ah Muhammad, telah mengeluarkan fatwa terkait an-namsh atau mencabut bulu alis. Menurut dia, terdapat dua pendapat di kalangan para ahli bahasa mengenai masuknya bulu-bulu lain yang tumbuh di wajah ke dalam larangan ini.

”Perbedaan inilah yang mendasari perbedaan ulama mengenai hukum mencabut bulu selain bulu alis; antara yang menghalalkan dan yang mengharamkannya,” papar Syekh Ali Jum’ah. Menurut dia, an-namishah adalah perempuan yang mencabut bulu alisnya atau bulu alis orang lain. Sedangkan, al-mutanammishah adalah perempuan yang menyuruh orang lain untuk mencabut bulu alisnya.

”Ancaman dalam bentuk laknat dari Allah SWT atau Rasulullah SAW atas suatu perbuatan tertentu merupakan pertanda bahwa perbuatan itu termasuk dalam dosa besar,” papar Syekh Ali Jum’ah. Menurut dia, mencabut bulu alis bagi wanita adalah haram jika dia belum berkeluarga kecuali untuk keperluan pengobatan, menghilangkan cacat atau guna merapikan bulu-bulu yang tidak beraturan.

Perbuatan yang melebihi batas-batas tersebut hukumnya adalah haram. Menurut Syekh Ali Jum’ah, perempuan yang sudah berkeluarga, diperbolehkan melakukannya jika mendapat izin dari suaminya atau terdapat indikasi yang menunjukkan izin tersebut. ”Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama.”

Mufti Agung Mesir, Syekh Ali Jum’ah Muhammad, juga telah mengeluarkan fatwa terkait an-namsh atau mencabut bulu alis. Menurut dia, terdapat dua pendapat di kalangan para ahli bahasa mengenai masuknya bulu-bulu lain yang tumbuh di wajah ke dalam larangan ini.

”Perbedaan inilah yang mendasari perbedaan ulama mengenai hukum mencabut bulu selain bulu alis; antara yang menghalalkan dan yang mengharamkannya,” papar Syekh Ali Jum’ah. Menurut dia, an-namishah adalah perempuan yang mencabut bulu alisnya atau bulu alis orang lain. Sedangkan, al-mutanammishah adalah perempuan yang menyuruh orang lain untuk mencabut bulu alisnya.

”Ancaman dalam bentuk laknat dari Allah SWT atau Rasulullah SAW atas suatu perbuatan tertentu merupakan pertanda bahwa perbuatan itu termasuk dalam dosa besar,” papar Syekh Ali Jum’ah. Sehingga, kata dia, mencabut bulu alis bagi wanita adalah haram jika dia belum berkeluarga kecuali untuk keperluan pengobatan, menghilangkan cacat, atau guna merapikan bulu-bulu yang tidak beraturan.

Perbuatan yang melebihi batas-batas tersebut, hukumnya adalah haram. Menurut Syekh Ali Jum’ah, perempuan yang sudah berkeluarga, diperbolehkan melakukannya jika mendapat izin dari suaminya, atau terdapat indikasi yang menunjukkan izin tersebut. ”Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama.”

Mereka beralasan bahwa hal itu termasuk bentuk berhias yang diperlukan sebagai benteng guna menjauhi hal-hal tidak baik dan untuk menjaga kehormatan (‘iffah). Maka, secara syar’i, seorang istri diperintahkan untuk melakukannya demi suaminya. Hal itu sesuai dengan hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dari istri Abu Ishak.

Pada suatu hari dia berkunjung kepada Aisyah RA. Istri Abu Ishak itu adalah seorang perempuan yang suka berhias. Dia berkata kepada Aisyah, “Apakah seorang perempuan boleh mencabut bulu di sekitar keningnya demi suaminya?” Aisyah menjawab, “Bersihkanlah dirimu dari hal-hal yang mengganggumu semampumu.”

 

sumber:REPUBLIKA ONLINE

Ahli Shuffah, Orang-Orang yang Bersahaja

Selain kaum Muhajirin, Shuffah juga menjadi tempat beteduh para utusan atau tamu yang menemui Rasulullah SAW. Mereka banyak yang menyatakan masuk Islam dan bersumpah setia. Memang, Menurut Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah, kebanyakan para tamu itu datang bersama para penanggungjawabnya. Namun, jika tak ada penanggungjawabnya, mereka tinggal di Shuffah.

Abu Hurairah adalah wakil ahli Shuffah untuk para musafir yang singgah di waktu malam. Menurut Dr Akram, jika Rasulullah SAW ingin mengetahui keadaan mereka, cukup diserahkan kepada Abu Hurairah untuk mengetahui hal ihwal, tempat asal, kulitas dan kuantitas ibadah, serta kesungguhan mereka.

Seiring perjalanan waktu, jumlah ahli Shuffah cenderung tak tetap. Jika utusan dan para tamu datang, jumlahnya bertambah. Ketika mereka kembali ke tanah kelahirannya, jumlahnya berkurang. Menurut Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, biasanya jumlah mereka sekitar 70 orang.

Terkadang jumlahnya amat banyak. Pernah, suatu hari Sa’ad bin Ubadah menjamu 80 orang. Belum lagi yang dijamu oleh kalangan sahabat lainnya,” papar Abu Nu’aim. As-Samhudi menyebutkan bahwa Abu Nu’aim dalam Hilayatul Auliya mengungkapkan lebih dari 100 orang ahli Shuffah.

Semangat para ahli Shuffah

Menurut Dr Akram, para ahli Shuffah mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. Mereka beriktikaf di Masjid Nabawi untuk beribadah dan membiasakan diri hidup dalam keadaan serbakekurangan. Jika sedang sendiri, yang mereka lakukan adalah shalat, membaca, dan mempelajari Alquran, serta berzikir,” papar Dr Akram.

Selain itu, sebagian lainnya belajar membaca dan menulis. Tak heran jika kemudian para Ahli Shuffah itu banyak yang menjadi ulama dan ahli hadis karena mereka banyak menghafal hadis. Salah satu contohnya adalah Abu Hurairah dan Huzaifah Ibnul Yaman yang dikenal banyak meriwayatkan hadis-hadis tentang fitnah.

Para ahli Shuffah dengan penuh keseriusan mempelajari ilmu agama dan ibadah. Meski begitu, mereka juga terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan jihad. Hal itu terbukti dengan banyaknya para Ahli Shuffah yang gugur di medan perang, seperti Perang Badar, Perang Uhud, Perang Tabuk, Perang Khaibar, dan pertempuran lainnya. Mereka adalah para ahli ibadah di malam hari dan prajurit yang gagah berani di siang hari,” tutur Dr Akram.

Mereka yang tinggal di Ash-Shuffah adalah orang-orang yang bersahaja. Betapa tidak,  menurut Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqatul Kubra jilid I, para ahli Shuffah tak memiliki pakaian yang dapat melindungi diri dari hawa dingin. Mereka juga tak memiliki selimut tebal. Tak ada seorang pun dari mereka yang mempunyai pakaian lengkap,” papar Abu Nu’aim.

Mereka mengikatkan baju dan selimut ke leher-leher mereka. Sebagian lagi hanya memakai baju dan kain sarung. Selimut yang mereka pakai adalah Al-Hanaf,” ungkap Dr Akram. Al-Hanaf adalah selimut yang menyerupai selimut produksi Yaman dibuat dari bahan kasar dan kain terburuk.

Kurma adalah makanan sehari-hari ahli Shuffah. Rasulullah selalu menyediakan setangkup kurma untuk dua orang setiap hari. Nabi Muhammad SAW tak mampu memenuhi kebutuhan mereka selian kurma. Karenanya, beliau selalu menasihati agar para ahli Shuffah bersabar dan tak pernah lupa menghibur mereka.

Rasulullah pun sering mengundang mereka untuk makan bersama di rumah beliau meski dengan hidangan seadanya,” kata Dr Akram. Jika ada dermawan datang, mereka pun bisa menyantap makanan yang lebih enak. Meski dalam kondisi serbakekurangan, para ahli Shuffah itu tetap bersabar. Semangat beribadah dan jihadnya tak pernah padam.

 

sumber:REPUBLIKA ONLINE

Tarim, Kota Bersejarah Hadramaut

Tarim adalah salah satu kota utama yang terletak di selatan Yaman, Provinsi Hadramaut.  Kota itu terletak 34 kilometer dari Seiyun dan 356 kilometer dari Mukalla—ibu kota provinsi. Tarim dihuni oleh sekitar 100 ribu jiwa.

Mata pencaharian penduduknya terbilang beragam. Ada yang berprofesi sebagai petani, tukang kayu, perajin, dan lainnya. Kota itu terkenal sebagai sentra kerajinan seperti berang-barang dari besi, las, pertukangan, dan tembikar. Konon, nama kota itu diambil dari nama seorang arsitek terkemuka bernama Tarim Bin Hadramout Bin Sheba. Ia berasal dari zaman Kerajaan Kinda.

Pada 2010, seperti diberitakan laman berita Arabnews, Kota Tarim yang terletak di Hadramaut telah terpilih sebagai Capitals of Islamic Culture (CIC) alias Ibu Kota Kebudayaan Islam. Sejak 2004, Organisasi Pendidikan Sains dan Kebudayaan Islam (ISESCO) setiap tahun memilih tiga kota di dunia untuk dinobatkan sebagai Ibu Kota Kebudayaan Islam.

Ketiganya merupakan perwakilan dari kota Islam di Afrika, kota Islam di Asia, dan kota Islam di Jazirah Arab. Pada 2010, Tarim terpilih mewakili kota-kota Islam yang ada di Semenanjung Arab. Dari Afrika di wakili oleh Kota Monroni dari Comoro, dan  Dushanbe, ibu kota Tajikistani mewakili Asia.

Tarim terpilih karena keberadaan madrasah-madrasahnya, serta hubungan yang terbuka dengan orang-orang lain,’’  ungkap Menteri Kebudayaan Yaman, Mohammed Abu Bakr Al-Maflahi. Sementara itu,  Dirjen ISESCO, Abdulaziz Altwaijri,  ada beberapa criteria yang membuat Tarim terpilih sebagai Ibu Kota Kebudayaan Islam.

Menurut Altwaijri,  Tarim adalah sebuah kota yang sangat bersejarah. Kota itu, kata dia, memiliki peran yang begitu besar dalam menyajikan dan melayani kebudayaan Islam. Di kota itu terdapat tempat-tempat bersejarah, seperti bangunan-bangunan, istana, dan tepat shalat.

Tarim adalah sebuah kota yang indah. Saya telah mengetahuinya sebelum datang ke sini. Saya merasa sangat tenang di kota ini,” tutur Altwaijri. Dari Kota Tarim, banyak ulama dan pedagang yang menyebarkan agama Islam ke berbagai penjuru dunia.

Orang-orang Tarim amat berjasa menyebarkan Islam sepanjang negara-negara Asia Timur dengan cara yang damai. Pada akhir abad ke-5 H hingga awal abad ke-6 H, ulama, pedagang, dan pekerja dari Tarim meninggalkan kampung halamannya menuju India, Indonesia, Singapura, dan Afrika Timur untuk mendakwahkan ajaran Islam.

Dar Al-Mustafa merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam modern yang berdiri di Kota Tarim. Lembaga itu dibangun oleh Syekh Ali al-Mashhour Bin Hafeed pada 1993.  Santrinya tak hanya berasal dari Yaman, namun dari berbagai negara di dunia.

Di kota itu juga terdapat lembaga pendidikan Islam yang tradisional, namanya Rubat Tarim. Lembaga itu didirikan pada 1887 dan terletak di pusat kota. Peran lembaga pendidikan itu sangat besar karena telah melahirkan para ulama. Cendekiawan dan tokoh Islam baik di Yaman maupun di luar negeri.

 

sumber:REPUBLIKA ONLINE

Aku Tak Akan Bisa Kalahkan Abu Bakar Selamanya

UMAR bin Khattab Radhiallahuanhu berkata:

“Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka kami pun melaksanakannya. Umar berkata: Semoga hari ini aku bisa mengalahkan Abu Bakar. Aku pun membawa setengah dari seluruh hartaku. Sampai Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bertanya: Wahai Umar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?. Kujawab: Semisal dengan ini.

Lalu Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam lalu bertanya: Wahai Abu Bakar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?. Abu Bakar menjawab: Ku tinggalkan bagi mereka, Allah dan Rasul-Nya. Umar berkata: Demi Allah, aku tidak akan bisa mengalahkan Abu Bakar selamanya” (HR. Tirmidzi)

 

MOZAIK.INILAH.com

Tahukah Kamu Nama Asli Abu Bakar?

NAMA beliau -menurut pendapat yang shahih- adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Kaab bin Saad bin Taiym bin Murrah bin Kaab bin Luay Al Qurasyi At Taimi. Beliau memiliki kun-yah: Abu Bakar. Beliau dijuluki dengan Atiq dan Ash Shiddiq.

Sebagian ulama berpendapat bahwa alasan beliau dijuluki Atiq karena beliau tampan. Sebagian mengatakan karena beliau berwajah cerah. Pendapat lain mengatakan karena beliau selalu terdepan dalam kebaikan. Sebagian juga mengatakan bahwa ibu beliau awalnya tidak kunjung hamil, ketika ia hamil maka ibunya berdoa, “Ya Allah, jika anak ini engkau bebaskan dari maut, maka hadiahkanlah kepadaku”

Dan ada beberapa pendapat lain. Sedangkan julukan Ash Shiddiq didapatkan karena beliau membenarkan kabar dari Nabi Shallallahualaihi Wasallam dengan kepercayaan yang sangat tinggi. Sebagaimana ketika pagi hari setelah malam Isra Miraj, orang-orang kafir berkata kepadanya: Teman kamu itu (Muhammad) mengaku-ngaku telah pergi ke Baitul Maqdis dalam semalam. Beliau menjawab: “Jika ia berkata demikian, maka itu benar”

Allah Taala pun menyebut beliau sebagai Ash Shiddiq: “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Az Zumar: 33). Tafsiran para ulama tentang ayat ini, yang dimaksud orang yang datang membawa kebenaran adalah Nabi Muhammad Shallallahualaihi Wasallam dan yang dimaksud orang yang membenarkannya adalah Abu Bakar Radhiallahuanhu.

Beliau juga dijuluki Ash Shiddiq karena beliau adalah lelaki pertama yang membenarkan dan beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahualaihi Wasallam. Nabi Shallallahualaihi Wasallam telah menamai beliau dengan Ash Shiddiq sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari: “Dari Anas bin Malik Radhiallahuanhu bahwa Nabi Shallallahualaihi Wasallam menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman. Gunung Uhud pun berguncang. Nabi lalu bersabda: Diamlah Uhud, di atasmu ada Nabi, Ash Shiddiq (yaitu Abu Bakr) dan dua orang Syuhada (Umar dan Utsman)”

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2367508/tahukah-kamu-nama-asli-abu-bakar#sthash.6T7yG5B0.dpuf

Jasa-Jasa Abu Bakar Ash Shiddiq

BELIAU dilahirkan 2 tahun 6 bulan setelah tahun gajah. Beliau berkulit putih, bertubuh kurus, berambut lebat, tampak kurus wajahnya, dahinya muncul, dan ia sering memakai hinaa dan katm. Jasa-jasa beliau meliputi:

– Jasanya yang paling besar adalah masuknya ia ke dalam Islam paling pertama.
– Hijrahnya beliau bersama Nabi Shallallahualaihi Wasallam
– Ketegaran beliau ketika hari wafatnya Nabi Shallallahualaihi Wasallam
– Sebelum terjadi hijrah, beliau telah membebaskan 70 orang yang disiksa orang kafir karena alasan bertauhid kepada Allah. Di antara mereka adalah Bilal bin Rabbaah, Amir bin Fahirah, Zunairah, Al Hindiyyah dan anaknya, budaknya Bani Muammal, Ummu Ubais
– Salah satu jasanya yang terbesar ialah ketika menjadi khalifah beliau memerangi orang-orang murtad

Abu Bakar adalah lelaki yang lemah lembut, namun dalam hal memerangi orang yang murtad, beliau memiliki pendirian yang kokoh. Bahkan lebih tegas dan keras daripada Umar bin Khattab yang terkenal akan keras dan tegasnya beliau dalam pembelaan terhadap Allah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiallahuanhu:

“Ketika Nabi Shallallahualaihi Wasallam wafat, dan Abu Bakar menggantikannya, banyak orang yang kafir dari bangsa Arab. Umar berkata: Wahai Abu Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda, aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, barangsiapa yang mengucapkannya telah haram darah dan jiwanya, kecuali dengan hak (jalan yang benar). Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah? Abu Bakar berkata: Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak Allah atas harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam, akan ku perangi dia. Umar berkata: Demi Allah, setelah itu tidaklah aku melihat kecuali Allah telah melapangkan dadanya untuk memerangi orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di atas kebenaran”

Begitu tegas dan kerasnya sikap beliau sampai-sampai para ulama berkata: “Allah menolong Islam melalui Abu Bakar di hari ketika banyak orang murtad, dan melalui Ahmad (bin Hambal) di hari ketika terjadi fitnah (khalqul Quran)”. Abu Bakar pun memerangi orang-orang yang murtad dan orang-orang yang enggan membayar zakat ketika itu:
– Musailamah Al Kadzab dibunuh di masa pemerintahan beliau
– Beliau mengerahkan pasukan untuk menaklukan Syam, sebagaimana keinginan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam. Dan akhirnya Syam pun di taklukan, demikian juga Iraq.
– Di masa pemerintahan beliau, Al Quran dikumpulkan. Beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkannya.
– Abu Bakar adalah orang yang bijaksana. Ketika ia tidak ridha dengan dilepaskannya Khalid bin Walid, ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menghunus pedang yang Allah tujukan kepada musuhnya sampai Allah yang menghunusnya” (HR. Ahmad dan lainnya)

Ketika masa pemerintahan beliau, terjadi peperangan. Beliau pun bertekad untuk pergi sendiri memimpin perang, namun Ali bin Abi Thalib memegang tali kekangnya dan berkata: Mau kemana engkau wahai khalifah? Akan kukatakan kepadamu perkataan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam ketika perang Uhud: Simpanlah pedangmu dan janganlah bersedih atas keadaan kami. Kembalilah ke Madinah. Demi Allah, jika keadaan kami membuatmu sedih Islam tidak akan tegak selamanya. Lalu Abu Bakar Radhiallahuanhu pun kembali dan mengutus pasukan.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2367516/jasa-jasa-abu-bakar-ash-shiddiq#sthash.5A4hQOQt.dpuf

Kenapa Abu Bakar Terpilih jadi Khalifah Pertama?

KETIKA Nabi Shallallahualaihi Wasallam sakit keras, beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam salat berjemaah. Dalam Shahihain, dari Aisyah Radhiallahuanha ia berkata:

“Ketika Nabi Shallallahualaihi Wasallam sakit menjelang wafat, Bilal datang meminta idzin untuk memulai shalat. Rasulullah bersabda: Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah. Aisyah berkata: Abu Bakar itu orang yang terlalu lembut, kalau ia mengimami shalat, ia mudah menangis. Jika ia menggantikan posisimu, ia akan mudah menangis sehingga sulit menyelesaikan bacaan Quran. Nabi tetap berkata: Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah. Aisyah lalu berkata hal yang sama, Rasulullah pun mengatakan hal yang sama lagi, sampai ketiga atau keempat kalinya Rasulullah berkata: Sesungguhnya kalian itu (wanita) seperti para wanita pada kisah Yusuf, perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah”

Oleh karena itu Umar bin Khattab Radhiallahuanhu berkata: “Apakah kalian tidak ridha kepada Abu Bakar dalam masalah dunia, padahal Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam telah ridha kepadanya dalam masalah agama?”

Juga diriwayatkan dari Aisyah Radhiallahuanha, ia berkata: “Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam berkata kepadaku ketika beliau sakit, panggilah Abu Bakar dan saudaramu agar aku dapat menulis surat. Karena aku khawatir akan ada orang yang berkeinginan lain (dalam masalah khilafah) sehingga ia berkata: Aku lebih berhak. Padahal Allah dan kaum muminin menginginkan Abu Bakar (yang menjadi khalifah). Kemudian datang seorang perempuan kepada Nabi Shallallahualaihi Wasallam mengatakan sesuatu, lalu Nabi memerintahkan sesuatu kepadanya. Apa pendapatmu wahai Rasulullah kalau aku tidak menemuimu? Nabi menjawab: Kalau kau tidak menemuiku, Abu Bakar akan datang” (HR. Bukhari-Muslim)

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2367761/kenapa-abu-bakar-terpilih-jadi-khalifah-pertama#sthash.Vs17zkwV.dpuf

Sesama Muslim Dilarang Memvonis Sesat

SESAT/tersesat (dhall) secara harfiah berarti kebalikan dari petunjuk (al-hud). Akan tetapi, dalam istilah ulama ushuluddin, dhall berarti menyimpang dari jalan hidayah (Islam).

Karenanya, bentuk penyimpangan apapun dari jalan Islam bisa disebut sesat (dhall). Karena selain Islam adalah kufur, maka istilah sesat (dhall) juga identik dengan kekufuran. Dalam konteks ini, Alquran menyebut orang yang mengingkari (kufur) terhadap pemikiran dasar iman dengan sebutan sesat (dhall):

Siapa saja yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS an-Nisa [4]: 136).

Jika konteks dhall di dalam ayat tersebut berlaku untuk semua orang kafir, maka Alquran juga menggunakan sebutan dhll (orang yang tersesat) untuk menyebut orang Nasrani, sebagaimana firman Allah:

(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat (orang Nasrani). (QS al-Fatihah [1]: 07).

Kata ad-dhlln di sini hanya mempunyai konotasi sebagian orang kafir, yaitu orang Nasrani. Dalam hal ini, kataad-dhlln merupakan dallah tadhammun, yang berkonotasi sebagian orang kafir (orang Nasrani). Akan tetapi, tidak berarti bahwa istilah tersebut hanya berlaku untuk orang Nasrani, sementara yang lain tidak. Sebaliknya, penggunaan kata ad-dhall dan ad-dhll memang berlaku dengan konotasi kekufuran, orang kafir (baik Ahli Kitab seperti Yahudi dan Nasrani maupun musyrik semisal ajaran lain, selain Ahli Kitab, seperti Budha, Hindu, dan lain-lain), atau bentuk penyimpangan apapun dari Islam.

Karena itu, ajaran, paham, pemikiran dan hukum bisa disebut sesat jika tidak dibangun berdasarkan dalil-dalil Islam, baik yang disepakati (seperti al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas) maupun yang masih diperdebatkan (seperti istihsn, mashlih mursalah, mazhab sahabat, atau yang lain). Adapun ajaran, paham, pemikiran, dan hukum yang dibangun berdasarkan dalil-dalil Islam, baik yang disepakati atau yang masih diperdebatkan, statusnya tetap bisa disebut sebagai ray[un] islm (pandangan keislaman), dan tidak boleh dinyatakan dhall (sesat), sekalipun akhirnya dianggap khatha (salah). Jika ajaran, paham, pemikiran, dan hukum tersebut pada akhirnya dianggap salah, tetap tidak bisa disebut dhall (sesat), tetapi cukup disebut khatha (salah). Contoh: paham sekularisme, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme bisa divonis sesat (dhall), karena semuanya merupakan pemikiran kufur yang tidak bersumber dari Islam. Demikian halnya dengan para pengusungnya; mereka layak disebut orang-orang yang tersesat (dhll), karena telah mengemban paham yang tidak bersumber dari Islam, bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:

Siapa saja yang mencari agama (pandangan hidup) selain Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran [3]: 85).

Konotasi ghayr al-Islm dn[an] (selain Islam sebagai agama) bukan hanya dalam konteks mencari selain Islam sebagai agama ritual, tetapi juga berlaku dalam konteks mencari selain Islam sebagai agama sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Sebab, kata dn (agama) di sini mencakup dua konotasi ajaran tersebut.

Adapun seorang Muslim yang mengemban pemikiran dalam kategori ray[un] islm, terlepas dari dalilnya, disepakati atau tidak, jika dia salah maka tetap tidak boleh divonis sesat (dhll). Kasus Muktazilah, Jabariah, dan semua kelompok kalam, misalnya, menurut Hujjat al-Islm Imam al-Ghazali, tetap tidak bisa divonis kufur (takfr) atau sesat. Sebab, status mereka seperti orang yang berijtihad, meskipun mereka salah dalam melakukan penakwilan.[1] Dengan logika al-Ghazali, bisa disimpulkan bahwa penganut Jabariah atau Ahlussunah tetap tidak bisa menganggap Muktazilah sesat atau kafir, demikian sebaliknya. Memang, masing-masing boleh mengklaim dirinya benar (shawb), sedangkan yang lain salah (khatha). Akan tetapi, kesalahan tersebut tetap tidak bisa disebut sesat atau kufur.

Demikian halnya dalam kasus ushul yang lain. Harus dibedakan antara orang yang menolak hadis, menolak hadis ahad, dan orang yang tidak menggunakan hadis ahad dalam akidah. Ini merupakan tiga fakta yang statusnya berbeda.

Orang yang menolak hadis secara mutlak jelas bisa dinyatakan sebagai orang yangdalam bahasa Melayu disebutanti hadis atau ingkar sunnah, dan bisa divonis kafir atau sesat. Orang yang menolak hadis ahad, padahal telah terbukti sahih, statusnya berbeda dengan ingkar sunnah. Orang seperti ini bisa divonis fasik. Sedangkan orang yang tidak menggunakan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah akidahkarena dianggap tidak bisa membangun keyakinan yang pastijelas tidak bisa dianggap menolak hadis ahad sebagai dalil. Karena itu, ia tidak bisa divonis fasik, apalagi dinyatakan anti hadis atau ingkar sunnah, yang layak divonis kafir atau sesat.

Selain itu, menurut al-Ghazali, persoalan sesat-menyesatkan ini sebenarnya merupakan masalah fikih, yaitu vonis hukum, sehingga harus dibangun berdasarkan dalil sam (naql), dan secara nyata faktanya bisa dibuktikan; apalagi melibatkan status seorang Muslim, yang bisa berimplikasi pada hukum-hukum derivat yang lain. Dalam konteks kekufuran, vonis terhadap orang yang dinyatakan kafir harus ditopang dengan argumentasi yang kuat, demikian juga dengan vonis terhadap orang yang dinyatakan sesat. Rasulullah saw. bersabda:

Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sementara kalian mempunyai argumentasi yang kuat di sisi Allah tentang kekufuran itu. (HR Muttafaq alaih).

Hadis ini menjelaskan bahwa status kekufuran yang nyata tersebut harus didukung dengan burhn dari Allah, atau dalil qath yang bersumber dari Allah sehingga vonis kufur bisa dijatuhkan. Jika tidak, vonis tersebut akan menimpa orang yang memvonisnya, sebagaimana sabda Nabi saw.:

Siapa saja yang mengkafirkan saudaranya, maka berbalik kepada salah satu di antara mereka. (HR Ahmad).

Vonis-vonis seperti ini sangat berbahaya bagi seorang Muslim, apalagi vonis kekufuran atau sesat tersebut merupakan vonis yang sangat sensitif bagi kaum Muslim yang lain. Karena itu, jika vonis tersebut dilakukan tanpa bukti yang kuat di sisi Allah, maka ini termasuk dalam kategori teror yang dilarang dalam hadis Nabi saw:

Tidak halal bagi seorang Muslim meneror Muslim yang lain. (HR Ahmad, Abu Dawud, dan ath-Thabrani).

Namun, ini tidak berarti memvonis sesat seseorang yang memang terbukti secara qath sesat atau kufur itu tidak diperbolehkan. Sebab, yang tidak diperbolehkan adalah menjatuhkan vonis tersebut tanpa bukti yang qath atau zhann.

Nah, masalahnya bagaimana kalau bukti zhann tersebut justru digunakan sebagai justifikasi untuk menyesatkan atau mengkafirkan orang lain, sebagaimana yang lazim digunakan oleh sebagian jamaah Islam? Inilah yang jadi persoalan. Karena itu, hal ini tidak diperbolehkan, karena jelas bertentangan dengan hadis: indakum mina Allhi fhi burh[an] di atas. Kalau tindakan tersebut dilakukan maka pelakunya bisa dikenai sanksi tazr oleh qadhi. Wallhu alam

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2368204/sesama-muslim-dilarang-memvonis-sesat#sthash.hX5wJnzK.dpuf

—————————————–

MAU Ngecek Tarif JNE? Dowload ini, Anda bisa cek biaya pengiriman tanpa internet. Download di sini!

Empat Hal Penting Layanan Haji 2017

Pemerintah dan Komisi VIII DPR RI mensepakati besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1438H/2017M. Besaran rata-rata BPIH yang dibayar langsung oleh Jemaah Haji untuk tahun 1438H/2017M rata-rata sebesar Rp 34.890.312. Besaran BPIH tahun 1438H/2017M naik sebesar 0,72 persen atau sebesar Rp 249.008 dibanding BPIH tahun lalu.

Menteri Agama mengatakan, ada empat hal penting dalam peningkatan kualitas layanan ibadah haji tahun ini yang berdampak pada peningkatan biaya haji.

  1. Selama di Makkah, jemaah akan mendapatkan makan 25 kali, mengalami peningkatan dibanding tahun lalu yang berjumlah 24 kali. Kebijakan peningkatan kuantitas layanan makan di Makkah ini dalam rangka penyiapan makan bagi Jemaah yang baru tiba dari Madinah pada gelombang I dan penyediaan makan bagi Jemaah yang akan berangkat dari Makkah ke Madinah pada gelombang II.
  2. Peningkatan yang cukup penting atas layanan konsumsi di Makkah adalah penyediaan snack berat untuk sarapan pagi di Makkah selama 12 hari.
  3. Upgrade bus yang akan mengangkut jemaah dari bandara Madinah menuju hotel masing-masing jemaah, begitu juga sebaliknya.
  4. Peningkatan kualitas tenda dan pendingin udara (AC) di Arafah.”Jadi semuanya (empat peningkatan kualitas layanan) tidak sebanding dengan nominal rupiah kenaikan BPIH sebesar Rp 249.008,00,” ujar Menag.

    Dikatakannya, pemerintah dan DPR sepakat sesungguhnya tidak ada kenaikan BPIH, karena layanan jemaah haji tahun ini jauh lebih besar nilainya dibanding penambahan atau kenaikan BPIH dibanding tahun lalu.

    “Oleh karenanya, dengan penambahan kuota yang signifikan sebesar 52.200 orang ini akan semakin mampu menjaga kualitas layanan jemaah,” ujar Menag.

    Komponen BPIH yang dibayar langsung oleh Jemaah Haji sama dengan tahun lalu, terdiri dari dari tiket pesawat dan passenger service charge, pemondokan Makkah, dan Living Allowance.Besaran rata-rata BPIH yang dibayar langsung oleh Jemaah Haji untuk tahun 1438H/2017M rata-rata sebesar Rp 34.890.312.

    Besaran rata-rata BPIH dimaksud terdiri atas biaya tiket penerbangan sebesar Rp 26.143.812, pemondokan Makkah sebesar SAR 950 setara Rp 3.391.500, dan Living Allowance sebesar SAR 1.500 setara Rp 5.355.000.

 

sumber IHRAM.co.id

Ibu Saleh yang Tertawa Ketika Anaknya Meninggal

INI adalah kisah antara Ibban bin Saleh dan seorang perempuan, pembantu Anas bin Malik. Ibban bertanya kenapa ia tertawa di atas kuburan seorang pemuda yang baru saja dimakamkan. Perempuan itu menjawab:

“Kalau bukan karena kedudukanmu, wahai Ibban, saya tidak akan pernah menceritakan kisah ini. Yang meninggal itu adalah anakku. Dia adalah orang yang nekat melakukan kemaksiatan. Tadi malam, ia sakit parah kemudian memanggilku. Ketika menghampirnya, ia meminta sesuatu. Kondisinya sangat sekarat. Saya ikuti semua perintahnya.

Saya menyuruhnya untuk mengatakan segala keinginannya, dan saya akan memenuhinya. Dia mengatakan kepadaku untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang kematiannya. Dia kemudian berkata, “Ketika orang-orang memasukkanku ke dalam kubur, berdoalah kepada Allah untuk memaafkanku. Dan katakanlah, ‘Ya Allah, saya ridha dengan dirinya, semoga Engkau pun ridha dengannya.’

Wahai ibu, berdirilah. Letakkanlah kaki ibu di wajahku dan berkata, ‘Ini adalah hadiah orang yang mendurhakai Allah Azza wa Jalla’.”

Saya pun melakukan apa yang diminta. Ketika saya mengangkat kakiku dari wajahnya, ia sudah tidak bernyawa. Saya kemudian menyewa empat orang untuk memandikan mayatnya, mengafani, membawanya ke kuburan hingga menguburnya.

Ketika mereka berjalan pergi, saya mendekati kuburan, mengangkat tangan seraya berdoa, ‘Wahai yang Maha Dermawan. Engkau mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi. Ini dosaku, anakku telah dipanggil oleh-Mu dengan keadaan berlumur dosa. Saya telah mengampuninya, ya Allah, semoga Engkau pun demikian. Saya telah ridha, ya Allah, semoga Engkau pun demikian.’

Kemudian, saya mendengar suara dari dalam kubur berkata kepadaku, ‘Pergilah, wahai Ibuku. Karena, saya telah kembali ke pangkuan Allah yang Maha Pemurah dan telah mengampuni dosa-dosaku.’

Itulah yang membuatku bahagia dan berjalan meninggalkannya dengan suka cita.” (Abdullah bin Abdurrahman, Salaf Stories)

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2368183/ibu-saleh-yang-tertawa-ketika-anaknya-meninggal#sthash.fmQwi9RD.dpuf