Potret Rasulullah Bersama Buruh (Pembantunya)

ANAS bin Malik radhiallahu anhu, adalah diantara daftar pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Selama hampir 9 tahun lamanya, sejak di usia 10 tahun, beliau melayani Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Berikut testimoni sahabat Anas:

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari (sewaktu aku masih kanak-kanak), beliau menyuruhku untuk tugas tertentu. Aku bergumam: Aku tidak mau berangkat. Sementara batinku meneriakkan untuk berangkat menunaikan perintah Nabi Allah. Aku pun berangkat, sehingga melewati gerombolan anak-anak yang sedang bermain di pasar. Aku pun bermain bersama mereka. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memegang tengkukku dari belakang. Aku lihat beliau, dan beliau tertawa. Beliau bersabda: “Hai Anas, berangkatlah seperti yang aku perintahkan.” “Ya, saya pergi sekarang ya Rasulullah.” Jawab Anas.

Beliau memberi kesan: Demi Allah, aku telah melayani Nabi shallallahu alaihi wa sallam selama 7 atau 9 tahun. Saya belum pernah sekalipun beliau berkomentar terhadap apa yang aku lakukan: “Mengapa kamu lakukan ini?”, tidak juga beliau mengkritik: “Mengapa kamu tidak lakukan ini?” (HR. Muslim 2310 dan Abu Daud 4773). Dalam cuplikan sejarah beliau yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat perhatian terhadap kebutuhan pembantunya. Bahkan sampai pada menyemangati untuk menikah. Dari Rabiah bin Kab al-Aslami, beliau menceritakan:

Saya pernah menjadi pelayan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau menawarkan: “Wahai Rabiah, kamu tidak menikah?” Aku jawab: “Tidak ya Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak punya dana yang cukup untuk menanggung seorang istri, dan saya tidak ingin disibukkan dengan sesuatu yang menghalangiku untuk melayani Anda.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian berpaling dariku. Setelah itu beliau bertanya lagi: “Wahai Rabiah, kamu tidak menikah?” Aku pun menjawab dengan jawaban yang sama: “Tidak ya Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak punya .dst.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian berpaling dariku. Kemudian aku ralat ucapanku, aku sampaikan: “Ya Rasulullah, Anda lebih tahu tentang hal terbaik untukku di dunia dan akhirat.” Aku bergumam dalam hatiku: “Jika beliau bertanya lagi, aku akan jawab: Ya.”

Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam tanya lagi untuk yang ketiga kalinya: “Wahai Rabiah, kamu tidak menikah?” Aku langsung menjawab: “Ya, perintahkan aku sesuai yang Anda inginkan.” Selanjutnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mendatangi keluarga fulan, salah seorang dari suku Anshar (HR. Ahmad 16627, Hakim 2718 dan at-Thayalisi 1173).

Tidak hanya bersikap baik dalam urusan dunia, Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga memperhatikan urusan akhirat pembantunya. Beliau pernah memiliki seorang pembantu yang masih remaja beragama Yahudi. Suatu ketika si Yahudi ini sakit keras. Nabi pun menjenguknya dan memperhatikannya. Ketika merasa telah mendekati kematian, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di samping kepalanya. Beliau ajak anak ini untuk masuk Islam. Si anak spontan melihat bapaknya, seolah ingin meminta pendapatnya. Si bapak mengatakan: Taati Abul Qosim (nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam). Dia pun masuk Islam. Setelah itu ruhnya keluar. Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan rumahnya dengan mengucapkan: “Segala puji bagi Dzat Yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR. Bukhari 1290).

Demikianlah, betapa indahnya adab yang diajarkan dalam Islam ketika bermuamalah dnegan pembantu. Sayangnya, banyak kaum muslimin yang kurang memahami esensi ini, sehingga mereka justru menutupi keindahan ajaran agamanya sendiri. [Disadur dari http://Islamstory.com, oleh Dr. Raghib As-Sirjani]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2375657/potret-rasulullah-bersama-buruh-pembantunya#sthash.QgV4yS9c.dpuf

Memilih Tentangga yang Sholeh

KEBAHAGIAAN hidup tentu akan sempurna jika pasangan dan keturunan memiliki komitmen tinggi dalam iman dan Islam, plus tetangga kanan kiri juga memiliki hal yang sama.

Sungguh jika kondisi itu dimiliki, tentu sebuah anugerah yang sempurna, karena bukan saja keluarga, tetapi juga lingkungan akan senantiasa menguatkan iman dan Islam di dalam hati.

Hal ini sudah lama menjadi mindset orang-orang Islam terdahulu, sehingga muncul ungkapan “Al-Jaar qobla ad-Daar” yang artinya, “Memilih Tetangga Sebelum Membeli Rumah.”

Lebih dari itu, Rasulullah juga sangat menekankan akan pentingnya memilih tetangga sholeh dan menjauhi tetangga yang buruk.

 “Berlindunglah kepada Allah dari tetangga jahat yang menetap, sebab tetangga yang nomaden (badui) akan menjauh darimu.” (HR. Nasai).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa masalah tetangga bukanlah perkara remeh, bahkan sangat menentukan, tidak saja kenyamanan hidup, tetapi juga keselamatan agama dan akhirat. Oleh karena itu, Imam Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menyatakan bahwa seeorang akan dapat istiqomah dalam kesholehannya, apabila selektif dalam memilih tetangga (teman).

Lebih dari itu pun dijelaskan bagaimana tetangga yang sholeh itu. Pertama, tetangga yang terdidik, memiliki gaya hidup, perilaku dan wawasan yang baik. Imam Ghazali berkata dalam konteks ini, “Musuh yang pintar jauh lebih baik, daripada teman yang bodoh.”

Kedua, Imam Ghazali menegaskan, jangan bertetangga dengan keluarga yang fasiq, yang suka berbuat dosa besar tanpa henti. Karena berteman dan bertetangga dengan lingkungan seperti itu akan membuat semangat berbuat amal kebaikan menurun dan perlawanan terhadap perilaku maksiat akan mengendur.

Hal tersebut seperti ditegaskan di dalam Al-Qur’an.

وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُ ۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَٮٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُ ۥ فُرُطً۬ا (٢٨

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28).

Ketiga, jangan bertetangga dengan keluarga yang materialistik dan konsumtif. Islam menganjurkan untuk bekerja keras dan tidak ada larangan menjadi kaya. Tetapi Islam melarang gaya hidup yang hedonis, yaitu hidup bermegah-megahan, boros dan memuja harta benda. Lingkungan hedonis sangat mudah menular dan terus menjalar.

Setidaknya dengan memiliki tetangga yang sholeh, lingkungan akan lebih baik. Karena hanya pribadi-pribadi yang sholeh akan mampu menjalankan perintah Allah Subhanahu Wata’ala  dengan baik.

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا وَبِذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱلۡمَسَـٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُكُمۡ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن ڪَانَ مُخۡتَالاً۬ فَخُورًا (٣٦)

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa [4]: 36).

Memberikan Teladan

Lantas, bagaimana jika sudah terlanjur membeli rumah dan ternyata tetangga kanan kiri, depan belakang yang ada tida sesuai kriteria? Tentu banyak jalan untuk menyikapinya, namun jika mampu jadilah teladan, sehingga para tetangga bisa belajar dari kita sendiri. Harapannya, para tetangga mengerti bagaimana mestinya adab Islam dalam bertetangga.

Dari Ibn Umar dan Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, keduanya berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga, sehingga saya menyangka seolah-olah Jibril akan memasukkan tetangga sebagai ahli waris.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kemudian, mulailah dengan memberikan keteladanan dalam berbagi, sekalipun dengan hal-hal yang sederhana. Itulah adab Islam mengajarkan.

“Dari Abu Dzar, radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, Hai Abu Dzar, jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu – untuk saling memberi.” (HR. Muslim).

Mengingat demikian banyaknya perintah agar seseorang berbuat baik kepada tetangga, maka berbuat sebaliknya, ancamannya sangat serius.

“Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, ” Para Sahabat bertanya; “Apa itu wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Yaitu seseorang yang tetangganya tidak bisa aman dari bawa`iqnya”, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah apa itu bawa`iqnya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Kejelekannya.” (HR. Ahmad).

Apabila tuntunan-tuntunan bertetangga dalam Islam ini diabaikan, maka akhlak akan sirna dan malapetaka akan tiba. Seperti belakangan ini kerap melanda di masyarakat, mulai dari kejahatan terhadap anak tetangga hingga tawuran dan saling serang antar kampung tetangga.

Untuk itu, jangan sepelekan masalah tetangga, karena hal ini berlangsung sepanjang hidup di dunia dan akhirat. Termasuk adab Islam terhadapnya.

“Siapa yang percaya kepada hari kemudian, maka jangan mengganggu tetangganya, dan siapa yang percaya pada Allah dan hari kemudian, maka harus menghormati tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan memiliki tetangga sholeh, kita akan keturalan menjadi lebih baik. Semoga Allah berikan kita semua, tetangga-tetangga yang beriman dan mengerti hak dan kewajiban tetangga, lalu menjalankannya dengan penuh kesadaran. Aamiin. Wallahu a’lam.*

 

HIDAYATULLAH

Peristiwa dan Amalan-Amalan di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban termasuk salah satu bulan yang diagungkan dalam Islam. Banyak  riwayat menggambarkan kemuliaan-kemuliaan Bulan Sya’ban.

  1. Perubahan Arah Kiblat

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa peristiwa perubahan arah kiblat terjadi pada Bulan Sya`ban tepatnya pada tanggal ketiga belasnya. Abu Hatim Al-Bustiy berkata, kaum muslimin melaksanakan salat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 17 bulan lebih tiga hari, kemudian Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan Nabi untuk salat menghadap ke Ka`bah pada hari ketiga belas pertengahan Bulan Sya`ban

  1. Bulan Diangkatnya Amal Perbuatan Seorang Hamba

Imam Nasa`i meriwayatkan bahwa Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, “Wahai Rasulullah, mengapa aku melihat engkau berpuasa pada bulan Sya`ban tidak seperti yang engkau lakukan ketika berpuasa pada bulan-bulan yang lain?’ kemudian Rasul menjawab, “Pada bulan inilah, orang-orang banyak tidak menyadarinya yaitu bulan yang terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan, pada bulan itulah amal-amal dihaturkan dan dilaporkan kepada Tuhan alam semesta. Oleh karenanya, aku ingin agar ketika amalku dipersembahkan kepada-Nya aku sedang berpuasa.”

Dari riwayat tersebut, terdapat kandungan hikmah dan petunjuk kepada kita bahwa bulan Sya`ban adalah saatnya amal kita dilaporkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Secara psikologis ketika amal itu dilaporkan sementara kita dalam keadaan berpuasa, akan member pengaruh positif terhadap hasil laporan tersebut, atau bisa jadi semua amal kita akan dihitung sebagai amal baik. Karenanya, puasa di bulan ini sebagaimana anjuran pada riwayat di atas memiliki nilai psikologis yang tinggi, selain tentunya kita mengamalkan salah satu sunnah Nabi Muhamad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.

Adapun riwayat lain yang menerangkan bahwa amal seseorang dilaporkan pada setiap hari Senin dan Kamis, ulama mengatakan bahwa yang dimaksud setoran setiap Senin dan Kamis adalah setoran khusus untuk menguji kualitas amal serta kelengkapan syarat dan rukunnya.

Sedangkan maksud sabda Nabi, “Pada bulan inilah, orang-orang banyak tidak menyadarinya,” adalah secara umum banyak umat yang memberikan perhatian lebih kepada bulan Rajab dengan segala kemuliaannya. Ketika bulan itu telah berlalu dan memasuki bulan Sya`ban, mereka menganggap tidak mendapatkan lagi kesempatan yang istimewa sehingga melalaikan ibadahnya karena bosan atau putus asa. Inilah yang diingatkan oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wassallam agar kita tidak terlena dan kendor semangat dalam menyambut dan mengisi bulan Sya`ban, karena bulan ini tidak kalah istimewanya dengan bulan sebelumnya.

Sedangkan riwayat tentang setoran amal pada setiap hari adalah amal-amal kita disetorkan tanpa dipilih dan diukur kualitasnya, dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.

  1. Melaksanakan Puasa Sunnah Bulan Sya`ban

Sayidah Aisyah ra. berkata, “Tidak pernah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berpuasa pada suatu bulan lebih banyak dari bulan Sya`ban, karena pada bulan tersebut beliau berpuasa sebulan penuh. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Lakukanlah kebajikan sekuat yang kausanggupi, karena Allah tidak akan bosan sehingga kalian bosan sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim).

Maksud sabda Nabi, “Sekuat yang kausanggupi,” adalah dalam melakukan ibadah hendaknya dilakukan dengan penuh semangat, motivasi tinggi, dan harapan kepada Allah, karena yang demikian akan menghilangkan kebosanan, kejemuan, dan keputusasaan. Semua sifat-sifat negatif itu jika menyertai ibadah seseorang akan menjadi benalu yang merusak pahalanya.

Berikutnya, maksud sabda Nabi, “karena Allah tidak akan bosan sehingga kalian bosan sendiri,” adalah bahwa Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan lelah atau menghentikan dalam memberi pahala bagi hamba-Nya yang beribadah. Allah juga akan selalu melipatgandakan pahala, selama hamba-Nya tekun dan semangat beribadah. Sebaliknya, ketika kita dihinggapi rasa bosan, malas, dan putus asa dalam beribadah, maka Allah pun akan mengurangi atau bahkan menghentikan pahala-Nya. Karena, mereka telah menghilangkan kesinambungan dalam beribadah.

  1. Bulan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad

Disebut demikian karena menurut sebagaian ulama, salah satunya, Imam Al-Qusthulani dalam kitab Al-Mawaahib Al-Ladunniyyah bahwa ayat yang berisi perintah kepada kaum beriman untuk membaca salawat, turun di Bulan Sya`ban. Karenanya, bulan Sya`ban dinamai pula dengan Syahrus Sholawaat (bulan bersholawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam)

  1. Bulannya Al-Qur`an

Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya Lathoif Al-Ma`aarif menyebut sebuah riwayat tentang apa yang dilakukan para salaf di bulan Sya`ban yang diantaranya adalah menekuni Al-Quran. Dia mengatakan, “Jika bulan Sya`ban telah tiba, umat Islam menekuni lembaran-lembaran Al-Qura`an, mereka membaca Al-Qur`an, dan sekaligus mengeluarkan zakat hartanya untuk memberi kekuatan kepada orang yang lemah dan miskin dalam menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan.”

Salamah bin Kuhail dan Hubaib bin Tsabit mengatakan dengan ungkapan yang senada bahwa, “Bulan Sya`ban adalah bulan orang-orang membaca Al-Qur`an. Adapun `Amr bin Qais jika ia memasuki Bulan Sya`ban, menutup tokonya dan fokus untuk membaca Al-Qur`an

  1. Memperbanyak Membaca Kalimat Tauhid dan Istighfar

Bulan Sya`ban merupakan waktu yang mulia dan dimuliakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Sudah sepatutnya jika kita melakukan kegiatan-kegiatan yang senafas dengan kemulian bulan tersebut. Beberapa amalan berupa bacaan selain membaca salawat adalah memperbanyak membaca kalimat tauhid “Laa ilaaha Illallaah” dan membaca istighfar.

Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Abu Bakar ra dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang berkata, “Hendaklah kalian membaca ‘Laa ilaaha Illallaah’ dan beristighfar (memohon ampun), sebab Iblis telah berkata, ‘Aku binasakan manusia dengan dosa-dosa namun mereka membinasakanku dengan Laa ilaaha Illallaah dan istighfar. Maka ketika aku melihat hal tersebut, aku binasakan mereka dengan bujukan dan godaan dan mereka mengira bahwa mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (HR. Abu Ya`la)

  1. Menghidupkan Malam Pertengahan Bulan Sya`Ban dengan Kebaikan

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah ra bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Jibril datang kepadaku dan berkata, ‘Ini adalah malam Nishfu Sya`ban, dimana Allah memerdekakan hamba-hambaNya dari neraka pada malam ini sebanyak bulu domba Bani Kilab, kecuali bagi orang musyrik, bercekcok, pemutus silaturrahim, anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dan peminum minuman keras.”

Riwayat di atas memberi gambaran kemuliaan malam Nishfu Sya`ban yaitu malam pertengahan Bulan Sya`ban. Pada malam itu, rahmat Allah Subhanahu Wata’ala ditebarkan di atas bumi bagi manusia yang saat itu beribadah, bermunajat, dan bertafakkur kepada Sang Pencipta. Bagi hamba yang memohon ampun dari dosa-dosanya sekalipun dosanya sebanyak buih di lautan, tak terhingga, maka ia akan diampuni semuanya, kecuali dosa-dosa yang disebutkan dalam riwayat tersebut. Wallahu A’lam bis Showaab.*/ Ali Akbar bin Aqil. Diambil dari Maadzaa fi Sya`baan karya As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki

 

 

HIDAYATULLAH

Penghargaan Islam Terhadap Buruh dan Pekerja

ISLAM sebagai agama rahmat bagi semesta alam, sangat memperhatikan hak asasi manusia, sekalipun dia seorang budak. Para sahabat yang pernah membantu Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik budak maupun orang merdeka, semua merasa puas dengan sikap baik yang beliau berikan. Inilah potret ideal yang bisa dijadikan contoh muamalah antara majikan dengan pembantunya, antara pimpinan dengan pekerjanya.

Sebelumnya kita perlu membedakan antara budak dengan pembantu atau buruh. Budak, jiwa dan raganya milik majikannya, sehingga apapun yang dimiliki budak ini, menjadi milik majikannya. Dia tidak bisa bebas melakukan apapun, kecuali atas izin si majikan. Seratus persen berbeda dengan pembantu. Hubungan seorang pembantu dengan majikan, tidak ubahnya seperti pekerja yang sedang melakukan tugas untuk orang lain, dengan gaji sebagaimana yang disepakati. Muamalah antara pembantu dengan majikan adalah ijarah (sewa jasa). Sehingga seharusnya, beban tugas yang diberikan dibatasi waktu dan kuantitas tugas. Lebih dari batas itu, bukan kewajiban pembantu atau buruh.

Mohon maaf, di tulisan ini kami menggunakan kata majikan dan pembantu atau buruh. Meskipun istilah ini kurang bisa mewakili struktur tugas antara bawahan dengan atasan, namun kami kesulitan untuk mendapatkan padanannya. Ada beberapa hadis yang menunjukkan penghargaan Islam terhadap hak masyarakat pekerja. Sebagian besar hadis itu konteksnya adalah berbicara tentang budak. Sehingga kita bisa menyimpulkan, bahwa jika budak saja diperlakukan sangat indah oleh Islam, tentu pembantu dan buruh yang bukan budak, posisinya jauh lebih terhormat.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2375655/penghargaan-islam-terhadap-buruh-dan-pekerja#sthash.fQbnWhWh.dpuf

7 Hak Buruh dalam Islam

PERTAMA, Islam memposisikan pembantu sebagaimana saudara majikannya. Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan mereka dibawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30). Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebut pembantu sebagaimana saudara majikan agar derajat mereka setara dengan saudara.

Kedua, beliau shallallahu alaihi wa sallam melarang memberikan beban tugas kepada pembantu melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa itu harus dilakukan, beliau perintahkan agar sang majikan turut membantunya. Dalam hadis Abu Dzar radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian membebani mereka (budak), dan jika kalian memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.” (HR. Bukhari no. 30)

Ketiga, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan para majikan untuk memberikan gaji pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani).

Keempat, Islam memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantunya atau pegawainya. Dalam hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam meriwayatkan, bahwa Allah berfirman: “Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442). Bisa Anda bayangkan, di saat kita sangat butuh kepada ampunan Allah, tetapi justru Allah menjadi musuhnya.

Kelima, Islam memotivasi para majikan agar meringankan beban pegawai dan pembantunya. Dari Amr bin Huwairits, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Keringanan yang kamu berikan kepada budakmu, maka itu menjadi pahala di timbangan amalmu.” (HR. Ibn Hibban dalam shahihnya dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Syuaib al-Arnauth).

Keenam, Islam memotivasi agar para majikan dan atasan bersikap tawadhu yang berwibawa dengan buruh dan pembantunya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Bukan orang yang sombong, majikan yang makan bersama budaknya, mau mengendarai himar (kendaraan kelas bawah) di pasar, mau mengikat kambing dan memerah susunya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 568, Baihaqi dalam Syuabul Iman 7839 dan dihasankan al-Albani).

Ketujuh, Islam menekan semaksiamal mungkin sikap kasar kepada bawahan. Seorang utusan Allah, yang menguasai setengah dunia ketika itu, tidak pernah main tangan dengan bawahannya. Aisyah menceritakan: “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukul dengan tangannya sedikit pun, tidak kepada wanita, tidak pula budak.” (HR. Muslim 2328, Abu Daud 4786). Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga pernah menjumpai salah seorang sahabat yang memukul budak lelakinya. Tepatnya ia sahabat Abu Masud Al-Anshari. Seketika itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan sahabat itu dari belakang: “Ketahuilah wahai Abu Masud, Allah lebih kuasa untuk menghukummu seperti itu, dari pada kemampuanmu untuk menghukumnya.”

Ketika Abu Masud menoleh, dia kaget karena ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Spontan beliau langsung membebaskan budaknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam memujinya: “Andai engkau tidak melakukannya, niscaya neraka akan melahapmu.” (HR. Muslim 1659, Abu Daud 5159, Tumudzi 1948 dan yang lainnya). Bukan manusia yang pemberani ketika dia hanya bisa menzalimi bawahannya. Bersikap keras kepada bawahan justru merupakan tanda bahwa dia tidak berwibawa.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2375656/7-hak-buruh-dalam-islam#sthash.5Y9v5xjQ.dpuf