Siti Sarah Wanita yang Dilindungi Allah SWT

Salah satu teladan datang dari Sarah, istri Nabi Ibrahim AS, yang selamat dari godaan nafsu Firaun. Sarah dikenal sebagai wanita terbaik pada zamannya. Selain cantik, ia juga cerdas dan memesona. Nabi Ibrahim AS sangat mencintainya. Ia juga sangat mematuhi Sang Abul Anbiya.

Suatu ketika, karena dakwahnya tak diterima di negeri Babilonia, Nabi Ibrahim AS dan Sarah pindah menuju Syam. Saat itu Syam dilanda paceklik. Mereka pindah lagi menuju Mesir. Di tempat ini, kesetiaan Sarah diuji.

Pada suatu hari, seorang pejabat istana mendatangi Ibrahim dan Sarah. Melihat kecantikan parasnya, sang pejabat menyukainya. Ia segera menuju istana dan mengabarkannya pada Firaun. “Telah datang di negeri baginda seorang pria asing. Ia datang bersama wanita yang sangat menarik. Kecantikannya tak ada yang menandingi. Wanita seperti itu layak menjadi pendamping baginda,” ujar dia.

Mendengar kabar tersebut, Firaun mengutus seseorang untuk mengundang Ibrahim AS ke istananya. Firaun I terkenal sangat zalim. Ia sangat menginginkan Sarah dan rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Jika mendapati perempuan itu telah bersuami, ia tak akan segan membunuh Ibrahim AS untuk merebut Sarah.

Dalam pertemuan itu, Firaun bertanya pada Ibrahim. “Siapa wanita itu? Ibrahim pun menjawab, “Ia adalah saudariku.” Mendengar jawaban tersebut, Firaun melepaskan Nabi Ibrahim AS dan meminta agar Sarah dibawa ke istana. “Dandanilah dia, kemudian kirim dia padaku agar aku dapat melihatnya,” perintah dia.

Ibrahim AS pun pulang menemui istrinya. Ia berkata, “Sesungguhnya penguasa zalim, Firaun, telah bertanya kepadaku tentang dirimu. Lalu aku memberi tahu kepadanya bahwa kamu adalah saudara perempuanku.”

“Jangan memberi tahu kebohonganku kepadanya karena sesungguhnya di dalam kitab Allah, kamu adalah saudara perempuanku (dalam Islam),” kata Ibrahim.

Sarah datang ke istana. Hatinya berkecamuk. Pelayan istana telah menyiapkan semua kebutuhannya sehingga pakaiannya begitu indah. Perasaan Sarah sangat sedih. Ia enggan berpisah dengan suaminya dan takut tersentuh oleh Firaun yang jahat.

Sarah kemudian mengadu kepada Allah SWT. Ia beribadah dan bersujud, kemudian mengadukan kesedihannya. Ia memohon perlindungan kepada Allah SWT. “Ya Allah, jikalah Engkau mengetahui bahwa aku beriman kepada-Mu dan Rasul-Mu, mengetahui bahwa aku menjaga kehormatanku untuk suamiku, maka janganlah kau jadikan raja kafir itu berkuasa atasku,” kata Sarah sembari menangis.

Sarah kemudian bertemu dengan Firaun. Melihat kecantikannya, timbul nafsu dalam diri Firaun. Berkali-kali sang raja ingin menyentuh Sarah, namun tangannya terasa lumpuh. Firaun tak mampu bergerak. Tangannya terpaku di dada.

Ia kemudian berkata pada Sarah, “Aku berjanji tak akan mengganggumu. Mohonlah kepada Tuhanmu agar melepaskan tanganku. Sungguh, aku tidak akan menyakitimu.” Sarah kembali berdoa, “Ya Allah, jika benar yang ia katakan, lepaskanlah tangannya.”

Allah SWT mengabulkan doanya. Tangan sang raja pun terlepas dan ia sembuh dari kekakuan tubuhnya. Namun, ia mengingkari janjinya. Ia kembali mendekati Sarah setelah tangannya dapat kembali bergerak. Kejadian yang sama pun terulang hingga tiga kali.

Firaun akhirnya menyerah. Ia justru ketakutan dengan kemampuan Sarah membentengi diri. Ia menuduh Sarah adalah makhluk halus serupa setan yang melakukan tipu daya. Firaun segera memanggil pengawalnya dan berkata, “Kau bukanlah membawa seorang wanita, melainkan membawa setan.”

Si pengawal diperintahkan membawa kembali Sarah ke rumahnya. Sebelum pulang, raja memberikan seorang budak kepada Sarah sebagai hadiah. Budak itu cantik seperti Sarah. Ia adalah Siti Hajar.

Saat tiba di rumah, Ibrahim bertanya kepada Sarah, “Apa yang terjadi?” Lalu, Sarah menjawab, “Allah telah menolak tipu daya raja kafir itu dan ia memberiku seorang pelayan wanita.”

REPUBLIKA

Bersedekah Jangan Untuk Balasan Dunia

AKTIVITAS sedekah adalah amalan yang mulia, seseorang yang melakukannya akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah. Namun akhir-akhir ini, banyak orang lebih menekankan berbuat amalan berderma ini dengan iming-iming balasan dunia yaitu menjadi kaya raya, bisnis lancar, dsb.

Padahal tidak selayaknya amalan akhirat kita niatkan untuk mencari dunia. Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian dengan agama dan kekuatan di muka bumi, juga akan diberi pertolongan. Barangsiapa yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia, maka dia tidak akan memperoleh satu bagian pun di akhirat.” (HR. Baihaqi)

Pada kesempatan kali ini, akan kami ketengahkan sebuah kisah dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bagaimana motivasi mereka dalam membelanjakan harta mereka di jalan Allah. Kisah yang patut kita jadikan teladan tersebut adalah kisah sahabat Utsman bin Affan radhiallahu anhu.

Utsman bin Affan adalah seorang saudagar yang kaya raya dan seorang khalifah, amirul mukminin, bersamaan dengan itu beliau juga seorang yang dermawan dan terbiasa hidup sederhana. Yunus bin Ubaid mengisahkan bahwa al-Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang para sahabat yang tidur qailulah (istirahat di pertengahan siang) di dalam masjid. al-Hasan menjawab, “Aku melihat Utsman bin Affan tidur qailulah di Masjid, padahal saat itu dia sudah menjadi Khalifah. Setelah bangkit, bekas kerikil terlihat menempel di pinggulnya. Kami pun berkata, Lihatlah, dia adalah Amirul Mukminin; lihatlah, dia adalah Amirul Mukminin.” (HR. Ahmad).

Adapun kisah tentang kedermawanannya dan berharap pahala akhirat dari amalan tersebut adalah sbb:

Menghibahkan utang seseorang karena kesalehannya

Diriwayatkan dari Ibnu Jarir bahwa Thalhah datang menemui Utsman bin Affan di luar masjid dan berkata kepada beliau, “Uang 50.000 yang dulu aku pinjam sekarang sudah ada, kirimlah utusanmu untuk datang mengambilnya.” Utsman menjawab, “Uang tersebut sudah kami hibahkan untukmu karena kepahlawananmu.” (al-Bidayah wa an-Nihayah)

Membeli sumur untuk kepentingan kaum muslimin

Tatkala rombongan kaum Muhajirin sampai di Madinah, mereka sangat membutuhkan air. Di sana terdapat mata air yang disebut sumur rumah milik seorang laki-laki dari bani Ghifar. Laki-laki itu biasa menjual satu qirbah (kantong dari kulit) air dengan satu mud makanan. Melihat hal ini, Rasulullah bertanya kepadanya, “Sudikah kamu menjualnya dengan ganti satu mata air di surga?” Laki-laki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak punya apa-apa lagi selain sumber air ini. Dan aku tidak bisa menjualnya memenuhi permintaan Anda.”

Pembicaraan tersebut didengar Utsman bin Affan. Tidak lama kemudian, ia membeli sumur tersebut dengan harga 35.000 dirham. Selanjutnya, dia menemui Nabi dan bertanya, “Akankah aku mendapatkan mata air di surga seperti yang Anda janjikan kepada laki-laki dari bani Ghifar tadi?” Beliau menjawab, “Tentu” Utsman pun berkata, “Kalau begitu, biarlah aku yang membelinya, dan aku mewakafkan untuk kaum muslimin.” (Siyar Alamin Nubala, 2/569).

Utsman bin Affan benar-benar mengharapkan pahala akhirat dari pemberian yang ia lakukan.

Membebaskan hamba sahaya

Dari Abu Tsaur al-Fahmi, pada suatu hari Tsaur pernah menemui Utsman bin Affan radhiallahu anhu. Perhatikanlah apa yang dikatakan Utsman berikut ini, beliau tidak pernah berharap dunia dalam amalan akhiratnya, dalam derma, dan pemberiannya. Utsman berkata, “Aku mengharapkan Rabbku; (1) aku adalah orang keempat dari empat orang pertama yang masuk Islam, (2) aku tidak pernah berdusta, (3) aku tidak mengharapkan dunia dan mendambakannya, (4) setelah berbaiat di hadapan Rasulullah, aku tidak pernah meletakkan tangan kananku di kemaluanku, sejak memeluk Islam, (5) aku tidak pernah melewatkan satu Jumat pun tanpa membebaskan seorang budak (hamba sahaya), (6) jika pada hari Jumat itu aku tidak mempunyai budak, maka aku memerdekakannya pada hari berikutnya, (7) aku tidak pernah berzina, baik itu pada masa jahiliyah maupun pada masa Islam, (8) aku ikut menyediakan perbekalan pasukan Islam dalam menghadapi Perang Tabuk, (9) Nabi menikahkanku dengan putrinya (Ruqayyah) hingga dia meninggal dunia, kemudian beliau menikahkanku dengan putri beliau yang lain (Ummu Kultsum) dan (10) Aku tidak pernah mencuri semasa Jahiliyah maupun semasa Islam.” (Tarikh ath-Thabari, 4/390).

Keutamaan-keutamaan Utsman di atas sekaligus sebagai jawaban bagi mereka yang berani merendahkan kehormatan dan mencela seorang sahabat yang dua kali dinikahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan putrinya ini.

Inilah beberapa contoh pemberian yang dilakukan oleh Utsman bin Affan yang kesemuanya dimotivasi oleh balasan surge, bukan balasan dunia. Hendaknya kita pun demikian, ketika bersedekah dan memberi kita hadirkan niat akhirat di hati kita, bukan niat mencari kekayaan materi dunia.

Memang terkadang motivasi dunia dibutuhkan untuk mengikis rasa pelit yang bersemayam di dalam hati atau untuk memotivasi orang-orang yang masih lemah keimanannya terhadap akhirat. Sebagaimana sebagian orang-orang yang didakwahkan Nabi Muhammad kepada Islam, mereka berharap harta dari keislaman tersebut, namun setelah keimanan mereka meningkat, mereka pun mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari sebelumnya, yakni mengedepankan akhirat dari balasan dunia.

Tinggallah orang-orang yang bersedekah dengan motivasi dunia, apakah mereka ingin naik “kelas” atau tetap berada di level terbawah.

 

INILAHMOZAIK

Banyak Orang Gemuk dan Obesitas adalah Salah Satu Tanda Kiamat

Dalam 30 tahun terakhir, tingkat obesitas meningkat 2 – 3 kali. Saat ini, 1 dari 10 penduduk dunia mengalami obesitas. 2,3 miliar penduduk dunia memiliki berat berlebih.

Fakta ini membuktikan kebenaran hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa di akhir zaman akan banyak orang gemuk. Dan banyaknya orang gemuk ini merupakan salah satu tanda kiamat.

خَيْرُ أُمَّتِى قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُونَ ، وَيَخُونُونَ وَلاَ يُؤْتَمَنُونَ ، وَيَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ

“Umatku yang terbaik adalah (umat) pada masaku, lalu pada masa berikutnya, lalu pada masa berikutnya. Kemudian setelah itu, akan muncul suatu kaum yang bersaksi namun tidak bisa dipercaya, berkhiatan dan tidak bisa memegang amanah, bernazar namun tidak melaksanakannya, serta terlihat gemuk.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Dr Muhammad Al Areifi membahas “banyak orang gemuk” ini dalam tanda ke-79 dari tanda-tanda kiamat.

Dalam bukunya Nihayatul A’lam yang telah diterjemahkan menjadi Kiamat Sudah Dekat?, ia menjelaskan:

“Barangkali, banyaknya orang gemuk di akhir zaman disebabkan oleh kekayaan yang melimpah, kesejahteraan yang merata, berbagai macam makanan dan minuman tersedia, segala bentuk manisan dan kudapan dapat dinikmati, dan orang makin malas menggerakkan badan. Orang-orang mulai menggunakan berbagai macam peralatan penunjang sehingga mereka tak perlu lagi berjalan kaki dan bergerak. Akibatnya, berat badan manusia pun bertambah baik pada orangtua maupun anak-anak.”

 

Menurut penelitian Institute for Health Metrics and Evaluation dari University of Washington yang yang dilansir Kumparan pada 14 Juni 2017, terjadi dua kali kenaikan angka obesitas di 73 negara dalam kurun 1980-2015. Bahkan meningkat tiga kali lipat di China, Brazil dan Indonesia.

Tingkat obesitas tertinggi terjadi di Amerika Serikat, untuk orang dewasa di Mesir dan untuk anak-anak di China. Sedangkan di Afganistan, Bulgaria dan Kongo relatif tidak terjadi peningkatan.

Di Amerika Serikat, 17 persen anak dan 38 persen orang dewasa mengalami obesitas. Di China, yang mengalaminya mencapai 58 juta orang dewasa dan 15 juta anak-anak.

Di Indonesia, 15,4 persen orang dewasa mengalami obesitas. Angka ini menempatkan Indonesia masuk peringkat 10 di tingkat tertinggi di dunia.

 

Obesitas adalah penumpukan lemak berlebih dan bisa mengganggu kesehatan. Ia lebih banyak diderita perempuan yakni dengan angka 32,9 persen dibandingkan laki-laki yang berada di angka 19,7 persen.

Secara medis, penderita obesitas terancam resiko penyakit diabetes, jantung dan berbagai kanker. Sekitar 4 juta kasus kematian pada tahun 2014 berkaitan dengan obesitas. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

BERSAMA DAKWAH

Mengenal Abu Yusuf, Hakim Agung Era Abbasiyah

Sejatinya, ulama masyhur di era kejayaan Islam itu bernama Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khanis bin Saad al-Anshari. Ia lebih dikenal dengan nama panggilan Abu Yusuf. Beliau dilahirkan di Kufah, Irak, pada 113 H dan wafat pada 182 H di Kota Baghdad?pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah.

Sejumlah sumber sejarah menyebutkan bahwa Abu Yusuf terlahir dari keluarga yang miskin. Namun, kemiskinan tersebut tidak membuat beliau patah arang untuk menuntut ilmu. Ia digambarkan sebagai seorang individu yang sangat rajin dan haus akan ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan pemahaman hukum.

Syekh Muhammad Sa’id Mursi dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,mengungkapkan, Abu Yusuf menimba ilmu dari banyak ulama di Kufah dan Madinah. Di antara ulama yang pernah menjadi gurunya adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan al-Laits bin Saad.

Pengetahuannya begitu luas mencakup ilmu tafsir, ilmu strategi perang, penanggalan Arab, dan periwayatan hadis. Di bawah bimbingan Abu Hanifah, Abu Yusuf mencapai sukses yang luar biasa. Abu Yusuf memang dikenal sebagai salah satu murid terkemuka dari Imam Abu Hanifah.

Meski begitu, hubungan antara guru dan murid ini sering diwarnai dengan perbedaan pendapat di antara keduanya. Meski kerap berbeda pendapat, Abu Yusuf merupakan orang pertama yang menentukan kitab Mazhab Hanafi dan menyebarluaskan ajaran gurunya itu.

Kedekatannya dengan para penguasa Abbasiyah menjadikan mazhab Hanafi mudah diterima di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah yang menganut Mazhab Hanafi, antara lain, Mesir dan Pakistan.

Yahya bin Muayan berkata, Saya tidak melihat ulama ahli logika yang terkuat dalam hadis, paling hafal dan sahih riwayatnya daripada Abu Yusuf. Heri Sudarsono dalam bukunya yang bertajuk Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar menulis bahwa Abu Yusuf dikenal aktif mengikuti kajian hadis yang diseleng- garakan oleh Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laili dan Abu Hanifah. Ia meriwayatkan hadis dari Hisyam bin Urwah, Abu Hanifah, `Atha bin Saib, dan A’masy. Dan meriwayatkan darinya Yahya bin Mu’ayan, Ahmad bin Hambal, dan Asad bin Farat.

Hakim agung Abu Yusuf juga dikenal sebagai orang pertama yang dipanggil sebagai qadi al- qudah(hakim agung). Jabatan hakim agung itu diembannya selama tiga periode kekhali- fahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, yaitu pada masa Pemerintahan Khalifah al-Hadi, al-Mahdi, dan Harun al-Rasyid. Bahkan, Khalifah Harun al-Rasyid memberi kehor- matan bahwa semua keputusan mahkamah baik di Barat maupun Timur harus bersan- dar kepadanya.

Abu Yusuf menjabat sebagai hakim agung hingga ia wafat pada 182 H. Sebagai seorang hakim agung, Abu Yusuf telah banyak melahirkan karya- karya dalam bentuk tulisan berupa kitab-kitab.

Dalam Kitab al-Fihrist, sebuah kompilasi bibliografi buku yang ditulis pada abad ke-10 M oleh Ibn al-Nadim, disebutkan bahwa selama masa hidup- nya Abu Yusuf telah menciptakan sejumlah karya tulis dalam berbagai bidang, termasuk hukum Islam, hukum internasional, dan hadis.

Di antara karyanya yang monumental adalah kitab al-Atsar–suatu narasi dari berbagai tradisi periwayatan hadis. Selain itu, Abu Yusuf juga menulis Kitab Ikhtilaf Abi Hanifa wa Ibn Abi Laylayang isinya mengulas mengenai perbandingan fikih.

Tak hanya itu, beliau juga menulis Kitab al-Radd `Ala Siyar al-Awza’i yang merupakan suatu kitab bantahan terhadap Al-Awza’i (seorang ahli hukum yang dikenal di Suriah) mengenai hukum peperangan. Kitab lain yang ditulisnya berjudul al-Jawami merupakan buku yang sengaja ditulis untuk Yahya bin Khalid yang berisi tentang perdebatan mengenai ra’yu dan rasio.

Beberapa karyanya yang lain merupakan hasil penulisan kembali yang dilakukan oleh para muridnya dan diteruskan melalui generasi penerusnya. Misalnya, kutipan dari buku Abu Yusuf berjudul Kitabal-Hiyal (Kitab Perangkat-Perangkat Hukum) yang ditulis kembali oleh salah seorang muridnya, Muhammad al-Shaybani, dalam buku berjudul Kitabal-Makharidj fi `I-Hiyal.

Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

Abu Yusuf termasuk salah satu cendekiawan Muslim yang memberikan kontribusi besar dalam pemikiran ekonomi Islam. Ia merupakan cendekiawan Muslim pertama yang menyinggung masalah mekanisme pasar. Pemikiran ekonomi Abu Yusuf tertuang dalam kitab Al-Kharaj.

Sabahuddin Azmi dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Islam: Keuangan Publik Dalam Pemikiran Islam Awal mengungkapkan, kitab Al-Kharaj ditulis oleh Abu Yusuf untuk merespons permintaan Khalifah Harun al-Rasyid tentang ketentuan-ketentuan agama Islam yang membahas masalah perpajakan, pengelolaan pendapatan, dan pembelanjaan publik.

Dalam kitab itu, Abu Yusuf menuliskan bahwa Amirul Mu’minin (Khalifah Harun al- Rasyid–Red) telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah buku yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak yang sah, yang dirancang untuk menghindari penindasan terhadap rakyat.

Al-Kharaj merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan kekhalifahan Islam dan pos-pos pengeluaran mereka berdasarkan Alquran dan sunah Rasulullah SAW.

Heri Sudarsono dalam buku Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar mengung kap kan, kitab Al-Kharaj menjelaskan bagaimana seharusnya sikap penguasa dalam menghimpun pemasukan dari rakyat sehingga proses penghimpunan pemasukan tersebut bebas dari kecacatan dan hasilnya optimal sehingga dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga negara.

Menurut Heri, kitab ini dapat digolongkan sebagai public finance dalam pengertian ekonomi modern. Pendekatan yang dipakai dalam kitab Al-Kharaj, menurut Sabahuddin, sangat pragmatis dan mengacu pada ketentuan hukum fikih.

Kitab itu berupaya membangun sebuah sistem keuangan publik yang sesuai dengan hukum Islam dan persyaratan ekonomi. Abu Yusuf dalam kitab tersebut sering menggu- nakan ayat-ayat Alquran dan sunah Nabi SAW serta praktik dari para penguasa saleh terdahu- lu sebagai acuannya sehingga membuat berbagai gagasan yang dituangkannya dalam kitab ini masih relevan dengan kondisi saat ini.

Tentang pengaturan keuangan publik, Abu Yusuf menulis dalam karyanya itu bahwa uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah SWT dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Mengenai pertanahan, ia berpendapat bahwa pajak yang diperoleh dari lahan milik negara dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain. Sedangkan mengenai perpajakan, Abu Yusuf berpendapat pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat dan ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.

Tujuan utama dari kebijakan ekonomi Abu Yusuf adalah pada keuangan publik. Ia melihat institusi negara sebagai sebuah mekanisme yang memungkinkan warga negara melakukan campur tangan atas proses ekonomi. Karena, menurutnya, bagaimanapun mekanisme pengaturan tersebut akan menentukan tingkat pajak yang sesuai dan seim- bang dalam upaya menghindari perekonomian negara dari ancaman resesi.

Mekanisme pasar Abu Yusuf merupakan ulama pertama yang menuangkan gagasan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi Islam. Menurut Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam pada dasarnya mengikuti prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya, yakni produsen dan konsumen.

Jika, karena sesuatu hal, selain monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang tidak wajar dari produsen menyebabkan terjadinya kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga, karena penentuan harga sepenuhnya diserahkan kepada kekuatan permintaan dan penawaran dalam ekonomi.

Sebaliknya, Abu Yusuf tidak sependapat dengan pemahaman yang menjelaskan bahwa bila barang yang tersedia sedikit, maka harga barang akan menjadi mahal, dan bila barang yang tersedia banyak maka harga barang akan menjadi murah.

Karena itu menentang penguasa yang menetapkan harga, karena hasil panen yang melimpah bukan menjadi alasan untuk menurunkan harga panen dan begitu pula sebaliknya dengan kelangkaan tidak mengaki- batkan harganya melambung.

Pemahaman yang dianut penguasa adalah hubungan antara harga dan kuantitas bukan hanya memperhatikan kurva permintaan. Karena, pada kenyataannya persediaan barang sedikit tidak selalu diikuti dengan kenaikan harga dan sebaliknya persediaan barang yang melimpah belum tentu membuat harga akan murah.

Dalam hal itu, Abu Yusuf menyatakan bahwa kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.

Mengenai peningkatan atau penurunan harga suatu barang, Abu Yusuf berpendapat hal itu tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau permintaan barang terse- but, atau penurunan atau peningkatan dalam hal produksi barang. Menurut beliau tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan, karena hal tersebut ada yang mengaturnya.

Dalam hal ini beliau mengutip hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa `’Tinggi dan rendahnya barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah, dan kita tidak bisa mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut,” (HR Abdur Rahman bin Abi Laila dari Hikam bin `Utaibah).

Dan hadis lain yang menyatakan, … Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah, serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang di antara kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” (HR Sufyan bin Uyainah, dari Ayub dari Hasan).

Bagi yang Mau Bermaksiat Bakda Ramadan (4)

JANGAN kita menjadi orang yang malah tambah jelek selepas Ramadhan. Sebagaimana kata para ulama, “Bisal qoum laa yarifunallaha illa fii Ramadhan, sejelek-jelek orang adalah yang mau beribadah kepada Allah hanya pada bulan Ramadhan saja.”

Bagi yang mau bermaksiat bada Ramadhan, coba renungkan empat nasihat berikut:

Pesan keempat: Mengikutkan kebaikan dengan maksiat, tanda tidak diterimanya amalan Ramadhan.

Kata para ulama,

“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”

Dalil dari hal ini adalah ayat,

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS. Al-Lail: 5-10)

Dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshariy radhiyallahu anhu, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

[Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Bagi yang Mau Bermaksiat Bakda Ramadan (3)

JANGAN kita menjadi orang yang malah tambah jelek selepas Ramadhan. Sebagaimana kata para ulama, “Bisal qoum laa yarifunallaha illa fii Ramadhan, sejelek-jelek orang adalah yang mau beribadah kepada Allah hanya pada bulan Ramadhan saja.”

Bagi yang mau bermaksiat bada Ramadhan, coba renungkan empat nasihat berikut:

Pesan ketiga: Segeralah bertaubat.

Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua rakaat kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini,

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 135) (HR. Tirmidzi, no. 406; Abu Daud, no. 1521; Ibnu Majah no. 1395. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

INILAH MOZAIK

Bagi yang Mau Bermaksiat Bakda Ramadan (2)

JANGAN kita menjadi orang yang malah tambah jelek selepas Ramadhan. Sebagaimana kata para ulama, “Bisal qoum laa yarifunallaha illa fii Ramadhan, sejelek-jelek orang adalah yang mau beribadah kepada Allah hanya pada bulan Ramadhan saja.”

Bagi yang mau bermaksiat bada Ramadhan, coba renungkan empat nasihat berikut:

Pesan kedua: Ingatlah umur kita terbatas dan besok akan ditanya.

Dalam hadits dari Abi Barzah Al-Aslami radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai (di antaranya): umurnya di manakah ia habiskan. ” (HR. Tirmidzi, no. 2417. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Umur umatku antara 60 hingga 70 dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (HR. Tirmidzi, no. 3550; Ibnu Majah, no. 4236. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

 

INILAH MOZAIK

Bagi yang Mau Bermaksiat Bakda Ramadan (1)

SEORANG muslim yang terbaik, ia bisa mengambil pelajaran dari bulan Ramadhan yang telah ia lewati. Tentu saja dengan ia berusaha menjadi lebih baik selepas Ramadhan.

Kalau keadaannya sama saja dengan sebelum Ramadhan atau lebih jelek dari sebelum Ramadhan, sungguh merugi. Karena tanda amalan Ramadhan seseorang diterima, jika selepas Ramadhan menjadi lebih baik. Kebaikan seharusnya diikuti dengan kebaikan selanjutnya, demikian kata para ulama. Harusnya amalan-amalan pada bulan Ramadhan terus dijaga selepas Ramadhan.

Jangan kita menjadi orang yang malah tambah jelek selepas Ramadhan. Sebagaimana kata para ulama, “Bisal qoum laa yarifunallaha illa fii Ramadhan, sejelek-jelek orang adalah yang mau beribadah kepada Allah hanya pada bulan Ramadhan saja.”

Bagi yang mau bermaksiat bada Ramadhan, coba renungkan empat nasihat berikut:

Pesan pertama: Hendaklah bertakwa kepada Allah dan mengoreksi setiap amalan kita.

Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Maksud ayat ini kata Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Lihatlah apa yang telah kalian siapkan untuk diri kalian berupa amal shalih untuk hari di mana kalian akan kembali dan setiap amal kalian akan dihadapkan kepada Allah.”

inilah mozaik

Islam Tinggal Nama, Alquran Tinggal Tulisannya

DARI Ali radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Hampir datang kepada manusia suatu zaman ketika Islam tinggal namanya, Alquran tinggal tulisannya, dan masjid-masjid mereka megah tetapi jauh dari hidayah. Ulama-ulama mereka jahat, dari mereka keluar fitnah, dan kepada mereka fitnah itu kembali.” (HR Baihaqi dalam Asy-Syu’ab)

Artinya, syiar Islam seperti salat, zakat, maupun haji telah habis dan hilang, dan ilmu-ilmu alquran telah hilang pula. Adab dan penulisannya tinggal tradisi bukan sebagai ibadah dan kajian terhdap ilmu.

Ath-Thibi berkata, “Untuk Alquran disebutkan tinggal tulisan saja, sedangkan Islam disebutkan tinggal namanya saja. Ini menunjukkan pentingnya penjagaan terhadap tajwid, makharijil huruf, serta ilmu di dalamnya, di samping memikirkan makna menjalankan perintah dan meninggalkan larangannya.

Tidak demikian halnya dengan Islam, namanya tetap, masih ada, bahkan ia masih diajarkan, tetapi pengamalannya sudah tidak ada dan tidak dirasakan lagi. Sebagai contoh adalah salat, zakat, dan amar ma’ruf, betapa umat Islam pada saat ini telah banyak meninggalkan dan melalaikannya.” [40 Hari Menuju Kematian]

INILAH MOZAIK

Mengenal Sosok Syekh Umar Bin Abdullah Al-Khatib

Di tengah-tengah heterogenitas masyarakat Singapura, ternyata negeri jiran ini juga memiliki deretan tokoh ulama yang karismatik dan disegani. Satu di antara sekian nama yang mendapat tempat di hati umat Islam Singapura adalah Syekh Umar bin Abdullah al-Khatib.

Tak heran bila kepergian tokoh keturunan Yaman Selatan yang menghadap Sang Khalik pada 22 September 1997 itu menyisakan kedukaan yang mendalam bagi Muslim Negeri Singa Putih itu. Bahkan, dunia Islam ikut kehilangan sosok yang semasa hidupnya membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah SWT dan beramal sosial terhadap sesama.

Tokoh kelahiran Tarim, Yaman Selatan, pada 1907 tersebut terkenal dengan ilmunya yang luas. Masyarakat Muslim dari berbagai etnis di Singapura berbondong-bondong mengikuti kelas bimbingannya yang diadakan hampir setiap hari dan malam.

Kelas tadarusnya itu bahkan kemudian terkenal hingga ke mancanegara dan juga diketahui oleh para ulama luar negeri.

Bahkan, namanya masuk ke dalam deretan ulama yang wajib dikunjungi majelis taklimnya kala bertandang ke Asia Tenggara. Ada juga yang datang ke Singapura khusus untuk menemuinya atau mengambil ijazah atau sanad ilmu.

Menariknya, sekolah dan majelis yang ia kelola terbuka untuk umum dan gratis, alias tidak dipungut biaya. Walaupun begitu, rezeki dan hidayah dari Allah SWT senantiasa tetap tercurah datang kepadanya. Bukan hanya dari murid-muridnya, banyak masyarakat umum yang mengenalnya mengajukan diri sebagai donatur.

Rezeki yang didapat sering kali ia sumbangkan kepada keluarga miskin dan panti asuhan. Tak hanya di Singapura, tetapi juga pada keluarga miskin dan panti asuhan yang berada di negeri asalnya. Peran dan jasa Syekh Umar dalam menegakkan syiar Islam di Singapura sangat besar.

Berkah keluarga Syekh Umar lahir dari keluarga yang taat menjalankan agama. Bukan hanya Syekh Umar, banyak dari keluarga besarnya yang menjadi ulama. Sejak kecil, ia telah berguru pada ulama-ulama ternama di negerinya. Setidaknya, ia telah menimba ilmu kepada lebih dari 70 ulama andal di kawasan Jazirah Arab. Sebagian besar ulama Hadramaut telah ia datangi untuk menimba ilmu dari mereka.

Dari sekian nama gurunya, yang tersohor adalah Syekh Abubakar bin Abdullah al-Khatib, Abdur Rahim bin Abdullah bin Salim al-Khatib, Habib Abdur Rahman bin Ubaidillah as-Segaf, Habib Alwi bin Abdur Rahman al-Seri, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, guru yang paling ia segani dan kenang sepanjang masa adalah Habib Abdullah bin Idrus bin Alwi al-Idrus.

Umar kecil sudah menunjukkan kemampuan dan kecerdasan dalam mempelajari syariat Islam. Ia berhasil menghafal Alquran pada usia yang relatif muda, yakni sembilan tahun. Kemampuannya menguasai gramatikal bahasa Arab juga tak diragukan, seperti balaghah, nahwu, dan syair.

Kredibilitas intelektual Syekh Umar pun tersiar seantero Tarim. Sejumlah ulama pernah menawarkanya untuk memegang jabatan sebagai kadi di kota tersebut. Akan tetapi, karena merasa masih belum sanggup, ia menolak tawaran dengan bijaksana.

Pada 1935, Syekh Umar memutuskan untuk berhijrah ke luar negeri, yakni ke Singapura. Selain untuk mencari penghidupan yang lebih baik, ia pun telah berniat mendakwahkan Islam di negeri ini. Ia memulai hidup di Singapura dengan bekerja sebagai pegawai di salah satu lembaga pertanahan.

Kemudian, dia mencoba berdagang secara kecil-kecilan. Namun, sesibuk apa pun dia dengan urusannya, dia tetap tidak mengenyampingkan perhatiannya terhadap majelis ilmu.

Ia selalu menyempatkan mengikuti majelis pengajian. Pada 1967, ia memutuskan berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan juga memperdalam ilmu agama. Kurang lebih 10 tahun ia di Tanah Suci, sebelum akhirnya kembali lagi ke Singapura pada pertengahan 1977 dan kembali memperkokoh dakwah di Negeri Singa Putih itu.

Kredibilitas intelektual Syekh Umar pun tersiar seantero Tarim. Sejumlah ulama pernah menawarkannya jabatan kadi, tetapi ia tolak.

Pribadi yang murah hati dan enggan dipuji

Syekh Umar dikenal sebagai seorang yang ramah, jujur, dan rendah hati. Ia selalu berhati-hati dalam berkata-kata, terutama kepada orang yang lebih tua.

Seorang muridnya, Hasan, menceritakan bagaimana gurunya itu menunjukkan rasa hormat kepada para senior dan ulama-ulama yang berilmu.

Sewaktu pengajian berlangsung di kediamannnya, di wilayah Serangoon, Singapura, tampak Syekh Umar memberikan penghormatan. Saat itu, hadir beberapa orang yang lebih tua dibanding usianya, seperti, Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, mufti Johor pada masa itu, dan Syekh Abdullah bin Syekh Balfaqih.

Ketika pulang, salah satu sahabatnya yang lebih tua, Habib Muhammad, berkata kepada Syekh Umar, “Kamu sungguh alim!” Namun, Syekh Umar menolak pujian itu dan berkata, “Tidak, kamulah yang alim!” Keduanya mengulang perkataan tersebut lebih dari 10 kali. Kisah tersebut menunjukkan kerendahan hati, tawadu, dan enggan dengan pujian.

Ini adalah akhlak mulia yang ditampilkan oleh dua ulama besar yang berharap agar sang teman mendapatkan tempat yang lebih baik dan tinggi di hadapan Allah SWT.

 

REPUBLIKA