Merasa Sial Mengantarkan kepada Kesyirikan

ANGGAPAN “merasa sial” atau “Thiyarah” adalah keyakinan yang kurang baik bahkan bisa mengantarkan kepada kesyirikan.

Begitu juga praktik masyarakat kita yang kurang tepat yaitu yakin adanya hari sial, bulan sial bahkan keadaan-keadaan yang dianggap sial. Misalnya kejatuhan cicak, suara burung hantu malam hari dan lain-lainnya.

Keyakinan seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena untung dan rugi adalah takdir Allah dengan hikmah.

Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam menjelaskan bahwa anggapan sial pada sesuatu itu termasuk kesyirikan. Beliau Shalallahu alaihi Wassalam bersabda,

“Thiyarah (anggapan sial terhadap sesuatu) adalah kesyirikan. Dan tidak ada seorang pun di antara kita melainkan (pernah melakukannya), hanya saja Allah akan menghilangkannya dengan sikap tawakkal” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 429).

Beliau juga bersabda,

“Tidak ada (sesuatu) yang menular (dengan sendirinya) dan tidak ada “Thiyarah”/ sesuatu yang sial (yaitu secara dzatnya), dan aku kagum dengan al-falu ash-shalih, yaitu kalimat (harapan) yang baik” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Demikian, semoga bermanfaat. [dr. Raehanul Bahraen]

Pahala Mengolah Sampah

Memungut sampah termasuk kebaikan yang menghantarkan seseorang masuk surga. Namun, banyak orang menyepelekan perbuatan memungut sampah. Di mana-mana ditemukan sampah. Sampah menumpuk di belakang perkantoran, sampah betebaran di sungai, mengambang-ngambang di permukaan lautan, dan di pinggir jalanan.

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan, dia melihat sebuah ranting pohon yang melintang di tengah jalan. Lalu orang itu berkata, ‘Demi Allah, akan aku singkirkan ranting pohon ini agar tidak mengganggu orang-orang Islam yang lewat. Maka, orang itu dimasukkan ke surga’.” (HR Imam Muslim).

Kemudian, dari Abu Barzah RA, Aku berkata, “Wa hai Nabi Allah, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang dapat kuambil manfaatnya. Sabda beliau, ‘Singkirkan gangguan itu dari jalan orang-orang Islam’.” (HR Imam Muslim).

Hadis ini memberikan motivasi bahwa memungut sampah dan mengolah sampah bisa membuat seseorang masuk surga. Masuk surga karena perbuat an kecil, tapi dampaknya besar. Pada saat dihilangkan masalah itu maka banyak sekali yang mendapat keuntungan.

Membersihkan sungai dari sampah maka banyak makhluk hidup terselamatkan, banjir bandang tidak terjadi sehingga jiwa dan harta orang terselamatkan, juga tidak terjadi pencemaran sungai. Kita bisa bayangkan berapa liter air sungai dan air laut tercemar karena sampah.

Saat sampah diolah dan dibersihkan dari sumber kehidupan seperti sungai, maka selamatlah banyak makhluk hidup. Kreativitas dalam memodifikasi sampah bisa mengurangi tumpukan sampah. Misalkan, sampah anorganik dijadikan kerajinan dan didaur ulang.

Orang yang kreatif untuk memodifikasi sampah, sama artinya dia telah menahan sampah tadi sehingga tidak berdampak keburukan bagi orang lain. Begitu juga, dengan orang yang mendaur ulang sampah, dia telah menjadikan produk itu ke bentuk yang sama, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan kepada orang lain.

Sebaiknya, sampah organik juga demikian, aroma tidak sedap keluar dari pembusukan sampah organik. Sementara kita bisa memproduksi pupuk ramah ling kungan. Indonesia termasuk negara agraris dalam bidang pertanian. Sampah organik jika diolah, banyak hikmahnya.

Pertanian menjadi organik dan petani tidak perlu mahal beli pupuk. Sedangkan hasil pertanian juga organik karena bebas dari penggunaan pupuk yang tidak ramah alam. Bahkan, kesuburan tanah ikut terjaga dan terhitung menjadi sedekah kepada tanah dan cacing tanah.

Pada faktanya, masih ada orang-orang yang membuang sampah sambil mengendarai mobil atau motor di jalan raya. Jika sampah botolan plastik air minum kemasan dibuang sambil berkendara, pengendara lain bisa tergelincir. Kalau sampah berupa kulit buah-buah an seperti kulit pisang yang dibuang, berpotensi membuat orang lain terpeleset. Seandainya mereka tahu besarnya pahala mengolah sampah, maka mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terbaik ini.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hadis Dhaif Versus Hadis Hasan

HADIS dhaif (lemah) ada beberapa macam. Al Hafizh Ibnu Hibban membagi hadis dhaif dalam banyak jenis, beliau menyebutkan 49 jenis hadis dhaif.

Namun, pada hakikatnya, hadis dhaif terbagi menjadi dua:

-Hadis dhaif yang bisa menjadi bahan itibar. Menurut At Tirmidzi dan jemaah ahli hadis, ini disebut hadis hasan.

-Hadis dhaif yang tidak bisa menjadi bahan itibar dan tidak bisa menjadi hujjah karena kelemahannya sangat berat. Ini disebabkan ada perawinya yang muttaham bil kadzab (tertuduh pendusta), atau fahisyul ghalath (terlalu sering salah), atau terdapat inqitha (keterputusan sanad) di dalamnya, atau irsal sedangkan ia tidak memiliki mutabaah2 atau syahid3, atau yang semisalnya.

Dan hadis hasan menurut definisi Abu Isa At Tirmidzi adalah:

“Hadis yang ringan dhabt para perawinya, diriwayatkan dalam dua jalan atau lebih, tidak terdapat perawi yang muttaham bil kadzab di dalamnya, tidak terdapat syudzudz, tidak munqathi, tidak terdapat illah qadihah”

Maka hadis yang semacam ini bisa menjadi hujjah sebagaimana hadis sahih, menurut para ulama.

Para ulama terdahulu membagi hadis hanya dua macam saja: hadis sahih dan hadis dhaif. Makna dari hadis hasan tercakup dalam hadis sahih. Kemudian setelah itu, At Tirmidzi dan beberapa ahli hadis lainnya membagi hadis menjadi tiga: hadis sahih, hadis dhaif dan hadis hasan.

Maka hadis hasan di sini mereka maknai sebagai hadis yang ringan dhabt perawinya namun disertai bagusnya keadaan komponen lainnya, yaitu bagus al adalah dari perawinya, muttashil (bersambung), tidak ada syudzudz dan illah. Maka hadis yang seperti ini bisa menjadi hujjah, dan ia lebih baik dari pendapat orang dan dari qiyas. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad radhiallahuanhu.

Hadis dhaif yang mutamasik (baca: hadis hasan), bisa dijadikan hujjah dan ia lebih baik dari pendapat-pendapat orang. Karena ia adalah hadis yang bersambung sanadnya, tidak ada illah, tidak ada syudzudz, hanya saja satu atau sebagian perawinya tidak sempurna kualitas dhabt-nya. Bahkan terkadang ada yang memiliki kekurangan dari segi hafalannya, namun tidak sampai tergolong fahisyul ghalath (terlalu sering salah), hanya saja terdapat wahm dan beberapa kesalahan.[]

Sumber : http://ar.islamway.net/fatwa/46755

INILAH MOZAIK

Catatan kaki :

-Itibar artinya proses pengumpulan hadis-hadis yang lemahnya ringan untuk nantinya digabungkan dengan semisalnya, sehingga bisa diteliti apakah bisa saling menguatkan atau tidak.

– Perawi yang bisa menguatkan perawi lain yang meriwayatkan sendirian, karena mereka memiliki guru yang sama atau semisalnya.

– Jalan lain dari sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi yang berbeda, yang bisa menjadi penguat.

– Keanehan para sanad atau isi haditsnya, karena bertentangan dengan sanad atau isi hadit lain yang lebih bagus kualitasnya.

– Cacat dalam hadis yang samar yang dapat merusak kualitas hadis.

Benarkah Rasulullah SAW dan Para Nabi Masih Hidup?

Pertanyaan ini mencuat di publik Timur Tengah, belakangan ini.  Republika.co.id, pada kesempatan kali ini mencoba mengutip salah satu pendapat  yaitu fatwa yang dikeluarkan Lembaga Fatwa Mesir Dar al-Ifta’.

Menurut lembaga ini, para nabi sejatinya masih tetap hidup di alam kubur mereka. Para nabi itu tentu lebih berhak hidup dibandingkan para syahid, sebagaimana yang disebutkan Alquran Surah Ali Imran ayat 169-171:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup  disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Tidak hanya para nabi dan syuhada. Manusia yang sudah meninggalkan alam dunia, sejatinya mereka masih hidup di alam barzakh. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, mereka yang meninggal dunia, mendengarkan derap sandal para pengantar jenazah.

Makhluk apapun mendengar suara orang yang meninggal itu, kecuali manusia. Seandainya mereka yang masih hidup mendengar suara almarhum/almarhumah, tentu mereka akan terkejut.

Perhatikan, bagaimana Rasulullah SAW bertemu dengan Nabi Musa AS ketika Isra’ Mi’raj di langit keenam. Tak hanya sekali, Rasul bertemu berulang kali untuk meminta keringanan perintah shalat.

Atas fakta ini, Imam as-Suyuthi bahkan menulis risalah yang khusus menegaskan argumentasi tentang fakta bahwa Rasulullah SAW dan segenap nabi serta rasul masih hidup. Risalah tersebut berjudul Anba’ al-Adzkiya’ bi Hayat al-Anbiya’.

Dalam kitab al-Muhalla, setelah membeberkan ayat-ayat tentang masih hidupnya para syahid, Ibnu Hazm menegaskan bahwa tak ada perselisihan di antara ulama islam, bahwa para nabi tentu kehormatan dan derajatnya lebih tinggi serta sempurna keistimewaannya di sisi Allah. “Barang siapa menentang fakta ini dia bukanlah Muslim,” kata Ibn Hazm.

Mengutip riwayat Abu Ya’la dan Baihaqi dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,”Para nabi (sejatinya) masih tetap hidup di alam kubur mereka dan mereka melakukan shalat.”

Fakta kuat lain ialah, seperti dinukilkan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab ar-Ruh yang mengutip pernyataan Abu Abdullah al-Qurthubi, bahwasanya bumi tak akan mampu menyentuh jasad para nabi.

Lihatlah, Rasul juga pernah berkumpul dengan para nabi ketika Isra’ dan Mi’raj, terutama pertemuan dengan Nabi Musa AS. “Para nabi hidup, seperti malaikat, tetapi kita tidak bisa melihat mereka,” tulis Ibnu Hazm.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Rahasia Jaring Laba-Laba yang Lindungi Rasulullah SAW

Kisah Rasulullah SAW yang mendapat beragam perlindungan selama perjalanannya menuju Madinah, tertulis dengan apik di berbagai kitab sirah. Termasuk, bagaimana Allah SWT mengutus laba-laba dan dua burung merpati untuk melindungi Rasulullah.

Menariknya, Allah berkehendak memberikan perlindungan itu, cukup dengan sesuatu yang teramat tipis dan lemah, yaitu jaring laba-laba. Dikisahkan dalam Musnad Imam Ahmad dari riwayat Abdullah bin Abbas RA, ketika kafir Qurais membuat konspirasi untuk membunuh Rasulullah SAW, lalu tidak berhasil dan hanya bertemu Ali bin Abi Thalib, mereka lalu melakukan pengejaran terhadap Rasul dan Abu Bakar.

Dalam kondisi terdesak, Rasulullah SAW memilih masuk ke Gua Tsur atas petunjuk yang diberikan Allah SWT melalui mata malaikat Jibril. Para komandan kafir Quraisy, menyisir tiap jengkal jalan menuju Madinah. Hingga tibalah mereka di bibir Gua Tsur yang menjadi lokasi persembunyian Muhammad SAW dan Abu Bakar.

Allah sudah mempersiapkan segalanya. Sebelum persis tentara mereka datang, laba-laba telah membuat jaring-jaring di bibir Gua Tsur. Dua pasang merpati berada tepat di depan bibir gua. “Jika dia (Muhammad) berada di gua ini, mustahil ada sarang laba-laba di bibir gua,” teriak salah satu dari kafir Quraisy. Di gua yang berada di Jabal Tsur itulah Rasulullah SAW dan Abu Bakar berlindung selama tiga hari tiga malam.

Kisah ini dikunilkan banyak kitab hadis dan sejarah. Di antaranya kitab Mushannaf karya Abd ar-Razzaq, dan Musnad Abu Bakar as-Shiddiq karya Abu Bakar al-Maruzi, serta at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir.

Syamsuddin as-Safiri dalam al-Majalis al-Wa’dhiyah menjelaskan rahasia di balik mengapa Allah SWT mengutus laba-laba untuk membuat sarangnya tepat di bibir gua.

Menurut as-Safiri, jaring laba-laba itu adalah pentuk perlindungan Allah untuk Rasul-Nya dari ancaman para kafir Quraisy. Perlindungan tersebut sangat satir karena berwujud sarang laba-laba yang merupakan perkara terlemah. “Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.(QS al-Ankabuut [29]: 41).

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Rasulullah Melarang Umatnya Begadang

DIRIWAYATKAN dari Abdullah ibn Masud ra bahwa ia bercerita tentang seorang laki-laki yang tidur begitu pulas hingga melewatkan salat Subuh. Saat mendengar penuturan sahabat itu, Rasulullah saw, berkomentar, “Setan mengencingi telinganya.”

Diriwayatkan dari Abu Barzah ra bahwa Rasulullah saw tidak menyukai tidur sebelum Isya dan bercakap-cakap setelah Isya.

Diriwayatkan dari Jabir ra bahwa Nabi saw, bersabda “Jangan begadang setelah Isya. Kalian tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan oleh Allah pada makhluk-Nya.” (HR.Al-Hakim)

Ibnu Hajar mengatakan bahwa begadang yang tidak dibolehkan sebagaimana disebutkan dalam hadis ini adalah begadang urusaan yang mubah (dibolehkan), karena begadang dalam urusan yang diharamkan hukumnya mutlak haram. Rasulullah saw melarang begadang setelah Isya karena membuat kita melewatkan salat Subuh atau salat Tahajud.

Namun, para ulama membolehkan begadang untuk urusan yang darurat, misalnya, menemani orang yang sudah lanjut usia atau orang yang sakit, atau untuk menuntut ilmu, atau bermusyawarah membahas urusan umat manusia, khusunya umat Islam.

Juga, diriwayatkan dari Umar ibn al-Khaththab ra bahwa Nabi saw, begadang bersama Abu Bakar membicarakan suatu urusan kaum muslim. Umar berkata, “Dan aku menemani mereka.” (HR. al-Tirmidzi)

Seorang peneliti dari Francis juga mendukung pandangan dari hadis Nabi saw, dengan mengatakan bahwa bangun pada awal pagi akan membuat seseorang sehat, kaya, dan pintar. Ia juga menambahkan bila kita tidur satu jam sebelum tengah malam setara dengan tiga jam setelah tengah malam.

Nah, setelah membaca tulisan ini, yuk niatkan diri kita sebagai umat Islam agar bangun di awal pagi, bahkan pada sepertiga malam terakhir untuk mendirikan salat malam agar jiwa kita diliputi ketenangan dan kenyamanan serta tubuh kita tetap dalam keadaan sehat, bugar, dan penuh semangat. [Chairunnisa Dhiee]

 

INILAH MOZAIK

Menjalin Persaudaraan

Karena terlalu sibuk oleh urusan kerja dan urusan dunia yang lainnya, sering kita melupakan kebiasaan baik orang-orang saleh, yaitu silaturahim dan mengunjungi saudara yang jauh. Padahal, mengunjungi saudara yang jauh adalah wujud kasih dan cinta yang sejatinya tidak boleh kita lupakan dengan alasan apa pun. Hanya dengan saudaralah kita berbagi dalam suka dan duka mengarungi kehidupan—bahkan kalau bisa sampai masuk surganya Allah Sang Khalik bersama-sama pula.

Namun, ternyata kebiasaan baik yang bernilai ibadah ini sering kita lupakan. Tersebab canggihnya teknologi, tidak sertamerta bisa menggantikan nikmat batin atau hati karena bisa bertatap muka secara langsung dengan saudara yang rumahnya jauh. Ada perbedaan rasa dan psikologis yang cukup kontras. Itulah yang dikatakan bahwa menjalin cinta kasih dengan saudara yang jauh adalah sebuah kegiatan yang dikasihi pemilik kasih sejati: Allah SWT.

Mengapa kita malas untuk menjalin persaudaraan (baik saudara kandung atau ataupun saudara seakidah) hanya karena terlalu sibuk dengan urusan kerja? Sesungguhnya Allah menyayangi manusia yang saling mencintai karena-Nya. Diriwayatkan, ada seorang laki-laki berangkat mengunjungi saudaranya di sebuah perkampungan yang jaraknya sangat jauh dari kampung halaman laki-laki tersebut.

Perjalanan itu harus dilaluinya dengan melewati perbukitan yang sangat terjal. Sungguh Allah Mahabaik, Dia menurunkan seorang malaikat yang menyerupai manusia untuk menemani perjalan si laki-laki itu.

Ketika hampir sampai di gerbang perkampungan yang dituju, malaikat utusan Allah itu bertanya, “Wahai saudaraku, hendak kemanakah engkau?” Laki-laki itu menjawab, “Sesungguhnya aku hendak mengunjungi saudaraku di perkampungan ini.”

Malaikat itu bertanya lagi, “Adakah karena utang budi sehingga engkau jauh-jauh rela datang mengunjungi saudaramu tersebut?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak. Bukan karena utang budi, bukan juga karena sesuatu hal. Hanya saja aku mencintainya karena Allah. Hanya itu.”

Akhirnya malaikat yang berwujud manusia itu pun membuka jati diri yang sebenarnya seraya berkata, “Sesungguhnya aku adalah malaikat utusan Allah yang Maha Penyayang untuk mengatakan kepadamu bahwa Allah telah mencintaimu karena cinta tulusmu kepada saudara seiman.” Sejatinya Allah tidak mungkin meninggalkan manusia yang gemar menebar kebaikan dengan rajin saling mengunjungi dan menjalin persaudaraan. Ketika kita mentradisikan untuk mengunjungi rumah saudara yang jauh sebagai bentuk nyata cinta karena Allah, sudah dipastikan di rumah tersebut penuh dengan kebaikan dan keberkahan-Nya. Sebuah keindahan hakiki.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena Allah senang dengan orang-orang yang saling mencintai dengan ikhlas dan cinta sejati. Bukan cinta yang dilandasi kepentingan dan tujuan tujuan yang menyimpang dari aturan Allah.

Diriwayatkan dari sahabat Muadz ibn Jabal bahwa dia mengatakan pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, ‘Wajib kecintaan-Ku terhadap orang-orang yang mencintai karena Aku, orang-orang yang bergaul karena Aku, dan orang-orang yang berkorban karena Aku.'”

Mari kita wujudkan cinta kepada saudara kita dengan rajin saling mengunjungi dan menjalin persaudaraan agar keber kahan langit turun. Karena di dalam sebuah rumah yang senan tiasa ramai oleh ajang silaturahim akan terkumpul energi posi tif untuk semangat beribadah dan meraih hakikat cinta Allah yang sejati. Pada akhirnya, Allah tidak akan segan menuntun kita untuk tetap istiqamah di dalam kebaikan menuju surga- Nya. Wallahu a’lam.

Kakek Renta Miskin yang Sembunyikan Sedekahnya

ADA seorang kakek tua yang dikenal sangat miskin. Ia tinggal di kota Yaman di dalam gubuk tua yang telah reyot. Meski demikian, ia tidak pernah terlihat kelaparan dan selalu segar. Ia pun tidak pernah meminta-minta dan bahkan menolak jika ada seseorang yang ingin memberinya sedekah. Alasannya karena ia masih sanggup bekerja dan memperoleh upah dari pekerjaannya.

Pemimpin kota Yaman dibuat penasaran setelah mendengar berita tentang kakek tersebut. Ia berencana mengintai rumah sang kakek dan mencari tahu kebenaran bahwa kakek tersebut benar-benar tidak kelaparan. Sang pemimpin merasa cemas barangkali sebenarnya si kakek menyembunyikan laparnya karena malu. Untuk melancarkan rencananya ia memutuskan untuk melakukan penyamaran dan mendatangi rumah sang kakek. Ia berubah menjadi pengemis dan akan meminta-minta kepada kakek yang dikenal miskin tersebut.

“Aku sedang kelaparan, karena sudah tiga hari tidak makan. Tolong aku,” ujarnya di hadapan sang kakek saat membukakan pintu.

Wajah kakek tersebut tampak iba dan menuntun si pengemis masuk ke dalam rumah.

“Aku memiliki sekerat roti dan segelas susu untukmu,” kata sang kakek kepada si pengemis.

Pengemis yang tentu saja sebenarnya adalah pemimpin kota mengamati seisi rumah sang kakek. Di sana ia menemukan banyak sekali kerajinan indah. “Untuk apa kerajinan-kerajinan ini?”

“Itu adalah kerajinan buatanku. Aku menjualnya saat siang hari,” ujar sang kakek.

“Apakah hasil penjualannya cukup untuk menghidupi dirimu sendiri?”

“Alhamdulillah, sejauh ini cukup.”

“Tapi mengapa kau tinggal di gubuk reyot seperti ini? Kau pun hanya memiliki sekerat roti dan segelas susu.”

“Bagiku gubuk ini sudah cukup untuk aku tinggal sendiri, nyaman dalam beribadah, dan kebutuhan perutku tidak perlu berlebihan.” Sang kakek tersenyum.

“Lalu, ke mana sisa uangmu?”

“Kukira kau tidak perlu mengetahuinya,” jawab kakek kembali tersenyum.

Akhirnya pemimpin Yaman tersebut tahu bahwa ternyata sang kakek adalah pengrajin yang berbakat. Namun, ia selalu menutupi wajahnya ketika menjual kerajinan-kerajinan miliknya, sehingga orang-orang tidak mengenalinya. Tanpa sepengetahuan ia pun selalu membelanjakan pendapatannya untuk kaum miskin. Bagi sang kakek, mengenyangkan perut dengan sekerat roti dan segelas susu sudahlah cukup.

“Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memerikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan. (QS Al Baqarah [2]: 271) [An Nisaa Gettar]

 

 

Allah-lah yang Menetapkan Harga-harga

PADA saat zaman Tabiin ada seorang pedagang perhiasan yang jujur bernama Yunus bin Ibnu Ubaid. Pernah suatu hari saat akan berangkat salat, Yunus menitipkan toko kepada saudaranya. Sepeninggalnya ia dari toko, ada seorang Badui datang untuk membeli perhiasan di toko Yunus. Saudara Yunus melayani pelanggan tersebut sampai adanya transaksi jual beli.

Sang Badui membeli sebuah perhiasan, yang sebenarnya seharga dua ratus dirham. Tapi pembeli tersebut membayarnya dengan empat ratus dirham. Di tengah perjalanan dari toko, sang Badui berpapasan dengan Yunus bin Ubaid, yang kemudian bertanya kepadanya, “Berapa harga yang engkau bayarkan untuk membeli perhiasan ini?”

“Empat ratus dirham,” jawab sang Badui.

Yunus segera menimpali, “Tetapi harga sebenarnya dua ratus dirham. Mari kita kembali ke tokoku agar aku dapat mengembalikan kelebihan uangmu.”

“Tidak perlu. Aku sudah merasa senang dengan harga tersebut. Di kampungku harga perhiasan yang kubeli ini mencapai lima ratus dirham.” Sang Badui tetap tidak berkeberatan. Namun, Yunus memaksanya untuk tetap kembali ke toko, sehingga pembeli tersebut pun menurut.

Sesampainya di toko, Yunus menegur saudaranya. “Apakah engkau tidak malu dan kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang dengan harga dua kali lipat?”

Saudaranya tersebut menanggapi. “Pembeli itu sendiri yang ingin membelinya dengan harga empat ratus dirham,” ujarnya melakukan pembelaan diri bahwa itu bukanlah kehendaknya.

“Meski demikian, di atas pundak kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan diri kita sendiri.” Yunus bin Ubaid menegaskan kalimatnya.

Dari Anas bin Malik r.a., dia berkata: Harga barang menjadi mahal pada zaman Nabi Saw, lalu mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, harga telah menjadi mahal, maka tetapkanlah harga untuk kami.” Lalu Nabi Saw menjawab, “Sesungguhnya Allah, Dialah yang menetapkan harga itu, Dialah Allah Awt yang melapangkan, Dia Allah yang menyempitkan, serta Dialah Allah yang memberikan rezeki. Dan sesungguhnya aku berharap agar aku bertemu Allah Swt dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku di dalam kezaliman terhadap darah maupun kedzaliman terhadap harta.” (HR Abu Daud) [An Nisaa Gettar]

 

INILAH MOZAIK

Ciri tidak Fokus kepada Allah

SAHABAT, yang membuat kita sulit fokus kepada Allah Subhanahu Wa Taala adalah karena kita fokus cari kedudukan kepada selain Allah Subhanahu Wa Taala.

Semakin kita ingin diakui: kelebihan, jasa, kebaikan dan keterampilan kita. Semakin kita mengharapkan pengakuan orang, semakin tidak fokus kepada Allah Subhanahu Wa Taala.

Orang-orang yang senang dengan penilaian Allah Subhanahu Wa Taala, dia akan sangat sibuk untuk menata hatinya dan memperbaiki amalnya.

Mudah-mudahan kita termasuk kepada orang-orang yang ahli melakukan kebaikan yang ikhlas dan istiqomah yang hanya mengharapkan keridhoan Allah Subhanahu Wa Taala saja. [*]

INILAH MOZAIK