Renungkan dan Buktikan! Inilah Manfaat Bersedekah

SUNGGUH manfaat bersedekah akan dirasakan langsung bagi siapapun yang telah melakuan ikhlas dan mempercayaikan amalan ini. Ada banyak kisah sedekah di sekitar kita yang dapat diambil sebagai pelajaran. Seperti dua kisah sedekah dalam al-Targhib wa al-Tarhib oleh Imam al-Mundziri berikut ini:

1. Diriwayatkan dari Baihaqi dari Ali ibn Syaqiq dari Ibn al-Mubarak bahwa ia ditanya seorang laki-laki, “Wahai Abu Abdurrahman, ada nanah yang selalu keluar dari luka pada lututku sejak tujuh tahun yang silam. Aku telah berusaha mengobatinya dengan berbagai macam obat. Aku telah bertanya kepada para dokter, tetapi aku belum mendapatkan terapi atau obat yang dapat menyembuhkannya.”

Ibn al-Mubarak berkata, “Pergilah dan carilah sebuah tempat yang penduduknya benar-benar membutuhkan air. Kemudian galilah sumur di sana. Aku berdoa mudah-mudahan di sana kau mendapatkan mata air. Kemudian, basuhlah lukamu yang bernanah itu dengan air dari sumur yang kau gali.”

Kemudian, laki-laki itu mengerjakan nasihat Ibn al-Mubarak dan diceritakan bahwa luka di kakinya sembuh dan tidak ada lagi nanah yang keluar. Kesembuhannya itu merupakan berkah dan balasan kebaikan untuk orang itu karena telah memberikan sedekah berupa sumur air yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

2. Diriwayatkan pula dari al-Baihaqi sebuah kisah tentang seorang tua bernama al-Hakim ibn Abdillah. Diwajahnya ada luka yang membusuk dan ia telah mencoba mengobatinya dengan berbagai macam obat. Tetapi, lukanya itu tak kunjung sembuh hingga akhirnya ia menemui Imam Abu Utsman al-Shabuni dan memintanya mendoakan kesembuhannya kepada Allah di majelisnya pada hari Jumat. Abu Utsman memenuhi permintaan itu. Ia berdoa memohon kesembuhan kepada Allah dan jemaah Jumat yang hadir saat itu mengamini permohonannya.

Pada Jumat berikutnya, seorang perempuan yang biasa menghadiri majelis itu mendapat ilham agar ia pulang ke rumah dan mendoakan kesembuhan bagi al-Hakim pada malam itu. Setelah berdoa, ia tidur dan dalam tidurnya mimpi bertemu Rasulullah saw yang berkata padanya, “Katakanlah kepada Abu Abdillah agar menyediakan air untuk kaum muslim.”

Keesokan paginya, wanita itu menemui al-Hakim dan menceritakan mimpinya. Maka, al-Hakim memerintahkan orangnya untuk membangun sumur yang le bih luas di dekat rumahnya demi kepentingan umat.

Usai membangun sumur itu, ia meminta orang-orang untuk mengalirkan airnya seraya melemparkan sebongkah es kedalamnya. Orang-orang pun mulai memanfaatkan sumur itu untuk keperluan mereka.

Selang seminggu, luka di wajah al-Hakim mulai membaik hingga akhirnya luka bernanah itu sepenuhnya sembuh dan wajahnya kembali sediakala, bahkan lebih baik lagi. Ia masih hidup beberapa tahun setelah peristiwa itu. [Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK

Pernahkah Anda Lihat Talang Air Ka’bah? Begini Bentuknya

Bagi Anda yang pernah melaksanakan umrah atau haji, pernahkah Anda memperhatikan bagian terkecil dari Ka’bah, yaitu talang air? Talang yang disebut dalam isitilah arab mizab ini terletak di bagian atas sisi Ka’bah sebelah pas Hijr Ismail. Talang tersebut berfungsi sebagai saluran air ketika hujan atau sewaktu pencucian Ka’bah.

Talang ini dibuat Suku Qurais 1.500 tahun lalu ketika renovasi Ka’bah. Bahkan Muhammad SAW ikut serta dalam proses renovasi pada masa itu, saat usia beliau 35 tahun, sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul.

Talang ini terbuat dari tembaga yang dilapisi emas. Arah air dari talang ini akan mengucur tepat di atas Hijr Ismail. Renovasi sepanjang masa tak melewatkan talang air ini.

Renovasi terakhir terlaksana pada 1418 Hijriyah di masa pemerintahan Raja Fahd dengan memberikan beberapa tambahan, di antaranya deretan paku di atas talang untuk mencegah burung jatuh di atasnya.

Sedangkan yang membuat proyek pelapisan talang dengan emas adalah Walid bin Abdul Malik.

Para sejarawan Muslim sepanjang masa, memberikan catatan fantastis terkait talang dan air yang mengucur darinya.

Sebagian bahkan mengisahkan kepercayaan umat Islam pada masa-masa awal, keberkahan air yang mengalir dari talang ini.

Sejarawan al-Azraqi misalnya, mencatat bentuk talang tersebut dengan ukuran sederhana sebagaimana jamak berlaku pada masa itu yaitu talang ini panjangnya empat hasta, lebar delapan jari, dan tingginya delapan jari.

KHAZANAH REPUBLIKA

Saudaraku, Sampai Kapan Kita saling Mencela dan Mengolok-olok?

Fenomena dewasa ini yang cukup memprihatinkan kita adalah kita saksikan saudara-saudara kita sesama muslim yang saling mengejek, saling menghina, dan saling mengolok-olok di media sosial. Berbagai gelar dan julukan yang buruk pun mudah terucap, baik melalui lisan atau melalui jari-jemari komentar di media sosial. Sebutlah misalnya julukan (maaf) “cebong”, “kampret”, “IQ 200 sekolam” dan ucapan-ucapan buruk lainnya. Ucapan-ucapan yang tampak ringan di lisan dan tulisan, padahal berat timbangannya di sisi Allah Ta’ala di hari kiamat kelak.

Hukum Saling Memanggil dengan Gelar dan Julukan yang Buruk

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ

Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk)” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Pada asalnya, “laqab” (gelar atau julukan) itu bisa mengandung pujian dan bisa juga mengandung celaan. Jika julukan tersebut mengandung pujian, inilah yang dianjurkan. Seperti, memanggil orang lain dengan “yang mulia”, “yang ‘alim (berilmu)”, “yang terhormat” dan sebagainya.

Namun jika julukan tersebut mengandung celaan, maka inilah maksud ayat di atas, yaitu hukumnya terlarang. Misalnya, memanggil orang lain dengan “orang pelit”, “orang hina”, “orang bodoh”, dan sejenisnya. Meskipun itu adalah benar karena ada kekurangan (cacat) dalam fisiknya, tetap dilarang. Misalnya dengan memanggil orang lain dengan “si pincang”, “si mata juling”, “si buta”, dan sejenisnya. Kecuali jika julukan tersebut untuk mengidentifikasi orang lain, bukan dalam rangka merendahkan, maka diperbolehkan. Misalnya, jika di suatu kampung itu ada banyak orang yang bernama “Budi”. Jika yang kita maksud adalah “Budi yang pincang” (untuk membedakan dengan “Budi” yang lain), maka boleh menyebut “Budi yang pincang”. Karena ini dalam rangka membedakan, bukan dalam rangka merendahkan.

Sayangnya, kita jumpai saat ini orang sangat bermudah-mudah dan meremehkan larangan Allah Ta’ala dalam ayat di atas. Diberikanlah julukan bagi orang yang berbeda pandangan atau pilihan “politiknya” dengan sebutan (maaf) “cebong”, sedangkan di pihak lain diberikan julukan (maaf) “kampret” dan julukan-julukan yang buruk lainnya. Seolah-olah ucapannya itu adalah ucapan yang ringan dan tidak ada perhitungannya nanti di sisi Allah Ta’ala.

Lebih-lebih bagi mereka yang pertama kali memiliki ide julukan ini dan yang pertama kali mempopulerkannya, kemudian diikuti oleh banyak orang. Karena bisa jadi orang tersebut menanggung dosa jariyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Dan barangsiapa yang membuat (mempelopori) perbuatan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa dan (ditambah dengan) dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim no. 1017).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti tersebut sedikit pun” (HR. Muslim no. 2674).

Jangan Saling Mengolok-olok

Allah Ta’ala juga melarang kita dari perbuatan saling mengolok-olok. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang perbuatan mengolok-olok orang lain. Misalnya dengan mengolok-olok saudaranya dengan mengatakan “IQ jongkok” atau “IQ 200 sekolam”, dan olok-olokan lainnya. Apalagi, dalam olok-olokan IQ tersebut jelas-jelas mengandung unsur dusta dan kebohongan atas nama orang lain. Karena tentunya, orang yang mengolok-olok itu tidak pernah mengukur IQ saudaranya sama sekali.

Selain itu, perbuatan mengolok-olok, saling memanggil dengan gelar yang buruk, dan perbuatan mencela orang lain itu Allah Ta’ala sebut dengan kefasikan. Istilah “fasik” maksudnya adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena perbuatan semacam ini tidak pantas dinamakan dan disandingkan dengan keimanan.

Di akhir ayat di atas, Allah Ta’ala katakan bahwa barangsiapa yang tidak mau bertaubat dari perbuatan-perbuatan di atas (mengolok-olok, memberikan gelar yang buruk, mencela, merendahkan, ghibah dan adu domba), maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Mereka telah menzalimi orang lain. Dan bisa jadi Allah Ta’ala selamatkan orang yang dilecehkan dan Allah Ta’ala timpakan hukuman kepada orang yang mengolok-olok dan melecehkan tersebut dengan bentuk hukuman sebagaimana olok-olok yang dia sematkan kepada orang lain atau bahkan lebih buruk.

Mencela Orang Lain Berarti Mencela Diri Sendiri

Ada yang menarik dalam ayat di atas berkaitan dengan larangan mencela orang lain. Allah Ta’ala melarang kita mencela orang lain dengan lafadz,

وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Mengapa mencela orang lain Allah Ta’ala sebut dengan mencela diri sendiri? Ada dua penjelasan mengenai hal ini. Penjelasan pertama, karena setiap mukmin itu bagaikan satu tubuh. Sehingga ketika dia mencela orang lain, pada hakikatnya dia mencela dirinya sendiri, karena orang lain itu adalah saudaranya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ المُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Sesungguhnya orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain” (HR. Bukhari no. 481 dan Muslim no. 2585).

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit, dengan begadang (tidak bisa tidur) dan demam” (HR. Muslim no. 2586).

Penjelasan kedua adalah karena jika kita mencela orang lain, maka orang tersebut akan membalas dengan mencela diri kita sendiri, dan begitulah seterusnya akan saling mencela. Dan itulah fenomena yang kita saksikan saat ini.

Mencela orang lain itu termasuk perbuatan merendahkan (menghina) mereka. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih” (QS. At-Taubah [9]: 79).

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, kami mengajak kepada saudara-saudara kami sesama kaum muslimin untuk menghentikan kebiasaan saling mencela, saling menghina, saling mengolok-olok, dan saling memanggil dengan gelar dan julukan yang buruk. Baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya (di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya). Karena semua yang kita ucapkan dan semua yang kita tulis, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Ta’ala.

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/41414-saudaraku-sampai-kapan-kita-saling-mencela-dan-mengolok-olok.html

Berkepala Botak, Bolehkah?

Kata orang, cowok dengan tampilan kepala botak itu seksi. Ini soal tren. Gaya potongan rambut botak itu juga digemari oleh sebagian perempuan. Sejumlah artis Hollywood misalnya, pernah mencukur habis rambut mereka. Entah karena tuntutan peran atau sekadar ikut mode.

Pada 2005 misalnya, Natalie Portman tampil plontos saat main di film “V for Vendetta”. Sebelumnya, Demi Moore melakukan hal yang sama ketika berperan di film “G.I Jane” yang rilis pada 1997. Britney Spears pada 2007 mencukur habis rambutnya sebagai bentuk terapi atas depresi yang menyerangnya. Bagaimana dengan Muslimah? Bolehkah mencukur botak rambut di kepalanya?

Prof Abdul Jawwad Khalaf dalam bukunya berjudul as-Syi’ru wa-Ahkamuhu fi al-Fiqh al-Islami mengatakan, para ulama sepakat bahwa seorang perempuan dilarang mencukur hingga botak rambut kepalanya. Tetapi, soal tingkat dan level pelarangannya mereka tidak berbeda pendapat.

Kelompok yang pertama berpandangan, derajat larangannya setara dengan makruh. Ini bila dilakukan tanpa sebab syar’i, seperti sakit dan hanya alasan mengikuti tren. Opsi ini merupakan pendapat yang berlaku di kalangan Mazhab Hanafi, Hambali, dan Syafi’i. Itu seperti dinukilkan dari Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, dan Ibnu Abidin dalam kitab Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar Hasyiyat Ibn Abidin.

Kubu yang kedua berpandangan, larangan botak tanpa sebab yang kuat bagi Muslimah derajatnya ada pada tingkatan haram. Ini adalah opsi yang dipakai oleh Mazhab Maliki, Zhahiri, dan Ibadhi.

Sedangkan, opsi yang ketiga ialah pendapat yang membolehkan botak bagi perempuan, dalam kondisi tertentu. Ini seperti disampaikan oleh Abu Bakar bin al-Atsram yang bermazhab Hambali.

Segenap pendapat ini menitikberatkan pada hukum perempuan botak tanpa sebab dan uzur syar’i. Jika memang kondisi menuntut seorang Muslim berbotak ria, akibat sakit contohnya, maka ia boleh menggundulkan kepalanya.

Kubu yang pertama menukil sejumlah dalil, antara lain, hadis riwayat Muslim dari Burdah bin Abu Musa. Rasulullah SAW menyatakan, terbebas dari perempuan yang mencukur habis rambutnya.

Bagi kelompok kedua, hadis riwayat sejumlah sahabat dijadikan sebagai dasar. Hadis ini dinukil dari Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ali bin Abi Thalib. Riwayat sejumlah tabiin juga memperkuat dalil di atas. Ikrimah meriwayatkan bahwa Rasulullah melarang perempuan memggundulkan kepalanya. Hasan al-Bashri juga pernah melarang seorang perempuan yang hendak berpenampilan botak.

Ulama sepakat bahwa botak dilarang bila tanpa uzur syar’i. Tetapi, Berbeda pendapat soal tingkat larangannya:

Makruh :  Mazhab Hanafi, Hambali, dan Syafi’i

Haram : Mazhab Maliki, Zhahiri, dan Ibadhi

Belajar untuk Tidak Kecewa

“BUKAN dirimu yang mengatur jalan kehidupan. Namun, respons darimu yang dibutuhkan. Berikan respons terbaik atas segala yang terjadi dari luar dirimu. Semakin baik responsmu, semakin tinggi nilaimu.” Demikian guru saya mengajari saya agar tak larut dalam kecewa dalam kehidupan yang kisahnya tak selalu sama dengan yang diharap.

Malam ini saya menimba banyak pelajaran kehidupan. Bertemu dengan pengasuh pesantren yang sudah sepuh dengan semangat nasionalisme yang tinggi adalah anugerah. Mendapat pelayanan terbaik dari seorang doktor yang saya bimbing disertasinya adalah sebuah keharuan yang tidak bisa disembunyikan. Bertamu tanpa ketemu tuan rumah juga merupakan sesuatu yang memberikan pelajaran hidup.

Malam ini saya berbahagia bisa berbagi cerita dengan banyak orang, bisa bertukar senyuman dengan para sahabat. Malam ini saya berharap lebih, yakni bertemu dengan lebih banyak lagi sahabat namun ternyata mereka tak sempat datang karena sibuk dengan agendanya masing-masing. Sedikit kecewa, namun suara hati meredamnya dengan menundukkan ego saya. Saya pun berkata lirih: “Siapalah dirimu wahai AIM, tak semua orang butuh dan suka bertemu denganmu.” Saya pun sadar dan tersenyum kembali.

Yang membuat kecewa hati seringkali bukan faktor luar, bukan orang lain. Seringkali yang membuat kecewa adalah faktor diri kita sendiri yang memasang nilai diri terlalu tinggi. Jika ini penyebabnya, maka jalan keluarnya adalah turunkan bandrol harga diri. Biarkan diri kita cukup dengan satu merek saja sebagai hamba Allah.

Lalu bagaimanakah dengan cara kita memandang orang lain? Pandanglah mereka dengan pandangan positif sehingga menjadi alasan baik untuk memaklumkan kita akan ketaknyamanan yang kita terima. Masih terasa tidak fair? Kapan-kapan kita diskusikan.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Teladan Persahabatan Rasulullah dan Sahabatnya

ABU Sufyan berkata: “Tak pernah kulihat seseorang mencintai orang lain melebihi cinta sahabat Nabi Muhammad kepada beliau.” Cintanya sahabat kepada beliau adalah cinta yang penuh kesiapan untuk bersama dalam suka dan duka, kesiapan untuk senantiasa bersatu dalam asa dan rasa.

Ada banyak kisah pengorbanan para sahabat kepada beliau sebagaimana kisah perhatian beliau kepada para sahabatnya. Lalu bagaimanakah dengan model persahabatan kita dan model persaudaraan kita?

Salah seorang shalih ditanya tentang bagaimana cintanya pada saudaranya. Beliau menjawab: “Cintaku kepada saudaraku adalah cinta yang menjadikanku mudah menerima permintaan maafnya semudah berbahagia dengan kebaikannya. Cintaku kepada saudaraku adalah cinta yang menyebabkan hatiku berbahagia dengan kehadirannya dan merasa rindu segera berjumpa ketika lama tiadanya. Cintaku kepada saudaraku adalah cinta yang mempertalikan hati sampai pada derajat senyumnya adalah senyumku dan deritanya adalah deritaku.”

Andaikan persahabatan dan persaudaraan antarkita adalah bagai baris-baris indah di atas, betapa hari-hari adalah saat yang damai sejahtera. Andaikan persahabatan dan persaudaraan di negeri ini adalah di atas dasar ketulusan dan kesadaran untuk hidup bersama dalam cinta, betapa negeri ini benar menjadi potongan surga di wilayah bumi bawah garis khatulistiwa. Lalu mengapa ada saling hina dan saling caci? Lalu mengapa ada yang senang menari di atas luka saudaranya sendiri?

Kepentingan dan nafsu telah disetiri syetan untuk saling mencurigai, untuk saling mengalahkan, untuk saling menyakiti, untuk saling bermusuhan. Banyaknya wajah cemberut, wajah minus senyum, adalah bukti kemenangan partai syetan dan kekalahan partai cinta dan persaudaraan. Karena berebut jabatan dan kedudukan, hilanglah senyum lenyaplah riang.

Mari kita suburkan lagi senyum, yakni senyum tulus atas dasar cinta, untuk merajut benang-benang sosial yang telah tercerai-berai karena kepentingan dan nafsu.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK