Merasakan Bahagia Ketika Ber-khalwat Bersama Allah

Saudaraku, Hendaknya kita MEMBIASAKAN dan benar-benar MENGUPAYAKAN agar bisa bahagia ketika sendiri yaitu ber-khalwat bersama Allah. Artinya sendiri tanpa ada manusia di sekitar kita. Memang kita akan senang atau bahagia ketika bersama manusia, atau berbahagia ketika melakukan kegiatan tertentu misalnya bekerja, membaca, melakukan hobi sendiri, akan tetapi kita ahrus bisa berbahagia ketika sedang ber-khwalwat bersama Allah

Saudaraku, inilah yang kita lupakan atau bahkan tidak pernah terbesit dalam benak kita, yaitu berbahagia ketika sedang berkhalwat dengan Allah saja. Baik itu ketika sedang shalat malam, shalat dhuha, i’tikaf, sebelum tidur, sendirian di motor atau mobil. Hal ini akan melatih kita untuk tetap bahagia di saat-saat sendiri yaitu saat sendiri di alam kubur, tanpa anak-istri, tanpa saudara dan tanpa teman. Hanya ditemani amal dengan rahmat dari Allah.

 

Perhatikan hadits di mana seseorang merasa bahagia tatkala sendiri (berkhalwat dengan Allah), dia menangis bahagia karena terharu akan kasih sayang dan rahmat Allah yang begitu luas padanya, padahal ia adalah seorang pendosa. Atau dia menangis takut kepada Allah, takut Allah tidak memperhatikannya di dunia dan lebih-lebih di akhirat yang kita sangat butuh ampunan dan kasih sayang Allah.

Terdapat tujuh kelompok orang yang luar biasa, salah satunya adalah yang mengingat Allah dalam keadaan sendiri, kemudian ia menangis karena Allah.

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ في ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إلا ظلُّهُ ….، ورَجُلٌ ذَكَرَ اللَّه خالِياً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; …. dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” [HR. Bukhari dan Muslim]

 

Para orang-orang shalih dahulunya sangat berbahagia dan sangat suka apabila, mata mereka bisa menangis karena Allah, karena itu adalah salah satu kabar gembira dan bukti keimanan. Seseorang tidak akan bisa sengaja atau menangis karena Allah, tetapi itu karena sentuhan iman ke hati.

Ka’ab Al-Ahbar berkata,

لأن أبكى من خشية الله فتسيل دموعي على وجنتي أحب إلى من أن أتصدق بوزني ذهباً

Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.” [Fashul Khitab 5/501]

Bagaimana tidak bahagia, ketika memangis, ia ingat bahwa mata yang memangis karena Allah tidak akan tersentuh api neraka.

Dan sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam

عينان لا تمسهما النار ، عين بكت من خشية الله ، وعين باتت تحرس في سبيل الله

Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam (jihad) di jalan Allah.” [HR. Tirmidzi, shahih]

 

Dengan latihan merasa bahagia ketika menyendiri dengan berkhalwat bersama Allah, kita akan terlatih juga saat-saat sendiri kelak di hari kiamat. Misalnya saat-saat sendiri di kubur, tidak ada yang menemani kecuali amalnya dan tentunya dengan rahmat dan kasih sayang Allah.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ﻳَﺘْﺒَﻊُ ﺍﻟﻤَﻴِّﺖَ ﺛَﻼَﺛَﺔٌ ﻓَﻴَﺮْﺟِﻊُ ﺍﺛْﻨَﺎﻥِ ﻭَﻳَﺒْﻘَﻰ ﻣَﻌَﻪُ ﻭَﺍﺣِﺪٌ ﻳَﺘْﺒَﻌُﻪُ ﺃَﻫْﻠُﻪُ ﻭَﻣَﺎﻟُﻪُ ﻭَﻋَﻤَﻠُﻪُ ﻓَﻴَﺮْﺟِﻊُ ﺃَﻫْﻠُﻪُ ﻭَﻣَﺎﻟُﻪُ ﻭَﻳَﺒْﻘَﻰ ﻋَﻤَﻠُﻪُ

“Yang mengikuti mayit ke kuburnya ada tiga, lalu dua kembali dan yang tinggal bersamanya hanya satu; yang mengikutinya adalah keluarganya, hartanya dan amalnya, lalu kembali keluarga dan hartanya, dan yang tinggal hanya amalnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Demikian juga seseorang akan sendiri saja memikirkan nasibnya di hari kiamat. Tidak ada tempat berbagi, curhat, musyawarah dan bercerita kepada keluarga dan manusia yang lainnya, karena manusia sibuk memikirkan urusannya masing-masing, bahkan seseorang akan lari dari keluarga dan anak-istrinya karena takut diminta pertangungjawaban.

Allah berfirman,

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ ﴿٣٤﴾ وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya [Abasa/80:34-35]

 

Salah satu waktu bahagia adalah ketika sendiri dan melakukan muhasabah terhadap diri sendiri ketika di saat sepi dan berkhalwat bersama Allah. Hendaknya kita punya waktu-waktu khusus yang kita jadwal untuk melakukan muhasabah, bukan waktu-waktu sisa dari urusan dunia kita.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ﻻﺑﺪ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﻣﻦ ﺃﻭﻗﺎﺕ ﻳﻨﻔﺮﺩ ﺑﻬﺎ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﻓﻲ ﺩﻋﺎﺋﻪ ﻭﺫﻛﺮﻩ ﻭﺻﻼﺗﻪ ﻭﺗﻔﻜﺮﻩ ﻭﻣﺤﺎﺳﺒﺔ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﺇﺻﻼﺡ ﻗﻠﺒﻪ

“Hendaklah seorang hamba memiliki waktu-waktu khusus menyendiri untuk berdoa, shalat, merenung, muhasabah dan memperbaiki hatinya”. (Majmu’ Fatawa 10/637)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44073-merasakan-bahagia-ketika-ber-khalwat-bersama-allah.html

Berfikir Sebelum Berucap

Salah satu keistimewaan manusia adalah, manusia itu disebut sebagai ‘Hayawanun naatiq’. Makhluq yang dianugerahi oleh Pencipta memiliki lisan. Dari lisan inilah meluncur rangkaian kata yang menggambarkan pribadi seseorang.

Pimpinan Majelis Ta’lim dan Zikir Baitul Muhibbin Habib Abdurrahman Asad Al-Habsyi menyampaikan, lisan adalah karunia Allah yang demikian besar. Dan untuk itu harus disyukuri dengan kesyukuran yang mulia.

“Caranya adalah dengan menggunakan lisan dengan tutur terpuji. Berpikir sebelum berucap adalah akhlaq seorang mu’min, karena lisanmu sekali engkau gerakkan sulit untuk kembali pada posisi semula,” kata Habib Abdurrahman melalui pesan hikmahnya yang diterima Republika.co.id, Jumat (8/2).

Habib Abdurrahman Al Habsy menyampaikan, berkata benar dan tulus adalah karakter orang beriman seperti yang diperintahkan Allah SWT dalah surat Al-Ahzab ayat 70.  “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”

Habib Abdurrahman menuturkan, dua orang sahabat yang penuh keakraban bisa dipisahkan dengan lisan. Dan juga seorang bapak dan anak yang saling menyayangi dan menghormati pun bisa terpisahkan sebab lisan.

“Suami istri yang saling mencintai dan saling menyayangi bisa dengan cepat saling memusuhi karena lisan,” ujarnya.

Tentang bagaimana menjaga lisan, Habib Abdurrahman menyampaikan apa yang pernah Abu Hatim sampaikan. “Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dulu, jika terdapat (maslahat) baginya maka dia akan berbicara. Dan bila tidak ada (maslahat) dia tidak (berbicara). Adapun orang yang jahil (bodoh), hatinya berada di ujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya dia akan (cepat) berbicara. Seseorang tidak (dianggap) mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.”

Habib Abdurrahman menyampaikan, di era serba digital ini, segala apa yang kita tulis, ucapkan, videokan terekam dalam memori digital. Sadarkah kita bahwa rekaman Allah SWT jauh lebih canggih bahkan tak bisa diedit?

Menurut Habib Abdurrahman, file lisan kita tersimpan dengan rapih oleh Malaikat Allah SWT seperti diterangkan dalam Alquran suar Qoof Ayat 18. “Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid.”

Habib Abdurrahman menerangkan, jika kita harus menggunakan lidah kita untuk melakukan dialog,  maka lakukan dialog yang penuh dengan adab dan elegan. Karena, tidak hadirnya rasa ikhlas dan ketulusan cenderung merusak indahnya dialog.

Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai pendebat selalu menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah atau argumen yang kuat dan tepat.  “Pendebat tidak bersedia mengalah, sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah,” katanya.

Dan ketika itulah kata Habib Abdurrahman, terkadang dialog dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Bahkan dianggap hebat dan mendapatkan dukungan oleh pendukungnya jika ia lancang memotong pembicaraan, atau mengeluarkan kata-kata tidak bermutu kepada lawan dialognya.

Padahal tujuan debat atau dialog tersebut untuk mendapatkan hasil (natijah) atau solusi yang baik untuk kemaslahatan bersama. Jangan sampai dengan buruknya manajemen lisan kita, menjadikan kita buruk rugi di dunia dan buruk di akhirat.

“Seburuk-buruknya kedudukan seseorang  di hadapan Allah pada hari kiamat adalah orang yang dijauhi oleh sesamanya disebabkan mereka takut akan kejahatan mulut dan perilakunya,” kata Habib Abdurrahman mengutip hadis riwayat Bukhori 6032.

Doa Sapu Jagat

SEMOGA Allah Swt Yang Maha Menguasai segala kejadian, menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Saudaraku, ada sebuah doa yang disebut dengan doa sapu jagat. Doa ini dinamakan demikian karena di dalamnya mengandung permintaan kebaikan di dunia dan di akhirat. Doa yang melingkupi segala kebaikan.

Doa tersebut berbunyi, “Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah waqinaa adzaabannaar” yang artinya, “Duhai Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka.” (QS. Al Baqarah [2] : 201)

Doa ini menunjukkan bahwa yang namanya kebaikan dunia itu hanya datang dari Allah Swt. Sedangkan dunia dan akhirat itu tidaklah seimbang. Jika di dunia kita hanya meminta satu kebaikan, maka di akhirat kita meminta dua kebaikan. Pertama, kebaikan berupa surga. Dan kedua, kebaikan berupa dijauhkan dari adzab neraka.

Saudaraku, apakah yang disebut dengan kebaikan di dunia? Kebaikan itu tidak harus selalu identik dengan uang, harta kekayaan, pangkat, jabatan, popularitas. Kebaikan dunia yang kita inginkan janganlah terbayangkan dalam bentuk yang kita sukai saja.

Kebaikan dunia yang sejati kita pinta kepada Allah Swt. adalah hati yang selalu yakin kepada Allah Swt dan kita diberikan istiqomah dalam menjalankan ketaatan terhadap Allah Swt, menyikapi apapun takdir Allah dengan sikap yang Allah sukai, maka itu adalah kebaikan dunia. Walaupun kejadian itu sakit, pahit, namun bisa menjadikan diri kita lebih dekat dengan Allah, lebih mengenal Allah dan lebih yakin kepada Allah, maka itu adalah kebaikan.

Adapun kebaikan akhirat itu adalah surga. Puncaknya kebaikan di akhirat adalah perjumpaan dengan Allah Swt. Dan, inilah yang harus kita rindukan.

Saudaraku, dunia hanyalah persinggahan semata. Dunia hanyalah tempat mampir yang sebentar saja. Dunia hanyalah tempat kita mengumpulkan bekal untuk kepulangan kita ke akhirat kelak. Dan, jikalau niat kita benar, cara kita benar dalam menjalani kehidupan di dunia ini, maka itulah kebaikan. Jika kita baik dan benar di dunia, maka ganjaran bagi kita di akhirat kelak adalah dua; diberi surga dan dijauhkan dari api neraka.

Jadi, jikalau kita berdoa, “Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah waqinaa adzaabannaar”, hati kita selalu berharap untuk menjadi orang yang yakin dan patuh kepada Allah Swt, inilah kebaikan di dunia. Dan, berharap menjadi ahli surga, berjumpa dengan Allah dan berharap diselamatkan dari api neraka, inilah kebaikan akhirat.

Mudah-mudahan doa yang benar-benar keluar dari hati kita, akan membuat ketaatan dan kepatuhan kita kepada Allah Swt. semakin kuat. Saudaraku, mari kita amalkan doa ini. Semoga menjadi amal sholeh bagi kita. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 
INILAH MOZAIK

Jejak Sukarno di Uzbekistan dan Makam Imam Bukhari

Meskipun jaraknya jauh, Uzbekistan dan Indonesia sudah memiliki hubungan baik sejak lama. Seperti pribahasa, meskipun jauh di mata tapi dekat di hati. 

Hal ini juga pernah diungkapkan Presiden Sukarno saat berkunjung ke Uzbekistan pada 4-6 September 1956, di mana saat itu Uzbekistan masih menjadi bagian dari Uni Soviet.

Sejarawan Islam asal Jember, Rijal Mumaziq, meceritakan di negara tersebut Sukarno mengunjungi Kota Tashkent dan melakukan ziarah ke makam Imam Bukhari di Samarkand, yang merupakan ulama hadis terkenal dalam sejarah peradaban Islam.

Dalam kunjungannya itu, Sukarno meminta kepada Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang merupakan kawan akrabnya untuk memugar kembali makam Imam Bukhari yang baru ditemuka dan tidak terurus.

“Beliau (Sukarno) mengunjungi makam Imam Bukhari dan mendesak kepada presiden Uni Soviet saat itu, untuk membangun kembali,” ujar sejarawan yang akrab disapa Gus Rijal ini dalam seminar bertema “Jejak ulama Uzbekistan di Nusantara” di Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal, TMII, Jakarta Timur, akhir pekan ini.

Saat itu, menurut Gus Rijal, Sukarno juga disambut dengan meriah  rakyat Uzbekistan. Bahkan, seseorang yang sangat mengagumi Sukarno memberikan seekor kuda berwarna abu-abu dan Bung Karno menamakan kuda itu sebagai Kilat Uzbek.

“Bung Karno berterimakasih atas hadiah itu. Tapi sangat tidak memungkinkan karena naik pesawat ke Indonesia,” ucapnya.

Karena jasa Bung Karno itu, sampai saat ini umat Islam Indonesia yang melakukan ziarah ke makam Imam Bukhari sangat dihormati.

Dia pun menceritakan tentang salah satu temannya yang menjadi koki di KBRI Uzbekistan, Didik Isnanto.

Saat melakukan ziarah ke makam Imam Bukhari, kata Gus Rijal, temannya itu mengenakan kopyah hitam seperti halnya Sukarno. Ketika mau masuk ke makam itu, tiba-tiba beberapa orang tua yang duduk di sekitar makam tersenyum ramah dan melambaikan tangannya sembari mengucapkan salam.

“Lalu beberapa orang tua tersebut meneriakkan sebuah kosakata yang terdengar aneh di telinga Mas Didik. Apa kosakatanya, ‘Zu Karnu, Zu Karnu, Zu Karnu’,” kata Gus Rijal saat menceritakan kisah temannya.

Kemudian, Didik kaget karena kosakata itu terdengar asing di telinganya. Namun, setelah menyadarinya, Didik langsung menyalami para orang tua tersebut, dan dia pun dtemui oleh juru kunci makam tersebut.

“Kemudian juru kunci yang sudah sepuh itu mengizinkan masuk dan memperlakukan Mas Didik secara istimewa karena merasa berhutang budi kepada Sukarno,” tutupnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Perbedaan antara Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim”

“Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” berasal dari kata yang sama, yaitu “rahmah”. Dalam terjemah bahasa Indonesia, “Ar-Rahman” seringkali diterjemahkan dengan “Maha Pengasih”, sedangkan “Ar-Rahiim” diterjemahkan dengan “Maha Penyayang.” Secara sekilas membaca terjemah tersebut, seolah-olah makna “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” adalah sama, yaitu menunjukkan sifat rahmah Allah Ta’ala.

Konsekuensi dari pemahaman ini adalah disebutkannya nama “Ar-Rahiim” itu untuk menguatkan makna “Ar-Rahman” yang telah disebutkan sebelumnya, sebagaimana dalam lafadz basmalah,

بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم

Maksudnya, nama “Ar-Rahiim” itu berfungsi untuk menguatkan nama Allah “Ar-Rahman” yang telah disebutkan terlebih dahulu, karena keduanya memiliki makna yang sama (menunjukkan sifat rahmah Allah Ta’ala) dan tidak ada perbedaan. Dalam bahasa Arab, penguatan makna ini disebut dengan ta’kiid. Inilah pendapat sebagian ulama, yaitu “Ar-Rahiim” berfungsi sebagai penguat untuk nama “Ar-Rahmaan”, karena keduanya memiliki makna yang sama.

Akan tetapi, dalam bahasa Arab terdapat sebuah kaidah,

تأسيس المعني مقدم علي التأكيد

“Memunculkan makna baru itu lebih didahulukan daripada menguatkan makna sebelumnya.”

Inilah yang lebih tepat, yaitu meskipun sama-sama berasal dari akar kata yang sama (yaitu rahmah), kedua nama Allah Ta’ala tersebut memiliki makna yang berbeda. Hal ini juga diperkuat dari sisi bahasa Arab, karena “Ar-Rahman” mengikuti pola (wazan) (فعلان) (fa’laan), sedangkan “Ar-Rahiim” mengikuti pola (فعيل) (fa’iil)Karena memiliki pola yang berbeda, maka maknanya pun juga menjadi berbeda.

 

Perbedaan pendapat para ulama tentang perbedaan nama Allah Ta’ala “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim”

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami perbedaan makna “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim”.

Pendapat pertama, “Ar-Rahman” menunjukkan rahmat Allah Ta’ala yang sangat luas, yang meliputi seluruh makhluk, termasuk hamba-Nya yang kafir. Hal ini sebagaimana kaidah dalam bahasa Arab, karena “Ar-Rahmaan” mengikuti pola (wazan) (فعلان) (fa’laan) yang berarti “penuh atau sangat banyak”. Contohnya adalah (غضبان) (ghadhbaan) yang menunjukkan orang yang sedang dipenuhi dengan rasa marah. Sehingga “Ar-Rahmaan” kurang lebih bermakna “Dzat yang dipenuhi rasa rahmah mencakup seluruh makhluk.”

Sedangkan “Ar-Rahiim” adalah rahmat yang khusus ditujukan untuk orang-orang yang beriman. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia (Allah) Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab [33]: 43)

Di antara ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala. (Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 5-6)

Inilah yang mungkin menjadi rahasia mengapa Allah Ta’ala memilih nama “Ar-Rahmaan” ketika menyebut sifat istiwa’ di atas ‘Arsy, dan tidak memilih “Ar-Rahiim”. Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang tinggi di atas ‘arsy.” (QS. Thaha [20]: 5)

Sisi kesesuaian pemilihan “Ar-Rahman” adalah bahwa ‘arsy merupakan makhluk Allah Ta’ala yang paling besar dan paling tinggi, dan menaungi seluruh makhluk yang lainnya.

Pendapat ke dua, “Ar-Rahman” menunjukkan sifat rahmat Allah Ta’ala sejak dahulu tanpa awal. Sedangkan “Ar-Rahiim” menunjukkan perbuatan (fi’il) Allah Ta’ala yang merahmati hamba-hamba-Nya yang berhak untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana dalam ayat di atas,

وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

“Dan adalah Dia (Allah) Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab [33]: 43)

Pendapat ke dua ini dipilih oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala. Dan di antara ulama kontemporer yang menguatkan pendapat ke dua ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala. (Syarh Al-Mandzumah Al-Baiquniyyah, hal. 15)

Pendapat yang lebih kuat: Di antara dua pendapat tersebut, pendapat yang -insyaa Allah- lebih tepat adalah pendapat ke dua. Hal ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada seluruh manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menyebut sifat “rahiim” dan dikaitkan dengan semua manusia (بِالنَّاسِ). Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, “manusia” di sini bersifat umum, mencakup muslim ataupun kafir, baik hamba-Nya yang shalih ataupun yang suka bermaksiat. Sehingga mengatakan bahwa “Ar-Rahiim” adalah rahmat yang khusus kepada hamba-Nya yang beriman itu tidaklah tepat berdasarkan ayat di atas. Sehingga yang lebih tepat adalah pendapat yang ke dua. Wallahu Ta’ala a’lam.

 

“Ar-Rahmaan” itu khusus milik Allah Ta’ala, berbeda dengan “Ar-Rahiim”

Perbedaan antara “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” lainnya adalah bahwa “Ar-Rahmaan” itu khusus untuk Allah Ta’ala. Sedangkan Allah Ta’ala terkadang mensifati sebagian hamba-Nya dengan sifat “rahiim”. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mensifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat rahmat, dengan memilih kata “rahiim” dan bukan “rahmaan”. Dan di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala tidak pernah mensifati hamba-Nya dengan “rahmaan”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa “rahmaan” adalah khusus untuk Allah, berbeda dengan “rahiim”.

Yang perlu diperhatikan adalah meskipun sebagian hamba memiliki sifat “rahiim”, sifat tersebut berbeda dengan sifat “rahiim” yang dimiliki oleh Allah Ta’ala. Karena sifat “rahiim” Allah adalah sesuai dengan keagungan, kebesaran dan kemuliaan Allah Ta’ala, dan sifat “rahiim” yang dimiliki hamba itu sesuai dengan yang layak untuk makhluk. Dan sifat Allah Ta’ala tidaklah sama atau serupa dengan sifat makhluk, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45078-perbedaan-antara-nama-allah-ar-rahman-dan-ar-rahiim.html

Jika Kalian Menjumpai Orang yang Sekarat…

JIKA ada seorang muslim yang sakit dan sekarat maka sangat dianjurkan bagi para kerabatnya agar hadir di situ. Yang demikian itu agar para kerabat bisa melaksanakan hal-hal yang disyariatkan kepada mereka terhadap orang yang sekarat tersebut. Berupa memejamkan kedua matanya, mentalqinkannya, menutupi jasadnya, dan lain-lain.

Di riwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu Anhu bahwa dia berkata: “Hadapkan wajahku ke arah kiblat.” (Lihat Manaar As Sabiil dan Irwa Al Ghalil)

Hal tersebut juga di sebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Maksudnya adalah membaringkannya di atas samping kanan dengan menghadap kiblat. Dari Syadad bin Aus Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

“Jika kalian menghadiri orang yang sekarat, maka pejamkanlah matanya, sebab mata itu mengikuti roh. Dan ucapkanlah yang baik-baik saja karena setiap yang diucapkan keluarga si mayit itu di amini oleh para malaikat.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim, sahih)

Juga dianjurkan bagi keluarga si mayit mentalqin mengajarinya dengan dua kalimat syahadat. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudriy, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: “Talqin (ajarilah) orang yang sekarat itu Laa ilaha Illallah.” (H.R Muslim dan Tirmidzi)

Dalam riwayat lain hadis yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal bahwa Nabi bersabda yang artinya: “Barang siapa yang akhir perkataannya adalah Laa ilaha illallah maka niscaya dia masuk surga.” (HR Abu Dawud dan Al-Hakim, sahih)

[Sumber: Al Muqarrib lii Ahkamil Janaiz oleh Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah Al-Uroifi dan di tahqiq oleh Al-Alamah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin]