Mencaci Maki di Medsos Bukan Ciri Muslim dan Beriman

AKHIR-AKHIR ini makin nyata adanya kelompok orang yang mengaku muslim dan beriman tetapi tidak menampakkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-harinya. Gejala ini sangat banyak kita temui baik dalam rutinitas keseharian apalagi di media sosial. Sumpah serapah dan caci maki, tak urung mewarnai “komunikasi” (kalau boleh disebut komunikasi) yang terjadi.

Kita pun dibuat bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin seorang yang mengaku Islam, melakukan hal-hal seperti itu?” Untuk memahaminya, perlu dijelaskan adanya perbedaan antara orang-orang muslim (ber-Islam), mukmin (beriman), dan muhsin (ber-ihsan).

Definisi keislaman dipaparkan dalam Al-Hujurat ayat 14: “Orang-orang Arab Badui (a’rab, pengembara Badui yang belum mengembangkan peradaban, bukan ‘arab) itu berkata: Kami telah beriman…. Katakanlah: Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah menjadi muslim (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”

Sedang definisi keimanan dipaparkan dalam Al-Anfal ayat 2 -3: “Sesungguhnya orang2 beriman ialah mereka yg bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Jadi kira-kira Muslim itu yang melaksanakan kewajiban syariah secara lahiriah, sedangkan Mukmin adalah sikap hati (batiniyah). Orang beriman (Mukmin) adalah yang gemetar hatinya bila mendengar kata Allah dan bertambah terus imannya ketika membaca ayat Allah. Mukmin menjaga dan menghayati shalatnya–yakni menghadirkan hati dalam ibadah–dan melahirkan amal-amal saleh antara lain dalam bentuk sedekah.

Sedang berkenaan dengan Ihsan, Allah Swt. berfirman dalam Al-Mulk, ayat 23: “… Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih sempurna amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Dalam hadis Jibril disebutkan ihsan adalah menyembahNya dalam keadaan kita (seolah-olah, yakni bukan dengan mata fisik) melihat Allah Swt. Atau kalau kita tidak bisa merasa seolah melihatNya, kita yakin bahwa Allah melihat/mengawasi kita. Dalam hadis lain dikatakan: “Allah Swt. cinta pada orang yang jika menyelesaikan pekerjaan, dia selesaikannya dengan ihsan (sempurna).”

Ada juga dalam hadis lain disebutkan: “Allah telah menetapkan al-ihsan dalam semua hal.” (HR Muslim)

Ada 166 ayat yang mengandung kata ihsan dan turunannya. Salah satunya yang populer: “Sungguh Allah menyuruh berlaku adil & berbuat ihsan serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl: 90 )

Segera tampak bahwa ihsan terkait erat dengan kepemilikan dan penerapan akhlak mulia secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, orang yang berihsan tak hanya menahan marah, tetapi juga memaafkan orang yang bersalah padanya dan menyempurnakannya dengan berbuat baik padanya.

Sebagaimana firmanNya dalam QS. Ali Imran: 134; “Dan orang yang menahan marahnya & yg memaafkan kesalahan org2. Dan Allah mencintai org yang menyempurnakan kebaikan (berbuat ihsan).”

Yang menarik dalam ayat di atas adalah bahwa Allah sendiri tidak pernah menyebut diriNya “mencintai orang-orang beriman” atau “orang-orang Muslim”, tetapi “mencintai orang-orang yang berihsan”.

Ihsan adalah menyempurnakan seluruh amal agar secara spiritual kita makin dekat kepadaNya. Maka tak sedikit ulama mengidentikkan Ihsan dengan tasawuf.

Dan bukan kebetulan juga tasawuf disebut mazhab cinta, yang mempromosikan hubungan saling cinta manusia dengan Allah (dan dengan manusia serta makhluk-makhluk lain). Penjelasan lbh panjang tentang tasawuf sbg mazhab cinta al. ada di buku saya: ISLAM Risalah Cinta dan Kebahagiaan.

Jadi, Islam-Iman-Ihsan sejajar dengan Syariah-Akidah-Tasawuf (akhlak). Ketiganya tak terpisahkan, tapi puncaknya adalah akhlak. Dengan kata lain, puncak keislaman kita harus terwujud pada kepemilikan/penerapan akhlak mulia. Tak akan banyak berarti bila kita mengaku Islam, dan tak akan terbukti mengaku beriman, kecuali jika kita telah benar-benar memiliki/menerapkan akhlak mulia. Inilah makna hadis Nabi Saw.: “Aku tak diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Demikian juga inti dari firmanNya yang sering kita ulang-ulang: “Dan tak Kami utus kau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat (kasih-sayang) untuk alam semesta.”

Maka, orang-orang yang mengaku Muslim tapi tak berakhlak mulia bisa jadi baru mencapai tahap Islam, mungkin iman, tetapi belum ihsan. WalLah a’lam. [haidar bagir dalam islamindonesia]

Islam Agama Santun: Jangan Mencela dan Caci Maki

ISLAM adalah agama santun dan penuh adab. Di dalam Islam tidak dikenal istilah mencela, apalagi mencaci maki. Islam tidak membenarkan apabila ada pemeluknya yang mencela dan mencaci maki pemeluk agama lain. Bahkan Islam mengancam orang yang kerjanya mencela dan mengumpat dengan neraka Wail, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela” (QS. Al-Humazah:1)

Dan kita pun dilarang memaki berhala-berhala yang disembah oleh orang kafir. Kita dibenarkan untuk memberikan penjelasan bahwa berhala itu tidak layak disembah. Dan bahwa benda yang tidak bisa bergerak, tidak makan tidak minum itu tidak pantas dijadikan sesembahan manusia. Namun caranya bukan dengan memaki berhala-berhala itu, sebab para penyembah berhala akan sakit hati dan akan balas memaki Allah Ta’ala. Itulah yang dilarang Alquran.

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 108)

Bagaimana dengan diskusi perbandingan agama?

Memang ada sebagian pemeluk agama yang terbiasa didoktrin dengan dogma-dogma oleh tokoh agama mereka, sehingga mereka sangat anti dengan diskusi masalah perbandingan agama. Bagi mereka, mau masuk akal atau tidak, pokoknya itulah dogma yang harus ditelan bulat-bulat. Berbeda dengan agama Islam yang sangat terbuka dengan diskusi dan dialog antar agama. Semua bisa dijawab, baik dengan cara logika apalagi dengan dalil-dalil wahyu.

Dan namanya diskusi agama, tentu kita bicara tentang argumentasi yang mendasari kenapa kita memilih dan memeluk suatu agama. Kalau dibilang tidak boleh mencari-cari kebenaran, tentu kurang tepat. Justru diskusi itu bertujuan untuk mencari konsep yang benar tentang sebuah agama. Tentu tidak sama antara berdiskusi tentang agama dengan mencela suatu agama. Sebagai muslim, kita diwajibkan menjelaskan kebenaran agama, sesuai dengan logika dan kebenaran yang turun dari Allah.

Kita tidak salah ketika melakukan studi komparasi titik kebenaran antara satu agama dengan agama lain. Bukan dalam rangka menjelekkan atau menghina, tetapi dalam rangka menjelaskan anatomi agama Islam. Sebab kita memang diwajibkan untuk menjelaskan seperti apakah Islam itu. Tapi kita tidak pernah diwajibkan untuk memastikan orang-orang untuk masuk Islam.

Maka tentu saja diskusi memberikan penjelasan tentang sistem ketuhanan dalam agama Islam adalah hal yang wajar, masuk akal, logis dan santun. Kita diwajibkan untuk mengenalkan konsep Islam kepada orang di luar Islam, tanpa diharuskan agar mereka masuk Islam. []

Shafa dan Marwah Simbol Kewajiban Manusia untuk Berusaha

Ibadah Sa’i adalah berjalan kaki dan berlari-lari kecil di antara kedua bukit tersebut, sebanyak tujuh kali (bolak-balik) dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah dan sebaliknya. Dan, ketika melintasi Bathnul Waadi, yaitu kawasan yang terletak di antara Bukit Shafa dan Marwah (saat ini ditandai dengan lampu neon berwarna hijau), para jamaah pria disunahkan untuk berlari-lari kecil, sedangkan untuk jamaah wanita berjalan cepat. Ibadah Sa’i boleh dilakukan dalam keadaan tidak berwudhu dan oleh wanita yang datang haid atau nifas.

Jauh sebelum perintah ibadah haji dilaksanakan, Bukit Shafa dan Marwah telah menjadi saksi sejarah perjuangan seorang ibu dalam menyelamatkan anaknya dari kehausan puluhan abad silam.

Bukit Shafa dan Marwah tidak dapat dipisahkan dengan kisah istri Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS), yaitu Siti Hajar dan putranya Ismail AS. Seperti diketahui, Ibrahim AS memiliki dua orang istri, yakni Siti Sarah dan Siti Hajar. Namun, ketika Siti Hajar memiliki putra (Ismail), timbul kecemburuan dalam diri Siti Sarah. Dan, ia meminta kepada Ibrahim agar antara dirinya dan Siti Hajar segera dipisahkan. Siti Sarah tidak mau hidup bersama dalam satu negeri dengan Siti Hajar. Waktu itu, Nabi Ibrahim tinggal di Hebron, Palestina.

Kemudian, turunlah wahyu kepada Nabi Ibrahim supaya Ia bersama-sama dengan anak dan istrinya (Ismail dan Hajar) pergi ke Makkah. Di waktu itu, Makkah belum didiami manusia, hanya merupakan lembah pasir dan bukit-bukit yang tandus dan tidak ada air. Di tempat inilah, keduanya ditinggalkan Ibrahim.

Siti Hajar merasa sedih saat ditinggalkan begitu saja di tempat yang tak ada orang itu. Ia lalu bertanya kepada Ibrahim.

“Hendak ke manakah engkau Ibrahim?”

“Sampai hatikah engkau meninggalkan kami berdua di tempat yang sunyi dan tandus ini?”

Pertanyaan itu berulang kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak menjawab sepatah kata pun juga.

Siti Hajar bertanya lagi,

“Adakah ini memang perintah dari Allah?”

Barulah Nabi Ibrahim menjawab, “ya.”

Mendengar jawaban suaminya yang ringkas itu, Siti Hajar gembira dan hatinya pun menjadi tenteram. Ia percaya hidupnya tentu terjamin walaupun di tempat yang sunyi, tidak ada manusia dan tidak ada segala kemudahan. Sedangkan waktu itu, Nabi Ismail masih menyusu.

Kecintaan Ibrahim kepada Allah dan menuruti perintah-Nya, melebihi segalanya. Ia pun memasrahkan semuanya kepada Allah dan berdoa, ”Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim ayat 37).

Sewaktu Ismail dan ibunya hanya berdua dan kehabisan air untuk minum di lembah pasir dan bukit yang tandus, Siti Hajar pergi mencari air pulang pergi dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah sebanyak tujuh kali.

Saat kali ketujuh (terakhir), ketika sampai di Marwah, tiba-tiba terdengar oleh Siti Hajar suara yang mengejutkan, lalu ia menuju ke arah suara itu. Alangkah terkejutnya, bahwa suara itu ialah suara air memancar dari dalam tanah dengan derasnya di bawah telapak kaki Ismail. Air itu adalah air zam-zam.

Di lokasi ini pula, Siti Hajar mendengar suara malaikat Jibril dan berkata kepadanya, “Jangan khawatir, di sini Baitullah (rumah Allah) dan anak ini (Ismail) serta ayahnya akan mendirikan rumah itu nanti. Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.”

Air zam-zam mempunyai keistimewaan dan keberkatan, yakni boleh menyembuhkan penyakit, menghilangkan dahaga, serta mengenyangkan perut yang lapar. Keistimewaan dan keberkatan itu disebut dalam sepotong hadis Nabi yang bermaksud, ”Dari Ibnu Abbas RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda: ‘Sebaik-baik air di muka bumi ialah air zam-zam, ia merupakan makanan yang mengenyangkan dan penawar bagi penyakit’.” Riwayat At-Tabrani dan Ibnu Hibban. (Mengenai keistimewaan air zam-zam ini, sudah pernah diulas dalam rubrik Situs Islam Digest Republika ini pada edisi 1 Februari 2009).

Upaya Siti Hajar yang berusaha mencari air guna memenuhi kebutuhan dirinya dan Ismail, telah diabadikan oleh Allah bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah haji maupun umrah.

”Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka, barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan Sa’i antara keduanya. Dan, barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah (2) : 158).

Rasulullah SAW bersabda, ”Mulailah (kalian) dengan yang dimulai Allah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah). Maksud dari pernyataan tersebut adalah dalam melaksanakan Sa’i itu di antara Shafa dan Marwah.

Menurut Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Atlas Hadis, Marwah adalah sebuah bukit kecil di Makkah al-Mukarramah yang bersambung ke Bukit Shafa, yaitu sebuah bukit kecil yang landai ke arah al-Humrah atau menyambung ke Bukit Abu Qubais.

Di antara Bukit Shafa dan Marwah ini dibuat saluran air ketika perluasan Masjidil Haram yang baru. Sehingga, air dapat mengalir di antara masjid dan bukit.

Bukit Marwah berada di Kota Makkah di samping Bukit Qa’aiqa’ah. Jarak antara keduanya mencapai 394,5 meter. Sekarang, tempat untuk melaksanakan Sa’i ini mengalami perluasan. Luasnya mencapai 20 meter dengan tinggi tembok lantai bawah mencapai 11,75 meter. Adapun tembok lantai atas tingginya 8,5 meter.

Dari segi fisik, tidak ada yang istimewa dari kedua bukit itu. Namun, tujuan Allah memerintahkan Ibrahim agar membawa Hajar dan anaknya, Ismail, ke tempat yang gersang dan tandus itu, karena di lokasi tersebut tempat rumah Allah (Baitullah) berdiri. Apalagi, dalam sejumlah penelitian disebutkan, Ka’bah di Makkah merupakan pusat bumi. Wa Allahu A’lam.

Oleh: Syahruddin el Fikri

IHRAM REPUBLIKA

Keadaan Seorang Hamba yang Terdekat dengan Allah

ALLAH Maha Dekat. Kedekatan Allah adalah pengawasan pada seluruh makhlukNya. Dan kedekatan Allah bermakna pula dekatnya pertolonganNya. Dan makna kedekatan Allah yang kedua ini hanya khusus terjadi pada hamba-Nya yang beriman.

Banyak cara agar seorang abdillah (hamba Allah) dapat dekat dengan Allah. Di antaranya adalah dengan bersabar. Sebagaimana dalam beberapa ayat dapat ditemukan firman Allah yang menegaskan Allah bersama orang-orang yang sabar.

Sujud dalam shalat kita, itu pun adalah posisi dan saat di mana seorang hamba Allah dekat dengan Rabbul alamin. Karenanya menjadi sunnah Nabi pula agar kita memperbanyak berdoa saat sujud kita. Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah dalam keadaan dia sujud, maka perbanyaklah doa”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, keadaan tersebut termasuk sarana dikabulkan doa kita, seperti dalam potongan hadits berikut yang diriwayatkan Imam Muslim dan an Nasa-i, dari hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma, Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Sedangkan sujud, maka bersungguh-sungguhlah memperbanyak doa, karena pantas untuk dikabulkan,”.

Memperbanyak membaca doa waktu sujud tentunya akan memperlama sujud kita. Maka sujud seperti ini kita lakukan dalam shalat sunnah, yang kita tidak sedang berjamaah.

Sebab meringankan sholat ketika kita menjadi imam sholat berjamaah, adalah sunnah nabiNya –tentunya dengan tetap memerhatikan tumaninah atau khusyu’ sebagai rukun sholat.

Dan ketika menjadi makmum pun, mengikuti gerakan imam (perpindahan gerakan sholat) adalah pula sunnah Nabi. Maka menetapi sunnah Nabi diutamakan dalam hal ini. Maka bukan sunnah Nabi bagi makmum yangmemperlama sujud sedangkan imam sudah pada gerakan sesudah sujud.

Allahu A’lam.

 

 

Bayar Cicilan Lebih Cepat Peroleh Diskon, Ribakah?

PADA prinsipnya penjual berhak menawarkan barangnya dengan harga sesuai yang dia inginkan. Karena barang yang dia jual adalah milik dia. Dan seseorang berhak untuk memberlakukan barangnya sesuai yang dia inginkan. Sehingga, penjual berhak menurunkan harga, memberi diskon atau potongan kepada konsumennya. Dia juga berhak menetapkan harga yang berbeda untuk konsumennya. Konsumen si A diberi harga Rp 1000; sementara konsumen si B diberi harga Rp 1500.

Lalu bagaimana dengan kasus memberi diskon untuk barang yang sudah diakadkan? Misal, pada waktu akad, barang dijual dengan harga 2jt secara kredit selama 1th. Dalam perjalanannya, konsumen bisa melunasi 6 bulan lebih cepat. Bolehkah konsumen meminta diskon? Atau bolehkan penjual memberi diskon? Apakah ini tidak termasuk jual beli 2 harga? Sebelumnya, kita kembalikan kepada hadis mengenai jual beli 2 harga. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, “Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.” (HR. Ahmad 9834, Nasai 4649, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang melakukan 2 transaksi dalam satu transaksi maka dia hanya boleh mendapatkan kebalikannya (yang paling tidak menguntungkan) atau riba.” (HR. Abu Daud 3463, Ibnu Hibban 4974 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Di antara tafsir mengenai jual beli 2 harga, disebutkan oleh Turmudzi dalam kitab Jaminya, “Sebagian ulama menafsirkan, bahwa dua transaksi dalam satu akad, bentuknya, penjual menawarkan: “Baju ini aku jual ke anda, tunai 10 dirham, dan jika kredit 20 dirham. Sementara ketika mereka berpisah, belum menentukan harga mana yang dipilih. Jika mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, dibolehkan, jika disepakati pada salah satu harga.” (Jami at-Turmudzi, 5/137).

Tafsir ini yang lebih masyhur dalam mazhab Syafiiyah. Ketika penjual menawarkan, “Saya jual barang ini, jika tunai 10 rb, jika kredit 2 bln, jadinya 15 rb.” Lalu barang dibawa pembeli dan barang mereka bawa tanpa menentukan harga mana yang diambil. Harga tunai ataukah harga kredit. Ini hukumnya dilarang. Namun jika mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, hukumnya dibolehkan.

Artinya, selama pada saat deal transaksi harga yang ditetapkan satu, transaksinya boleh. Artinya, bisa saja harga diubah di belakang hari setelah pembayaran lunas, selama tidak ada kesepakatan di depan. Karena jika ada kesepakatan diskon di depan disebabkan pembayaran yang lebih cepat, maka termasuk jual beli 2 harga. Sebagai ilustrasi, untuk harga kredit 1 tahun senilai 2jt, ada perjanjian, jika konsumen bisa melunasi kurang dari 6 bulan, akan mendapat diskon 10%.

Ketika kesepakatan ini dijalankan, terjadilah transaksi yang mengandung 2 harga. Harga 1 tahun, dan harga 6 bulan dengan potongan 10%, yaitu 1,8jt. Dan keduanya berlaku dalam akad yang sama. Akan tetapi jika diskon karena pembayaran lebih cepat tidak disyaratkan di depan, tidak ada masalah insyaa Allah. Inilah yang menjadi salah satu keputusan Majma al-Fiqhi al-Isami dalam muktamarnya ke-7 yang diselenggarakan di Jedah KSA, Dzulqadah 1412 H. Pada keputusan nomor 64, poin ke-4 dinyatakan,

Potongan pelunasan untuk pembayaran terutang, karena dibayarkan lebih cepat, baik atas permintaan kreditor maupun debitor, hukumnya boleh. Tidak termasuk dalam riba yang dilarang, selama tidak ada kesepakatan di depan. Selama keterkaitan antara kreditor dan debitor hanya 2 pihak (tidak ada pihak ketiga). (Majalah al-Majma, volume 6/1, hlm. 193). Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

Apakah Rasulullah Dibekali Mukjizat Selain Alquran?

Rasulullah SAW, tidak hanya dibekali mukjizat terbesar sepanjang sejarah, yaitu Alquran. Tetapi, Allah SWT memberikan mukjizat fisik lain yang menjadi penguat tanda kerusalan Muhammad SAW. Selain peristiwa isra’ dan mi’raj, Rasul juga dibekali sejumlah mukjizat fisik.

Lembaga Fatwa Dar al-Ifta’ Mesir, membeberkan beberapa mukjizat fisik Rasulullah di antaranya sebagai berikut:

Yang pertama, kemampuan’ menangkap informasi terkait masa depan persoalan tertentu (tannabu’). Di antaranya, Rasulullah mendapatkan kabar tentang penaklukkan Mesir sebelum negara ini benar-benar ditaklukkan oleh Amr bin Ash. Kemampuan pembacaan tersebut diabadikan apik dalam hadis riwayat Muslim.

Kedua, kemampuan berbicara dengan makhluk hidup, tak terkecuali tumbuh-tumbuhan. Dalam suatu perjalanan di Makkah, Ali bin Abi Thalib mengisahkan, tidaklah Rasulullah melewati pohon dan perbukitan, kecuali bukit dan pepohonan tersebut mengucapkan salam ke Baginda Rasul. (HR Tirmidzi).

Ketiga, keluarnya air dari jemari Rasulullah. Peristiwa tersebut menurut Jabir bin Abdullah, benar-benar terjadi pada peristiwa Hudaibiyah. Ketika itu, para sahabat tengah dilanda rasa haus, sementara perbekalan air yang tersisa hanyalah satu kantong air kecil yang dipegang Rasul.

Lalu Rasul memasukkan jarinya ke kantong air tersebut dan tiba-tiba air keluar dari jemari Rasulullah seperti mata air yang deras. Para sahabat lantas menggunakan air melimpahw tersebut untuk wudhu dan minum. Jabir mengisahkan jumlah mereka pada saat itu 115 orang, seandainya ada 100 ribu pun niscaya air itu mencukupi.

Keempat, terbelahnya bulan. Suatu ketika, penduduk Makkah meminta Rasulullah menunjukkan bukti kerasulan Muhammad SAW. Rasul menunjukkan kepada mereka bulan terbelah sampai Gua Hira’ tampak di sela-sela dua belahan bulan tersebut. (HR Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik RA).

KHAZANAH REPUBLIKA

6 Langkah Reformasi Kemenag ini Lindungi Jemaah Umrah

Jakarta (PHU)–Penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah kini bukan lagi urusan orang kota saja, serta bukan lagi urusan orang kaya semata, tetapi sudah menjadi urusan seluruh lapisan masyarakat. Perubahan kebijakan serta pergeseran segmen dan karakter Jemaah yang teramat dinamis mengharuskan pemerintah mengambil langkah-langkah reformasi supaya negara tetap hadir di tengah Jemaah.

Demikian dikatakan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Nizar dalam laporannya saat Penandatanganan nota kesepahaman tentang Pencegahan, Pengawasan, dan Penanganan Permasalahan Penyelenggaraan Ibadah Umrah 9 Kementerian/Lembaga di Hotel Borobudur Jakarta. Jumat (08/02).

Saat ini, kata Nizar, Langkah-langkah reformasi yang telah dilakukan Kemenag di antaranya adalah Penguatan regulasi dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018; Penguatan kelembagaan dengan pembentukan unit eselon II tersendiri sejak tahun 2017; Pelayanan perizinan secara online yang terintegrasi dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kemenag.

Selanjutnya adalah Sertifikasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) sebagai Biro Perjalanan Wisata yang akan rampung Maret tahun ini; Nota Kesepahaman dengan Komite Akreditasi Nasional untuk Pelaksanaan Akreditasi PPIU oleh Lembaga yang akan dimulai pada tahun ini, serta Pembangunan Sistem Pendaftaran dan Pengawasan Umrah secara elektronik yang terintegrasi sebagai pengembangan dari SIPATUH yang telah rilis tahun 2018 yang lalu.

“Keenam langkah ini merupakan langkah pemerintah supaya negara tetap hadir di tengah Jemaah,” kata Nizar

Upaya peningkatan kualitas ini akan terus dilakukan Kemenag. Saat ini pihaknya sedang mengupayakan penguatan kelembagaan di tingkat Kanwil dengan mengubah/menambah nomenklatur Seksi Pembinaan dan Pengawasan Haji Khusus dan Umrah serta penambahan staff teknis umrah pada Kantor Urusan Haji Indonesia di Jeddah.

Demikian pula penguatan regulasi melalui internalisasi regulasi umrah dalam pembahasan RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, serta upaya pengintegrasian sistem dengan berbagai stake holder yang terkait, termasuk dengan e-Umrah di Arab Saudi.

“Upaya-upaya itu terus dilakukan untuk memastikan bahwa reformasi umrah akan menghasilkan sistem penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah yang zero persoalan, dan bahkan akan memberikan manfaat bagi bangsa indonesia secara umum,” ujarnya.

Pada aspek penegakan hukum dan regulasi, lanjut Nizar, akan terus melakukan koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah dengan para stake holder terkait untuk memastikan bahwa penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah itu on the rail, sesuai dengan visi yang kita tuju.

“Hal ini penting untuk menimbulkan kesadaran bersama bahwa penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah merupakan tugas nasional, seperti halnya ibadah haji, yang memerlukan partisipasi banyak pihak,” tutur mantan Kakanwil Kemenag Yogyakarta ini.

“Karena itulah, kami berinisiatif untuk merangkul Kementerian dan Lembaga yang terkait untuk membentuk satu wadah koordinasi bersama yang akan memastikan bahwa tugas nasional ini dapat terlaksana dengan baik,” sambung Nizar.(ha/ha)

Melawan Diri Sendiri

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ketika pasukan kaum Muslim pulang dari Perang Uhud, Rasulullah SAW berpesan, “Kita baru pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu.”

Sekalipun banyak muhaddist (pakar ilmu hadis) mempertanyakan kesahihan riwayat hadis tersebut, secara maknawi hadis ini sangatlah sesuai dengan realitas. Faktanya, memang melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.

Berjihad mengangkat senjata seluruhnya adalah kebaikan. Jika kalah dan terbunuh, akan mendapatkan syahid yang tentunya masuk surga. Jika menang, kemuliaan, mendapatkan rampasan perang, serta ganjaran besar siap menanti. Tiada kerugian bagi mereka yang berperang melawan musuh.

Namun, perperangan melawan hawa nafsu yang ada dalam diri sendiri ternyata tidaklah segampang itu. Jika kalah, akan mendapatkan neraka. Jika menang, akan diuji dengan godaan yang lebih berat lagi. Senantiasa akan terus seperti itu sampai akhirnya ajal menjemput. Pertempuran melawan hawa nafsu dan diri sendiri ternyata sangatlah berisiko.

Perang melawan diri sendiri mengisyaratkan perang yang terberat daripada perang melawan musuh Islam. Dalam Alquran ditekankan, untuk melawan sesuatu yang datang dari dalam diri jauh lebih berat daripada melawan musuh dari luar.

Dalam surah an-Naas disampaikan, “Katakanlah, aku berlindung dengan Rabb manusia. Penguasa manusia. Sembahan manusia. Dari waswas (bisikan) setan yang bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (Yang berasal) dari jin dan manusia.” (QS an-Naas [114]: 1-6). Dalam surat ini, manusia diperintahkan untuk berlindung kepada Allah sebanyak tiga kali. Seorang Muslim disuruh berlindung kepada Allah sebagai Rabb, Penguasa, dan Sembahan manusia. Semua itu hanya untuk menghadapi rasa waswas yang datang dari dalam dirinya.

Berbeda dengan surah al-Falaaq yang mengatakan, “Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan, dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan, dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang mengembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (QS al-Falaaq [113]: 1-5). Dalam surah ini, perintah untuk berlindung kepada Allah hanya satu kali. Padahal, kejahatan yang menyerangnya datang dari beraneka ragam, yakni kejahatan malam, wanita tukang sihir, dan para pendengki.

Dari surah an-Naas dan surah al-Falaaq disimpulkan, melawan sesuatu yang datang dari diri sendiri jauh lebih berat ketimbang melawan musuh dari luar. Untuk itulah, seseorang diseru untuk berlindung tiga kali lebih banyak ketika menghadapi dirinya sendiri.

Seseorang yang dapat mengangkat beban yang sangat berat terkadang tidak mampu mengangkat selimutnya untuk menunaikan shalat Subuh atau shalat Tahajud. Seorang yang melakukan perjalan sangat jauh terkadang tak mampu berjalan ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Hal ini membuktikan, melawan godaan yang datang dari diri sendiri lebih berat ketimbang melawan sesuatu yang nyata dari luar. Menaklukkan hawa nafsu dan melawan godaan-godaan setan ternyata lebih berat daripada melawan musuh Islam.

Dalam surah an-Naas juga diisyaratkan, betapa hebatnya rasa waswas dan galau yang diciptakan setan bagi manusia. Waswas adalah usaha setan mengganggu seseorang Muslim agar tidak memiliki keikhlasan dalam ibadahnya. Waswas juga membuyarkan sesuatu yang sudah jelas dalam ajaran agama.

Rasa waswas yang diciptakan setan juga bisa menjadikan seseorang seperti orang gila. Terkadang, ia bisa mengulang-ngulang perbuatan yang sama. Seperti ragu, apakah ia lepas angin atau tidak. Hal ini seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Apabila ada di antara kalian ketika shalat merasakan ada yang bergerak dalam duburnya seperti berhadas atau tidak dan dia ragu, maka janganlah dibatalkan shalatnya sehingga mendengarkan suaranya atau mencium baunya.” (HR Abu Daud, Ahmad, dan Baihaqi).

Hal ini juga dikuatkan dalam sebuah kaidah fikih, “Suatu keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan.” Kesimpulannya, sesuatu yang hanya berdasar pada perasaan atau keraguan tidak bisa dijadikan pedoman untuk memutuskan bahwa wudhu atau shalat kita itu batal. Tentu saja, keraguan lebih tidak bisa lagi untuk memutuskan perkara yang lebih besar dari sekadar wudhu.

Demikian juga rasa waswas dan galau yang menjangkiti generasi muda umat Islam. Dengan galau yang meliputi hati, menjadikan generasi muda tidak lagi produktif dan bermanfaat. Padahal, banyak kreativitas dan prestasi yang bisa diraih ketika usia masih muda.

Surah an-Naas menegaskan, seseorang tidak bisa menganggap enteng bisikan-bisikan negatif yang datang dari dalam dirinya. Berlindunglah kepada Allah tiga kali lebih banyak untuk menaklukkan diri sendiri. Banyak orang hebat ditumbangkan karena tak mampu melawan godaan dari dalam dirinya. Banyak pejabat hebat yang terjatuh karena tak mampu melawan bisikan korupsi dari dalam dirinya. Semoga kita bisa menjinakkan nafsu yang membara dalam diri menuju pada ridha Allah SWT.

Hidup Harus Lurus

ALHAMDULILLAHI ROBBIL AALAMIIN. Segala puji hanyalah milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Mendengar setiap bisikan hati kita, menjadikan kita orang-orang yang peka untuk menerima nasehat dan petunjuk kebenaran, sehingga kita senantiasa berada di jalan-Nya yang lurus. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah Saw.

Saudaraku, kita sering membaca ayat ini, “Ihdinash shiroothol mustaqiim” yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al Faatihah [1] : 6).

Setiap perintah Allah Swt adalah kebaikan bagi kita. Setiap perintah Allah Swt pasti membahagiakan, pasti menyelamatkan, pasti memuliakan kita. Demikian juga halnya dengan larangan-larangan Allah Swt terhadap kita. Setiap larangan itu tiada lain adalah untuk kebaikan dan keselamatan kita. Karena sesungguhnya Allah adalah pencipta kita, dan Allah Maha Tahu segala kelemahan kita. Setiap larangan Allah Swt jika kita langgar pasti akan mendatangkan keburukan, kehinaan dan kecelakaan bagi kita sendiri.

Allah Swt Maha Mengetahui bagaimana diri kita sebenarnya. Allah tahu kekuatan dan kelemahan kita. Untuk itulah Allah Swt menghadirkan perintah dan larangan yang tujuannya adalah untuk kebaikan kita.

Oleh sebab itu, jika kita ingin hidup kita diurus oleh Allah Swt, maka kuncinya sederhana saja. Yaitu, lakukanlah apa yang Allah Swt sukai. Carilah ilmunya mengenai apa saja yang Allah Swt sukai dan apa saja yang Allah tidak suka. Apa yang Allah sukai maka lakukan, dan apa yang tidak Allah suka maka tinggalkan. Penuhi prinsip ini secara ikhlas.

Allah Maha Mengetahui, Allah Maha Memperhatikan, Allah Maha Melihat kepada hamba-Nya yang sekuat tenaga mematuhi setiap perintah dan larangan-Nya. InsyaaAllah, Allah akan mencukupi setiap apa yang menjadi kebutuhan hamba-Nya.

Jadi, tidak perlu kita menyalahkan siapapun jikalau kita menemui kesulitan-kesulitan hidup. Karena Allah Swt berfirman, “In ahsantum ahsantum lii anfusikum, walain asa-tum falahaa”, yang artinya, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.” (QS. Al Israa [17] : 7)

Tidak akan ada yang tertukar. Setiap kebaikan yang kita lakukan, buahnya akan kembali kepada kita, dan setiap keburukan yang kita lakukan, hasilnya pun akan kembali kepada kita. Oleh karena itu, jika kita meresa hidup kita penuh sekali dengan kesulitan, kesusahan, pasti itu buah dari perbuatan kita sendiri yang belum kita taubati.

Saudaraku, setiap dosa yang kita lakukan adalah bagaikan kita menanam ranjau di sebuah jalan yang mana kita akan berjalan di atas jalan itu dan menginjaknya. Tidak ada yang mencelakakan kita selain keburukan kita sendiri.

Maka, barangsiapa yang ingin hidupnya diurus oleh Allah Swt, berpikirlah sebagaimana yang Allah sukai. Bertuturkatalah dan berbuatlah sebagaimana yang Allah ridhoi. Juga milikilah qolbun saliim, hati yang bersih.

Jika sudah demikian, maka selebihnya adalah bagian Allah Swt yang akan mengurus kita. Tugas kita adalah patuh kepada Allah, dan Allah yang akan mengurus kita. Allah Swt yang menciptakan kita, yang mengetahui setiap keperluan kita, yang kuasa mencukupi kita. Kepatuhan kitalah yang akan mengundang pertolongan-Nya. WAllahu alam bishowab.[smstauhiid]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar