Panduan I’tikaf Ramadhan

Bagaimana panduan i’tikaf?

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”[8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

  1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

  1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  4. Mandi dan berwudhu di masjid.
  5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan

Sumber https://rumaysho.com/1150-panduan-itikaf-ramadhan.html

14 Amalan yang Keliru di Bulan Ramadhan

Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin.

1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan

Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan

Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!

3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

“Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak memakai kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula memakai hisab (dalam penetapan bulan). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal ramadhan dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syari’at ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini  kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari, 6/156)

4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)

Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin…”

Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,

لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ

“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)

6. Membangunkan “Sahur … Sahur”

Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur … sahur ….” baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.” (Lihat pembahasan at Tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336)

7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ

“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah yang melintang.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih). Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata, “Berapa lama jarak antara adzan Shubuh dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan adzan? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit)

8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…”

Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).

Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)

9. Dzikir Jama’ah Dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat Lima Waktu

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189)

10. “Ash Sholaatul Jaami’ah…” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih

Ulama-ulama Hambali berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah…” Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah)

11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

12. Perayaan Nuzulul Qur’an

Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan,

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)

13. Membayar Zakat Fithri dengan Uang

Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum– akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)

14. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Hari Raya kepada Pemerintah

Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat (tentang penetapan 1 Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.” (Fatawa no. 388)

Demikian beberapa kesalahan atau kekeliruan di bulan Ramadhan yang mesti kita tinggalkan dan mesti kita menasehati saudara kita yang lain untuk meninggalkannya. Tentu saja nasehat ini dengan lemah lembut dan penuh hikmah.

Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan diri dari hal yang tidak diperbolehkan) dan memberikan kita kecukupan. Semoga Allah memperbaiki keadaan setiap orang yang membaca risalah ini.

Wa shallallahu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/1298-14-amalan-yang-keliru-di-bulan-ramadhan.html

Apapun Keadaanya, Jangan Pernah Tinggalkan Majelis Ilmu

“Pada mejelis ilmu ada dua hal utama yang membuat istiqamah sampai ajal menjemput: pertama adalah ilmu yang menjaga kita dan kedua adalah sahabat yang shalih yang selalu meingingatkan akan akhirat”

Saudaraku, apapun keadaannya dan bagaimanapun kondisinya, jangan pernah meninggalkan majelis ilmu. Jangan lah tinggalkan secara total, jika tidak bisa sepekan sekali, mungkin sebulan sekali, jika tidak bisa mungkin 2 atau 3 bulan sekali, insyaallah waktu itu selalu ada, yang menjadi intinya adalah apakah kita memprioritaskan atau tidak? Jika tidak menjadi prioritas, maka tidak akan ada waktu dan tidak akan ada usaha untuk itu. Jangan pernah juga meninggalkan majelis ilmu karena sudah merasa berilmu atau telah menjadi “ikhwan senior”, para ustadz dan ulama pun terus belajar dan menuntut ilmu.

Saudaraku, mereka yang berguguran dipersimpangan jalan dakwah adalah orang perlahan-lahan meninggalkan majelis ilmu secara total, baik itu tenggelam dengan kesibukan dunia atau merasa sudah berilmu kemudian menjadi sombong dan tergelincir.

Abdullan bin Mubarak menunjukkan keheranan, bagaimana mungkin seseorang jiwanya baik jika tidak mau menuntut ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Beliau berkata,

عجبت لمن لم يطلب العلم, كيف تدعو نفسه إلى مكرمة

“Aku heran dengan mereka yang tidak menuntut ilmu, bagaimana mungkin jiwanya bisa mengajak kepada kebaikan.”? [Siyar A’lam AN-Nubala 8/398]

Sebagaimana yang kita sampai di awal bahwa pada majelis ilmu terdapat dua faktor utama agar seseorang bisa istiqamah:

[1] Ilmu yang menjaganya

Dengan ilmu dan pemahaman yang benar seseorang agar terjaga dari kesalahan dan ketergelinciran.

Ibnul Qayyim berkata,

ﺃﻥ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻳﺤﺮﺱ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻭﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻳﺤﺮﺱ ﻣﺎﻟﻪ

“Ilmu itu menjaga pemiliknya sedangkan pemilik harta akan menjaga hartanya.”[Miftah Daris Sa’adah 1/29]

Dengan menghadiri majelis ilmu juga akan menimbulkan ketenangan dan kebahagiaan yang mejadi tujuan seseorang hidup di dunia ini. Apabila niatnya ikhlas, maka ia akan merasakan ketenangan di majelis ilmu dan akan terus mencari majelis ilmu di mana pun berada.

Majelis ilmu adalah taman surga yang membuat seseorang merasakan ketenangan.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” [HR Tirmidzi, no. 3510, Ash Shahihah, no. 2562]

 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

إن للذكر من بين الأعمال لذة لا يشبهها شيء، فلو لم يكن للعبد من ثوابه إلا اللذة الحاصلة للذاكر والنعيم الذي يحصل لقلبه لكفى به، ولهذا سميت مجالس الذكر رياض الجنة

“Sesungguhnya dzikir di antara amal memiliki kelezatan yang tidak bisa diserupai oleh sesuatupun, seandaikan tidak ada balasan pahala bagi hamba kecuali kelezatan dan kenikmatan hati yang dirasakan oleh orang yang berdziki, maka hal itu [kenikmatan berdzikit saja, pent] sudah mencukupi, oleh karena itu majelis-majelis dzikir dinamakan taman-taman surga.” [Al-Wabilush Shayyib hal. 81, Darul Hadist, Koiro,, Asy-Syamilah]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim, no. 2699].

[2] Di majelis ilmu kita akan bertemu dengan sahabat yang selalu mengingatkan akan akhirat

Di majelis ilmu kita akan berjumpa dengan sahabat yang benar-benar sejati, yaitu sahabat yang selalu memberikan nasihat dan mengingatkan kita apabila salah. Sebuah ungkapan arab berbunyi:

ﺻﺪﻳﻘﻚ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ ﻻ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ

“Shadiqaka man shadaqaka laa man shaddaqaka”

“Sahabat sejati-mu adalah yang senantiasa jujur (kalau salah diingatkan), bukan yang senantiasa membenarkanmu”

Dengan Sering berjumpa dengan orang shalih yang sabar dengan kehidupan dunia ini dan tidak rakus akan harta dan kedudukan, hidup kita akan mudah dan lebih bahagia.

Perhatikan bagaimana Ibnul Qayyim mengisahkan tentang guru beliau Ibnu Taimiyyah, beliau berkata:

وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة

“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang[ Al-wabilush shayyib hal 48, Darul Hadits, Syamilah]

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45155-apapun-keadaanya-jangan-pernah-tinggalkan-majelis-ilmu.html

Keutamaan Menghadiri Majelis Ilmu Di Masjid

1.Dimudahkan jalannya menuju surga

Orang yang keluar dari rumahnya menuju masjid untuk menuntut ilmu syar’i, maka ia sedang menempuh jalan menuntut ilmu. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن سلَك طريقًا يطلُبُ فيه عِلْمًا، سلَك اللهُ به طريقًا مِن طُرُقِ الجَنَّةِ

Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga” (HR. At Tirmidzi no. 2682, Abu Daud no. 3641, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

 

2. Mendapatkan ketenangan, rahmat dan dimuliakan para Malaikat

Orang yang mempelajari Al Qur’an di masjid disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapat ketenangan, rahmat dan pemuliaan dari Malaikat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَه

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), mereka akan dinaungi rahmat, mereka akan dilingkupi para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi para makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya” (HR. Muslim no. 2699).

Makna dari وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ “mereka akan dilingkupi para malaikat“, dijelaskan oleh Al Mula Ali Al Qari:

مَعْنَاهُ الْمَعُونَةُ وَتَيْسِيرُ الْمُؤْنَةِ بِالسَّعْيِ فِي طَلَبِهِ

“Maknanya mereka akan ditolong dan dimudahkan dalam upaya mereka menuntut ilmu” (Mirqatul Mafatih, 1/296).

 

3. Merupakan jihad fi sabilillah

Orang yang berangkat ke masjid untuk menuntut ilmu syar’i dianggap sebagai jihad fi sabilillah. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن دخَل مسجِدَنا هذا لِيتعلَّمَ خيرًا أو يُعلِّمَه كان كالمُجاهِدِ في سبيلِ اللهِ ومَن دخَله لغيرِ ذلكَ كان كالنَّاظرِ إلى ما ليس له

Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarinya, maka ia seperti mujahid fi sabilillah. Dan barangsiapa yang memasukinya bukan dengan tujuan tersebut, maka ia seperti orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya” (HR. Ibnu Hibban no. 87, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Mawarid, 69).

 

4. Dicatat sebagai orang yang shalat hingga kembali ke rumah

Jika seorang berangkat ke masjid berniat untuk shalat, kemudian setelah shalat ada pengajian (majelis ilmu), maka selama ia berada di majelis ilmu dan selama ada di masjid, ia terus dicatat sebagai orang yang sedang shalat hingga kembali ke rumah.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا تَوضَّأَ أحدُكُم في بيتِهِ ، ثمَّ أتَى المسجدَ ، كان في صلاةٍ حتَّى يرجعَ ، فلا يفعلْ هكَذا : و شبَّكَ بينَ أصابعِهِ

Jika seseorang berwudhu di rumah, kemudian mendatangi masjid, maka ia terus dicatat sebagai orang yang shalat hingga ia kembali. Maka janganlah ia melakukan seperti ini.. (kemudian beliau mencontohkan tasybik dengan jari-jarinya)” (HR. Al Hakim no. 744, Ibnu Khuzaimah, no. 437, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 2/101).

Tasybik adalah menjalin jari-jemari.

 

5. Dicatat amalannya di ‘illiyyin

Jika seorang berangkat ke masjid berniat untuk shalat, kemudian setelah shalat ada pengajian (majelis ilmu) hingga waktu shalat selanjutnya (semisal pengajian antara maghrib dan isya), maka ia terus dicatat amalan kebaikan yang ia lakukan di masjid, di ‘illiyyin.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صلاةٌ في إثرِ صلاةٍ لا لغوَ بينَهما كتابٌ في علِّيِّينَ

Seorang yang setelah selesai shalat (di masjid) kemudian menetap di sana hingga shalat berikutnya, tanpa melakukan laghwun (kesia-siaan) di antara keduanya, akan dicatat amalan tersebut di ‘illiyyin” (HR. Abu Daud no. 1288, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dijelaskan oleh Syaikh Sulaiman bin Amir Ar Ruhaili hafizhahullah:

والكتاب في العلِّيِّينَ كتاب لا يكسر و يفتح إلى يوم القيامة محفوظ لا ينقص منه شيئ

“Catatan amal di ‘illiyyin adalah catatan amal yang tidak akan rusak dan tidak akan dibuka hingga hari kiamat, tersimpan awet, tidak akan terkurangi sedikit pun”

Dan tentu saja orang yang menuntut ilmu di masjid akan mendapat semua keutamaan menuntut ilmu secara umum yang ini jumlahnya banyak sekali.

Semoga Allah Ta’ala menambahkan semangat kepada untuk terus menuntut ilmu syar’i, terutama di zaman penuh syubuhat dan fitnah ini.

 

Semoga Allah memberi taufik.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/39642-keutamaan-menghadiri-majelis-ilmu-di-masjid.html

Pembatal Puasa

Soal:

Apa saja pembatal-pembatal puasa?

Jawab:

Hal-hal yang dapat membatalkan puasa adalah sebagai berikut.

  1. Jima’ (bersetubuh) di siang hari
  2. Makan
  3. Minum

Dalil bahwa makan, minum, dan jima’ termasuk pembatal puasa adalah firman Allah Ta’ala,

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَٱشْرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلأسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

Maka sekarang campurilah mereka (istri) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga datang malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

  1. Mengeluarkan mani dengan syahwat

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala di dalam hadits qudsi tentang puasa,

يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

Ia tinggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Muslim no. 1151)

Mengeluarkan mani termasuk syahwat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berkumpulnya kalian dengan istri kalian adalah shadaqah.” Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami ketika mendatangi syahwatnya lalu ia mendapat pahala?” Nabi menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia menempatkan syahwatnya pada tempat yang haram, bukankah ia mendapat dosa? Maka demikianlah, apabila ia menempatkan syahwatnya pada tempat yang halal maka ia mendapat pahala karenanya.” (HR. Muslim no. 1006). Sesuatu yang ditempatkan yakni maksudnya adalah mani yang memancar. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat bahwa madzi tidak membatalkan puasa meskipun keluar dengan syahwat dan cumbuan tanpa terjadi hubungan badan.

  1. Hal-hal yang serupa dengan makan dan minum

Yaitu injeksi (infus) asupan  yang membuat seseorang tidak membutuhkan makan dan minum. Hal ini meskipun bukan makanan dan minuman tetapi semakna dengan makan dan minum yang mana ia tidak lagi memerlukan makan dan minum disebabkan injeksi tersebut. Sesuatu yang serupa dengan suatu hal, maka ia dihukumi sebagaimana hal tersebut. Oleh karena itu, tubuh tetap mendapatkan asupan dengan injeksi tersebut meskipun tubuh tidak memperoleh asupan dari sumber yang lain. Adapun injeksi yang tidak memberikan asupan dan tidak menggantikan posisi makan dan minum, maka ini tidak membatalkan puasa baik seseorang memasukkannya ke dalam pembuluh darah, otot, maupun tempat yang lain dari badannya.

  1. Muntah dengan sengaja

Yaitu seseorang memuntahkan isi perutnya sehingga keluar dari mulutnya. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ وَمَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

Barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka wajib mengqadha. Dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak ada qadha baginya.” (HR. Abu Dawud no. 2380 dan Tirmidzi no. 720)

Hikmahnya, apabila seseorang muntah dengan sengaja, maka perutnya akan kosong dari makanan sehingga badan membutuhkan makanan yang akan mengisi perutnya yang ksosong. Oleh karena itu kami katakan: apabila puasanya adalah puasa wajib, maka tidak boleh bagi seseorang untuk muntah dengan sengaja karena jika ia melakukannya, maka puasa wajibnya akan batal.

  1. Keluarnya darah dengan bekam

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ

Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” (HR. Bukhari no. 1937 dan Tirmidzi no. 774)

  1. Keluarnya darah haidh dan nifas

Ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

Bukankah jika seorang wanita haidh maka ia tidak shalat dan tidak puasa.” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Para ulama rahimahumullah bersepakat bahwa puasanya wanita yang haidh maupun nifas tidak sah.

Pembatal-pembatal puasa tidaklah merusak puasa kecuali dengan 3 syarat.

  1. Ilmu

Yakni mengetahui hukum syar’i dan mengetahui kondisi yaitu waktu. Apabila ia tidak mengetahui hukum syar’i atau waktu maka puasanya sah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Ya Rabb kami, janganlah engkau menyiksa kami jika kami lupa atau keliru.” Lantas Allah Ta’ala menjawab, “Telah aku lakukan.” Demikian pula firman Allah Ta’ala,

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ

Tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian keliru padanya, tetapi yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. Al-Ahzab: 5).

Kedua ayat ini merupakan dalil yang umum.

Demikian pula dalil dari hadits yang merupakan dalil khusus mengenai puasa. Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berpuasa dan meletakkan dua ‘iqal –tali yang dipakai untuk mengikat kaki depan unta ketika menderum- di bawah bantal. Salah satu tali berwarna hitam dan satunya putih. Ia mulai makan dan minum hingga nampak jelas tali warna putih dari tali warna hitam kemudian dia menahan diri dari makan dan minum. Ketika pagi hari, ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyampaikan apa yang ia lakukan. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tali putih dan hitam di dalam ayat adalah tanda yang telah dikenal. Maksud dari tali putih adalah terangnya siang sedangkan tali hitam adalah gelapnya malam. Meskipun demikian Nabi tidak menyuruhnya mengqadha puasa (HR. Bukhari no. 1916 dan Muslim 1090) karena ia tidak tau hukum dan mengira itulah makna ayat yang mulia.

Adapun ketidaktahuan dengan waktu, terdapat dalil di dalam Shahih Bukhari dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami tidak puasa di hari yang mendung lalu terbitlah matahari”  (HR. Bukhari no. 1959). Meskipun demikian, Nabi tidak menyuruh mereka untuk mengqadha. Seandainya qadha hukumnya wajib, tentu Nabi akan memerintah mereka dan seandainya Nabi menyuruh mereka, tentu hal itu akan disampaikan kepada umat sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

Ketika hal tersebut tidak disampaikan padahal telah terpenuhi faktor-faktor pendorong untuk menyampaikannya, maka diketahui bahwa Nabi tidak memerintahkan qadha. Apabila Nabi tidak menyuruhnya, diketahui bahwa qadha tidaklah wajib. Contoh yang lain, apabila seseorang bangun tidur dan ia mengira bahwa masih malam lantas ia makan dan minum kemudian nampaklah bahwa ia makan dan minum setelah terbit fajar, maka ia tidak terkena kewajiban qadha karena ia tidak tahu.

  1. Ingat

Yakni lawan dari lupa. Seandainya seseorang makan dan minum karena lupa maka puasanya sah dan tidak ada kewajiban qadha sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Ya Rabb kami, janganlah engkau menyiksa kami jika kami lupa atau keliru.” Lantas Allah Ta’ala menjawab, “Telah aku lakukan.” Demikian pula hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang lupa bahwa ia puasa lantas ia makan atau minum maka sempurnakanlah puasanya karena Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155)

  1. Sengaja

Yakni seseorang mempunyai pilihan untuk melakukan pembatal puasa. Apabila ia tidak punya pilihan maka puasanya sah baik itu dipaksa atau tidak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala tentang orang yang dipaksa untuk kafir,

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa kafir kepada Allah setelah ia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan. Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka atasnya murka Allah dan baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106).

Apabila hukum kekafiran diampuni karena dipaksa, maka hukum-hukum di bawah kekafiran lebih layak untuk diberi ampunan. Demikian pula hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045)

Dengan demikian, seandainya ada debu yang terbang dan masuk ke hidung dan terasa di kerongkonan lalu turun ke lambung maka puasanya tidak batal karena tidak sengaja. Demikian juga seandainya seseorang dipaksa untuk membatalkan puasa lantas ia berbuka dalam rangka mencegah paksaan maka puasanya sah karena ia tak punya pilihan. Demikian pula seandainya seseorang bermimpi lalu keluar mani ketika tidur maka puasanya sah karena orang yang tidur tidak melakukannya dengan sengaja. Demikian pula seandainya seorang suami memaksa istrinya padahal istrinya puasa lantas berhubungan intim dengannya maka puasa sang istri tidak batal karena ia tidak punya pilihan.

Terdapat masalah yang wajib untuk dipahami yakni seorang laki-laki apabila batal puasanya karena jima’ di siang hari Ramadhan dan ia wajib puasa, maka dampak dari jima’nya ada 5 hal.

  1. Berdosa
  2. Wajib menahan diri dari makan dan minum di sisa hari.
  3. Batal puasanya
  4. Wajib qadha
  5. Wajib membayar kafarah.

Tidak ada beda apakah laki-laki tersebut mengetahui konsekuensi dari jima’ ataukah tidak yakni apabila seorang laki-laki bersetubuh di siang Ramadhan dan ia wajib puasa, tetapi ia tidak tahu bahwa ia wajib membayar kafarah. Maka, ia tetap dikenai hukum-hukum yang telah disebutkan di atas karena ia menyengaja untuk merusak puasanya dan kesengajaan untuk membatalkan puasa mewajibkan ia terkena hukuman jima’. Bahkan di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa datang seorang laki-laki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, celakalah aku.” Lantas Nabi bertanya, “Apa yang menyebabkanmu celaka?” Ia menjawab, “Aku berhubungan intim dengan istriku di siang Ramadhan padahal aku puasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahnya untuk membayar kafarah (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111). Padahal laki-laki tersebut tidak mengetahui apakah ia wajib membayar kafarah atau tidak ketika melakukan jima’. Pada perkataan kami “Ia wajib puasa” mengecualikan kondisi semisal seorang laki-laki yang berpuasa Ramadhan lantas ia jima’ dalam keadaan ia sedang safar maka ia tidak wajib membayar kafarah. Contohnya ada laki-laki yang bepergian bersama istrinya di bulan Ramadhan dan keduanya berpuasa. Kemudian, laki-laki tersebut berkumpul dengan istrinya maka ia tidak dikenai kewajiban kafarah. Hal tersebut karena musafir jika berpuasa, ia tidak wajib menyempurnakannya. Jika ia ingin berpuasa, maka ia sempurnakan. Jika tidak, ia berbuka dan wajib qadha.

Diterjemahkan dari Fatawa Arkanil Islam, karya Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyyah, Saudi, hal. 563-570.

Penulis: Deni Putri Kusumawati

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10241-pembatal-puasa.html

Batu Ajaib di Zaman Nabi Musa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu Bani Isra’il biasa mandi dalam keadaan telanjang sehingga mereka pun bisa melihat aurat temannya satu sama lain. Adapun Musa ‘alaihis salam mandi dalam keadaan sendiri. Maka mereka pun berkomentar, ‘Demi Allah, tidak ada yang mencegah Musa untuk mandi bersama-sama dengan kita melainkan pasti karena kemaluannya bengkak (mengidap kelainan).’” Nabi menceritakan, “Maka suatu saat Musa berangkat untuk mandi, lalu dia letakkan pakaiannya di atas sebongkah batu. Tiba-tiba batu itu berlari membawa pergi bajunya.” Nabi berkata, “Maka Musa pun mengejar larinya batu itu seraya berteriak, ‘Hai batu, kembalikan pakaianku! Hai batu, kembalikan pakaianku!’. Sampai akhirnya Bani Isra’il bisa melihat aurat Musa kemudian mereka berkomentar, ‘Demi Allah, ternyata tidak ada -kelainan- apa-apa pada diri Musa’. Maka berhentilah batu itu sampai orang-orang memandanginya.” Nabi berkata, “Kemudian Musa pun mengambil pakaiannya dan mendaratkan pukulan -tongkat-nya kepada batu tersebut.” Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, di atas batu itu terdapat enam atau tujuh bekas pukulan -tongkat- Musa.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [3/146])

Hadits yang agung ini mengandung pelajaran, di antaranya:

1. Bolehnya mandi dalam keadaan telanjang bulat apabila sedang bersendirian (sepi) dan tidak terlihat orang lain, namun menutup diri itu lebih utama (lihat judul bab hadits ini dalam Syarh Muslim [3/146], lihat juga Shahih Bukhari, Kitab al-Ghusl, hal. 72).

2. Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan Nabi Musa ‘alaihis salam yang memiliki sifat pemalu (lihat Shahih Bukhari, Kitab Ahadits al-Anbiya’, hal. 715).

3. Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat malu. Bahkan, rasa malu itu termasuk cabang keimanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh sekian cabang, sedangkan rasa malu adalah salah satu cabang penting keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, lihat Syarh Muslim [2/87]).

4. Malu adalah akhlak para Nabi.

5. Larangan menyakiti para Nabi (lihat Shahih Bukhari, Kitab Tafsir al-Qur’an, hal. 1012).

6. Wajibnya membenarkan berita yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meskpun tampaknya tidak bisa diterima oleh akal manusia.

7. Hadits ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah ta’ala, sehingga Allah bisa membuat batu -benda mati- bisa berlari, meskipun ia tidak punya kaki.

8. Perintah menutup aurat dan larangan mempertontonkannya di hadapan khalayak.

9. Tercelanya menyebarkan kabar burung yang tidak jelas kebenarannya (qila wa qola).

10. Wajibnya mengecek berita (tatsabbut) untuk membuktikan kebenarannya, terlebih lagi jika isinya mengandung kesan negatif (celaan) pada diri orang-orang yang terhormat semacam ulama ataupun umara’.

11. Islam merupakan agama yang sempurna dan menjunjung tinggi akhlak mulia, sehingga etika mandi pun diajarkan supaya kehormatan diri manusia terjaga.

12. Islam mengajarkan kebersihan.

13. Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya untuk menyingkap kerancuan pemahaman yang ada di tengah-tengah masyarakat.

14. Terkadang orang menyangka bahwa suatu musibah yang menimpanya merupakan keburukan baginya, namun sebenarnya ada hikmah yang agung di balik itu semua yang manfaatnya kembali kepada orang itu sendiri.

15. Bersumpah dengan menyebut nama Allah, bukan dengan nama makhluk.

16. Tawakal harus disertai dengan melakukan sebab, tidak cukup hanya bersandar kepada Allah.

17. Boleh membalas kejahatan dengan kekerasan dengan melihat ukuran kejahatannya.

Penulis: Ustadz Abu Mushlih

Read more https://kisahmuslim.com/251-batu-ajaib-di-zaman-nabi-musa.html

10 Ramadhan: Koalisi Negara Arab Menyerang Israel (Perang Yom Kippur)

Sebagian orang menyangka, negara-negara hanya bergeming dengan munculnya negara Yahudi Israel. Orang-orang Arab Islam takut. Mereka tak berupaya dan tak bersimpati atas Palestina. Benarkah demikian?

Perang yang terjadi pada tahun 1973 antara Arab (mayoritas negara Arab terlibat secara langsung maupun tidak langsung) versus Israel ini adalah perang keempat yang mereka lakoni. Perang ini memiliki banyak nama. Perang Ramadhan, karena terjadi pada 10 Ramadhan 1339 H. Bertepatan dengan 6 Oktober 1973. Karena itu, perang ini juga dikenal dengan Perang Oktober 1973. Perang ini juga disebut dengan Perang Yom Kippur. Karena serangan koalisi Arab dilakukan saat Yahudi merayakan hari paling agung dalam tradisi mereka, hari Yom Kippur.

Perang ini dimulai dengan serangan Mesir dan Suriah terhadap posisi Israel di sepanjang Dataran Tinggi Golan dan Terusan Suez. Mesir dan Suriah ingin merebut kembali wilayah mereka yang diduduki Israel pada tahun 1967. Perang yang berlangsung selama 19 hari ini awalnya dimenangkan oleh orang-orang Arab.

Pada tanggal 10 Ramadhan 1339 atau 6 Oktober 1973, pasukan Mesir melintasi Terusan Suez. Pasukan Mesir berhasil menguasai kembali Daratan Sinai. Israel menderita kekalahan. Penyerbuan mesir ke Sinai dimulai dengan satu serangan udara dan gempuran artileri. Lebih dari 200 ton peluru meriam berdaya ledak tinggi yang disembunyikan di bukit-bukit pasri pesisir Terusan Suez berhasil menghantam sasaran-sasaran yang sudah ditargetkan. Pesawat-pesawat MiG Mesri meraung-raung di atas Suez. Menukik. Membomi. Memberondong. Dan meroket kubu-kubu Israel di Garis Bar Lev. Belum lagi peledak-peledak yang dipasangi Pasukan Katak Mesir juga berhasil diledakkan.

Kemudian pasukan penyerang Mesir segera bergerak dengan perahu-perahu motor mereka. Dalam waktu beberapa menit mereka berlarian menuruni Terusan dan menyalakan perahu motor untuk menyeberangi perairan selebar 180 meter. Setelah itu, mereka mendirikan sebuah landasan serbu sebagai titik awal untuk serangan berikutnya. Pasukan berikutnya pun tiba. Mereka berjumlah 10.000 prajurit dan didukung oleh 1.350 tank serta 150 senjata anti pesawat. Pasukan mesir berhasil memenangkan pertempuran di hari pertama.

Kemenangan ini bukanlah tanpa perlawanan dan pengorbanan. Mesir harus membayar kemenangan mereka dengan gugurnya 64 orang tentara Mesir. 420 luka-luka. 17 tank mereka mengalami kerusakan. 26 kendaaraan lapis baja dan 11 pesawat tempur dan helikopter mengalami kerusakan.

Sementara pihak Israel mengalami kerugian dengan 2838 orang tewas. 2800 luka-luka. 508 tawanan kabur. 840 tank, 400 kendaraan lapis baja, 109 pesawat tempur dengan helikopter, dan satu kapal perang hancur.

Penderitaan Israel tidak berhenti sampai di situ. Pada pukul 14.00 di hari yang sama, gantian Suriah menghajar mereka. 60 pesawat tempur Suriah terbang membomi sasaran-sasaran Israel. Sementara meriam-meriam mereka membuka gempuran gencar untuk melemahkan militer Israel. 800 tank Suriah pun masuk ke wilayah darat negara Yahudi itu.

Hari-hari awal Perang Yom Kippur ini menjadi milik bangsa Arab. Sampai akhirnya, Israel dengan dukungan negara adidaya, Amerika, berhasil memutar balikkan keadaan. Hingga kemudian dibuatlah perjanjian damai. Antara negara-negara Arab dengan Israel.

Sumber:

– Oktorino, Nino. 2014. Kisah Perang Yom Kippur. Jakarta: Gramedia.
– https://islamstory.com/-10_رمضان_حرب_العاشر_من_رمضان

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/5927-10-ramadhan-koalisi-negara-arab-menyerang-israel.html#more-5927

Sakit yang Membolehkan Tidak Puasa

Sakit Sebagai Sebab Tidak Berpuasa

Bismillah. Kita semua telah mengetahui bahwa sakit adalah salah satu sebab seorang muslim boleh tidak berpuasa. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ

“Barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah:185).

Jenis Sakit yang Bisa Menjadi Uzur Tidak Berpuasa

Sakit seperti apakah yang bisa menjadi uzur untuk tidak berpuasa? Semua jenis penyakit atau ada kriteria tertentu? Berikut penjelasan dari Prof. Dr. Sulaiman Ar-Ruhaili -hafizahullah- (guru besar di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah KSA, dan pengajar di masjid Nabawi):

Ada permasalahan penting yang dijelaskan oleh para ulama, tentang bagaimana cara mengetahui kadar penyakit yang menjadi uzur untuk tidak berpuasa?

  1. Sebagian ulama menerangkan, “melihat pada penyakit-penyakit kronis yang dikenal, kemudian dilihat apakah penyakit yang dialaminya memiliki kadar sakit yang mendekati penyakit kronis tersebut ataukah tidak. Apabila mendekati maka tergolong uzur menurut syariat, namun apabila tidak maka bukan uzur. Akan tetapi pendapat ini sangat sulit diterapkan oleh masyarakat dan tidak ada kaidah atau dalil syariat yang mendukung.”
  2. Ulama yang lain berpandangan, “kadar sakit yang mendapat uzur dikembalikan kepada urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Apabila masyarakat memandang bahwa suatu penyakit tergolong memberatkan maka bisa menjadi uzur untuk tidak berpuasa, namun apabila menurut pandangan masyarakat bukan termasuk sakit yang memberatkan maka tidak bisa dijadikan uzur untuk tidak puasa. Pendapat ini juga perlu dikoreksi karena patokan ini kurang konsisten.
  3. Ulama lain berpandangan, “setiap mukallaf (orang yang terkena beban syariat) harus menimbang sendiri penyakit yang diderita, mana penyakit yang memberatkan dan yang tidak.

Tampaknya pendapat terakhir inilah yang paling mendekati kebenaran dan lebih moderat, karena masing-masing orang berbeda-beda, ada orang yang mengalami suatu penyakit namun ia tidak merasa berat untuk melakukan puasa dan ada orang yang mengalami penyakit yang sama namun ia merasa berat untuk berpuasa karena sakitnya tersebut. Misalnya sebagian orang saat menderita flu, ia merasakan capek dan berat sekali, sedangkan sebagian yang lain merasa seakan tidak terjadi apa-apa.

Kesimpulan Tentang Uzur Sakit Saat Puasa

Kesimpulannya, penyakit yang memberatkan seseorang dalam melakukan puasa maka bisa menjadi uzur untuk tidak berpuasa menurut syariat, sedangkan jika tidak sampai memberatkan maka bukan uzur untuk tidak berpuasa.

Jangan Sekedar Menduga-Duga Sakit

Para ulama mengatakan,

العبرة بالحقائق لا بالأوهام

“Yang menjadi patokan adalah hakikat bukan sangkaan.”

Artinya suatu penyakit akan menjadi uzur untuk tidak berpuasa apabila sakit itu memang terbukti ada dan memberatkan untuk melakukan puasa, bukan sekedar sangkaan yang dibuat-buat, karena sekedar sangkaan tidaklah teranggap, seperti seorang anak kecil ketika disuruh berangkat ke sekolah kemudian ia mengatakan sedang sakit padahal tidak sakit, supaya dimaklumi untuk tidak berangkat ke sekolah.

Dan ingat bahwa seorang mukallaf (orang yang terkena beban syariat) sejatinya sedang bermuamalah dengan Allah Ta’ala.

Maka bila suatu penyakit memang benar menimpa seseorang dan penyakit tersebut memberatkannya untuk berpuasa maka ia mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.

Dua Macam Orang Sakit

Kemudian, orang sakit berkaitan dengan rukhsah (keringanan) yang diberikan, ada dua jenis:

Mengalami sakit dan ia merasa berat untuk berpuasa karena sakit tersebut, namun bila berpuasa tidak sampai membahayakan jiwanya atau salah satu anggota badannya.

Pada keadaan ini, boleh bagi orang tersebut untuk tidak puasa, namun yang paling afdal adalah memilih yang paling ringan bagi darinya.

Apabila ada yang bertanya, “lebih afdal puasa atau tidak puasa (untuk orang jenis ini)?”

Jawabannya,”yang paling ringan menurutmu itulah yang lebih afdal. Sehingga apabila puasa itu menurut anda lebih ringan, maka puasalah, namun apabila tidak berpuasa merupakan pilihan yang lebih ringan, maka berbukalah.”

Mengalami sakit dan ia merasa berat untuk berpuasa karena sakit tersebut, kemudian apabila berpuasa akan membahayakan jiwa atau salah satu anggota badannya.

Untuk keadaan ini seseorang wajib untuk tidak berpuasa, bahkan haram berpuasa. Misalnya seseorang menderita penyakit nephrosis dan puasa dapat membahayakannya maka berpuasa haram hukumnya dan dia wajib tidak berpuasa. Berdasarkan sabda Nabi shallallahualaihiwasallam,

لا ضرر ولا ضرار

“Tidak boleh memberikan mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain.” (HR. Daruquthni (3/ 77 ).

 

Hadis ini dalil yang menunjukkan haramnya melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Wallahua’lam bis shawab.

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/30148-sakit-yang-membolehkan-tidak-puasa.html

Daftar Istilah-Istilah Haji

  • Badal Haji

    menghajikan orang lain dan hukumnya boleh dengan ketentuan bahwa orang yang menjadi wakil harus sudah melakukan haji wajib bagi dirinya dan yang diwakili (dihajikan itu) telah mampu untuk pergi haji tetapi dia tidak dapat melaksanakan sendiri karena sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya. (Udzur Syar’i) yang menghilangkan istitha’ahnya (kemampuannya) atau karena meninggal dunia setelah dia berniat haji. Orang laki-laki boleh mengerjakan untuk laki-laki dan perempuan, demikian pula sebaliknya. Diutamakan yang mengerjakan itu adalah keluarganya.

  • Badal Melontar Jumroh

    Bagi yang berhalangan (Udzur Syar’i) boleh mewakilkan kewajiban melontar jumroh kepada orang lain. Caranya dengan mendahulukan melontar jumroh Ula untuk dirinya, kemudian melontar untuk yang diwakili. Demikian seterusnya untuk melontar jumroh Wustha dan Aqobah.

  • Dam

    Menurut artinya adalah darah, sedang menurut istilah adalah mengalirkan darah untuk Baitullah dengan menyembelih ternak, yaitu kambing, unta atau sapi ditanah Haram dalam rangka memenuhi ketentuan manasik haji. Dan terdiri dari 2 (dua) macam , yaitu :
    a. Dam Nusuk (Karena memang aturannya demikian) dikenakan bagi orang yang mengerjakan haji Tamattu’ atau haji Qiran.
    b. Dam Isa’ah (Karena melanggar aturan) :
    1) Melanggar aturan Ihram haji dan Umrah
    2) Meninggalkan salah satu wajib haji atau Umrah yang terdiri dari :
    a) Tidak berihram dari Miqat
    b) Tidak Mabit di Muzdalifah
    c) Tidak Mabit di Mina
    d) Tidak Melontar Jumroh
    e) Tidak Tawaf Wada’

  • Hajar Aswad

    batu berwarna hitam kemerah-merahan dengan luas permukaan kurang lebih 30 cm persegi yang menempel di Rukun Yamani. Bagi jemaah haji disunnatkan mencium, menyapu atau mengangkat tangan padanya ketika memulai thawaf. Batu ini dimuliakan oleh Allah SWT, sehingga dikatakan sebagai simbol tangan kanan Allah di muka bumi bagi hamba-hambanya yang mukmin. Batu tersebut dilingkari dengan bingkai perak putih.

  • Hari Arafah

    Yaitu pada tanggal 9 Zulhijah, dinamakan hari Arafah karena jamaah haji harus berada dipadang Arafah untuk melaksanakan Wukuf, dimulai dari masuknya waktu Dzuhur.

  • Hari Nahr

    Yaitu hari tanggal 10 Zulhijah dinamakan hari Nahr (penyembelihan) karena pada hari itu dilaksanakan penyembelihan Qurban dan Hadyu (Dam).

  • Hari Tarwiyah

    Yaitu tanggal 8 Zulhijah, dinamakan hari Tarwiyah (perbekalan) karena jamaah haji pada zaman rosulullah mulai mengisi perbekalan air di Mina pada hari itu untuk perjalanan ke Arafah.

  • Hari Tasyrik

    Yaitu hari tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah. Pada hari itu jamaah haji berada di Mina untuk melontar Jumroh dan Mabit.

  • Hijir Ismail

    nama tempat yang terletak disebelah utara Ka’bah, dilingkari oleh tembok lebar (Al-Hathimu). Hijir Ismail ini setiap saat dipenuhi hamba-hamba Allah, terutama ketika musim haji. Di tempat ini jemaah haji melakukan shalat, berdoa dan sebagainya. Tempat ini sama mulianya dengan di dalam Ka’bah; Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Siti Aisyah ingin sekali memasuki Ka’bah dan beribadah di dalamnya, lalu Rasulullah SAW memerintahkan masuk Hijir Ismail saja dan tidak ke dalam Ka’bah, sebab shalat/beribadah di Hijir Ismail sama dengan di dalam Ka’bah.

  • Ibadah Haji

    berkunjung ke Baitullah di Makkah untuk melakukan tawaf, sa’i dan wukuf di Arafah serta amalan lainnya dengan niat haji pada masa tertentu demi mencapai ridho Allah.

    Hukum Ibadah Haji adalah wajib bagi orang yang pertama kali melaksanakan (memenuhi rukun Islam), dan bagi orang yang bernazar. Sedangkan bagi yang sudah melaksanakan ibadah haji hukumnya sunnah.

    Waktu mengerjakan ibadah haji di mulai sejak 1 Syawal hingga menjelang terbit fajar malam ke sepuluh Zulhijah.

Shalat dan Puasa di Negeri Non-muslim dengan Mengikuti Waktu Saudi Arabia

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:

Apakah hukum orang yang melaksanakan shalat di negeri kafir dengan mengikuti waktu shalat di Arab Saudi? Apa hukum shalat sebelum (masuk) waktunya?

Jawaban:

Orang yang melaksanakan shalat di negeri kafir dengan mengikuti waktu shalat di Saudi Arabia, dia telah berbuat kesalahan besar, kecuali jika negeri kafir tersebut letaknya dekat dengan Saudi Arabia. Maksudnya, dia tidak keluar dari waktu shalat (di negerinya tersebut, pen.) jika negeri kafir tersebut letaknya di sebelah timur Saudi Arabia [1]atau telah masuk waktu shalat tertentu jika negeri kafir tersebut letaknya di sebelah barat Saudi Arabia [2].

Adapun jika waktu shalat di Saudi Arabia telah berakhir sebelum masuknya waktu shalat di negeri kafir tersebut, maka jika dia mengerjakan shalat sesuai dengan waktu Saudi Arabia, pada hakikatnya dia telah shalat sebelum masuk waktunya. Jika dia shalat sebelum waktunya, maka shalatnya tidak sah, sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4]: 103)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan batas waktu shalat dalam sabdanya,

وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ، مَا لَمْ يَحْضُرِ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ إِلَى مغِبيبِ الشَّفَق، وَوَقْتُ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ، وَوَقْتُ الْفَجْرِ م إِلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ

Waktu dzuhur adalah ketika matahari telah bergeser (ke barat, pen.) dan ketika bayangan seseorang itu sama dengan tinggi orang tersebut, selama belum masuk waktu ashar. Waktu ashar adalah sampai matahari menguning. Waktu maghrib (berakhir) ketika awan merah menghilang. Waktu isya’ adalah sampai pertengahan malam [3]. Waktu shalat fajar (shalat subuh) adalah sampai terbit matahari.” (HR. Muslim no. 612)

Demikian pula orang yang mengakhirkan shalat sampai keluar waktunya secara sengaja, maka shalatnya tidak sah (tidak diterima), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Telah kita maklumi bersama bahwa orang yang berpuasa di negeri mereka masing-masing, mereka tidak boleh berpuasa dengan mengikuti waktu di Saudi Arabia. Mereka berpuasa sesuai dengan waktu terbit fajar dan tenggelam matahari di negeri mereka tersebut. Maka demikian pula pelaksanaan shalat (yaitu, mengikuti waktu shalat di negerinya masing-masing, pen.). [4]

***

Diselesaikan di sore hari ba’da ashar, Rotterdam NL, 14 Sya’ban 1439/ 1 Mei 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

 

Catatan kaki:

[1]     Dalam kondisi seperti ini, waktu di Saudi Arabia lebih lambat dibandingkan negeri kafir tersebut. Jika dia mengikuti waktu Saudi Arabia, bisa jadi waktu shalat di negeri kafir tersebut sudah habis.

[2]     Sebaliknya, dalam kondisi seperti ini, waktu di negeri kafir tersebutlah yang lebih lambat dibandingkan waktu di Saudi Arabia. Jika dia mengikuti waktu Saudi Arabia, bisa jadi di negeri kafir tersebut belum masuk waktu shalat.

[3]     Maksudnya, tengah-tengah antara waktu tenggelam matahari dan waktu terbit fajar. Misalnya, jika matahari tenggelam jam 18.00 dan terbit fajar jam 04.00, maka tengah malam adalah jam 23.00 (bukan jam 24.00). Maka, pukul 23.00 adalah batas akhir waktu isya’, menurut pendapat yang lebih kuat. Wallahu Ta’ala a’lam.

[4]     Diterjemahkan dari kitab: I’laamul Musaafiriin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, hal. 32-34 (pertanyaan nomor 27).

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/39637-shalat-dan-puasa-di-negeri-non-muslim-dengan-mengikuti-waktu-saudi-arabia.html