Doa Isra Mi’raj yang Bisa Diamalkan

Isra Mi’raj adalah peristiwa penting dan bersejarah dalam agama Islam. Umat Islam bisa memperingati Isra Mi’raj dengan meneladani kisah Isra Mi’raj dan berdoa kepada Allah. Berikut doa Isra Miraj yang bisa diamalkan.

Isra Mi’raj berasal dari kata Isra yang berarti perjalanan dan Mi’raj berarti naik ke atas. Sesuai namanya, pada peristiwa Isra Mi’raj, Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga ke langit ke tujuh atau Sidratul Muntaha.

Dalam perjalanan itu, Nabi Muhammad menerima perintah salat wajib lima waktu. Peristiwa ini terjadi pada 27 Rajab di tahun pertama sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.

Pada tahun ini, 27 Rajab bertepatan dengan Kamis, 11 Maret 2021.

Peringatan Isra Mi’raj dapat diisi dengan mengimani kisah Nabi Muhammad AS dan juga memperbanyak berdoa kepada Allah.

Secara khusus, tak ada doa yang harus dibaca saat Isra Mi’raj. Doa apa saja boleh diamalkan saat Isra Mi’raj, tidak berbeda dengan hari lainnya.

Umat Islam dapat berdoa meminta ampunan, doa keberkahan, dan doa di bulan Rajab.

Berikut doa di bulan Rajab:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Allaahumma baarik lanaa fii rajaba wasya’baana waballighnaa ramadlaanaa

Artinya:
Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadan.

Selain berdoa, umat Islam juga dianjurkan untuk memperbanyak istigfar.

“Dari para alim ulama menganjurkan yang pertama untuk memperbanyak istigfar,” kata KH Wahyul Afif Al Ghofiqi kepada CNNIndonesia.com pada 2019.(ptj/asr)

CNNINDONESIA

Ibadah Haji Berat, Allah Memberi Banyak Keringan

Ibadah haji merupakan ibadah yang paling berat karena banyak mengeluarkan waktu, tenaga dan biaya. Untuk itu Allah SWT hanya mewajibkan ibadah ini dilaksanakan kepada hambanya yang mampu secara fisik dan finansial.

“Dalam ibadah haji mulai dari perintah sampai pelaksanaannya, sebetulnya banyak kita temukan indikasi takhfif (keringanan) dan takhyir (pilihan),” kata KH Ahmad dan Chodri Romli dalam bukunya Ensiklopedia Haji dan Umrah.

Keringan ini kata KH Ahmad ditegaskan dalam Alquran surah Ali Imran ayat 97 (…yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

Rasulullah SAW bersabda, “Menunaikan ibadah haji wajib bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah.” (HR. Muslim).

KH Ahmad mengatakan, bahwa Firman Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad SAW tersebut jelas mengisyaratkan adanya tujuan memberi kemudahan dan tidak menyulitkan di dalam pelaksanaan ibadah haji. Kata dia banyak ditemukan yang pada dasarnya pelaksanaan haji mulai dari pilihan kemudahan dan dispensasi. 

Di antaranya pertama.

Waktu untuk menunaikan Haji cukup longgar. Menurut Mazhab Syafi’i bisa ditunda, bahkan dalam syariat, Haji para jamaah diperkenankan memilih sesuka hati bentuk pelaksanaannya. Ada haji tamattu, Ifrad atau Qiran. “Ini disepakati oleh semua mazhab,” katanya.

Kedua dalam membayar Fidyah pun, diberi pilihan. Mau berkurban, berpuasa atau bersedekah sesuai (QS al-baqarah ayat 156).

Ketiga dalam hal mabit di Muzdalifah ternyata ada riwayat bahwa Rasulullah SAW telah menyuruh keluarganya untuk berangkat terlebih dahulu setelah lewat tengah malam sebelum berjudulnya manusia. Demikian juga mabit di mina, beliau mengizinkan para pekerja dan pengembala untuk mabit di luar mana. 

Keempat kita tahu bahwa perbuatan Nabi Muhammad di dalam Haji Wada ada yang dikategorikan oleh fuqoha sebagai rukun wajib dan Sunah. Akan tetapi, hal ini menimbulkan perselisihan: mana yang rukun mana yang wajib. “Sebab sifatnya jasmani dan ihtimal (kemungkinan-kemungkinan),” katanya.

Kelima pada hari Nahar Rasulullah SAW melontar jumroh aqobah lalu mencukur rambut, kemudian menyembelih hadyu, selanjutnya menuju Makkah untuk tawaf ifadah. Akan tetapi setelah kembali ke Mina dan mengadakan halaqah beliau selalu memberi jawaban yang sama atas pertanyaan berbeda ( Kerjakanlah, tiada dosa). 

“Itulah jawaban beliau tentu saja, sahabat yang bertanya itu karena merasa apa yang telah terjadi di dia kerjakan tidak sama persis dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW,” katanya.

IHRAM

Optimalkan Ibadah Di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban adalah bulan yang terletak setelah bulan Rajab dan sebelum bulan Ramadhan. Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Ada juga ibadah-ibadah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisinya dengan memperbanyak berpuasa di bulan ini sebagai persiapan menghadapi bulan Ramadhan. Bulan ini dinamakan bulan Sya’ban karena di saat penamaan bulan ini banyak orang Arab yang berpencar-pencar mencari air atau berpencar-pencar di gua-gua setelah lepas bulan Rajab. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan:

وَسُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيْ طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِيْ الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبِ الْحَرَامِ وَهَذَا أَوْلَى مِنَ الَّذِيْ قَبْلَهُ وَقِيْلَ فِيْهِ غُيْرُ ذلِكَ.

“Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram. Sebab penamaan ini lebih baik dari yang disebutkan sebelumnya. Dan disebutkan sebab lainnya dari yang telah disebutkan.”1

Adapun hadits yang berbunyi:

إنَّمَا سُمّي شَعْبانَ لأنهُ يَتَشَعَّبُ فِيْهِ خَيْرٌ كثِيرٌ لِلصَّائِمِ فيه حتى يَدْخُلَ الجَنَّةَ.

Sesungguhnya bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya bercabang kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.”2

Hadits tersebut tidak benar berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak orang menyepelekan bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal tersebut di dalam hadits berikut:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Ya Rasulullah! Saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan di banding bulan-bulan lain seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban ?” Beliau menjawab, “Itu adalah bulan yang banyak manusia melalaikannya, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Dia adalah bulan amalan-amalan di angkat menuju Rabb semesta alam. Dan saya suka jika amalanku diangkat dalam keadaan saya sedang berpuasa”.3

Amalan-amalan apa yang disyariatkan pada bulan ini?

Ada beberapa amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan para as-salafush-shalih pada bulan ini. Amalan-amalan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memperbanyak puasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa pada bulan ini tidak seperti beliau berpuasa pada bulan-bulan yang lain.

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka, dan berbuka sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Dan saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa dalam sebulan kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban.”4

Begitu pula istri beliau Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan:

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ.

“Saya tidak pernah mendapatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.”5

Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir berpuasa Sya’ban seluruhnya. Para ulama menyebutkan bahwa puasa di bulan Sya’ban meskipun dia hanya puasa sunnah, tetapi memiliki peran penting untuk menutupi kekurangan puasa wajib di bulan Ramadhan. Seperti shalat fardhu, shalat fardhu memiliki shalat sunnah rawatib, yaitu: qabliyah dan ba’diyah. Shalat-shalat tersebut bisa menutupi kekurangan shalat fardhu yang dikerjakan. Sama halnya dengan puasa Ramadhan, dia memiliki puasa sunnah di bulan Sya’ban dan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal. Orang yang memulai puasa di bulan Sya’ban insya Allah tidak terlalu kesusahan menghadapi bulan Ramadhan.

2. Membaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an mulai diperbanyak dari awal bulan Sya’ban , sehingga ketika menghadapi bulan Ramadhan, seorang muslim akan bisa menambah lebih banyak lagi bacaan Al-Qur’an-nya. Salamah bin Kuhail rahimahullah berkata:

كَانَ يُقَالُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ الْقُرَّاءِ

“Dulu dikatakan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Begitu pula yang dilakukan oleh ‘Amr bin Qais rahimahullah apabila beliau memasuki bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan mengosongkan dirinya untuk membaca Al-Qur’an.6

3. Mengerjakan amalan-amalan shalih

Seluruh amalan shalih disunnahkan dikerjakan di setiap waktu. Untuk menghadapi bulan Ramadhan para ulama terdahulu membiasakan amalan-amalan shalih semenjak datangnya bulan Sya’ban , sehingga mereka sudah terlatih untuk menambahkan amalan-amalan mereka ketika di bulan Ramadhan. Abu Bakr Al-Balkhi rahimahullah pernah mengatakan:

شَهْرُ رَجَب شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ.

“Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Sya’ban adalah bulan memanen tanaman.” Dan dia juga mengatakan:

مَثَلُ شَهْرِ رَجَبٍ كَالرِّيْحِ، وَمَثُل شَعْبَانَ مَثَلُ الْغَيْمِ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ اْلمطَرِ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبٍ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَانَ فَكَيْفَ يُرِيْدُ أَنْ يَحْصِدَ فِيْ رَمَضَانَ.

“Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, bulan Sya’ban seperti awan yang membawa hujan dan bulan Ramadhan seperti hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Sya’ban bagaimana mungkin dia memanen hasilnya di bulan Ramadhan.”7

4. Menjauhi perbuatan syirik dan permusuhan di antara kaum muslimin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni orang-orang yang tidak berbuat syirik dan orang-orang yang tidak memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ, فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ, إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ.

Sesungguhnya Allah muncul di malam pertengahan bulan Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin.”8

Musyahin adalah orang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga secara khusus tentang orang yang memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya:

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.

Pintu-pintu surga dibuka setiap hari Senin dan Kamis dan akan diampuni seluruh hamba kecuali orang yang berbuat syirik kepada Allah, dikecualikan lagi orang yang memiliki permusuhan antara dia dengan saudaranya. Kemudian dikatakan, ‘Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai’9

Oleh karena itu sudah sepantasnya kita menjauhi segala bentuk kesyirikan baik yang kecil maupun yang besar, begitu juga kita menjauhi segala bentuk permusuhan dengan teman-teman muslim kita.

5. Bagaimana hukum menghidupkan malam pertengahan bulan Sya’ban?

Pada hadits di atas telah disebutkan keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban. Apakah di-sunnah-kan menghidupkan malam tersebut dengan ibadah? Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وَصَلَاةُ الرَّغَائِبِ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ لَمْ يُصَلِّهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ، وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَفِيهَا فَضْلٌ، وَكَانَ فِي السَّلَفِ مَنْ يُصَلِّي فِيهَا، لَكِنَّ الِاجْتِمَاعَ فِيهَا لِإِحْيَائِهَا فِي الْمَسَاجِدِ بِدْعَةٌ وَكَذَلِكَ الصَّلَاةُ الْأَلْفِيَّةُ.

“Dan shalat Raghaib adalah bid’ah yang diada-adakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat seperti itu dan tidak ada seorang pun dari salaf melakukannya. Adapun malam pertengahan di bulan Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan, dulu di antara kaum salaf (orang yang terdahulu) ada yang shalat di malam tersebut. Akan tetapi, berkumpul-kumpul di malam tersebut untuk menghidupkan masjid-masjid adalah bid’ah, begitu pula dengan shalat alfiyah.”10

Jumhur ulama memandang sunnah menghidupkan malam pertengahan di bulan Sya’ban dengan berbagai macam ibadah. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan secara berjamaah.11 Sebagian ulama memandang tidak ada keutamaan ibadah khusus pada malam tersebut, karena tidak dinukil dalam hadits yang shahih atau hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah menyuruh untuk beribadah secara khusus pada malam tersebut. Hadits yang berbicara tentang hal tersebut lemah.

6. Bagaimana hukum shalat alfiyah dan shalat raghaib di malam pertengahan bulan Sya’ban ?

Tidak ada satu pun dalil yang shahih yang menyebutkan keutamaan shalat malam atau shalat sunnah di pertengahan malam di bulan Sya’ban . Baik yang disebut shalat alfiyah (seribu rakaat), dan shalat raghaib (12 rakaat). Mengkhususkan malam tersebut dengan ibadah-ibadah tersebut adalah perbuatan bid’ah. Sehingga kita harus menjauhinya. Apalagi yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Mereka berkumpul di masjid, beramai-ramai merayakannya, maka hal tersebut tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam An-Nawawi mengatakan tentang shalat Ar-Raghaib yang dilakukan pada Jumat pertama di bulan Rajab dan malam pertengahan bulan Sya’ban :

وَهَاتَانِ الصَّلاَتَانِ بِدْعَتَانِ مَذْمُومَتَانِ مُنْكَرَتَانِ قَبِيحَتَانِ ، وَلاَ تَغْتَرَّ بِذِكْرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَالإْحْيَاءِ

“Kedua shalat ini adalah bid’ah yang tercela, yang mungkar dan buruk. Janganlah kamu tertipu dengan penyebutan kedua shalat itu di kitab ‘Quutul-Qulub’ dan ‘Al-Ihya’’.”12

7. Bagaimana hukum berpuasa di pertengahan bulan Sya’ban ?

Mengkhususkan puasa di siang pertengahan bulan Sya’ban tidak dianjurkan untuk mengerjakannya. Bahkan sebagian ulama menghukumi hal tersebut bid’ah. Adapun hadits yang berbunyi:

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا.

Apabila malam pertengahan bulan Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan berpuasalah di siang harinya.”13

Maka hadits tersebut adalah hadits yang palsu (maudhu’), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi, jika kita ingin berpuasa pada hari itu karena keumuman hadits tentang sunnah-nya berpuasa di bulan Sya’ban atau karena dia termasuk puasa di hari-hari biidh (ayyaamul-biid/puasa tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan hijriyah), maka hal tersebut tidak mengapa. Yang diingkari adalah pengkhususannya saja. Demikian beberapa ibadah yang bisa penulis sebutkan pada artikel ini. Mudahan kita bisa mengoptimalkan latihan kita di bulan Sya’ban untuk bisa memaksimalkan ibadah kita di bulan Ramadhan. Mudahan bermanfaat. Amin. ***

Footnotes

[1] Fathul-Bari (IV/213), Bab Shaumi Sya’ban.

[2] HR Ar-Rafi’i dalam Tarikh-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’, ” dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2061.

[3] HR An-Nasai no. 2357. Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam Shahih Sunan An-Nasai.

[4] HR Al-Bukhari no. 1969 dan Muslim 1156/2721.

[5] HR An-Nasai no. 2175 dan At-Tirmidzi no. 736. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai.

[6] Lihat: Lathaiful-Ma’arif libni Rajab Al-Hanbali hal. 138.

[7] Lihat: Lathaiful-Ma’arif libni Rajab Al-Hanbali hal. 130.

[8] HR Ibnu Majah no. 1390. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah.

[9] HR Muslim no. 2565/6544.

[10] Al-Fatawa Al-Kubra (V/344).

[11] Lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (XXXIV/123).

[12] Al-Majmu’ lin-Nawawi (XXII/272). [13] HR Ibnu Majah no. 1388. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Sanadnya Maudhu’,” dalam Adh-Dha’ifah no. 2132.

Daftar Pustaka
  1. Al-Khulashah fi Syarhil-Khamsiin Asy-Syamiyah. ‘Ali bin Nayif Asy-syahud. Darul-Ma’mur.
  2. At-Tibyan li Fadhail wa Munkarat Syahri Sya’ban. Nayif bin Ahmad Al-Hamd.
  3. Sya’ban, Syahrun Yaghfulu ‘anhu Katsir minannas. Abdul-Halim Tumiyat. www.nebrasselhaq.com
  4. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.

Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A.

Artikel Muslim.Or.Id

Meniru Teladan Nabi Muhammad dalam Menyambut Ramadhan

Nabi Muhammad SAW memberikan teladan tentang menyambut bulan suci Ramadhan

Rasulullah Muhammad SAW memberikan contoh teladan paripurna tentang mempersiapkan diri kita untuk menyambut Ramadhan.

Salah satunya ialah dengan menyemarakkan puasa sunah. Seperti yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid, dikatakan, “Rasulullah SAW melakukan puasa sepanjang bulan Sya’ban atau melakukan puasa pada bulan itu kecuali beberapa hari saja beliau tidak melakukannya’ (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam riwayat lain, Rasulullah dan para sahabatnya telah mempersiapkan diri menyambut Ramadhan sejak bulan Rajab. Baik persiapan fisik dengan memelihara kesehatan, maupun persiapan rohani, yakni dengan meningkatkan ibadah-ibadah sunnah sebelum masuk Ramadhan.

Kemudian, beliau juga memperbanyak doa. Di antara munajat beliau adalah: “Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku pada bulan Rajab dan Sya’ban dan panjangkanlah usiaku agar aku sampai ke bulan Ramadhan”.

Begitu pun para sahabat. Mereka menyambut bulan suci Ramadhan dengan penuh suka cita dan keharuan. Bergembira sebab kesempatan untuk memperbanyak pahala dan menggapai ridha Ilahi amat terbuka lebar. Terharu, lantaran Allah memanjangkan usia mereka untuk berjumpa dengan Ramadhan.

Dikatakan para ahli sejarah, dahulu para salafus sholihin mempersiapkan diri sejak lima bulan setengah sebelum masuknya Ramadhan. Kemudian, lima bulan setengah pasca-Ramadhan pun mereka selalu mengharapkan bertemu kembali dengan Ramadhan dan selalu memohon agar ibadah Ramadhan yang telah lalu diterima Allah SWT.

Dengan cara demikian, mereka mampu mempertahankan suasana Ramadhan bahkan kala melalui sebelas bulan sisanya.

Pernah dilukiskan pula dalam sebuah tulisan, bahwa para sahabat menunggu kedatangan Ramadhan, tak ubahnya bagai sepasang calon pengantin yang tengah menunggu hari pernikahan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Persiapkan Diri Menyambut Ramadhan

Wahai kaum muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.

Bersyukurlah atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan.

Ketidaksiapan yang Berbuah Pahit

Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.[1]

Abu Bakr Az Zur’i menyitir firman Allah ta’ala berikut,

فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)

“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (At Taubah: 83).

Renungilah ayat di atas baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak menyukai keberangkatan mereka dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan dan niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tidak layak menjalankan perintah Allah ta’ala yang penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.

Allah ta’ala berfirman,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١١٠)

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).

Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan

Bila kita menginginkan kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima amalnya serta dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.

Allah ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)

“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At Taubah: 46).

Harus ada persiapan! Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu, dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.

Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.”[2]

Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.

Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, meeka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.”[3]

Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.

Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan,

شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع

“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”[4]

Sebagian ulama yang lain mengatakan,

السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر

“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.”[5]

Wahai kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Ramadhan, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang sebaik-baiknya.

Jangan Lupa, Perbarui Taubat!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.”[6]

Taubat menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki Ramadhan tanpa adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh perjalanan selama mengarungi Ramadhan.

Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Allah ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)

Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).

Taubat yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan tetapi hati kita lalai, akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali terulang. Namun, yang dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat.

Jangan pula taubat tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.

Wahai kaum muslimin, mari kita persiapkan diri kita dengan memperbanyak amal shalih di dua bulan ini, Rajab dan Sya’ban, sebagai modal awal untuk mengarungi bulan Ramadhan yang akan datang sebentar lagi.

Ya Allah mudahkanlah dan bimbinglah kami. Amin.

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Pelajaran dari Doa Nabi Yunus as

Allah Swt berfirman :

فَنَادَىٰ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَٰنَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ”Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS.Al-Anbiya’:87)

Nah, dari kisah Nabi Yunus as kita belajar bahwa diharapkan setelah mendapatkan peringatan maupun cobaan, hendaknya manusia menyadari tiga hal yang akan membawanya menuju keselamatan.

Pertama, menyadari tentang hakikat Tauhid yang sebenarnya, yakni tidak ada yang layak disembah dan tidak ada tempat bersandar kecuali Allah Swt.

لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ

”Tidak ada tuhan selain Engkau.”

Kedua, Mensucikan Allah dari seluruh sifat kurang, dzalim dan tidak adil. Dan membuang seluruh prasangka buruk kepada-Nya.

سُبۡحَٰنَكَ

“Mahasuci Engkau.”

Ketiga, mengakui dan menyadari kesalahan serta kekurangan yang telah dilakukan.

إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zhalim.”

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda berkaitan dengan ayat ini :

“Nama Allah yang jika disebut ketika berdoa, maka akan dikabulkan. Dan jika memohon (dengan Nama itu) akan diberikan, itulah doa Yunus bin Matta.”

Seorang bertanya, “Ya Rasulullah, itu khusus untuk Nabi Yunus as atau untuk seluruh kaum muslimin?”

Rasulullah Saw menjawab,

“Doa itu khusus untuk Yunus dan kaum muslimin yang berdoa menggunakan doa ini. Tidakkah engkau mendengar firman Allah (pada ayat selanjutnya).

وَكَذَٰلِكَ نُـۨجِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

“Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS.Al-Anbiya’:88)

Itu adalah syarat dari Allah bagi yang memohon kepada-Nya.

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Cara Ulama Mencari Nafkah: Tukang Sepatu, Penjahit, Makelar,

a masa dalam peradaban ketika kaum Muslimin begitu dekat dengan ilmu. Di pasar-pasar, toko-toko, dan di berbagai tempat bekerja begitu banyak orang-orang berilmu.

Seorang ulama bernama al-Hafizh as-Sam’ani memiliki perhatian khusus terhadap berbagam profesi para ahli ilmu. Dia menulis kitab al-Ansab yang memaparkan berbagai profesi yang ditekuni oleh para ulama. Inilah di antaranya:

Tukang Sandal

Ada beberapa ulama yang menyertakan nama an-ni’ali dalam dirinya. Ini adalah penisbatan kepada profesi yang berhubungan dengan sandal, baik pembuat maupun penjualnya.

Contohnya adalah Abu Ali al-Hasan bin al-Husain bin Duma an-Ni’ali, ulama Baghdad (431 H). Pamannya juga seorang ulama, namanya Abu Bakr Muhammad bin Ishaq an-Ni’ali (370 H).

Ada pula ulama periwayat Hadits yang mencari nafkah dengan membuat dan menjual sandal. Misalnya Abu al-Hasan Muhammad bin Thalhah an-Ni’ali (413 H). Juga cucunya yang bernama Abu Abdillah al-Husain bin Ahmad an-Ni`ali. (al-Ansab, 5/509).

Tukang Sepatu

Para periwayat Hadits dan ulama ada pula yang berprofesi sebagai penjual sepatu. Ulama yang semacam ini disebut dengan nama al-hadzdza`.

Contohnya adalah Abdullah bin Abdirrahman al-Hadzdza’ yang memiliki laqab (julukan) Bulbul. Juga Muhammad bin Salim al-Hadzddza’ yang memiliki julukan Hamdun. Ada lagi Katsir bin Ubaid al-Himshi al-Hadzdza’.

Adapun nama Khalid bin Mihran al-Hadzdza’, bukanlah penjual atau pembuat sepatu. Ia dikenal dengan penisbatan itu karena tinggal di atas toko sepatu. (al-Ansab, 2/190).

Tukang Kayu

Banyak pula ulama yang menisbatkan diri kepada profesi tukang kayu. Ulama yang ini disebut an-najjar.

Di antara mereka adalah Abu Bakr Muhammad bin Ja’far an-Najjar, seorang periwayat Hadits yang tsiqah (379 H). Juga ada Abu Bakr Muhammad bin Umar an-Najjar, juga periwayat Hadits yang tsiqah (432 H). Kata al-Khatib al-Baghdadi, “Aku mencatat (periwayatan) darinya, dia seorang syaikh yang dikenal tsiqah dari kalangan ahlul-Qur`an.” (al-Ansab, 5/494, 495).

Pencari Ikan

Ada ulama yang menisbatkan diri kepada profesi sebagai pemburu atau pencari ikan, yakni ash-shayyad. Di antara mereka adalah Abu Muhammad Ahmad bin Yusuf ash-Shayyad, perawi Hadits dari Baghdad.

Abu Muhammad, anak Abu Bakr Muhammad bin Ahmad, juga berprofesi sebagai pemburu. Ia merupakan periwayat Hadits yang tsiqah.

Ulama lainnya adalah Abu Utsman Sa’id bin al-Mughirah ash-Shayyad dari Mashishah. Jika ia membaca Kitab as-Sair, maka para penduduk menutup kedai-kedainya agar bisa mendatangi majelisnya. (al-Ansab, 3/570).

Makelar

Ada pula ulama yang berprofesi sebagai ad-dallal, yakni perantara antara penjual dan pembeli alias makelar. Yang masyhur menisbatkan diri dengan profesi ini adalah Abu al-Hasan Ahmad bin Abdir Raziq ad-Dallal (391 H), seorang muhaddits yang tsiqah dari Baghdad. (al-Ansab, 2/519).

Penenun Kain

Ada ulama yang berprofesi sebagai penenun kain atau an-nassaj. Di antara mereka adalah Abu al-Hasan Khairun bin Abdillah an-Nassaj (322 H), ulama besar sufi yang umurnya mencapai 120 tahun. (al-Ansab, 5/482).

Penjahit Pakaian

Ulama yang berprofesi sebagai penjahit pakaian disebut dengan al-khayyath. Antara lain Abu al-Fadhl Musa bin Ali bin Qadh al-Khayyath, seorang syaikh shalih di Baghdad. Tempatnya menjahit berada di antara dua jalan.

Penulis kitab al-Ansab, as-Sam’ani, juga memiliki beberapa guru periwayatan Hadits yang berprofesi sebagai penjahit pakaian. Di antaranya adalah Abu Abdillah al-Husain bin Ali bin Ahmad al-Khayyath.

Ada pula ulama shalih yang mencari nafkah sebagai penjahit, yakni Abu Bisyr Abdullah bin Ahmad dari an-Naisabur. Ulama yang satu ini dikenal sebagai seorang yang doanya dikabulkan. Tak heran jika banyak orang yang kerap datang ke tokonya untuk meminta doa. Abu Bisyr tidak makan kecuali dengan hasil jerih payahnya sendiri. (al-Ansab, 2/426).

Pedagang Mutiara

Menurut as-Sam’ani, ada ulama yang disebut al-lu’lu’i. Ini adalah penisbatan sekelompok orang yang menjadi penjual mutiara.

Di antara ulama yang profesi itu adalah Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi al-Lu’lu`i. Ia seorang Tabi’in yang termasuk dalam golongan hufazh Hadits, banyak meriwayatkan dari Syu’bah, ats-Tsauri, dan Malik. (al-Ansab, 5/145).

Penyepuh Emas

Adz-dzahabi adalah penisbatan kepada emas, yakni pemurniannya dan pembersihan dari campuran-campurannya. Sebagian dari mereka membuat perhiasan dari emas.

Ulama yang menisbatkan diri dengan profesi ini adalah Utsman bin Muhammad adz-Dzahabi. Ia yang menyampaikan Hadits di Mesir maupun di Syam. (al-Ansab, 3/17).

Pedagang Gula

Ada ulama yang menisbatkan diri terhadap profesi pedagang gula, pembuatnya, atau tengkulaknya. Ulama yang ini menyertakan nama as-sukkari.

Contohnya adalah Bisyr bin Muhammad as-Sukkari dari Marwa. Ia meriwayatkan Hadits Ibnu Mubarak. (al-Ansab, 3/266).

Pedagang Pakan

At-Tabban, merupakan penisbatan kepada profesi sebagai penjual tabn (pakan ternak). Contohnya adalah Abu al-Abbas at-Tabban, ulama rujukan penduduk an-Naisabur. (al-Ansab, 1/448).

Penjual Ikan

Ada pula ulama yang berprofesi sebagai penjual ikan. Di antara mereka adalah Abu Hammad Sa’id bin Rasyid as-Sammak dari Bashrah. Ia meriwayatkan Hadits dari Atha’ dan az-Zuhri. (al-Ansab, 3/289).

Penjual Tepung

Banyak ulama yang berprofesi atau mencari nafkah sebagai penjual tepung atau pembuatnya, biasa disebut ad-daqqaq atau ad-daqiqi. Di antara mereka adalah Abu Qasim Isa bin Ibrahim Isa ad-Daqqaq. Kata Khatib al-Baghdadi, “Ia adalah penjual tepung.” (al-Ansab, 2/485).*

HIDAYATULLAH

Memakai Masker Saat Ihram dan Haji, Bolehkah?

Pandemi Covid-19 belum juga berakhir di dunia. Pelbagai negara pun meminta masyarakat untuk bersam-sama memutus mata rantai Covid-19 ini. Salah satunya dengan menerapkan protokol kesehatan. Ada pun salah satu bentuk penerapan protokol kesehatan adalah memakai masker. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana hukum memakai masker saat ihram dan haji?

Terkait persoalan memakai masker daat haji dan umroh, Syek Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dari Lajnah Daimah Lil Ifta, Kerajaan Arab Saudi membagi dua persoalan hukum ini. Ulama senior dalam Lembaga Fatwa Arab Saudi membeda hukum memakai masker saat haji dan umroh antara laki-laki dan perempuan.

Pertama, bagi laki-laki boleh hukumnya memakai masker saat haji dan umroh. Pasalnya menutup wajah  saat sedang haji dan umroh diperbolehkan hukumnya bagi pria.

Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam al Majmu’ Al Fatawa wa Rasail al U’staimin mengatakan;

وأما الرجل: فلا حرج عليه في لبس الكمامة؛ لأنه لا يحظر عليه تغطية وجهه على الراجح

Artinya: Ada pun laki-laki tak ada dosa (kesalahan) padanya untuk memakai masker, karena tidak ada yang menghalangi atasnya untuk menutupi wajahnya, atas pendapat yang kuat.

Dan Imam Nawawi dalam Kitab Al Majmu’ Syarah Muhadzab menjelaskan bahwa seorang pria boleh hukumnya menutup wajahnya pada saat Ihram (Baca; termasuk dalam hal ini memakai masker). Pasalnya, tak ada larangan menutup wajah bagi laki-laki saat haji  dan umroh.

Imam Nawawi dalam Al Majmu’ Syarah Muhadzab Juz VII, halaman 268 mengatakan ;

مذهبنا أنه يجوز للرجل المحرم ستر وجهه، ولا فدية عليه وبه قال جمهور العلماء

Artinya; Menurut pendapat mazhab kita, sesungguhnya boleh bagi laki-laki menutup wajahnya saat ihram, dan tak ada bayar fidyah baginya. Inilah pendapat para jumhur ulama.

Kedua, ada pun hukum memakai masker bagi perempuan saat umroh dan haji adalah haram. Hal ini sebagaimana tertera dalam  hadist riwayat Imam Bukhari;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنْ الثِّيَابِ فِي الْإِحْرَامِ ؟

فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا الْبَرَانِسَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلَانِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا الْوَرْسُ وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلَا تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ

Artinya;  Dari Abdullah bin Umar, berkata ia, Seorang pria datang kepada Nabi, kemudian ia berkata: Wahai Rasulullah,  pada saat kami sedang ihram pakaian apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah untuk kami pakai?Baginda Muhammad SAW menjawab: “Janganlah kalian mengenakan baju, celana, sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada dibawah mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan.

Akan tetapi ada pengecualian hukum atau keringanan hukum—boleh hukumnya memakai masker bagi wanita—, ketika ada hajat atau karena ada darurat. Menurut al-Imam al-Hafidz Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari al-Qahiri dalam Asnal Mathalib, Juz Ihalaman 507, boleh hukumnya memakai penutup muka bagi wanita ketika ada hajat.

Ulama yang lebih populer dengan nama Syekh al-Hafidz Zakariya al-Anshari, berkata;

مَنْ لَبِسَ فِي الْإِحْرَامِ مَا يَحْرُمُ لُبْسُهُ بِهِ ، أَوْ سَتَرَ مَا يَحْرُمُ سَتْرُهُ فِيهِ ، لِحَاجَةِ حَرٍّ ، أَوْ بَرْدٍ ، أَوْ مُدَاوَاةٍ ، أَوْ نَحْوِهَا : جَازَ ، وَفَدَى

Artinya; Boleh hukumnya memakai sesuatu pada saat ihram, padahal itu yang diharamkan memakai pakaian tersebut, atau menutup pada saat ihram, padahal yang ia tutup haram hukumnya menutupnya, itu boleh karena ada hajat. Sepertinya; cuaca sangat panas, atau cuaca dingin, atau  untuk pengobatan, dan seumpamanya,  hukumnya boleh itu dan kena denda.

Di sisi lain, Menurut Ayatullah Agung Ali al-Sistani mengatakan boleh hukumnya wanita memakai masker di hidung dan wajah apabila dalam keadaan darurat. Meskipun hukum asal memakai masker bagi wanita adalah terlarang, karena dalam keadaan darurat, misalnya Covid-19, maka tak ada masalah. Boleh hukumnya.

Ulama kontemporer sekaligus mufti Iran, Ali Asistani mengatakan;

المحرمة فلا تستخدمها لانه لايجوز لها ستر وجهها ولو بعضاً منه بمثل ذلك، نعم لاباس بها في حال الضرورة

Artinya; Ada pun perempuan yang ihram, maka jangan ia memakai masker di wajahnya, karena tidak boleh bagi perempuan menutup wajahnya pada saat ihram dan haji, walaupun sebagian wajahnya. Akan tetapi bila ada dalam keadaan darurat, maka tak apa-apa. Boleh hukumnya.

Lebih lanjut, apakah wajib membayar fidyah ( denda karena melanggar) bagi wanita yang memakai masker ketika haji dan umroh? Syekh Ustaimin membagi tiga hukumnya;

Pertama, wanita yang memakai masker dengan sengaja tanpa ada hajat dan tidak ada darurat (keringanan hukum), maka hukumnya berdosa. Dan wanita tersebut membayar fidyah.

Kedua, bila wanita memakai masker saat haji dan umroh karena ada hajat dan darurat, maka ia tak berdosa, tetapi wajib membayar fidyah.

Ketiga, seorang wanita yang memakai masker kerana ketidaktahuan hukum memakainya, atau karena lupa, atau karena terpaksa, atau karena tidur, maka ia tak berbosa dan tidak wajib membayar fidyah haji atau umroh.

Ada pun wajib fidyah itu ada tiga macam; Pertama, puasa tiga hari, Kedua, memberi makan faqir dan miskin. Ketiga, menyembelih hewan sembelihan.

Oleh karena itu bagi orang yang wajib fidyah, maka diperbolehkan memilih satu dari tiga macam  di atas.

Demikian keterangan tentang hukum memakai masker saat ihram dan haji. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum Mengonsumsi Makanan Lezat Tapi Membahayakan Kesehatan

Dalam Islam, ada dua hal yang perlu diperhatikan ketika kita hendak mengonsumsi makanan. Pertama, halal. Kedua, thayyib atau baik bagi tubuh dan akal. Ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 168 berikut;

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, maksud ayat ini adalah bahwa Allah memberi rezeki semua makhluk-Nya. Untuk itu, sebagai pemberi karunia kepada mereka, Allah memperbolehkan mereka makan dari semua apa yang ada di bumi, yaitu yang dihalalkan bagi mereka lagi baik dan tidak membahayakan tubuh serta akal mereka, sebagai karunia dari-Nya.

Juga berdasrkan hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda;

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang Allah gunakan untuk memerintahkan para rasul. Maka Allah berfirman; Wahai para rasul, makanlah segala sesuatu yang baik dan beramal baiklah sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan. Dan Allah juga berfirman; Wahai orang-orang yang beriman, makanlah segala sesuatu yang baik yang telah kami berikan kepada kalian.

Berdasarkan ayat dan hadis ini, para ulama mengatakan bahwa makanan tidak cukup hanya halal saja, namun juga harus baik dan tidak membahayakan tubuh dan akal. Jika makanan sudah halal, namun ia bisa membahayakan tubuh atau akal, maka hukumnya haram untuk dimakan.

Dengan demikian, mengonsumsi makanan yang lezat namun dipastikan sudah membahayakan kesehatan tubuh, maka hukumnya haram untuk dikomsumsi. Hal ini karena makanan yang sudah dipastikan membahayakan tubuh, meskipun halal, hukumnya haram untuk dikonsumsi.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

يَظْهَرُ مِنَ الاِسْتِقْرَاءِ وَتَتَبُّعِ تَعْلِيلاَتِ فُقَهَاءِ الْمَذَاهِبِ فِيمَا يَحْكُمُونَ بِحُرْمَةِ أَكْلِهِ أَنَّهُ يَحْرُمُ أَكْل الشَّيْءِ مَهْمَا كَانَ نَوْعَهُ لأِحَدِ أَسْبَابِ خَمْسَةٍ:السَّبَبُ الأْوَّل: الضَّرَرُ اللاَّحِقُ بِالْبَدَنِ أَوِ الْعَقْل..

Berdasarkan penelitian terhadap alasan-alasan ulama fiqih terkait keharaman makanan bahwa haram mengonsumsi jenis makanan apapun jika ada salah satu sebab yang lima ini; sebab pertama adalah bahaya yang bisa mengamcam tubuh atau akal..

BINCANG SYARIAH

Resep Nabi Kala Berduka

عن عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم (لَيْسَ مِنّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعا بِدَعْوى الْجاهِلِيَّةِ

“Bukanlah golongan kami, siapa yang menampar pipi, merobek baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (Riwayat Bukhari No. 1294 dan Muslim No. 103)

Hidayatullah.com–Dalam urusan dunia, masyarakat jahiliah jauh dari kesan bodoh. Di antara mereka terdapat sastrawan, ahli bisnis, dan diplomat ulung. Tapi syariat tetap melabelinya dengan jahiliah yang berarti kebodohan. Dimanakah letak kejahiliahan mereka?

Kejahiliahan itu terlihat pada cara beragama dan moral mereka. Jika kita menyelami sisi yang satu ini, setumpuk bukti kejahiliahan bisa kita dapatkan. Dalam menyembah mereka menyekutukan Allah SWT. Dalam moral dan akhlak mereka terlilit oleh tradisi-tradisi yang menyimpang.

Di tengah masyarakat seperti itulah Rasulullah SAW diutus. Tugas beliau adalah mengembalikan mereka pada jalur kemuliaan dengan meninggalkan tradisi-tradisi jahiliah. Di antara tradisi itu adalah menampar pipi, merobek baju sebagai pelampiasan dikala berduka.

Makna Hadits

Kehilangan orang yang dicintai acap kali meletupkan kesedihan yang begitu mendalam. Kondisi inilah yang kadang dimanfaatkan oleh setan. Ia menyusupkan bisikannya saat seorang sedang dirundung duka. Tanpa sadar sikap dan prilaku kita di bawah kendalinya. Alhasil, kesabaran menjauh dan pelampiasan kesedihan ala jahiliah yang menyeruak.

Hadits di atas bekal penting untuk menghindari berduka ala jahiliah. Sebab, melampiaskan kesedihan tidak bisa seenaknya dan sekehendak hawa nafsu. Menangis sambil meraung, menyobek baju dan menampar pipi adalah perbuatan yang dikecam keras oleh Rasulullah SAW.

Kecaman keras itu sangat terasa pada lafadz yang beliau gunakan. Rasulullah SAW mengawali Haditsnya dengan lafadz laisa minna yang artinya tidak berada di atas jalan dan ajaran kami. Galibnya, beliau menggunakan lafadz seperti ini sebagai peringatan keras terhadap suatu maksiat. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Uslub seperti ini digunakan oleh Rasulullah untuk mencegah dengan keras agar tidak  terjerumus dalam perbuatan dosa. (Fathul Bari 3/163)

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Ia berkata, “Hadits-hadts yang di dalamnya terdapat laisa minna adalah peringatan akan maksiat yang sangat besar bobot dosanya, tapi pelakunya tidak keluar dari Islam selama ia tidak meyakini maksiat itu sebagai sesuatu yang halal. ”Adapun yang dimaksud dengan da’wah al-jahiliah adalah, menangis sambil mengucapkan perkataan yang tidak boleh menurut syariah.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/68)

Peringatan keras dalam Hadits di atas erat kaitannya dengan salah satu rukun iman yaitu beriman kepada takdir. Bersedih dengan menangis sambil berteriak, meraung, menampar pipi adalah perilaku yang bisa mencedrai bahkan merusak pilar keimanan kita kepada takdir.

Cukup di Hati dan Air Mata

Mencermati sejarah, Nabi Muahmmad SAW adalah sosok yang paling dahsyat ujian dan cobaannya. Kondisi dan situasi sulit nyaris tak terpisahkan dari perjalanan hidupnya.

Perhatikanlah sejarah hidup beliau. Sebelum lahir ia telah kehilangan ayahnya. Setelah lahir silih berganti orang-orang yang dicintainya dipanggil Allah SWT. Mulai dari ibu, kakek, paman, dan istri tercintanya khadijah.

Namun apa yang dilakukan oleh Nabi SAW, tak satu pun dari peristiwa-peristiwa tersebut yang dirayakan sebagai hari berkabung. Yang diperlihatkan oleh Rasulullah SAW adalah sabar. Beliau tidak memukul, apalagi sampai melukai diri sebagaimana yang dilakukan kalangan Syiah.

Sebagai manusia tentu beliau bersedih. Bahkan saat putra beliau Ibrahim meninggal beliau menangis. Tapi kesedihan itu hanya sebatas di hati dan air mata. Tidak ada ucapan apalagi aktivitas fisik yang merefleksikan kesedihannya. Inilah Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Beliau bersabda:

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُوْلُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيْمُ لَحَمْزُوْنُوْنَ

”Sesungguhnya mata bisa berlinang, hati juga bisa berduka namun kita hanya bisa mengucapkan yang diridhai Tuhan kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bersedih karena berpisah denganmu.” (Al-Bukhari dan Muslim)

Sebatas bersedih dan mengeluarkan air mata tanpa disertai dengan ratapan dan teriakan, maka hal tersebut dibolehkan. Beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلاَ بِحُزْنِ الْقَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا–وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ–أَوْ يَرْحَمُ

“Sesungguhnya Allah itu tidak menyiksa karena tetesan air mata kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini, (beliau menunjuk kearah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya.” (Al-Bukhari).

Adapun tradisi berduka dengan berteriak, menampar pipi, melukai diri adalah tradisi jahiliah yang sangat dilaknat dan dikecam oleh Rasulullah SAW.

Oleh Ahmad Rifa’i*

*Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Balikpapan

HIDAYATULLAH