Terkait Isra Mi’raj, Apakah yang Berangkat Jasad Nabi Atau Ruh Saja?

Terkait peristiwa Isra Mi’raj, apakah yang diberangkatkan itu jasad Nabi atau ruh beliau saja? Ulama klasik sudah membicarakan hal ini sejak dulu.  Fakhruddin al-Razi dalam tafsir Mafatihul Ghaib (20/148) menjelaskan bahwa sebagian besar ulama sepakat bahwa Nabi pergi Isra Mi’raj beserta dengan jasad beliau. Hanya ada sebagian kecil pendapat yang menyebutkan Rasulullah Saw hanya berangkat dengan Ruhnya saja. (Baca: Benarkah Peristiwa Isra Mi’raj Buktikan Allah Bertempat di Langit?)

Di antara sebagian kecil tersebut adalah sebuah riwayat yang dikutip oleh al-Thabari dari Hudzaifah bahwa Isra Mi’raj Rasulullah hanya terjadi dengan ruh beliau, adapun jasad beliau tetap berada di rumahnya. Riwayat serupa juga dikutip dari Aisyah Ra. dan Mu’awiyah Ra.

Al-Razi sendiri lebih memilih pendapat pertama, yaitu Isra Mi’raj Nabi terjadi dengan jasad dan ruh sekaligus, hal ini ditunjukkan dengan penyebutan kata al-‘Abd pada ayat pertama dari surah al-Isra:

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا

Artinya:  Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha. (Q.S: al-Isra’ {17},(1)).

Menurut al-Razi, kata al-‘Abd itu mencakup fisik dan ruh sekaligus. Perbandingannya adalah dengan melihat pemaknaan kata al-‘Abd pada ayat yang berbeda seperti:

أَرَءَيۡتَ ٱلَّذِي يَنۡهَىٰ  ٩ عَبۡدًا إِذَا صَلَّىٰٓ  ١٠

Artinya:  Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan shalat. (Q.S: al-‘Alaq {96}, (9-10))

Perbuatan shalat tentu merupakan pekerjaan fisik dan jiwa, sehingga pelakunya di sini disebut dengan redaksi al-‘Abd. Hal yang sama juga dipahami pada ayat Isra Mi’raj. Jadi Nabi yang disebut dengan redaksi al-‘Abd dalam penjelasan Isra Mi’raj beliau juga menunjukkan peristiwa itu di jalan dengan jasad Nabi dan ruhnya sekaligus.

Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya (8/14) juga menjelaskan pendapat Isra Mi’raj Nabi hanya dengan ruh saja merupakan pendapat yang lemah. Pendapat yang kuat dalam masalah ini, Isra Mi’raj Nabi terjadi dengan jasad dan ruh sekaligus.

Al-Imam al-Thabari dalam tafsirnya (14/446), setelah menguraikan berbagai riwayat tentang masalah ini secara panjang lebar memberikan kesimpulan: “Keterangan Isra Mi’raj Nabi telah dijelaskan dalam ayat dan kita wajib mengimaninya sebagaimana penjelasan ayat. Tidak ada dorongan untuk menafikan perjalanan Nabi secara fisik dalam maslah ini, karena memang peristiwa tersebut memang suatu keluarbiasaan yang diberikan kepada Nabi oleh Allah Swt. Menurut al-Thabari, pendapat Isra Mi’raj Nabi terjadi pada fisik dan ruh sekaligus juga diperkuat oleh keterangan hadis bahwa Nabi diberangkatkan di atas buraq. Tentu penggunaan buraq sebagai kendaraan di sini menunjukkan bahwa Nabi diberangkatkan sekaligus dengan jasad dan ruh beliau.

BINCANG SYARIAH

Nilai-Nilai Pendidikan di Balik Isra Mi’raj

Isra’ Mi’raj menyimpan banyak hikmah dan ibrah bagi orang-orang yang berakal sehat. Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram di Mekkah ke Masjid al-Aqsha di al-Quds, Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah naiknya Rasulullah SAW menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak bisa dijangkau oleh semua makhluk, malaikat, jin dan manusia. Dan perjalanan itu berlangsung hanya semalam (Said Muhammad Ramadhan al-Buthy, Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyah, Kairo: Dar al-Salam, 2012, hlm. 108).

Di balik keagungan mu’jizat ini, ada nilai-nilai pendidikan yang patut untuk direnungkan dan diaplikasikan. Demikian dikemukakan Kepala Divisi Pendidikan & Dakwah Direktorat Pembinaan dan Pendidikan Agama Islam UII, Junaidi Safitri., S.E.I., M.E.I. dalam pesan tertulis yang diterima Bidang Humas UII, Senin (23/3). Tahun ini umat Islam kembali memperingati peristiwa Isra Mi’raj pada 27 Rajab 1441 H yang jatuh bertepatan dengan hari Minggu (22/3).

Junaidi Safitri menjelaskan, sejarah mencatat bahwa keesokan harinya Rasullah SAW menceritakan peristiwa itu kepada penduduk Mekkah. Namun berita ditolak mentah-mentah oleh Abu Jahal dan para pengikutnya. Mereka justru menertawakan Rasululah dan mengolok-oloknya. Menurut mereka, perjalanan Nabi di malam hari itu tidak masuk akal. Sebaliknya, ada manusia cerdas seperti Abu Bakar yang bisa menerima kebenaran peristiwa itu tanpa banyak berpikir dan ragu.

Dengan tegas ia mengatakan “Jika memang benar Muhammad yang mengatakannya, dia telah berkata benar, dan sungguh aku akan membenarkannya lebih dari itu.” Atas keyakinannya yang teguh itu Abu Bakar kemudian diberi gelar al-Shiddiq yang berarti orang yang jujur dalam keimanan (Muhammad al-Khudari, Nur al-Yaqin, Beirut:Dar al-Fikr, 2001, hlm. 59)

Junaidi Safitri menegaskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj adalah momen yang baik untuk memperkuat aqidah umat Islam. Para pendidik Muslim harus melahirkan manusia-manusia beradab seperti Abu Bakar al-Shiddiq. Manusia-manusia yang keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya tidak menyisakan keraguan sedikitpun. Manusia yang memahami cara menggunakan akal dengan benar agar tidak berpikir nyeleneh.

“Bukan manusia yang “sok kritis” karena terlalu mendewakan akalnya yang lemah. Bukan manusia yang hilang keyakinannya karena “bertaqlid” kepada orang-orang Barat-Sekular yang bertentangan dengan pandangan alam Islam (Islamic Worldview),” paparnya.

Selain masalah aqidah, seperti dijelaskan Junaidi Safitri, Isra’ Mi’raj juga mengandung pendidikan ibadah. Dalam hal ini tentu saja tentang pentingnya mendirikan shalat. Sebab shalat adalah hadiah dari Allah SWT di malam Isra’ Mi’raj itu. Ibadah shalat adalah Mi’rajnya orang-orang mukmin. Isra’ Mi’raj adalah evaluasi ibadah shalat kita.

“Apakah shalat kita sudah benar, sesuai syarat, rukun dan adabnya? Apakah kita sudah istiqamah mendirikan shalat secara berjama’ah? Apakah keluarga kita sudah mendirikan shalat? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang harus dijawab terkait shalat yang kita laksanakan,” tutur Junaidi Safitri.

Lebih lanjut dipaparkan Junaidi Safitri, Allah SWT memerintahkan kita sekeluarga mendirikan shalat dan bersabar dalam mendirikannya (QS Thaha:132). Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan para orangtua agar memperhatikan masalah shalat sejak dini. Orangtua wajib mendidik anak-anaknya untuk mendirikan shalat sejak usia tujuh tahun. Bahkan orangtua diizinkan mendidik anaknya dengan pukulan jika mereka meninggalkan shalat ketika sudah berusia sepuluh tahun (HR Abu Daud).

“Atas dasar itu, para ulama seperti Imam al-Ghazali menjadikan shalat sebagai kurikulum inti dalam mendidik anak (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, Kairo:Dar Mishr li al-Thiba‘ah, 1998, Juz II, hlm. 91),” terangnya.

Junaidi Safitri menegaskan, perhatian terhadap pendidikan shalat ini harus lebih diutamakan daripada sekedar kemampuan membaca dan menulis. Jika orangtua khawatir anak-anaknya belum bisa membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar, maka orangtua harus lebih khawatir jika anaknya belum mendirikan shalat padahal mereka sudah di perguruan tinggi. Sebab anak adalah amanah, dan setiap amanah akan dituntut pertanggungjawabannya.

Junaidi Safitri menambahkan, buah yang diharapkan dari ibadah shalat ini adalah akhlak yang baik. Sebab Allah SWT menyatakan bahwa shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut:45). Banyak akhlak yang mulia di dalam shalat. Di dalam shalat kita dididik untuk menjadi orang yang cinta kebersihan, memakai pakaian yang beradab, disiplin waktu, siap memimpin dan dipimpin, rendah hati, menjaga persatuan, menebarkan kedamaian (salâm) kepada sesama dan sebagainya. Akhlak-akhlak mulia seperti ini hanya akan muncul dari orang-orang yang telah mendirikan shalat dengan benar, istiqamah dan ikhlas.

Dan yang tidak boleh dilupakan, Isra’ Mi’raj juga memberi isyarat pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat Islam harus meningkatkan semangat menuntut ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain dan fardhu kifâyah. Ilmu-ilmu syariah dan ilmu-ilmu umum. Sebab bangkitnya peradaban harus didahului bangkitnya tradisi ilmu.

“Umat Islam merindukan sosok ulama sekaligus ilmuwan seperti Ibn Haytham, al-Biruni, al-Khawarizmi dan sebagainya. Mereka semua bukan tokoh yang turun dari langit. Tapi tokoh yang lahir dari proses pendidikan yang Islami dan terintegrasi antara ilmu dan adab,” tandas Junaidi Safitri.

“Peristiwa Isra’ Mi’raj tidak akan terulang kembali. Tetapi semangat itu harus tetap menyala. Yaitu dengan memanfaatkan waktu, khususnya waktu malam dengan ilmu dan amal agar peradaban Islam bisa Mi’raj mengungguli peradaban lainnya.Wallâhu a’lam bi al-shawâb,” pungkasnya. (RS)

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

4 Pahala Baca Alquran dan 1 Perusaknya di Hari Kiamat

Umat Islam dianjurkan untuk selalu membaca Alquran, memahaminya, dan mengamalkannya. Karena, Alquran memiliki banyak keutamaan, termasuk di Hari Kiamat kelak.

Seperti dikutip dari laman Alukah, setidaknya ada empat keutamaan Alquran di hari kiamat. Pertama, yaitu Alquran akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat.

Dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili RA, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda :

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه “Bacalah oleh kalian Alquran. Karena ia akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang rajin membacanya.” [HR Muslim 804].

Dari An-Nawwas bin Sam’an, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: 

يؤتى بالقرآن يوم القيامة وأهله الذين كانوا يعملون به، تقْدُمُهُ سورة البقرة وآل عمران تحاجَّان عن صاحبهما “Pada hari kiamat, Alquran akan didatangkan dan juga para ahli Alquran, yaitu orang-orang yang mengamalkannya di dunia. Di depannya ada surat Al-Baqarah dan Ali ‘Imrān, keduanya menjadi hujah bagi orang yang membacanya.”

Kedua, pahala orang yang membaca Alquran dan mengamalkannya akan berlipat ganda di hari kiamat. Dalam surat Fathir ayat 29-30, Allah SWT berfirman: 

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahamensyukuri.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah akan memberikan pahala yang banyak untuk orang-orang yang membaca Alquran dan mengamalkannya. Itulah sebabnya Mutrif rahimahullahuta’ala berkata, “Ini adalah ayat para qari’.”  

Ketiga, Alquran adalah pemimpin. Dia akan memimpin temannya ke surga atau neraka. Jadi, siapapun yang mengikuti Alquran dan membacanya, maka dia tidak akan meninggalkannya pada hari kebangkitan sampai dia memasuki Surga. Allah SWT berfirman: 

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ * يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ “Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan.” (QS Al-Ma’idah: 15-16).

Siapa pun yang mengikuti Alquran maka akan tinggal di taman surga, dan siapa pun yang tidak mengikuti Alquran akan dilemparkan ke Neraka. Salah satu sahabat nabi, Abu Musa al-Asy’ari mengatakan: 

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ كَائِنٌ لَكُمْ أَجْرًا وَكَائِنٌ عَلَيْكُمْ وِزْرًا “Sungguh Alquran itu menjadi sumber pahala untuk sebagian kalian dan menjadi sumber dosa untuk sebagian yang lain.”

Keempat, orang yang membaca, menghafal, dan mengamalkan Alquran akan diangkat derajatnya di surga pada hari kiamat. Dari Abdullah bin Amr bin Ash berkata, Rasulullah SAW bersabda: 

عن عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: يُقال لصاحب القرآن: اقرأ وارتقِ ورتل كما كنتَ ترتل في الدنيا، فإن منزلتك عند آخر آية تقرأ بها

“Dikatakan kepada Shahibul Quran (di akhirat): “Bacalah Alquran dan naiklah (ke surga) serta tartilkanlah (bacaanmu) sebagai mana engkau tartilkan sewaktu di dunia. Sesungguhnya kedudukan dan tempat tinggalmu (di surga) berdasarkan akhir ayat yang engkau baca.”

Seperti itulah empat keutamaan Alquran pada Hari Kiamat. Namun, yang terpenting dari para pembaca Alquran adalah keikhlasan dalam mengerjakannya dan berniat untuk mencari ridha Allah SWT. Sedangkan pembaca Alquran yang munafik adalah salah satu dari tiga orang yang akan dibakar pada hari kebangkitan.

Abu Hurairah RA, sebagaimana diriwayatkan Muslim dan Ahmad, berkata bahwa Nabi SAW bersabda: 

أول الناس يُقضى يوم القيامة عليه… ورجل تعلم العلم وعلمه وقرأ القرآن، فأُتي به، فعرَّفه نِعَمَهُ فعرفها، قال: فما عملت فيها؟ قال: تعلمتُ العلم وعلمته، وقرأتُ فيك القرآن، قال: كذبت، ولكنك تعلمتَ العلم ليُقال: عالم، وقرأت القرآن ليُقال: هو قارئ، فقد قيل، ثم أُمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقيَ في النار

“Sesungguhnya orang pertama yang akan diputuskan pada hari kiamat kelak…..adalah orang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya, serta pandai membaca Alquran. Maka diberitakan tentang nikmat-nikmat yang telah ia peroleh dan ia mengakuinya. Lalu ia ditanya: ”Lalu, apakah amalanmu di dalamnya?”

Jawab orang itu: ”Aku telah belajar ilmu untuk-Mu dan mengajarkannya, serta membaca Alquran untuk-Mu.” Allah berfirman: ”Dusta engkau, tetapi engkau belajar ilmu agar mendapat gelar alim, membaca Alquran agar mendapat gelar qari, dan engkau sudah menikmatinya di dunia.” Kemudian diperintahkan kepada malaikat untuk mencampakkannya ke dalam neraka.”

Sumber: alukah 

KHAZANAH REPUBLIKA

Berbicara dengan Orang Lain Sesuai dengan Tingkat Pemahamannya

Hendaknya kita berbicara dengan orang lain sesuai dengan tingkat pemahamannya. Tidak bicara tentang sesuatu yang tidak bisa digapai oleh akalnya. Demikian juga dalam menyampaikan ilmu dan berdakwah.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أنْزِلوا النَّاسَ مَنازِلَهم

“Tempatkanlah orang lain sesuai dengan posisinya yang sesuai” (HR. Abu Daud no. 4842. Dihasankan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Sunan Abi Daud, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Sunan Abi Daud).

Hadis ini walaupun dinilai lemah oleh para ulama, namun maknanya sahih. Sebagaimana dalam riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَامُعَاذُ ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ ؛ قَالَ : حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ ؟ قَالَ : لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا

“Wahai Mu’adz! Tahukah engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh para hamba? Dan apa hak para hamba yang akan ditunaikan oleh Allah? Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh para hamba-Nya ialah mereka beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang akan ditunaikan oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun”. Mu’adz bertanya, “Wahai Rasûlullah! Apakah kabar gembira ini sebaiknya aku sampaikan kepada orang-orang?” Nabi menjawab, “Jangan sampaikan! Aku khawatir mereka akan mengandalkan hal ini saja (sehingga tidak beramal)”. (HR. Bukhari no.2856, Muslim no.30).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Jangan sampaikan! Aku khawatir mereka akan mengandalkan hal ini saja” ini karena beliau khawatir jika disampaikan kepada orang-orang secara luas, akan menimbulkan kesalah-pahaman. Yaitu orang yang awam akan menyangka bahwa tidak perlu beramal saleh, cukup bertauhid saja. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada Mu’adz bin Jabal, karena Mu’adz memiliki ilmu dan tidak akan salah paham. Oleh karena itu, Imam Al Bukhari rahimahullah membawakan hadits ini dalam Shahih Al Bukhari di bawah bab:

من خص بِالْعلمِ قوما دون قوم كَرَاهِيَة أَن لَا يفهموا

“Mengkhususkan penyampaian ilmu kepada orang-orang yang khusus, karena khawatir orang-orang awam tidak memahami dengan benar”.

Sehingga hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya kita menyampaikan ilmu kepada orang lain sesuai dengan tingkat pemahamannya.

Dan juga, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

حَدِّثُوا النَّاسَ، بما يَعْرِفُونَ أتُحِبُّونَ أنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ ورَسولُهُ

“Bicaralah kepada orang lain sesuai dengan apa yang mereka pahami. Apakah engkau ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. Bukhari no. 127).

Hal ini juga disampaikan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

ما أنْتَ بمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إلَّا كانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

“Tidaklah engkau berbicara dengan suatu kaum dengan suatu perkataan yang tidak bisa digapai oleh akal mereka, kecuali akan menjadi fitnah (kesesatan) bagi sebagian mereka” (HR. Muslim dalam Muqaddimah-nya [hal. 5]).

Al Munawi rahimahullah menjelaskan:

لأن السامع لما لا يفهمه يعتقد استحالته جهلا فلا يصدق وجوده بل يلزم التكذيب فأفاد أن المتشابه لا ينبغي ذكره عند العامة

“Karena orang yang mendengar ilmu yang dia tidak pahami, ia akan menganggap hal tersebut mustahil, dan tidak akan mengimani ilmu tersebut, bahkan akan menolaknya. Riwayat ini juga memberi faedah bahwa dalil-dalil yang mutasyabihah hendaknya tidak disampaikan kepada orang awam” (Faidhul Qadir, 3/377).

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah juga berkata:

فكون الإنسان يُحدَّث بشيء لا يعقله ولا يطيقه فهمه قد يترتب عليه مضرة

“Ketika seseorang berbicara kepada orang lain tentang hal yang tidak digapai oleh akalnya, dan tidak mampu ia cerna, terkadang akan menimbulkan bahaya baginya” (Syarah Sunan Abi Daud, 3/12).

Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin rahimahullah menjelaskan:

“Tidak ragu lagi bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat pemahamannya. Berbeda-beda juga kecenderungan dan tabiat mereka. Dan bahwasanya seorang pengajar dan pemberi nasehat terkadang mencari-cari ilmu apa yang lebih utama untuk disampaikan kepada mereka. Maka kita katakan, bahwa wajib untuk berbicara kepada orang lain sesuai apa yang paling penting untuk mereka. Dinukil dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau berkata: “Bicaralah kepada orang lain sesuai dengan apa yang mereka pahami. Apakah engkau ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?”.

Ketika lawan bicaranya adalah pemeluk agama lain, maka yang lebih utama untuk disampaikan adalah tentang bukti validnya kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalil-dalil kenabian beliau, keindahan-keindahan agama Islam, dan menghilangkan syubhat-syubhat mereka. Juga menjawab keraguan-keraguan yang ada pada diri mereka.

Ketika lawan bicaranya adalah kaum Muslimin, namun mereka masih sering melakukan bid’ah dan memiliki akidah yang menyimpang, maka sampaikan kepada mereka tentang akidah yang benar, dan bagaimana pemahaman para sahabat dan salafus shalih, serta generasi terdahulu. Inilah metode yang digunakan para imam (ulama besar) dalam tulisan-tulisan mereka dalam masalah as-Sunnah, tauhid, iman, akidah yang benar dan bantahan terhadap kebid’ahan.

Ketika lawan bicaranya adalah kaum Muslimin yang tafrith (kurang mengamalkan agama) namun mereka mengaku Muslim secara lahiriah, namun tidak mengamalkan ajaran Islam. Atau mereka jatuh dalam banyak penyimpangan dan dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil.  Maka orang seperti ini perlu diajak diskusi seputar keadaan dirinya, kemudian menyampaikan nasehat-nasehat berupa kabar gembira atau ancaman-ancaman. Serta menyampaikan hujjah dan dalil kepadanya, menjelaskan dalil dan jalan yang lurus kepadanya. Yang bisa memutus syubhat-syubhatnya sehingga ia mendapatkan kebenaran dan keyakinan yang benar.

Adapun ketika khatib atau orang yang memberi nasehat di hadapan orang-orang awam. Yaitu orang-orang yang akidah mereka belum tercampur oleh pengaruh orang-orang menyimpang atau belum terkena syubhat-syubhat. Dan mereka masih di atas fitrah dan mereka yakin akan benarnya agama mereka. Namun dalam diri mereka terdapat kejahilan sehingga mereka melakukan banyak keharaman dan melalaikan ketaatan. Maka khatib atau orang yang memberi nasehat menghadapi mereka dengan metode-metode yang edukatif. Serta memperingatkan mereka perkara-perkara yang berbahaya bagi agama mereka, dan juga perkara-perkara yang diharamkan agama. Dan hendaknya mereka bersemangat untuk menyembuhkan maksiat dan fahisyah yang terjadi pada mereka. Dan berusaha setiap waktu untuk mencegah bahaya yang menimpa agama mereka dan juga diri mereka. Yang fenomena ini semua merupakan realita di masyarakat. Maka hendaknya ia menjadi orang yang benar-benar mengetahui metode apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan metode apa yang paling mudah untuk diterapkan pada individu dan masyarakat.

Dan seorang da’i juga hendaknya paham maksiat yang dilakukan masyarakat karena kejahilan atau karena kelalaian, atau karena menganggap remeh perkara agama padahal itu berat di sisi Allah. Da’i juga harus memahami cara dakwah yang tepat untuk jenis-jenis orang tertentu. Dengan demikian ia akan berhasil dalam berdakwah. Dan hendaknya ia juga mendahulukan perkara yang penting dulu baru kemudian yang kurang penting. Dan menyikapi segala sesuatu dengan sikap yang sesuai” (Majalah Al Bayan edisi 132 tahun 1419H, fatwa nomor 14).

Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom

Artikel: Muslim.or.id

Janganlah Mudah Mengkafirkan Para Pemimpin Kaum Muslimin

Membedakan mana dosa yang membuat pelakunya kafir (keluar dari Islam) dan mana yang sebatas dosa besar, amatlah penting. Karena keteledoran dalam membedakan dua hal ini, membuat sebagian orang tidak objektif dan serampangan dalam menvonis kafir kaum Muslimin terutama para pemimpin-pemimpin Muslim.

Setidaknya ada tiga poin yang dijadikan alasan kaum khawarij atau yang mengadopsi pemikirannya di zaman ini, dalam mengkafirkan kaum Muslimin dan para penguasa Muslim:

Pertama: Maksiat yang dianggap kekafiran

Seperti memakan riba, memberi izin kepada bank-bank ribawi, membuka lokalisasi. Padahal yang semacam ini bukanlah termasuk kekafiran. Akan tetapi merupakan dosa besar; yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Kecuali bila ada i’tikad kehalalan dosa-dosa tersebut. Maka ini sudah menjadi kesepakatan para ulama akan kekafirannya.

Dan sebatas melakukan dosa, bukan berarti pelakunya kemudian serta merta menganggap halal dosa yang dia lakukan, sehingga boleh dihukumi kafir.

Dalinya hadis Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu, mengenai seorang pemabuk di zaman Nabi yang berkali-kali mendapat hukuman cambuk dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Karena seringnya mendapat hukuman, salah seorang sahabat sampai mendoakan laknat untuknya. Lantas Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ، مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Janganlah kalian melaknatnya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahuinya melainkan ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhaari no. 6780).

Dia meminum khamr, namun Rasulullah tidak serta merta menghukuminya bahwa dia telah menghalalkan khamr. Buktinya Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Dia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya“.

Menghukumi bahwa dia telah menghalalkan dosa, ini membutuhkan bukti yang kuat. Atau setidaknya ada ketegasan ungkapan dari pelaku dosa. Tanpa ada keraguan dan syubhat yang menghalanginya dari vonis kafir.

Andai setiap pelaku dosa, serta merta dihukumi menghalalkan perbuatan dosa yang ia lakukan, tentu Nabi tidak akan bersabda demikian tentang pemabuk itu. Karena mengahalalkan dosa adalah sebab kekafiran yang mengeluarkan seorang dari islam, sebagaimana telah disepakati oleh para ulama.

Di samping itu, bila setiap orang yang melakukan maksiat otomatis tervonis menghalalkan maksiat yang dia lakukan, dengan kata lain, setiap perbuatan maksiat melazimkan pelakunya menghalalkan maksiat yang dia lakukan, tentu semua pelaku maksiat adalah kafir. Padahal banyak diantara mereka yang melakukan maksiat bukan karena meyakini kehalakan dosa yang dia lakukan. Namun karena dorongan nafsu atau syubhat yang ada dalam dirinya, dengan tetap meyakini akan keharaman dosa yang ia lakukan.

Demikian pula dengan pemimpin muslim yang mengizinkan berdirinya lokalisasi, atau bank-bank riba. Tidak serta merta dihukumi bahwa dia telah menghalalkan dosa-dosa tersebut. Sehingga berhak dihukumi kafir.

Bila kita sejenak merenungi keyakinan semacam ini, yaitu keyakinan bahwa setiap perbuatan maksiat melazimkan pelakunya menghalalkan maksiat yang dia lakukan. Maka akan kita dapati bahwa sejatinya inilah hakikat daripada akidah khawarij, yang mana mereka mengkafirkan pelaku dosa besar.

Kedua: Kufur ashgor (kufur kecil) yang dianggap kufur akbar (kufur besar)

Seperti berhukum dengan selain hukum Allah, namun tanpa menghalalkan hukum tersebut. Dengan keyakinan bahwa hukum Allahlah yang paling baik. Seperti ini banyak kita dapati di negeri kaum muslimin hari ini.

Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah: 44)

Yang mereka pahami dari makna “kafir” dalam ayat ini adalah kafir akbar; yang mengeluarkan pelakunya dari islam. Padahal makna “kafir” dalam ayat bukan demikian. Namun maknanya adalah kufur kecil; yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, mengenai makna ayat ini. Beliau menafsirkan,

كفر دون كفر

Yaitu kafir namun tidak sampai mengeluarkan dari Islam (kufur kecil) “

Berbeda bila diiringi i’tikad kehalalan berhukum kepada selain hukum Allah dan menganggap bahwa hukum tersebut lebih baik daripada hukum yang Allah turunkan, maka ini tidak perlu dibicarakan lagi. Karena para ulama telah sepakat akan kekafirannya.

Namun jangan disalah pahami, sehingga setiap penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka serta merta berhak diprasangkai atau divonis bahwa ia telah menghalalkan hukum tersebut. Atau meyakini kehalalan berhukum denagn selain hukum Allah. Penjelasan berkaitan dengan masalah ini, sama dengan yang telah dijelaskan pada poin pertama di atas.

Karena bisa jadi ada faktor lain yang menyebabkan penguasa tersebut berhukum dengan selain hukum Allah. Sehingga ia terhalangi daripada kekafiran. Seperti karena lingkungan yang memaksanya (orang-orang di sekeliling), atau karena dorongan syahwat dan nafsunya.

Menjatuhkan vonis kafir kepada penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, harus dilandasi bukti yang jelas, kuat, akurat (bukan hanya katanya dan katanya, atau sebatas berita yang ada kemungkinan manipulasi dst) yang didukung dalilAl-Qur’an maupun Hadis. Seperti dijelaskan dalam hadis Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu. Beliau mengatakan,

دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggil kami, lalu kami membaiat (mengucapkan sumpah setia) beliau. Dan diantara baiatnya adalah agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Baik ketika kami semangat ataupun tidak suka. Ketika lapamg ataupun dalam kesusahan. Ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan (mengkudeta) dari ahlinya. Beliau kemudian berkata, “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas telah kalian dapat buktinya dari Allah Ta’ala” (Muttafaq ‘alaih)

Bila tidak ada bukti yang kuat dan akurat, maka kembali pada hukum asal seorang muslim. Yaitu terbebaskan dari segala tuduhan.

Ketiga: Muamalah duniawi dengan orang kafir, yang dianggap oleh mereka sebagai kufur akbar

Seperti kerja sama dalam perekonomian, perdagangan, militer (selama untuk kemaslahatan kaum muslimin) dan lain sebagainya.

Allah befirman,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Katakan: “siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) untuk orang-orang yang beriman di kehidupan dunia ini, dan khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui” (QS. Al-A’raf: 32).

Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya dahulu, pernah membeli baju besi, pedang dan pakaian dan kebutuhan-kebutuhan lainnya dari orang-orang yahudi. Jadi dahulu di Madinah ada pasar milik kaum muslimin dan pasar milik kaum yahudi. Mereka saling berdampingan dalam transaksi jual beli di pasar-pasar tersebut. Kaum muslimin di kalangan sahabat, mereka membeli kebutuhan sehari-hari mereka di pasar yahudi. Begitu pula sebaliknya, orang yahudi membeli kebutuhan sehari-hari mereka di pasar kaum muslimin. Diantara pasar milik kaum yahudi yang paling masyhur di masa itu adalah pasar Bani Qunaiqa’. Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak mengingkari muamalah jual beli yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang yahudi. (Lihat: Siroh Ibnu Hisyam jilid 2, hal. 48)

Usman bin Afwan radhiyallahu’anhu. Beliau membeli sebuah sumur dari salah seorang yahudi. Kemudian sumur tersebut disedekahkan untuk kepentingan kaum muslimin. Sumur tersebut dikenal dengan sumur ar-ruumau (bi’ru ar-ruumah).

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, diantara program yang pertama beliau lakukan adalah membuat perjanjian antara kaum muslimin dan kaum yahudi yang berisi kesepakatan-kesepakatan antara kedua kedua belah pihak, yang dituliskan dalam sebuah prasasti yang tercatat dalam sejarah. (lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz III, hal. 225), memuat perjanjian aliansi militer serta musyawarah rutin dalam masalah pemerintahan. Dan bila menemui perselisihan, mereka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Begitu pula Nabi shallallahu’alaihi wasallam meninggal, sedang baju besi beliau tergadaikan di tangan orang yahudi (Lihat shahih Bukhari, Kitab al-Jihad, hadis no. 2759). Dan tidak menutup kemungkinan baju tersebut, dipakai oleh orang yahudi untuk berperang. Apakah kemudian kita katakan bahwa Nabi dan para sahabatnya loyal kepada orang kafir?! atau dikendalikan oleh orang kafir?! Tentu saja tidak kann?!

Fa’tabiruu yaa ulil abshoor! “Ambilah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.”

Demikian yang bisa penulis sampaikan. Wallahu a’lam bis showab.
______

Penulis: Ust. Ahmad Anshori, Lc.

Artikel Muslim.Or.Id

Al-Qur’an Contoh Terindah dalam Dunia Akhlak (Bag 2)

Sebelumnya kita telah menyebutkan 10 contoh akhlak yang di ajarkan dalam Al-Qur’an. Mari kita lanjutkan pada poin-poin selanjutnya :

Mengapa Al-Qur’an disebut contoh terindah dan terbaik dalam urusan kepribadian dan akhlak ?

Karena Al-Qur’an mengajak kita untuk :

11. Mengontrol sikap kita.

وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ

“Dan janganlah kamu melampaui batas.” (QS.Al-Ma’idah:87)

12. Mengajarkan kita untuk memaafkan dan bertoleransi.

فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ

“Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah.” (QS.Asy-Syura:40)

13. Mengajarkan kita untuk berbakti kepada orang tua.

وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ

“Dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua.” (QS.Al-Isra’:23)

14. Mengajarkan kita untuk bersikap adil dan penuh kebaikan.

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS.An-Nahl:90)

وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ

“Dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS.Al-Qashash:77)

15. Mengajarkan untuk mendamaikan yang berselisih.

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ

“Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (QS.Al-Hujurat:9)

16. Mengajarkan untuk menyampaikan amanah.

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS.An-Nisa’:58)

17. Mengajarkan kepada kita agar tidak menganggap prestasi yang kita raih adalah berkat kehebatan kita saja, tapi itu semua karena taufik dari Allah swt.

وَمَا تَوۡفِيقِيٓ إِلَّا بِٱللَّهِۚ

“Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah.” (QS.Hud:88)

Inilah Al-Qur’an ! Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mengajarkan akhlak di daam Al-Qur’an.

Inilah Kitab suci yang mampu mengontrol kehidupan manusia dan menjamin terwujudnya kehidupan yang toyyibah (baik) bila kita mengikuti petunjuknya.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Kisah Akhlak Rasulullah yang Mulia terhadap Sahabat yang Mabuk

Akhlak Rasulullah saw. kepada para sahabat dan orang terdekatnya itu sangat mulia sekali. Sekalipun pada pelaku maksiat, Rasulullah tidak membencinya dan mendoakannya agar sadar dan selalu cinta Allah dan Rasul-Nya.

Alkisah, di zaman Rasulullah hidup, ada sahabat dan anaknya yang suka mabuk. Menurut ulama, sahabat tersebut bernama Nuaiman. Tidak hanya Nuaiman, anaknya pun biasa mabuk. Ini di antaranya disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari sebagaimana berikut ini:

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كُلٌّ مِنَ النُّعَيْمَانِ وَوَلَدِهِ عَبْدِ اللَّهِ جُلِدَ فِي الشُّرْبِ وَقَوِيَ هَذَا عِنْدَهُ بِمَا أَخْرَجَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي الْفَاكِهَةِ مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ قَالَ كَانَ بِالْمَدِينَةِ رَجُلٌ يُصِيبُ الشَّرَابَ فَكَانَ يُؤْتَى بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضْرِبُهُ بِنَعْلِهِ وَيَأْمُرُ أَصْحَابَهُ فَيَضْرِبُونَهُ بِنِعَالِهِمْ وَيَحْثُونَ عَلَيْهِ التُّرَابَ فَلَمَّا كَثُرَ ذَلِكَ مِنْهُ قَالَ لَهُ رَجُلٌ لَعَنَكَ اللَّهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَفْعَلْ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Artinya:

Menurut pendapat ini, Nuaiman dan anaknya Abdullah itu dihukum cambuk karena mabuk. Riwayat ini menjadi kuat menurutnya (Ibnu Abdil Barr) sebab ada riwayat al-Zubair bin Bakkar dari Muhammad bin ‘Amr bin Hazm mengenai buah-buahan. Ia bercerita, “Saat itu di Madinah ada seorang lelaki yang selalu mabuk. Ia didatangkan pada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah memukulnya dengan sendal. Para sahabat pun disuruh Rasulullah memukulknya dengan sendal dan ditaburi debu. Saat sudah banyak debunya, seorang sahabat sumpah serapah, “Semoga Allah melaknatimu.” Akan tetapi Rasulullah menegur orang yang mendoakan buruk tersebut, “Jangan begitu, walaupun dia pemabuk tapi dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Dalam riwayat lain, sahabat Nuaiman dan anaknya itu bukan hanya sekali mabuk. Menurut Imam Ibnu Abdil Barr, Nuaiman itu mabuk sebanyak lebih dari 50 kali.  Tapi ia pun dihukum berkali-kali oleh Rasulullah dan sahabat lainnya. Akan tetapi, sahabat Nuaiman ini memiliki kelebihan humor yang menyenangkan, sehingga Rasulullah pun terhibur sebabnya.

Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga berpesan pada para sahabat, “Jangan kalian membantu setan dengan melaknatnya dan menghinanya.”

Mengapa demikian? Orang yang berbuat dosa atau keburukan itu apabila kita benci maka ia akan semakin jauh dari agama. Orang yang sedang terjerumus atau salah itu seharusnya kita rangkul, ingatkan, dan terus kita temani.

Menurut Imam Ibnu Hajar, hadis ini juga menolak pendapat orang yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar itu dikategorikan sebagai perbuatan kufur. Ini karena terdapat larangan dari Rasulullah untuk melaknat dan membenci pelaku dosa besar. Rasulullah malah menyuruh kita untuk mendoakan baik pada pelaku maksiat. Itulah di antara akhlak Rasulullah yang mulia.

Namun ini bukan berarti kita boleh mudah dan sembrono terus berulangkali melakukan maskiat tanpa merasa berdosa sedikit pun. Kita harus khawatir ketika dalam keadaan maksiat, usia kita diambil oleh Allah sehingga menyebabkan kita meninggal dalam keadaan suulkhotimah. Wallahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Al-Qur’an Contoh Terindah dalam Dunia Akhlak

Mengapa Al-Qur’an disebut contoh terindah dan terbaik dalam urusan kepribadian dan akhlak ?

Karena Al-Qur’an mengajak kita untuk :

*1. Mengontrol suara kita.*

وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ

“Dan lunakkanlah suaramu.” (QS.Luqman:19)

*2. Mengontrol cara berjalan kita.*

وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ

“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong.” (QS.Al-Isra’:37)

*3. Mengontrol pandangan kita.*
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ

“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu.” (QS.Tha-Ha:131)

*4. Mengontrol pendengaran kita.*

وَلَا تَجَسَّسُواْ

“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (QS.Al-Hujurat:12)

*5. Mengontrol makanan kita.*

وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS.Al-A’raf:31)

*6. Mengontrol kata-kata yang kita ucapkan.*

وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسۡنٗا

“Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia.” (QS.Al-Baqarah:83)

*7. Mengontrol tempat perkumpulan kita.*

وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ

“Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.” (QS.Al-Hujurat:12)

*8. Mengontrol jiwa kita.*

لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ

“Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain.” (QS.Al-Hujurat:11)

*9. Mengontrol pikiran kita.*

إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ

“Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (QS.Al-Hujurat:12)

*10. Mengontrol pernyataan kita.*

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS.Al-Isra’:36)

Inilah mengapa Al-Qur’an layak disebut sebagai kiblat manusia dalam ber-akhlak. Masih banyak lagi ayat-ayat lainnya, nantikan bagian selanjutnya esok hari.

KHAZANAH ALQURAN

Kewajiban Puasa Ramadhan

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian puasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata,

“Melalui ayat ini, Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman. Allah memerintahkan mereka untuk berpuasa, yaitu menahan diri dari menikmati makanan, minuman, dan hubungan badan, dengan niat yang ikhlas untuk Allah ‘azza wa jalla. Sebab, di dalam ibadah puasa itu terkandung penyucian jiwa, pembersihan dan penjernihannya dari segala kotoran dosa dan akhlak yang rendah. Allah menyebutkan bahwa Allah mewajibkan puasa kepada mereka sebagaimana Allah juga mewajibkannya kepada orang-orang sebelum mereka. Sehingga mereka memiliki teladan dalam hal itu. Oleh sebab itu hendaknya mereka bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban ini lebih sempurna daripada yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/277] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah berkata, “Di dalam ayat “Sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian.” terkandung beberapa faidah.

Pertama: pentingnya puasa, dimana Allah ‘azza wa jalla juga mewajibkannya kepada umat-umat sebelum kita. Hal ini menunjukkan kecintaan Allah ‘azza wa jalla terhadapnya, dan bahwasanya ibadah ini wajib bagi setiap umat.

Kedua: meringankan beban umat ini, dimana mereka tidak sendirian dalam pembebanan ibadah puasa ini yang terkadang bisa menimbulkan kesulitan bagi jiwa (perasaan) dan badan.

Ketiga: isyarat yang menunjukkan bahwasanya Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama bagi umat ini tatkala Allah sempurnakan untuk mereka berbagai keutamaan yang pernah ada pada umat-umat sebelum mereka” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hlm. 52).

Syaikh As-Sa’di Rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya puasa merupakan salah satu sebab paling utama untuk meraih ketakwaan. Karena di dalamnya terkandung penunaian perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Selain itu, kandungan takwa yang terdapat di dalam ibadah ini adalah: seorang yang berpuasa meninggalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah kepadanya yaitu makan, minum, jima’, dan lain sebagainya yang hawa nafsunya cenderung kepadanya. Dia melakukan hal itu demi mendekatkan diri kepada Allah. Dia mengharapkan pahala dari-Nya tatkala meninggalkan itu semua. Maka ini adalah termasuk bentuk ketakwaan.

Selain itu, kandungan takwa yang terdapat di dalam ibadah ini adalah: seorang yang berpuasa menggembleng dirinya untuk merasa senantiasa diawasi oleh Allah Ta’ala, sehingga dia akan meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya walaupun sebenarnya dia mampu untuk melakukannya karena dia mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang dilakukannya.

Selain itu, dengan puasa akan menyempitkan jalan-jalan setan, karena sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana peredaran darah. Dengan puasa niscaya akan melemah kekuatannya dan mempersedikit kemaksiatan yang mungkin terjadi.

Selain itu, orang yang berpuasa biasanya lebih banyak berbuat ketaatan, sedangkan ketaatan merupakan bagian dari ketakwaan.

Selain itu, orang yang kaya apabila merasakan susahnya rasa lapar niscaya hal itu akan membuatnya peduli dan memiliki empati dengan orang-orang miskin papa, dan ini pun termasuk bagian dari ketakwaan” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 86).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah berkata,

“Puasa Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah (penghambaan) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan meninggalkan makan, minum, dan jima’ (hubungan suami-istri) sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Inilah hakikat puasa, yaitu seseorang beribadah kepada Allah dengan meninggalkan perkara-perkara ini, bukan meninggalkannya hanya sebagai sebuah kebiasaan atau karena ingin menjaga kesehatan badan. Akan tetapi dia beribadah dengannya kepada Allah. Dia menahan dari menikmati makanan, minuman, dan berhubungan, demikian pula seluruh pembatal lainnya, dari sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dari sejak terlihatnya hilal Ramadhan hingga tampak hilal Syawwal” (lihat Syarh Riyadhus Shalihin [3/380] cet. Dar al-Bashirah).

Imam Abu Ishaq asy-Syairazi Rahimahullah berkata, “Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam dan salah satu kewajiban agama yang harus ditunaikan. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Islam dibangun di atas lima perkara; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, mendirikan salat, membayarkan zakat, haji, dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)” (lihat al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i [1/324]).

Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu’anhu, beliau menuturkan: ada seorang arab badui yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rambut yang acak-acakan. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Kabarkan kepadaku salat apa yang diwajibkan kepadaku?” Beliau menjawab, “Salat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambah salat sunnah.” Lalu dia berkata, “Kabarkan kepadaku puasa apa yang diwajibkan kepadaku?”. Beliau menjawab, “Puasa di bulan Ramadhan, kecuali kamu mau menambah puasa sunnah” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Shaum [1891] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [11]).

Syaikh Abdullah al-Bassam Rahimahullah berkata, “Hadis-hadis yang menunjukkan kewajiban puasa cukup banyak. Kaum muslimin pun telah sepakat bahwa barangsiapa yang mengingkari kewajibannya maka dia kafir” (lihat Taudhih al-Ahkam [3/439]).

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata,

“Tatkala mengekang hawa nafsu dari hal-hal yang disenangi dan diinginkan termasuk perkara yang paling berat dan sulit, maka kewajibannya pun diakhirkan hingga pertengahan masa Islam yaitu setelah hijrah; yaitu pada saat hawa nafsu mereka telah terdidik dengan tauhid dan salat serta terbiasa dengan perintah-perintah Al-Quran. Maka sesudah itu baru beralih kepada diwajibkannya puasa secara bertahap.

Puasa baru diwajibkan pada tahun kedua setelah hijrah. Tatkala wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjalani sembilan kali puasa Ramadhan. Pada awalnya, puasa diwajibkan dengan disertai pilihan; antara berpuasa atau memberikan makan kepada satu orang miskin sebagai ganti satu hari tidak puasa. Kemudian berpindah dari keadaan boleh memilih ini kepada diwajibkannya puasa. Pada saat itulah ditetapkan bahwa memberikan makan berlaku untuk kakek-nenek yang sudah tua renta apabila mereka tidak kuat berpuasa. Mereka boleh tidak puasa, dan sebagai gantinya mereka harus memberikan makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.

Demikian pula, Allah berikan keringanan bagi orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa dan meng-qodho’  (mengganti) di waktu yang lain. Ketentuan serupa juga berlaku bagi wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan kondisi tubuhnya. Namun, apabila mereka khawatir akan kondisi bayinya maka selain meng-qodho’ mereka juga harus memberikan makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Mereka itu berbuka bukan karena khawatir sakit, karena pada saat itu mereka dalam keadaan sehat-sehat saja. Maka sebagai penggantinya mereka harus memberikan makan kepada orang miskin sebagaimana hukum orang sehat yang memilih tidak puasa di masa awal Islam.

Sehingga ada tiga tahapan (turunnya syariat pent.) diwajibkannya puasa:

Pertama: diwajibkannya puasa dengan disertai pilihan lain (antara puasa atau memberikan makan, pent).

Kedua: diwajibkannya puasa saja; akan tetapi ketika itu orang yang berpuasa dan tertidur sebelum berbuka maka dia tidak boleh makan dan minum hingga datang malam berikutnya.

Ketiga: kemudian hukum sebelumnya dihapus dengan tahapan ketiga, yaitu sebagaimana yang sudah menjadi aturan baku dalam syariat dan berlaku hingga hari kiamat” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/331]).

Semoga bermanfaat.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: Muslim.or.id

Doa Agar Terhindar dari Covid 19

Berikut penjelasan anjuran doa agar terhindar dari Covid 19:

Setahun sudah pandemi menjangkit dunia.  Hingga kini, Covid 19 belum jua usai. Jutaan nyawa melayang akibat virus yang mematikan ini. Puluhan juta manusia terjangkit penyakit ini. Ratusan juta orang kehilangan pekerjaan. Milyaran umat manusia di planet ini  terkena imbas Corona. Sebagai manusia yang Muslim kita dianjurkan untuk berikhtiar dan berdoa kepada Allah agar virus Covid 19 segera berlalu. Berikut Doa untuk memohon perlindungan kepada Allah dan agar Allah mengangkat Covid 19 ini.

Firman Allah dalam Q. S al- Isra  ayat 167:

وَاِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِى الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُوْنَ اِلَّآ اِيَّاهُۚ فَلَمَّا نَجّٰىكُمْ اِلَى الْبَرِّ اَعْرَضْتُمْۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ كَفُوْرًا

Artinya: Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia. Tetapi ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling (dari-Nya). Dan manusia memang selalu ingkar (tidak bersyukur).

Ada juga firman Allah yang menganjurkan manusia untuk berdoa kepada-Nya. Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah ayat 186:

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.

Di sisi lain, anjuran untuk berdoa ketika terjadi wabah datang dari ulama besar Ibnu Hajar As-Qallani. Ia menulis dalam Kitab Fathul Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, ia berkata:

أُمِروا باستدفاعِ البلاء بالذِّكر والدُّعاء والصَّلاة والصَّدقة

Artinya: Kalian dianjurkan untuk menghilangkan wabah dengan zikir, doa, shalat , dan bersedekah.

Nah, berikut doa agar terhindar dari Covid 19 yang bisa kita baca pada saat selesai shalat atau bisa kiamalkan sehari-hari. Berkat doa ini, semoga Allah segera mengangkat wabah yang mematikan ini.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ جَهْدِ البَلاَءِ، وَدَرْكِ الشَقَاءِ، وَسُوءِ القَضَاءِ، وَشَمَاتَةَ الأَعْدَاء. اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ زَوَالِ نِعْمَتِكَ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ، وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ، وَجَمِيِعِ سَخَطِكَ.

Allohumma a’uzubika min jahdi bala, wa darki asy- syaqa, wa syu il qadha, wa samamatal aa’da. Allohumma inni a’uzubika min zawali ni’matika, wa tahawwala a’fika , wa fajaati ni’matika, wa jamii sahotika

Artinya: Ya Allah aku berlindung dari malapetaka musibah, dan turunnya kesengsaraan yang terus menerus, dan buruknya Qadha, dan senangnya musuh (sebab kalian terkena musibah).

Dan ada juga doa agar terhindar dari Covid 19 dari Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan :

اللهم ارفع ما انزلت من هذا الوباء. واحل محله الفرج واليسر ولخير والعافية للمسلمين خصوصا وللعالمين عموما فانك قادر على ذلك

Allohuma irpa’ ma anzalta min haza al waba, wa ahilla mahallahu al faroja wal yusro wal khair wal a’fiyah, lil muslimina khususon wa lil a’lamina umuman, fa innaka qadirun ala dzalika.  

أُمِروا باستدفاعِ البلاء بالذِّكر والدُّعاء والصَّلاة والصَّدقة

Artinya: Kalian dianjurkan untuk menghilangkan wabah dengan zikir, doa, shalat , dan bersedekah.

Nah, berikut doa agar terhindar dari Covid 19 yang bisa kita baca pada saat selesai shalat atau bisa kiamalkan sehari-hari. Berkat doa ini, semoga Allah segera mengangkat wabah yang mematikan ini.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ جَهْدِ البَلاَءِ، وَدَرْكِ الشَقَاءِ، وَسُوءِ القَضَاءِ، وَشَمَاتَةَ الأَعْدَاء. اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ زَوَالِ نِعْمَتِكَ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ، وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ، وَجَمِيِعِ سَخَطِكَ.

Allohumma a’uzubika min jahdi bala, wa darki asy- syaqa, wa syu il qadha, wa samamatal aa’da. Allohumma inni a’uzubika min zawali ni’matika, wa tahawwala a’fika , wa fajaati ni’matika, wa jamii sahotika

Artinya: Ya Allah aku berlindung dari malapetaka musibah, dan turunnya kesengsaraan yang terus menerus, dan buruknya Qadha, dan senangnya musuh (sebab kalian terkena musibah).

Dan ada juga doa agar terhindar dari Covid 19 dari Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan :

اللهم ارفع ما انزلت من هذا الوباء. واحل محله الفرج واليسر ولخير والعافية للمسلمين خصوصا وللعالمين عموما فانك قادر على ذلك

Allohuma irpa’ ma anzalta min haza al waba, wa ahilla mahallahu al faroja wal yusro wal khair wal a’fiyah, lil muslimina khususon wa lil a’lamina umuman, fa innaka qadirun ala dzalika.  

BINCANG SYARIAH