Ayat-Ayat Alquran yang Menjelaskan Akhlak Rasulullah

Rasulullah ﷺ memiliki akhlak agung yang ada dalam Alquran. 

Dikutip dari buku Jangan Takut Hadapi Hidup karya Dr Aidh Abdullah Al-Qarny, Sa’id bin Hisyam bin Amir bertanya kepada Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha tentang akhlak Rasulullah ﷺ.  Sayyidah Aisyah berkata “Akhlak Rasulullah ﷺ adalah Alquran”. Untuk itulah pada saat kamu membaca dan merenungkan Alquran, maka seakan-akan kamu sedang melihat kehidupan Rasulullah secara langsung.

Ada beberapa ayat Alquran yang menjelaskan tentang akhlak Rasulullah ﷺ, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS Al-Qalam ayat empat).

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal,” (QS Ali Imran ayat 159).

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman” (QS At-Taubah ayat 128).

Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada para sahabat bagaimana hidup di bawah naungan Alquran dan As-sunnah beliau, yang darinya akan terpantul cahaya sebagai penerang hati. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim disebutkan Rasulullah ﷺ bersabda,  القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ “Bacalah Alquran karena hal itu akan menjadi syafaat pada Hari Kiamat kelak”.

Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Imam Bukhari dari Anas Radhiyallahu Anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya”.

Maksudnya, demi Allah, bahwa orang yang terbaik, termulia dan teragung di antara kalian adalah mereka yang hidup dengan bimbingan Alquran. Inilah mahkota yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini. Mahkota yang tidak akan dimiliki orang-orang yang hidup dengan kekayaan yang melimpah dan jabatan yang tinggi yang sering kali manusia mengelu-elukan kehidupan mereka karena kekayaan, jabatan, keturunan dan pangkat yang disandangnya.

Tidak, namun yang terbaik dari kalian adalah orang yang memelajari dan mengaji kandungan Alquran lalu mengajarkannya kepada orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ menempatkan mereka (para sahabat) sesuai dengan kualitas interaksi mereka dengan Alquran. 

IHRAM

Akhlak Rasulullah yang Memaafkan Orang yang Mencaci Makinya

Ketika Rasulullah saw. mengetahui perilaku suku Quraisy yang merendahkannya, maka beliau hijrah ke Thaif bersama Zaid bin Haritsah pada tahun ke-10 setelah kenabian. Dalam hal ini, beliau menemui suku Tsaqif dan meminta pertolongan mereka untuk perlindungan masyarakat Islam. Namun, mereka menolak permintaan Rasulullah saw. tersebut secara keji dan jahat. Bahkan mereka meyuruh orang-orang pandir dan para budak untuk mencaci maki Rasulullah saw. dan melemparinya batu (‘Umar ‘Abd al-Jabbar, Khulashah Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid al-Mursalin, Juz I: 41).

Perbuatan jahat mereka tersebut menyebabkan urat keting Rasulullah saw. terluka dan mengalirkan darah. Sedangkan Zaid bin Haritsah terluka di bagian kepala karena melindungi Rasulullah saw. agar tidak terkena lemparan batu-batu tersebut. Akhirnya, malaikat Jibril menemui Rasulullah saw. seraya berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar menaatimu (untuk membalas) mengenai perlakuan jahat kaummu terhadapmu” (hlm. 41-42).

Namun, Rasulullah saw. menjawab: “Ya Allah, semoga Engkau Memberikan petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” Mendengar doa Rasulullah saw. tersebut, malaikat Jibril berkata: “Maha Benar Zat yang telah Memberimu nama ar-Ra’uf ar-Rahim (penyantun lagi penyayang)” (hlm. 42).

Menurut Imam al-Jazuli dalam Dala’il al-KhairatRasulullah saw. memiliki 201 nama, di mana salah satunya adalah Ra’uf Rahim (sangat belas kasihan lagi penyayang). Nama Ra’uf Rahim ini disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an, yaitu: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman” (at-Taubah (9): 128).

Keberadaan at-Taubah (9): 128 ini, menurut Imam Ibnu ‘Abbas ra., menunjukkan bahwa Allah Menamai Rasulullah saw. dengan dua nama sekaligus dari Nama-nama Terbaik-Nya (al-asma’ al-khusna), yaitu Ra’uf dan Rahim (Syekh Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, 2009, VI: 94).

Imam al-Hasan bin al-Mufadhdhal menyebutkan bahwa tidak ada satu pun para nabi di muka bumi ini yang memiliki dua nama sekaligus dari Nama-nama Terbaik Allah selain Rasulullah saw. Sebab, Allah Memberikan dua nama  sekaligus dari Nama-nama Terbaik-Nya tersebut hanya kepada Rasulullah saw. semata, di mana Allah sendiri adalah Tuhan yang sangat Belas Kasih dan Penyayang kepada seluruh manusia (Syekh Ahmad ash-Shawi, Tafsir ash-Shawi, II: 176). Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa: “Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia” (al-Baqarah (2): 143).

Adapun makna Ra’uf lebih khusus daripada RahimRa’uf bermakna sangat belas kasih kepada orang-orang yang lemah, susah, menderita, dan tertindas. Sedangkan kata rahim umum kepada siapa saja, yaitu kasih-sayang kepada semua orang, baik dalam keadaan susah dan lemah maupun dalam keadaan bahagia dan jaya (at-Tafsir al-Munir, hlm. 93).

Akhirnya, wahai para teroris, alangkah indahnya hidup ini jika kalian semua meniru keindahan akhlak dan kasih-sayang Rasulullah saw.―yang memandang manusia dengan penuh cinta dan kasih-sayang, bukan dengan kebencian dan permusuhan. Orang yang mencaci maki Rasulullah pun dimaafkan. Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…

BINCANG SYARIAH

Kisah Akhlak Rasulullah yang Mulia terhadap Sahabat yang Mabuk

Akhlak Rasulullah saw. kepada para sahabat dan orang terdekatnya itu sangat mulia sekali. Sekalipun pada pelaku maksiat, Rasulullah tidak membencinya dan mendoakannya agar sadar dan selalu cinta Allah dan Rasul-Nya.

Alkisah, di zaman Rasulullah hidup, ada sahabat dan anaknya yang suka mabuk. Menurut ulama, sahabat tersebut bernama Nuaiman. Tidak hanya Nuaiman, anaknya pun biasa mabuk. Ini di antaranya disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari sebagaimana berikut ini:

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كُلٌّ مِنَ النُّعَيْمَانِ وَوَلَدِهِ عَبْدِ اللَّهِ جُلِدَ فِي الشُّرْبِ وَقَوِيَ هَذَا عِنْدَهُ بِمَا أَخْرَجَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي الْفَاكِهَةِ مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ قَالَ كَانَ بِالْمَدِينَةِ رَجُلٌ يُصِيبُ الشَّرَابَ فَكَانَ يُؤْتَى بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضْرِبُهُ بِنَعْلِهِ وَيَأْمُرُ أَصْحَابَهُ فَيَضْرِبُونَهُ بِنِعَالِهِمْ وَيَحْثُونَ عَلَيْهِ التُّرَابَ فَلَمَّا كَثُرَ ذَلِكَ مِنْهُ قَالَ لَهُ رَجُلٌ لَعَنَكَ اللَّهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَفْعَلْ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Artinya:

Menurut pendapat ini, Nuaiman dan anaknya Abdullah itu dihukum cambuk karena mabuk. Riwayat ini menjadi kuat menurutnya (Ibnu Abdil Barr) sebab ada riwayat al-Zubair bin Bakkar dari Muhammad bin ‘Amr bin Hazm mengenai buah-buahan. Ia bercerita, “Saat itu di Madinah ada seorang lelaki yang selalu mabuk. Ia didatangkan pada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah memukulnya dengan sendal. Para sahabat pun disuruh Rasulullah memukulknya dengan sendal dan ditaburi debu. Saat sudah banyak debunya, seorang sahabat sumpah serapah, “Semoga Allah melaknatimu.” Akan tetapi Rasulullah menegur orang yang mendoakan buruk tersebut, “Jangan begitu, walaupun dia pemabuk tapi dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Dalam riwayat lain, sahabat Nuaiman dan anaknya itu bukan hanya sekali mabuk. Menurut Imam Ibnu Abdil Barr, Nuaiman itu mabuk sebanyak lebih dari 50 kali.  Tapi ia pun dihukum berkali-kali oleh Rasulullah dan sahabat lainnya. Akan tetapi, sahabat Nuaiman ini memiliki kelebihan humor yang menyenangkan, sehingga Rasulullah pun terhibur sebabnya.

Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga berpesan pada para sahabat, “Jangan kalian membantu setan dengan melaknatnya dan menghinanya.”

Mengapa demikian? Orang yang berbuat dosa atau keburukan itu apabila kita benci maka ia akan semakin jauh dari agama. Orang yang sedang terjerumus atau salah itu seharusnya kita rangkul, ingatkan, dan terus kita temani.

Menurut Imam Ibnu Hajar, hadis ini juga menolak pendapat orang yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar itu dikategorikan sebagai perbuatan kufur. Ini karena terdapat larangan dari Rasulullah untuk melaknat dan membenci pelaku dosa besar. Rasulullah malah menyuruh kita untuk mendoakan baik pada pelaku maksiat. Itulah di antara akhlak Rasulullah yang mulia.

Namun ini bukan berarti kita boleh mudah dan sembrono terus berulangkali melakukan maskiat tanpa merasa berdosa sedikit pun. Kita harus khawatir ketika dalam keadaan maksiat, usia kita diambil oleh Allah sehingga menyebabkan kita meninggal dalam keadaan suulkhotimah. Wallahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Bersikap Rendah Hati Seperti Rasulullah

Pamor dan limpahan harta sering menyeret orang menjadi jumawa. Ia tinggi hati dan memandang orang dengan sebelah mata. Lalu, ia pun menuntut orang lain memberikan penghormatan kepada dirinya atas status sosial yang disandangnya. Namun, Muslim yang meneladani nabinya, Muhammad SAW, tentu tak akan berlaku demikian.

Muhammad diakui secara luas merupakan manusia istimewa, baik sebagai seorang utusan Allah SWT maupun karena perangainya. Para sahabat dan lawan pun mengakui kedudukannya yang tinggi itu. Namun, dia tak merasa perlu untuk bersikap congkak, sebaliknya ia sangat rendah hati.

Sopian Muhammad dalam karyanya, Manajemen Cinta Sang Nabi, menceritakan, saat berkumpul, Rasul tak mengizinkan para sahabatnya berdiri atau menyambutnya ketika datang. Tulusnya cinta kepada para sahabatnya, membuat Muhammad merasa tak perlu diperlakukan dengan sikap penghormatan berlebihan.

Dia duduk sama rendahnya dengan para sahabat dan berdiri sama tingginya. Statusnya yang mulia tak mencegahnya untuk berbaur. Dalam sebuah perjalanan, Rasulullah dan sahabatnya menyembelih seekor domba. Tugas pun dibagi di antara para sahabat untuk mengolah daging domba tersebut.

Ada yang mencari kayu bakar, menyiapkan tempat memasak, serta mengolah daging dan memasaknya. Utusan Allah itu melibatkan diri dalam pembagian tugas tersebut, yaitu mencari kayu bakar. Para sahabat tentu tak enak hati melihat junjungan mereka ikut bersusah payah mencari kayu bakar.

Mereka meminta Rasulullah tak usah repot ikut mencari kayu bakar. Namun dengan tenang, menjawab para sahabatnya itu. Saya tak ingin lain sendiri dibandingkan sahabat-sahabatku. Allah tak senang melihat seseorang berbeda dari sahabat-sahabatnya,” katanya menegaskan.

Imam Syafii menyampaikan pandangannya, sifat rendah hati atau sering disebut tawadhu seperti yang ditunjukkan Rasulullah akan menuntun orang pada keselamatan, menciptakan keakraban, juga menghilangkan kedengkian dan persegketaan. Rasa cinta, menjadi buah dari sikap rendah hati ini.

Cendekiwan Muslim lainnya, Syekh Khumais as-Said, menyatakan, orang berakal tentu akan rendah hati. Kalau melihat orang lebih tua, orang rendah hati akan berkata, orang tua itu lebih dulu masuk Islam. Sedangkan kala melihat orang yang lebih muda, diucapkannya bahwa dirinya lebih dulu berbuat dosa daripada si orang muda itu.

Orang yang sebaya akan dianggap saudara oleh orang yang tawadhu. Menurut Syekh Khumais, sikap rendah hati itulah yang membuat orang tak sombong terhadap saudaranya dan tak menganggap remeh orang lain. Jejak kerendahatian Rasulullah tersingkap tatkala ia memimpin majelis yang disesaki kaum Muslim.

Kala itu, Jabir bin Abdillah Bajali duduk di bibir pintu. Nabi mengetahuinya dan segera mengambil kain baju yang dimilikinya, kemudian melipatnya. Dengan ramah, beliau memberikan lipatan itu kepada Jabir sambil memintanya untuk duduk di lipatan kain itu sebagai alas. Jabir meraih kain itu.

Jabir tak menggunakan lipatan itu untuk diduduki sebagai alas an, tetapi mengusapkannya ke wajahnya sebagai tanda hormat kepada Rasulullah. Dengan mata berkaca-kaca ia mengembalikannya kepada Rasul, dan mengatakan, Semoga engkau selalu dimuliakan Allah sebagaimana engkau memuliakan aku.”

Tak sebatas itu, di tengah kesibukannya sebagai pemimpin umat dan kegiatan dakwah, beliau menyempatkan diri memenuhi undangan sahabatnya. Ia mendatangi jamuan yang digelar mereka. Dan di tengah jamuan itu, putra Abdullah ini tak membedakan diri dari orang lain.

Di sebuah kesempatan, sahabat bernama Abu al-Haitsam bin al-Tihan membuat masakan khusus untuk Rasul dan sahabat lainnya. Usai menyantap makanan yang disajikan, beliau berkata kepada sahabatnya untuk membayar kepada Abu al-Haitsam. Mereka bertanya apa yang harus dibayarkan.

Jika seseorang kedatangan tamu, maka disantap makan dan minumannya, lalu mereka mendoakannya. Itulah bayarannya,” kata Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam buku Rasulullah, Manusia tanpa Cela, dijelaskan, dalam bermasyarakat Rasul tak pernah memandang status atau derajat.

Dia bergaul dengan semua lapisan masyarakat, dari anak kecil hingga orang dewasa. Juga dengan mereka yang miskin dan kaya, serta bergaul pula dengan orang-orang awam dan berpendidikan. Semua ia rangkul dalam pergaulan sehar-hari tanpa memandang apakah mereka orang terhormat atau bukan dalam strata di dalam masyarakat.

Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Umar bin Khattab mengenai kerendahan hati Rasulullah ini. Janganlah kalian memuji dan memujaku berlebih-lebihan seperti orang-orang Nasrani berbuat terhadap putra Maryam. Aku ini adalah hamba Allah juga, maka katakanlah kepadaku, hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Kerendahan hati ini merambat pula dalam kehidupan keluarganya. Aisyah menceritakan, dalam menjalani kehidupan rumah tangganya, Rasulullah berlaku seperti manusia lainnya. Beliau menjahit dan menambal bajunya sendiri, memerah susu kambingnya serta menyiapkan sendiri apa yang diperlukannya, hingga memperbaiki sandalnya yang rusak.

Lihat Rasulullah Shalat, Thufail Pun Berikrar Syahadat

Kisah berikut ini menggambarkan luhurnya akhlak Rasulullah SAW yang membalas keburukan dengan kebaikan. Tidak ada dendam di hati Baginda Rasul. Ini tampak saat Thufail bin Amr, pemimpin suku ad-Dausy, sebagaimana uraian H Andi Bastoni dalam buku 101 Sahabat Nabi, berkonsultasi tentang kondisi kaumnya yang menolak dakwah.

Sebelum pulang ke kampung halamannya setelah sebelumnya belajar langsung kepada Rasul tentang Islam dan berikrar syahadat, Thufail menemui Rasulullah sekali lagi untuk meminta restu.

“Wahai, Rasulullah. Kaumku begitu patuh kepadaku sebagai pemimpinnya. Aku akan kembali kepada mereka dalam waktu dekat ini. Aku hendak mengajak mereka semua untuk memeluk Islam. Aku meminta engkau berdoa kepada Allah agar Dia memberikan kepadaku kekuatan,”pinta Thufail. Nabi Muhammad pun berdoa dan menasihati pemuka suku ad-Dausy itu.

Thufail bin Amr ad-Dausy tiba di Tanah Airnya. Awalnya, Thufail mengabarkan dan mengajak orang tua dan istrinya. Mereka menerima Islam dengan sepenuh hati. Akan tetapi, kaumnya tidak langsung mendengarkan dakwahnya. Hanya Abu Hurairah, kelak menjadi perawi hadis Nabi, yang lekas menjadi Muslim.

“Selang waktu kemudian, Thufail bin Amr bertamu ke rumah Rasulullah. Kali ini, ia ditemani Abu Hurairah. Bagaimana perkembangan dakwahmu, Thufail bin Amr? tanya Nabi Muhammad.

“Kebanyakan kaumku masih tertutup mata hatinya untuk menerima Islam. Sungguh kaumku masih sesat dan durhaka,” keluh Thufail.

Rasulullah kemudian meminta waktu sebentar. Setelah mengambil wudhu, beliau masuk ke dalam kamarnya. Samar-samar terdengar, Rasulullah rupanya sedang melaksanakan shalat.

Awalnya, Abu Hurairah cemas lantaran mengira Rasulullah berdoa agar Allah menurunkan azab atas kaum ad-Dausy. Ternyata, sebaliknya, Rasulullah mendoakan kebaikan dan meminta kepada Allah agar membuka pintu hidayah bagi mereka. Usai itu, Rasulullah SAW menyuruh Thufail kembali kepada kaumnya.

Begitu sampai, Thufail mendapati sikap mereka berubah. Kini, mereka rela mengikuti jejak pemimpinnya untuk menjadi Muslim. Thufail bersyukur kepada Allah atas hidayah yang meliputi segenap penduduk Tihamah. Thufail tetap berada di tengah kaumnya sejak saat itu hingga tiba masanya Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.

Beberapa waktu lamanya, kabar adanya Perang Uhud sampai juga ke Tihamah. Thufail berkeinginan agar ia dan kaumnya dapat ikut membantu pasukan Muslim Madinah. Menjelang Perang Khandaq, Thufail dan sebanyak 80 keluarga Muslim Tihamah datang menghadap Rasulullah.

Kedatangan mereka disambut gembira oleh Nabi. Sebelum berangkat ke medan perang, Rasulullah menyertakan kabilah ad-Dausy itu di sisi kanan pasukan Muslim. Kompi yang dipimpin Thufail bin Amr ini bernama Mabrur.

Sejak peristiwa itu, Thufail selalu setia mendampingi perjuangan Nabi Muhammad. Perlahan tapi pasti, kekuatan Muslim Madinah sudah begitu kokoh. Sebaliknya, kaum musyrik Makkah kian lemah. Rasulullah akhirnya memimpin gelombang umat Islam dari Madinah dan sekutunya menuju Makkah untuk membebaskan kota kelahiran Nabi itu dari kekuasaan musyrikin.

Masih dalam suasana penaklukkan Makkah, Thufail bin Amr meminta izin kepada Rasulullah SAW. Dia ingin pergi ke Dzil Kafain dan menghancurkan berhala-berhala yang tersisa di sana. Dzil Ka fain masih termasuk wilayah kekuasaan Kabilah ad-Dausy.

Atas izin Rasulullah SAW, Thufail berangkat ke Dzil Kafain dengan menyertakan satu regu pasukan dari kabilahnya sendiri. Rupanya, masyarakat setempat tidak memberikan perlawanan berarti. Mereka hanya mengancam Thufail dan rombongannya akan takhayul, yakni bilamana berhala-berhala itu dihancurkan, akan turun halilintar dari langit. Tentu saja, Thufail tidak gentar sedikit pun.

Sebelum membakar berhala-berhala kaum Dzil Kafain, Thufail bin Amr menyeru agar disimak seluruh Dzil Kafain, Kelahiran kami lebih dahulu daripada keberadaan kalian (berhala-berhala). Inilah aku, akan menyulut api kepada kalian!

Nyatanya, berhala-berhala tersebut musnah dilalap api. Tidak ada satu bencana pun yang turun dari langit ataupun bumi. Orang-orang Dzil Kafain berbondong-bondong masuk Islam setelah menyadari kebodohan takhayul jahiliyah itu. Seluruh penduduk wilayah ad-Dausy kini menjadi Muslim.

Ketertarikan Thufail terhadap ajaran Islam, berawal saat dia melihat Rasulullah menunaikan shalat. Propaganda miring pemuka Quraisy saat itu, tidak mampu menahan Thufail mengetahui lebih mendalam tentang agama ini.

Selama di Makkah, Thufail bin Amr ad-Dausy mendapatkan perlakuan sebagai tamu istimewa. Thufail menerimanya sebagai penerimaan yang wajar dari para bangsawan yang juga rekan dagangnya. Namun, di balik itu semua pemuka musyrikin Quraisy ini ingin menjauhkan sosok penting suku ad- Dausy tersebut dari pengaruh Islam.

“Wahai, Thufail. Kami sangat gembira Anda datang ke negeri kami walaupun negeri kami sedang dilanda kemelut, kata seorang pemimpin Quraisy. Ada apa sesungguhnya? tanya Thufail keheranan.

“Orang yang mendakwahkan diri sebagai nabi itu, Muhammad, telah merusak agama kita, kerukunan, dan persatuan di tengah-tengah kita. Kami sangat cemas bila dia juga akan merusak Anda. Karena Anda seorang pemimpin, pengaruhnya pun dapat sampai ke kaum Anda. Bisa-bisa terjadilah apa yang kami alami sekarang ini,”jawab orang itu.

“Oleh karena itu, Anda jangan mendekati Muhammad. Jangan berbicara dengan nya. Jangan pernah mendengarkan kata-katanya. Kalau dia berbicara, kata-katanya itu bagaikan sihir yang memperdaya. Kata-katanya dapat membuat seorang anak benci kepada bapaknya, seorang suami menceraikan istrinya, atau merenggangkan hubungan saudara,” sambung tokoh Quraisy yang lain.

Mereka pun mengarang cerita-cerita buruk mengenai Nabi Muhammad di hadapan Thufail bin Amr ad-Dausy. Bahkan, mereka memutarbalikkan fakta sehing ga tampak kaum Muslim sebagai ancaman dan para pemuka musyrikin bagaikan korban. Tujuannya jelas agar sosok yang berpengaruh besar seperti Thufail menjauh dari dakwah Rasulullah.

Thufail menganggap anjuran para tokoh Quraisy itu tidak begitu serius. Dia memang sudah mengetahui siapa itu Muhammad. Namun, baginya, dakwah Muhammad hanyalah urusan dalam negeri Makkah.

Keesokan harinya, Thufail berkunjung ke Ka’bah untuk melakukan thawaf. Begitu ia memasuki masjid, dia mendapati Nabi Muhammad sedang melaksanakan shalat. Gerakan-gerakan shalat Nabi itu mengherankannya. Sebab, Thufail belum pernah menyaksikan ibadah semacam itu sebelumnya. Rasa heran menjadi takjub ketika Thufail mendengarkan bacaan, ayat-ayat suci Alquran, dari lisan Rasulullah SAW.

Thufail bin Amr ad-Dausy tidak dapat memadamkan rasa ingin tahu. Dalam benaknya, Thufail bersumpah untuk dapat memilah. Apa-apa yang menurutnya buruk dari Muhammad akan diambil, sedangkan yang buruk akan ditolaknya. Setelah Rasulullah usai dengan shalatnya dan pergi, Thufail membuntuti hingga ke kediamannya. Dia kemudian mengetuk pintu rumah Rasulullah SAW.

Salamnya berbalas suara Rasulullah yang ramah dan memintanya untuk masuk. “Wahai, Muhammad. Sesungguhnya kaum Anda berkata tentang Anda sebagai orang yang ini-itu. Mereka menakut-nakutiku, menyebut buruk agama Anda. Aku sempat memalingkan diri dari Anda, tidak mau mendengar apa pun dari lisan Anda. Tetapi, Allah ternyata berkehendak lain. Aku menilai kata-kata Anda dalam ibadah tadi bagus dan baik. Ajarkanlah kepadaku agama Anda itu, kata Thufail membuka perbincangan.

Rasulullah pun menjabarkan Islam dan Alquran. Beliau juga membacakan kepada Thufail surah al-Ikhlas dan al- Falaq, serta menjelaskan makna keduanya. Tidak membutuhkan waktu lama, pe mimpin suku ad-Dausy itu pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak saat itu, Thufail menjadi seorang Muslim.

Dia pun menunda kepulangannya ke Tihamah untuk beberapa hari lamanya. Dia ingin menghafal ayat-ayat Alquran yang Rasulullah ajarkan kepadanya. Selain itu, ia ingin memperlancar ibadah shalat dan mendalami pengetahuan tentang Islam.

Syahid di Medan Perang

Ketaatan Thufail bin Amr ad-Dausy terhadap Islam masih menguat meskipun Rasulullah sudah wafat. Hal ini dibuktikan dengan kontribusinya dalam memerangi kaum murtad. Di bawah pimpinan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Thufail dan pasukannya bergabung dengan kekuatan Muslim untuk menumpaskan sang nabi palsu, Musailamah al-Kadzdzab.

Takdir Allah atas diri Thufail bin Amr ad- Dausy. Sebelum sampai di Yamamah, lokasi pusat kekuasaan Musailamah, Thufail mengalami mimpi saat tidur malam. Dia merasa, mimpinya ini penuh tanda-tanda yang dapat ditafsirkan.

Dalam mimpinya, Thufail melihat kepalanya dicukur. Seekor burung keluar melalui mulutnya. Kemudian, seorang perempuan datang dan memasukkan Thufail ke dalam perutnya. Amr bin Thufail, anaknya, meminta agar dapat ikut masuk ke dalam perut perempuan itu. Namun, dia tidak dapat berbuat apa-apa karena ada dinding pembatas yang muncul.

Tafsir mimpi ini adalah bahwa tidak lama lagi Thufail bin Amr akan menemui ajalnya dalam peperangan. Burung ibaratnya nyawa yang keluar dari tubuh Thufail. Perempuan yang memasukkan Thufail ke dalam perutnya adalah tanah yang akan mengandung jasad Thufail sebagai syahid. Adapun anaknya, Amr, berharap juga dapat mati syahid, tetapi harapan ini tidak terwujud di peperangan yang sama.

Pada faktanya, Thufail bin Amr gugur sebagai pahlawan Muslim dalam perang melawan pasukan Musailamah sang nabi palsu. Adapun putranya, Amr, mengalami luka-luka yang cukup parah, yakni tangannya putus karena ditebas pedang. Jasad Thufail bin Amr dimakamkan di lokasi pertempuran.

Sejarah mencatat, anaknya Thu fail bin Amr juga ikut menjadi syuhada di ajang yang terjadi kemudian, Perang Yarmuk. Allah telah memberikan rahmat-Nya kepa da bapak dan anak itu.

Akhlak Rasulullah: Mengubah Musuh Menjadi Kawan

Hal pertama yang diutamakan Rasulullah SAW adalah soal akhlak. Saat ditanya apakah yang harus dilakukan terhadap para tawanan, Rasulullah SAW menjawab, perlakukanlah mereka dengan baik. Jangan menyiksa mereka. Berikanlah makanan dan minuman kepada mereka secara saksama. Di satu sisi, membunuh para tawanan mungkin saja dapat meruntuhkan mental kubu musuh.

Namun, itu bukanlah cara yang dipilih Rasulullah SAW. Pemimpin paripurna ini lebih memilih memaklumkan tebusan kepada pihak musuh untuk menebus beberapa dari mereka.Sejumlah tawanan yang bisa membaca dan menulis justru hanya diperintahkan untuk menebus kebebasannya dengan mengajarkan literasi kepada anak-anak Muslim.

Rasulullah SAW juga menjadikan kemenangan sebagai momentum mengajarkan akhlak kepada umat manusia. Sebelumnya, kaum Quraisy mengalami degradasi moral yang luar biasa karena tidak bisa menggempur kekuatan pasukan Islam. Sebaliknya, kekuatan militer Madinah makin jauh melampaui Makkah.

Pada 20 Ramadhan atau delapan tahun setelah hijrahnya, Rasulullah SAW memimpin sekitar 10 ribu orang pasukan dari Madinah dan sekitarnya untuk bergerak memasuki Makkah. Tidak ada perlawanan yang berarti dari kaum Quraisy.

Mereka yang berpuluh tahun silam menyiksa para pengikut Nabi Muhammad SAW, kini menjadi lemah tak berdaya. Sebagiannya malah ketakutan melihat berduyun-duyun pasukan Islam datang mendekat.

Dengan situasi yang amat menguntungkan itu, apa yang dilakukan Rasulullah SAW? Beliau tidak menunjukkan rasa dendam. Sebaliknya, Rasulullah SAW memaklumkan keselamatan bagi siapa saja yang memasuki Masjid al- Haram dan bahkan rumah Abu Sufyan, seorang pemimpin Quraisy, atau rumah masing-masing.

Setiap orang hanya perlu tinggal dengan selamat di kediamannya sambil menyaksikan langsung betapa besar kini kekuatan umat yang pada awalnya lemah. Sasaran penghancuran Rasulullah SAW hanya satu: berhala-berhala yang selama ini mengotori Rumah Allah.

Melalui tindakannya, Nabi SAW mengajarkan pentingnya pengampunan, alih-alih melanggengkan benci atau dendam. Dengan perkataan lain, mengubah musuh menjadi kawan di dalam bingkai Islam.

 

REPUBLIKA

Keteladanan Rasulullah dalam Mendidik

Majelis Taklim Masjid Assakinah menggelar kajian rutin di Masjid Assakinah, Jalan TB Simatupang, Kebagusan, Jakarta Selatan,belum lama ini. Pada kajian tersebut, pengurus majelis taklim membahas tema tentang riwayat Abdullah Ibnu Abbas dan keteladanan Rasulullah SAW dalam mendidik.

Untuk membahas tema terkait, Majelis Taklim Masjid Assakinah mengundang seorang narasumber, yakni Ustaz Azwar. Adapun kajian tersebut dilaksanakan seusai menunaikan shalat Zuhur berjamaah. Ustaz mengatakan, Abdullah Ibnu Abbas atau dikenal pula dengan nama Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang dikenal karena kedalaman ilmunya dalam bidang tafsir Alquran. Tak sedikit pula hadis sahih yang telah diriwayatkannya. Terutama yang diungkapkan Aisyah, istri Rasulullah SAW.

Ustaz Azwar mengisahkan, Ibnu Abbas lahir di tahun ketiga sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Ibnu Abbas merupakan putra dari Abbas bin Abdul Mutthalib, yang notabene merupakan paman Rasulullah SAW. Menurut Ustaz Azwar, sedari kecil Ibnu Abbas memang telah mendapat pendidikan dari Rasulullah SAW. “Ibnu Abbas selalu meniru dan meneladani apa yang dilakukan Rasulullah SAW pada masa itu,” tuturnya.

Pada suatu ketika, ketika Rasulullah SAW hendak menunaikan shalat malam atau Tahajud, ucap Ustaz Azwar, Ibnu Abbas yang masih berusia kanak-kanak segera mengikutinya. Dia bahkan sempat memberikan wadhu (air untuk berwudhu) kepada Rasulullah SAW.

Melihat hal tersebut, lanjut dia, Rasulullah SAW kemudian segera memanjatkan doa untuknya kepada Allah SWT. “Seperti diriwayatkan Muslim dan Bukhari, (Rasulullah berdoa) berilah dia (Ibnu Abbas) pemahaman yang dalam tentang agama dan ajarkanlah dia ilmu tafsir,” ungkap Ustaz Azwar.

Terkait peristiwa ini, ada pelajaran yang patut dipetik oleh umat. Khususnya pada kalangan orang tua yang telah memiliki anak. “Bahwa ketika kita mendoakan anak kita, doakanlah sesuatu yang besar untuknya, layaknya yang dilakukan Rasulullah SAW. Usia Ibnu Abbas masih kanak-kanak, tapi doa Rasul seolah-olah dia adalah orang dewasa,” ujar Ustaz Azwar.

Pada momen lainnya,  Ustaz Azwar menerangkan, Rasulullah juga pernah memberikan nasihat untuk Ibnu Abbas yang masih berusia kanak-kanak. Dalam nasihat tersebut, Rasulullah mengatakan, jagalah Allah SWT, maka engkau akan mendapatkan-Nya menjagamu.

Mengingat usia Ibnu Abbas yang masih kanak-kanak, nasihat Rasulullah SAW tersebut dinilai istimewa.  “Selain dari kata-katanya yang tidak menggunakan bahasa kanak-kanak, nasihat tersebut juga menjadi bukti bahwa Ibnu Abbas ketika usianya masih dini telah diajarkan tauhid oleh Rasulullah SAW,” ucapnya.

Tak hanya itu, kata Ustaz Azwar, dalam kelanjutan nasihatnya, Rasulullah SAW mengatakan kepada Ibnu Abbas, bila dia memerlukan dan membutuhkan bantuan, mintalah kepada Allah SWT. “Rasul tidak menyuruhnya meminta bantuan kepada manusia, tapi langsung kepada Allah. Dari sini bisa kita pahami bahwa sejak kecil Ibnu Abbas juga sudah dididik untuk tawakal oleh Rasul,” ujar Ustaz Azwar.

Doa dan nasihat Rasulullah SAW kepada Ibnu Abbas, pada akhirnya terwujud. Ia menjadi sahabat yang memiliki ilmu dan wawasan yang cukup luas, terutama dalam bidang tafsir, sebagaimana yang telah didoakan oleh Rasulullah SAW ketika Ibnu Abbas membawakan dan memberinya air untuk berwudhu.

Ustaz Azwat menilai, kisah Ibnu Abbas dan cara Rasulullah SAW menaungi dan mendidiknya dapat dijadikan contoh untuk para orang tua atau pengajar. Bahwa ketika memberikan nasihat kepada anak-anak, misalnya, tidak melulu harus menggunakan kata-kata atau kalimat yang bersifat kekanak-kanakan.  Dengan demikian, sisi mental dan akhlak anak akan lebih mudah terbentuk.

Kemudian, lanjutnya, jangan ragu pula untuk mengajarkan anak tentang tauhid sedari dini. “Contohlah bagaimana Rasul mengajarkan Ibnu Abbas terkait hal ini (tauhid) ketika usianya masih kanak-kanak. Dan lihat bagaimana (hasilnya) ketika Ibnu Abbas tumbuh dewasa,” ucap Ustaz Azwar.

 

sumber: Republika Online

Hakim Teradil

Secara gamblang dalam Alquran disebutkan bahwa Sang Khalik telah menunjuk Nabi SAW sebagai  seorang hakim. Penunjukan itu tercantum dalam surah An-Nisa’  [4] ayat 61, 65, dan 105; surah As-Syura’ [42] ayat 15; dan surah An-Nur ayat [24] 51.

Surah An-Nur [24] ayat 51 menunjukkan bahwa posisinya sebagai hakim tidak terpisahkan dari posisinya sebagai rasul. Beliau bertindak sebagai hakim sekaligus utusan Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW diakui sejarah sebagai penggagas hukum yang paling besar karena beliau tidak saja menghakimi kasus secara adil dan imparsial, tetapi juga menetapkan asas hukum yang universal dan seimbang bagi seluruh umat manusia.

Tentu saja meliputi seluruh aspek kehidupan: perlindungan hidup, harta benda, kehormatan, dan melindungi hak-hak pribadi, sosial, legal, sipil dan beragama setiap individu. Apa pun peran yang beliau jalankan dalam kapasitasnya sebagai legislator merupakan teladan abadi yang menunjukkan kebesaran dan keadilannya bagi seluruh generasi mendatang.

Muhammad SAW menegaskan bahwa hukum Allah bersifat universal dalam maslahat dan lingkupnya, imparsial dan adil dalam penerapannya, serta abadi sifatnya. Karenanya, beliau menekankan bahwa hukum tersebut harus berada di atas seluruh hukum dan peraturan buatan manusia.

Rasulullah mengajarkan bahwa seluruh manusia harus memasrahkan, baik secara individu maupun bersama-sama, seluruh hak dan pembuatan hukum kepada-Nya. Sebab, manusia tidak diberi hak membuat hukum apa pun tanpa wewenang-Nya.

Sebagai manusia, Nabi Muhammad SAW pun tunduk pada kedaulatan Ilahi seperti manusia lainnya. Karena itu, beliau tidak memiliki hak untuk memerintah orang-orang menurut kemauannya sendiri agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai Hakim, menerangkan, dalam menegakkan aturan hukum, Nabi SAW selalu mengacu kepada sistem hukum bahwa Allah SWT merupakan sumber seluruh hukum. Seluruh dasar hukum Islam adalah bahwa Tuhan sajalah pemegang kedaulatan dan kekuasaan yang sejati, sedangkan manusia bertindak sebagai perwakilan-Nya atau khalifah-Nya di muka bumi.

Nabi Muhammad dengan jelas telah menggambarkan aspek hukum Islam melalui banyak cara. Beliau menegaskan kewajiban umat Islam untuk menaati Alquran. Kemudian, tentang posisi Sunah di hadapan Alquran, Nabi menyatakan, Perintahku tidak dapat membatalkan perintah Allah, namun perintah Allah dapat membatalkan perintahku.” (HR Daruquthni).

Legislator Islam pertama

Di dalam kitab suci Alquran terdapat sejumlah ayat yang terkait dengan masalah hukum. Ayat-ayat tersebut meliputi masalah waris, pernikahan, mahar, perceraian, gratifikasi (pemberian hadiah), wasiat, jual beli, perlindungan, jaminan dan pidana.

Namun, di dunia yang senantiasa berubah dan berkembang, beberapa masalah hukum ini tidak bisa mencakup seluruh situasi dan masalah-masalah baru. Karenanya, Alquran telah memerintahkan kepada para legislator di masa depan untuk menyusun hukum-hukum sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat di bawah arahan prinsip-prinsip dasar Islam, memastikan semuanya sesuai dengan semangat hukum Islam, dan tidak melanggar prinsip-prinsip dasarnya.

Dalam hal ini, Nabi SAW adalah legislator Islam pertama. Beliau menafsirkan hukum Alquran dan memberikan komentar terhadapnya dan menjelaskan tata cara penerapan Alquran ke dalam masalah-masalah praktis kehidupan. Beliau tidak bisa mengganti atau mengubah hukum Ilahi mana pun yang terkandung dalam Alquran. Beliau bertindak hanya sebagai penafsir dan komentator, kemudian menerapkannya dalam beragam situasi.

 

sumber:republika Online

Rasulullah, Panglima Perang yang Bersahaja

Sejarah Islam tak hanya mencatat sosok Muhammad SAW sebagai seorang utusan Allah yang berakhlak mulia tanpa cela, tapi juga sosok pahlawan besar. Dalam banyak perjuangan membela Islam, Rasulullah adalah prajurit Allah yang gagah perkasa dan panglima perang yang bersahaja.

Sejarah Islam dan juga Alquran mencatat sejumlah peperangan yang terjadi pada masa awal Islam. Dalam bahasa Arab, peperangan itu disebut ghazwah dan sariyya. Keduanya sama-sama melibatkan kaum Muslimin, namun ghazwah diikuti langsung oleh Rasulullah, sementara sariyya tanpa beliau.

Lebih dari 25 ghazwah pernah terjadi sepanjang sejarah Islam. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sembilan peperangan yang berakhir dengan pertempuran. Selebihnya diakhiri oleh menyerahnya pihak musuh atau tercapainya perdamaian. Pertempuran-pertempuran tersebut, di antaranya, Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq (Parit), Perang Khaibar, Fathu Makkah, Perang Hunain, dan Perang Tabuk.

Perang Badar merupakan salah satu pertempuran terbesar yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah atau 17 Maret 624 M. Pada peperangan yang melibatkan lebih dari 300 Muslim itu, kaum Muslimin menang dengan gemilang. Sebanyak 70 orang dari kelompok kafir tewas dan 70 lainnya tertawan dalam pertempuran. Sedangkan, 14 orang dari kelompok Muslim wafat sebagai syuhada.

Pertempuran besar selanjutnya, Uhud, tak segemilang Badar. Kaum Muslimin tercerai-berai dan kalah dalam pertempuran yang terjadi pada 7 Syawal tahun tiga Hijriyah (22 Maret 625 M) tersebut. Beberapa peperangan lainnya, seperti Khandaq dan Fathu Makkah, berakhir dengan kondisi yang ber beda pula. Meski memunculkan ketegangan yang luar biasa, keduanya berakhir tanpa pertumpahan darah.

Allah memerintahkan umat Islam untuk memerangi kelompok yang memerangi Islam, namun dengan sejumlah catatan yang membatasinya. Seperti disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 190, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang meme rangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyu kai orang-orang yang melampaui batas.”

Sebagai panglima yang menggerakkan perang untuk membela Islam, Rasulullah SAW tidak berpegang, tetapi pada ketentuan Allah. Semua itu tercermin dalam peperangan-peperangan yang dipimpinnya, termasuk strategi perang dan caranya memperlaku kan para tawanan perang.

Di luar itu, Rasulullah dikenal sebagai panglima yang mampu menimbulkan perasaan takut dalam diri para musuhnya, tahu cara terbaik memperoleh informasi tentang kekuatan musuh, serta memotivasi pasukannya untuk tidak gentar melawan para musuh Allah.

 

 

sumber:Republika Online

Memaafkan, Akhlak Mulia Rasulullah

Memaafkan merupakan bagian dari akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya.  Abdullah al-Jadali berkata, ”Aku bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah SAW, lalu ia menjawab, ‘Beliau bukanlah orang yang keji (dalam perkataan ataupun perbuatan), suka kekejian, suka berteriak di pasar-pasar atau membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan orang yang suka memaafkan.” (HR Tirmidzi; hadis sahih).

Umat Islam diperintahkan untuk memaafkan kesalahan orang lain kepadanya. Rasulullah SAW  bersabda, ”Orang yang hebat bukanlah orang yang menang dalam pergulatan. Sesungguhnya orang yang hebat adalah orang yang (mampu) mengendalikan nafsunya ketika marah.  Memaafkan  dan mengampuni juga merupakan perbuatan yang diperintahkan Sang Khalik kepada umatnya.

Dalam surah al-A’raaf ayat 199, Allah SWT berfirman, ”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”  Pada surah al-Hijr ayat 85, Allah SWT kembali berfirman, ”Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.”

Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memaafkan orang-orang musyrik atas tindakan mereka menyakiti dan mendustakan beliau.  Sebab, Allah SWT sangat menyukai hamba-Nya yang berbuat kebajikan dan memaafkan. ”Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS: asy-Syuura; 43).

Menurut Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitab Mausu’ah min Akhlaqir-Rasul, memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia. ”Jika orang lain mencerca kita, sebaiknya kita membalasnya dengan memberi maaf dan perkataan yang baik,” ungkap Syekh al-Mishri.

Begitu juga ketika seorang berbuat jahat kepada kita, papar Syekh al-Mishri, seharusnya kita membalas dengan berbuat baik kepadanya.  Menurut dia, Allah SWT akan selalu memberikan pertolongan kepada kita selama memiliki sifat memaafkan dan kebaikan. Memaafkan adalah ciri orang-orang yang baik.

Allah SWT berfirman dalam surat  asy-Syuraa ayat 40, ”Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah…” Semoga kita menjadi insan yang bisa  dan selalu ikhlas memaafkan kesalahan orang lain. n sumber:  Syarah Riyadgus Shalihin karya Syekh Salim bin Ied al-Hilali dan Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW karya Syekh Mahmud al-Mishri. 

 

sumber:Republika Online