Imam Abu Hanifah dan Bocah Kecil

ADALAH  Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit atau populer disebut Imam Hanafi. Suatu hari belau  berpapasan dengan seorang anak kecil yang tampak berjalan mengenakan sepatu kayu.

”Hati-hati, Nak, dengan sepatu kayumu itu. Jangan sampai kau tergelincir,” sang imam menasehati.

Bocah miskin ini pun tersenyum, menyambut perhatian pendiri mazhab Hanafi ini dengan ucapan terima kasih.

”Bolehkah saya tahu namamu, Tuan?” tanya si bocah.

”Nu’man.”

”Jadi, Tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar al-imam al-a‘dham (Imam Agung) itu?”

”Bukan aku yang menyematkan gelar itu. Masyarakatlah yang berprasangka baik dan menyematkan gelar itu kepadaku.”

“Wahai Imam, hati-hati dengan gelarmu. Jangan sampai Tuan tergelincir ke Neraka gara-gara dia. Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke kubangan api yang kekal jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya.”

Gara-gara nasehat bocah kecil itu, ulama yang diikuti banyak umat Islam itupun tersungkur menangis. Imam Hanafi bersyukur masih ada orang yang memberinya nasehat.

Nasehat datang dari mana saja. Dan siapa sangka, peringatan itu datang dari lidah seorang bocah.* (Dari kitab Muqodimah Hasyiah Ibnu Abidin)

HIDAYATULLAH

Hukum Kencing Berdiri dalam Islam

Para pembaca yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan Hukum Kencing Berdiri dalam Islam, selamat membaca.


Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustadz, semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu memberkahi ustadz. Ana kebetulan memakai WC duduk di rumah, bagaimana hukumnya jika terpaksa buang hajat tidak bisa jongkok seperti yang disunahkan dikarenakan kondisi demikian? Jazakallah khair ustadz atas ilmunya, wassalamualaikum warahmatullah wa barakatuh.


Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullah wabaarokatuh

Bismillah…

Diperbolehkan dalam kondisi tertentu untuk melakukan buang air dalam keadaan berdiri. Namun bila dibiasakan untuk jongkok/duduk maka itu adalah yang terbaik. Tidak hanya itu adalah bagian dari sunnah, tetapi juga lebih bisa menghindari diri dari cipratan air kencing yang terjadi.

Hendaknya seseorang tetap berusaha untuk melakukan buang air dalam keadaan duduk/jongkok, sebagaimana perbuatan dan perintah Rasulullah (ﷺ) dalam hal ini.

Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلَّا جَالِسًا

“Barang siapa yang berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) kencing dengan berdiri, maka jangan kalian benarkan. Rasulullah tidak pernah kencing kecuali dengan duduk’.” (HR. An-Nasa’i)

Namun, bila tidak memungkinkan atau kesulitan untuk duduk/jongkok, sebagian para ulama membolehkannya.

Sebagaimana pendapat yang di pilih oleh madzhab Hanabilah, qoul/perkataan dari Madzhab Imam Malik dan sebagian Salaf, juga yang di pilih oleh Ibnul Mundzir, Syaukani, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin. Berdasarkan hadits Hudzaifah radhiallahu anhu,

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا ، ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum. Lalu beliau buang air seni dengan berdiri di tempat tersebut. Kemudian beliau meminta diambilkan air. Aku bawakan untuk beliau air, lalu beliau berwudhu. ”( Shahih Bukhari hadist no 220)

Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin menerangkan,

“Kencing sambil berdiri hukumnya boleh. Terlebih bila ada kebutuhan. Akan tetapi dengan dua syarat; pertama aman dari terkena najis, kedua aman dari pandangan orang lain.” (Syarah al Mumti’ 1/115-116).

Wallahu a’lam.


Sumber : https://bimbinganislam.com/hukum-kencing-berdiri-dalam-islam/Author: Abu Azzam Al-Banjariy

Beberapa Ayat yang Allah Bersumpah dengan Zat-Nya Sendiri

Di dalam Al-Quran, terdapat beberapa surah dan ayat yang diawali dengan qasam atau sumpah untuk menegaskan suatu pernyataan. Secara umum, ada dua bentuk qasam atau sumpah yang digunakan Allah dalam Al-Quran. Pertama, Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri. Kedua, ayat yang Allah bersumpah dengan atas nama makhluk-Nya.

Menurut para ulama, terdapat tujuh ayat yang Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri dalam Al-Quran. Tujuh ayat dimaksud adalah sebagai berikut;

Pertama, surah Al-Hijr ayat 92. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.

Kedua, surah Al-Dzariyat ayat 23. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ

Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.

Ketiga, surah Al-Nisa’ ayat 65. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Keempat, surah Maryam ayat 68. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَوَرَبِّكَ لَنَحْشُرَنَّهُمْ وَالشَّيَاطِينَ ثُمَّ لَنُحْضِرَنَّهُمْ حَوْلَ جَهَنَّمَ جِثِيًّا

Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut.

Kelima, surah Al-Nur ayat 33. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah; Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Keenam, surah Al-Taghabun ayat 40. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُونَ

Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur dan barat, sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.

Ketujuh, surah Yunus ayat 53. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

وَيَسْتَنْبِئُونَكَ أَحَقٌّ هُوَقُلْ إِي وَرَبِّي إِنَّهُ لَحَقٌّ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ

Dan mereka menanyakan kepadamu: Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya).

BINCANG SYARIAH

Tafsir Surat al-Waqi’ah Ayat 12: Surga itu Penuh Kenikmatan

Pada artikel sebelumnya yang menjelaskan ayat 10-11 telah disebutkan bahwa golongan orang ketiga adalah mereka yang lebih dahulu. Telah diterangkan pula beberapa penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan golongan yang lebih dahulu (al-sabiqun al-saabiquun) itu.

Sebagian mufasir menerangkan bahwa mereka adalah yang lebih dulu masuk Islam, sebagian yang lain menafsirkan mereka adalah mereka yang selalu terdepan dalam kebaikan. Dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai kenikmatan surga yang akan diraih kelompok tersebut. Allah Swt berfirman:

فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ

Berada dalam surga kenikmatan

Tidak ada riwayat yang disuguhkan al-Thabari ketika menafsirkan ayat di atas. Menurutnya ayat ini menunjukkan keterangan bahwa orang-orang yang lebih dahulu sebagaimana diulas pada ayat 10 berada dalam kenikmatan surga yang kekal abadi (al-daa‘im).

Imam al-Qusyairi dalam Lathaaif al-Isyaraat menjelaskan kaitan ayat 12 ini dengan ayat 11 (ulaa‘ika al-muqarrabuun). Menurut al-Qusyairi orang-orang terdahulu (al-saabiquun al-saabiquun) didekatkan sebagaimana diterangkan ayat 12, pada hakikatnya didekatkan karena mereka mulia bukan karena mereka berjarak (min haitsu al-karaamah laa min haitsu al-musaafat). Kelompok ketiga ini secara fisik saling berdekatan dalam surga dan hatinya tetap dekat kepada Allah Swt (al-Haq). Kedekatan hati kepada Allah Swt karena mereka ma’rifat dan kedekatan ruh mereka karena mereka syahadah (bersaksi).

Menurut Fakhruddin al-Razi terdapat perbedaan penggunaan lafaz antara ayat 12 ini dengan ayat 89 surat al-Waqi’ah (farawhun wa rayhaanun wa jannatu na’iim). Ayat 12 ini menggunakan alif lam sedangkan ayat terkahir tidak menggunakannya. Ar-Razi berpendapat perbedaan ini bila dilihat dari aspek maknanya maka dapat dipahami bahwa orang-orang terdahulu dianggap lebih spesifik, kedudukannya lebih khusus yang masuk dalam kategori orang-orang bertakwa. Sedangkan orang-orang bertakwa (al-muttaqiin) memiliki kualitas pembalasan surga yang berbeda-beda sesuai dengan amal dan ketakwaaannya ketika di dunia. Menurut penafsiran al-Razi, orang-orang yang paling dahulu inilah yang memiliki derajat yang tertinggi dalam kenikmatan surga.

Dalam buku Al-Qur’an dan Tafsirnya terbitan Kementerian Agama RI tahun 2010, dijelaskan bahwa ayat ini bercerita tentang nikmat yang akan diberikan kepada orang-orang yang paling dahulu beriman. Mereka adalah ahli surga yang akan mendapatkan nikmat yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, maupun terpikirkan oleh siapa pun. Sesuai dengan sabda Nabi Saw:

في الجنة ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر

Di dalam surga terdapat nikmat dan kesenangan yang tidak pernah dilihat oleh mata dan dinger oleh telinga serta tidak pernah terlintas di hati manusia (Riwayat al-Bazzar dari Abi Sa’id).

Kata al-Na’im (an-Na’iim) menurut penjelasan Quraish Shihab secara keumuman diterjemahkan dengan nikmat. Akan tetapi kata ini juga seringkali digunakan untuk mendeskripsikan makna kehalusan dan kelembutan. Sebagian mufassir, jelas Quraish, memaknai kata na’im yang ada dalam al-Qur’an dengan arti segala bentuk nikmat akhirat/ukhrawi bukan nikmat duniawi.

Para mufassir juga memahami kata ni’mat, seakar kata dengan na’im, dengan pengertian agama. Hal ini sebagaimana tertera dalam Q.S al-Baqarah ayat 211, Ali Imran ayat 103, dan al-Maidah ayat 3. Sedangkan al-Thabataba’i berpendapat, seperti dikutip Quraish, bahwa kata ini berarti bahwa orang-orang yang mendapatkannya berada dalam lingkungan pemeliharaan Allah Swt atau dikenal dengan istilah wilayat AllahWallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Waktu Terbaik Membaca Surat Al Waqiah, Ini Sederet Keutamaannya: Bisa Memudahkan Rezeki

Surat Al Waqiah merupakan salah satu surat di dalam Al Quran yang dikenal penuh berkah.

Keberkahan surat Al Waqiah ini mampu melenyapkan kemiskinan dan mendatangkan rezeki bagi pembacanya.

Surat Al Waqiah merupakan surat ke 56 pada juz ke 27 yang terdiri dari 96 ayat dan termasuk golongan surat Makkiyah.

Surat ini memiliki arti hari kiamat, yang diambil dari bunyi ayat pertamanya.

Dilansir dari Menyingkap Mu’jizat Surat Al Waqiah – Muhammad Mochtar, terdapat waktu tertentu yang dianggap terbaik untuk mengamalkannya.

Waktu terbaik untuk mengamalkan surat Al Waqiah salah satunya setelah salat dhuha dan salat tahajud.

Setelah membaca surat Al Waqiah, pembaca bisa melantunkan doa di bawah ini:

“Allahumma inni as’aluka bihaqqi suuratil waaqiah wa asrooroha, antuyassiroli rizqii kamaa yusarritahuu li katsirin bi kholqika, Ya Allah ya robbal’alamiin.”

Ya Allah sesungguhnya, aku memohon kepadamu dengan kebenaran surat Al Waqiah dan segala rahaisanya. Agar Engkau berkenan memudahkan rezekiku sebagaimana Engkau memudahkannya pada seluruh makhluk.

Selain itu, surat Al Waqiah juga bisa dibaca sebelum tidur agar hati tenang dan dilanjutkan dengan melantunkan surat Al Mulk.

Apabila pembaca rutin melaksanakannya, niscaya Allah SWT mempermudah kelancaran rezeki, kemudahan urusan dan mengalirkan pahala.


Keutamaan Surat Al Waqiah

Dilansir dari TribunPekanbaru (grup TribunJakarta), berikut beberapa keutamaan surat Al Waqiah:

Dijauhkan Dari Kemiskinan

Apabila seseorang membiasakan diri untuk membaca Surat Al Waqiah sebanyak satu kali setiap malam, maka ia akan mendapatkan pahala yang sangat berarti yakni akan dijauhkan dari kemiskinan untuk selama-lamanya.

Memperoleh Kekayaan Berlimpah

Apabila seseorang membaca Surat Al Waqiah ini sebanyak 14 kali setiap kali selesai menunaikan sholat Azhar, maka orang tersebut akan mendapatkan balasan berupa kekayaan yang didapat berlimpah dan tidak akan ada habisnya.

“Ajarkanlah surah Al-Waqi’ah kepada isteri-isterimu. Kerana sesungguhnya ia adalah surah Kekayaan.” (Hadis riwayat Ibnu Ady)

Ditunaikan Hajatnya Berhubungan Dengan Rezeki

Apabila seseorang membaca Surat Al Waqiah ini sebanyak 41 kali dalam satu majlis atau dengan kata lain sekali duduk, maka insyaAllah akan ditunaikan semua hajat yang dimohonkan terutam yang berhubungan dengan rezeki.

Dijadikan Hartawan dan Dermawan

Agar seseorang bisa menjadi orang kaya yang selalu mengucap syukur, maka amalan dari Surat Al Waqiah ini dibacakan sebanyak 3 kali sesudah selesai menunaikan sholat subuh dan juga 3 kali sesudah menunaikan sholat isya yang insyaAllah tidak akan berlalu masa setahun tersebut melainkan akan dijadikan seseorang yang hartawan dan juga dermawan.

Bagi orang yang rajin membaca Surat Al Waqiah ini, maka akan mendapatkan syafaat di hari kiamat yang sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim.

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang merindukan surga dan sifatnya, maka bacalah surat Al-Waqi’ah; dan barangsiapa yang ingin melihat sifat neraka, maka bacalah surat As-Sajadah.” (Tsawabul A’mal, hlm 117).

Mendapatkan Ketenangan Jiwa dan Raga

Bagi mereka yang membacakan Surat Al Waqiah meski tidak mengetahui artinya, maka akan mendapatkan ketenangan baik dari segi jiwa maupun raganya.

Dalam hal ini, Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah sebelum tidur, ia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan wajahnya seperti bulan purnama.” (Tsawabul A’mal, halaman 117).

Mengajarkan Tauhid

Dalam Surat Al Waqiah ini memang tidak secara langsung menerangkan ayat tentang kekayaan, rezeki dan hal semacamnya.

Akan tetapi di dalam surat ini mengajarkan tentang tauhid yang membuat kita percaya pada Allah dan semakin membuat kita yakin jika semuanya sudah diatur dengan baik oleh Allah SWT termasuk dalam urusan rezeki.

Berikut ini Bacaan Surat Al Waqiah 1-96 lengkap beserta latin dan terjemahannya.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

اِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُۙ

iżā waqa’atil-wāqi’ah

1. Apabila terjadi hari Kiamat,

لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ ۘ

laisa liwaq’atihā kāżibah

2. terjadinya tidak dapat didustakan (disangkal).

خَافِضَةٌ رَّافِعَةٌ

khāfiḍatur rāfi’ah

3. (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain).

اِذَا رُجَّتِ الْاَرْضُ رَجًّاۙ

iżā rujjatil-arḍu rajjā

4. Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya,

وَّبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّاۙ

wa bussatil-jibālu bassā

5. dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya,

فَكَانَتْ هَبَاۤءً مُّنْۢبَثًّاۙ

fa kānat habā`am mumbaṡṡā

6. maka jadilah ia debu yang beterbangan,

وَّكُنْتُمْ اَزْوَاجًا ثَلٰثَةً ۗ

wa kuntum azwājan ṡalāṡah

7. dan kamu menjadi tiga golongan,

فَاَصْحٰبُ الْمَيْمَنَةِ ەۙ مَآ اَصْحٰبُ الْمَيْمَنَةِ ۗ

fa aṣ-ḥābul-maimanati mā aṣ-ḥābul-maimanah

8. yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu,

وَاَصْحٰبُ الْمَشْـَٔمَةِ ەۙ مَآ اَصْحٰبُ الْمَشْـَٔمَةِ ۗ

wa aṣ-ḥābul-masyamati mā aṣ-ḥābul-masyamah

9. dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu,

وَالسّٰبِقُوْنَ السّٰبِقُوْنَۙ

was-sābiqụnas-sābiqụn

10. dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu (masuk surga).

اُولٰۤىِٕكَ الْمُقَرَّبُوْنَۚ

ulāikal-muqarrabụn

11. Mereka itulah orang yang dekat (kepada Allah),

فِيْ جَنّٰتِ النَّعِيْمِ

fī jannātin-na’īm

12. Berada dalam surga kenikmatan,

ثُلَّةٌ مِّنَ الْاَوَّلِيْنَۙ

ṡullatum minal-awwalīn

13. segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu,

وَقَلِيْلٌ مِّنَ الْاٰخِرِيْنَۗ

wa qalīlum minal-ākhirīn

14. dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.

عَلٰى سُرُرٍ مَّوْضُوْنَةٍۙ

‘alā sururim mauḍụnah

15. Mereka berada di atas dipan-dipan yang bertahtakan emas dan permata,

مُّتَّكِـِٕيْنَ عَلَيْهَا مُتَقٰبِلِيْنَ

muttakiīna ‘alaihā mutaqābilīn

16. mereka bersandar di atasnya berhadap-hadapan.

يَطُوْفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُّخَلَّدُوْنَۙ

yaṭụfu ‘alaihim wildānum mukhalladụn

17. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda,

بِاَكْوَابٍ وَّاَبَارِيْقَۙ وَكَأْسٍ مِّنْ مَّعِيْنٍۙ

biakwābiw wa abārīqa wa kasim mim ma’īn

18. dengan membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir,

لَّا يُصَدَّعُوْنَ عَنْهَا وَلَا يُنْزِفُوْنَۙ

lā yuṣadda’ụna ‘an-hā wa lā yunzifụn

19. mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk,

وَفَاكِهَةٍ مِّمَّا يَتَخَيَّرُوْنَۙ

wa fākihatim mimmā yatakhayyarụn

20. dan buah-buahan apa pun yang mereka pilih,

وَلَحْمِ طَيْرٍ مِّمَّا يَشْتَهُوْنَۗ

wa laḥmi ṭairim mimmā yasytahụn

21. dan daging burung apa pun yang mereka inginkan.

وَحُوْرٌ عِيْنٌۙ

wa ḥụrun ‘īn

22. Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah,

كَاَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُوْنِۚ

kaamṡālil-luluil-maknụn

23. laksana mutiara yang tersimpan baik.

جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

jazāam bimā kānụ ya’malụn

24. Sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan.

لَا يَسْمَعُوْنَ فِيْهَا لَغْوًا وَّلَا تَأْثِيْمًاۙ

lā yasma’ụna fīhā lagwaw wa lā taṡīmā

25. Di sana mereka tidak mendengar percakapan yang sia-sia maupun yang menimbulkan dosa,

اِلَّا قِيْلًا سَلٰمًا سَلٰمًا

illā qīlan salāman salāmā

26. tetapi mereka mendengar ucapan salam.

وَاَصْحٰبُ الْيَمِينِ ەۙ مَآ اَصْحٰبُ الْيَمِيْنِۗ

wa aṣ-ḥābul-yamīni mā aṣ-ḥābul-yamīn

27. Dan golongan kanan, siapakah golongan kanan itu.

فِيْ سِدْرٍ مَّخْضُوْدٍۙ

fī sidrim makhḍụd

28. (Mereka) berada di antara pohon bidara yang tidak berduri,

وَّطَلْحٍ مَّنْضُوْدٍۙ

wa ṭal-ḥim manḍụd

29. dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya),

وَّظِلٍّ مَّمْدُوْدٍۙ

wa ẓillim mamdụd

30. dan naungan yang terbentang luas,

وَّمَاۤءٍ مَّسْكُوْبٍۙ

wa māim maskụb

31. dan air yang mengalir terus-menerus,

وَّفَاكِهَةٍ كَثِيْرَةٍۙ

wa fākihating kaṡīrah

32. dan buah-buahan yang banyak,

لَّا مَقْطُوْعَةٍ وَّلَا مَمْنُوْعَةٍۙ

lā maqṭụ’atiw wa lā mamnụ’ah

33. yang tidak berhenti berbuah dan tidak terlarang mengambilnya,

وَّفُرُشٍ مَّرْفُوْعَةٍۗ

wa furusyim marfụ’ah

34. dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk.

اِنَّآ اَنْشَأْنٰهُنَّ اِنْشَاۤءًۙ

innā ansyanāhunna insyāā

35. Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung,

فَجَعَلْنٰهُنَّ اَبْكَارًاۙ

fa ja’alnāhunna abkārā

36. lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan,

عُرُبًا اَتْرَابًاۙ

‘uruban atrābā

37. yang penuh cinta (dan) sebaya umurnya,

لِّاَصْحٰبِ الْيَمِيْنِۗ

li`aṣ-ḥābil-yamīn

38. untuk golongan kanan,

ثُلَّةٌ مِّنَ الْاَوَّلِيْنَۙ

ṡullatum minal-awwalīn

39. segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu,

وَثُلَّةٌ مِّنَ الْاٰخِرِيْنَۗ

wa ṡullatum minal-ākhirīn

40. dan segolongan besar pula dari orang yang kemudian.

وَاَصْحٰبُ الشِّمَالِ ەۙ مَآ اَصْحٰبُ الشِّمَالِۗ

wa aṣ-ḥābusy-syimāli mā aṣ-ḥābusy-syimāl

41. Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu.

فِيْ سَمُوْمٍ وَّحَمِيْمٍۙ

fī samụmiw wa ḥamīm

42. (Mereka) dalam siksaan angin yang sangat panas dan air yang mendi

dih,

وَّظِلٍّ مِّنْ يَّحْمُوْمٍۙ

wa ẓillim miy yaḥmụm

43. dan naungan asap yang hitam,

لَّا بَارِدٍ وَّلَا كَرِيْمٍ

lā bāridiw wa lā karīm

44. tidak sejuk dan tidak menyenangkan.

اِنَّهُمْ كَانُوْا قَبْلَ ذٰلِكَ مُتْرَفِيْنَۚ

innahum kānụ qabla żālika mutrafīn

45. Sesungguhnya mereka sebelum itu (dahulu) hidup bermewah-mewah,

وَكَانُوْا يُصِرُّوْنَ عَلَى الْحِنْثِ الْعَظِيْمِۚ

wa kānụ yuṣirrụna ‘alal-ḥinṡil-‘aẓīm

46. dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa yang besar,

وَكَانُوْا يَقُوْلُوْنَ ەۙ اَىِٕذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَّعِظَامًا ءَاِنَّا لَمَبْعُوْثُوْنَۙ

wa kānụ yaqụlụna a iżā mitnā wa kunnā turābaw wa ‘iẓāman a innā lamab’ụṡụn

47. dan mereka berkata, “Apabila kami sudah mati, menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?

اَوَاٰبَاۤؤُنَا الْاَوَّلُوْنَ

a wa ābāunal-awwalụn

48. Apakah nenek moyang kami yang terdahulu (dibangkitkan pula)?”

قُلْ اِنَّ الْاَوَّلِيْنَ وَالْاٰخِرِيْنَۙ

qul innal-awwalīna wal-ākhirīn

49. Katakanlah, “(Ya), sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian,

لَمَجْمُوْعُوْنَۙ اِلٰى مِيْقَاتِ يَوْمٍ مَّعْلُوْمٍ

lamajmụ’ụna ilā mīqāti yaumim ma’lụm

50. pasti semua akan dikumpulkan pada waktu tertentu, pada hari yang sudah dimaklumi.

ثُمَّ اِنَّكُمْ اَيُّهَا الضَّاۤ لُّوْنَ الْمُكَذِّبُوْنَۙ

ṡumma innakum ayyuhaḍ-ḍāllụnal-mukażżibụn

51. Kemudian sesungguhnya kamu, wahai orang-orang yang sesat lagi mendustakan!

لَاٰكِلُوْنَ مِنْ شَجَرٍ مِّنْ زَقُّوْمٍۙ

laākilụna min syajarim min zaqqụm

52. pasti akan memakan pohon zaqqum,

فَمَالِـُٔوْنَ مِنْهَا الْبُطُوْنَۚ

fa māliụna min-hal-buṭụn

53. maka akan penuh perutmu dengannya.

فَشَارِبُوْنَ عَلَيْهِ مِنَ الْحَمِيْمِۚ

fa syāribụna ‘alaihi minal-ḥamīm

54. Setelah itu kamu akan meminum air yang sangat panas.

فَشَارِبُوْنَ شُرْبَ الْهِيْمِۗ

fa syāribụna syurbal-hīm

55. Maka kamu minum seperti unta (yang sangat haus) minum.

هٰذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ الدِّيْنِۗ

hāżā nuzuluhum yaumad-dīn

56. Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan.”

نَحْنُ خَلَقْنٰكُمْ فَلَوْلَا تُصَدِّقُوْنَ

naḥnu khalaqnākum falau lā tuṣaddiqụn

57. Kami telah menciptakan kamu, mengapa kamu tidak membenarkan (hari berbangkit)?

اَفَرَءَيْتُمْ مَّا تُمْنُوْنَۗ

a fa raaitum mā tumnụn

58. Maka adakah kamu perhatikan, tentang (benih manusia) yang kamu pancarkan.

ءَاَنْتُمْ تَخْلُقُوْنَهٗٓ اَمْ نَحْنُ الْخَالِقُوْنَ

a antum takhluqụnahū am naḥnul-khāliqụn

59. Kamukah yang menciptakannya, ataukah Kami penciptanya?

نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ الْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوْقِيْنَۙ

naḥnu qaddarnā bainakumul-mauta wa mā naḥnu bimasbụqīn

60. Kami telah menentukan kematian masing-masing kamu dan Kami tidak lemah,

عَلٰٓى اَنْ نُّبَدِّلَ اَمْثَالَكُمْ وَنُنْشِئَكُمْ فِيْ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

‘alā an nubaddila amṡālakum wa nunsyiakum fī mā lā ta’lamụn

61. untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (di dunia) dan membangkitkan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ النَّشْاَةَ الْاُوْلٰى فَلَوْلَا تَذَكَّرُوْنَ

wa laqad ‘alimtumun-nasyatal-ụlā falau lā tażakkarụn

62. Dan sungguh, kamu telah tahu penciptaan yang pertama, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

اَفَرَءَيْتُمْ مَّا تَحْرُثُوْنَۗ

a fa raaitum mā taḥruṡụn

63. Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam?

ءَاَنْتُمْ تَزْرَعُوْنَهٗٓ اَمْ نَحْنُ الزَّارِعُوْنَ

a antum tazra’ụnahū am naḥnuz-zāri’ụn

64. Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?

لَوْ نَشَاۤءُ لَجَعَلْنٰهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُوْنَۙ

lau nasyāu laja’alnāhu huṭāman fa ẓaltum tafakkahụn

65. Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat; maka kamu akan heran tercengang,

اِنَّا لَمُغْرَمُوْنَۙ

innā lamugramụn

66. (sambil berkata), “Sungguh, kami benar-benar menderita kerugian,

بَلْ نَحْنُ مَحْرُوْمُوْنَ

bal naḥnu mahrụmụn

67. bahkan kami tidak mendapat hasil apa pun.”

اَفَرَءَيْتُمُ الْمَاۤءَ الَّذِيْ تَشْرَبُوْنَۗ

a fa raaitumul-māallażī tasyrabụn

68. Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum?

ءَاَنْتُمْ اَنْزَلْتُمُوْهُ مِ

نَ الْمُزْنِ اَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُوْنَ

a antum anzaltumụhu minal-muzni am naḥnul-munzilụn

69. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?

لَوْ نَشَاۤءُ جَعَلْنٰهُ اُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُوْنَ

lau nasyāu ja’alnāhu ujājan falau lā tasykurụn

70. Sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami menjadikannya asin, mengapa kamu tidak bersyukur?

اَفَرَءَيْتُمُ النَّارَ الَّتِيْ تُوْرُوْنَۗ

a fa raaitumun-nārallatī tụrụn

71. Maka pernahkah kamu memperhatikan tentang api yang kamu nyalakan (dengan kayu)?

ءَاَنْتُمْ اَنْشَأْتُمْ شَجَرَتَهَآ اَمْ نَحْنُ الْمُنْشِـُٔوْنَ

a antum ansyatum syajaratahā am naḥnul-munsyiụn

72. Kamukah yang menumbuhkan kayu itu ataukah Kami yang menumbuhkan?

نَحْنُ جَعَلْنٰهَا تَذْكِرَةً وَّمَتَاعًا لِّلْمُقْوِيْنَۚ

naḥnu ja’alnāhā tażkirataw wa matā’al lil-muqwīn

73. Kami menjadikannya (api itu) untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir.

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ

fa sabbiḥ bismi rabbikal-‘aẓīm

74. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar.

فَلَآ اُقْسِمُ بِمَوٰقِعِ النُّجُوْمِ

fa lā uqsimu bimawāqi’in-nujụm

75. Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang.

وَاِنَّهٗ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌۙ

wa innahụ laqasamul lau ta’lamụna ‘aẓīm

76. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui,

اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ

innahụ laqurānung karīm

77. dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia,

فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ

fī kitābim maknụn

78. dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh),

لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ

lā yamassuhū illal-muṭahharụn

79. tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.

تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ

tanzīlum mir rabbil-‘ālamīn

80. Diturunkan dari Tuhan seluruh alam.

اَفَبِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَنْتُمْ مُّدْهِنُوْنَ

a fa bihāżal-ḥadīṡi antum mud-hinụn

81. Apakah kamu menganggap remeh berita ini (Al-Qur’an),

وَتَجْعَلُوْنَ رِزْقَكُمْ اَنَّكُمْ تُكَذِّبُوْنَ

wa taj’alụna rizqakum annakum tukażżibụn

82. dan kamu menjadikan rezeki yang kamu terima (dari Allah) justru untuk mendustakan(-Nya).

فَلَوْلَآ اِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُوْمَۙ

falau lā iżā balagatil-ḥulqụm

83. Maka kalau begitu mengapa (tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai di kerongkongan,

وَاَنْتُمْ حِيْنَىِٕذٍ تَنْظُرُوْنَۙ

wa antum ḥīnaiżin tanẓurụn

84. dan kamu ketika itu melihat,

وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلٰكِنْ لَّا تُبْصِرُوْنَ

wa naḥnu aqrabu ilaihi mingkum wa lākil lā tubṣirụn

85. dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat,

فَلَوْلَآ اِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِيْنِيْنَۙ

falau lā ing kuntum gaira madīnīn

86. maka mengapa jika kamu memang tidak dikuasai (oleh Allah),

تَرْجِعُوْنَهَآ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

tarji’ụnahā ing kuntum ṣādiqīn

87. kamu tidak mengembalikannya (nyawa itu) jika kamu orang yang benar?

فَاَمَّآ اِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَۙ

fa ammā ing kāna minal-muqarrabīn

88. Jika dia (orang yang mati) itu termasuk yang didekatkan (kepada Allah),

فَرَوْحٌ وَّرَيْحَانٌ ەۙ وَّجَنَّتُ نَعِيْمٍ

fa rauḥuw wa raiḥānuw wa jannatu na’īm

89. maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga (yang penuh) kenikmatan.

وَاَمَّآ اِنْ كَانَ مِنْ اَصْحٰبِ الْيَمِيْنِۙ

wa ammā ing kāna min aṣ-ḥābil-yamīn

90. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan,

فَسَلٰمٌ لَّكَ مِنْ اَصْحٰبِ الْيَمِيْنِۗ

fa salāmul laka min aṣ-ḥābil-yamīn

91. maka, “Salam bagimu (wahai) dari golongan kanan!” (sambut malaikat).

وَاَمَّآ اِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِيْنَ الضَّاۤلِّيْنَۙ

wa ammā ing kāna minal-mukażżibīnaḍ-ḍāllīn

92. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan dan sesat,

فَنُزُلٌ مِّنْ حَمِيْمٍۙ

fa nuzulum min ḥamīm

93. maka dia disambut siraman air yang mendidih,

وَّتَصْلِيَةُ جَحِيْمٍ

wa taṣliyatu jaḥīm

94. dan dibakar di dalam neraka.

اِنَّ هٰذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِيْنِۚ

inna hāżā lahuwa ḥaqqul-yaqīn

95. Sungguh, inilah keyakinan yang benar.

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ

fa sabbiḥ bismi rabbikal-‘aẓīm

96. Maka bertasbihlah  dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar.



Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul Waktu Terbaik Membaca Surat Al Waqiah, Ini Sederet Keutamaannya: Bisa Memudahkan Rezeki

Tafsir Surah al-Waqi’ah Ayat 4 – 6: Pada Hari Kiamat Semuanya Luluh Lantak

Telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya tentang kepastian terjadinya Hari Kiamat, alasan al-Waqi’ah menjadi salah satu nama Hari Kiamat, perbedaan penafsiran tentang golongan yang dihinakan (khafidhah) dan yang dimuliakan (rafi’ah), dan lain sebagainya. Artikel kali ini akan menjelaskan deskripsi situasi yang terjadi ketika Hari Kiamat benar-benar datang. Allah SWT berfirman:

إِذا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا () وَبُسَّتِ الْجِبالُ بَسًّا () فَكانَتْ هَباءً مُنْبَثًّا ()

“Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya. dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya. maka jadilah ia debu yang beterbangan.”

Para mufassir tidak banyak melakukan eksplorasi makna maupun penggambaran keadaan tentang Hari Kiamat selain yang sesuai dengan bunyi ayat dan penjelasan-penjelasan tambahan berangkat dari riwayat-riwayat hadis dari Nabi maupun keterangan-keterangan para sahabat. Hal ini dapat dimaklumi karena begitu dahsyatnya Hari Kiamat dan para mufassir tidak dapat menggambarkan bagaimana keadaan umat manusia di Hari Kiamat nanti.

Ibnu Jarir al-Thabari mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan ayat 4 adalah bahwa bumi tergoncang dengan hebat. Kata raja yang ada pada ayat tersebut merupakan sinonim dengan kata zalzala yang sama-sama berarti ‘goncangan’. Dari beberapa riwayat yang dikumpulkan al-Thabari seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah, ketiganya memahami kata rajja dengan kata zalzala. Dimungkinkan pada waktu itu kata zalzala lebih familiar dalam masyarakat dibanding dengan kata rajja untuk digunakan dalam konteks bencana gempa bumi.

Sama seperti kata rajja yang mungkin kurang familiar, kata bassa pada ayat 5 juga ditafsirkan dengan menggunakan sinonim kata agar lebih dipahami. Menurut al-Thabari ayat ini menggambarkan bahwa gunung-gunungg akan hancur sehancur-hancurnya sehingga menjadi partikel-partikel kecil. Al-Thabari menggarisbawahi kata bassa yang dipahami orang-orang Arab adalah seperti kata al-daqiq yang maknanya sama-sama debu. Penafsiran al-Thabari tersebut didasarkan pada tiga riwayat yang berbeda dari Ibnu Abbas, Mujahid dengan tiga jalur, al-Suddi dan dari Ikrimah.

Pada ayat 6, al-Thabari menerangkan bahwa ada perbedaan pemaknaan terhadap kata habaa‘an. Sebagian memaknai kata tersebut sinar matahari yang masuk melalui ventilasi sehingga menghasilkan debu. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abbas, Sa’id, dan Mujahid. Sebagian yang lain memaknai kata habaa‘an dengan makna debu yang melekat pada binatang (rahj al-dawab). Pendapat ini berdasarkan riwayat dari al-Haris dari ‘Ali. Selain dua makna tersebut ada juga makna-makna lain seperti debu pembakaran api yang tidak kasat mata dan daun-daun yang berguguran dari pohon.

Ketika menafsikran ayat-ayat di atas Ibnu Katsir hampir sama seperti al-Thabari dalam mengutip beberapa riwayat seperti riwayat Ibnu Abbas, Mujahid dan Qatadah. Hanya saja Ibnu Katsir menggarisbawahi beberapa ayat yang semakna dan sama dalam mendeskripsikan Hari Kiamat. Ayat 4, menurut Ibnu Katsir dapat dijelaskan dengan Q.S al-Zalzalah ayat 1, dan Q.S al-Hajj ayat 1. Sedangkan ayat 5, semakna dengan kandungan QS. al-Muzammil ayat 14.

Menurut Fakhruddin al-Razi ketika menafsirkan ketiga ayat di atas, gambaran Hari Kiamat adalah ketika tanah yang landai berhamburan seperti gunungan pasir sedangkan gunung-gunung hancur sehingga menjadi rata. Ketidakteraturan retakan bumi menjadikan manusia tidak memiliki tempat untuk berpijak. seperti bulu-bulu yang berhamburan sebagiamana digambarkan QS. al-Qari’ah ayat 5.

Al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil juga memahami ketiga ayat di atas sebagai berikut. Menurutnya ketika bumi digoncangkan (rujjat al-ardh) maka tanah bergerak tidak beraturan dengan gerak yang cepat sehingga bangunan-bangunan tinggi hingga gunung-gunung hancur lebur, semuanya rata. Gunung-gunung seperti pada ayat 5, menjadi porak-poranda seperti tepung yang ditiup, tanahnya berhamburan.

Kata raja pada ayat 4, menurut Thahir Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir bermakna hentakan dan gerakan yang luar biasa kencang (al-idhtihirab wa al-taharruk al-syadid). Pengulangan kata dengan bentuk mashdar, menurut Ibnu ‘Asyur dimaksudkan sebagai penguatan (ta’kid) untuk menunjukkan bahwa hal itu benar-benar akan terjadi. Hancur dan luluh lantaknya gunung-gunung, kata Ibnu ‘Asyur, merupakan deskripsi yang dapat ditemukan dalam ayat-ayat lain seperti Q.S al-Kahf [18] ayat 47 dan surat al-Naba’ [78] ayat 20.

Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa deskripsi gunung sebagai objek yang akan benar-benar dihancurkan juga berkaitan dengan psikologi manusia yang melihat gunung sebagai objek yang agung dan amat besar. Maka Allah Swt pada Hari Kiamat mampu untuk meluluhlantakkan semua gunung-gunung tersebut. Wallahu A’lam.

BINCANG SYRAIAH

Rahasia Surat Al Waqiah tak Hanya Rezeki, Lalu Apa Saja?

Surat Al Waqiah mempunyai sejumlah rahasia khusus untuk umat Islam

Surat Al Waqiah termasuk salah satu surat favorit yang kerap dibaca umat Islam sehari-hari. Apa rahasia surat ini?

Surat Al Waqiah disebut memiliki kandungan yang menjelaskan mengenai dahsyatnya hari kiamat. Surat ini turun di Makkah, sebelum Rasulullah ﷺ dan sahabatnya hijrah ke Madinah. 

Dilansir dari laman Mawdoo3 pada Kamis (1/4), surat ini disebut telah membuat rambut Nabi ﷺ beruban.  

عن ابنِ عبّاسٍ قالَ : قالَ أَبُو بَكْر رضي الله عنه: “يَا رَسُولَ الله قَدْ شِبْتَ. قالَ: شَيّبَتْنِي هُودٌ وَالْوَاقِعَةُ وَالمُرْسَلاَتُ و {عَمّ يَتَسَاءَلُونَ} و {إِذَا الشّمْسُ كُوّرَتْ}”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Abu Bakar Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Wahai Rasulullah! Engkau telah beruban’. Beliau ﷺ menjawab: ‘Telah membuatku beruban (surat) Huud, Al Waqiah, Al Mursalat, An Naba, dan At Takwir.” Disebutkan juga bahwa Rasulullah ﷺ begitu ingin membaca surat ini dalam sholatnya. 

Di samping itu, ada yang menyebutkan bahwa dengan membaca Al Waqiah dapat diberikan kekayaan. Di antaranya hadist yang cukup terkenal ini meski derajat haditsnya lemah:

 مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْوَاقِعَةِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ أَبَدًا “Barangsiapa membaca surat Al Waqiah setiap malam, maka dia tidak akan jatuh miskin selamanya.” 

Surat yang turun sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ini, memiliki total 96 ayat. Alasan penamaan al Waqiah yakni karena banyak disebutkan terkait hari kiamat di dalamnya. Kiamat merupakan hari yang begitu besar, karena dahsyat dan mengerikannya kondisi yang terjadi pada saat itu. 

Sumber: mawdoo3

KHAZANAH REPUBLIKA

Amalkan Surat Al Waqiah, Begini Caranya

Semua ayat dalam Alqur’an memiliki banyak keutamaan. Sebagai contoh, surat al-Waqi’ah bisa membuat orang yang membacanya mendapatkan kekayaan dan terhindar dari kemiskinan.

Hal ini disampaikan Muhammad Zaairul Haq dalam bukunya yang berjudul Rahasia Keutamaan Surat Al-Qur’an terbitan Rene Islam.

Dalam kitab al-Jawahir al-Lamma’ah, menurut dia, telah dijelaskan mengenai salah satu keutamaan  mengamalkan surat al-Waqi’ah, yaitu sebagai wasilah atau perantara memohon kepada Allah agar mendapatkan kekayaan.

Zaairul Haq kemudian menjelaskan cara mengamalkan surat al-Waqi’ah. Pertama, menurut dia, setelah tahajud di sepertiga malam terakhir, usahakan jangan tidur hingga masuk sholat subuh. Setelah itu, lanjutkan dengan sholat sunnah qabliyah Subuh dan sholat subuh berjamaah.

Setelah sholat subuh, baru membaca surat al-Waqi’ah satu kali, dan dilanjutkan dengan membaca wirid berikut sebanyak seribu kali, yaitu

ياكريم يا ودود

(Ya kariimu ya waduud)

Dengan mengamalkan surat al-Waqiah seperti itu, menurut Zaairul Haq, Allah akan memberikan kekayaan dalam waktu yang sangat dekat. Selain itu, menurut dia, orang yang mengamalkan suratal-Waqi’ah juga bisa terhindar dair kemiskinan.

“Salah satu keutamaan paling utama dari surat al-Waqi’ah adalah untuk mempermudah datangnya rezeki dan menghindarkan diri dari kemiskinan atau kesulitan hidup,” kata Zaairul Haq.

Dia pun mengutip sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang membaca surat al-Waqi’ah pada tiap-tiap malam, maka ia akan terhindar dari kemiskinan selamanya.” (HR Imam Baihaqi).

IHRAM

Mengapa Aku Tidak Bahagia?

Saudaraku, adakah manusia yang tidak menginginkan kebahagian dunia?

Bahkan orang-orang beriman dengan naluri kemanusiaannya pun tidak dapat mengelak dengan keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut. Pemahaman tentang kebahagiaan akhirat yang menjadi tujuan kiranya tidak serta merta mengubur hasrat manusiawi yang menginginkan kecukupan baik dari sisi harta, tahta, istri salehah, keturunan dan segala pernak-pernik duniawi lainnya.

Sebab kita tahu bahwa dengan harta, sedekah, dan zakat dalam jumlah banyak dengan mudah kita keluarkan. Maka ampunan Allah pun mudah untuk diperoleh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ

“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api” (HR. Tirmidzi no. 614).

Melalui tahta atau jabatan yang strategis, celah untuk dapat berlaku adil dan memberikan kemanfaatan bagi manusia lainnya dengan leluasa bisa kita lakukan sehingga kelak di akhirat mendapatkan naungan Allah Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi Shallahualaihi wasallam,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ …

“Tujuh orang yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya: (1) Seorang imam (pemimpin) yang adil …” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bersama istri salehah yang setia mendampingi kita dalam suka dan duka, maka menjalani kehidupan dengan satu tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat mudah kita peroleh, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ

“Ada empat diantara kebahagiaan: (1) istri yang salehah (baik), (2) tempat tinggal yang luas, (3) tetangga yang saleh (baik), dan (4) kendaraan yang nyaman [1].”

Begitu pula dengan memiliki keturunan yang banyak, kita dapat membentuk generasi saleh/salehah yang dapat melanjutkan estafet dakwah guna memberikan kemanfaatan yang luas bagi agama dan bangsa sehingga menjadi kebanggaan Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam di akhirat kelak sebagaimana sabdanya,

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

 “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat [2].”

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana jika semua hasrat duniawi tersebut belum kita peroleh bahkan hingga saat ini?

Sikap orang beriman memandang kebahagiaan

Tidak pula dapat dipungkiri bahwa banyak manusia yang beriman belum mendapatkan kebahagiaan dunia tersebut. Jangankan untuk memperoleh tahta, hidup pun masih dengan keadaan serba kekurangan. Jangankan untuk mendapatkan keturunan, jodoh pun tak kunjung bertemu. Padahal, segala daya dan upaya telah dikerahkan untuk mewujudkan mimpi menggapai kebahagiaan duniawi tersebut. Kualitas iman dan takwa selalu di-upgrade guna mendapatkan secercah karunia dari Allah Ta’ala berupa jawaban dari doa-doa yang senantiasa dipanjatkan.

Lantas, bagaimana cara orang beriman menyikapi kenyataan ini?

Jawabannya adalah dengan kembali memperbaharui niat (tujuan) kita dalam menjalani kehidupan fana ini, yaitu menjadikan negeri akhirat sebagai priotitas tujuan utama. Merealisasikan niat dengan istikamah menjaga diri dari batasan-batasan syariat dalam menapaki setiap jejak langkah mewujudkan mimpi duniawi kita.

Mari kita perhatikan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina [3].”

Sejatinya, apabila kita memahami hakikat kehidupan dunia ini, maka dengan tenang kita dapat mengarungi segala rintangan dan tantangan kehidupan ini. Karena hakikat kehidupan dunia adalah senda gurau dan permainan belaka. Allâh Ta’ala berfirman,

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui” (QS. Al-Ankabût: 64).

Kebahagiaan bagi pembangkang syariat

Adapun kenikmatan yang diberikan kepada mereka bahkan yang tidak beriman kepada Allah, janganlah membuat kita merasa sedih sebab tidaklah kenikmatan itu semua melainkan bunga kehidupan dunia, sebagaimana firman Allah :

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Rabbmu lebih baik dan lebih kekal” (QS. Thâhâ: 131).

Apabila dibandingkan dengan kenikmatan kehidupan akhirat, kehidupan dunia ini tidaklah ada apa-apa nya. Allah berfirman,

فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ

“Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit” (QS. at-Taubah: 38).

Lebih rinci Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan kepada kita tentang hakikat dunia apabila dibandingkan dengan akhirat seperti air yang tersisa dalam jari telunjuk apabila dicelupkan dalam air. Beliau bersabda,

وَاللهِ ، مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَ بِالسَّبَّابَةِ – فِـي الْيَمِّ ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِـعُ

“Demi Allâh! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, -(perawi hadis ini yaitu -pent.) Yahya  memberikan isyarat dengan jari telunjuknya- lalu hendaklah dia melihat apa yang dibawa jarinya itu?” (HR. Muslim, no. 2957).

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan perumpamaan dunia sebagaimana makanan yang terkesan nikmat setelah dibumbui dengan beraneka rempah untuk dimakan. Namun pada akhirnya akan menjadi kotoran yang kita pun enggan untuk kembali menyentuhnya. Beliau bersabda,

إِنَّ مَطْعَمَ ابْنِ آدَمَ جُعِلَ مَثَلًا لِلدُّنْيَا وَإِنْ قَزَّحَهُ وَمَلَّحَهُ فَانْظُرُوْا إِلَى مَا يَصِيْرُ

“Sesungguhnya makanan anak Adam (makanan yang dimakannya) dijadikan perumpamaan terhadap dunia. Walaupun ia sudah memberinya bumbu dan garam, lihatlah menjadi apa makanan tersebut akhirnya [4].”

Dunia bagi Allah dan Rasul-Nya

Betapa rendahnya hakikat dunia bagi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka semestinya kita tidak bersedih atas apa yang sedang kita hadapi dari cobaan demi cobaan khususnya dalam mendapatkan impian duniawi yang belum terwujud.

Karena apabila dunia ini bermakna bagi Allah, maka para pembangkang syariat  tidak akan mendapatkan kebahagiaan meskipun dengan seteguk air. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْـيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Andai dunia ini di sisi Allah senilai selembar sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum seteguk airpun kepada orang kafir [5].”

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memperingatkan kepada kita untuk tidak sedikit pun merasa iri kepada manusia yang mengangkangi syariat Allah tapi tetap mendapatkan kenikmatan dunia, sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Umar Radhiyallahu’anhu,

أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟

“Tidakkah engkau rida untuk mereka (orang-orang kafir) dunia sementara bagi kita akhirat? [6]”

Hikmah dari kebahagiaan yang belum datang

Sekali lagi, kehidupan dunia ini dari sudut pandang manusia yang lemah memang sangat menggiurkan dan penuh dengan godaan yang berisi tipudaya. Namun, orang beriman yang senantiasa menyadari akan hakikat dunia sebagaimana yang diajarkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahualaihi wasallam dengan izin Allah akan selalu terjaga hati dan niatnya dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Mereka akan selalu ingat akan firman Allah,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۖ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

“Wahai manusia! Sungguh, janji Allâh itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh” (QS. Fâthir/35:5).

Impian terhadap harta dan tahta yang hingga saat ini belum dianugerahkan kepada kita, semestinya menyadarkan kita bahwa saat ini Allah sedang menyelamatkan kita dari kerusakan agama yang dapat disebabkan oleh dua hal tersebut.

Kenapa demikian? Bisa jadi karena kita masih lemah dalam mengelola harta yang apabila kita peroleh justru akan menjadi jembatan untuk melakukan pembangkangan terhadap batasan syariat yang telah Allah Ta’ala tetapkan.

Kita belum dikaruniai tahta atau jabatan, bisa jadi karena masih belum mampu untuk mengemban amanah yang apabila saat ini Allah berikan, bisa saja akan mencelakai diri kita sendiri yang belum bisa mengendalikan diri ketika godaan penyelewengan kewenangan jabatan dan sebagainya menghampiri. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَاذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ

“Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat rakus manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya [7].”

Wallahua’lam bi-ash-shawaab.

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/68891-mengapa-aku-tidak-bahagia.html

Hukum Menginap di Rumah Non Muslim

Bagi seseorang yang memiliki banyak teman dari kalangan non muslim, berkunjung ke rumah temannya tersebut tentu merupakan hal yang lumrah dilakukan. Bahkan terkadang bukan hanya berkunjung, namun juga sampai menginap di rumahnya. Sebenarnya bagaimana hukum berkunjung dan menginap di rumah non muslim?

Dalam Islam, mengunjungi rumah non muslim, baik masih ada hubungan kerabat, keluarga, famili dan tetangga dan teman, hukumnya adalah boleh. Begitu juga menginap di rumah non muslim, hukumnya juga boleh, tidak dilarang. Begitu juga sebaliknya, boleh bagi non muslim mengunjungi dan bermalam di rumah kita.

Dalil kebolehan menginap di rumah non muslim, dan kebolehan non muslim menginap di rumah kita, adalah hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Asma putri Abu Bakar, dia berkata;

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدَهُمْ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ

Ibuku mendatangiku pada saat beliau masih musyrik ketika ada penjanjian damai dengan kaum musyrik. Lalu aku meminta pendapat kepada Rasulullah Saw, dan aku bertanya; Wahai Rasulullah, ibuku mendatangiku karena rindu padaku. Bolehkah aku menjalin silaturahmi dengan Ibuku?. Beliau menjawab; Ya, sambunglah silaturahmi dengan ibumu.

Di dalam hadis ini, Rasulullah Saw mengizinkan Asma binti Abu Bakar untuk menjalin silaturrahim dengan ibunya yang masih musyrik. Ibunya tidak masalah mengunjungi Asma, begitu sebaliknya, Asma boleh mengunjungi rumah ibunya.

Ketika kita bermalam di rumah non muslim, kita juga diperbolehkan untuk wudhu dari bejana atau kamar mandi milik non muslim. Juga boleh shalat di rumahnya. Terdapat sebuah hadis yang menceritakan bahwa Nabi Saw dan para sahabatnya pernah wudhu dari bejana non muslim. Ini menunjukkan bahwa wudhu dari kamar mandi milik non-muslim, pada saat kita menginap di rumahnya, hukumnya boleh dan sah selama tidak ada najis.

Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Imran bin Hushain, dia berkisah;

أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ امْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ

Rasulullah Saw bersama para sahabatnya berwudhu dengan air dari bejana perempuan musyrik.

BINCANG SYARIAH