Mengenal Pokok-Pokok Aqidah Kaum Khawarij (Bag. 1)

Kelompok khawarij dikenal dengan ciri khas mereka, yaitu: (1) berlebih-lebihan dalam memvonis kafir sesama kaum muslimin; (2) keluar memberontak dari penguasa kaum muslimin yang sah; dan (3) menghalalkan tumpahnya darah kaum muslimin yang menyelisihi aqidah mereka.

Bibit-bibit kaum khawarij sudah muncul sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, mereka benar-benar muncul dan eksis ketika zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu [1]Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenal siapakah khawarij dan bagaimanakah aqidah mereka yang rusak, untuk kita jauhi sejauh-jauhnya.

Dalam tulisan ini, akan kami sebutkan pokok-pokok (ushul) ‘aqidah kaum khawarij dan kami mulai dengan menyebutkan julukan-julukan bagi kaum khawarij yang secara sekilas sudah menggambarkan bagaimanakah ushul ‘aqidah mereka.

Julukan bagi Kaum Khawarij

Kelompok khawarij disebut oleh para ulama dengan banyak sebutan, di antaranya adalah berikut ini.

Khawarij

Disebut khawarij karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan,

يَخْرُجُونَ عَلَى حِينِ فُرْقَةٍ مِنَ النَّاسِ

“Mereka keluar (khuruj) (muncul) ketika terjadi perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin.” (HR. Bukhari no. 3414, 5810, 6534 dan Muslim no. 1064)

Yaitu, ketika adanya perselisihan antara dua sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma, karena adanya provokator yang sengaja ingin menciptakan kerusuhan. Pada awalnya, kelompok khawarij memihak khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.

Disebut khawarij karena mereka juga keluar (khuruj) dari pemimpin (pemerintah atau penguasa) kaum muslimin yang sah dan keluar dari jamaah kaum muslimin bersama penguasanya (yaitu khalifah ‘Albi bin Abi Thalib). Mereka keluar (memberontak) dengan pedang didorong oleh aqidah mereka yang rusak dan batil.

Ini adalah ciri yang umum bagi siapa saja yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.

Al-Muhakkimah

Disebut al-muhakkimah karena mereka keluar dari kepemimpinan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan jamaah kaum muslimin di bawah kepemimpinan ‘Ali disebabkan karena masalah tahkim (usaha perdamaian). Ketika itu, mereka menuduh khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu menyerahkan urusan perdamaian kepada utusan (negoisator), bukan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka pun meneriakkan,

لاحكم الا لله

“Laa hukma illa lillaah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”

Mereka pun memvonis kafir sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, dua orang negoisator dari dua belah pihak (yaitu Abu Musa Al-‘Asyari radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari pihak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu) dan memvonis kafir siapa saja yang menyetujui keputusan ‘Ali bin Abi Thalib dan ridha dengannya.

Al-Muhakkimah adalah julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.

Al-Haruriyyah

Disebut Haruriyyah, karena ketika mereka keluar memberontak khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, mereka berkumpul di suatu tempat (daerah) bernama Haruraa’, yang berada di Irak. Al-Haruriyyah juga merupakan julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.

Ahlu Nahrawan

Khawarij generasi awal juga disebut dengan “ahlu nahrawan”, merujuk pada suatu tempat (Nahrawan) dimana khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu akhirnya memerangi mereka (yaitu kaum khawarij al-muhakkimah) dalam suatu pertempuran yang sangat besar.

Asy-Syuraah

Khawarij disebut juga dengan asy-syuraah, karena mereka menganggap dan menyangka bahwa tindakan mereka membunuh kaum muslimin mereka tukar (شَرَى) dengan keridhaan Allah Ta’ala. Mereka menyangka bahwa pembunuhan kaum muslimin tersebut bisa membeli atau mendatangkan ridha Allah Ta’ala. Sehingga julukan ini pun menjadi julukan yang disenangi oleh kaum khawarij.

Mereka menyangka bahwa tindakan mereka itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka, dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 111)

Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya berlepas diri dari tindakan keji yang mereka lakukan.

Al-Maariqah

Ini adalah penamaan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mensifati khawarij dengan sebutan “al-maariqah”, yaitu orang yang keluar (memberontak). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Mereka keluar dari agama (Islam) sebagaimana keluarnya anak panah dari sasaran anak panah tersebut.“ (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063)

Rasulullah gambarkan keluarnya mereka dari agama seperti anak panah yang mampu menembus tubuh hewan sasaran panah karena begitu kuatnya anak panah tersebut melesat.

Al-Mukaffirah

Disebut al-mukaffirah karena mereka hobi mengkafirkan (mukaffir) sesama kaum muslimin yang terjatuh dalam dosa besar (yang bukan termasuk dosa kekafiran kufur akbar). Mereka juga memvonis kafir kaum muslimin yang menyelisihi keyakinan dan manhaj mereka.

As-Sabaiyyah

Disebut as-sabaiyyah karena awal kemunculan mereka berasal dari fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan oleh ide ‘Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi. ‘Abdullah bin Saba’ memimpin orang-orang Kufah menuju Madinah dalam rangka membunuh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Akhirnya, khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu pun meninggal dunia di tangan kaum khawarij.

As-Sabaiyyah adalah nama (julukan) bagi generasi khawarij awal dan tokoh-tokoh pembesar mereka di kala itu.

An-Naashibah

Karena mereka memasang (naashaba) khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan keluarganya sebagai musuh yang harus diperangi, mereka terang-terangan membenci khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Ucapan (perkataan) khawarij tentang “vonis kafir bagi pelaku dosa besar” adalah ucapan mereka pertama kali yang memecah belah kaum muslimin. Ini adalah di antara pokok (ushul) ‘aqidah kaum khawarij.

Semua ini kembali lagi ke syiar ‘aqidah kaum khawarij, yang dengannya mereka keluar memberontak dari jamaah kaum muslimin di bawah penguasa yang sah (khalifah’Ali bin Abi Thalib), dengan meneriakkan,

لاحكم الا لله

“Laa hukma illa lillaah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”

Dengan teriakan dan semboyan itu, kaum muslimin menurut pandangan mereka adalah sama dengan orang-orang kafir.

Oleh karena itu, kaum khawarij pun mengangkat pemimpin (khalifah) bagi kelompok mereka sendiri. Karena mereka menganggap bahwa kelompok merekalah yang masih beriman, sedangkan selain mereka (khalifah ‘Ali dan kaum muslimin yang bersamanya) adalah orang-orang kafir.

Orang yang mereka angkat dan mereka baiat sebagai khalifah adalah ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi pada hari ke sepuluh bulan Syawwal tahun 37 hijriyah.

‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi adalah tokoh pembesar kaum khawarij, dia sesat dan menyesatkan.  ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi berasal dari kabilah (suku) Bani Rasib, sebuah suku yang terkenal. ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi memimpin pasukan khawarij ketika berperang melawan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu di perang Nahrawan. Dia pun berhasil dibunuh dalam peperangan tersebut oleh pasukan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.

[Bersambung]

***

Diselesaikan di pagi hari berkabut, Rotterdam NL, 26 Sya’ban 1439/ 13 Mei 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]Sejarah kemunculan kaum khawarij secara lebih detil akan kami sampaikan dalam tulisan tersendiri.

[2]Disarikan dari kitab Diraasaatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’id Raslan, penerbit Daarul Minhaj, cetakan pertama tahun 1436, hal. 147-149.

Sumber: https://muslim.or.id/39878-mengenal-pokok-pokok-aqidah-kaum-khawarij-bag-1.html

Hukum Azan dan Iqamah jika Salat Sendirian

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Apakah azan sebelum salat itu wajib bagi setiap individu? Apakah tidak mencukupkan diri dengan azan dari masjid? Jazakumullahu khairan.

Jawaban:

Tidak diragukan lagi bahwa azan merupakan simbol syiar Islam yang agung dan paling dikenal. Azan juga merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Ta’ala yang berupa pemberitahuan tentang masuknya waktu salat dengan lafaz zikir tertentu. Azan ini pun disyariatkan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, antara wajib atau sunnah muakkadah.

Adapun pendapat yang rajih (lebih kuat), hukumnya adalah wajib kifayah. Yaitu, jika sudah ada azan dan iqamah dari seorang muazin, itu sudah cukup bagi jamaah. Hal itu didasarkan pada beberapa dalil hadis yang menunjukkan kewajiban azan dan iqamah. Di antaranya adalah hadis Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu secara marfu‘,

مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ

“Tidaklah tiga orang di suatu desa, tidak mengumandangkan azan dan tidak didirikan salat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka.” (HR. Abu Daud [547], an-Nasa’i [847] dan Ahmad [21710]. Dihasankan oleh al-Albani dalam kitabnya as-Tsamar al-Mustathab [II7/1]).

Hadis ini merupakan dalil atas wajibnya azan dan iqamah. Hal ini disebabkan setan dapat menguasai orang yang meninggalkan azan dan salat. Oleh karenanya, hukum azan menjadi wajib yang tidak boleh ditinggalkan.

Begitu pula hadis Malik bin Huwairis radhiyallahu ‘anhu,

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Apabila datang waktu salat, maka hendaknya salah seorang kalian mengumandangkan azan dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam (salat).” (Muttafaqun ‘alahi)

Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis-hadis di atas menunjukkan wajibnya azan dan iqamah. Hadis-hadis di atas juga mengisyaratkan kewajiban tersebut tanpa pengkhususan kondisi harus berjamaah. Sebagaimana hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dan selainnya secara marfu’,

إِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ بِالصَّلاَةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika Engkau berada di tengah-tengah kambing gembalaanmu atau lembahmu, lalu Engkau hendak mengumandangkan azan untuk salat, maka keraskanlah suaramu. Sebab tidaklah jin, manusia, atau sesuatu yang mendengar suara muazin kecuali mereka akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.”  (HR. Bukhari [609]).

Demikian juga dalam hadis ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ، يُؤَذِّنُ بِالصَّلاَةِ، وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ، وَيُقِيمُ الصَّلاَةَ، يَخَافُ مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ

‘Rabbmu ‘Azza wa Jalla kagum terhadap seorang penggembala domba di sebuah kaki bukit yang menyerukan azan untuk salat, kemudian dia melaksanakan salat. Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Lihatlah kepada hamba-Ku ini! Ia mengumandangkan azan dan menegakkan salat. Ia takut kepada-Ku. Sungguh Kuampuni dosa hamba-Ku ini dan Kumasukkan dia ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud [1203], an-Nasa’i [666]. Disahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [41]).

فإذا كان المنفرد ببلدةٍ أُذِّن فيها، أو فاتته جماعةُ المسجد؛ فإنه يُشرع له الأذانُ والإقامة مِن باب ذكر الله بالألفاظ التوقيفية لا للإعلام بدخول الوقت، تحصيلًا لفضيلة الأذان كما ثبت في حديث أبي سعيدٍ الخدريِّ وعقبةَ بن عامرٍ رضي الله عنهما السابقَيْن

Apabila seseorang salat sendirian di suatu daerah yang sudah dikumandangkan azan, atau dia tertinggal salat berjama’ah di masjid, maka disyariatkan baginya untuk azan dan iqamah. (Hal ini) dalam rangka zikir kepada Allah dengan lafaz-lafaz yang telah ditetapkan syariat. Bukan dalam rangka mengumumkan masuknya waktu salat. (Serta) untuk mendapatkan keutamaan azan, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Abi Sa’id al-Khudri dan Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhuma yang telah diuraikan di atas.”

وقد صحَّ ذلك -أيضًا- مِن فعلِ أنسِ بن مالكٍ رضي الله عنه: فعن أبي عثمان قال: «مَرَّ بِنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فِي مَسْجِدِ بَنِي ثَعْلَبَةَ فَقَالَ: «أَصَلَّيْتُمْ؟»، قَالَ: قُلْنَا: «نَعَمْ»، وَذَاكَ صَلَاةُ الصُّبْحِ، فَأَمَرَ رَجُلًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ ثُمَّ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ

“Terdapat juga riwayat yang sahih dari praktik Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dari Abi Usman, dia berkata, ‘Anas bin Malik pernah bertemu kami di masjid Bani Tsa’labah. Beliau bertanya, ‘Apakah kalian sudah salat?’ Kami menjawab, ‘Sudah.’ Dan ketika itu (waktu) salat subuh. Lalu beliau menyuruh salah seorang untuk azan dan iqamah, kemudian beliau mengimami salat subuh bersama rombongannya.” (HR. Abu Ya’la [4355])

Apabila azan yang dikumandangkan sebelumnya sudah cukup, tentu Anas radhiyallahu ‘anhu membiarkannya (tanpa menyuruh salah seorang untuk kembali mengumandangkan azan -pent.). Maka yang lebih utama adalah apa yang dikuatkan oleh mazhab asy-Syafi’i dan Ahmad.

Oleh karena itu, disyariatkan pula bagi para wanita untuk mengumandangkan azan dan iqamah apabila mereka jauh dari laki-laki. Dan juga karena pensyariatan azan dan iqamah adalah dalam rangka zikir kepada Allah Ta’ala dengan lafaz-lafaz yang telah ditetapkan syariat, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

“Wanita adalah saudari kandung dari pria.” (HR. Abu Daud [236], At-Tirmidzi [113], dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’ [2333]).

Maksudnya, wanita memiliki hukum yang sama dengan laki-laki.

Ini juga dikuatkan oleh riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika beliau ditanya,

هَلْ عَلَى النِّسَاءِ أَذَانٌ؟ فَغَضِبَ، قَالَ: أَنَا أَنْهَى عَنْ ذِكْرِ اللهِ؟

“Apakah wanita melakukan azan?” Lalu beliau marah, kemudian berkata, “Apakah aku melarang zikir kepada Allah?” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf [2324], dihasankan oleh Al-Albani dalam Tamamul Minnah [153]).

Begitu pula Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ketika ditanya,

هَلْ عَلَى النِّسَاءِ أَذَانٌ وَإِقَامَةٌ؟ قَالَ: لَا، وَإِنْ فَعَلْنَ فَهُوَ ذِكْرٌ

Apakah wanita melakukan azan dan iqamah?” Beliau kemudian menjawab, “Tidak perlu. Namun, apabila mereka melakukannya, maka itu adalah bentuk zikir.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf [2317]).

والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسلَّم تسليمًا

Kesimpulan:

Disyariatkan untuk azan dan iqamah bagi orang yang salat sendirian atau tertinggal dari jamaah di masjid. Demikian juga bagi wanita selama tidak ada laki-laki di sekitarnya.

***

Sumber : https://ferkous.com/home/?q=fatwa-54

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/68404-hukum-azan-dan-iqamah-jika-shalat-sendirian.html

Hikmah Membaca Surat Al-Dhuha: Jalan Keluar Bila Menderita Kerugian

Al-Qur’an pedoman hidup seluruh manusia. Di dalamnya terdapat banyak keterangan tentang kehidupan dunia dan akhirat nanti. Selain menjadi kitab pedoman, membaca al-Qur’an juga menjadi bagian dari ibadah, meskipun orang yang membacanya tidak memahami maksud dan kandungan yang dibaca. Membaca al-Qur’an memiliki banyak hikmah dan keutamaan.

Hal ini sebagaimana disebutkan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam Abwabul Faraj. Dalam kitab tersebut, Sayyid Muhammad menjelaskan beberapa keutamaan dan hikmah membaca al-Qur’an, dan secara khusus mengungkap rahasia yang terdapat dalam surat-surat tertentu. Rahasia dan hikmah surat itu merujuk pada riwayat dari Rasulullah, sahabat Nabi, dan ada juga dari para ulama yang istiqamah.

Sayyid Muhammad mengutip Imam al-Ghazali yang menjelaskan terdapat beberapa riwayat dari banyak ulama salaf bahwa mereka membiasakan baca surat al-Dhuha pada saat menderita kerugiaan dan kehilangan sesuatu. Setelah mengamalkan itu, biasanya mereka mendapatkan ganti dari Allah SWT dari kerugian dan kehilangan yang dialami.

Sebelum membaca surat al-Dhuha, mereka shalat Dhuha sebanyak 8 rakaat. Sesudah shalat Dhuha, mereka membaca surat al-Dhuha 7 kali dan membaca doa:

يَا جَامِعَ الْعَجَائِبِ، يَا رَادٌّ كُلِّ غَائِبِ، يَاجَامِعَ الشَّتَاتِ، يَامَنْ مَقَالِيْدُ الْأُمُوْرِ بِيَدِهِ، اِجْمَعْ عَلَيَّ ضَائِعِيْ، أَوْ اِجْمَعْ ضَائِعِ فُلَاِن عِلِيْهِ، لاَجَامِعَ إِلاِّ أَنْتَ

Ya jami’al aja’ibi, ya radda kullil ghaibi, ya jami’asy syatati, ya man maqalidil umuri biyadihi, ijma’ ‘alayya dha`i’I, aw ijma’ dha`i’I Fulani ‘alaihi, la jami’a illa anta

“Wahai Sang Penghimpun segala hal menakjubkan. Wahai Sang Pengembali segala sesuatu yang tidak ada. Wahai Sang Penghimpun segala hal yang terpencar. Wahai yang di tangan-Nya ada kunci segala urusan. Himpunlah bagiku barangku yang hilang. Atau himpunlah barang hilang si fulan baginya. Tidak ada yang menghimpunnya baginya selain engkau.”

Semoga dengan membaca surat al-Dhuha dan doa di atas, Allah memberi kemudahan, dan mengganti kerugian yang pernah kita alami.

ISLAMIco

Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji (3)

Bila Kegoncangan Menghadang

BIASANYA diakibatkan oleh pelbagai macam ujian dan cobaan yang datang melanda bertubi-tubi, ditambah beban yang terus meningkat, padahal terasa kemampuan tidak mendukung wajar saja kalau kegoncangan itu terjadi.

Persoalan yang dihadapi para pejuang kebenaran sangat kompleks. Seringkali mereka dihadapkan situasi yang serba dilematis, paradoxal antagonistis. Ibarat telor di ujung tanduk. Mundur dari arena perjuangan tidak mungkin, sementara maju terus kemampuan sangat tidak mendukung. Segalanya sudah sangat mendesak, tidak ada yang bisa ditunda. Kiri kanan tidak ada yang bisa menolong, malahan semua menunggu kejatuhannya karena cemburu, iri dan dengki.

Dalam kondisi seperti itu bencanapun datang, ancaman kebencian terus membayang, kekhawatiran kelanjutan misi selalu menggoda, mencemaskan kalau-kalau yang tidak diinginkan itu terjadi. Peningkatan potensi terasa begitu lambat, berlawanan dengan beban yang terus membanjir. Selain itu umur juga mengejar, padahal pekerjaan banyak yang masih terbengkalai. Sungguh sangat suram, terkadang terasa dunia begitu sempit.

Kekhawatiran di sini bukan kekhawatiran karena kekerdilan jiwa, akan tetapi justru karena besarnya tanggung jawab. Keinginan yang keras untuk dapat merampungkan semua kerja, supaya dapat memenuhi panggilan Allah dengan perasaa lega, tidak meninggalkan kebengkalaian. Khawatir tidak ada yang selesai dengan baik.

Kalau sudah begini tidak ada lagi alternatif lain, dan tidak ada daya sama sekali, selain lari segera kepada Allah menyerahkan diri dengan pasrah. Memohon sangat ampunan-Nya, mengharapkan tetesan ma’unah-Nya, supaya terhindar dari amarah Allah SWT. Itulah pelarian terakhir, mau ke mana lagi, tinggal terserah kepada Tuhan saja, bagaimana kebijaksanaan-Nya.

Kondisi mental seperti ini akan dialami oleh siapapun yang berusaha menjaga mutu kualitas syahadatnya. Di kala perang Badar sedang berkecamuk, Rasulullah nyaris keseleo ngomong, mengkhawatirkan kalau pasukannya yang begitu sedikit kalah perang dan mati syahid.

Beliau bermunajat kepada Tuhan: “Lalu siapa lagi yang menyembah-Mu Ya Allah”. Lambang harapan yang sudah sangat luar biasa. Ratapan ini kalau difikir ulang tidak beralasan, namun itulah yang terjadi sebagai wujud ketidakmampuan fikiran membahasakan perasaan. Tergambar bayangan perasaan yang melahirkan ratapan tersebut, betapa nian keadaannya.

Peristiwa yang sama juga terjadi di saat perjanjian Hudaibiyah. Reaksi para sahabat mogok melaksanakan perintah gunting rambut, karena Nabi mengalah pada sisi perjanjian dengan orang kafir, menyebabkan Nabi mengeluhkan nasib kehancuran ummatnya yang mulai tidak taat. Untung isterinya menjamin kalau ummatnya tidak sejelek itu. Isterinya menasihati agar Nabi keluar rumah memberi contoh dulu dengan memotong rambutnya. Dengan contoh itu mereka menirunya.

Kejadian seperti itu tidak sekali dua kali dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya di Makkah, ketika awal-awal langkah perjuangannya, tapi juga di Madinah, di saat penyusunan barisan, kristalisasi kekuatan, konsolidasi dan internalisasi sudah jalan.

Itulah liku-liku perjalanan Syahadat dalam menemukan jati dirinya. Mutu kualitas dasar syahadat baru bisa dijamin sesudah dibanting-banting dengan berbagai ujian dan cobaan. Mulai dari hidup sengsara dalam jangka waktu yang tidak singkat sampai ke tingkat ujian yang sangat menggoncangkan.

Hal itu terjadi karena ada kegiatan, ada aksi dan reaksi, ada terobosan-terobosan. Manakala kita tampil memikul tanggung jawab yang besar, maju mengujicoba kemampuan potensi syahadat yang kita miliki, mengangkat kerja yang orang lain anggap berat dan sulit, mencoba melayani setiap tantangan yang mencemaskan, maka di sanalah akan kita temukan reaksi yang keras dan benturan yang dahsyat. Bisa jadi berupa malapetaka, bisa berbentuk hidup sengsara, atau goncangan yang luar biasa.

Hanya dengan demikian baru dimungkinkan pertumbuhan dan pematangan mutu kualitas syahadat. Syahadat dapat tumbuh berkualitas manakala sudah kita lalui proses yang sangat menegangkan itu. Inilah yang Allah lukiskan sebagai puncak kegoncangan yang luar biasa, dengan firman-Nya :

إِذْ جَاؤُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتْ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا
هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالاً شَدِيداً

“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu, dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan, dan kamu menyangka kepada Allah dengan bermacam-macam purba sangka. Di situlah diuji orang-orang yang beriman dan diguncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat (diguncangkan dengan seguncang-guncangnya).” (Q.S. Al-Ahzab : 10-11).

Proses seperti itu dimaksudkan untuk dapat lebih merasakan betapa arti dan nilai serta nikmatnya bantuan Allah SWT pada saat tidak bisa lagi berbuat apa-apa, di kala sudah kehilangan akal, di kala semua cara sudah ditempuh, di kala tidak tahu lagi mau berbuat apa. Alangkah nikmatnya kalau pada saat seperti itu tiba-tiba bantuan Allah datang menjungkirbalikkan keadaan.

Semua berubah secara drastis dan dramatis. Asalnya terhina berganti menjadi terhormat, mulanya melarat berubah menjadi konglomerat, dulunya dilecehkan kemudian diperhitungkan, dari bawah tapi berproses ke atas.

Hari itulah yang oleh Allah disebut sebagai hari pergiliran, regenerasi atau reformasi, restrukturisasi atau rekonstruksi.

“Dan masa itu Kami pergilirkan di antara manusia. Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’.” (Q.S. Ali ‘Imran : 140).

Luar biasa terasanya goresan dan sentuhan kasih sayang itu, begitu terkesan sehingga dipastikan langsung menambah mutu syahadat. Betapa sungguh Maha Kuasa dan Maha Pemurah Allah SWT kepada kita khususnya.

Akan tetapi selama yang kita kerjakan itu adalah hal-hal yang biasa-biasa saja, mana mungkin akan dapat dirasakan bantuan Allah tersebut. Bukan berarti kemudian kita terlalu idealis tanpa perhitungan data dan fakta.

Bukan berarti kita harus membuat program-program yang khayalis tanpa dukungan kenyataan yang menunjukkan kewarasan dan kewajaran. Kaki kita tetap membumi tapi keinginan kita terus melangit. Bukan mengawang, tapi ada tempat berpijak agar dapat melompat setinggi mungkin.

Karena sudah terjebak oleh kesyikan kerja rutin, sudah puas dengan hasil yang begini-begini saja, sudah bangga kalau bisa membangun gedung sekolah bertingkat lima, puas bila sudah mampu dua tahun sekali mengadakan konggres dan muktamar, maka tak akan tumbuh lagi kualitas syahadat. Kepuasan dan kebanggaan akan mengebiri instrumen kekhalifahan yang sangat potensial.

Nampaknya inilah penyakit ummat yang paling parah saat ini, membiarkan syahadatnya mandeg, tidak berproses, menelantarkan syahadatnya dalam kadar kualitas yang sangat rendah. Sementara belum ada yang mencoba menyodorkan metode pembinaan untuk terwujudnya syahadat yang berkualitas menurut tuntutan yang ideal.

Membina Ummat Tahan Banting

Pola pembinaan ummat yang selama ini kita terapkan sudah saatnya mengalami beberapa koreksi. Ada baiknya manakala kita beranikan diri untuk mengubahnya, agar kita dapat memetik buah nyatanya.

Dalam melakukan pembinaan, selama ini kita kurang berani melibatkan ummat secara langsung dalam kegiatan-kegiatan yang merupakan tindak lanjut eksisnya syahadat. Kita enggan mengajak mereka berperan aktif dalam mempertahankan dan mengembangkan syahadat. Akibatnya mereka kekurangan pengalaman, kekurangan data yang dapat menunjang upaya pencapaian kualitas standar syahadat.

Mencari pengalaman melalui keterlibatan langsunglah satu-satunya cara paling efektif untuk merasakan sendiri khalawatul-iman, kenikmatan beriman. Bagaimana mungkin ummat bisa menikmati kalau belum pernah mengalami. Akan sangat berbeda bobot keyakinan yang diperoleh lewat berita dibandingkan dengan yang dirasakan secara langsung.

Selama hal tersebut hanya berupa teori yang tak beda dengan berita, selama bentuknya hanya sekedar informasi dan indoktrinasi semata, tidak dengan menerjunkan langsung di lapangan agar mereka dapat mengalami sendiri pahit getirnya mempertahankan syahadat, suka dukanya mengembangkan syahadat sampai kepada titik klimaksnya sebagai fase-fase penentu ujicobanya, terlalu sulit kita harapkan kualitas yang baik itu.

Sebab bagaimanapun juga kata putus penilaian adalah di tangan Allah SWT, sehingga tidak mungkin dapat dimanipulasi. Harus dibuktikan bagaimana persisinya mewujudkan dan menyatakan kebenaran pernyataan syahadatnya. Bentuk konkrit eksisnya syahadat adalah kerja nyata, berjuang dan berkorban. Mereka selalu aktif di lapangan, di front dan diproyek.

Oleh karena pencapaian dan peningkatan kadar kualitas syahadat tidak mengenal titik akhir, maka tiada hari tanpa karya, tiada waktu tanpa perjuangan, tiada detik tanpa pengorbanan. Keberadaan syahadat pada hakikatnya adalah potensi yang bergerak terus. Tidak mungkin diam pasif dan beku.

Dia merupakan perlatan yang semakin banyak digunakan justru makin meningkat potensinya, sekaligus mendatangkan hasil dan produksi strategis yang terus menanjak jumlah dan jenisnya. Sehingga tidak mungkin ia mau berdian diri tanpa gerak dan karya, apalagi sampai menyerah tunduk kepada keadaan. Sebab struktur keberadaannya memang sudah didesain sedemikian rupa untuk terus bergerak maju jauh ke depan.

Dengan pengalaman tersebut, lewat perjalanan panjang yang sangat bervariasi makin hari semakin ketemu jati diriya. Semakin yakin kalau bayangan sebagai pancingan motivasi selama ini, ternyata memang bisa terwujud menjadi kenyataan. Sampai-sampai ramalan yang tadinya paling mustahil sekalipun bisa disaksikan menjadi kenyataan di lapangan. Hal inilah yang dapat menciptakan voltase dan dinamika serta badai semangat kerja semakin membara dan terus bertambah.

Peningkatan potensialitas dan kualitas syahadat bukan untuk kemudian tinggal dinikmati, akan tetapi justru untuk siap menghadapi kerja dan tantangan yang lebih berat. Bila sudah demikian berarti sudah ketemu jati diri syahadat. Sudah mencapai standar kualitas dasar syahadatnya yang sedang menuju ke tingkatan berikutnya guna mengangkat proyek baru yang lebih menantang, lebih berat dan lebih besar lagi.

Di sinilah letak nikmat asyiknya syahadat. Ibarat kendaraan, setiap ban berputar ke depan, berarti terhasilkan langkah maju menuju tempat tujuan. Semakin banyak putaran bannya, semakin dekat sasarannya. Lelah dan capek nyaris tidak begitu terasa lagi, akibat hasil yang diperoleh menjadi begitu mengasyikkan, kerja keras dan tantangan justru mengasyikkan. Karenanya, kerja keras dan tantangan justru jadi hiburan.

Kenyataan yang paling mendukung sebagai rahasia dari mekanisme yang seperti ini, ialah ter-afdruk-nya bantuan Allah menjadi begitu jelas. Kalau selama ini hanya menjadi bahan ceramah, atau kita temukan dalam kisah-kisah para Rasul dan sahabatnya, maka sekarang juga sudah dapat kita rasakan.

Dengan keterlibatan langsung menerjemahkan syahadat ini di lapangan, bantuan Allah yang tadinya seperti klise saja menjadi begitu nyata dan terang benderang. Sehingga bukan lagi berita akan tetapi menjadi pengalaman sendiri yang dapat dirasakan secara langsung.

Kisah-kisah dalam sejarah yang mengundang kekaguman karena rasa-rasanya berbau hal-hal yang sulit dipercaya -terkesan terlalu dibikin-bikin- ternyata setelah terlibat langsung, kekaguman itu menurun. Dapat dikatakan, yang lebih serem lagi dari itu semua bisa dirasakan dan disaksikan sendiri langsung di sekitarnya, bahkan mungkin pada dirinya.

Akhirnya bukan lagi bertambah kagum jadinya, cuma tambah yakin dan percaya kalau itu semua memang terjadi, dan bisa terjadi lagi sekarang dan yang akan datang. Tinggal terserah siapa yang mau mengulangnya. Kesempatan dan peluang selalu terbuka selebar-lebarnya.

Masalahnya Allah tetap kuasa sebagaimana dulu, dan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk untuk itu masih utuh, belum dan tidak akan berubah. Itu kuncinya. Itu rahasianya. Tinggal terserah kepada kita. Yang jelas dengan syahadat yang betul-betul eksis semua pengalaman para sahabat Nabi terlalu mungkin dapat dinikmati bahkan bisa saja melebihi.

Bila modal kualitas dasar syahadat itu digunakan dan digerakkan sebagaimana mestinya, pasti akan mendapatkan hasilnya secara langsung, asalkan syahadatnya tidak dikebiri. Yang perlu, terus bergerak mengangkat kerja dan tantangan baru, pasti akan segera dapat dilihat dan dirasakan sendiri sebagai bukti bahwa janji Allah bukan basa-basi.

Akan tetapi manakala yang dikerjakan adalah kerja rutin yang nyaris tidak mempunyai tantangan, tentu saja sulit untuk bisa menyaksikan sendiri apa dan bagaimana serta seperti apa bantuan Allah SWT itu.

Bagi yang mau merasakan arti dan gunanya syahadat tidak ada alternatif lain, kecuali terjun langsung dalam dan tampil memikul tanggung jawab sebayak mungkin. Hanya dengan cara itu ada kemungkinan bisa memahami nilai persisi syahadat yang dimilikinya serta bantuan Allah yang dirindukannya.

Kalau dalam al-Qur’an Allah sering menginformasikan kepada kita tentang apa dan bagaimana Dia mengantar Rasulullah merasakan langsung bantuan tersebut, maka itu adalah contoh-contoh kasus. Contoh-contoh itu diharapkan dapat menjadikan kita lebih yakin, agar supaya segera mencobanya di lapangan sebagai uji kualitas syahadat kita masing-masing.

Satu lagi yang perlu kita ingat, firman Allah : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad diantara kamu.” (Q.S. At-Taubah : 16)

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللّهُ الَّذِينَ جَاهَدُواْ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Ali ‘Imran : 142). Wallahu a’lamu bishshawab.* (habis)

(alm) KH. Abdullah Said, penulis adalah pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji (2)

Bila Kesengsaraan Menyerang

Kesengsaraan dapat diartikan sebagai kehidupan yang sulit dan pahit, serba kekurangan, serba memprihatinkan, dan menimpa dalam tempo yang relatif tidak sebentar. Karena kita datang dengan satu sikap, hadir dengan satu pendirian, membawa prinsip yang tidak bisa ditawar, adalah sangat wajar bilamana langsung disambut dengan benturan sikap di sana-sini.

Permusuhan dan kebencian segolongan manusia yang tak senilai seringkali membawa jatuhnya korban. Lewat berbagai usaha mungkin sekali kita sengaja dikucilkan, diisolir dari pergaulan umum.

Dengan segala macam cara dan upaya tak akan berhenti mereka membuat makar untuk mecelakakan dan merugikan bahkan sampai kepada menghancurkan dan memusnahkan kita. Bentuknya, bisa lewat sabotase dan blokade ekonomi, issu dan fitnah politik, serta gangguan yang beraneka ragam.

Target mereka hanya satu, yaitu agar supaya orang-orang yang berusaha menjaga dan memelihara syahadatnya hidup dalam kesengsaraan, yang pada akhirnya kembali berbalik mengikuti dien dan ajaran mereka.

“Dan tiada akan rela orang Yahudi dan Nasrani kepadamu, hingga engkau mengikuti ajaran mereka.” (Q.S. Al-Baqarah : 120).

Sebenarnya sengsara di sini tidak seseram yang dibayangkan sebagian orang. Tidak berarti habislah segalanya seperti dugaan sekelompok orang. Memang jelas hidup sengsara itu tidak enak, tidak menyenangkan. Yang pasti, dengan sengsara ada beberapa hal yang tidak bisa kita lakukan. Tetapi bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Cukup banyak yang bisa kita lakukan. Masih tetap terbuka peluang yang mungkin untuk dimanfaatkan.

Kesengsaraan bisa jadi akan melahirkan satu motivasi yang cukup tinggi yang pada akhirnya berubah bentuk menjadi energi. Bila energi-energi itu dihimpun dalam satu wadah, maka akan berubah menjadi sinergi. Dari sana akan lahir sebuah revolusi.

Nampaknya hidup sengsara ini sangat perlu pada awal-awal perlangkahan. Ada instrumen ruhaniah kita yang dapat diaktifkan secara efektif hanya dengan melalui hidup yang serba tidak menyenangkan itu. Kesengsaraan dan kemelaratan dapat menciptakan irama serta ritme kerja keras, militansi dan daya juang.

Inilah target sampingan yang hanya bisa diperoleh melalui hidup sengsara. Asal kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk terciptanya efek sampingan yang positif tadi, bergunalah hidup sengsara itu, sebagai jembatan penyeberangan untuk tiba di pelabuhan surga.

Yang disayangkan kalau hidup sengsara itu justru dijadikan keasyikan atau hobby. Lebih parah lagi kalau kemiskinan dan kemelaratan dijadikan kebanggaan. Sungguh merupakan tindak kebodohan. Seharusnya dengan kemelaratan akan timbul motivasi yang kuat untuk mengadakan perubahan. Dengan kemiskinan dapatlah aktif instrumen yang sangat potensial dalam diri untuk melahiran karya sejarah. Kemiskinan dan kemelaratan sama sekali bukan untuk dipamerkan dan dibanggakan.

Kesengsaraan, kemiskinan dan kemelaratan adalah jembatan penyeberangan yang tentu saja segera akan ditinggalkan bila kita sudah tiba di tempat tujuan. Kita akan menyesal nantinya bila tetap asyik berdiam diri di jembatan penyeberangan saja. Tak kunjung tiba di seberang, pada kehidupan yang lebih baik, untuk kemudian meneruskan perjalanan lagi menuju seberang yang jauh lebih baik lagi. Begitulah seterusnya.

Hidup Sengsara dan Karya Monumental

Hidup sengsara adalah pabrik yang paling produktif untuk melahirkan ide-ide brilian, yang akan menciptakan karya monumental, buah sejarah yang dinikmati oleh sekian banyak generasi belakangan.

Akan tetapi kalau energi yang tersimpan dalam diri hanya digunakan untuk melawan derita, sekedar berjuang mempertahankan hidupsetiap hari, dengan sikap-sikap yang hypokrit, sungguh menjadi bencana dunia akhirat yang patut diratapi.

Menyia-nyiakan kesempatan hidup menderita tanpa melahirkan ide-ide besar yang berbobot tinggi dengan karya-karya sejarah yang monumental sepanjang masa, dapat diibaratkan orang yang sedang menyeberangi jembatan yang sangat indah, tetapi ia sendiri terlupa kalau ini hanya jembatan penyeberangan darurat menuju surga di seberang sana. Karena lupa, maka berhentilah ia di atas jembatan itu karena merasa sudah tiba.

Kini tinggal menunggu kendaraan lewat yang akan menggilasnya atau menunggu runtuhnya jembatan tersebut, sebelum sempat membangun rumahnya di seberang sana. Sungguh sangat luar biasa cara Allah mengantar kita untuk tiba di surga, baik surga dunia ataupun surga di akhirat.

Dengan melalui malapetaka yang beraneka ragam serta hidup sengsara, betu-betul dapat dimengerti betapa effektifnya kondisi tersebut untuk melahirkan kemampuan yang memungkinkan kita bisa membangun surga tersebut, di dunia dan juga di akhirat.

Dengan malapetaka dan sengsara, di samping efek positif yang merupakan nilai tambah, sesungguhnya yang lebih penting lagi adalah mantapnya kesadaran akan kekuasaan Allah di samping keterbatasan diri.

Selain itu, dengan hidup sengsara kita dapat menghargai arti dan nilai setiap karunia Allah SWT. Kita dapat bersyukur sebagaimana mestinya. Dengan begitu akan terundang karunia dan tambahan nikmat yang lebih banyak lagi.

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim : 7).

Hidup sengsara dan malapetaka itu termasuk fasilitas yang diperlukan untuk menciptakan surga dunia akhirat. Tahapan tersebut sangat diperlukan agar supaya nantinya pada saat karunia yang banyak itu datang, sudah ada persiapan serta kemampuan untuk memanfaatkan sebagaimana mestinya. Tercapailah target utama bahwa semua yang ada dapat digunakan untuk menyusun dan memantapkan kekuatan dalam rangka memberikan kesejahteraan yang lebih baik lagi bagi kehidupan ummat manusia, bukan lantas digunakan berfoya-foya, mabuk dan lupa diri.

Alangkah sederhananya Allah mengungkapkan liku-liku perjalanan menuju surga dalam proses yang sangat menarik itu. Dengan memperhatikan konteksnya, jelas hidup sengsara dan malapetaka yang ada dalam perjalanan bukanlah siksaan dan penganiayaan yang harus diterima dengan pasrah sebagai hukuman. Tidak sama sekali, sebab tetap terbuka peluang untuk berbuat banyak.

Nampak betul kalau itu semua semata-mata upaya dan cara Allah menciptakan suatu kondisi guna memancing respons atau reaksi, agar melahirkan arus atau badai dalam satu sistem dan mekanisme kerja yang menjamin tercapainya kemenangan yang diperjuangkan.

Dengan dukungan rahman rahim Allah SWT, sangat memungkinkan bagi setiap orang untuk menikmati hidup yang nyaman dan mengasyikkan. Walaupun dalam kondisi menderita dan sengsara. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak punya kepedulian pada orang lain, tak punya tanggung jawab untuk mensejahterakan orang lain.

Sangat dikhawatirkan kalau ummat Islam juga terjebak oleh perasaan asyik dan nikmat dalam kesengsaraan, sebab memang tidak melihat dan kurang bergairah mencapai hidup yang lebih baik. Mereka bisa berpendirian hidup seperti itu sudah cukup. Adapun orang di sekitarnya memerlukan pertolongannya, bukan urusannya. Akibatnya peluang serta kesempatan yang selalu terbuka untuk disergap, dibiarkan saja berlalu. Padahal ummat manusia sangat menantikan peran dan jasa ummat Islam.

Untuk merangsang dan menggali potensi raksasa yang ada dalam diri manusia, khususnya ummat Islam yang harus tampil menyelamatkan keadaan, rasanya baru kita mengerti kalau sangat besar gunanya fase kehidupan derita dan sengsara serta sentakan-sentakan malapetaka tersebut. Asal saja dapat dimanfaatkan dengan baik sebagaimana mestinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hidup sengsara dan malapetaka itu termasuk fasilitas yang diperlukan untuk menciptakan surga dunia akhirat. Dengan kata lain, kesengsaraan adalah jembatan penyeberangan.

Sebagimana layaknya jembatan, kemelaratan adalah sarana penghubung mencapai suatu kehidupan yang lebih layak, yang memungkinkan ummat Islam bisa berbuat lebih banyak lagi untuk kepentingan kesejahteraan ummat manusia, yang ditandai dengan tegaknya daulah kekuasaan Allah SWT di muka bumi ini.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di atas bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nuur : 55).

Sulit diterima kalau hidup sengsara itu menjadi permanen, menjadi ‘mabniyun’ terus-menerus. Yang benar, hidup sengsara hanya diperlukan untuk menggali potensi guna menciptakan hidup yang lebih manusiawi atau lebih layak. * (bersambung)

(alm) KH. Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji (1)

BESAR kecilnya tanggungjawab seseorang menjadi tanda kualitas syahadatnya, yang dapat diukur pada caranya memanfaatkan waktu. Seorang yang berkualitas selalu berusaha menumbuhsuburkan bibit syahadatnya agar dapat terus ditingkatkan lebih tinggi lagi.

Tiada waktu tanpa peningkatan kualitas syahadat. Tiada program kecuali peningkatan iman. Tidak mati kecuali dalam puncak jenjang syahadat, pasrah diri kepada Tuhan.

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah engkau mati kecuali dalam Islam.” (Q.S. Ali Imran : 102).

Rute perjalanan yang harus dilalui untuk membuktikan syahadat bisa dikatakan singkat, bisa juga panjang. Hal tersebut tergantung pada kadar mujahadah, dukungan ibadah dan ukuran besar kecilnya tanggungjawab yang dipikul.

Namun demikian, dibalik perbedaan jauh rute itu, ada kesamaan irama dan ritme perjalanan. Jurang yang terjal, tebing yang tinngi pasti ditemukan dalam perjalanan.
Bahkan dengan tegas Allah merinci tikungan-tikungan tajam yang akan dilewati dalam perjalanan proses uji coba penentuan peringkat kadar kualitas syahadat dengan firman-Nya:

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya : ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah ?’. Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Q.S. Al-Baqarah : 214).

Ada tiga tebing tinggi dan jurang terjal yang harus dilewati sebelum seseorang sampai ke titik kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah. Baik kenikmatan dunia apalagi yang di akhirat.

Ketiga tebing dan jurang tersebut dialami oleh semua orang yang ingin menikmati surga, tak terkecuali Nabi dan Rasul Allah.

Sudah merupakan garis ketentuan Allah, atau sudah menjadi sunnatullah, hukum alam yang sudah pasti, bahwa untuk mencapai keadaan yang ideal diperlukan proses yang tidak ringan.

“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (Q.S. Al-Ahzab : 62).

Andaikan para Nabi dan Rasul mengetahui jalan mulus menuju surga tanpa mengalami hambatan dan rintangan yang serba menyulitkan, tanpa malapetaka dan ujian, tanpa kesengsaraan dan kemiskinan, maka mereka tentu akan memilih jalan itu. Akan tetapi kenyataannya tidak begitu.

Semua Nabi dan Rasul mengalami nasib yang sama, menempuh rute perjalanan dengan ritme dan irama yang sama. Mereka menderita, selalu ditimpa malapetaka, ditimpa kemelaratan yang tiada tara, juga dihantui oleh perasaan yang serba takut.

Hanya imanlah yang memberikan kemampuan pada mereka untuk tetap berjalan dalam rel yang sudah ditentukan.

Bukan hanya itu, segala cobaan yang datangnya dari Allah mampu dimanfaatkan untuk mempertebal keimanan, bukan sebaliknya melemahkan iman.

Syahadat memang memerlukan proses pembajaan. Dan proses pembajaan yang baik hanyalah melewati berbagai kesulitan, karena sesudah kesulitan itulah akan muncul kemudahan. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah : 5-6).

Bila Malapetaka Datang

Malapetaka merupakan suatu kondisi yang sangat tidak menyenangkan, datang dengan tiba-tiba di luar perkiraan, dan tanpa persiapan sama sekali. Bila kurang waspada keadaan tersebut bisa berakibat sangat fatal. Bisa jadi peristiwa yang tiba-tiba itu membuat gairah jihad berkurang, ghirrah dan semangat juang menurun tajam.

Bahkan kadang begitu emosional menuduh dan mencap banyak pihak sebagai biang keladinya. Atau sebaliknya, menganggap hal tersebut sebagai taqdir yang wajar-wajar saja, tidak perlu dicari hikmah dan maknanya. Sangat disayangkan bila kondisi seperti itu tidak dimanfaatkan untuk meraih berbagai keuntungan.

Petaka yang menimpa kaum muslimin sebenarnya hanyalah ujian atau mungkin peringatan karena kasih sayang Tuhan. Bagi seorang pejuang kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan minimal untuk konsolidasi organisasi, pengkristalan kekuatan, dan penyusunan ulang barisan yang lebih rapi, serta upaya koreksi ke dalam untuk perbaikan kebijaksanaan di masa mendatang.

Peristiwa itu patut dijadikan sebagai sentakan teguran, untuk terciptanya semangat dan motivasi baru yang lebih merangsang, lebih mendorong berbuat yang lebih baik.
Karena datangnya serba mendadak, wajar kalau membuat suatu kegoncangan. Nabi sendiri mengalami peristiwa itu.

Ketika kaum musyrikin Quraisy mencapai puncak kemarahannya, ketika Nabi menggantungkan diri pada perlindungan paman dan isterinya, pada saat itu keduanya diambil oleh Allah, mati. Saat itu jiwa Nabi betul-betul terguncang, sehingga tersebut tahun itu sebagai ‘Amul Khuzn’, tahun duka.

Boleh-boleh saja kita oleng karena badai dan ombak mengamuk begitu kuat. Tapi bagaimanapun kita tiak boleh sampai tersungkur jatuh atau kembali ke tepian. Di sinilah diperlukan seorang nahkoda yang cukup lihai mengemudikan kapal. Dibutuhkan seni kepemimpinan yang cukup handal.

Peristiwa seperti ini tak bisa dihindari. Pasti akan dialami oleh setiap orang yang hendak meningkatkan kualitas syahadatnya. Utamanya mereka yang menjadi pioner dan perintis perjuangan.

Dengan demikian harus disiapsiagakan diri menerima kemungkinan tersebut sebagai sesuatu yang bisa memberi manfaat bila diupayakan dengan baik. Sebab ia juga sekaligus berfungsi sebagai proses pematangan syahadat.

Melalui peristiwa ini akan terseleksi apakah mereka masih bersangka baik kepada Allah SWT, atau malah menuduh Allah dengan berbagai macam dakwaan?
Kematian kedua tumpuan Nabi, paman sekaligus isteri beliau secara beruntun adalah teguran dan peringatan Allah bahwa tak sepatutnya beliau bergantung pada keduanya.

Peristiwa itu sesungguhnya pelajaran bagi Nabi bahwa hanya Allah yang dapat melindungi dirinya, bukan karena kepiawaian pamannya, juga bukan karena kebangsawanan isterinya.

Melalui peristiwa pahit ini kita rasakan sendiri peringkat kadar kualitas syahadat yang kita miliki. Justru pada saat malapetaka itu datang, betapapun kecilnya, saat itulah kita bisa melakukan evaluasi. Itu tidak berarti kita kemudian mencari-cari malapetaka, sebab kalau demikian maknanya bisa lain, dan hasinyapun juga berbeda. Merencanakan serta mengundang malapetaka bisa bermakna menganiaya diri sendiri.

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah : 195).

Keberhasilan untuk tetap stabil dan normal di dalam menerima sentakan yang seperti itu adalah wujud kemampuan memperlihatkan mutu kadar kualitas syahadat.
Perlu keluwesan untuk tidak terlalu kaku memahami ungkapan ini, sebab bisa saja malapetaka tersebut sifatnya tidak langsung.

Mungkin saja berbentuk kegagalan secara total beberapa target yang serius dikejar, atau kemacetan urusan setelah menelan tidak sedikit biaya dan tenaga, atau berupa peristiwa yang mengganggu serta merusak program yang sementara berjalan dengan baik.

Perlu diingat, malapetaka itu bentuknya sentakan, tidak terus-menerus. Peristiwa ini sesungguhnya hanya bersifat teguran peringatan, atau uji coba penjajakan, disamping upaya pemantapan syahadat. Sejauh mana seseorang itu bisa berprasangka baik kepada Allah SWT.

Itulah sebabnya terkadang terasa timbangannya demikian berat, sehingga seseorang dibuatnya kehilangan kendali. Peristiwanya bisa saja sejenak, tetapi pengaruh dan dampaknya yang lama dan berlarut-larut. Kalau kurang kontrol bisa mengundang malapetaka baru yang berkelanjutan.

Padahal andaikan kita mampu memahami apa arti setiap malapetaka yang datang, bisa saja malapetaka itu dijinakkan dan ditekan efeknya seminimal mungkin, sehingga tetap bisa dipetik manfaatnya.

Yang pasti, malapetaka ini sulit untuk dihindari sama sekali, sebab sudah semacam keharusan yang mengiringi keberadaan syahadat. Selama irama dan ritme perjalanannya mengarah ke depan, menuju sasaran dermaga yang telah ditentukan, bagaimanapun hati-hatinya pasti akan berhadapan dengan batu karang yang menghadang. Bertemu dengan ombak dan gelombang yang mengganggu, serta angin topan yang mengancam.

Beberapa kemungkinan bisa terjadi, entah kemudi yang patah, layar yang robek, petugas yang lalai, peralatan yang jatuh, perbekalan yang habis, atau kerusakan-kerusakan yang lain. Adanya persiapan menghadapi kemungkinan itu tentu akan menghasilkan akibat yang sangat berbeda dibanding tanpa persiapan sama sekali.
Ketiadaan persiapan akan menjadikan kepanikan dan kalang kabut begitu malapetaka datang. Akibatnya petaka lain akan terundang beruntun, karena fikiran tidak berfungsi dan hanya emosi yang dominan.

Dengan modal syahadat yang berintikan keyakinan, serta kesadaran akan realitas diri yang sudah dilengkapi oleh Allah berbagai instrumen dan peralatan yang memadai dalam menghadapi setiap malapetaka, hati pasti menjadi tenang. Dan satu lagi yang pasti, Allah selalu siap menolong hamba-Nya yang memerlukan.

Yang perlu kita sadari bahwa inilah resiko yang menjadi saksi nyata akan eksisnya sebuah Syahadat. Adapun selanjutnya bagaimana menghadapi setiap resiko, adalah soal seni, soal taktik, soal gaya, soal format perwatakan, soal kematangan pribadi, soal pengalaman.

Semuanya cukup mempengaruhi reaksi spontan terhadap setiap resiko yang terpaksa harus kita terima apa adanya.

Yang penting bahwa kita bisa memperoleh manfaat, setidak-tidaknya menjadikan diri ini sadar sepenuhnya akan keterbatasan kita, kemudian mengakui bahwasanya kekuasaan itu sepenuhnya di tangan Allah SWT. Dengan demikian datangnya malapetaka berarti kesempatan dan media untuk meningkatkan kualitas Syahadat. */ (Bersambung).

(alm) KH. Abdullah Said, penulis adalah pendiri Pesantren Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Merugilah Orang Punya Ilmu tapi tak Menyinari Diri

Kesalahan bagi orang berilmu tidak mengamalkannya untuk dirinya.

 Ilmu itu sejatinya untuk menerangi diri sendiri serta orang lain agar selamat hidup di dunia dan akhirat. Tapi ada orang-orang berilmu dan pandai menasihati orang tentang suatu perkara berdasarkan ilmu yang dimilikinya, padahal ia sendiri tidak pernah mengamalkan ilmu itu atau yang dinasihatkan kepada orang lain. 

Maka, sejatinya orang tersebut perlahan-lahan sedang menghancurkan dirinya sendiri sebab tidak mau mengamalkan ilmu bagi dirinya untuk menjadi orang yang lebih baik dan taat kepada Allah.

Sebagaimana dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Thabrani:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَثَلُ الَّذِىْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَوَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيْئُ لِلنَّاسِ وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ.

Nabi Muhammad SAW bersabda: Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia, tapi dia melupakan dirinya sendiri, bagai umpama lampu (obor/lilin), dia menyinari orang lain tapi dia membakar dirinya sendiri. 

Maka, sebuah kesalahan besar bagi orang yang memiliki ilmu, bisa menasehati orang lain, tapi tidak mau mengamalkan ilmunya bagi dirinya sendiri. Juga kesalahan besar orang yang tidak mempunyai ilmu, sebab amalnya akan menjadi sesat. 

Begitupun sebuah kesalahan bagi orang yang berilmu, namun pelit terhadap ilmunya atau tidak mau menyampaikan pada orang lain. Maka, yang terbaik adalah orang yang memiliki ilmu, dia amalkan dan sinari hidupnya dengan ilmu itu, lalu ia juga menyampaikan ilmunya kepada orang lain sehingga tersinari dan memperoleh keselamatan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa Saat Mendengar Kabar Duka, Tidak Cukup Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun

Wabah penyakit datang dan menimpa banyak orang. Setiap hari kita tidak hanya mendengar kabar duka, tapi juga anak-anak yang menjadi yatim-piatu karena kehilangan ayah-ibunya.

Saat mendengar kabar duka ini, mulut kita reflek mengucap inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, seraya mendoakan semoga almarhum-almarhumah diampuni dosa-dosanya dan diberikan tempat terbaik-Nya. Bagi keluarga yang ditinggalkan, semoga Allah senantiasa memberi mereka kesabaran dan ketabahan.

Selain ucapan di atas, Rasulullah SAW juga pernah mengajarkan sebuah doa saat mendengar kabar duka. Doa ini ditulis oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya yang berjudul al-adzkār an-Nawāwī, tepatnya dalam bab ma yaqūluhu man balaghahu maut shahibahu (bab yang menjelaskan doa yang diucapkan saat mendengar kabar sahabat meninggal dunia).

عن بن عباس رضي الله عنهما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المَوتُ فَزَعٌ. وَإذَا بلَغَ أحَدَكم وفاتُ أخيه فليقل: إنَّا ِللهِ وإنَّا إلَيْهِ رَاجِعُوْن وَإِنَّا إليَ رَبِّنِا َلمُنْقَلِبُون الَلهُمَّ اكْتُبْهُ عِنْدَكَ ِفي اُلمحِسنِينِ وِاجْعَلْ ِكتابَهُ ِفي ِعلّيِّين وَاْخلُفْهُ في أَهْلِهِ في الغَابِرين وَلا تحَرِْمْنا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ

Artinya, Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda: Kematian itu mengejutkan. Saat kalian mendengar kabar saudara kalian meninggal dunia, maka berdoalah:

إنَّا ِللهِ وإنَّا إلَيْهِ رَاجِعُوْن وَإِنَّا إليَ رَبِّنِا َلمُنْقَلِبُون الَلهُمَّ اكْتُبْهُ عِنْدَكَ ِفي اُلمحِسنِينِ وِاجْعَلْ ِكتابَهُ ِفي ِعلّيِّين وَاْخلُفْهُ في أَهْلِهِ في الغَابِرين وَلا تحَرِْمْنا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ

Innā lillahi wa innā ilahi rajiun, wa innā ilā rabbinā lamungqolibūn. Allahummaktubhu ‘indaka fil muhsinin. Waj’al kitabahu fi ‘illiyin, wakhlufhu fi ahlihi fil ghabirin wa lā tuharrimnā ajrahu wa lā taftinnā ba’dahu.

Artinya, “Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah SWT, kepada-Nya kita kembali. Sesungguhnya hanya Allah-lah tempat semua kembali. Ya Allah, catatlah (orang yang meninggal itu) di sisi-Mu sebagai bagian dari golongan orang-orang yang baik, dan letakkanlah catatan itu di tempat yang paling tinggi. Gantikanlah kebaikan itu bagi keluarga yang ditinggalkan. Jangan Engkau haramkan pahalanya, dan jangan Engkau berikan kami fitnah setelah ditinggalkannya.”

Itulah doa yang perlu kita baca saat mendengar kabar duka. Terutama saat mendengar kabar duka melalui WA, doa tersebut jangan hanya diketik dan dikirim, melainkan juga dibaca dan diniatkan untuk almarhum. (AN)

Wallahu a’lam.

ISLAMIco

Jika Semua Tak Kita Keluhkan…

HIDUP selalu ada pasangan pada setiap momen atau peristiwa. Tak cuma pada diri kita, bahkan pada alam disekitar, ada hujan dan panas, ada tumbuhan yang mekar dan layu, kucing kecil yang lucu berlarian kini sudah tumbuh besar mencari pasangan.

Ini tak patut cuma sekedar kita maknai sebagai fenomena alam, sebagai Muslim, hendaknya kesemuanya itu harus makin mempertebal keyakinan akan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ

“Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Qur’an, Surat Yasiin:36

Inilah Sunnatullah, sebagaimana janji-NYA, bahwa semua akan dipergilirkan, dan DIA melakukan semua itu atas murni kehendak-NYA. Sejatinya pengalaman berbeda pada apa-apa yang kita alami, niscaya akan berdampak pada ketahanan mental spiritual kita, seperti Allah sudah mengisaratkan dalam Al-Qur’aan, yaitu kita tidak terlalu gembira atas apapun yang kita raih dan bersedih atas apa yang luput.

Namun khilaf sering menyergap, ketika sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi, lazim sebagai musibah kita mengistilahkannya, lantas kita mengeluh berkepanjangan.  Padahal Sabar lah yang justru akan menjadi Penolong kita, semua berawal dan berakhir atas kehendak-NYA, bahkan mungkin kebaikan itu justru pada sesuatu yang tidak kita sukai.

Kita sering lebih mampu menyadari ketika kehendak-NYA terjadi pada orang lain, misalnya terucap dari diri ketika mendengar si Fulan wafat, lalu kita bergumam:”Ya.. dia sudah lama sakit.”

Atau ketika mendengar seorang teman mengalami musibah. kita berceletuk:”Dia sering ceroboh dan tidak hati-hati.”

Dengan lebih bijak kita sesekali berujar:”Itu sudah Qadarullah, dan tertulis disisi-NYA!”

Seandainya, hal yang sama mampu kita cerna dan sadari ketika terjadi pada diri sendiri, tak perlu kita keluh kesahkan, sebab mengeluh tak pernah menjadi solusi, bahkan cenderung membuat kita mencari siapa atau apa yang harus kita persalahkan.

Alih-alih berpikir tenang, introspeksi dan berpikir runut mengapa harus dialami, apa yang tak semestinya kulakukan atau selayaknya dilakukan, kadang kita mempersalahkan Si Fulan yang menyarankan ini itu, atau bahkan hujan dan suasana disekitar.

Saat ini jarak fenomena yang dipersepsikan sebagai musibah makin membayang di pelupuk mata, misalnya sakit, ajal, ketakutan, kehilangan mata pencaharian, kebingungan dalam memutuskan sesuatu, ketidaktahuan tentang apa yang terjadi.. dan banyak lagi, yang itu semua cuma punya arti satu, yaitu ketakberberdayaan kita.

Jika satu persatu hal tersebut di atas, taruhlah tidak semua, satu saja yang kita alami dan lalu kita mengeluh dan berkeluh kesah, bukankah bisa seharian suntuk kita kehilangan kemampuan untuk berpikir sehat?

Padahal yang sudah terjadi tak akan pernah mampu kita mengubahnya, tetapi kita selalu punya peluang untuk mengubah yang belum dan akan terjadi.   Tentu.. kita tidak memulainya dengan keluh kesah, atau  jika pun kita mesti mengadu. maka mengadulah pada, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Katakanlah: “Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un”, lalu bersabar dengan tetap bermohon pada Allah akan anugerah sabar dan pertolongan untuk mengambil pelajaran dan menangguk hikmah.

Mengapa? Sebab dengan ini kita tak cuma mampu menyadari kelemahan diri, bahkan kita tau persis selalu ada peluang dan khabar gembira yang dijanjikan-NYA bagi yang bersabar.

Bahkan, kita mampu berbagi pengalaman dan meluaskan kesabaran bagi keluarga dan sahabat.*

Hamid Abud Attamimi, Aktivis Dakwah dan Pendidikan, tinggal di Cirebon

HIDAYATULLAH