Batas Waktu Setiap Umat dan Bangsa

Alquran menjelaskan bahwa setiap umat atau bangsa mempunyai batas waktu, yakni waktu untuk maju atau mundur, dan waktu untuk jaya atau binasa. Hal ini dijelaskan dalam Surah Al-A’raf Ayat 34 dan tafsirnya.

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (QS Al-A’raf: 34)

Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, ayat ini menjelaskan kenyataan sejarah bahwa tiap-tiap umat atau bangsa ada ketentuan yang disebut ajalnya, yaitu batas waktu tertentu untuk maju atau mundur, jaya atau hancur. Dalam hal ini yang menentukan adalah Allah sesuai dengan sunah-Nya dan kehendak-Nya.

Ketentuan ajal maksudnya adalah ketentuan waktu turunnya azab bagi umat atau bangsa yang telah durhaka, tidak mau menerima kebenaran, berlaku sewenang-wenang sekehendak nafsunya, dan tidak segan-segan mengerjakan yang keji dan mungkar.

Maka ketentuan turunnya azab itu ada dua macam. Pertama, umat itu hancur musnah sampai hilang dari permukaan bumi. Seperti malapetaka yang telah diturunkan Allah kepada kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, Fir’aun, Luth dan yang lainnya. Umat itu telah hilang dari permukaan bumi sebab kedurhakaan dan keingkaran mereka tidak menerima ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing Rasul.

Sudah diberi peringatan berkali-kali, namun mereka tidak percaya, bahkan semakin membangkang dan sombong. Maka tibalah ajal mereka dengan kehancuran dan kebinasaan sampai musnah. Allah berfirman, “Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat.” (QS Hud: 102)

Azab yang merupakan kehancuran seperti ini, hanya khusus berlaku bagi umat-umat terdahulu dan tidak akan terjadi lagi pada umat Nabi Muhammad SAW. Sebab kedatangan Nabi Muhammad adalah rahmat bagi semua penghuni alam ini.

Allah berfirman, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya’: 107)

Kedua, umat itu menjadi hina, miskin, bodoh, dijajah, dan lain-lain. Allah menurunkan azab bukan untuk menghancurkannya, tapi umat itu hilang kebesarannya dan kemuliaannya, jatuh menjadi umat yang hina-dina, tidak ada harga dan kemuliaan lagi.

Kenyataan sejarah sudah banyak menunjukkan bahwa umat yang pada mulanya jaya dan terhormat, tapi akhirnya menjadi hina dan melarat, sebab mereka berfoya-foya menghamburkan harta kekayaan untuk maksiat. Berlaku sewenang-wenang berbuat aniaya sesama manusia, menghabiskan harta umat dengan cara yang tidak benar, baik dengan korupsi, menipu dan lain-lain.

Penyakit syirik merebak dengan suburnya, di samping menyembah Allah, mereka juga menyembah makhluk-Nya. Maka datanglah ajal umat atau bangsa itu, mereka menjadi umat yang lemah dan hina di mata manusia.

Kedatangan azab tidak dapat ditangguhkan walaupun sesaat dan tidak pula dapat dimajukan. Tidak seorang pun yang tahu saat datangnya azab itu, apakah di waktu malam, atau di waktu siang, kadang-kadang datangnya dengan tiba-tiba, di saat umat itu sedang lengah, sedang lupa daratan, sedang bersenang-senang, turunlah azab Allah dengan sekonyong-konyong. Seandainya diketahui kapan ajal itu akan datang, tentu mereka minta ditangguhkan, dan mereka segera memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, dan meninggalkan perbuatan keji dan dosa dan lain-lain.

Datangnya ajal secara tiba-tiba itu, memberikan pengertian bahwa Allah Maha Kuasa dan tidak bisa dihalangi dan ditandingi oleh kekuasaan manusia. Akhirnya umat itu menyesal, namun penyesalan itu tidak berguna.

IHRAM

Rahasia Umur 40 Tahun yang Jarang Diketahui Orang

Salah satu karunia paling berharga adalah ketika manusia diberi umur yang barokah. Banyak orang tidak menyadari bahwa Al-Qur’an membahas tentang masalah umur.

Salah satu peringatan Allah terkait umur diabadikan dalam Al-Qur’an :

وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ ۚ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ ۖ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.” (QS Fatir Ayat 37)

Maksud dari memanjangkan umur di sini adalah 40 tahun sebagaimana penfisiran dari ulama klasik seperti Imam Hasan Al-Bashri. Jika seorang telah mencapai umur 40 tahun dan ia tidak memiliki apa yang diinginkan dalam hidup dan tidak pula menjadi pencegah, maka biarkanlah ia dan jangan nafaskan kembali apa yang telah berlalu walaupun sebab-sebab tujuan hidup itu telah menghabiskan usia.

Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas memberikan petunjuk bahwa manusia apabila menjelang usia 40 tahun hendaklah memperbarui taubat dan kembali kepada Allah dengan bersungguh-sungguh.

Dalam satu hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم pernah bersabda bahwa ‘Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”.

Para Salafus Sholeh rahimahullahu berkata: Waktu manusia sejatinya adalah usianya sendiri. Waktu adalah substansi hidup manusia (yang dapat membawanya kepada) kehidupan yang abadi di tempat yang penuh kenikmatan (surga).

Dan waktu juga merupakan substansi (yang dapat mengantarkannya) ke dalam kesempitan yang penuh azab memilukan (neraka). Waktu berlalu begitu cepatnya, lebih cepat daripada berlalunya awan.

Maka barangsiapa yang waktunya adalah semata-mata hanya untuk Allah dan karena Allah, maka itulah kehidupan dan usianya (yang sebenarnya). Adapun selain itu, maka sejatinya tidaklah dianggap sebagai bagian dari hidupnya. Sekalipun ia hidup seperti ini, maka hidupnya bagaikan hewan ternak

Apabila ia menghabiskan waktunya di dalam kelalaian, kesia-siaan dan angan-angan kosong, dan ia lebih baik menghabiskan waktunya untuk tidur dan hal-hal tak berguna, maka sesungguhnya kematian adalah lebih baik daripada kehidupannya.

Rahasia Umur 40 Tahun
Apabila itu berlaku menjelang usia 40 tahun, maka Allah memberikan janji-Nya dalam Al-Qur’an yaitu kematangan. Umur 40 tahun adalah usia matang untuk bersungguh-sungguh dalam hidup. Mengumpulkan pengalaman, menajamkan hikmah dan kebijaksanaan, membuang kejahilan ketika usia muda, lebih berhati-hati, melihat sesuatu dengan hikmah dan penuh penelitian. Maka tidak heran tokoh-tokoh pemimpin muncul secara matang pada usia ini.

Mengapa umur 40 tahun begitu penting? Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah usia manusia diklasifikasikan menjadi 4 (empat) periode, yaitu:
1. Anak-Anak (Aulad): sejak lahir hingga akil baligh
2. Pemuda (Syabab) : sejak akil baligh hingga 40 tahun
3. Dewasa (Kuhul): 40 tahun hingga 60 tahun
4. Tua (Syuyukh): 60 tahun ke atas.

Salah satu keistimewaan usia 40 tahun tercermin dari sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم: “Seorang hamba muslim bila usianya mencapai 40 tahun Allah akan meringankan hisabnya (perhitungan amalnya). Jika usianya mencapai 60 tahun Allah memberikan anugerah berupa kemampuan kembali (bertaubat) kepada-Nya. Bila usianya mencapai 70 tahun, para penduduk langit (malaikat) akan mencintainya. Jika usianya mencapai 80 tahun Allah akan menetapkan amal kebaikannya dan menghapus amal keburukannya. Dan bila usianya mencapai 90 tahun Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Juga akan memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya serta Allah akan mencatatnya sebagai tawanan Allah di bumi”. (HR Imam Ahmad)

Doa Ketika Berumur 40 Tahun
Dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan satu doa bagi hamba-Nya yang berumur 40 tahun. Allah berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai 40 tahun ia berdoa:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Surah Al-Ahqaf Ayat 15)

Wallahu A’lam

KALAM SINDO

Balasan Mereka yang Sombong dan Angkuh

Dalam Surah Al-A’raf Ayat 36 dan tafsirnya menjelaskan keberadaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Alquran menerangkan bahwa mereka akan menjadi penghuni neraka dan kekal di dalamnya.

وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاسْتَكْبَرُوْا عَنْهَآ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Tetapi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-A’raf: 36)

Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, ayat ini menerangkan bahwa ada manusia yang tidak mau percaya kepada ayat-ayat Allah. Bukan saja tidak percaya, tetapi ditantangnya setiap Rasul yang datang membawa ayat-ayat Allah dengan sombong dan angkuh.

Mereka merasa tidak pantas dipimpin oleh seorang Rasul yang mereka anggap kurang kemuliaannya atau rendah status sosialnya, kurang kekayaannya dan kurang umurnya dari mereka. Seperti halnya pemuka-pemuka suku Quraisy yang menantang Nabi Muhammad. Pemuka-pemuka suku Quraisy itu sombong dan takabur, tidak mau percaya kepada Rasulullah dan tidak mau mengikutinya.

Pemuka-pemuka suku Quraisy menganggap merekalah yang lebih berhak jadi pemimpin, seperti Abu Jahal, Abu Sufyan dan lain-lain. Mereka itu menganggap dirinya lebih mulia dari Nabi Muhammad.

Begitu pula pemimpin-pemimpin Yahudi tidak mau percaya atas kerasulan Nabi Muhammad, karena bukan dari golongan Bani Israil, tetapi dari golongan bangsa Arab. Raja-raja dan pemimpin-pemimpin Majusi juga begitu, tidak mau menerima kerasulan Nabi Muhammad pada permulaannya, karena mereka memandang hina terhadap orang Arab.

Tetapi akhirnya banyak juga di antara mereka yang masuk agama Islam, di samping banyak pula yang membangkang, ingkar dan menolak sama sekali kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mereka itulah yang akan menjadi penghuni neraka untuk selama-lamanya.

IHRAM

Zakat Rumah Kontrakan

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:

Saya memiliki bangunan yang saya sewakan. Akan tetapi, saya ingin menjualnya jika datang kepada saya tawaran yang bagus dari pembeli. Apakah saya wajib menunaikan zakat dalam hal ini? Jika memang wajib zakat, padahal saya tidak memiliki uang pada saat ini untuk membayar zakat. Apa yang wajib atas saya? Mohon berikan fatwa kepada saya. Semoga Allah menjadikan ilmu Anda manfaat bagi umat.

Jawaban:

العمارة التي أعدها الإنسان للتأجير لكن لو أتاه من يبذل له ثمناً كثيراً باعها ليس فيها زكاة، وأن الزكاة في أجرتها، وأما الذي يشتري العمارة يريد أن يتكسب فيها بالبيع ويريد أن يبيعها وليس له غرض في بقائها لكن يقول: ما دمت لم أبعها فسأؤجرها هذا عليه الزكاة في نفس العمارة، وعليه الزكاة أيضاً في أجرتها،

Sebuah bangunan yang disiapkan seseorang untuk disewakan, namun jika seorang datang menawarnya dengan harga yang tinggi, ia akan menjualnya, maka tidak ada zakatnya. Namun, zakatnya dibayarkan dari hasil sewanya. Adapun orang yang membeli sebuah bangunan dengan niat mencari profit dari jual beli bangunan tersebut dan tidak berniat untuk menempati bangunan tersebut, dan ia berkata, “Selama saya tidak ada yang membelinya, akan saya sewakan.”, maka ia wajib membayar zakat dari bangunan tersebut dan zakat dari upah sewanya.

والناس يفرقون بين رجل عقاري يبيع ويشتري في العقار ليتكسب، وبين شخص عنده عمارات استثمارية يريد أن يستثمرها لكن لو جاءه أحد وأغراه بثمن كثير باعها، فالأول عليه الزكاة في نفس العمارات وفي أجورها، والثاني ليس عليه زكاة في نفس العمارات لكن الزكاة في أجورها. نعم.

Dan orang-orang bisa membedakan antara pengusaha properti yang menjual dan membeli properti sebagai pekerjaan dan orang yang punya bangunan-bangunan yang menghasilkan (tetapi tidak berniat untuk menjualnya). Jika ada seseorang datang dan memberi tawaran menarik dengan nominal yang besar, ia akan jual. Orang yang pertama wajib baginya zakat atas fisik bangunan dan pada hasil sewanya. Sedangkan orang kedua tidak wajib baginya zakat atas fisik bangunan, melainkan hanya zakat dari hasil sewa. Demikian.

Sumber: https://binothaimeen.net/content/12087

***

Penerjemah: Muhammad Fadli

Sumber: https://muslim.or.id/70765-zakat-rumah-kontrakan.html

Omicron Dinilai tak Ganggu Arab Saudi Terima Jamaah RI

Kepala Pusat Kesehatan Haji Budi Sylvana meminta masyarakat tidak risau dengan adanya kasus Omicron yang telah menjangkiti warga Arab Saudi. Menurutnya, Saudi tetap menginzinkan umroh selama jamaah sudah divaksinasi dosis lengkap.

“Saudi yakin selama warga sudah dosis lengkap akan relatif aman,” kata Budi saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (2/12).

Budi mendorong masyarakat, khususnya jamaah umroh segera melengkapi vaksinasinya. Sehingga ketika mendapat jadwal jamaah bisa langsung diberangkatkan ke Arab Saudi.

Menurutnya, Indonesia bukan menjadi negara yang disinyalir terpapar Omicron. “Untuk sementara tidak ada kebijakan baru terkait pengaturan kedatangan warga asing ke Saudi, kecuali negara-negara Afrika yang disinyalir ada varian baru,” katanya.

Arab Saudi memastikan temuan kasus pertama Covid-19 varian Omicron pada pendatang dari sebuah negara Afrika bagian utara, menurut kantor berita negara SPA, Rabu. Mengutip pernyataan dari kementerian kesehatan kerajaan, SPA mengatakan pihak berwenang sudah mengisolasi orang tersebut dan orang-orang lain yang melakukan kontak dengannya.

Temuan itu menjadi kasus Omicron pertama di Timur Tengah dan Afrika Utara. Kementerian mengatakan orang tersebut adalah warga negara Saudi yang baru kembali dari sebuah negara di Afrika Utara tanpa menyebut nama negaranya. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan pada Senin bahwa varian Omicron kemungkinan menyebar secara global. Varian ini membawa risiko peningkatan yang sangat tinggi dalam kasus infeksi sehingga bisa menimbulkan konsekuensi parah di sejumlah tempat.

Kementerian Saudi mendesak masyarakat menjalani vaksinasi lengkap dan memerintahkan pelaku perjalanan untuk menaati aturan isolasi mandiri dan pengujian Covid. Omicron pertama kali dilaporkan pada 24 November di selatan Afrika, lokasi dengan kasus infeksi meningkat tajam. Varian itu lalu menyebar ke belasan negara, sebagian besar di antaranya telah memberlakukan pembatasan perjalanan. 

IHRAM

Mengenal Pasar pada Masa Awal Islam Sebagai Pusat Perekonomian

Terpotret sejarah bahwa agama Islam turun di daerah yang terbilang maju dalam sektor perekenomiannya. Dalam sektor ekonomi, penduduk tanah Arab kebanyakan aktivitasnya adalah perniagaan ataupun bisnis. Pada musim-musim tertentu, orang-orang Arab melakukan ekspor dengan pergi ke luar kota untuk menjual komoditinya, mulai dari daerah Syam hingga kota Yaman. Tidak hanya itu, mereka juga mengimpor barang saat melakukan perjalanan dagang dengan membeli barang-banrang dari luar kota yang kemudian dijual di tanah Arab. Bagaimanakah pasar pada masa awal Islam berperan dalam sektor perekonomian?

Ada beberapa tempat yang dijadikan pusat perdagangan atau pasar untuk melakukan aktivitas bisnis di musim-musim tertentu. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya [3/53] menyebutkan tiga pasar yang dijadikan pusat perdagangan di era Jahiliyah hingga era Islam. Antaranya, pasar Ukkazd, pasar Dul Majaz dan pasar Majannah. Sedangankan dalam kitab Umdatul Al-Qari Syarhi Shahih Al-Bukhari [103/10] menyebutkan satu pasar lagi yaitu pasar Habasyah. Tiga pasar yang disebutkan oleh Imam Bukhari di atas dilakukan perdagangan saat musim-musim haji.

Pasar Ukkazd terletak di ujung daerah Najd dekat dengan Arafah atau Thaif. Pasar ini juga menjadi perkumpulan orang-orang Arab untuk melakukan aktivitas ekonomi dan juga kegiatan seni berupa syair-syair yang dulu pernah dijadikan komoditi.

Pasar Dul Majaz, pasar yang terletak di daerah yang berdekatan dengan Arafah dan menurut Al-Kalbiy, pasar ini termasuk pasar dari kaum Hudail yang berjarak sekitar satu farsakh dengan Arafah. Pasar ini disenggelarakan pada tanggal 1-7 zdul Hijjah.

Pasar Majannah, pasar yang terletak beberapa mil dari kota Mekkah dan bersebelahan dengan kota Al-Dhahran. Pasar ini kepunyaan Bani Kinanah dan Syamah dan Thufail. Dinamanakan Majannah karena pukulan dari orang-orang gila berada di dasana.

Pasar Hubasyah terletak antara kota Mekkah dan Yaman sejarak sekitar enam Marhalah. Pasar ini digelar tidak pada musim haji melainkan pada bulan Rajab. Oleh karena itu, pasar ini tidak disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Menurut Al-Rayathi, pasar ini termasuk pasar yang terbesar yang dimiliki oleh Bani Tihamah sebagai pusat perdaganagan dan aktivitas ekonomi di era tersebut. Rasulullah juga sempat melakukan transaksi di pasar ini.

Pasar-pasar lainnya, sebagaimana disebutkan dalam buku Prinsip Dasar Ekonomi Islam Prespektif Maqhasid Al-Syariah [198], disana disebutkan beberapa tempat yang dijadikan pusat aktivitas ekonomi pada masa Rasulullah, diantaranya pasar Fumatul Janal (ujung utara Hijaz dekat dengan perbatasan syiria), Mushaqqar (di pasar ini perdagangan diselenggarakan selama satu bulan penuh).

Pasar suhar (salah satu kota yang dijadikan pusat perdaganagan di daerah Oman), pasar Dabba (biasanya orang-orang yang melakukan bisnis daerah ini antara lain Cina, India dan lain sebagainya), Shihr (waktu untuk melakukan bisnis di daerah ini yaitu wal pecan hingga pertengahan bulan Sya’ban).

pasar Aden ( terletak di daerah Yaman dan diselengarakan pada tanggal satu sampai sepuluh Ramadan), pasar Sana, pasar Rabiyah, pasar mina, Nazat, Hijr dan pasar Busyra (kota di Syiria, di luar semenanjung Arab dan termasuk pasar yang sering dikunjungi Nabi Muhammad).

Itulah pasar-pasar yang dijadikan tempat untuk kegioatan eknomi umat di masa sebelum datangnya Islam hingga Islam datang sebagai Agama untuk menuntun umatnya termasuk dalam tindak-tanduk perekonomian. Dimana banyak ditemukan praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai keislaman dan kemanusiaan semisal penimbunan dan lain sebagainya.

BINCANG SYARIAH

10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 4)

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Sebab ketiga, menuntut ilmu yang bermanfaat

Saat syariat Islam ini turun pertama kali kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, hal pertama yang Allah perintahkan kepada Nabi-Nya adalah membaca. Membaca adalah salah satu kunci kesuksesan kita di dalam belajar dan menuntut ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS. Al-Alaq: 1).

Hal ini menunjukkan bahwa budaya membaca dan belajar sangatlah penting di dalam Islam. Kita bisa mengetahui syariat ini dengan sebenar-benarnya dengan membaca dan belajar. Bahkan Allah Ta’ala memberikan ganjaran pahala di setiap hurufnya kepada orang yang membaca Al-Qur’an walaupun tidak lancar. Ini merupakan kelebihan yang tidak dimiliki kitab-kitab lainnya.

Lalu apa itu ilmu bermanfaat yang Allah Ta’ala perintahkan umat ini untuk mempelajarinya?

Apa yang dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullaah mengatakan di dalam Majmuu’ al-Fataawaa, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi berkaitan dengan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.”

Ibnu Rajab Rahimahullaah menambahkan penjelasan mengenai definisi ilmu yang bermanfaat di dalam kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf  ‘alal Khalaf, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadis-hadis Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Sahabat, Tabiin, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka.”

Mujahid bin Jabr Rahimahullaah juga mengatakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya banyak.”

Perkataan beliau Rahimahullaah menunjukkan bahwa ada orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat bagi orang tersebut karena tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Hukum menuntut ilmu bagi seorang muslim

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”(HR. Ibnu Majah dan disahihkan Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir).

Dalam hadis ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Penting untuk kita ketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Hal ini termasuk juga kata “ilmu” yang terdapat dalam hadis di atas.

Allah Ta’ala juga berfiman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“ (QS. Thaaha: 114).

Mengenai ayat ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala (yang artinya),‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Ilmu syar’i adalah ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah. Begitu juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan” (Fathul Baari, 1: 92).

Mengapa manusia wajib menuntut ilmu? Karena setiap orang dapat dibedakan dari ilmu yang dimiliki. Ilmu merupakan pembeda antara orang yang tahu dan tidak mengetahui. Kita mengetahui apa-apa yang Allah wajibkan, tata cara ibadah, rukun-rukun, dan hal lain yang berkaitan dengan hak-hak Allah dengan ilmu. Semua bisa kita ketahui dengan berilmu dan belajar. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang, mengapa sebagian di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya” (QS. At-Taubah: 122).

Kaitan antara menuntut ilmu dan kelapangan dada

Syekh Abdurrazaaq Hafidzhahullah menjelaskan bahwa semakin banyak seorang hamba memperoleh ilmu syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, semakin bertambah pula kadar kelapangan dadanya dan membaik pula keadaannya. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya ilmu syar’i itu meninggikan derajat seorang hamba, membahagiakannya, dan merupakan sebab kesuksesannya di dunia, serta di akhirat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ

Allah akan mengangkat derajat orangorang yang beriman diantara  kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah: 11).

Bersama semua hal itu, menuntut ilmu adalah surga bagi para penuntutnya. Di dalamnya terdapat taman yang penuh dengan bunga serta kebun yang penuh dengan buah-buahan. Diliputi juga di dalamnya kegembiraan dan ketenangan, di mana kita bisa memetik buah-buahan terbaik serta mengambil tangkai-tangkai bunga yang indah. Oleh karena itu, bisa kita jumpai sebagian besar ulama menamai karya mereka dibidang ilmu syar’i dengan apa yang mereka yakini menjadi salah satu sifat dari ilmu syar’i ini, seperti:

1. Rhoudhotul Uqola (Taman-Taman Pakar Ilmu);

2. Bustaanul ‘Arifin (Kebun Orang-Orang yang Berilmu);

3. Riyaadussholihin (Taman-Taman Orang-Orang Saleh);

4. Ar Roudhu Al Basim (Taman-Taman Orang-Orang yang Ceria);

5. dan lain sebagainya dari nama-nama yang menunjukkan akan makna-makna yang diyakini seorang penuntut ilmu terhadap ilmu.

Sesungguhnya menuntut ilmu adalah sebuah keutamaan yang besar, terlebih di zaman sekarang. Zaman yang dipenuhi dan disibukkan dengan hal-hal yang melalaikan. Sehingga orang yang masih Allah Ta’ala berikan kesempatan untuk menuntut ilmu itulah orang-orang orang yang mendapatkan kenikmatan yang sangat agung. Hanya segelintir orang dari umat ini yang mendapatkannya. Berdoa, berusaha, dan bersemangat adalah kunci agar kita selalu istikamah di dalam jalan ilmu ini.

Syekh menutup pembahasan ini dengan salah satu hadis yang menunjukkan keutamaan ilmu yang bermanfaat. Bahwasanya ilmu tersebut adalah jalan yang akan membawa penuntutnya kepada surga yang penuh kenikmatan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).

[Bersambung]

***


Penulis: Muhammad Idris

Referensi:

1. Asyartu Asbabin Linsyirahi As-sadr (10 Sebab Memperoleh Rasa Lapang Dada). Karya Syekh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr Hafidzhohullah dengan beberapa perubahan.

2. Kitabul Iman (Kitab Iman). Karya Imam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dengan beberapa perubahan.

Sumber: https://muslim.or.id/70760-sepuluh-kunci-meraih-rasa-lapang-dada-bag-4.html

Tak Sempat Membaca Al-Kahfi di Hari Jumat, Boleh Qadha Hari Lain?

Sudah maklum bahwa di antara perkara yang sangat dianjurkan ketika kita berada di malam atau hari Jumat adalah membaca surah Al-Kahfi. Namun terkadang kita tidak sempat untuk membacanya karena berbagai kesibukan. Misalnya, sibuk dengan pekerjaan dan lainnya. Jika kita tak sempat membaca surah Al-Kahfi di malam atau hari Jumat, apakah kita boleh untuk mengqadhanya di hari yang lain?

Selain dianjurkan membaca surah Yasin, kita juga dianjurkan untuk membaca surah Al-Kahfi di malam atau hari Jumat. Membaca surah Al-Kahfi di malam atau hari Jumat memiliki keutamaan tertentu, di antaranya kita akan mendapatkan cahaya dari Allah hingga Jumat berikutnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Hakim dari Sa’id Al-Khudri, bahwa Nabi Saw bersabda;

إِنَّ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

Sungguh siapa membaca surah Al-Kahfi di hari Jumat, maka baginya cahaya yang terang antara dua Jumat.

Dalam sebuah riwayat yang disebutkan oleh Imam Al-Darimi, Sa’id Al-Khudri pernah berkata sebagai berikut;

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Barangsiapa membaca surah Al-Kahf di malam Jumat, maka baginya cahaya yang terang antara dia dan baitul atiq (Ka’bah).

Karena membaca surah Al-Kahfi di malam dan hari Jumat memiliki keutamaan tertentu, maka para ulama sangat menganjurkan agar kita membaca surah ini di malam atau hari Jumat. Waktu terbaik membaca surah Al-Kahfi dimulai sejak terbenamnya matahari di hari Kamis hingga terbenamnya matahari di hari Jumat.

Namun jika kita tidak sempat membaca surah Al-Kahfi di malam atau hari Jumat karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, maka kita boleh untuk mengqadhanya di hari berikutnya.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Dr. Majdi ‘Asyur berikut;

سؤال: هل يجوز قراءة سورة الكهف في اي يوم ان فاتتني يوم الجمعة؟

الجواب: الافضل قراءتها في وقتها من غروب شمس يوم الخميس الى غروب شمس يوم الجمعة وان فات وقتها فيجوز قضائها بعد ذلك الوقت ويكون لك اجر ان شاء الله

Pertanyaan; Apakah boleh membaca surah Al-Kahfi di waktu lain jika aku tidak sempat membacanya di hari Jumat?

Jawaban; Yang paling utama adalah membaca surah Al-Kahfi di waktunya, yaitu sejak terbenamnya matahari di hari Kamis hingga terbenamnya matahari di hari Jumat. Jika waktu terlewat, maka boleh mengqadhanya setelah terlewatnya waktu yang telah ditentukan tersebut, dan insya Allah kamu mendapatkan pahala.

BINCANG SYARIAH

Apakah Menyentuh Lawan Jenis Dapat Membatalkan Wudu?

Masalah ini adalah masalah fikih yang masyhur diperbincangkan oleh masyarakat kita. Inti dari masalah ini adalah sudut pandang dalam memahami firman Allah Ta’ala,

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“… atau jika kalian menyentuh wanita, dan kalian tidak mendapati air, maka bertayammumlah dengan debu yang suci.” (QS. An Nisa: 43)

Ayat ini juga terdapat dalam surah Al-Maidah ayat ke-6.

Zahir ayat menyatakan bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudu karena tayammum adalah pengganti dari wudu jika tidak ada air. Namun, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat dalam memahami ayat ini:

Pendapat pertama

Ulama Syafi’iyyah menyimpulkan sesuai zahir ayat bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudu secara mutlak. Karena makna al-lamsu artinya menyentuh kulit. Sebagaimana perkataan Nabi kepada Ma’iz,

لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ

“Mungkin Engkau menciumnya atau menyentuhnya.” (HR. Ahmad no. 2130)

Juga dalam hadits,

وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ

“Dan zina tangan adalah menyentuh.” (HR. Ahmad no. 8392, disahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.8204)

Dan juga penafsiran sebagian salaf bahwa makna al-lamsu adalah menyentuh dengan tangan. Tafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, ‘Ubaidah As Salmani, ‘Atha, serta ‘Amir bin Sa’ad.

Baca Juga: Makan dan Minum Bukanlah Pembatal Wudhu

Pendapat kedua

Ulama Hanafiyah dan salah satu pendapat dalam mazhab Hambali juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudu sama sekali, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat.

Adapun “menyentuh wanita” dalam ayat di atas, maknanya adalah jima’. Sebagaimana ditafsirkan oleh sebagian salaf. Tafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ubaid bin Umair, Al Hasan Al Bashri, serta Mujahid.

Dikuatkan dengan beberapa hadis sahih yang memuat praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak membatalkan wudu ketika menyentuh wanita.

Pendapat ketiga

Pendapat mu’tamad dalam mazhab Hambali dan juga Maliki bahwa menyentuh wanita membatalkan wudu jika dengan syahwat. Dalam rangka menggabungkan dan mencari jalan tengah antara dalil yang menyatakan batal dan dalil yang menyatakan tidak batal.

Tarjih pendapat

Pendapat yang dikuatkan oleh tiga ulama besar abad ini, yaitu Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Al-Albani rahimahumullah adalah pendapat kedua. Bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudu sama sekali, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat.

Karena dalil-dalil tentang praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak membatalkan wudu ketika menyentuh wanita. Dan sebaik-baik petunjuk dalam memahami ayat adalah petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antaranya hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha,

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قَبَّل امرأةً من نسائِه، ثمَّ خرج إلى الصَّلاةِ ولم يتوضَّأ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.” (HR. Abu Daud no. 179, At-Tirmidzi no. 86, Ibnu Majah no. 502, Ahmad [6: 210], disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij Al-Musnad [1: 515] dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Hadis ini adalah dalil kuat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudu. Sekaligus juga dalil kuat bahwa menyentuh dengan syahwat pun tidak membatalkan wudu karena umumnya ciuman itu disertai syahwat.

Dalil yang lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha,

كنتُ أنام بين يَدَي رسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ورِجلاي في قِبلَتِه، فإذا سجَد غمَزَني، فقبضتُ رِجلي، فإذا قام بسطتُهما، قالت: والبيوتُ يومئذٍ ليس فيها مصابيحُ

“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kedua kakiku berada di arah kiblat beliau. Ketika Rasulullah sujud, beliau memijat kakiku (untuk memberi isyarat). Maka, aku pun menekuk kakiku. Ketika Rasulullah berdiri, aku luruskan kembali. Dan rumah kami ketika itu tidak ada lampu.” (HR. Bukhari no. 382, Muslim no. 512)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh kaki Aisyah ketika sedang salat dan Rasulullah tidak membatalkan salatnya.

Kata ghamaza (غمز) dalam hadis ini memang bisa bermakna “isyarat dengan tangan”. Sehingga tidak tegas menjelaskan adanya sentuhan kulit atau sentuhan tersebut terhalangi penghalang. Ibnu Atsir rahimahullah dalam An-Nihayah menjelaskan,

وبعضهم فسر ” الغمز ” في بعض الأحاديث بالإشارة ، كالرمز بالعين أو الحاجب أو اليد

Sebagian ulama menafsirkan al-ghamz di sebagian hadis dengan makna isyarat atau kode menggunakan mata, gerakan kening atau tangan.” (An-Nihayah, 3: 386)

Namun, kata ghamaza pada asalnya bermakna “memijat dengan tangan”. Di antaranya dalam hadis tentang mandi junub,

قال لها : اغمزي قرونك

Nabi bersabda, ‘Ighmazi (peraslah) jalinan rambutmu.’

Ibnu Atsir rahimahullah menjelaskan,

أي اكبسي ضفائر شعرك عند الغسل : والغمز : العصر والكبس باليد

“Maksudnya adalah tekanlah jalinan rambutmu ketika mandi. Al-ghamz artinya ‘memeras dan menekan (baca: memijat) menggunakan tangan’” (An-Nihayah, 3: 386)

Juga dalam hadis Ibnu Umar radhiallahu’anhu, ia berkata,

أنه دخل عليه وعنده غليم أسود يغمز ظهره

“Bahwa Ibnu Umar masuk ke rumah Nabi ketika itu ada budak berkulit hitam yang sedang yughmizu (memijat) punggung Nabi.”

Maka, ini menguatkan bahwa makna “ghamazani” dalam hadis Aisyah di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh kaki Aisyah dengan cara memijatnya.

Demikian juga, andaikan menyentuh wanita itu membatalkan salat, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyentuh ‘Aisyah walaupun terhalang kain karena ini akan berisiko terjadi sentuhan kulit, terlebih di rumah beliau yang dalam keadaan gelap. Ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudu.

Makna ini juga diperkuat oleh hadis lainnya, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

فقدتُ رسولَ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ليلةً مِن الفِراشِ، فالتمستُه فوقَعَتْ يدي على بَطنِ قَدَمَيه وهو في المسجدِ، وهما منصوبتانِ وهو يقول: اللَّهمَّ أعوذُ برِضاك مِن سَخطِك، وبمعافاتِك من عُقوبَتِك، وأعوذُ بك منك؛ لا أُحصي ثناءً عليك، أنت كما أثنيتَ على نفسِك

Di suatu malam, aku tidak mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tempat tidur. Aku pun mencari-carinya (di kegelapan) dan kedua tanganku mendarat di punggung kaki beliau. Ternyata beliau sedang sujud di tempat sujud. Kedua kaki beliau dalam keadaan ditegakkan. Beliau membaca doa, ‘Allahumma a’udzu biridhaka min sakhatik, wa bimu’afatika min uqubatik, wa a’udzu bika minka, laa uh-shi tsana-an ‘alaika, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik.’ ” (HR. Muslim no. 486)

Dalam hadis ini, Aisyah menyentuh kaki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak disebutkan bahwa beliau membatalkan salatnya. Sebagaimana kasus yang ada pada hadis sebelumnya.

Kesimpulannya, menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudu sama sekali, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat. Namun, masalah ini adalah masalah yang longgar, kita menghormati pendapat lain yang berbeda. Karena perbedaan ini juga terjadi di tengah para salaf sebagaimana telah disebutkan di atas.

Adapun perkataan yang mengatakan bahwa wudu batal jika menyentuh wanita non-mahram dan tidak batal jika menyentuh istri atau wanita mahram, ini belum kami ketahui landasan dalilnya serta siapa ulama yang mengatakannya. Wallahu a’lam.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/70688-apakah-menyentuh-lawan-jenis-dapat-membatalkan-wudhu.html