Utamakan Keselamatan Jamaah Umroh

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengatakan, Kementerian Agama (Kemenag) juga perlu memberikan perhatian terhadap peneyabaran varian baru Covid-19, yaitu omicron. Menurutnya, keselamatan jamaah umroh merupakan yang terpenting.

“Jika membahayakan bagi keselamatan jamaah, sebaiknya kita menunda kembali rencana penyelenggaraan umroh ini,” ujar Ace lewat keterangannya, Sabtu (18/12).

Penundaan pelaksanaan umroh, kata Ace, merupakan langkah yang memang perlu diambil untuk mencegah penyebaran omicron. Ia tak ingin semua pihak meanggap remeh varian baru Covid-19 tersebut.

“Jangan anggap enteng varian baru ini. Kita harus tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan jamaah umroh,” ujar Ace.

Selanjutnya, Kemenag perlu segera berkomunikasi dengan otoritas haji di Arab Saudi terkait penyelenggaraan umroh. “Hal yang terpenting sesungguhnya adalah protokol kesehatan, termasuk soal vaksinasi dan juga soal perkembangan baru virus Covid-19 varian omicron,” ujar Ace.

Pemberangkatan jamaah umrah Indonesia kembali ditunda hingga tahun 2022, usai adanya imbauan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan arahan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas agar masyarakat tidak melakukan perjalanan ke luar negeri. Rencana awal, jamaah Indonesia sudah bisa berangkat umrah pada Desember 2021.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Hilman Latief mengatakan, keputusan itu diambil setelah pihaknya menggelar rapat dengan asosiasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Hasilnya disepakati pemberangkatan umrah ditunda untuk sementara waktu.

“Kami tentu mengutamakan aspek perlindungan jamaah di tengah pandemi Covid-19, terlebih setelah adanya varian baru Omicron. Untuk itu, keberangkatan jemaah umrah kembali ditunda hingga awal tahun 2022, kita berharap kondisi segera membaik,” terang Hilman dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (18/12).

Menurut dia, secara umum asosiasi PPIU mendukung imbauan pemerintah untuk menunda keberangkatan ke luar negeri. Hilman mengakui, ada kekecewaan dan kesedihan, karena rencana umrah sudah lama tertunda. Namun, semua pihak memahami kondisi pandemi yang belum usai, bahkan muncul varian baru.

“Ada harapan agar tetap ada pemberangkatan, meski jumlahnya diperkecil. Secara umum asosiasi PPIU memahami dan menaati imbauan untuk tidak ke luar negeri,” ujar Hilman.

IHRAM

Alasan Islam Tekankan Bekerja Profesional dan 4 Cara Hindari Malas

Bekerja profesional merupakan salah satu perkara yang dicintai Allah SWT

Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasi bekerja profesional, tepat waktu, dan berdisiplin.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ 

Dalam riwayat Aisyah RA, dia berkata, “Rasulullah  ﷺ bersabda, ““Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional.” 

Namun demikian, adakalanya seseorang menghadapi rasa malas dan kerap menunda-nunda pekerjaan. Melansir laman askthescholar.com, ulama Kanada, Syekh Ahmad Kutty, menjelaskan mengenai obat untuk melawan kemalasan adalah dengan memelihara keimanan. 

Beberapa kiat berikut dapat diterapkan untuk memberdayakan diri sendiri dan menghilangkan kebiasaan menunda-nunda, yaitu pertama, sikap menunda adalah kebiasaan yang dipelajari dan tindakan berulang membentuk kebiasaan. 

Jadi cara terbaik untuk melawan penundaan adalah dengan segera mengambil langkah untuk melakukan hal yang tergoda untuk ditunda. 

Oleh karena itu ketika tergoda untuk menunda-nunda, seseorang harus melakukan apa pun untuk melakukan hal yang sebaliknya. 

Mungkin sulit pada awalnya, tetapi dengan mengulanginya berulang-ulang, seseorang belajar untuk menghentikan kebiasaan itu. 

Proses ini harus berlanjut sampai seseorang memperoleh kebiasaan baru, dan dengan demikian menjadi sifat kedua.  

Kedua, saat bangun di pagi hari, berpikirlah positif dengan merinci keberkahan yang telah diberikan di hari itu. 

Ketiga, ketika sholat Subuh, membaca setidaknya satu halaman Alquran dan menghabiskan beberapa menit untuj zikir dan berdoa setiap hari. 

Ketiga, mulailah pekerjaan atau proyek segera setelah itu dengan hati yang penuh doa seperti Nabi Muhammad ﷺ berdoa: 

اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا

“Ya Allah, berkati umatku dalam usaha pagi mereka.” (HR Tirmidzi)

Keempat, kembali kepada Allah ﷻdalam permohonan dan meminta bantuan-Nya dalam memerangi kemalasan, penundaan dan ketidakberdayaan melalui doa-doa berikut: 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ

Allahumma innii a’ u dzu bika mina al-‘ajzi wa al-kasali wa al-jubun wa al-bukhl wa ghalabati al-dayni wa qahri al-rrijaal

(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari lemah syahwat, kemalasan, pengecut, kikir, dan beban hutang dan orang-orang yang suka mendominasi)

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Laa ilaaha illa Allahu al-azim al-haliim, la ilaaha illa Allahu rabbu al-‘arsyi al-‘azim, laa ilaaha illa Allahu rabbu al-ssamaawaati wa al-ardhi wa rabbu al-‘arshi al-kariim 

(Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Agung dan Mahapemberi perih; tidak ada Tuhan selain Allah, Tuhan Arsy yang Agung; tidak ada Tuhan selain Allah, Tuhan langit dan bumi dan Arsy yang Mulia).

Sumber: askthescholar  

KHAZANAH REPUBLIKA

Apakah Tepat Menganalogikan Laki-laki dengan Buaya?

Di balik ramainya kasus kekerasan seksual yang makin terungkap, ternyata, tidak sedikit laki-laki yang melegitimasi kekerasan seksual terjadi karena hasrat seksual adalah hal yang tak terbendung. Bahkan, selain itu, mereka menganalogikan laki-laki yang bukan lain adalah diri mereka sendiri dengan buaya. Lalu perempuan dianalogikan dengan ayam yang menjadi mangsa bagi buaya.

Sikap dan pemikiran seperti itu tentu lahir dari laki-laki misoginis. Mereka juga mengsubordinasi kaum perempuan yang selalu dianggap sebagai manusia kelas dua. Parahnya, era media sosial membebaskan siapapun untuk menyampaikan pikiran macam ini. Di era modern seperti ini, tidak disangka, masih saja ada yang mau menyamakan dirinya dengan hewan, terlebih hewan buas nan ganas seperti buaya.

Padahal telah jelas, keistimewaan manusia ada pada akal pikiran. Allah melebihkan manusia dari makhluk lain dengan berbagai kelebihan. Sebagaimana firmannya dalam surat al-Isra` ayat 70,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

Artinya: Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.

Dalam Tafsir karya Ibnu Katsir, kelebihan yang dimiliki oleh manusia adalah kelebihan di atas hewan, jin, dan malaikat.  Kelebihan tersebut berupa bentuk fisik dan akal pikiran. Begitu juga ayat-ayat Alquran yang ditunjukkan kepada manusia dengan narasi dan khitob “manusia berakal”.

Misal, pada surat al-Baqoroh ayat 44,

اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

Artinya: Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu berpikir?

Juga pada surat al-An’am ayat 50,Baca Juga:  Melihat Hukuman Tambahan bagi Pedofilia di Indonesia

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الْاَعْمٰى وَالْبَصِيْرُۗ اَفَلَا تَتَفَكَّرُوْنَ

Artinya:  Katakanlah, “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?”

Dan masih banyak lagi ayat yang menunjukkan bahwa keistimewaan manusia ada pada akal pikirannya. Lalu, pantaskah menyamakan diri dengan hewan seperti buaya yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu?

Rasulullah pun pernah bersabda tentang keutamaan mengendalikan hawa nafsu yang sejatinya ada pada setiap diri manusia. Mengendalikan nafsu disamakan dengan jihad karena hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak mudah.

أفضلُ الْمُؤْمِنينَ إسْلاماً مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسانِهِ وَيَدِه وأفْضَلُ المُؤْمِنينَ إيمَاناً أحْسَنُهُمْ خُلُقاً وأفْضَلُ المُهاجِرِينَ مَنْ هَجَرَ مَا نَهى اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ وأفضلُ الجهادِ منْ جاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذاتِ اللَّهِ عزّ وجَل

Artinya: Mukmin yang paling utama keislamannya adalah umat Islam yang selamat dari keburukan lisan dan tangannya. Mukmin paling utama keimanannya adalah yang paling baik perilakunya. Muhajirin paling utama adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. Jihad paling utama adalah jihad melawan nafsu sendiri karena Allah. (HR. Tirmizi, Abu Daud, dan Ibnu Hibban)

Beda halnya dengan hewan yang memiliki nafsu tapi tidak memiliki akal untuk mengendalikan. Mereka hanya memiliki insting yang tentu berbeda dengan posisi akal pada manusia. Akal diasah dengan budi dan ilmu pengetahuan, sehingga melahirkan akhlak mulia, termasuk menghormati perempuan dengan tidak menganalogikannya seperti hewan baik itu ayam, ikan, atau hewan lainnya.

Analogi laki-laki dengan buaya seperti menyeret kaum mereka sendiri ke jaman Jahiliyah, di mana mereka tidak menghargai perempuan dan menempatkan perempuan tidak sederajat dengan manusia. Penyiksaan dan perbudakan yang terjadi kala itu mencerminkan akal pikiran yang tidak terasah dengan budi dan ilmu pengetahuan. Maka, masihkan pantas menganalogikan laki-laki dengan buaya dan perempuan dengan ayam?

BINCANG MUSLIMAH

Hukum Orangtua Mencium Anaknya yang Sudah Dewasa

Sudah maklum bahwa mencium anak yang masih kecil, terutama anak sendiri, hukumnya boleh. Bahkan dalam Islam sangat dianjurkan bagi orangtua untuk sering mencium anaknya yang masih kecil sebagai bentuk rasa kasih sayang. Namun bagaimana jika anak sudah dewasa atau sudah menikah, apakah boleh menciumnya bagi orangtuanya?

Mencium anak yang sudah dewasa atau sudah menikah biasanya dilakukan oleh orangtua ketika mereka lama tidak bertemu. Sebagai bentuk ungkapan rasa rindu dan kangen pada anaknya, biasanya orangtua langsung memeluk dan mencium anaknya saat pertama kali berjumpa.

Menurut para ulama, orangtua mencium anaknya yang sudah dewasa atau sudah menikah hukumnya adalah boleh. Tidak masalah bagi orangtua memeluk dan mencium anaknya yang sudah dewasa, meskipun berbeda jenis. Misalnya, seorang ayah mencium anak perempuannya, atau ibu mencium anak laki-lakinya.

Begitu juga sebaliknya, boleh bagi anak yang sudah dewasa memeluk dan mencium orangtuanya. Bahkan hal itu sangat dianjurkan apabila anak tersebut melakukannya sebagai bentuk ungkapan rasa kasih sayang dan sebagai bentuk bakti kepada orangtuanya.

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah disebutkan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw mencium Sayidah Fatimah, putri beliau, ketika beliau bertamu ke rumah Sayidah Fatimah. Begitu juga sebaliknya, Sayidah Fatimah mencium Rasulullah Saw ketika ia bertama ke rumah Rasulullah Saw.

Begitu juga dengan Sayidina Abu Bakar Al-Shiddiq, beliau pernah juga mencium Sayidah Aisyah. Ini menunjukkan bahwa boleh bagi orangtua mencium atau memeluk anaknya yang sudah dewasa. Begitu juga sebaliknya, boleh bagi anak yang sudah dewasa mencium atau memeluk orangtuanya.

Riwayat yang dimaksud adalah sebagai berikut;

رُوِيَ أَنَّ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّل فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ، وَتُقَبِّلُهُ إِذَا دَخَل عَلَيْهَا وَكَذَلِكَ صَحَّ عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَبَّل ابْنَتَهُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mencium Sayidah Fatimah ketika dia bertamu kepada Rasulullah Saw, dan Sayidah Fatimah mencium Rasulullah Saw ketika beliau bertamu kepada Sayidah Fatimah. Begitu juga shahih bahwa Abu Bakar mencium anaknya Sayidah Aisyah.

BINCANG SYARIAH

Hukum Orangtua Memandikan Jenazah Anaknya yang Sudah Dewasa

Di tengah masyarakat, banyak kita jumpai sebagian orangtua yang ikut memandikan jenazah anaknya, meskipun anaknya sudah dewasa dan berbeda jenis. Biasanya, orangtua melakukan hal ini sebagai bentuk kepeduliannya dan hendak memastikan bahwa jenazah anaknya dirawat dengan baik. Sebenarnya, bagaimana hukum orangtua memandikan jenazah anaknya yang sudah dewasa, apakah boleh?

Dalam kitab-kitab fikih disebutkan bahwa jika antara orangtua dan anak jenis kelaminnya sama, maka orangtua boleh memandikan jenazah anaknya, bahkan dia termasuk orang yang paling berhak dan paling pantas untuk memandikannya. Misalnya, ayah memandikan jenazah anak laki-lakinya, atau ibu memandikan jenazah anak perempuannya. Dalam keadaan demikian, maka orangtua dianjurkan untuk ikut memandikan jenazah anaknya yang jenis kelaminnya sama, meskipun anaknya tersebut sudah dewasa.

Namun jika antara orangtua dan anaknya berbeda jenis, maka orangtua tidak boleh memandikan jenazah anaknya yang sudah dewasa. Ayah tidak boleh memandikan jenazah anak perempuannya, dan ibu tidak boleh memandikan jenazah anak laki-lakinya. Ini disebabkan karena orangtua dilarang melihat aurat jenazah anaknya yang berbeda jenis, baik dalam keadaan masih hidup maupun sudah meninggal.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni sebagai berikut;

وَلَيْسَ لِغَيْرِ مَنْ ذَكَرْنَا مِنْ الرِّجَالِ غَسْلُ أَحَدٍ مِنْ النِّسَاءِ، وَلَا أَحَدٍ مِنْ النِّسَاءِ غَسْلُ غَيْرِ مَنْ ذَكَرْنَا مِنْ الرِّجَالِ، وَإِنْ كُنَّ ذَوَاتِ رَحِمٍ مَحْرَمٍ، وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ

Tidak boleh bagi kalangan laki-laki, sebagaimana telah kami sebutkan, memandikan jenazah siapapun dari kalangan perempuan. Begitu juga tidak seorang pun boleh bagi kalangan perempuan memandikan jenazah laki-laki selain yang telah kami sebutkan, meskipun di antara mereka ada hubungan kerabat kemahraman. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama.

Menurut para ulama, hukum asal yang boleh memandikan jenazah laki-laki adalah laki-laki, dan yang boleh memandikan jenazah perempuan adalah perempuan. Hukum asal ini tidak boleh dilanggar kecuali dalam keadaan darurat. Karena itu, jika antara orangtua dan anak yang sudah dewasa berbeda jenis kelamin, maka orangtua tidak boleh memandikan jenazah anaknya. Namun jika sama jenis kelaminnya, maka boleh orangtua memandikan jenazah anaknya, bahkan dia lebih berhak dan lebih pantas untuk memandikan jenazah anaknya dibanding orang lain.

BINCANG SYARIAH

Umrah Tunggu Omikron Mereda

Saudi tidak mengubah kebijakan meski telah ditemukan kasus omikron di Indonesia.

Pemerintah dikabarkan menunda pemberangkatan umrah yang awalnya direncanakan pada 23 Desember mendatang. Penundaan dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap varian Omikron yang telah terdeteksi di berbagai negara, termasuk di Indonesia

Kabar adanya penundaan pemberangkatan umrah disampaikan Konsul Jenderal (Konjen) RI Jeddah Eko Hartono. Eko mengatakan, pemberangkatan umrah ditunda hingga awal tahun depan. “Informasi terakhir bahwa umrah tanggal 23 Desember ditunda sampai dengan Januari,” kata Eko dalam pesannya kepada Republika, Jumat (17/12).

Ia menjelaskan, keputusan tersebut diambil berdasarkan arahan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Kendati demikian, Eko mengaku tak tahu persis alasan pemerintah melakukan penundaan. 

Namun, ujar dia, ada kemungkinan penundaan dilakukan untuk mengikuti arahan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat dan para pejabat menahan diri untuk ke luar negeri. Hingga berita ini dimuat, Kementerian Agama belum bisa dimintai keterangan mengenai kabar penundaan umrah. 

Eko dalam perbincangannya dengan Republika melalui pesan tertulis kemarin siang, sempat menyebut bahwa tidak ada perubahan rencana keberangkatan jamaah umrah. Sebanyak 363 jamaah akan diberangkatkan pada 23 Desember, yang merupakan para pengurus biro perjalanan haji dan umrah.  Namun, tak lama berselang, Eko mendapatkan kabar bahwa rencana pemberangkatan umrah ditunda.

Menurut Eko, persiapan Indonesia dalam memberangkatkan umrah, khususnya mengenai integrasi data jamaah dengan aplikasi milik Kementerian Kesehatan Saudi sudah berjalan cukup baik. Integrasi dilakukan antara aplikasi Tawakkalna dengan Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) yang mengambil data dari PeduliLindungi. “Intinya, visa sudah bisa keluar dan sertifikat vaksin sudah bisa dibaca oleh petugas Saudi,” katanya.

Eko menambahkan, pihak Kerajaan Arab Saudi sejauh ini juga tidak mengubah kebijakan meski telah ditemukan kasus omikron di Indonesia. Sebab, di Saudi pun sudah ditemukan kasus varian baru Covid-19 tersebut. “Tapi memang, (jamaah) dari beberapa negara Afrika bagian selatan sudah dilarang masuk Saudi,” ujar dia.

Keputusan penundaan umrah telah dibahas dalam rapat koordinasi yang diikuti perwakilan Kementerian Agama, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan, asosiasi umrah dan haji, serta lembaga dan instansi terkait lainnya. Rapat koordinasi itu digelar secara virtual pada Jumat siang.

Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi mengatakan, pihak asosiasi dalam rapat tersebut meminta umrah tetap dilaksanakan walaupun hanya memberangkatkan segelintir pengurus. “Ini untuk uji coba meskipun dengan konsekuensi dikarantina sampai 14 hari. Tapi, opsi pertama (yang muncul) tentunya batal,” kata Syam kepada Republika, kemarin.

Syam mengatakan, hasil dari rapat koordinasi akan dilaporkan kepada Presiden oleh Kemenag. “Tapi, melihat dari kondisi dan keselamatan bangsa, sepertinya pembatalan atau pengunduran pemberangkatan akan jauh lebih baik,” katanya.

Sekretaris Jenderal Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umrah dan Haji (AMPUH) Wawan Suhada yang turut mengikuti rapat mengatakan, para penyelenggara sudah dua tahun tidak bisa memberangkatkan jamaah umrah. Namun, saat Arab Saudi memperbolehkan umrah, justru pemerintah Indonesia sendiri yang sekarang melarangnya.

“Ini ironis kan. Kami dari delapan asosiasi yang hadir, tujuh asosiasi menyampaikan bahwa kita harus berangkat walaupun dengan jumlah skala yang lebih kecil,” ujar Wawan saat dihubungi Republika.

Menurut Wawan, pemerintah setidaknya bisa mengirim perwakilan dari masing-masing asosiasi untuk berangkat ke Tanah Suci sebagai tim advance. Hal ini agar asosiasi dapat mengetahui standar operasional di Saudi dan melakukan persiapan dengan baik untuk memberangkatkan jamaah umrah dari masyarakat umum di kemudian hari.  

Dia pun menyoroti kasus omikron yang menjadi alasan pengunduran umrah. Menurut dia, WHO telah menyatakan bahwa omikron tidak terlalu berbahaya bagi orang yang sudah divaksin.

“Jika pemerintah kita mereferensi bahwa telah terjadi kasus kematian karena Omikron satu orang di UK (Inggris), tapi itu kan satu dari sekian banyak orang. Yang kena omikron tapi tidak meninggal dan sehat, harusnya itu juga dipertimbangkan,” kata Wawan.

Kurangi mobilitas

Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin kembali mengingatkan seluruh pihak untuk bersama-sama mencegah meluasnya varian omikron di Tanah Air, salah satunya dengan mengurangi mobilitas. Wapres pun mendorong pemerintah daerah memperketat aktivitas masyarakat melalui pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang disesuaikan dengan level di masing-masing daerah.

“Walau tidak di level 3 PPKM, kan bisa dilakukan pengetatan-pengetatan PPKM,” kata Kiai Ma’ruf di sela kunjungan kerja ke Provinsi Bali, Jumat (17/12).

Wapres mengingatkan, pengalaman Indonesia saat menghadapi lonjakan Covid-19 akibat varian Delta harus dijadikan pelajaran agar tak terluang setelah terdeteksinya Omikron. Oleh karena itu, ia meminta semua pihak mengantisipasi meluasnya omikron.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pada Kamis (16/12) menyampaikan, mobilitas masyarakat konsisten mengalami kenaikan sejak Juli berdasarkan data Google Mobility. 

Peningkatan mobilitas paling tinggi terdapat pada perjalanan menuju lokasi transit, yakni terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan. Wiku mengatakan, ini menunjukkan perjalanan menuju luar kota atau luar negeri mengalami peningkatan. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Para Ulama Sepakat Menolak Pemahaman Syiah Imamiyyah

Syiah Imamiyyah adalah Syiah 12 Imam, disebut juga Syiah Rofidhoh. Inilah paham syiah yang menjadi dasar Negara Iran sekarang ini. Dan paham tersebut merupakan paham syiah paling radikal dan ekstrim dibandingkan dengan paham syiah lainnya.

Sungguh di samping paham mereka berpengaruh buruk pada kerukunan umat Islam, dia juga mengancam kesatuan sebuah Negara, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah kelam mereka, semoga Allah menjaga NKRI dari makar mereka, amin.

Oleh karenanya, para ulama Ahlussunnah 4 madzhab menolak keras paham ini, sebagaimana dijelaskan dalam nukilan-nukilan berikut ini:

Pendapat imam pertama, Abu Hanifah (wafat 150 H) :

“Madzhab Imam Abu Hanifah: bahwa orang yang mengingkari kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq –rodhiallohu anhu-; maka dia kafir. Begitu pula orang yang mengingkari kekhilafahan Umar bin Khottob –rodhiallohu anhu-…

Masalah ini telah disebutkan dalam kitab-kitabnya (madzhab hanafi), seperti dalam kitab Al-Ghoyah karya Assaruji, kitab Fatawa Zhohiriyyah dan Badi’iyyah, dan kitab Al-Ashl karya Muhammad bin Hasan.

Dan yangg jelas, mereka mengambil keterangan ini dari imam mereka Abu Hanifah –rodhiallohu anhu-, dan beliau adalah orang yang PALING TAHU tentang kelompok syiah, karena beliau adalah penduduk Kufah yang merupakan tempat munculnya paham Rofidhoh” (Oleh: Imam Taqiyyuddin Assubki, dalam kitabnya: Fatawa Subki, 2/587).

Pendapat imam kedua, Malik bin Anas (wafat 179 H):

Imam Malik –rohimahulloh– mengatakan: “Orang yang mencela para sahabat Nabi -shollallohu alaihi wasallam- tidak memiliki bagian dalam Islam” (Assunnah, karya Abu Bakar bin Khollal, 3/493).

Pendapat imam ketiga, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (wafat 204 H) :

Imam Asy Syafi’i –rohimahulloh– mengatakan: “Siapapun yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan seorang imam (kholifah), maka dia adalah seorang yang berpaham Rofidhoh” (Siyaru A’lamin Nubala’, karya: Adz-Dzahabi, 10/31).

Beliau juga mengatakan: “Aku tidak melihat seorang pun dari pengikut paham sesat; lebih pendusta dalam pengakuannya dan lebih pembohong dalam persaksiannya, melebihi kelompok Rofidhoh” (Al Intiqo, karya Ibnu Abdil Bar, hal: 79).

Pendapat imam keempat, Ahmad bin Hambal (wafat 241 H):

Abdulloh putra Imam Ahmad mengatakan: aku pernah bertanya kepada ayahku, siapakah kelompok Rofidhoh itu?, beliau menjawab: “Orang yg mencela dan mengecam Abu Bakar dan Umar”. (Assunnah, karya: Abu Bakar bin Khollal, 3/492).

Abu Bakar al-Marrudzi mengatakan: Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar, dan Aisyah? Maka beliau menjawab: “Aku menganggapnya tidak berada di atas Islam”. (Assunnah, karya: Abu Bakar bin Khollal, 3/493).

Bahkan Imam As Sam’aani –rohimahulloh– (wafat: 562 H) mengatakan: “Umat Islam telah ber-ijma’ SEPAKAT tentang kafirnya Syiah Imamiyyah, karena mereka meyakini sesatnya para sahabat Nabi, mengingkari ijma’nya mereka, dan menyandarkan kepada mereka hal-hal yg tidak pantas bagi mereka” (Al-Ansab, karya: Assam’aani, 6/365).

Semoga bermanfaat, dan menjadi masukan bagi pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak lain, agar KESATUAN Indonesia tetap utuh, dan kaum muslimin terjaga akidahnya dengan baik.

***

Penulis: Ust. Musyafa Ad Darini, Lc., MA.

Sumber: https://muslim.or.id/25405-para-ulama-sepakat-menolak-pemahaman-syiah-imamiyyah.html

Nama-Nama Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bag. 2)

Apakah Khidir itu Nama Seorang Nabi atau Seorang Wali?

Terdapat satu masalah penting, yaitu apakah Khidir itu termasuk Nabi atau wali? Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa Khidir itu termasuk Nabi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16), juga dipilih oleh Abul ‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim, 6: 209), Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16), Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahumullah.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “(Termasuk perkara) yang kita tidak boleh (berpendapat) abstain adalah penegasan tentang kenabian Khidir.” (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 162)

Para ulama tersebut berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi: 65)

Yang dimaksud dengan kata “rahmat” dalam ayat tersebut adalah “kenabian” (an-nubuwwah). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?” (QS. Az-Zukhruf: 32)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “(Yang dimaksud dengan kata) ‘rahmat’ dalam ayat ini adalah an-nubuwwah (kenabian).” (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16)

Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. (QS. Al-Kahfi: 82)

Ayat ini merupakan dalil tegas yang menunjukkan kenabian Khidir ‘alaihissalam. Dalam ayat ini, Khidir mengingkari perbuatannya berupa membunuh anak kecil dan menenggelamkan kapal itu berasal dari kemauannya sendiri. Akan tetapi, apa yang diperbuat itu hanyalah berasal dari perintah dari Allah Ta’ala. Dan perintah Allah Ta’ala semacam itu hanyalah bersumber dari wahyu, dan bukan sekedar bersumber dari ilham.

Apa yang diperbuat oleh Khidir tersebut juga termasuk dalam ilmu gaib yang tidak mungkin diketahui oleh siapa pun, kecuali Allah Ta’ala semata. Perkara ini termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib. Maka, Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya. Maka, sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)

Abul ‘Abbas Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Yang dzahir (makna yang lebih mendekati, pent.) dari rangkaian kisah Khidir dan juga memperhatikan keadaannya, disertai dalil firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri”, bahwa (Khidir) adalah seorang Nabi yang diberi wahyu berupa taklif (beban syariat) dan hukum-hukum.” (Al-Mufhim, 6: 209)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri”,  menunjukkan kenabian Khidir. Bahwa Khidir diberi wahyu berupa taklif dan hukum-hukum (syariat), sebagaimana diwahyukan pula kepada para Nabi ‘alaihimush shalatu wassalam. Akan tetapi, Khidir bukanlah Rasul.” (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 28)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Khidir berani membunuh anak kecil tersebut. Dan hal itu tidak mungkin terjadi, kecuali berdasarkan wahyu yang disampaikan kepadanya dari sisi Allah Ta’ala. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabian Khidir dan juga bukti nyata tentang kemaksuman Nabi Khidir. Hal ini karena seorang wali tidak boleh berinisiatif membunuh jiwa manusia semata-mata hanya berdasarkan pemikirannya. Karena bisikan yang ada dari dalam hatinya tidaklah maksum. Karena berdasarkan kesepakatan (para ulama, pent.), (bisikan itu) bisa saja salah.”  (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 162)

Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Di antara dalil yang paling jelas menunjukkan bahwa “rahmat” dan “ilmu laduni” yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada hamba-Nya Khidir adalah melalui jalan kenabian (an-nubuwwah) dan wahyu adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” Maksudnya, apa yang aku lakukan ini hanyalah berasal dari perintah Allah Ta’ala. Sedangkan perintah Allah Ta’ala hanyalah bisa terwujud melalui jalan wahyu. Karena tidak ada jalan untuk mengetahui perintah dan larangan Allah, kecuali dengan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Lebih-lebih membunuh jiwa yang pada asalnya tidak boleh dibunuh dan menenggelamkan kapal milik orang lain dengan melubanginya. “ (Adhwa’ul Bayan, 3: 323)

Jika ada yang bertanya, bisa jadi hal itu didapatkan melalui ilham, dan bukan melalui wahyu? Maka, jawabannya adalah sudah menjadi ketetapan dalam ilmu ushul bahwa ilham yang dimiliki para wali itu tidak boleh dijadikan sebagai dalil atas apapun karena wali itu tidaklah maksum. Juga tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya berdalil dengan ilham. Bahkan, yang ada adalah dalil yang menunjukkan tidak boleh berdalil dengan ilham. (Lihat Adhwaul Bayaan, 3: 323)

Para ulama yang mengatakan bahwa Khidir itu Nabi juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً ؛ قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً ؛ وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْراً ؛ قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً ؛ قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً

“Musa berkata kepada Khidhr, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata, ‘Insyaallah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata, ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’ (QS. Al-Kahfi: 66-70)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Seandainya Khidir itu seorang wali dan bukan seorang Nabi, Nabi Musa ‘alaihis salaam tidak mungkin berbicara kepada Khidir (dengan perkataan) semacam itu. Musa juga tidak akan menjawab Khidir dengan jawaban semacam itu. Bahkan, Nabi Musa meminta agar bisa membersamai Khidir untuk bisa mendapatkan ilmu yang Allah khususkan kepada Khidir dan tidak dia dapatkan sebelumnya. Seandainya Khidir itu bukan seorang Nabi, maka dia tidaklah maksum. Dan tidak mungkin bagi Nabi Musa, yang merupakan Nabi dan Rasul yang agung, yang jelas maksum, dan memiliki motivasi besar (untuk mencari ilmu, pent.), untuk mempelajari ilmu dari seorang wali yang tidak maksum.” (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 30)

Demikian pula kabar dari Khidir bahwa anak kecil yang dia bunuh itu akan tumbuh dewasa dalam kekafiran. Ini termasuk berita gaib yang tidak mungkin diketahui kecuali melalui jalan kenabian dan wahyu.

Pendapat kedua, adalah pendapat yang menyatakan bahwa Khidir itu adalah wali dan bukan Nabi. Di antara ulama yang berpendapat yang kedua ini adalah Abu ‘Ali bin Abu Musa (dari ulama Hanabilah), Abu Bakr Al-Anbari, dan Abul Qasim Al-Qusyairi. (Lihat Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 24)

Dan bisa jadi argumentasi utama mereka adalah al-manaamaat. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa al-manaamaat itu bukan hujjah dalam syariat.

Sebagian orang yang meyakini bahwa Khidir adalah seorang wali kemudian menjadikan kisah Khidir ini sebagai alasan bahwa derajat kewalian itu lebih tinggi daripada derajat kenabian. Tentu saja hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan telah kami jelaskan sebelumnya di tulisan yang lain di tautan ini.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Perlu diperhatikan bahwa mayoritas dari mereka mengunggulkan wali di atas Nabi, -menurut persangkaan mereka- baik secara mutlak atau unggul (lebih utama) dari sebagian sisi. Mereka menyangka bahwa dalam kisah Khidir bersama Nabi Musa ‘alaihissalam yang terdapat dalam surat Al-Kahfi adalah dalil yang mendukung pendapat mereka.”  (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 25)

Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang sahih adalah pendapat pertama yang menyatakan bahwa Khidir adalah seorang Nabi berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan. Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Rumah Kasongan, 7 Jumadil Ula 1443/12 Desember 2021

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/71059-nama-nabi-dan-rasul-dalam-alquran-assunnah-bag-2.html

Visi Nabi Muhammad; Menyebarkan Rahmat Bagi Alam Semesta

Islam adalah agama penuh kasih. Dalam ajaran Islam, seorang muslim dituntut untuk menyayangi dan menebarkan cinta pada sesama makhluk hidup. Baik itu tumbuhan, hewan, dan manusia dan mahluk lainnya, termasuk jin dan malaikat.

Ajaran kasih sayang , yang ada dalam Islam itu dipraktikkan langsung oleh Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Tingkah laku Nabi, senantiasa menunjukkan kasih sayang terhadap alam semesta. Fakta itu mendapatkan legitimasi langsung dari Al-Qur’an selaku kitab suci umat Islam.

Allah berfirman dalam Q.S al Anbiya/21:107;

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

Menanggapi ayat ini, Syekh Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin Suyuthi mengatakan dalam Tafsir Al Jalalain, bahwa yang dimaksud ayat ini adalah kasih sayang Nabi Muhammad tak hanya pada makhluk hidup semata, tetapi juga pada alam semesta, mencakup jin dan manusia. Itulah misi utama Islam diturunkan oleh Allah ke atas dunia.

Pada sisi lain Imam Al-Qurthubi, dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran, dengan mengutip sebuah riwayat yang bersumber dari Ibn ‘Abbas, menggambarkan kemuliaan dan kasih sayang Nabi Muhammad pada alam semesta. Al Qurthubi menyatakan:

كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحْمَةً لِجَمِيعِ النَّاسِ فَمَنْ آمَنَ بِهِ وَصَدَّقَ بِهِ سَعِدَ، وَمَنْ لَمْ يُؤْمِنْ بِهِ سَلِمَ مِمَّا لَحِقَ الْأُمَمَ مِنَ الْخَسْفِ وَالْغَرَقِ

Nabi Muhammad saw adalah rahmat bagi seluruh manusia. Maka siapa yang beriman dan membenarkannya akan selamat dan siapa yang tidak beriman juga akan selamat dari apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang terbenam dan tenggelam,”.

Menurut Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah,  ayat ini menjelaskan pribadi  Nabi Muhammad yang merupakan rahmat bagi alam semesta, sesuai dengan visi dan misi ajaran Islam. Ia menjelaskan bahwa kepribadian Rasulullah adalah rahmat, di samping ajaran-ajaran yang Nabi sampaikan dan terapkan pada umatnya.

Quraish Sihab mengatakan dalam Tafsir al Misbah, Jilid VIII, halaman 133, sebagai berikut; “Rasul saw adalah rahmat, bukan saja kedatangan beliau membawa ajaran, tetapi sosok dan kepribadian beliau adalah rahmat yang diangurehkan Allah kepada beliau.

Ayat ini menjelaskan bahwa “Kami tidak mengutus engkau untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau agar engkau menjadi rahmat bagi seluruh alam,”

Demikian penjelasan Islam, sebagai rahmat dari Allah bagi alam semesta, bukan hanya manusia, tetapi seluruh makhluk hidup. Bukan pula untuk makhluk yang kasat mata, Islam juga seyogianya menjadi makhluk yang ghaib. Itulah asas utama Islam—menjadi rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta.

BINCANG SYARIAH

Al-Jalil, Allah yang Mahaluhur

Allah yang menunjukkan bahwa Dia-lah yang memiliki keagungan

Di dalam Al-Quran tidak ada sebutan “Al-Jalil” untuk nama Allah. Hanya saja, Al-Quran menyebut dua kali kata “dzul-Jalali wal-Ikram”. Yaitu, dalam QS Ar-Rahman 27 dan 78. Dari sinilah kemudian muncul sebutan Al-Jalil untuk sifat Allah.

Al-Jalil, sebagaimana dalam Lisan Al-‘Arab, adalah salah satu sifat-sifat Allah yang menunjukkan bahwa Dia-lah yang memiliki keagungan dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mengacu kepada kesempurnaan sifat. Al-Jalil berasal dari kata “al-jillah” yang berarti “unta besar”.

Menurut Ar-Raghib dalam Mufradat Alfazhil Quran, ada perbedaan antara al-jalaalah dan al-jalal. Al-jalaalah adalah kekuasaan yang besar, sedangkan al-jalaalu tanpa ta marbutah adalah sebuah sifat yang memang dikhususkan kepada Allah dan tidak bisa digunakan untuk selain-Nya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS. Ar-Rahman 27, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.”

Makna Al-Jalil menunjukkan keagungan kekuasaan-Nya dan kebesaran urusan-Nya. Dia-lah al-Jalil yang membuat kecil setiap keagungan selain-Nya dan membuat rendah setiap yang tinggi selain-Nya. Meresapi makna Al-Jalil berarti memandang dan menempatkan Allah dalam kehidupan dunia ini. Urusan agama Allah adalah di atas segalanya. Keyakinan dan segala sikap perilaku harus bersandar pada ketentuan Allah. Tidak ada perbuatan kecil, jika diterima oleh Allah yang Maha Luhur dan Maha Besar.

Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Termasuk bentuk pengagungan kepada Allah adalah memuliakan seorang muslim yang telah beruban, para pembaca Al-Qur’an yang tidak bersikap berlebihan dan tidak pula bersikap jauh dari bacaannya, serta memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud) Dalam Hadits Qudsi juga disebutkan,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: المُتَحَابُّونَ فِي جَلَالِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ [رواه الترمذي]

Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, maka mereka itu akan memiliki mimbar-mimbar dari cahaya yang diinginkan pula oleh para nabi dan para syahid.” (HR. Tirmidzi)

Seseorang yang meyakini Allah Yang Maha Luhur dan Maha Besar berarti mencintai Allah di atas segalanya. Ia akan lebih mengutamakan ibadah kepada Allah daripada sibuk dengan pekerjaannya. Ia akan mendahulukan urusan Allah dan Hari Akhir ketimbang dunianya. Dan, ia tidak akan memperbudak dirinya untuk sekedar urusan dunia, apalagi menghiba dan melacurkan diri untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Wallahu a’lamu.

Bahrus Surur At-Tibyaniy, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah Sumenep

Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019

KHAZANAH REPUBLIKA