Tafsir Ringkas Surah Al-Fatihah (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.

Tafsir surah Al-Fatihah ayat kedua

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan pemelihara seluruh alam” (QS. Al-Fatihah: 2).

(ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ) artinya segala pujian dan syukur yang sempurna hanya hak Allah Ta’ala. Hanya ditujukan kepada Allah Ta’ala semata. Pada kata al-hamdu terdapat alif lam yang menunjukkan seluruh bentuk pujian dan syukur yang sempurna. Imam ahli tafsir Ath-Thabari Rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya tentang makna alif lam ketika terdapat pada kata hamdu dengan mengatakan,

جميع المحامد والشّكر الكامل للّه

“Seluruh pujian dan syukur yang sempurna hanya untuk Allah semata.”

Allah dipuji dengan pujian yang sempurna dari segala sisi. Tidak ada aib sedikit pun aib bagi Allah Ta’ala dari segala sisi.

Al-hamdu sendiri memiliki makna,

وصف المحمود بالكمال مع المحبة والتعظيم

“Mensifati yang dipuji dengan kesempurnaan (dzat, sifat, dan perbuatan-Nya) disertai dengan mencintai-Nya dan mengagungkan-Nya.”

Dengan demikian, hakikat (ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ) adalah memuji Allah dengan pujian yang sempurna, disertai dengan mencintai-Nya dan mengagungkan-Nya. Itu semua didasari dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala itu sempurna, baik dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada satupun yang sama dengan-Nya.

Buah penghayatan ayat kedua

Buah menghayati ayat kedua adalah menghadirkan di dalam hati rasa cinta kepada Allah yang Mahasempurna dzat, sifat, dan perbuatan-Nya.

(رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ) artinya pemelihara alam semesta dan seluruh makhluk.

Dua bentuk pemeliharaan Allah terhadap makhluk

Pertama, pemeliharaan umum

Pemeliharaan umum adalah pemeliharaan Allah Ta’ala terhadap seluruh makhluk-Nya dengan menciptakan mereka dan memberi rezeki kepada mereka, sehingga mereka bisa hidup di dunia ini.

Kedua, pemeliharaan khusus

Pemeliharaan Allah Ta’ala yang khusus ditujukan bagi wali-wali-Nya dan orang-orang yang dicintai-Nya. Allah Ta’ala menganugerahkan keimanan, taufik, dan penjegaan bagi mereka dari segala hal yang merusak keimanan mereka. Barangkali inilah rahasia mengapa kebanyakan doa para nabi ‘Alaihimush shalatu was salam itu memakai lafaz Ar-Rabb. Misalnya, menggunakan lafaz Rabbana atau Rabbi. Hal ini karena isi doa-doa mereka adalah masalah kemakmuran iman.

Makna Ar-Rabb

Makna Ar-Rabb mencakup tiga makna, yaitu: Sang Pencipta, Sang Pemilik, dan Sang Pengatur seluruh makhluk.

Kesimpulan tafsir ayat kedua

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Segala kesempurnaan pujian dan syukur hanya ditujukan kepada Allah semata, yang memelihara seluruh makhluk. Pujian dan syukur tersebut disertai dengan mencintai-Nya dan mengagungkan-Nya. Itu semua didasari dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala Mahasempurna dari segala sisi.

Tafsir surat Al-Fatihah ayat ketiga

ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Fatihah: 3).

Jika ayat ini digabungkan dengan ayat sebelumnya “(2) Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan pemelihara seluruh alam. (3) yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, maka menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah Ta’ala.

Pada dua ayat ini, Allah Ta’ala disifati dengan tiga sifat, yaitu:

Pertama, Tuhan pemelihara seluruh alam;

Kedua, yang Maha Pengasih;

Ketiga, yang Maha Penyayang.

Dengan demikian, Allah Ta’ala adalah Tuhan pemelihara seluruh alam, yang Maha Pengasih, dan yang Maha Penyayang.

Digandengkannya Rububiyyah (pemeliharaan) Allah dan rahmat (kasih sayang) Allah dalam dua ayat secara berturut-turut memiliki faedah bahwa Rububiyyah Allah dibangun di atas dasar kasih sayang-Nya. Allah Ta’ala memelihara alam semesta dan mengatur seluruh makhluk dengan kasih sayang-Nya yang meliputi seluruh makhluk.

Dua bentuk kasih sayang (rahmat) Allah

Pertama, rahmat Allah Ta’ala yang umum

Secara umum, bentuk kasih sayang Allah Ta’ala adalah dengan menganugerahkan kenikmatan duniawi kepada seluruh makhluk-Nya, sehingga mereka dapat hidup di dunia ini. “Seluruh makhluk” di sini meliputi semua manusia, baik manusia beriman maupun kafir, binatang, dan makhluk ciptaan Allah yang lain. Sehingga rahmat yang bersifat umum ini tidak menunjukkan kecintaan Allah Ta’ala kepada orang yang mendapatkannya.

Kedua, rahmat Allah Ta’ala yang khusus

Bentuk kasih sayang Allah yang khusus adalah menganugerahkan nikmat iman pada kehidupan hamba-Nya. Nikmat iman ini berupa ilmu syar’i dan amal saleh. Allah Ta’ala juga memberikan kehidupan duniawi yang bermanfaat untuk keimanan hamba-Nya. Rahmat yang bersifat khusus ini hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Rahmat khusus ini menunjukkan kecintaan Allah Ta’ala kepada orang yang mendapatkannya.

Buah penghayatan ayat ketiga

Buah menghayati ayat ketiga ini adalah menghadirkan di dalam hati pembacanya rasa harap kepada Allah Ta’ala agar mencurahkan kasih sayang untuk dirinya, demi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.

Kesimpulan tafsir ayat ketiga

ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Allah Ta’ala adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah Ta’ala menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan rahmat umum, dan menyayangi hanya hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rahmat khusus.

Tafisr surah Al-Fatihah ayat keempat

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

Pemilik hari pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 4).

(الدِّيْنِ) bisa bermakna pembalasan dan bisa bermakna amal ibadah (pelaksanaan agama Islam). Sedangkan dalam ayat yang mulia ini, (الدِّيْنِ) bermakna pembalasan. Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma [1]. Sehingga ayat yang agung ini menunjukkan bahwa Allah (الدِّيْنِ) disifati dengan sifat pemilik hari pembalasan.

Dengan demikian, dari ayat kedua, ketiga dan keempat, Allah (الدِّيْنِ) disifati dengan Tuhan pemelihara seluruh alam, yang Maha Pengasih, yang Maha Penyayang, dan pemilik hari pembalasan.

Rahasia dikhususkannya kepemilikan Allah terhadap hari pembalasan

Allah Ta’ala adalah pemilik segala sesuatu, baik hari pembalasan maupun selainnya. Namun, dikhususkannya kepemilikan Allah Ta’ala terhadap hari pembalasan karena sangat tampak kepemilikan dan kekuasan Allah Ta’ala atas segala sesuatu saat hari pembalasan. Hal ini sebagaimana tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma terhadap ayat ini yang disebutkan dalam tafsir Ath-Thabari Rahimahullah,

“Tidak ada satu pun selain Allah yang memiliki keputusan hukum di hari pembalasan tersebut, seperti raja mereka sewaktu di dunia.”

Beliau Radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

“Hari perhitungan amalan makhluk, yaitu hari kiamat. Allah membalas mereka sesuai dengan amalan mereka. Jika amalan mereka baik, maka baik pula balasannya. Namun, jika amalan mereka buruk, maka buruk pula balasannya, kecuali jika hamba yang Allah Ta’ala maafkan. Sehingga semua urusan kembali kepada keputusan-Nya.”

Buah penghayatan ayat keempat

Buah menghayati ayat keempat adalah menghadirkan di dalam hati rasa takut kepada Allah Ta’ala. Khawatir dirinya disiksa di hari pembalasan disebabkan oleh dosa-dosanya.

Faedah dari ayat kedua, ketiga, dan keempat

Ayat kedua membuahkan ibadah cinta kepada Allah Ta’ala. Ayat ketiga membuahkan ibadah harap kepada Allah Ta’ala. Ayat keempat membuahkan ibadah takut kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian, menghayati Al-Fatihah membuahkan tiga rukun ibadah hati dan penggeraknya, yaitu: ibadah berupa rasa cinta, harap, takut kepada Allah Ta’ala semata.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata,

اعلم أن محركات القلوب إلى الله عز وجل ثلاثة: المحبة، والخوف، والرجاء. وأقواها المحبة، وهي مقصودة تراد لذاتها؛ لأنها تراد في الدنيا والآخرة بخلاف الخوف فإنه يزول في الآخرة

“Ketahuilah, bahwa penggerak hati menuju kepada Allah ‘Azza wa jalla itu ada tiga, yaitu: cinta, takut, dan harap. (Penggerak) yang terkuat adalah cinta. Cinta (kepada Allah) itu menjadi tujuan karena bentuknya ada di dunia dan di akhirat. Lain halnya dengan takut. Rasa takut kepada Allah Ta’ala akan hilang di akhirat (surga).”

Kesimpulan tafsir ayat keempat

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

Allah Ta’ala adalah Tuhan pemilik hari pembalasan. Allah Ta’ala membalas mereka sesuai dengan amalan mereka. Jika amalan mereka baik, maka baik pula balasannya. Namun jika amalan mereka buruk, maka buruk pula balasannya, kecuali hamba yang Allah Ta’ala maafkan. Sehingga semua urusan kembali kepada keputusan-Nya. Karena hanya Allah Ta’ala pemilik hari pembalasan.

Tafisr surah Al-Fatihah ayat kelima

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5).

Kaidah “mendahulukan sesuatu yang haknya diakhirkan menunjukkan kepada pembatasan”

Susunan (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) pada asalnya adalah نعبدك, dengan mengakhirkan objek setelah kata kerjanya. Namun dalam ayat yang mulia ini, susunan kalimatnya dibalik, yaitu objek didahulukan daripada kata kerjanya. Hal ini menunjukkan faedah pembatasan yang diterjemahkan dengan, “hanya kepada Engkau-lah kami beribadah”.

Demikian pula (إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) pada asalnya نستعين بك, dengan mengakhirkan objek setelah kata kerjanya. Namun dalam ayat yang mulia ini, susunan kalimatnya dibalik, yaitu objek didahulukan daripada kata kerjanya. Hal ini menunjukkan faedah pembatasan yang diterjemahkan dengan, “hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan”.

Di dalam pembatasan ini terdapat dua rukun tauhid, yaitu:

Rukun pertama, nafi (meniadakan sesembahan selain Allah Ta’ala);

Rukun kedua, itsbat (menetapkan satu-satunya sesembahan yang berhak disembah adalah Allah Ta’ala).

Inilah hakikat tauhid. Bahwa hanya kepada Allah-lah seluruh peribadatan ditujukan. Tidak mempersembahkan ibadah apa pun kepada selain-Nya. Salah satu bentuk ibadah adalah ibadah isti’anah (memohon pertolongan). Sehingga wajib memohon pertolongan (isti’anah) hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Definisi ibadah ditinjau dari jenis ibadah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mendefinisikan ibadah dalam kitab beliau Al-‘Ubudiyyah [2] dengan mengatakan,

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah suatu kata yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan, baik ibadah yang batin (di dalam hati) maupun ibadah yang dzahir (dengan anggota badan).”

Definisi ibadah ditinjau dari sisi perbuatan yang dilakukan seorang hamba

Syekh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan definisinya dengan,

التذلل لله – عز وجل – بفعل أوامره واجتناب نواهيه؛ محبة وتعظيماً

“Merendahkan diri kepada Allah ‘Azza wa jalla dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, disertai cinta dan mengagungkan-Nya” [3].

Dalam (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) terdapat pendahuluan ibadah daripada isti’anah. Hal ini dikarenakan alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, isti’anah dibutuhkan dalam setiap ibadah;

Kedua, mendahulukan hak Allah Ta’ala daripada makhluk;

Ketiga, mendahulukan tujuan (ibadatullah) sebelum sarana (isti’anah billah);

Keempat, mendahulukan ibadah secara umum daripada khusus.

Dalam (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) terdapat tujuan dan sarana yang paling mulia. Tujuan yang paling mulia tersebut adalah ibadah kepada Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja)” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

Sedangkan sarana yang paling mulia untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah Ta’ala semata.

Faedah penghayatan ayat kelima ini

Pertama, hidup kita adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Hal itu tidak bisa tercapai kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya.

Kedua, dalam ayat kelima ini terdapat dua dari tiga prinsip istikamah dalam beragama Islam. Pertama, ikhlas beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Murni dan bersih dari kesyirikan. Kedua, tawakal dan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala semata agar bisa beribadah hanya kepada-Nya. Sedangkan prinsip istikamah ketiga terdapat pada ayat keenam, yaitu Al-Mutaba’ah (meniti jalan lurus yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah kepada-Nya).

Catatan: ibadah kepada Allah tidak mungkin diterima kecuali jika disertai ikhlas dan mutaba’ah. Keduanya adalah syarat diterimanya amal ibadah. Begitu pun tidak mungkin amal ibadah bisa diterima kecuali dengan bertawakal dan mohon pertolongan kepada Allah Ta’ala semata.

Kesimpulan tafsir ayat kelima

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Tujuan hidup kita hanyalah beribadah kepada Allah dan hanya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala semata.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/72510-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-2.html

Rahasia di Balik Kata Mahasuci Sebagai Pembuka Ayat 1 Surat Al Isra

Surat Al Isra memuat tentang peristiwa Isra Miraj Rasulullah SAW

Perjalanan Isra dan Miraj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diabadikan dalam surat Al Isra. Surat ini memiliki 111 ayat dan ayat pertama memuji Allah SWT yang telah memperjalankan hamba-Nya Nabi Muhammad SAW.  

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Mahasuci Dia, yang telah memperjalankan hambanya di malam hari dari Masjiidil Haram ke Masjid Al Aqsha yang kami berkati sekelilingnya, karena hendak Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah Mahamendengar, Mahamelihat.” (QS Al Isra ayat 1) 

Prof Dr Hamka mengatakan, ayat ini menegaskan bahwa Tuhan Allah  SWT memang telah mengisrakan, memperjalankan di waktu malam, akan hamba-Nya Muhammad SAW dari Masjidil-Haram, yakni Makkah Al-Mukarramah, ke Masjid Al Aqsha, di Palestina. Al Aqsha, artinya yang jauh.  

“Perjalanan biasa dengan kaki atau unta dari Makkah ke Palestina itu ialah 40 hari,” kata Prof Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar. 

Di dalam ayat ini sudah bertemu susunan kata yang menunjukkan kesungguhan hal ini terjadi. Pertama dimulai dengan mengemukakan kemahasucian Allah SWT bahwasanya apa yang diperbuatnya Mahatinggi dari kekuatan alam.  

Mahasuci Dia, yang membelah laut untuk Musa, menghamilkan Maryam dan melahirkan Isa tidak karena persetubuhan dengan laki-laki. Sekarang Mahasuci Dia, yang memperjalankan Muhammad SAW ke masjid jauh di malam hari.  

Kata penegas yang ketiga di ayat ini ialah menyebut Muhammad SAW hamba-Nya. Hamba-Nya yang boleh diperbuat-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Maka jika dibaca ayat ini dengan renungan mendalam, memang jarang biasa terjadi.  

Tetapi tidak mustahil bagi Allah SWT Yang Mahasuci dan Maha-Agung, terhadap hamba-Nya yang telah dipilihNya.

Dalam ayat pun disebut bahwa Masjid Al Aqsha itu adalah tempat yang telah diberkati sekelilingnya. Karena di situlah nabi-nabi dan Rasul-rasul, berpuluh banyaknya, sejak Musa sampai Dawud dan Sulaiman alaihimussalam telah menyampaikan wahyu Tuhan.  

Ke situlah Nabi Muhammad SAW terlebih dahulu dibawa, lalu dipertemukan dengan arwah mereka itu sebelum beliau dimirajkan, diangkatkan ke langit.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Mona Haedari: Korban Pernikahan Anak dan KDRT

Republik Iran pada awal Februari lalu digemparkan oleh sebuah peristiwa laki-laki yang berkeliling kota Ahwaz sambil menenteng penggalan kepala seorang perempuan. Ialah Sajjad yang memenggal kepala istrinya, Mona Haedari yang menjadi korban pernikahan anak dan KDRT.

Pernikahan anak di negeri Iran, dikutip dari laman rferfl.org bahwa pada tahun 2020, pernikahan yang mellibatkan anak usia 10-14 tahun meningkat dibandingkan pada tahun 2019. Iran sendiri melegalkan pernikahan pada anak yang minimal masuk usia 13 untuk perempuan dan 15 untuk laki-laki. Beberapa aktivis HAM sudah menyampaikan kritik dan protes tentang kebijakan ini.

Dari laman BBC, diberitakan bahwa saat itu usianya sudah menginjak 17 tahun dan telah memiliki anak berusia 3 tahun bersama suaminya itu, Sajjad. Semasa usia pernikahan, Mona kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya. Ia sudah berusaha mencari pembelaan dari keluarganya, tapi tak ada tindakan apapun selain memintanya untuk tetap bertahan dan sabar.

Pada usianya yang masih belia, akhirnya ia mencari perlindungan lain di media sosial dan bertemu dengan seorang laki-laki yang berasal dari Turki. Tapi ternyata, laki-laki tersebut adalah seorang pemeras dan penipu. Mona diminta untuk menghubungi keluarganya untuk meminta sejumlah uang dan diancam akan dibunuh. Orang tuanya pun menebus Mona dan membawanya pulang ke Kota Ahwasz, Iran.

Berharap mendapat perlindungan dan suaminya bisa sadar tentang alasan Mona yang kabur dari rumah, Sajjad justru membunuh Mona karena terbakar api cemburu. Dibantu oleh kerabatnya, Sajjad membunuh Mona dan memenggal kepalanya. Lebih gilanya lagi, Sajjad dengan percaya diri berkeliling kota sambil membawa penggalan kepala istrinya sendiri.

Pernikahan Anak

Islam memang tidak membatasi usia pernikahan secara tekstual. Beberapa ulama mazhab juga berbeda pendapat tentang batas minimal usia pernikahan. Dalam buku “Perempuan, Islam, dan Negara” karya Buya Husein, disebutkan bahwa Imam Syafi’i menyebutkan usia minimal bagi perempuan adalah 15 tahun. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan 17 tahun, sementara Ibnu Syubrumah berpendapat 18 tahun.

Beberapa negara mayoritas muslim memiliki peraturan yang berbeda dalam Undang-Undang Perkawinan. Terlepas dari perbedaan peraturan dan batasan minimal usia pernikahan, hal yang harusnya menjadi nilai utama dalam usia perkawinan adalah kemaslahatan umum.

Pernikahan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah usia 15 tahun ternyata tidak menunjukkan kemaslahatan dalam beberapa aspek, seperti pendidikan, kecakapan bertindak, dan kemampuan fisik. Aspek-aspek ini harus diperhatikan.

Maka kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah) menjadi tujuan paling utama dalam menentukan usia pernikahan, bukan hanya untuk perempuan tapi juga laki-laki. Adapun ketetapan yang ditentukan oleh negara tidak memunculkan kontroversi. Sebagaimana kaedah fikih yang menyatakan, “Hukm al-hakim ilzam wa Yarfa’ al-Khilaf”, keputusan pemerintah atau pengadilan adalah mengikat dan menuntaskan kontroversi.

Islam Melarang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ada beberapa ayat yang menjadi legitimasi bagi laki-laki atau ulama untuk membenarkan tindakan kekerasan pada istri. Ayat tersebut adalah surat an-Nisa ayat 34:

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.

Buya Husein, dalam buku “Islam Agama Ramah Perempuan” melakukan pendekatan sosial pada ayat ini dengan melihat kondisi masyarakat Arab pada masa itu. Ayat ini hendak menceritakan pada masa itu, laki-laki dilebihkan atas kesempatan dan kemampuannya untuk memberikan nafkah. Pada ayat yang sama, perintah memukul menjadi pilihan paling terakhir saat istri tidak setia. Ayat ini, menurut Buya Husein mengajarkan rekonsiliasi sebagai solusi pertama dalam permasalahan rumah tangga.

Maka Alquran hendak mengajarkan kepada kita bahwa kekerasan fisik dan verbal tidak menjadi solusi atas permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga. Pemahaman ayat harus dilakukan dengan pendekatan yang kontekstual dan sosio-kultural hingga memahami ayat secara utuh. Wallahu a’lam.

BINCANG MUSLIMAH

Doa Berlindung dari Teman yang Licik

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ خَلِيلٍ مَاكِرٍعَيْنَهُ تَرَانِي وَقَلْبُهُ تَرْعَانِي ، إِنْ رَأَى حَسَنَةً دَفَنَهَا ، وَإِذَا رَأَى سَيِّئَةً أَذَاعَهَا

ALLAAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MIN KHOLIILIN MAAKIR
‘AINAHU TAROONII WA QOLBUHU TAR’AANII
IN RO-AA HASANATAN DAFANAHAA
WA IDZAA RO-AA SAYYI-ATAN ADZAA’AHAA

Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari teman yang licik
yang pandangannya tertuju padaku dan
hatinya merencanakan sesuatu yang buruk padaku.
Jika melihat kebaikanku ia menguburnya dan
jika melihat keburukanku ia menyebarkannya.

(HR. Thabrani)

Sumber

https://kalemtayeb.com/safahat/item/3189

Read more https://yufidia.com/6856-doa-berlindung-dari-teman-yang-licik.html

Sidratul Muntaha, Saat Rasulullah Melihat Rupa Asli Jibril

Sidratul Muntaha disebutkan sekali dalam Alquran yaitu pada surat An Najm ayat 14

Umat Islam akan memperingati Isra Mi’raj pada 27 Rajab 1443 Hijriyah atau bertepatan pada 28 Februari 2022. Secara harfiah, Isra Mi’raj berarti perjalanan malam Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian naik ke Sidratul Muntaha. 

Pakar Tafsir Quran yang juga Dosen Quranic Studies Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ustaz Syahrullah Iskandar menjelaskan kata Sidratul Muntaha disebutkan sekali dalam Alquran yaitu pada surat An Najm ayat 14. Sidrah berarti sejenis pohon rindang sedangkan Muntaha bermakna tempat terakhir. Secara kebahasaan gabungan keduanya bermakna tumbuhan atau pohon sidrah yang tak terlampaui. 

“Sidrah memang sejenis pohon yang kita di Indonesia mungkin menyebutnya dengan pohon bidara. Tentu saja, hakikatnya berbeda dengan yang kita ketahui ataupun bayangkan. Keterbatasan pengetahuan manusia tidak akan mampu menjangkau hakikatnya. Dalam sejumlah riwayat digambarkan daunnya lebar dan rindang, dan keindahannya sulit untuk dibahasakan. Sejumlah riwayat shahih lainnya menyatakan bahwa Sidratul Muntaha berada di langit ke enam, ada juga yang menyebutnya di langit ketujuh. Alquran tidak menjelaskan secara tegas tentang Sidratul Muntaha ini, kecuali dari sejumlah riwayat shahih tentangnya. Kita harus meyakini bahwa Sidratul Muntaha itu ada, namun mengetahui deksripsi detailnya bukanlah sebuah keharusan,” kata ustaz Syahrullah yang juga pengasuh pesantren Bayt Alquran Jakarta.

Imam al-Nawawi menjelaskan alasan penamaan dengan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat berakhir sampai di tempat itu, dan tidak ada lagi yang melampauinya kecuali nabi Muhammad SAW. Alquran pun menjelaskan Rasulullah tidak mengalihkan pandangan ke arah yang lain karena menyaksikan keindahan di dalamnya.

Ustaz Syahrullah menjelaskan di Sidratul Muntaha terdapat Jannah Ma’wa, sebuah tingkatan surga yang indah nan lengkap tiada tara yang disediakan bagi hamba Allah yang bertakwa.   Ibadah shalat adalah satu-satunya kewajiban kepada Rasulullah secara lisan (musyafahah) langsung di tempat itu.  Selain itu di Sidratul Muntaha  Rasulullah  melihat Jibril dengan rupa aslinya. 

Tentang apakah Rasul melihat Allah ketika mendapat perintah shalat, Ustaz Syahrullah mengatakan terdapat perbedaan pendapat. Seperti Ibn Abbas mengiyakan, sedangkan Aisyah menolaknya. Syekh Mutawalli al-Sya’rawi menjelaskan bahwa Rasulullah  hanya melihat cahaya secara langsung, karena melihat Allah secara hakiki itu hanya terjadi di akhirat kelak. Adapun Rasulullah melihat Allah dengan mata hatinya semasa di dunia, itu dapat terjadi. 

Sementara itu, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah berjumpa dengan nabi dan rasul lainnya Ketika dimi’rajkan, seperti Nabi Adam di langit pertama, Yahya dan Isa di langit kedua, Nabi Yusuf di langit ketiga, Nabi Idris di langit keempat, Nabi Harun di langit kelima, Nabi Musa di langit keenam, dan Nabi Ibrahim di langit ketujuh. 

“Harus kita ingat bahwa para nabi dan rasul, meski lahir dari ibu yang berbeda, mereka bersaudara sama penyeru ketauhidan kepada Allah dan meneladankan kebaikan. Pengalaman mengemban dakwah oleh para nabi dan rasul sebelumnya adalah pelajaran bagi Nabi Muhammad. Itulah salah satu hikmah kisah nabi-nabi di dalam Alquran, agar menjadi motivasi bagi diri Rasulullah dalam menghadapi tantangan menebar dakwah Islam,” kata dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Isra Miraj Rasulullah SAW Bukan Mimpi dan Khayalan, Ini Penjelasan Buya Hamka

Isra Miraj merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah SWT

Peristiwa Isra dan Miraj merupakan bentuk dari kuasa Allah SWT untuk memperlihatkan ayat-ayat-Nya kepada Rasulullah Muhammad SAW. 

Ayat mahapenting sekali di antara banyak ayat itu ialah mirajnya ke langit itu. Allah SWT berfirman dalam surat Al Isra ayat 1: 

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Mahasuci Dia, yang telah memperjalankan hambanya di malam hari dari Masjiidil Haram ke Masjidil Aqsa yang kami berkati sekelilingnya, karena hendak Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah Mahamendengar, Mahamelihat.” (QS Al Isra ayat 1)

Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar, mengatakan Dia adalah Mahamendengar dan Mahamelihat akan seluruh alam yang telah dijadikan-Nya.

Pendengaran dan penglihatNya itu meliputi bagi semuanya. Apabila direnungkan bunyi ayat ini lebih dalam, dengan penuh iman akan kekuasaan Tuhan, tidak akan ragu lagi bahwa yang dimaksud dengan hamba-Nya itu ialah diri Muhammad SAW yang hidup, yang terdiri daripada tubuh dan nyawa. 

Sebab itu maka dia Isra dan Miraj pastilah dengan tubuh dan nyawa. Bukan mimpi dan bukan khayalan. Apalagi kemudian beliau sendiri menjelaskan pula dengan buah tuturnya (hadits) apa yang beliau alami itu. 

Hadits-hadits yang sahih dari kitab-kitab sunnah menerangkan bahwa kejadian itu ialah pada malam 27 Rajab, tahun ke-11 daripada kerasulan beliau. 

Beliau sedang tidur di rumah Ummi Hani’ binti Abu Thalib, salah seorang muminat dari keluarga beliau. Beliau sembahyang dahulu di waktu Isya setelah itu beliau tidur. 

Setelah hari Subuh beliau ceritakan kepada Ummi Hani’  bahwa tadi malam beliau diperjalankan dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis. Maka berkatalah Ummi Hani’, “Wahai Nabi Allah! Janganlah engkau ceriterakan hal ini kepada orang, nanti engkau didustakannya dan disakitinya.” Beliau menjawab, “Demi Allah! Mesti aku ceritakan.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Sholat dan Tekad untuk Tidak Masbuk

Seorang karyawan mungkin akan sangat khawatir ketika ia terlambat masuk kantor sebab ancaman pemotongan gaji yang akan ia hadapi. Atau ketika terlambat beberapa saat dari waktu rapat bersama atasan. Hal tersebut dapat menjadikannya merasa sangat bersalah dan menyesal.

Sebuah sikap manusiawi bagi orang-orang yang idealis dan memegang teguh integritas demi sebuah pengabdian dalam pekerjaan. Tapi, adakah sikap yang demikian juga ia miliki saat berurusan dengan Rabbnya? Apakah kekhawatiran yang sama juga dirasakan saat merasa akan terlambat memenuhi panggilan muazin?

Saudaraku, alangkah indahnya jika kita telah terbiasa untuk selalu menjalankan perintah Allah Ta’ala dengan tepat waktu. Setelah mengetahui dua syarat diterimanya ibadah (ikhlas dan ittiba‘), sudah selayaknya kita kemudian memperhatikan tentang bagaimana diri kita mampu untuk disiplin terhadap waktu pelaksanaan ibadah tersebut. Terkhusus untuk salat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)

Dari Ummu Farwah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, amalan apakah yang paling afdhol (utama). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

الصَّلاَةُ فِى أَوَّلِ وَقْتِهَا

Salat di awal waktunya.” (HR. Abu Daud no. 426)

Allah Ta’ala berfirman,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 238)

Masbuk, antara Lalai dan Uzur

Kembali pada kondisi si karyawan. Dengan sistem komputerisasi yang ada saat ini, rasa-rasanya tiada lagi yang namanya toleransi jika ia terlambat untuk absensi dengan alasan lupa atau sakit, tetapi tidak sempat mengurus surat keterangan dari dokter kepada atasan. Maka, dalam kondisi tersebut otomatis gaji pun dipotong oleh sistem.

Saudaraku, apakah sistem tersebut juga berlaku dalam hubungan ibadah dengan Allah?

Perhatikanlah analogi berikut. Kita ambil contoh seorang yang masbuk, yaitu orang yang tidak dapat memulai salat bersama imam. Dengan istilah lain, masbuk adalah orang yang menemui Allah Ta’ala dengan tidak tepat waktu.

Ada dua kondisi seorang yang masbuk, sengaja dan tidak disengaja. Orang-orang yang sengaja melalaikan salat tanpa adanya uzur syar’i  tentu saja mereka akan mendapatkan kemurkaan Allah Ta’ala.

فَوَیۡلࣱ لِّلۡمُصَلِّینَ ٱلَّذِینَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ

Celakalah bagi orang yang salat! Yaitu mereka yang lalai dalam salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Ibnu Jarir rahimahullah dalam kitab Tafsir Al-Thabari berkata, “Dari Al-Auza’i, dari Musa bin Sulaiman, dari Al-Qosim bin Mukhoymiroh mengenai firman Allah Ta’ala,

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ

Dan datanglah orang-orang setelah mereka yang menyia-nyiakan salat.’ (QS. Maryam: 59)

Al-Qosim berkata bahwa yang dimaksud ayat ini, ‘Mereka yang menyia-nyiakan waktu salat. Sedangkan jika sampai meninggalkan salat, maka kafir.’”

Sungguh merugi orang yang dengan sengaja melalaikan salat padahal untuk perkara duniawi seperti urusan pekerjaan justru ia mampu bergegas dan tepat waktu. Sementara perkara ibadah yang berhadapan langsung dengan Rabbnya ia sia-siakan. Na’udzubillah.

Adapun orang yang tidak sengaja atau orang yang memiliki uzur syar’i, maka insyaallah baginya rukhsoh atas keterlambatannya melaksanakan salat. Udzur syar’i yang dimaksud di sini adalah alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara syariat seperti tanpa ada maksud (niat) terlambat salat sebelumnya, kemudian lupa atau tertidur, baik disebabkan oleh kondisi sakit maupun dalam keadaan safar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (balig), dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih)

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari no. 2996)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِهِ اكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيقاً حَتَّى أُطْلِقَهُ أَوْ أَكْفِتَهُ إِلَىَّ

Seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan pada malaikat yang bertugas mencatat amalan, ‘Tulislah padanya semisal yang ia amalkan rutin jika ia tidak terikat sampai Aku melepasnya atau sampai Aku mencabut nyawanya.” (HR. Ahmad, 2: 203. Syekh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa hadis ini shahih, sedangkan sanad hadis ini hasan)

Oleh karenanya, selain dalam kondisi tersebut, tidak pantas bagi kita untuk menunda-nunda, lalai, ataupun meremehkan waktu salat. Sepantasnya untuk segera bergegas menuju Allah Ta’ala. Karena semakin kita mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah pun akan semakin dekat dengan kita.

Perhatikan hadis qudsi berikut. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

“Jika ia (hamba-Ku) mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675)

Salat Tepat Waktu dan Berjemaah

Telah disebutkan sebelumnya bahwa ibadah salat itu telah ditetapkan waktu-waktunya oleh Allah Ta’ala. Oleh karenanya, hendaklah kita semaksimal mungkin mendorong diri untuk senantiasa disiplin tepat waktu dalam melaksanakan ibadah salat. Di samping itu, khususnya untuk para lelaki muslim, pelaksanaan lima waktu tempatnya adalah di masjid yang dilakukan secara berjemaah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبُ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَـالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ. وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا أَوْ مِرْمَـاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ، لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.

Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku bertekad untuk menyuruh seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh salat dan diserukan azan untuknya. Kemudian kusuruh seorang laki-laki mengimami manusia. Setelah itu kudatangi orang-orang yang tidak menghadiri salat jemaah dan kubakar rumah-rumah mereka. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Andai salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh sepotong daging gemuk dan dua kaki (daging) hewan berkuku belah yang baik, niscaya ia akan mendatangi salat isya.“ (Muttafaqun ‘alaihi,  Lafaz hadis milik Al-Bukhari No. 608)

Bertekad Salat tanpa Masbuk Selama 40 Hari

Saudaraku, di antara hal penting yang mesti kita hindari selama diberikan Allah kesempatan hidup di dunia adalah kemunafikan. Maka, bentuk dari upaya kita menghindari kemunafikan itu bisa terlihat dari bagaimana kita melakukan amal saleh, khususnya salat. Allah Ta’ala menggambarkan orang-orang yang malas dan lalai dalam salatnya dengan berfirman,

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ

Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas.” (QS. An-Nisa : 142)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ صَلاَةٌ أثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً

“Tidak ada salat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari salat subuh dan salat isya. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua salat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657)

Untuk kehidupan akhirat hal yang sangat penting untuk kita upayakan adalah menghindari azab Allah (neraka) dengan memperbanyak amalan saleh. Dan salat juga merupakan bagian terpenting dan menjadi penentu dalam melakukan amalan saleh itu.

Lantas, bagaimana caranya agar salat kita dapat mencegah diri dari kemunafikan di dunia dan siksa neraka di akhirat. Perhatikan hadis berikut!

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى ِللهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِيْ جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ اْلأُوْلَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.

“Barangsiapa salat jemaah ikhlas karena Allah selama empat puluh hari dengan mendapati takbir pertama (imam), maka dibebaskan dari dua perkara: dari neraka dan kemunafikan.” (HR  Tirmidzi no. 241, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Subhanallah! Hadis ini sangat layak untuk kita jadikan motivasi dalam melakukan amalan saleh khususnya salat sepanjang hidup kita. Hadis yang memacu semangat kita untuk bertekad agar menghindari menjadi masbuk saat salat.

Namun, sebelumnya tanyakanlah pada diri, pernahkah kita melakukan salat berjemaah selama 40 hari tanpa masbuk? Saudaraku, kita telah mengetahui janji Allah Ta’ala bagi hamba-Nya yang mampu secara konsisten untuk tepat waktu melaksanakan ibadah. Maka, mari kita mulai untuk bertekad menggapai cita-cita mampu melaksanakan salat berjemaah tepat waktu, tanpa masbuk, dan mendapatkan takbir pertama imam selama 40 hari. Meski hanya sekali seumur hidup!

Semoga Allah beri kemudahan. Wallahua’lam

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/72508-salat-dan-tekad-untuk-tidak-masbuq.html

Bacaan Doa Pasrah Kepada Allah

Berikut ini adalah doa pasrah kepada Allah. Sebelum membicarakannya, salah satu inti ajaran keimanan pada Allah Swt. adalah bersikap pasrah kepada Allah. Mengapa? Karena hakikatnya seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya, dan kita hanya diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya (surah adz-Dzāriyāt: 56).

Tuhan bahkan dengan tegas mengatakan kalau Dia begitu dekat kepada hamba-Nya yang meminta (al-Baqarah: 186). Karena itu, begitu aneh jika ada diantara makhluk-Nya yang merasa putus asa karena merasa tidak ada lagi tempat untuk meminta.

Sama anehnya ketika diantara makhluk-Nya merasa putus asa terhadap sesama makhluk karena keinginannya tidak terwujud, padahal seluruh makhluk telah berada di garis takdir-Nya.

Adalah Ibn ‘Aṭāillah al-Sakandarī, di antara ulama yang melihat pentingnya manusia terbuka jiwanya bahwa segala sesuatu itu berada dalam genggaman takdir-Nya, maka manusia harus bersikap pasrah dalam seluruh aspek kehidupan.

Pasrah bukan tidak berbuat apapun, tapi pasrah dimaknai sebagai keyakinan penuh bahwa seluruh langkah manusia itu berada di bawah garis takdir-Nya, maka keberhasilan atau tidak dalam sebuah aktivitas, tidak berasal dari manusia sama sekali.

Ibn ‘Aṭāillah al-Sakandarī banyak membicarakan hal ini dalam kitabnya al-Tanwīr fī Isqāṭ al-Tadbīr (Pencerahan untuk Berhenti Mengatur (yang Maha Mengatur)). Kemudian ia menyajikan sejumlah doa agar kita yakin untuk pasrah kepada Allah. Berikut ini sejumlah bacaan doa pasrah kepada Allah, dalam buku yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dengan judul Istirahatkan Dirimu dari Kesibukan Duniawi,

Doa Pertama;

اللهم إنّا نسألك أن تصلّي على سيّدنَا محمَّد وعلى آل سيّدنَا محمد كما صلّيت على سيّدنا إبراهيم وعلى آل سيّدنَا إبراهيم فِي العالمين إنّك حمِيْدٌ مَجيد. اللهم اجعَلنا من المستَسلِمين إليك، ومن القائِمين بيْن يَديك، وأخرجنا من التدبير معَك أو عليْكَ واجعلنا من المفوّضِينَ إليْك

Allahumma innā nas.aluka an tusholliya ‘alā sayyidinā Muḥammadin ‘wa ‘alā āli sayyidinā Muhammadin kamā shollaytā ‘alā sayyidinā Ibrāhīm wa ‘alā āli sayyidinā Ibrāhim fī al-‘ālamīna innaka ḥamīdu-m-majīd. Allahumma-j’alnā mina-l-mustaslimīna ilayka, wa mina-l-qāimīna bayna yadayka, wa akhrijnā mina-t-adbīr ma’aka aw ‘alayka wa-j-‘alnā mina-l-mufawwidhīna ilayka

 Artinya; Ya Allah, kami memohon kepadamu, semoga Engkau curahkan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. dan keluarganya, sebagaiman Engkau curahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim As. dan keluarganya di seantero alam. Sesungguhnya Engka Maha Terpuji lagi Maha Mulia.

Ya Allah, jadikanlah kami sebagai golongan dari hamba yang pasrah kepada-Mu, senantiasa berada dalam naungan-Mu. Ya Allah, keluarkan kami dari keinginan ikut mencampuri pengaturan-Mu atau mengharap pengaturan dari selain-Mu. Dan jadikanlah kami termasuk yang menyerahkan diri kepada-Mu.

اللهم إنَك قد كنْتَ لنَا من قبل أن تكون لأنفسِنَا، فكن لنَا بعْدَ وُجودنا كما كنت قبل وجودنا، وألبسنَا ملابس لطْفِك وأقبل علينا بجنابك وعطفك وأخرِج ظلُمات التدبير من قلوبِنَا، وأشرق نور التفويض في أسرارِنا، وأشْهدنا حسْنَ اختيارك لنا، حتّى يكون ما تقتضيه فينا وتختاره لَنا أحبّ إلينا من مختارنا لأنفسنَا

Allahumma innaka qad kunta lanā min qabli an takūna li anfusinā, fa kun lanā ba’da wujūdinā kamā kunta qabla wujūdinā. Wa albisnā malābisa luṭfika wa aqbil ‘alaynā bi janābika ‘aṭfika wa akhrij ẓulumāti al-tadbīr min qulūbinā, wa ashriq nūr al-tafwīdh fī asrārinā, wa ashhidnā husna-khtiyārika lanā, hattā yakūna mā taqtadīhi fīnā takhtāruhu lanā aḥabba ilaynā min mukhtārinā li anfusinā.

Ya Allah, Engkau ada untuk kami sebalum diri kami sendiri ada, maka Engkau jelas ada setelah kami ada sebagaimana Engkau sudah mawjud sebelum kami ada. Kenakanlah kami dengan sandang kelembutan-Mu. Terimalah kami dengan belas kasih-Mu.

Keluarkan kami dari gelapnya keinginan ikut mencampuri pengaturan-Mu yang merasuk di dalam hati kami. Gantilah dengan kemunculan sinar kepasrahan dari relung jiwa kami. Persaksikanlah indahnya pengaturan-Mu kepada kami, sehingga ketetapan yang Engkau takdirkan dan pilihkan kepada kami lebih kami cintai dibanding pilihan kami sendiri.

اللهم لا تشغلنا بما ضمنت لنا عمّا أمرتَنَا، ولا بشيء أنت ضامنه لنا عن شيء أنت طالبه منّا، اللهم إنّك دعوتنا إلى الإنقياد إليك، والدوَام بين يديك، وإنّا عن ذلك عاجزون إلا أن تقدّرنا، وضعفَاء إلا أن تقوّيَنا، ومن أين لَنا أن نكون في شيء إلا إن كوّنتَنا، وكيف لَنا أن نصل لشيْءٍ إلّا إن وصّلتَنا، وأنّى لَنا أن نقْوى على شيء إلا إن أعنتنا، فوفّقنَا لما أمرتَنا، وأعنّا على الإنكفاف عمّا عنه زجرتنا.

Allahummā lā tushgilnā bimā dhominta lanā ‘ammā amartanā, wa lā bi shai.in anta dhōminuhi lanā ‘an shai.in anta ṭālibuhu minnā. Allāhumma innaka da’awtanā ilā-l-inqiyād ilayka, wa-d-dawām bayna yadayka, wa innā ‘an dhālika ‘ājizūna illā an tuqaddiranā, wa dhu’afā.a illā an tuqawwiyanā, wa min ayna lanā an nakūna fī shai.in illā an kawwantanā. Wa kayfa lanā an naṣila lanā li shai.in illā in waṣṣaltanā, wa annā lanā an naqwā ‘alā shai.in illā in a’antanā, fawaffiqnā limā amartanā, wa a’innā ‘alā-l-inkifāf ‘ammā zajartanā.

Ya Allah, jangan Engkau jadikan kami sibuk dengan apa yang sudah Engkau jamin sehingga kami mengabaikan yang Engkau perintahkan, jangan jadikan kami sibuk dengan sesuatu yang Engkau sudah jamin sehingga kami tidak memperhatikan permintaan-Mu pada kami.

Ya Allah, Engkau sudah menyeru kepada Kami agar tunduk kepada-Mu, senantiasa berada dalam naungan-Mu, tetapi kami tidak mampu melakukan itu semua kecuali atas kuasa-Mu, kami lemah mewujudkan itu kecuali atas kekuatan-Mu, Akankah kami akan  berada pada suatu keadaan kecuali itu karena Engkau telah membuatnya ada untuk kami?

Akankah kami bisa sampai pada suatu hal melainkan Engkau yang membuat kami sampai ? Bisakah kami kuat menanggung sesuatu melainkan itu karena pertolongan-Mu! Maka, Ya Allah bimbinglah kami agar sesuai dengan yang Engkau perintahkan, dan bantulah kami untuk menjauhi yang Engkau larang.

Demikian penjelasan bacaan doa pasrah kepada Allah. Semoga kita menjadi hamba yang senantiasa berpasrah kepada-Nya. Amiin.

BINCANG SYARIAH

Serial Kutipan Hadits: Menutup Aib Sesama Muslim

Serial Kutipan Hadits: Menutup Aib Sesama Muslim

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

MAN SATARO MUSLIMA
SATAROHULLAAHU YAUMAL QIYAAMAH

“Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya kelak di hari kiamat.”

(HR Bukhari & Muslim)

http://www.salamdakwah.com/hadist/388-sesama-muslim-bersaudara

Read more https://yufidia.com/6955-serial-kutipan-hadits-menutup-aib-sesama-muslim.html

Doa Ketika Merapikan Jenggot Sesuai Anjuran Rasulullah

Dalam Islam, jika kita memiliki jenggot, kita dianjurkan untuk senantiasa merapikan  dengan cara dibasahi dengan minyak atau disisir dengan baik. Sebagaimana rambut kepala, jenggot juga harus senantiasa dirapikan dan tidak boleh dibiarkan dalam keadaan acak-acakan.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Saw tidak senang pada orang yang membiarkan rambutnya acak-acakan dan berpakaian kotor. Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Nasa’i dari Jabir bin Abdillah, dia berkisah sebagai berikut;

أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَى رَجُلاً شَعِثًا قَدْ تَفَرَّقَ شَعْرُهُ فَقَالَ  أَمَا كَانَ يَجِدُ هَذَا مَا يُسَكِّنُ بِهِ شَعْرَهُ. وَرَأَى رَجُلاً آخَرَ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ وَسِخَةٌ فَقَالَ  أَمَا كَانَ هَذَا يَجِدُ مَاءً يَغْسِلُ بِهِ ثَوْبَهُ

Rasulullah Saw pernah mendatangi kami dan beliau melihat seorang lelaki yang acak-acakan rambutnya. Rasulullah Saw bersabda, ‘Tidakkah orang ini mendapatkan sesuatu untuk merapikan rambutnya?’ Kemudian beliau melihat seorang lelaki yang kotor pakaiannya. Beliau bersabda, ‘Tidakkah orang ini mendapatkan air untuk mencuci pakaiannya?.

Jika kita merapikan jenggot, sebagaimana disebutkan dalam kitab Amanul Akhthar, maka kita dianjurkan membaca doa berikut;

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَأَلْبِسْنِيْ جَمَالاً فِيْ خَلْقِكَ وَزِيْنَةً فِيْ عِبَادِكَ وَحَسِّنْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ وَلاَ تَبْتَلِنِيْ بِالنِّفَاقِ وَارْزُقْنِيْ اْلمَهَابَةَ بَيْنَ بَرِيَّتِكَ وَالرَّحْمَةَ مِنْ عِبَادِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allohumma sholli ‘alaa muhammadin wa aali muhammadin wa albisnii jamaalan fi kholqika wa ziinatan fi ‘ibaadika wa hassin sya’rii wa basyarii walaa tabtalinii bin nifaaqi warzuqnil mahaabata baina bariyyatika warrohmata min ‘ibaadika yaa arhamar roohimiin.

Ya Allah, limpahkan rahmat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, dan pakaikan kepadaku ketampanan di mata makhluk-Mu, dan perhiasan di hadapan hamba-hamba-Mu, dan perbaikilah rambutku serta kulitku, dan jangan Engkau uji aku dengan kemunafikan, dan berilah aku rizeki kewibawaan di antara makhluk-Mu dan rahmat dari hamba-Mu, wahai Dzat Yang Paling pengasih.

BINCANG SYARIAH