Benarkah Klaim Shalat PA 212 di Tengah Jalan untuk Menghormati Waktu Shalat?

Viral di media sosial terkait praktik shalat yang dilakukan petinggi PA 212, yakni Fikri Bareno atau Buya Fikri. Dalam video berdurasi pendek yang beredar, Buya Fikri yang juga bertindak sebagai koordinator lapangan awalnya tampak ikut salat berjamaah dari atas mobil komando.

Namun, gerakan shalat yang dilakukannya terlihat ganjil. Pasalnya,  ia dalam gerakan shalat terlihat ragu-ragu, yang paling aneh, Buya Fikri melakukan rukuk sebanyak dua kali.Padahal, praktik shalat tersebut tergolong gerakan yang membatalkan shalat.

Lebih jauh lagi, jika gerakan seperti itu  masih saja sengaja dilakukan, maka hukumnya haram dan berdosa.Pasalnya, tindakan tersebut tergolong bermain-main dengan ibadah yang memiliki nilai agung di sisi Allah SWT.

Lebih lanjut, beberapa waktu belakangan berkembang narasi yang menyatakan bahwa shalat yang dilakukan oleh anggota PA 212 pada esensinya adalah shalat untuk menghormat waktu (lihurmati al-wakti) yang tidak memiliki aturan sebagaimana shalat pada umumnya.

Narasi shalat lihurmarti wakti,  betebaran di media sosial. Benarkah anggapan itu dalam perspektif  fikih? Mari kita bahas satu persatu.

Sebelum membahas lebih lanjut, ada pentingnya bagi penulis untuk menjelaskan maksud dari shalat menghormat waktu itu sendiri. Hal itu agar kita bisa paham secara utuh konsep-konsep yang ada dalam shalat tersebut.

Maksud Shalat Lihurmati al-Wakti

Shalat menghormat waktu atau yang juga dikenal dengan shalat lihurmati al-wakti adalah shalat yang dilakukan oleh seseorang sekadar untuk menghormat waktu.

Shalat semacam ini dilakukan ketika tidak menemukan dua alat untuk bersuci, yaitu air dan debu, sedangkan waktu shalat sudah masuk, atau bisa juga diartikan sebagai shalat yang dilakukan dalam keadaan tidak sempurna disebabkan tidak memenuhi syarat dan rukun shalat karena ketidakmampuan untuk menyempurnakannya.

Menurut Imam al-Quyubi (wafat 1069 H), dalam salah satu kitabnya mengatakan, bahwa shalat ini bermula dari Sayyidah Aisyah, dalam salah satu hadits disebutkan,

رَوَتْ عَائِشَةُ أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ قِلَادَةً مِنْ أَسْمَاءَ فَهَلَكَتْ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ أُنَاسًا فِي طَلَبِهَا، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسُوا عَلَى وُضُوءٍ، وَلَمْ يَجِدُوا مَاءً فَصَلُّوا وَهُمْ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّم

Artinya, “Siti Aisyah meriwayatkan bahwa ia pernah meminjam kalung pada Asma’. Kemudian (kalung itu) hilang, maka Rasulullah mengutus beberapa orang untuk mencarinya.

(Setelah kalung itu ditemukan) datanglah waktu shalat sedangkan ia dalam keadaan tidak mempunyai wudhu dan tidak menemukan air (untuk berwudhu), akhirnya mereka pun mengerjakan shalat (tanpa wudhu).

Setelah kejadian itu, Allah menurunkan ayat tayamum.” (Imam Ahmad Salamah al-Qulyubi, Hasyiyatu Qulyubi wa ‘Umairah, [Beirut, Darul Fikr: 2002], juz 1, halaman 110).

Peyebab dan Ketentuannya

Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab seseorang melaksanakan shalat lihurmatil wakti, faktor-faktor itu bisa disimpulkan menjadi empat bagian, berikut perinciannya:

Pertama, tidak menemukan sarana untuk bersuci, baik berupa air atau debu. Hal ini dalam kitab-kitab fiqih dikenal dengan istilah faqiduth thahuraini (orang yang tidak memiliki dua alat bersuci).

Kedua, dalam perjalanan, sekira jika turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat akan tertinggal dari rombongannya, atau khawatir hartanya dicuri orang lain.

Ketiga, shalat dalam keadaan najis dan tidak ada debu untuk menghilangkannya, sementara air yang ada sangat dibutuhkan orang-orang yang bersamanya karena dahaga. 

Keempat, orang yang sedang disalib, berada dalam perahu, dan orang sakit yang tidak bisa mengambil air, atau bisa mengambil namun tidak bisa melakukan wudhu.

Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa shalat lihurmatil wakti tidak asal shalat. Harus melalui beberapa tahap untuk kemudian bisa sah dan boleh melakukan shalat tersebut. Dengan kata lain, jika masih ada kemungkinan untuk melakukan shalat dengan sempurna, maka tidak boleh sekadar melakukan shalat lihurmatil wakti.

Jika ditanya, “Apakah shalat ala PA 212 bisa dikategorikan sebagai shalat lihurmatil wakti?” Jawabannya; tidak.

Perlu diketahui, bahwa shalat wajib harus dilakukan dalam keadaan yang sempurna. Semua rukun dan syaratnya harus terpenuhi. Maka, jika beberapa syarat, misalnya alat bersuci tidak ada, baru bisa melakukan shalat lihurmatil wakti.

Syarat yang lain, misalnya harus masuk waktu, namun dalam keadaan perjalanan, yang jika masih melakukan shalat akan tertinggal, maka dalam hal ini juga boleh melakukan shalat tersebut.

Dari uraian tersebut, tentu shalat yang dilakukan oleh anggota PA 212 tidak tepat. Kenapa demikian? Sebab mereka bisa untuk bersuci dengan sempurna, bisa melakukan syarat dan rukunnya juga dengan sempurna. Oleh karenanya, jika ada kekurangan dalam shalat yang mereka lakukan, tidak layak dinisbatkan kepada shalat lihurmatil wakti.

Jika tidak tepat dikatakan shalat lihurmatil wakti, apakah shalat yang mereka lakukan layak disamakan (analogi) dengan shalatnya orang sakit yang boleh melakukan shalat seperti apa saja yang mereka mampu? Maka jawabannya juga tidak tepat.

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar al-Hadrami dalam kitabnya mengatakan bahwa boleh bagi orang yang sakit melakukan shalat sebatas yang ia mampu,

يَجِبُ عَلَى الْمَرِيْضِ أَنْ يُؤَدِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ مَعَ كَمَالِ شُرُوْطِهَا وَأَرْكَانِهَا وَاجْتِنَابِ مُبْطِلَاتِهَا حَسَبَ قُدْرَتِهِ وَإِمْكَانِهِ

Artinya, “Wajib bagi orang yang sakit untuk melakukan shalat lima waktu dengan cara menyempurnakan semua syarat, rukun, dan meninggalkan hal-hal yang bisa membatalkannya, sebatas kemampuannya.” (Sayyid Abdurrahman al-Hadrami, Bughyatu al-Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr], halaman 162).

Dari penjelasan di atas, yang menarik untuk dibahas dan dipahami lebih dalam adalah “melakukan shalat sebatas kemampuannya”. Penjelasan ini sering dijadikan alasan oleh beberapa kelompok untuk melakukan shalat tanpa menyempurnakan rukun dan syaratnya, dengan alasan tersebut.

Jika dibaca dan diangan-angan, maka sebenarnya Sayyid Abdurrahman tidak dalam rangka memberikan kelonggaran untuk melakukan shalat sebatas kemampun, apalagi sebatas kehendak dan kemauan sendiri, tidak demikian. Dan pemahaman seperti ini menyalahi teks yang tertera dalam kitab tersebut.

Perlu diketahui, sebelum kata “sebatas kemampuan” disampaikan, terlebih dahulu Sayyid Abdurrahman menjelaskan kewajiban shalat bagi orang sakit harus dilakukan dengan sempurna. Artinya, selama masih bisa menyempurnakan shalat, maka tidak boleh melakukannya sebatas kehendaknya sendiri.

Dari penjelasan di atas, lagi-lagi shalat yang dilakukan sebagaimana yang viral saat ini, tidak tepat, karena menyalahi banyak aturan-aturan shalat; baik dalam shalat lihurmatil wakti, maupun shalat orang sakit.

BINCANG SYARIAH

Catat Tanggalnya, Malam Nisfu Sya’ban Beserta Niat Puasa dan Doanya

Keutamaan Nisfu Sya’ban berupa pengampunan dosa dan pahala ibadah yang besar.

Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam kalender Islam (hijriah) dan salah satu bulan penting dalam kalender Islam. Meskipun bukan salah satu dari empat bulan suci, Sya’ban merupakan bulan yang sangat penting dalam hal ibadah.

Sya’ban penuh dengan kesempatan untuk mengoptimalkan perbuatan baik kita dan mendekatkan diri kepada Nabi Muhammad SAW. Caranya dengan melimpahkan shalawat kepada Nabi SAW.

Satu Sya’ban jatuh pada 4 Maret 2022. Sedangkan malam Nisfu Sya’ban jatuh pada 17 Maret 2022 bakda maghrib.   

Keutamaan Nisfu Sya’ban berupa pengampunan dosa dan pahala ibadah yang lebih besar dari biasanya. Misalnya, ibadah di bulan Ramadhan lebih memuaskan daripada ibadah di bulan-bulan lainnya. Pahala untuk beribadah di Masjidil Haram sama dengan sholat di masjid biasa.

Hadits berbunyi bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda: “Sya’ban itu bulan antara Rajab dan Ramadhan. Bulan ini banyak diabaikan oleh umat manusia, padahal dalam bulan ini (Sya’ban) amal-amal hamba itu diangkat (diterima oleh Allah). Aku ingin amalku diterima oleh Allah di bulan Sya’ban dalam keadaan aku berpuasa.”

“Walaupun dasar malam Nisfu Sya’ban berupa hadits dha’if atau mungqathi’, dianggap cukup karena amalan malam Nisfu Sya’ban berasal dari fadha’ilul a’mal yang merupakan bentuk anjuran, ibadah, dan sebagai motivator untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,” dikutip dari buku Husnul Bayan fi Lailatin Nishfi min Sya’ban yang merupakan buku risalah karya Syekh Abdullah Muhammad al-Ghimari.

Rasulullah telah mengeluarkan arahan untuk memperhatikan malam Nisfu Sya’ban dengan melakukan amal shaleh dan beribadah kepada Allah agar dapat menikmati pahalanya. Dalam buku Keutamaan dan Ibadah Malam Nisfu Sya’ban karangan Muhammad Juriyanto, Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dari Sayyidina Ali, dari Nabi SAW beliau bersabda:

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا، فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ، أَلَا مِنْ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ، أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطَّلِعَ الْفَجْرَ

Artinya: “Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman: “Ingatlah orang yang memohon ampunan kepadaKu maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada–Ku maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada–Ku maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba.”

Maka, berdasarkan beberapa hadits dan riwayat tersebut, sunnah qiyam al-lail, membaca Alquran dengan ikhlas, berdzikir, dan berdoa kepada Allah pada malam Nisfu Sya’ban adalah untuk memetik anugerah Tuhan.  

Niat puasa Nisfu Sya’ban

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ شَعْبَانَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adaa’i sunnati Sya’bana lillaahi ta’aalaa.

Artinya: Aku berniat puasa sunnah Syaban esok hari karena Allah Ta’ala.

Dalam buku kitab Ma Dza Fi Sya’ban karangan Sayyid Muhammad al-Maliki, ia mengklaim tidak ada doa khusus atau otentik dari Nabi SAW pada malam Nisfu Sya’ban. Yang benar dari Nabi SAW adalah perintah untuk merevitalisasi secara mutlak malam Nisfu Sya’ban dengan berbagai jenis doa dan taqwa. Namun, ada doa khusus yang dibaca setelah membaca surat Yasin pada malam Nisfu Sya’ban.

Doa malam Nisfu Sya’ban

اللَّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْهِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ، يَا ذَا الطَّوْلِ وَالإِنْعَامِ. لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ظَهْرَ اللَّاجِئينَ، وَجَارَ الْمُسْتَجِيرِينَ، وَأَمَانَ الْخَائِفِينَ. اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي عِنْدَكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُومًا أَوْ مَطْرُودًا أَوْ مُقَتَّرًا عَلَيَّ فِي الرِّزْقِ، فَامْحُ اللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَطَرْدِي وَإِقْتَارَ رِزْقِي، وَأَثْبِتْنِي عِنْدَكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ سَعِيدًا مَرْزُوقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ، فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِي كِتَابِكَ الْمُنَزَّلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ: ﴿يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ﴾، إِلَهِي بِالتَّجَلِّي الْأَعْظَمِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمِ، الَّتِي يُفْرَقُ فِيهَا كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ وَيُبْرَمُ، أَنْ تَكْشِفَ عَنَّا مِنَ الْبَلَاءِ مَا نَعْلَمُ وَمَا لَا نَعْلَمُ وَمَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Artinya: “Ya Tuhanku yang Maha Pemberi, dan Engkau Tuhan tak butuh. Wahai Tuhan  yang memiliki memiliki keagungan dan kemuliaan. Wahai Tuhan pemberi segala kekayaan dan segala kenikmatan. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Engkau Tuhan tempat minta pertolongan, dan tempat berlindung orang orang yang dari ketakutan, dan engkau adalah tempat aman dari rasa takut.

Ya Allah, jika  engkau menuliskan catatan ku di sisi-Mu pada Lauh Mahfuzh sebagai orang celaka,  atau orang  sial, atau  yang celaksa, dan orang yang sempit rezeki, maka aku mohon hapuskanlah itu Ya Allah.

Ya Allah hapuslah segera di Luh Mahfuz dengan kemuliaan mu akan kecelakaan, kesialan, dan kesempitan rezekiku. Catatlah aku di sisi-Mu sebagai orang yang mujur, murah rezeki, dan taufiq untuk berbuat kebaikan.

Ya Allah, jika Engkau berkata, maka pasti perkataan-Mu adalah suatu kebenaran sebagaimana kitab yang diturunkan  melalui ucapan Rasul utusan-Mu (Muhammad), (Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki).

Ya Allah, dengan tajalli-Mu yang mulia di malam Nisfu Sya’ban yang mulia ini, yang semua amal kebajikan diangkat pada bulan ini, bahwa engkau jauhkan dari kamu dari segala bala (musibah) dari yang kami ketahui dan yang tak kami ketahui, dan tak ada yang mengetahuinya kecuali Engkau. Engkaulah yang Maha Agung dan Mulia.”

Semoga Allah memberikan shalawat kepada Sayyidina Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Mari kita memeriahkan malam Nisfu Sya’ban dengan berbagai ibadah dan kebaikan seperti istighfar, membaca sunnah berjamaah, membaca Surat Yasin, dan menutup dengan permohonan kepada Allah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Puasa Satu Bulan Penuh di Bulan Syaban, Bolehkah?

Rasulullah ﷺ memperbanyak puasa selama di bulan Syaban. Namun bolehkah seseorang berpuasa sebulan penuh selama Sya’ban?

“Puasa di bulan Syaban. Apakah setiap hari? Tidak boleh, Rasulullah ﷺ tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Jadi silahkan  berpuasa Senin-Kamis, puasa 15 hari lanjut full,” kata Pendakwah lulusan Universitas Islam Madinah, Ustadz Syafiq Riza Basalamah melalui siaran Youtube resminya. 

Ustadz melanjutkan, hanya saja hukumnya makruh bagi orang yang berpuasa setelah 15 Sya’ban. Padahal dia tidak pernah berpuasa sebelumnya. Ustadz Syafiq mengatakan, usahakan berpuasa di awal Sya’ban, namun apabila ingin berpuasa setelah tanggal 15 dibolehkan, hanya saja sebagian ulama memakruhkan hal itu.

“Yang tidak boleh berpuasa pada hari yang diragukan, umpamanya ini hari tanggal 29, besok 30 orang ribut ada yang mengatakan besok 1 Ramadhan, lalu berpuasa dengan harapan kalau besok Ramadhan ana puasa ramadhan, kalau gak sunnah. Ini hari yang diragukan, dperselisihkan. Kalau biasa puasa hari Senin puasa mau hari ini tanggal 29, 30, ana Senin biasa puasa, silahkan puasa, karena puasa Seninnya,” lanjut Ustadz.

Adapun Aisyah radhiyallahu anha mengatakan

وما رأَيتُ رسولَ اللهِ استكمَلَ صيامَ شهرٍ قطُّ إلَّا رَمَضانَ، وما رأيتُه أكثرَ صيامًا منه في شعبانَ

“Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah ﷺ berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah mengetahui beliau lebih banyak berpuasa daripada di bulan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim)

IHRAM

Serial Fikih Zakat (Bag. 14): Pengaruh Utang Investasi dan Utang Perumahan terhadap Capaian Nisab

Artikel ini secara khusus membahas dua topik yang menjadi judul artikel, yaitu pengaruh utang investasi dan utang perumahan terhadap capaian nisab, yang merupakan turunan dari pembahasan dalam artikel “Pengaruh Utang terhadap Kewajiban Zakat”.Daftar Isisembunyikan 1. Pengaruh Utang Investasi yang Belum Jatuh Tempo terhadap Capaian Nisab 2. Pengaruh Utang Perumahan yang Belum Jatuh Tempo terhadap Capaian Nisab

Pengaruh Utang Investasi yang Belum Jatuh Tempo terhadap Capaian Nisab

Utang investasi dapat didefinisikan sebagai utang yang timbul dari akad komersil yang dilakukan oleh kreditur dan debitur di mana debitur memperoleh benefit berupa penundaan pembayaran, sedangkan kreditur memperoleh benefit berupa peningkatan harga komoditi investasi.[1]

Pertanyaan yang hendak dijawab apakah utang yang timbul dari akad komersil berpengaruh pada nisab harta yang dimiliki debitur. Apakah total utang tersebut mengurangi nisab atau hanya utang yang jatuh tempo saja yang mengurangi nisab pada harta debitur?

Permasalahan ini didasarkan pada penjelasan pada artikel sebelumnya, yaitu perihal utang yang bisa menghalangi kewajiban zakat (mengurangi nisab) jika utang tersebut telah jatuh tempo dan debitur tidak memiliki aset tetap di luar kebutuhan primer yang bisa dijual untuk melunasi utang.[2] Berdasarkan hal tersebut, permasalahan ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian berikut:

Pertama, apabila utang digunakan untuk mendanai suatu aset tetap dengan maksud berinvestasi dan meningkatkan keuntungan di mana aset itu melebihi kebutuhan primer debitur, maka utang ini dijadikan sebagai kompensasi aset serta tidak mengurangi nisab harta dan hasil yang diperoleh debitur dari aset tetap.

Sebagai contoh, seorang pengusaha memiliki harta sebanyak Rp1.000.000.000, kemudian ia membeli sebuah pabrik juga seharga Rp1.000.000.000 secara kredit dengan pelunasan selama 10 tahun. Profit yang dihasilkan pabrik itu sendiri sebesar Rp100.000.000 setiap tahun.

Apabila angsuran utang telah jatuh tempo, maka debitur menjadikan angsuran itu sebagai kompensasi nilai pabrik karena utang tersebut dilakukan untuk membeli pabrik. Pabrik itu sendiri memiliki nilai komersil yang bisa dijual untuk melunasi utang jika ternyata ia bangkrut. Dalam kasus ini, debitur menzakati seluruh harta yang dimiliki  dan utang tersebut tidak mengurangi nisab, meskipun telah jatuh tempo. Dengan demikian, jelas bahwa dalam kasus ini, utang tidak berpengaruh terhadap nisab harta yang dimiliki debitur, kecuali dalam kondisi nilai aset tetap tidak cukup untuk melunasi utang yang jatuh tempo.

Kedua, apabila utang digunakan untuk mendanai aset tetap yang bersifat primer, artinya tidak melebihi kebutuhan primer debitur, maka utang yang jatuh tempo, yaitu angsuran tahunan mengurangi penghasilan debitur. Adapun utang yang belum jatuh tempo tidak mengurangi penghasilannya seperti yang telah dijelaskan pada artikel sebelumnya.[3]

Sebagai contoh, seseorang membeli taksi untuk mengangkut penumpang seharga Rp50.000.000 secara kredit dengan angsuran sebesar Rp10.000.000 setiap tahun. Aktivitas mengangkut penumpang merupakan sumber mata pencaharian orang tersebut. Dalam kasus ini, utang yang telah jatuh tempo mengurangi basis perhitungan zakat pada harta debitur. Jika harta yang tersisa masih mencapai nisab, maka zakat ditunaikan. Namun, jika tidak mencapai nisab, maka zakat tidak perlu ditunaikan.

Dengan begitu, dalam kasus ini, jelas bahwa utang yang jatuh tempo berpengaruh pada nisab harta debitur. Utang yang jatuh tempo mengurangi nisab harta. Apabila setelah dikurangi, ternyata nisab harta masih tercapai, maka zakat harus ditunaikan. Sebaliknya jika tidak tercapai, maka zakat tak perlu ditunaikan.

Ketiga, apabila utang digunakan untuk mendanai aktivitas komersil (misalnya aktivitas perdagangan) yang melebihi kebutuhan primer debitur seperti seorang yang berutang kepada lembaga keuangan sebesar Rp 100.000.000 dengan maksud menginvestasikannya dalam aktivitas komersil yang disertai komitmen untuk melunasi utang tersebut secara kredit selama 10 tahun dengan angsuran sebesar Rp10.000.000 per tahun. Dalam kasus ini, angsuran tahunan yang jatuh tempo mengurangi nisab komoditi perdagangan dan harta yang dimiliki debitur, kemudian zakat ditunaikan terhadap harta yang tersisa jika mencapai nisab. Adapun angsuran yang belum jatuh tempo tidak mengurangi nisab harta sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Pengaruh Utang Perumahan yang Belum Jatuh Tempo terhadap Capaian Nisab

Permasalahan ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Namun, permasalahan ini dibahas secara tersendiri karena penting, mengingat utang perumahan tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan primer debitur yang diwujudkan dalam bentuk rumah, namun juga ditujukan untuk tujuan investasi. Oleh karena itu, pengaruh utang perumahan yang belum jatuh tempo terhadap capaian nisab dapat diterangkan  sebagai berikut:

Pertama, apabila utang digunakan untuk membangun rumah yang akan ditempati debitur tanpa ada unsur kemewahan dan pemborosan. Dalam kasus ini, angsuran tahunan mengurangi nisab harta yang dimiliki debitur. Debitur kemudian menzakati harta yang tersisa jika mencapai nisab. Jelas dalam kasus ini utang yang jatuh tempo memiliki pengaruh terhadap harta yang terkena zakat. Sehingga terkadang utang yang jatuh tempo menghabiskan nisab atau mengurangi capaian nisab sehingga kewajiban zakat tidak perlu ditunaikan.[4]

Kedua, apabila utang yang belum jatuh tempo digunakan untuk membangun rumah yang melebihi kebutuhan primer debitur atau pembangunan rumah tersebut mengandung unsur kemewahan dan pemborosan. Dalam kasus ini, utang tersebut dijadikan sebagai kompensasi bagian yang melebihi kebutuhan primer debitur terhadap rumah. Dalam kondisi utang melampaui kelebihan tersebut, namun tidak melebihi nilai rumah, maka debitur menzakati harta yang dimiliki dan utang tersebut tidak berpengaruh terhadap nisab harta. Jika utang tersebut melebihi nilai rumah, maka angsuran yang jatuh tempo mengurangi nisab harta dan debitur menzakati harta yang tersisa jika masih mencapai nisab.

Ketiga, apabila utang yang belum jatuh tempo digunakan dengan maksud investasi seperti seorang yang berutang untuk membangun sejumlah unit perumahan yang akan dijual atau disewakan agar memperoleh keuntungan. Dalam kasus ini, utang perumahan ini menjadi utang investasi, sehingga berlaku ketentuan poin ketiga pada permasalahan sebelumnya.

Angsuran yang jatuh tempo mengurangi nilai unit perumahan, namun tidak mengurangi nisab harta yang dimiliki kreditur, kecuali utang tersebut menghabiskan nilai aset tetap (dalam hal ini unit perumahan yang dibangun). Adapun angsuran yang belum jatuh tempo dari utang tersebut tidak berpengaruh terhadap harta debitur yang terkena zakat.

Inilah yang dinyatakan dalam Fatawa wa Taushiyat Nadwat Qadhaya Az-Zakah Al-Mu’ashirah (hlm. 28),

الدُّيُونُ الْإِسْكَانِيَّةُ وَمَا شَابَهَهَا مِنْ الدُّيُونِ الَّتِي تُمَوَّلُ أَصْلًا ثَابِتًا لَا يَخْضَعُ لِلزَّكَاةِ وَيُسَدّدُ عَلَى أَقْسَاطٍ طَوِيلَةِ الْأَجَلِ يَسْقُطُ مِنْ وِعَاءِ الزَّكَاةِ مَا يُقَابِلُ الْقِسْطَ السَّنَوِيَّ الْمَطْلُوبَ دَفْعُهُ فَقَطْ إِذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ أَمْوَالٌ أُخْرَى يُسَدِّدُهُ مِنْهَا

Utang perumahan dan sejenisnya yang digunakan untuk mendanai aset tetap tidak dikenakan zakat dan dibayar dengan angsuran jangka panjang yang dikeluarkan dari basis perhitungan zakat yang besarannya setara dengan angsuran tahunan yang harus dibayarkan, jika debitur tidak memiliki pendanaan lain untuk membayarnya.”[5]

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/72596-serial-fikih-zakat-bag-14-pengaruh-utang-investasi-dan-utang-perumahan-terhadap-capaian-nishab.html

Optimalkan Ibadah Di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban adalah bulan yang terletak setelah bulan Rajab dan sebelum bulan Ramadhan. Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Ada juga ibadah-ibadah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisinya dengan memperbanyak berpuasa di bulan ini sebagai persiapan menghadapi bulan Ramadhan. Bulan ini dinamakan bulan Sya’ban karena di saat penamaan bulan ini banyak orang Arab yang berpencar-pencar mencari air atau berpencar-pencar di gua-gua setelah lepas bulan Rajab. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan:

وَسُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيْ طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِيْ الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبِ الْحَرَامِ وَهَذَا أَوْلَى مِنَ الَّذِيْ قَبْلَهُ وَقِيْلَ فِيْهِ غُيْرُ ذلِكَ.

“Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram. Sebab penamaan ini lebih baik dari yang disebutkan sebelumnya. Dan disebutkan sebab lainnya dari yang telah disebutkan.”1

Adapun hadits yang berbunyi:

إنَّمَا سُمّي شَعْبانَ لأنهُ يَتَشَعَّبُ فِيْهِ خَيْرٌ كثِيرٌ لِلصَّائِمِ فيه حتى يَدْخُلَ الجَنَّةَ.

Sesungguhnya bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya bercabang kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.”2

Hadits tersebut tidak benar berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak orang menyepelekan bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal tersebut di dalam hadits berikut:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Ya Rasulullah! Saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan di banding bulan-bulan lain seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban ?” Beliau menjawab, “Itu adalah bulan yang banyak manusia melalaikannya, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Dia adalah bulan amalan-amalan di angkat menuju Rabb semesta alam. Dan saya suka jika amalanku diangkat dalam keadaan saya sedang berpuasa”.3

Amalan-amalan apa yang disyariatkan pada bulan ini?

Ada beberapa amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan para as-salafush-shalih pada bulan ini. Amalan-amalan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memperbanyak puasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa pada bulan ini tidak seperti beliau berpuasa pada bulan-bulan yang lain.

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka, dan berbuka sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Dan saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa dalam sebulan kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban.”4

Begitu pula istri beliau Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan:

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ.

“Saya tidak pernah mendapatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.”5

Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir berpuasa Sya’ban seluruhnya. Para ulama menyebutkan bahwa puasa di bulan Sya’ban meskipun dia hanya puasa sunnah, tetapi memiliki peran penting untuk menutupi kekurangan puasa wajib di bulan Ramadhan. Seperti shalat fardhu, shalat fardhu memiliki shalat sunnah rawatib, yaitu: qabliyah dan ba’diyah. Shalat-shalat tersebut bisa menutupi kekurangan shalat fardhu yang dikerjakan. Sama halnya dengan puasa Ramadhan, dia memiliki puasa sunnah di bulan Sya’ban dan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal. Orang yang memulai puasa di bulan Sya’ban insya Allah tidak terlalu kesusahan menghadapi bulan Ramadhan.

2. Membaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an mulai diperbanyak dari awal bulan Sya’ban , sehingga ketika menghadapi bulan Ramadhan, seorang muslim akan bisa menambah lebih banyak lagi bacaan Al-Qur’an-nya. Salamah bin Kuhail rahimahullah berkata:

كَانَ يُقَالُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ الْقُرَّاءِ

“Dulu dikatakan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Begitu pula yang dilakukan oleh ‘Amr bin Qais rahimahullah apabila beliau memasuki bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan mengosongkan dirinya untuk membaca Al-Qur’an.6

3. Mengerjakan amalan-amalan shalih

Seluruh amalan shalih disunnahkan dikerjakan di setiap waktu. Untuk menghadapi bulan Ramadhan para ulama terdahulu membiasakan amalan-amalan shalih semenjak datangnya bulan Sya’ban , sehingga mereka sudah terlatih untuk menambahkan amalan-amalan mereka ketika di bulan Ramadhan. Abu Bakr Al-Balkhi rahimahullah pernah mengatakan:

شَهْرُ رَجَب شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ.

“Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Sya’ban adalah bulan memanen tanaman.” Dan dia juga mengatakan:

مَثَلُ شَهْرِ رَجَبٍ كَالرِّيْحِ، وَمَثُل شَعْبَانَ مَثَلُ الْغَيْمِ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ اْلمطَرِ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبٍ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَانَ فَكَيْفَ يُرِيْدُ أَنْ يَحْصِدَ فِيْ رَمَضَانَ.

“Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, bulan Sya’ban seperti awan yang membawa hujan dan bulan Ramadhan seperti hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Sya’ban bagaimana mungkin dia memanen hasilnya di bulan Ramadhan.”7

4. Menjauhi perbuatan syirik dan permusuhan di antara kaum muslimin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni orang-orang yang tidak berbuat syirik dan orang-orang yang tidak memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ, فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ, إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ.

Sesungguhnya Allah muncul di malam pertengahan bulan Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin.”8

Musyahin adalah orang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga secara khusus tentang orang yang memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya:

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.

Pintu-pintu surga dibuka setiap hari Senin dan Kamis dan akan diampuni seluruh hamba kecuali orang yang berbuat syirik kepada Allah, dikecualikan lagi orang yang memiliki permusuhan antara dia dengan saudaranya. Kemudian dikatakan, ‘Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai’9

Oleh karena itu sudah sepantasnya kita menjauhi segala bentuk kesyirikan baik yang kecil maupun yang besar, begitu juga kita menjauhi segala bentuk permusuhan dengan teman-teman muslim kita.

5. Bagaimana hukum menghidupkan malam pertengahan bulan Sya’ban?

Pada hadits di atas telah disebutkan keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban. Apakah di-sunnah-kan menghidupkan malam tersebut dengan ibadah? Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وَصَلَاةُ الرَّغَائِبِ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ لَمْ يُصَلِّهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ، وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَفِيهَا فَضْلٌ، وَكَانَ فِي السَّلَفِ مَنْ يُصَلِّي فِيهَا، لَكِنَّ الِاجْتِمَاعَ فِيهَا لِإِحْيَائِهَا فِي الْمَسَاجِدِ بِدْعَةٌ وَكَذَلِكَ الصَّلَاةُ الْأَلْفِيَّةُ.

“Dan shalat Raghaib adalah bid’ah yang diada-adakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat seperti itu dan tidak ada seorang pun dari salaf melakukannya. Adapun malam pertengahan di bulan Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan, dulu di antara kaum salaf (orang yang terdahulu) ada yang shalat di malam tersebut. Akan tetapi, berkumpul-kumpul di malam tersebut untuk menghidupkan masjid-masjid adalah bid’ah, begitu pula dengan shalat alfiyah.”10

Jumhur ulama memandang sunnah menghidupkan malam pertengahan di bulan Sya’ban dengan berbagai macam ibadah. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan secara berjamaah.11 Sebagian ulama memandang tidak ada keutamaan ibadah khusus pada malam tersebut, karena tidak dinukil dalam hadits yang shahih atau hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah menyuruh untuk beribadah secara khusus pada malam tersebut. Hadits yang berbicara tentang hal tersebut lemah.

6. Bagaimana hukum shalat alfiyah dan shalat raghaib di malam pertengahan bulan Sya’ban ?

Tidak ada satu pun dalil yang shahih yang menyebutkan keutamaan shalat malam atau shalat sunnah di pertengahan malam di bulan Sya’ban . Baik yang disebut shalat alfiyah (seribu rakaat), dan shalat raghaib (12 rakaat). Mengkhususkan malam tersebut dengan ibadah-ibadah tersebut adalah perbuatan bid’ah. Sehingga kita harus menjauhinya. Apalagi yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Mereka berkumpul di masjid, beramai-ramai merayakannya, maka hal tersebut tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam An-Nawawi mengatakan tentang shalat Ar-Raghaib yang dilakukan pada Jumat pertama di bulan Rajab dan malam pertengahan bulan Sya’ban :

وَهَاتَانِ الصَّلاَتَانِ بِدْعَتَانِ مَذْمُومَتَانِ مُنْكَرَتَانِ قَبِيحَتَانِ ، وَلاَ تَغْتَرَّ بِذِكْرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَالإْحْيَاءِ

“Kedua shalat ini adalah bid’ah yang tercela, yang mungkar dan buruk. Janganlah kamu tertipu dengan penyebutan kedua shalat itu di kitab ‘Quutul-Qulub’ dan ‘Al-Ihya’’.”12

7. Bagaimana hukum berpuasa di pertengahan bulan Sya’ban ?

Mengkhususkan puasa di siang pertengahan bulan Sya’ban tidak dianjurkan untuk mengerjakannya. Bahkan sebagian ulama menghukumi hal tersebut bid’ah. Adapun hadits yang berbunyi:

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا.

Apabila malam pertengahan bulan Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan berpuasalah di siang harinya.”13

Maka hadits tersebut adalah hadits yang palsu (maudhu’), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi, jika kita ingin berpuasa pada hari itu karena keumuman hadits tentang sunnah-nya berpuasa di bulan Sya’ban atau karena dia termasuk puasa di hari-hari biidh (ayyaamul-biid/puasa tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan hijriyah), maka hal tersebut tidak mengapa. Yang diingkari adalah pengkhususannya saja. Demikian beberapa ibadah yang bisa penulis sebutkan pada artikel ini. Mudahan kita bisa mengoptimalkan latihan kita di bulan Sya’ban untuk bisa memaksimalkan ibadah kita di bulan Ramadhan. Mudahan bermanfaat. Amin. ***

Sumber: https://muslim.or.id/21581-optimalkan-ibadah-di-bulan-syaban.html

Cara Kita Bersyukur: Jika Tidak Memenuhi Rukun Syukur Ini, Tidak Disebut Bersyukur

Bagaimana cara kita bersyukur?

Dalam Mawsu’ah Nadhrah An-Na’im (6:2393) disebutkan pengertian syukur secara bahasa (lughatan). Syukur itu terdiri dari huruf syin kaaf raa’ yang menunjukkan pujian pada seseorang atas kebaikan yang ia perbuat.

Baca: Pengertian Syukur

Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Bersyukur kepada Allah adalah memuji-Nya sebagai balasan atas nikmat yang diberikan dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya” (Fath Al-Qadir, 4:312).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,

الشُّكْرُ يَكُوْنُ بِالقَلْبِ وَاللِّسَانُ وَالجَوَارِحُ وَالحَمْدُ لاَ يَكُوْنُ إِلاَّ بِاللِّسَانِ

“Syukur haruslah dijalani dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun al-hamdu hanyalah di lisan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 11:135)

Hakikat syukur menurut Ibnul Qayyim dalam Thariq Al-Hijratain (hlm. 508) adalah,

الثَّنَاءُ عَلَى النِّعَمِ وَمَحَبَّتُهُ وَالعَمَلُ بِطَاعَتِهِ

“Memuji atas nikmat dan mencintai nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat untuk ketaatan.”

Ibnul Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin (hlm. 187), rukun syukur itu ada tiga:

  1. Mengakui nikmat itu berasal dari Allah.
  2. Memuji Allah atas nikmat tersebut.
  3. Meminta tolong untuk menggapai rida Allah dengan memanfaatkan nikmat dalam ketaatan.

Rukun syukur ini jika kita jalankan itulah disebut cara bersyukur yang benar.

Ibnul Qayyim berkata, “Oleh karenanya orang yang bersyukur disebut hafizh (orang yang menjaga nikmat). Karena ia benar-benar nikmat itu terus ada dan menjaganya tidak sampai hilang.” (‘Uddah Ash-Shabirin, hal. 148)

Dalam hadits disebutkan,

وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ

Sesungguhnya seseorang terhalang mendapatkan rezeki karena dosa yang ia perbuat.” (HR. Ibnu Majah, no. 4022. Hadits ini adalah hadits dhaif kata Syaikh Al-Albani)

Baca juga: Syukur akan Menambah Nikmat

Abu Hazim juga berkata,

وأما مَن شكر بلسانه ولم يشكر بجميع أعضائه : فمثَلُه كمثل رجل له كساء فأخذ بطرفه ، فلم يلبسه ، فلم ينفعه ذلك من البرد ، والحر ، والثلج ، والمطر ” .

“Siapa saja yang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan anggota badan lainnya, itu seperti seseorang yang mengenakan pakaian. Ia ambil ujung pakaian saja, tidak ia kenakan seluruhnya. Maka pakaian tersebut tidaklah manfaat untuknya untuk melindungi dirinya dari dingin, panas, salju dan hujan.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:84)

Baca juga: Syukur Bukan Hanya Mengucapkan Alhamdulillah

Cara bersyukur, mulailah dari yang sedikit atau kecil.

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667).

Baca juga: Bersyukur dengan yang Sedikit

Jangan sampai nikmat Allah digunakan untuk bermaksiat.

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ.

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” (Hilyah Al- Awliya’, 1:497)

Baca juga: Kata Bijak tentang Syukur

Namun, memang yang mau bersyukur dengan benar hanyalah sedikit.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. Saba’: 13).

Ibnu Katsir berkata,

إخبار عن الواقع

Yang dikabarkan ini sesuai kenyataan.” Artinya, sedikit sekali yang mau bersyukur.

Baca juga: Sedikit yang Mau Bersyukur

Bentuk syukur adalah dengan menyandarkan nikmat itu kepada Allah dan ucapkan di lisan bahwa itu berasal dari Allah. Misalnya, kita sukses, kita sebut, “Alhamdulillah, ini semua karena Allah.” Jangan sampai kita sebut, “Ini karena saya memang pintar mengelola bisnis.” Jangan semata-mata lantaran kita, sebutlah nama Allah ketika bersyukur.

Baca juga: Kisah Mereka yang Tidak Mau Bersyukur

Kesimpulan 

Cara bersyukur adalah:

  • akui nikmat itu dari Allah dalam hati
  • ucapkan syukur di lisan
  • sebut nikmat itu berasal dari Allah, bukan karena diri kita
  • manfaatkan nikmat untuk ibadah
  • bersyukur bukan dengan bermaksiat
  • mulai bersyukur dengan yang sedikit
  • bisa jadi kita termasuk orang yang terasing dalam bersyukur, maka teruslah bersyukur

Semoga penulis dan pembaca tulisan ini menjadi hamba yang bersyukur.

Semoga penulis dan pembaca tulisan ini menjadi hamba yang bersyukur.

Darush Sholihin, siang hari 18 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28995-cara-kita-bersyukur-jika-tidak-memenuhi-rukun-syukur-ini-tidak-disebut-bersyukur.html

Clarence Seedorf Umumkan Menjadi Mualaf

Mantan pesepakbola asal Belanda, Clarence Seedorf mengumumkan bahwa dirinya telah memeluk agama Islam dan menjadi mualaf.Eks gelandang Ajax, Real Madrid dan AC Milan itu mengumumkan keputusannya itu di akun resmi Instagram miliknya.

Dia juga mengucapkan rasa terima kasih kepada semua orang yang memberikan dukungan atau ucapan selamat setelah masuk Islam.”Saya sangat gembira dan senang bergabung dengan semua saudara dan saudariku di seluruh dunia, secara khusus buat Sophia-ku tersayang yang sudah mengajariku tentang makna Islam dengan lebih mendalam,” tulis Clarence Seedorf di Instagram pada Sabtu (5/3/2022).

Lihat postingan ini di Instagram Sebuah kiriman dibagikan oleh Clarence Seedorf (@clarenceseedorf)

Sophia Makramati sendiri adalah adalah perempuan Kanada berdarah Iran yang dinikahi Clarence Seedorf dua tahun lalu.”Aku tidak mengubah nama saya dan akan terus memakai nama pemberian orang tua, Clarence Seedorf! Saya mengirimkan salam kasih sayang untuk semua orang di dunia,” tulis Seedorf.

Saat masih bermain sepak bola, Seedorf dikenal sebagai salah satu gelandang terbaik ketika membela klub maupun timnas Belanda. Dia kemudian melanjutkan kariernya sebagai pelatih usai pensiun. Pria berusia 45 tahun tersebut sudah menangani sejumlah klub termasuk AC Milan dan timnas Kamerun.

IHRAM

Hikmah Puasa Syaban

Ibnu Al Qayyim mengatkan terdapat tiga poin tentang kelebihan puasa bulan Syaban

Ibnu Al Qayyim mengatkan terdapat tiga poin tentang kelebihan puasa bulan Syaban dibanding bulan-bulan lainnya, melansir laman aboutislam.net, Sabtu (5/3/2022). 

Pertama, Nabi Muhammad (saw) biasa berpuasa tiga hari setiap bulan. Bisa jadi dia sibuk dan tidak bisa berpuasa dalam beberapa bulan, jadi dia mengumpulkan semua ini di Sya’ban untuk berpuasa sebelum puasa wajib.

Kedua, Rasulullah melakukannya untuk menghormati Ramadhan. Puasa ini mirip dengan salat sunah yang dilakukan sebelum puasa wajib untuk menghormatinya.

Ketiga,  bulan di mana amal diangkat oleh Allah SWT. Karena itu, Nabi Muhammad suka  berpuasa saat amalnya diangkat.

Berikut beberapa dalil yang menyebutkan tentang puasa Syaban:

Pertama, Nabi Muhammad suka  berpuasa saat amalnya diangkat hadits riwayat  an-Nasai

 قَالَ حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ 

Usamah bin Zaid dia berkata; Aku bertanya; “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya; -ia bulan yang berada- di antara bulan Rajab dan Ramadlan, yaitu bulan yang disana berisikan berbagai amal, perbuatan diangkat kepada Rabb semesta alam, aku senang amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.”

Kedua, Rasulullah berpuasa sunnah paling banyak pada Syaban. Hadits riwayat at-Tirmidzi 

 عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ

 الْحَدِيثُ أَيْضًا عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُهُ إِلَّا قَلِيلًا بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ 

Dari Ummu Salamah dia berkata, saya tidak pernah melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada bulan Sya’ban dan Ramadlan. 

Hadits ini telah diriwayatkan dari Abu Salamah dari ‘Aisyah bahwa dia berkata, saya tidak pernah melihat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam lebih banyak berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban, beliau dulu sering berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali beberapa hari saja bahkan beliau sering berpuasa sebulan penuh. 

Ketiga, Dilarang berpuasa di hari-hari terakhir bulan Syaban. Hadits Riwayat Ahmad, 

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنْ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ

Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika bulan sya’ban telah sampai pertengahan makan janganlah berpuasa hingga datang bulan Ramadhan.”

Keempat, puasa Syaban waktunya mengqadha puasa Ramadhan sebelumnya, hadits riwayat Abu Dawud

 أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ

إِنْ كَانَ لَيَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ حَتَّى يَأْتِيَ شَعْبَانُ

Telah mendengar Aisyah radliallahu ‘anha berkata; sesungguhnya aku berkewajiban melakukan puasa Ramadhan dan aku tidak mampu melakukannya hingga datang Bulan Sya’ban. 

Kelima, puasa untuk menghormati bulan suci Ramadhan, hadits riwayat At Tirdmizi 

 عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ فَقَالَ شَعْبَانُ لِتَعْظِيمِ رَمَضَانَ قِيلَ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ وَصَدَقَةُ بْنُ مُوسَى لَيْسَ عِنْدَهُمْ بِذَاكَ الْقَوِيِّ

Dari Tsabit bin Anas dia berkata, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa yang paling utama setelah Ramadlan, Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban untuk memuliakan Ramadlan, ” Beliau ditanya lagi, lalu Shadaqah apa yang paling utama? Beliau menjawab: “Shadaqah di bulan Ramadlan.” 

Keenam, anjuran puasa nisfu syaban, hadits riwayat Ibnu Majah, 

 عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Dari Ali bin Abu Thalib ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila malam nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini…hingga terbit fajar. “n

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengapa Muslim Diperintahkan Saling Berlomba dalam Kebaikan?

Berlomba dalam kebaikan sangat dianjurkan untuk mendulang pahala

erlomba dalam kebaikan atau fastabiqul khairat memiliki makna yang luas. Itu akan melahirkan amalan yang terbaik. 

Seorang Mukmin akan terpacu memanfaatkan waktunya untuk berbuat kebajikan.  Sebesar apa pun itu, meskipun seberat zarah, Allah Ta’ala akan membalasnya. 

Dengan segala daya yang dimiliki, berpaculah dalam amal kebaikan sehingga diri kita akan meraih kemuliaan, baik di dunia maupun akhirat kelak. Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 148, Allah SWT berfirman:

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. 

Tidak ada seorang pun manusia yang mengetahui kapan dan bagaimana akhir kehidupannya. Yang pasti, setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. 

Bila ajal telah tiba, tak seorang pun mampu menolak atau menangguhkannya walau sesaat pun.  Allah SWT berfirman dalam Alquran surat Al Hijr ayat 5 sebagai berikut  

مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ “Tidak ada satu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula mengundurkannya.” 

Karena itu, penting sekali bagi setiap orang beriman untuk memanfaatkan usia yang tersisa di jalan kebaikan. Salah satu wujud fastabiqul khairat ialah bersegera dalam beramal kebajikan dan ibadah, yang sunah dan terlebih lagi yang wajib.

Jangan berleha-leha, menunda ibadah hingga nanti. Bagaimana mungkin kita yakin bahwa diri ini masih bernapas esok hari, sedangkan rahasia kehidupan hanya diketahui Allah Ta’ala?  

Semangat fastabiqul khairat juga dapat mengejawantah dalam komitmen untuk meningkatkan kualitas amalan. Perbuatan-perbuatan baik hari ini seyogianya lebih baik dan bermakna daripada waktu kemarin. 

Begitu pula, amalan yang ditarget besok semestinya lebih berkualitas daripada hari ini. Amalan-amalan itu hendaknya selalu dievaluasi, diperbaiki, dan ditingkatkan kualitas, serta kuantitasnya. 

Yang patut diperhatikan pula ialah kondisi diri masing-masing. Misalnya, seseorang yang memiliki kelapangan harta atau bahkan kaya hendaknya banyak-banyak bersedekah. 

Sementara itu, orang yang sedang mengalami kesempitan finansial dapat meningkatkan ibadah shalat malam atau puasa sunah. Dengan demikian, mereka seluruhnya dapat selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas amalan sesuai kemampuan masing-masing.  

Dalam beribadah, seorang Muslim hendaknya mengambil yang paling utama. Sebagai contoh, sholat wajib dapat dilakukan di mana saja. Akan tetapi, sholat berjamaah di masjid memiliki keutamaan daripada shalat yang dilakukan sendirian di rumah.

 Contoh lainnya, Islam menganjurkan umatnya untuk bersedekah. Sementara itu, sedekah pada bulan suci Ramadhan sangat disukai Nabi Muhammad SAW. 

Meluaskan jangkauan kebaikan juga termasuk semangat fastabiqul khairat. Dengan begitu, dampak positifnya dirasakan tidak hanya umat Islam, tetapi juga seluruh manusia. Prinsip Islam, yakni menyebarkan rahmat kepada sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin) pun dapat sampai seluas-luasnya.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Ketika Rasulullah Menangis

Rasulullah SAW pernah disaksikan para sahabat menangis. Meski begitu, menangisnya Rasulullah tidak seperti kita. Tangis Rasulullah mempunyai makna dalam.

Bahkan tidak seperti manusia pada umumnya yang biasa menangis karena hal remeh temeh, hanya hal-hal besar dan penuh makna mendalam yang membuat Rasulullah menangis.

Berikut beberapa hal yang membuat Rasul menangis?

Rasulullah menangis karena takut pada Allah

Salah satu sebab utama yang membuat Rasulullah menangis adalah yang berkaitan pada turunnya rahmat dan ampunan dari dosa-dosa. Rasulullah banyak menangis karena takut kepada Allah. 

Rasulullah menangis dalam sholat malam. Sahabat Bilal bin Rabah pernah melihat janggut Rasulullah yang mulia basah oleh air mata, kemudian Bill berkata:  Ya Rasulullah menagapa Engkau menangis ketika Allah mengampunimu atas segala apa yang telah lalu dan apa yang akan datang. Rasulullah menjawab: Apakah saya harus tidak menjadi hamba yang bersyukur? Sebuah ayat turun padaku malam ini, dan celakalah bagi orang yang tak membaca dan mentafakurinya. 

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ

Rasulullah juga menangis dalam sholatnya dan saat mendengar Alquran. Rasulullah sering meminta Abdullah bin Masud membacakan ayat-ayat Alquran. Ketika Ibnu Masud sampai pada surat An Nisa ayat 41:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِن كُلِّ أُمَّةٍۭ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ شَهِيدًا

Seketika, Rasulullah meneteskan air mata. 

Rasulullah menangis karena kehilangan orang-orang yang dicintainya

Putri Rasulullah SAW, Ummu Kultsum jatuh sakit. Ia merasakan kematiannya telah dekat dan ia tetap berada di tempat tidurnya. Ummu Kultsum tak pernah berhenti berzikir. Hingga pada pagi hari, Aisyah datang menemuinya. Ia mendapati Ummu Kultsum tengah berjuang di akhir hayatnya. Kabar itu pun disampaikan pada Rasulullah dan Utsman bin Affan.   

Saat Rasulullah tiba, putrinya itu berada pada saat-saat terakhirnya. Air mata Rasulullah menetes dari matanya. Ketika itu, Ummu Kultsum wafat. 

Asma bini Umais, Sofiyah binti Abdul Muthalib dan Ummu Atiyah Al Ansori dan Rasulullah SAW memandikan jasad Ummu Kultsum. Kemudian jasad Ummu Kultsum dibawa ke pemakaman Baqi dan dimakamkan di sana. Rasulullah ridho dengan takdir Allah. Ia berduka dengan kehilangan putrinya. Namun Rasulullah sabar. Peristiwanya itu terjadi pada Syaban tahun kesembilan Hijriah.

Dan Rasulullah juga menangis sampai orang-orang di sekitarnya pun ikut menangis ketika Rasulullah mengunjungi makam ibunya. Rasulullah juga menangis ketika putranya yakni Ibrahim meninggal.

Rasulullah menangis karena sahabatnya syahid

Rasulullah bersedih ketika para sahabatnya syahid dalam pertempuran Uhud termasuk pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib. Rasulullah menangis dan sangat sedih karena kehilangan mereka.

Begitupun ketika orang-orang Yahudi dari bani Quraidzah melanggar perjanjian. Dalam peristiwa pengepungan bani Quraidzah selama dua puluh lima malam, sahabat Saad bin Muadz terluka. Kondisinya pun terus memburuk hingga kemudian oa wafat. Rasulullah dan para sahabat lainnya pun berduka. Ibu Saad bin Muadz pun berduka atas kepergian putranya. Rasulullah kemudian berkata bahwa Allah memuliakan Saad, Allah memberikan derajat tinggi untuknya dan tujuh puluh ribu malaikat mengahdiri pemakamannya. 

Rasulullah menangis untuk umatnya

Abdullah bin Amr bin Al Aas meriwayatkan nabi SAW membaca  apa yang Allah firmankan tentang Ibrahim: 

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ ۖ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي ۖ وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۖ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Rasulullah mengangkat tangannya dan berkata umatku, umatku, dan menangis. 

Kemudian malaikat bertanya kepada Rasulullah tentang apa yang membuatnya menangis.  Allah memerintahkan Jibril meyakinkan Nabi bahwa Allah akan memberikan kegembiraan ia dan umatnya. 

Rasulullah bersabda: “Umatku menemuiku di telaga, dan aku menghalau mereka darinya sebagaimana seorang laki-laki menghalau unta seseorang dari untanya.” Mereka bertanya, ‘Wahai Nabi Allah, apakah engkau mengenal kami? ‘ Beliau menjawab: ‘Ya. Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh selain kalian. Kalian menemuiku dalam keadaan putih bersinar karena bekas air wudlu. Dan sungguh sekelompok dari kalian akan dihalau dariku, sehingga kalian tidak sampai kepadaku. Lalu aku berkata: ‘Wahai Rabbku, mereka adalah para sahabatku’. Lalu seorang malaikat menjawab perkataanku seraya berkata, ‘Apakah kamu tahu sesuatu yang terjadi setelah kepergianmu’.”

IHRAM