Ada Apa dengan Sya’ban (1) : Kenapa Harus Diistimewakan?

“Madza fi Sya’ban” adalah kitab kecil yang mengulas bulan Sya’ban, ditulis oleh Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al Maliki al Makki al Hasani. Tipikal ulama alim ‘allamah (sangat alim) serta kreatif menulis. Satu ciri khasnya, karya-karya yang ditulis berupa pembahasan yang terfokus pada satu bahasan sehingga penjelasannya menjadi syamil dan kamil. Misalnya kitab al Anwar al Bahiyyah min Isra’ Mi’raj Khairil Bariyyah yang mengupas tuntas Isra’ Mi’raj.

Begitu juga kitab Madza fi Sya’ban (ada apa di bulan Sya’ban) ditulis secara khusus untuk menjelaskan bulan Sya’ban; peristiwa yang terjadi di bulan ini, keutamaan, dan lain-lain. Kitab setebal 152 halaman ini sangat penting dibaca untuk memahami beberapa hal penting yang berhubungan dengan bulan Sya’ban.

Tulisan ini akan menguraikan beberapa pembahasan penting dalam kitab tersebut.

Kenapa dan ada apa dengan bulan Sya’ban? Apa yang membuat bulan Sya’ban menjadi istimewa dan pantas dirayakan?

Bulan Sya’ban adalah bulan mulia, agung dan penuh berkah. Ini telah masyhur dijelaskan teks Islam dan penjelasan ulama. Bulan yang menyimpan kebaikan berlimpah. Bertaubat di bulan ini merupakan keuntungan yang besar, sebab besar harapan taubatnya akan diterima. Pahala amal kebajikan dilipatgandakan. Sya’ban menjadi arena pacuan amal-amal kebaikan. Orang yang bertaubat mendapat jaminan keamanan.

Karenanya, orang yang membiasakan dan memperbanyak amal kebaikan akan menjadi orang yang beruntung di bulan Ramadhan. Dengan kata lain, bulan Sya’ban adalah media latihan beribadah untuk menyambut bulan suci Ramadhan.

Asal Usul Penamaan Sya’ban

Diberi nama Sya’ban karena di bulan ini menyimpan berjuta kebaikan. Satu pendapat mengatakan Sya’ban berasal dari dua kata Sya’a (menyebar) dan Bana (jelas), artinya kebaikan menyebar secara nyata. Pendapat lain mengatakan berasal dari akar kata Syi’bi yang berarti jalan di gunung. Sya’ban bermakna jalan kebaikan. Ada juga yang berpendapat berasal dari akar kata “Sya’bu” bermakna menambal. Berarti, Allah akan menambal keretakan hati atau mengobati penyakitnya.

Membangun Kesadaran Sejarah Umat Islam

Kenapa umat Islam sangat bergairah dan antusias menyambut dan memperingati bulan Sya’ban, bersungguh-sungguh menghadap kepada Allah dengan cara bertaubat, beribadah dan dan melakukan ketaatan, mengerjakan amal-amal shaleh dengan segala variannya, menghidupkan hati dengan dzikir, ziarah ke makam Rasulullah, shalat berjamaah di Baitullah, thawaf dan umrah?

Para ulama membuat satu kaidah baku, “Masa (tanggal, hari, bulan dan tahun) menjadi mulia karena ada peristiwa bersejarah yang bernilai agung terjadi di waktu itu”. Semakin mulia, semakin agung dan semakin fenomenal peristiwa bersejarah yang terjadi, semakin tinggi nilai keutamaan bulan tersebut.

Dengan demikian, substansi dari setiap perayaan dan penyambutan yang luar biasa terhadap bulan Sya’ban adalah dalam upaya membuka ruang kesadaran sejarah umat Islam. Supaya umat Islam sadar bahwa di bulan Sya’ban terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah yang mampu menggugah kesadaran keberagamaan umat Islam, semakin mengokohkan keimanan dan menjadi pemicu untuk lebih semangat dalam beribadah dan tertanamnya nilai-nilai universal ajaran Islam dalam diri setiap individu.

Di berbagai tempat di dunia, upaya membuka ruang kesadaran sejarah umat Islam dilakukan dengan ragam cara dan tradisi. Ada banyak cara memperingati datangnya bulan Sya’ban, namun inti tujuannya adalah sama, yakni untuk memberitahu umat Islam bahwa di bulan Sya’ban telah terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah yang lekat dengan ajaran Islam.

Membangunkan kesadaran sejarah umat Islam sangat penting supaya mereka mengetahui sejarah yang terjadi dengan sebenarnya, karena hal ini akan menghantarkan pada satu keyakinan yang benar, jalan yang benar, dan bisa berfikir secara sehat.

Hukum Tradisi Menyambut Bulan Sya’ban

Maka, setiap perayaan hari besar keagamaan; Isra’ Mi’raj, maulid Nabi, tahun baru hijriah dan termasuk bulan Sya’ban adalah upaya untuk memberikan pelajaran sejarah kepada umat Islam, bukan memuliakan, mengkultuskan apalagi menuhankan bulan-bulan tersebut. Karenanya, menjadi heran apabila ada kalangan umat Islam sendiri yang “berotak batu”  berusaha melupakan atau menghapus peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut dengan alasan memperingati hari-hari besar keislaman adalah bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi.

Padahal, upaya memusnahkan kesadaran akan pentingnya sejarah itu yang jelas-jelas bid’ah karena akibatnya adalah menutup rapat kesadaran sejarah umat Islam.

Tradisi menghormati dan mengagungkan bulan Sya’ban, juga bulan-bulanan yang lain, semata supaya peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan-bulan tersebut tetap abadi dalam kesadaran umat Islam. Sebab, kesadaran akan sejarah mampu menggugah semangat beragama dan meningkatnya gairah ketakwaan.

Lalu, bagaima mungkin tradisi-tradisi memperingati momen-momen keagamaan tersebut dihukumi bid’ah?

ISLAM KAFFAH

‘Agama dan Budaya tak Perlu Dipertentangkan’

Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan narasi yang mengkontradiksikan antara agama dan budaya. Hal ini membuktikan radikalisme dan terorisme bukan sekedar aksi, tatkala paham ini telah menginfiltrasi ke seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali di berbagai lini vital kehidupan bangsa.

Imam Besar Masjid Al Markas Al Islami Makassar, Sulawesi Selatan, KH Muammar Bakry mengutarakan pandangannya terkait ricuh perdebatan kontradiksi antara agama dan budaya. Ia berpendapat kedua hal tersebut bukanlah sesuatu yang pantas dipertentangkan.

“Seharusnya kalau kita memahami esensi dari agama, maka antara budaya dan agama tidak pantas untuk dipertentangkan,” ujar  KH Muammar Bakry di Makassar, Jumat (25/2/2022).

Ia melanjutkan, bahwasanya agama Islam sendiri khusunya telah menganjurkan dan memerintahkan kepada umat untuk senantiasa menjaga nilai-nilai baik yang hidup di tengah masyarakat, dalam hal ini adat istiadat yang tumbuh ditengah masayarakat.

“Sehingga apa pun budaya dan nilai yang tidak bertentangan dengan nilai agama maka tidak perlu dipertentangkan,” katanya.

Pasalnya, dewasa ini pola infiltrasi kelompok radikal kian masif hingga telah menyentuh berbagai lini kehidupan, mulai dari pemerintahan hingga lembaga pendidikan yang mana kerap kali berusaha untuk menghilangkan nilai budaya dan kearifan lokal bangsa ini.

“Ini dikarenakan, ideologi radikalisme menyerang pikiran, sel saraf manusia yang menghasilkan pemikiran yang membenarkan aksi-aksi ke arah manipulasi agama, dan infiltrasi tersebut menjadi bagian dari upaya maksimal mereka, jihad,” kata Muammar.

Sehingga, pria yang juga Dekan Fakultas Syariah dan Hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar ini, menilai perlu adanya pelibatan banyak komponen untuk mengahalau laju infiltrasi kelompok radikal. Salah satunya melalui penguatan kebijakan Pentahelix yang dicanangkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

“Saya kira semua komponen harus terlibat, semua lini dari semua lapisan masyarakat harus terlibat. Dan kebijakan Pentahelix yang digagas BNPT ini bisa mempersempit ruang bagi pemikiran radikal ini agar tidak  tumbuh subur di tengah masayarakat,” ujarnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Lima Prinsip Mempelajari Ilmu Agama

Ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari ilmu agama. Hal itu diungkap Mantan Mufti Mesir, Syekh Ali Jumáh seperti dilansir Elbalad, Jumat (4/3/2022).

“Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu pengetahuan kecuali dengan lima ini. Allah telah memberikan keberkahan kepada saya, sehingga saya bisa mempelajari ilmu-ilmu dunia, kemudian dengannya saya melakukan perjalanan melintasi berbagai negara dan berpartisipasi dalam konferensi dan simposium. Mengajar ilmu syariah, hukum, dan ekonomi, serta mengkaji lebih dari 100 tesis,” kata dia.

Prinsip pertama, yaitu menghormati warisan generasi terdahulu. Syekh Jum’ah mengatakan, generasi salaf yang sholeh telah melakukan berbagai hal dan upaya sehingga mereka bisa mewariskan Islam tentunya atas izin Allah SWT. Generasi tersebut membangun peradaban yang besar dan umat Muslim harus melakukan tugas serupa seperti yang mereka lakukan.

Prinsip kedua, yakni menghormati waktu. Waktu terus berjalan tanpa bisa diputar kembali. Kehidupan juga terus bertumbuh dan berubah. Mulai dari teknologi modern, teknologi komunikasi hingga alat transportasi yang telah mengubah aktivitas manusia sehari-hari.

Prinsip ketiga, adalah menyadari bahwa Islam adalah agama yang universal sehingga Islam harus disampaikan dalam bentuk aslinya kepada dunia. Seorang Muslim yang dalam hal ini pencari ilmu tidak boleh menjadi penghalang antara manusia dan Allah SWT. Pneghalang yang dimaksud seperti tindakan yang buruk, perkataan atau tindakan yang menyimpang dari jalan Allah SWT tanpa disertai ilmu.

Hal itu berbeda dengan orang yang mengurung diri dengan aliran tertentu dan mengabaikan universalitas Islam. Orang ini berpikir bahwa dirinyalah penjaga leluhur dan warisan. Namun Allah SWT mengetahui berapa banyak kerusakan yang terjadi di bumi yang dilakukan dengan niat baik atau dengan ketidaktahuan atau kerusakan pikiran. “Orang macam ini banyak,” katanya.

Prinsip Keempat, ialah mencoba menetapkan suatu kriteria atau standar dalam memilih fiqih. Untuk itu, Syekh Jum’ah mencari fiqih yang luas dan membedakan antara zhonniy (prasangka) dan qoth’i (yang tetap atau pasti).

“Saya tidak menyimpang dari ijma yang tetap dan tidak merendahkan usaha-usaha para pendahulu. Jadi saya tidak berdiri di sampingnya dengan teguh, tetapi sebaliknya, saya merasa nyaman dengannya dan bersukacita atas kesepakatannya. Saya berijtihad dengan pendapat saya tanpa ragu,” kata dia.

Allah SWT berfirman, “Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.” (QS Al-Baqarah ayat 143)

Prinsip kelima, yakni menyadari bahwa Islam lebih besar dari aliran, adat istiadat, sejarah dan geografis. Selama berabad-abad, para pemikir Muslim memahami hal tersebut, dan tidak menjadi intoleran terhadap aliran-aliran yang ada. Karena Islam lebih besar dari itu.

Sumber: https://www.elbalad.news/5186980

IHRAM

Hukum Seputar Bulan Madu

Kita memasuki zaman yang susah sekali membedakan hal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan. Zaman yang kehidupan ini dipenuhi dengan fitnah syahwat dan fitnah syubhat. Di antara fenomena yang dihadapi oleh kaum muslimin masa kini adalah munculnya berbagai gaya hidup yang terdapat lebih banyak kemungkaran dan pelanggaran terhadap syariat dibandingkan memberikan kebaikan. Namun, sering kali dilakukan oleh masyarakat, bahkan oleh kaum muslimin sendiri.

Salah satu fenomena tersebut adalah kegiatan bulan madu. Bulan madu adalah kebiasaan yang dilakukan oleh pasangan yang baru menikah. Mereka pergi bersama, menetap di suatu tempat, bersantai, dan berada jauh dari gangguan, baik dari pihak keluarga, saudara atau teman terdekat sehingga terbangun ikatan antara pasangan suami istri.

Tidak ada dalil secara khusus yang memperbolehkan atau melarang bulan madu bagi umat Islam yang baru menikah sehingga hukum asalnya adalah mubah. Hukumnya mubah apabila tidak mengandung kemungkaran, seperti tempat tujuannya bukanlah negeri kafir atau negeri yang dipenuhi dengan kefasikan. Bulan madu bisa dihukumi haram, sunah, dan makruh tergantung bagaimana orang tersebut melakukannya, tempat tujuannya, dan perkara-perkara lainnya.

Penamaan bulan madu

Syekh Utsaimin Rahimahullah di dalam kitab Syarhul Mumti menyebutkan,

“Ada faedah yang mungkin diambil dari sabda nabi,

حتى تذوقي عسيلته ويذوق عسيلتك

“Hingga Engkau mencicipi sedikit madunya dan dia mencicipi sedikit madumu (yaitu berhubungan suami istri” (HR. Muslim no. 1433).

Sebagian orang mengatakan hadis ini menjadi sebab penyebutan bulan madu. Apakah perkara ini dibenarkan?”

Syekh Utsaimin Rahimahullah melanjutkan, “Iya, hal ini dapat dibenarkan. Namun, manisnya madu ini bukan hanya sebulan jika hubungan kita dengan istri langgeng dan lancar. Oleh karena itu, manisnya madu (hubungan suami istri) ini akan bertahan abadi dan bukan hanya sebulan.”

Bisa kita simpulkan bahwa membatasi waktu berakrab ria dengan istri, baik itu sebulan, seminggu maupun beberapa hari tidaklah mengandung kebaikan. Pada hakikatnya, kita mengharapkan hubungan langgeng dan abadi sepanjang usia kehidupan kita saat menikah.

Bolehkah bulan madu ke negeri kafir?

Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pernah ditanya, “Banyak orang yang ditimpa cobaan berupa melakukan perjalanan ke luar negeri Islam yang tidak memedulikan dosa. Tujuan mereka adalah bulan madu. Saya mohon agar syekh dengan baik hati memberikan nasihat kepada saudara semuslim dan mereka yang berwenang sehingga mereka dapat mengetahui masalah ini.”

Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah. Selawat dan salam atas Rasulullah, keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mendapat petunjuknya. Tidak ada keraguan bahwa bepergian ke negeri-negeri kafir merupakan bahaya besar, tidak hanya pada saat pernikahan atau yang disebut bulan madu saja, tetapi juga di waktu-waktu lainnya. Orang yang beriman harus takut kepada Allah Ta’ala dan waspada terhadap apa-apa yang membahayakan dirinya. Bagi seorang muslim, berbahaya untuk agamanya, akhlaknya, dan agama istrinya ketika melakukan perjalanan ke negeri orang-orang musyrik. Hal ini disebabkan karena negeri tersebut menggembar-gemborkan kebebasan dan tidak menyangkal serta memedulikan kemungkaran.

Wajib dilakukan oleh semua pemuda kita dan semua saudara kita untuk meninggalkan perjalanan semacam ini. Abaikan pikiran untuk tinggal di negara mereka pada saat pernikahan ataupun karena sebab lainnya. Semoga Allah Ta’ala mencegah mereka dari kejahatan dorongan setan.

Bepergian ke negara-negara yang di dalamnya terdapat kekafiran, kesesatan, kebebasan, dan keburukan sangatlah berbahaya bagi pria dan wanita muslim. Betapa banyak orang saleh yang bepergian dan kembali dalam keadaan rusak. Betapa banyak orang yang awalnya muslim lalu kembali dari perjalanannya sebagai orang kafir. Jelaslah bahwa bahaya perjalanan ini sangat besar. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ

“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di antara orang-orang musyrik” (HR. Abu Daud (7/303-‘Aunul Ma’bud), At-Tirmidzy (4 /132), disahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ (5/30). Beliau menyebutkan berbagai jalan dan syawahid hadis tersebut).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لا يقبَلُ اللهُ من مُشركٍ أشرَكَ بعدَ ما أسلمَ عملًا حتَّى يفارقَ المشركينَ إلى المسلِمينَ

“Allah tidak akan menerima amalan orang musyrik yang sudah masuk Islam hingga ia memisahkan diri dari orang-orang musyrik dan bergabung dengan orang-orang muslim” (HR. An-Nasa’i (5/82) dan Ibnu Majah (2536). Syekh Al-Albani berkata, “Hadis ini sanadnya hasan dan disahihkan oleh Hakim (4/600) dan disetujui oleh Adz-Dzahabi (Ash-Shahihhah no 369))”.

Syekh Sholeh Fauzan di dalam kitab Al-Mulakhas Al-Fikhi (2/581) menyebutkan, “Apa yang masyhur saat ini di kalangan anak muda kaya dan orang kaya adalah bepergian di awal pernikahan ke negara-negara kafir asing untuk menghabiskan bulan madu.

Sesungguhnya itu adalah bulan racun karena termasuk bulan yang dihukumi haram. Kegiatan bulan madu itu banyak mendatangkan kemungkaran, seperti membuka cadar, mengenakan pakaian orang-orang kafir, menyaksikan perbuatan dan tradisi orang-orang kafir yang kurang adab,  serta mengunjungi tempat-tempat hiburan.

Pada akhirnya, wanita itu kembali dari perjalanannya dengan kondisi terpengaruh oleh akhlak keji tersebut dan meninggalkan moral masyarakat muslim. Oleh karena itu, perjalanan seperti ini dilarang keras. Hukumnya wajib mencegah pelakunya dari melakukan hal itu. Begitu juga, wali wanita harus mencegah (wanita tersebut) dari perjalanan itu.”

Bagaimana jika bulan madu dengan umrah bersama?

Di dalam Fatawa As-Syabakiyyah Al-Islamiyyah disebutkan,

“Dibolehkan bagi seseorang untuk menghabiskan bulan pertama pernikahannya di dekat rumah suci Allah (berumrah) sehingga ia menggabungkan kebaikan dunia dan akhirat. Selain itu, dia mendapatkan kelezatan agama dan dunia. Hal seperti ini juga menjadi peluang besar untuk mensyukuri nikmat Allah Ta’ala atas nikmat pernikahan yang dilimpahkan kepadanya. Nikmat pernikahan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah dan merupakan keberkahan untuk hamba-hamba-Nya.

Namun, yang harus diperhatikan seorang suami, hendaknya ia tidak terganggu ibadahnya dari pemenuhan hak-hak istrinya. Terutama di masa-masa awal pernikahan mereka. Tak terkecuali hak istrinya atas dirinya di tempat tidur, mempergaulinya, dan bercengkrama dengannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak terhadapmu, matamu memiliki hak terhadapmu, dan istrimu memiliki hak terhadapmu” (HR. Al-Bukhari no. 5199, Muslim no. 1159).

Istri pun juga tidak boleh terganggu karena ibadahnya dari melayani suaminya dengan tetap memperhatikan bahwa larangan ihram harus dihindari sebelum tahallul (diantaranya adalah berhubungan suami istri).”

Ada nasihat yang sangat indah  dari Syekh Utsaimin Rahimahullah terkait hal ini. Beliau berkata di dalam Syarhul Mumti’, “Apa hukumnya orang yang mengatakan, ‘Saya dan istri pergi umrah (untuk bulan madu)?’

Kami berpendapat bahwa ini mengandung hal baik dan tidak baik. Sepertinya asal-usul bulan madu diambil dari non-muslim. Kami tidak mengetahui hal ini pada zaman para ulama sebelumnya dan pada zaman para pendahulu. Para ulama pun tidak membicarakannya. Dengan demikian, hal ini (bisa jadi) diambil dari non-muslim. Ini sudut pandang dari satu sisi.

Sudut pandang dari sisi lain, saya khawatir jika dalam jangka waktu yang lama manusia menjadikan pernikahan sebagai alasan untuk melaksanakan umrah. Jika demikian, lama kelamaan akan dikatakan, ‘sunah bagi setiap orang yang menikah untuk melakukan umrah!’ Sehingga kita telah membuat alasan yang tidak sesuai dengan syariat untuk beribadah. Hal ini merupakan masalah. Setelah berjalannya waktu yang cukup panjang, sering kali keadaan akan berubah dan manusia akan melupakan alasan awal dari melakukan suatu perbuatan.

Oleh karena itu, kami katakan, jadikan bulan madu itu di kamar Anda, di rumah Anda, dan jadikan manisnya madu ini untuk selamanya, bukan hanya sebulan. Aku memuji Allah Ta’ala atas nikmat kesehatan yang telah diberikan.”

Wallahu a’lam bisshawaab.

Penulis: Muhammad Idris Lc. 

Sumber: https://muslim.or.id/72714-hukum-seputar-bulan-madu.html

Ammatoa: Islam dan Adat dalam Satu Tarikan Nafas

Ammatoa adalah salah satu komunitas adat yang berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka tinggal di wilayah perbukitan yang luasnya sekitar 50 kilometer. Desanya disebut dengan Tana Toa (tanah yang tertua). Warganya percaya bahwa Tana Toa adalah tempat di mana Tuhan menciptakan bumi pertama kali. Karenanya, wilayahnya diabadikan dengan nama Tana Toa, yang berarti tanah tertua di dunia.

Komunitas adat Ammatoa berpegang pada nilai-nilai Pasang ri Kajang (pesan-pesan Kajang) yang diturunkan secara turun temurun dan diyakini bersumber dari Tuhan. Pasang memuat ilmu pengetahuan dan falsafah hidup yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan lingkungannya.

Nilai-nilai Pasang Ri Kajang tercermin dalam kehidupan sederhana mereka. Kesederhanaan hidup ini dikenal juga dengan istilah “Kamase-Masea”. Ajaran yang tertuang dalam Pasang, sebagaimana yang disampaikan Disnawati dalam Jurnal Sabda, antara lain;

Anre kalumannyang kelupepeng. Ria’ kamase-mase & angnganre na rie’. Cgre-care na rie’. Pammallijuku’na rie’. Koko na rie’. Balla situjuluju.

Artinya: “Kekayaan itu tidak kekal. Yang ada hanya kesederhanaan. Makan secukupnya. Pakaian secukupnya. Kebun secukupnya. Rumah seadanya.”

Kesederhanaan telah menjadi prinsip dan gaya hidup warga Ammatoa. Mata pencaharian mereka, pekerjaan yang mereka lakukan, adalah sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tidak untuk mendapatkan lebih dari yang dibutuhkan, tidak untuk kaya raya. Secukupnya.

Sebagaimana suku Baduy, warga adat Ammatoa juga terbagi ke dalam dua wilayah, yaitu Ammatoa Dalam dan Luar.  Berbagai atribut modern seperti sepeda motor, mobil, ponsel, hanya boleh digunakan di Ammatoa Kawasan Luar. Sementara Ammatoa Dalam tidak memperbolehkannya. Warga Ammatoa Dalam menggunakan atribut modern tersebut hanya ketika mereka berada di Kawasan Luar.

Ammatoa Dalam sangat memegang teguh aturan nilai-nilai Pasang dan lebih membatasi diri dengan dunia modern. Dalam banyak aktivitas sehari-hari, mereka tidak mengenakan alas kaki, memakai ikat kepala bagi laki-laki, dan berpakaian warna hitam. Bagi masyarakat Ammatoa, warna hitam mempunyai makna kesederhanaan sedangkan tidak mengenakan alas kaki mempunyai makna menyatu dengan tanah, menyatu dengan alam di mana manusia berasal. 

Praktik keagamaan Ammatoa

Komunitas adat Ammatoa sendiri mengaku telah memeluk Islam sejak abad ke-17 M. Meskipun begitu, mereka tidak serta merta meninggalkan nilai-nilai adat yang telah mereka pegang. Bagi penganut Ammatoa, Islam dan adat bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan. Keduanya bisa bersatu, bisa berdampingan, dan tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penyatuan ini dapat dilihat dalam keseharian mereka, seperti penggunaan jilbab warna hitam bagi perempuan, seragam putih-hitam untuk anak sekolah, hingga ritual-ritual adat yang tetap dilaksanakan di samping ritual agama. Ketika ada yang meninggal dunia, jenazah tetap dimandikan, dishalatkan, dikuburkan secara Islam, tetapi juga diupacarakan secara adat (Chusnul, 2021, h. XVI).

Mereka juga tetap menjalankan ritual sesaji. Bagi warga Ammatoa, hubungan manusia dengan alam adalah hubungan antar-subjek, hubungan interpersonal. Bukan subjek-objek. Ritual sesaji yang dilakukan oleh penganut Ammatoa Kajang ini merupakan bentuk kasih dan penghormatan bagi alam semesta yang telah menyediakan banyak hal untuk hidup manusia.

Sayangnya, ekspresi penghormatan dan cara berkomunikasi warga suku dengan alam ini sering mendapatkan respons negatif. Mereka kerap dituduh animis, primitif, dilabeli musyrik, bid’ah, hingga sesat. Padahal, cara berkomunikasi berbeda dengan menyembah, berbeda dengan menuhankan.

Cara pandang dan praktik keagamaan warga Ammatoa memang berbeda dengan Muslim kebanyakan. Karenanya mereka juga sering dianggap tidak berislam secara kaffah. Namun, bukankah ini justru menunjukkan corak Islam yang beragam? Ajaran yang mereka pegang, ajaran yang sering dianggap sesat itu, adalah ajaran yang telah merawat dan menjaga alam dari berbagai kerusakan karena keserakahan manusia. Wallahua’lam.

BINCANG SYARIAH

Tips untuk Mendapatkan Percikan Rahmat Allah

Rahmat merupakan pertolongan dan penjagaan Allah. Sekecil apapun kebaikan yang kita tebarkan, seminim apapun ibadah yang kita lakukan, itu adalah menjadi bagian dari usaha kita untuk meraih rahmat Allah. Rahmat Allah tentu tidak akan tanpa pondasi yang kita bangun. Apakah pondasi itu? Tidak lain adalah berbagai amal shaleh yang tentu disukai oleh-Nya.

Salah satu tips untuk mendapatkan percikan rahmat Allah adalah berkumpul dengan orang yang sering mengingat Allah. Yang demikian merupakan mutiara indah dalam kitab Az Zuhud karya Imam Ahmad bin Hanbal. Sebuah pesan Lukman Hakim kepada anaknya yang tertulis sebagai berikut.

اختر المجالس على عينك فإذا رأيت المجلس بذكرالله عز وجل فاجلس معهم فإنك إن تك عالما ينفعك علمك وإن تك غيبا يعلموك وإن يطلع الله عليهم برحمة تصيبك معهم
Pm

Pilihlah majelis perkumpulanmu sesuai seleramu. Apabila kau menemukan orang-orang yang duduk mengingat Allah. duduklah bersama mereka. Jika kau berilmu, ilmumu akan bermanfaat. Jika kau orang bodoh, mereka akan mengajarimu. Kalau Allah merahmati mereka, kau juga mendapatkan percikan rahmat-Nya

Berkawan dan berkumpul dengan orang yang sering mengingat Allah menyebabkan kita mendapatkan percikan rahmat Allah. Mengapa demikian? Karena Allah tentu akan merahmati orang-orang yang selalu mengingat dan menyertakan Allah dalam setiap waktunya. Jika kita berkawan dan berkumpul dengan tipikal orang yang demikian baiknya, secara tidak langusng kita mendapati percikan rahmat Allah melalui orang tersebut.

Disinilah seorang teman memiliki pengaruh untuk menguatkan iman dan terus dalam ladang ketaatan. Karena jika kita salah atau bodoh, ia akan mengajari dan mengajak kembali kepada kebaikan. Dengan demikian kita akan terus semangat untuk beramal kebaikan. Begitupun sebaliknya untuk kita yang sering berkumpul dengan sosok orang yang sering lalai kepada-Nya, kita sendiri yang akan merugi karena ikutan lalai jika tidak memiliki benteng diri.

Pemaparan di atas juga seirama dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari)

BINCANG SYARIAH

Serial Fikih Zakat (Bag. 13): Pengaruh Utang terhadap Kewajiban Zakat

Dalam membiayai proyek investasi atau membeli rumah, tidak jarang masyarakat melaksanakannya dengan bermodalkan utang yang bersumber dari akad komersil yang dibayarkan secara kredit kepada kreditur. Hal ini membutuhkan penjelasan apakah utang tersebut dapat menghalangi kewajiban zakat atau mengurangi kadar zakat. Boleh jadi berakibat pada nihilnya kewajiban zakat karena sisa harta yang dimiliki oleh debitur tidak lagi mencapai nisab. Oleh karena itu, menghalangi kewajiban zakat yang dimaksud di sini juga berarti mengurangi nisab harta.

Apakah Utang Menghalangi Kewajiban Zakat pada Harta Debitur?

Ahli fikih bersepakat bahwa utang[1] tidak menghalangi kewajiban zakat dalam dua kondisi, yaitu:

Pertama, utang tersebut menjadi tanggungan debitur setelah harta yang wajib ditunaikan zakatnya.[2]

Kedua, besaran utang tidak mengurangi nisab harta zakat.[3]

Selain dua kondisi di atas, ahli fikih berbeda pendapat dalam menentukan apakah utang menghalangi kewajiban zakat pada harta yang dimiliki debitur.

Pendapat pertama

Utang tidak menghalangi kewajiban zakat secara mutlak. Pendapat ini merupakan pendapat yang terpilih di kalangan Syafi’iyah[4] dan merupakan salah satu pendapat di kalangan Hanabilah.[5]

Dalil bagi pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama, keumuman dalil yang mewajibkan zakat pada harta yang dimiliki seperti firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)

Kedua, tidak terdapat dalil dari Al-Qur’an, Al-Hadis, dan ijmak yang menunjukkan zakat atas harta yang menjadi obyek utang dapat digugurkan.[6]

Ketiga, penguasaan debitur atas harta menunjukkan kepemilikan. Utang yang ada tidaklah mengeluarkan harta itu dari kepemilikannya, sehingga zakat atas harta itu tetap harus ditunaikan debitur.[7]

Pendapat Kedua

Utang menghalangi kewajiban zakat pada harta batin, tetapi hal ini tidak berlaku pada harta zahir. Pendapat ini merupakan mazhab Malikiyah[8], salah satu pendapat di kalangan Syafi’iyah[9], dan Hanabilah.[10]

Pendapat ini menyatakan bahwa utang tidak menghalangi kewajiban zakat atas harta zahir seperti hewan ternak, hasil pertanian, dan buah-buahan. Namun, utang menghalangi kewajiban zakat atas harta batin seperti emas, perak, dan komoditi yang setara dengan emas dan perak.[11]

Di antara dalil yang digunakan untuk mendukung pendapat ini adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat para petugas zakat dan mengutus mereka untuk mengambil zakat berupa hewan ternak, hasil pertanian, dan buah-buahan tanpa mereka bertanya kepada pemilik apakah mereka memiliki utang atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa utang tidaklah menghalangi kewajiban atas harta zahir.[12][13]

Pendapat ketiga

Utang menghalangi kewajiban zakat secara mutlak, baik harta itu berupa harta zahir maupun batin, baik utang itu telah jatuh tempo atau belum, baik utang itu merupakan utang kepada Allah atau utang kepada makhluk, baik utang itu merupakan jenis harta yang wajib dizakati atau tidak. Pendapat ini merupakan qaul qadim Asy-Syafi’i[14] dan pendapat terkuat Hanabilah.[15] Sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah mempersyaratkan utang yang menghalangi kewajiban zakat adalah utang yang telah jatuh tempo.[16]

Dalam Kasyaf Al-Qina disebutkan,

ومعنى قولنا: يمنع الدينُ وجوبَ الزكاة بقدره: أنا نُسقِط من المال بقدر الدين المانع، كأنه غير مالك له؛ لاستحقاق صرفه لجهة الدين، ثم يزكي المدين ما بقي من المال إن بلغ نصابًا تامًّا، فلو كان له مائة من الغنم، وعليه مالٌ؛ أي: دَين يقابل ستين منها، فعليه زكاة الأربعين الباقية؛ لأنها نصاب تام، فإن قابل الدين إحدى وستين، فلا زكاة عليه؛ لأنه – أي الدين – ينقص النصاب، فيمنع الزكاة

Makna perkataan kami ‘utang menghalangi kewajiban zakat sesuai dengan besaran utang tersebut’ adalah kami menggugurkan sejumlah harta sesuai dengan kadar utang yang menghalangi kewajiban zakat, seolah-olah pemiliknya tidak memiliki harta tersebut karena harta itu harus dialokasikan untuk pembayaran utang. Kemudian debitur menunaikan zakat dari harta yang tersisa jika mencapai nisab. Sebagai contoh, jika ia memiliki harta sebanyak 100 ekor domba dan utang yang setara dengan 60 ekor domba, maka dalam kasus ini dia berkewajiban menunaikan zakat dari 40 ekor domba yang tersisa karena itulah nisab yang sempurna bagi domba. Jika ternyata utangnya setara dengan 61 ekor domba, maka tidak ada kewajiban zakat yang mesti ditunaikan karena utang tersebut telah mengurangi nisab sehingga kewajiban zakat terhalangi.

Dalil bagi pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama, perkataan ‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu ‘anhu,

هَذَا شَهْرُ زَكَاتِكُمْ، فَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ، فَلْيُؤَدِّ دَيْنَهُ حَتَّى تَحْصُلَ أَمْوَالُكُمْ، فَتُؤَدُّوا مِنْهَا الزَّكَاةَ

Bulan ini adalah bulan zakat kalian. Siapa yang berutang hendaknya segera melunasi utangnya, sehingga dapat diketahui harta yang tersisa untuk kemudian ditunaikan zakatnya.[17]

Dalam riwayat lain, Utsman berkata,

فمن كان عليه دين فليقضه وزكوا بقية أموالكم

Setiap orang yang berutang hendaknya melunasi dan menzakati harta yang tersisa.[18]

‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu ‘anhu mengucapkan perkataan di atas di hadapan sahabat Nabi yang lain dan tidak ada yang mengingkari perkataan beliau. Hal ini menunjukkan mereka sepakat dengan apa yang dikatakan ‘Utsman.[19]

Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat atas orang kaya dan memerintahkan mereka menyalurkan zakat kepada orang fakir seperti dalam sabda beliau,

أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ

Aku diperintahkan mengambil zakat dari orang kaya lalu mengembalikannya kepada orang fakir.” (HR. Al-Bukhari no. 1395, Muslim no. 19)

Debitur juga butuh melunasi utang sebagaimana orang fakir membutuhkan zakat. Dengan demikian, atribut kaya yang mewajibkan penunaian zakat tidak terwujud pada diri debitur. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا صَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى

Zakat hanya diwajibkan atas pihak yang kaya.” [HR. al-Bukhari no: 1426, Muslim no: 1034]

Bahkan, sebenarnya atribut fakir yang membolehkan seorang memperoleh zakat, terwujud pada diri debitur sehingga statusnya tercakup dalam kelompok Al-Gharim.[20]

Ketiga, kepemilikan debitur terhadap hartanya lemah karena adanya tuntutan kreditur untuk melunasi utang dan ia lebih berhak memilikinya.[21]

Keempat, kreditur dituntut untuk menunaikan zakat atas piutangnya. Jika debitur juga menunaikan zakat, maka hal ini memungkinkan terjadinya dua kali penunaian zakat untuk satu harta, di mana kreditur dan debitur menunaikan zakat. Hal ini tentu tidak diperbolehkan.[22]

Kelima, syariat zakat diwajibkan sebagai bentuk simpati pada orang fakir dan bentuk syukur dari orang kaya atas nikmat yang dianugerahkan. Dalam hal ini, debitur juga membutuhkan harta untuk melunasi utang. Ketika utang dikatakan tidak menghalangi kewajiban zakat, maka hal itu berarti menihilkan kebutuhan debitur terhadap hartanya sendiri untuk melunasi utang sehingga tetap diserahkan pada orang fakir. Tentu hal itu tidaklah bijak dan atribut kaya yang melazimkan bentuk syukur dengan menunaikan zakat tidak tercapai pada diri debitur.[23]

Pendapat yang Terpilih

Pendapat terpilih dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa utang dapat menghalangi kewajiban zakat atas harta debitur. Alasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, keumuman dalil yang mewajibkan zakat pada harta yang dimiliki di-takhshis dengan dalil-dalil yang menunjukkan utang dapat menghalangi kewajiban zakat.[24]

Kedua, dalil dari Al-Hadis menunjukkan bahwa zakat atas harta yang menjadi obyek utang dapat digugurkan.

Ketiga, meski debitur memiliki dan menguasai harta, namun kepemilikan tersebut tidak sempurna (naqish) karena kreditur berhak menuntut dan memaksa utang dilunasi menggunakan harta tersebut.[25]

Keempat, pada dasarnya seorang terbebas dari utang dan tidak memiliki tanggungan. Oleh karena itu, seorang yang menyerahkan kewajiban zakat kepada petugas zakat dan mengaku ia berutang perlu membuktikan pengakuan tersebut. Pengakuan bahwa dirinya berutang tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan adanya bukti.[26] Oleh karena itu, ketika mengambil zakat, petugas memang tidak perlu bertanya apakah yang bersangkutan memiliki utang ataukah tidak. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara harta batin dan zahir karena keumuman dalil mencakup keduanya.[27]

Namun, ahli fikih mengemukakan terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi sehingga utang bisa menghalangi kewajiban zakat atas harta debitur. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, utang tersebut telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasinya. Artinya, utang yang belum jatuh tempo tidak menghalangi kewajiban zakat atas harta debitur. Hal ini dikemukakan oleh sejumlah ahli fikih Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.[28] Dalam hal ini, ketika utang telah jatuh tempo, maka tidak ada lagi kepemilikan yang sempurna oleh debitur terhadap hartanya karena adanya tagihan dari kreditur untuk melunasi utang. Alasan ini tentu tidak terdapat pada utang yang belum jatuh tempo.

Sebagai contoh dalam kasus angsuran. Seorang membeli mobil secara kredit, di mana dia harus membayar angsuran sebesar Rp5.000.000 setiap bulan. Saat ini, ia telah membayar angsuran pertama. Lantas, apakah angsuran pertama itu menghalangi kewajiban zakat atau tidak? Dalam hal ini, angsuran yang belum jatuh tempo tidak menghalangi kewajiban zakat, namun yang menghalangi kewajiban zakat adalah angsuran pertama yang telah dibayarkan itu.[29]

Kedua, debitur tidak memiliki aset tetap (arudh qinyah) di luar kebutuhan primer yang bisa dijual untuk melunasi utang saat bangkrut. Artinya, dalam kondisi debitur memiliki aset tetap di luar kebutuhan primer, maka utangnya tidak menghalangi kewajiban zakat. Hal ini dikemukakan oleh sejumlah ahli fikih Hanafiyah, mazhab Malikiyah, salah satu pendapat di kalangan Hanabilah, dan merupakan pendapat yang didukung oleh Abu Ubaid Al-Qasim.[30]

Pertimbangan bagi syarat ini adalah sebagai berikut:

  • Aset itu berasal dari harta debitur yang berada dalam kepemilikannya.
  • Aset itu memiliki nilai komersil yang memungkinkan debitur menjual atau mengelolanya jika diperlukan.
  • Kreditur berhak menuntut debitur menjual aset itu untuk melunasi utang jika ternyata debitur tak mampu melunasi utang dari sumber lain.
  • Terdapat pendapat yang menyatakan aset semacam itu tidak bisa digunakan untuk melunasi utang yang menghalangi kewajiban zakat, namun pendapat ini justru akan berakibat menihilkan kewajiban zakat dari orang kaya yang menginvestasikan harta mereka pada aset tetap atau barang investasi seperti pabrik. Dengan demikian, sebagai contoh, seorang yang memiliki sebuah pabrik dengan hasil yang mampu mencukupi kebutuhan primer, lalu membeli pabrik lain menggunakan utang yang besarnya melebihi hasil kedua pabrik tersebut, maka ia tidak lagi berkewajiban menunaikan zakat berdasarkan pendapat tadi, padahal statusnya kaya karena memiliki banyak aset dan pabrik.[31]

Ketiga, debitur bukanlah orang kaya yang gemar menunda pelunasan utang. Jika karakter debitur seperti itu, maka utangnya tidak menghalangi kewajiban zakat. Itulah kandungan perkataan ‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, entah debitur melunasi utang atau menunaikan zakat tanpa menjadikan utang sebagai parameter yang mengurangi nisab. Dengan demikian, seluruh dalil dapat dipraktikkan, di mana kewajiban zakat dari debitur semacam ini tidaklah gugur semata-mata karena utang yang mengurangi nisab. Padahal ia memiliki harta yang dapat dimanfaatkan, namun ia enggan untuk melunasi utang kepada yang berhak.

Bagaimana utang yang digunakan untuk membiayai proyek investasi atau membeli rumah? Hal ini akan diuraikan dalam artikel selanjutnya seizin Allah.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/72594-serial-fikih-zakat-bag-13-pengaruh-utang-terhadap-kewajiban-zakat.html

Pasukan Kadyrov, Manuver Putin, dan Sikap Umat Islam

Upaya Putin untuk menjinakkan Muslim Chechnya lewat patron keluarga Kadyrov sudah dilakukan sejak 1999 melalui komunikasi personal.

oleh: Pizaro Gozali Idrus

PERANG antara Rusia dan Ukraina yang meletus pada akhir Februari ini telah menarik perhatian banyak  pihak, termasuk umat Islam.

Hal ini khususnya terjadi saat pemimpin Republik Chechnya, yang merupakan wilayah mayoritas Muslim di bawah Federasi Rusia, mengerahkan puluhan ribu tentaranya untuk melawan tentara Ukraina.

Berita ini kemudian diikuti oleh banyak meme dan video yang menunjukkan keshalehan para tentara Rusia, sekaligus dukungan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin.

Putin dianggap presiden pro umat Islam berhadapan dengan Ukraina yang didukung oleh negara-negara Barat, khususnya AS yang selama ini memerangi umat Muslim.

Manuver politik Putin

Umat Muslim dan masyarakat pada umumnya harus jernih melihat ini semua. Dalam menganalisa perang Ukraina, kita harus mengumpulkan data secara komprehensif dan tidak parsial agar dapat melihat problematika ini secara jernih.

Perlu diketahui, keterlibatan faksi perjuangan Checnya dalam dukungan terhadap Putin tidak lepas dari politik etis yang dilakukan Moskow untuk mendapatkan dukungan kekuasaan dan memukul mundur perlawanan Muslim. Artinya, pendekatan Putin kepada para pemimpin pemerintahan Republik Chechnya lebih bermuatan politis.

Wilayah Chechnya yang berpenduduk mayoritas Muslim telah menjadi saksi bisu dari perang brutal antara loyalis Moskow dan kelompok perlawanan Chechen dari pertengahan 1990 hingga 2009.

Chechnya memperoleh kemerdekaan de facto setelah Perang Chechnya antara 1994 dan 1996. Tapi Chechnya masih merupakan bagian sah dari Rusia.

Secara geografis, wilayah utara Chechnya berbatasan dengan Rusia, wilayah timur dan tenggara berbatasan dengan Republik Dagestan, dan barat daya berbatasan dengan Georgia.

Untuk menganalisa hubungan Putin dan patron Kadyrov, kita perlu kembali kepada sejarah hubungan antara keduanya. Julie Wilhelmsen dalam Inside Russia’s Imperial Relations: The Social Constitution of Putin-Kadyrov Patronage (2018), upaya Putin untuk menjinakkan Muslim Chehcnya lewat patron keluarga Kadyrov sudah dilakukan sejak 1999 melalui komunikasi personal.

Pada saat itu, Moskow menyadari perlunya proksi di Chechnya untuk membendung aspirasi perlawanan dari Muslim Chechnya yang kembali melakukan perlawanan pada tahun 1999.

Benar saja, ketika pasukan Rusia kembali ke Chechnya, Ahmad Kadyrov meminta orang-orang Chechnya untuk menghentikan perlawanan bersenjata.

Untuk membangun proksi, Putin menawarkan otonomi secara luas di bawah kepemimpinan Kadyrov. Hal ini dilakukan Putin untuk menopang popularitasnya sebagai perdana menteri. Kala itu, janji pertama Putin kepada rakyat Rusia ketika menjadi Perdana Menteri pada tahun 1999 adalah menghancurkan “teroris” di Chechnya. Ini menjadi pertaruhan Putin untuk mempertahakan kekuasaannya di Rusia.

Setelah Ahmad Kadyrov tewas akibat serangan bom, Ramzan Kadyrov, sang anak, menggantikan Ahmad sebagai pemimpin di Chechnya.

Sejak saat itu, Putin telah mengalokasikan uang, senjata, dan kekuasaan untuk Ramzan Kadyrov. Sebagai timbal baliknya, Kadyrov  menjanjikan Putin kekuatan militer dan perlindungan. Kelompok hak asasi internasional telah menuduh pasukan polisi Kadyrov melakukan penyiksaan, penghilangan paksa dan pembunuhan di luar proses hukum terhadap kelompok Muslim Chechnya.

Aliansi militer Putin dan Kadyrov pada gilirannya berjalan hingga bertahun-tahun dan melewati batas teritori Rusia. Stacy Closson dalam The North Caucasus after the Georgia-Russia Conflict (2008), mencatat Ramzan telah menggalang tentara Chechnya untuk membela Rusia dalam perang di luar negeri.

Selama Perang Rusia-Georgia pada tahun 2008, beberapa ribu tentara Chechnya bertugas sebagai penjaga perbatasan di sepanjang perbatasan Abkhaz dan Ossetia Selatan. Servis serupa juga ditawarkan selama perang di Ukraina saat Rusia menganeksasi Krimea.

Meski Krimea adalah rumah bagi 12 persen Muslim Tatar, Kadyrov mendukung Putin untuk menganeksasinya. Pasukan Rusia memasuki semenanjung Krimea pada Februari 2014 dan Presiden Vladimir Putin secara resmi membagi wilayah tersebut menjadi dua subjek federal terpisah dari Federasi Rusia pada bulan berikutnya.

Banyak pasukan Chechnya Kadyrov telah berperan dalam pertempuran di Ukraina timur, di mana mereka mendukung separatis pro-Rusia melawan pasukan Ukraina ketika konflik meletus. Menurut PBB, pertempuran antara pasukan pemerintah Ukraina dan separatis pro-Rusia di Donbas telah menyebabkan lebih dari 13.000 orang tewas sejak 2014.

Aliansi Kadyrov dan Putin kemudian berlanjut di Suriah. Pada tahun 2015, Rusia mulai terlibat untuk mendukung penuh kekuasaan Assad. Kondisi ini menjadikan rezim Assad yang tadinya lemah berubah menjadi  kuat.

Rusia telah menjadi pihak yang oleh banyak orang digambarkan sebagai genosida terhadap warga Muslim Suriah dan melakukan segudang kejahatan terhadap kemanusiaan. Hampir tidak mungkin dunia melupakan pembunuhan brutal Rusia di Suriah, yang ikut menargetkan warga sipil di rumah, toko, rumah sakit, dan sekolah.

Teror yang menghujani warga Suriah oleh angkatan udara Rusia telah menyebabkan krisis pengungsi. Zona aman yang dibangun di Idlib atas kesepakatan Moskow dan Ankara tidak bernar-benar aman dari serangan tentara Rusia dan Assad.

Kantor berita Anadolu Agency melaporkan dari kesepakatan pada 17 September 2018 hingga bulan Oktober 2019 sebanyak 1.282 warga sipil telah tewas oleh serangan udara koalisi Suriah dan Rusia, di antaranya adalah 219 wanita dan 341 anak-anak.

Pada Desember 2016, kehadiran pejuang Chechnya di antara pasukan Rusia menjadi subyek banyak laporan. Kadyrov awalnya membantah kehadiran pasukannya, tetapi menegaskan bahwa jika Kremlin memberikan perintah, pasukan yang ditempatkan di Chechnya dengan senang hati pergi “memerangi sampah di Suriah.”

Pada bulan Januari, pemimpin Chechnya mengakui bahwa batalyon polisi militer yang terdiri dari etnis Chechnya memang berada di Suriah sebagai bagian dari pasukan Kementerian Pertahanan Rusia.

Pada saat itu, sebuah video telah bocor dari pasukan Chechnya dimana sekitar 500 orang, menunggu keberangkatan ke Suriah. Sementara itu, dua utusan Kadyrov telah mengunjungi Suriah dan bertemu dengan para prajurit.

Alexander Sotnichenko, pensiunan diplomat Rusia dan pakar Timur Tengah, dalam wawancaranya dengan Al Monitor (2017) mengatakan salah satu tujuan pasukan Kadyrov ada di Suriah untuk menunjukkan kepada Muslim Suriah bahwa Rusia tidak membuat penduduk Sunni takut.

Alasan lainnya adalah untuk mengubah citra negatif warga Checnya yang sebagian besar dipandang rezim Suriah sebagai ‘teroris’, karena banyak dari mereka berperang melawan Assad.

Selain itu, Kadyrov tidak hanya mempromosikan kepentingan Rusia melalui kontak regionalnya, tetapi dia juga mengambil kesempatan untuk membawa investasi asing ke Chechnya.

Almonitor (2016) mencatat Israel menjadi sumber investasi lain bagi Chechnya. Sebagai hasil dari perjalanan menteri dan pebisnis Chechnya, peternakan susu besar (hingga 1.200 sapi) telah dimungkinkan di Chechnya dengan menggunakan uang dari pengusaha Israel. Pembangunan pabrik yang memproduksi makanan ikan adalah proyek lain yang sedang dikembangkan antara kedua pihak.

Benturan sesama Muslim kini berpeluang kembali terjadi di Ukraina. Sebuah video pendek yang diterbitkan saluran berita Rusia, RT, menunjukkan ribuan pasukan Chechnya berkumpul di alun-alun utama ibu kota wilayah itu, Grozny, untuk menunjukkan kesiapan berperang di Ukraina. Kadyrov pun mengakui sudah ada tentara-tentara Checnya yang tewas dalam perang di Ukraina.

Pekan lalu, Mufti Krimea Aider Rustemov meminta tentara Muslim yang bertugas di tentara Rusia untuk meninggalkan unit mereka karena khwatir dipaksa berperang melawan saudara-saudara mereka di Ukraina.

Rusia memang memiliki tentara Muslim yang berasal dari Caucasus, Tatarstan and Bashkortostan. Oleh karena itu, perang Ukraina rentan mengadu domba sentimen Muslim yang dapat memecah belah kesatuan umat Muslim Rusia dan Ukraina.

Sebagai catatan, jumlah muslim di Ukraina sendiri ada 400.000, yang mayoritas berasal dari Muslim Tatar. Pada 2014, saat Krimea dianeksasi Rusia, puluhan ribu dari Muslim Tatar harus mengungsi dari rumah mereka.

Untuk itu, kita perlu hati-hati dalam mencermati manuver Putin dalam perang di Ukraina. Jika tidak waspada, umat Islam rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik dalam perang Ukraina dan Rusia.*

Penulis adalah peneliti Center for Islam and Global Studies

HIDAYATULLAH

Khutbah Jum’at 2022; Keagungan dan Amal Sunnah yang Dikerjakan Pada Bulan Sya’ban

Pada khutbah kali ini kita akan membahas tema tentang keagungan dan amal sunnah yang dianjurkan dikerjakan pada bulan Sya’ban. Bulan ini memang mengandung pelbagai keistimewaan dan keagungan tiada tara.

Khutbah I

إنَّ الحَمدَ لله نحمدُهُ ونستعينهُ ونستهديهِ ونشكرُهُ ونعوذُ بالله من شرورِ أنفسِنَا ومن سيئاتِ أعمالنا، مَن يهدِ الله فلا مُضِلَّ لهُ ومن يُضلِل فلا هاديَ له، وأشهدُ أنْ لا إلـهَ إلا الله وحدَهُ لا شريكَ لهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ ونَصَرَ عَبْدَهُ وأعَزَّ جُنْدَهُ وهَزَمَ الأحزابَ وَحْدَهُ، وأشهدُ أنَّ سيّدَنا وحَبيبَنا وقائِدَنا وقُرَّةَ أَعْيُنِنا محمّدًا عبدُ الله ورسولُهُ وصَفِيُّهُ وحبيبُهُ، صلَّى الله وسلَّمَ عليهِ وعلى كلّ رسولٍ أَرْسَلَهُ. أمّا بعدُ عبادَ الله فإنّي أوصيكُمْ ونفسي بِتَقوَى الله العظيمِ القائِلِ في مُحْكَمِ كتابِهِ: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾ [سورة ءال عمران]

Puji dan syukur pada Allah yang telah memberikan kita kesempatan untuk yang mulia ini. Ungkapan rasa syukur yang tiada henti, hingga saat ini, kita masih diberikan umur yang Panjang.

Shalawat kita haturkan keharibaaan nabi yang sangat mulia. Seorang Rasul yang baik akhlak dan perilakunya. Yang senantiasa mengajarkan kepada manusia untuk memuliakan manusia. Ialah Baginda Nabi Muhammad SAW. Dengan lafaz:

Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad

Sebagai khatib, kami berkewajiban untuk mengajak kita semua untuk meningkatkan Iman dan Takwa kita kepada Allah. Dengan Iman dan Takwa hidup kita akan bahagia di dunia dan akhirat kelak.

Hadirin pendengar khutbah Jumat yang mulia

Saat ini kita tengah berada di dalam lingkup bulan Sya’ban. Bulan yang sangat mulia. Yang penuh dengan kemuliaan dan keagungan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad;

إنما سمي شٙعبان لأنه يتشعب فيه خير كثير للصائم فيه حتى يدخل الجنة

Sungguh bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya terdapat beraneka ragam kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.

Sayyid Muhammad bin Abbas al-Maliki dalam kitab Ma dza Fi Sya’ban,  mengurai dengan detail terkait penamaan “Sya’ban”. Beliau membongkar rahasia bulan Sya’ban, dengan merijit per huruf yang menjadi nama bulan Sya’ban. Simak penjelasan berikut;

وسمي شعبان لأنه يتشعب منه خير كثير، وقيل معناه شاع بان، وقيل مشتق من الشِعب (بكسر الشين) وهو طريق في الجبل فهو طريق الخير، وقيل من الشَعب (بفتحها) وهو الجبر فيجبر الله فيه كسر القلوب، وقيل غير ذلك.

Artinya, “Bulan ini dinamai dengan sebutan Sya‘ban karena banyak cabang-cabang kebaikan pada bulan mulai ini. Sebagian ulama mengatakan, Sya‘ban berasal dari Syâ‘a bân yang bermakna terpancarnya keutamaan.

Menurut ulama lainnya, Sya‘ban berasal dari kata As-syi‘bu (dengan kasrah pada huruf syin), sebuah jalan di gunung, yang tidak lain adalah jalan kebaikan.

Sementara sebagian ulama lagi mengatakan, Sya‘ban berasal dari kata As-sya‘bu (dengan fathah pada huruf syin), secara harfiah bermakna ‘menambal’ di mana Allah menambal  dan menutupi kegundahan hati (hamba-Nya) di bulan Sya’ban. Ada pula ulama yang memahami bulan ini dengan makna selain yang disebutkan sebelumnya”.

Para pendengar khutbah Jumat yang mulia

Penjelasan di atas, tergambar dengan jelas kemuliaan Sya’ban. Untuk itu, sebagai seorang muslim, seyogianya kita mengisi bulan Sya’ban dengan pelbagai ibadah. Yang mendekatkan diri pada Allah.

Antara amal yang bisa dilaksanakan di bulan Sya’ban adalah puasa sunnah. Pada bulan ini, sejatinya seorang muslim dianjurkan untuk memperbanyak puasa. Penjelasan ini bisa merujuk pada Shahih Muslim :

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Aku (‘Aisyah) tidak melihat Nabi saw tidak berpuasa lebih banyak daripada puasa beliau di bulan Sya’ban, sungguh beliau berpuasa sebulan penuh, beliau berpuasa di bulan Sya’ban kecuali hanya beberapa hari (tidak berpuasa)”

Sementara itu juga terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang menjelaskan kegemaran Nabi Muhammad untuk berpuasa pada bulan Sya’ban;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Nabi Saw biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Nabi Saw berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.

Pendengar khutbah Jumat yang mulia

Pada bulan Rajab, seorang muslim juga dianjurkan untuk memperbanya membaca istighfar. Tak bisa diingkari, membaca istighfar mengandung pelbagai keistimewaan, terlebih bagi manusia yang penuh dengan dosa dan maksiat.

Sya’ban termasuk bulan yang tepat memperbanyak bacaan istigfar. Penjelasan ini  diungkapkan oleh Sayyid Muhammad al-Maliki kitabn Ma Dza Fi Sya’ban. Ganjaran Allah terhadap orang yang membaca istighfar, dimudahkan segala urusan. Pun mendapatkan solusia atas segala kesulitan yang dihadapinya.

Yang terpenting, diampuni dosanya, sebagaimana debu yang ditiup angin. Hilang tanpa bekas. Atau bak dedaunan yang berguguran dimusim panas. Butiran kalimat istigfar yang diungkapkan di Bulan Sya’ban, sungguh ampuh mengetuk pintu langit untuk membukakan maaf dan ampunan.  Demikian sebagaimana sabda Nabi:

مَنْ لَزِمَ الاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجاً ، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجاً ، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

Artinya : “Barangsiapa yang senantiasa beristigfar maka Allah akan menjadikan baginya jalan keluar pada setiap kesulitan dan kelapangan dalam setiap kebingungan, dan memberikannya rezeki dari jalan yang tidak dia sangka.”

Pendengar khutbah Jumat yang mulia

Selanjutnya, membaca Al-Qur’an termasuk yang dianjurkan dalam bulan Sya’ban. Lebih jauh lagi, ada beberapa sahabat Nabi menyebut bulan ini adalah bulan Al-Qur’an.  Termasuk dalam hal ini adalah Anas bin Malik— yang menjelaskan saat di Sya’ban sahabat Nabi menyibukkan diri membaca Al-Qur’an. Simak penuturan Anas bin Malik berikut;

كَانَ اْلمُسْلِمُوْنَ اِذَا دَخَلَ شَعْبَانُ اِنْكَبُّوْا عَلَى المَصَاحِفُ فَقَرَأُوْهَا وَأَخْرَجُوْا زَكَاةَ اَمْوَالِهِمْ تَقْوِيَةً لِلضَّعِيْفِ وَالمِسْكِيْنِ عَلىَ صِيَامِ رَمَضَانَ

Artinya; “Kaum muslim ketika telah memasuki bulan Sya’bun, mereka mengambil mushaf-mushafnya kemudian membacanya. Mereka juga mengeluarkan zakat hartanya agar dapat membantu menguatkan orang fakir dan miskin untuk turut serta menunaikan puasa di bulan Ramadhan”.

Terlebih bulan Sya’ban bulan yang dekat dengan Ramadhan. Yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an—nuzulul Al- Qur’an. Sudah selayaknya kita memperbanyak membaca Al-Qur’an, sebagai persiapan untuk menghadapi Ramadhan.

Demikian khutbah Jumat ini. Semoga bermanfaat. (Baca: Penentuan Umur Manusia Terjadi pada Bulan Sya’ban).

ارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Khutbah Jumat II

  ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ َأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، وَتَابِعْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ بِالْخَيْرَاتِ رَبَّنَا اغْفِرْ وََارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ. رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَاشْكُرُوْا عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُاللهِ أَكْبَرُ

BINCANG SYARIAH