Fikih Nikah (Bag. 8)

HUKUM-HUKUM TERKAIT PERCERAIAN

Di dalam syariat Islam, saat hubungan antara suami istri sudah tidak dapat dipertahankan kembali, maka sebagai jalan terakhir ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar hubungan pernikahan ini terselesaikan dengan baik dan tidak menimbulkan permasalahan lainnya. Di dalam ilmu fikih perkara ini kita kenal dengan talak/ perceraian.

Talak menurut bahasa Arab adalah “melepaskan ikatan”. Adapun pengertian talak menurut istilah agama yaitu melepas ikatan perkawinan (nikah). Pengertian talak yang lain adalah melepaskan ikatan nikah dengan lafaz. Hal ini akan disebutkan kemudian. Kata talak sebenarnya sudah ada semenjak zaman jahiliah (sebelum datangnya Islam). Akan tetapi, syariat menyetujuinya dan menggunakannya.

Kemudian talak ini tidak akan sah, kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya. Yang terpenting adalah harus menggunakan lafaz. Oleh karena itu, talak tidak terjadi dan tidak dihitung jika masih berbentuk niat di dalam hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله تجاوز عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم

“Sesungguhya Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 127)

Oleh karena itu, jika ada orang yang mengatakan dalam hatinya, “Aku akan menulis surat cerai untuk istriku sekarang.” Kemudian dia mengambil kertas dan pena, akan tetapi dia tidak jadi melakukannya. Maka, talak belum jatuh kepada istrinya. Hal ini dikarenakan yang ia lakukan masih berupa niat dan belum terucap lafaznya.

Baca Juga: Janji Allah Akan Menolong Orang yang Menikah Untuk Menjaga Kehormatan

Hukum Asal Cerai Adalah Dilarang

Hukum perceraian dalam Islam bisa beragam. Hal ini berdasarkan pada masalah, proses mediasi, dan lain sebagainya. Beberapa ulama berpendapat bahwa hukum asal bercerai adalah haram dan dilarang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

إنَّ الأصل في الطلاق الحظر، وإنما أُبيح منه قدر الحاجة

“Sesungguhnya hukum asal perceraian/ talak adalah dilarang. Sesungguhnya dibolehkan hanya sesuai kadar kebutuhan.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 32/293)

Beliau juga menyebutkan, “Kalau saja bukan karena kebutuhan terhadap perceraian, dalil-dalil menunjukkan akan keharamannya sebagaimana atsar-atsar dan pokok-pokok ajaran Islam yang menunjukkan hal tersebut. Akan tetapi, Allah Ta’ala membolehkan hal tersebut sebagai rasa kasih sayang terhadap hamba-Nya. Karena mereka terkadang butuh kepada perceraian tersebut.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 3/74).

Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarh Al-Mumti’, “Talak, hukum asalnya adalah makruh. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala tentang orang-orang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan (ila’),

لِّلَّذِينَ يُؤۡلُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ تَرَبُّصُ أَرۡبَعَةِ أَشۡهُرٍۖ فَإِن فَآءُو فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ٢٢٦ وَإِنۡ عَزَمُواْ ٱلطَّلَٰقَ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٢٧

 “Orang-orang meng-ila’ istri-istri mereka wajib menunggu selama empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Jika mereka bertekad untuk menalaknya, sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahatahu.” (QS. Al-Baqarah: 226—227)

Dalam masalah talak, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa diri-Nya Mahamendengar lagi Mahatahu, dan ini mengandung ancaman. Sementara itu, jika dia kembali (kepada istrinya), Allah subhanahu wata’ala memberitakan bahwa diri-Nya Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Semua ini menunjukkan bahwa talak tidak disukai oleh Allah subhanahu wata’ala dan pada asalnya adalah makruh. Memang demikianlah hukumnya.”

Hal ini semakin kuat ditinjau dari segi makna bahwa perceraian akan mengakibatkan  tercerai berainya anak-anak, terlantarnya wanita yang dicerai, dan boleh jadi lelaki yang menceraikan akan telantar juga dan tidak mendapatkan istri lain sebagai gantinya, dan alasan-alasan lainnya.

Perceraian juga bisa bernilai wajib, sunah, makruh, mubah, hingga haram. Tergantung berdasarkan keadaan kedua pasangan, menjadi sunah jika demi kemaslahatan istri serta mencegah kemudaratan dari dirinya akibat kebersamaannya dengan suami. Meskipun, sesungguhnya suaminya sendiri masih mencintainya. Talak disukai untuk dilakukan meski suami pada keadaan ini dan terhitung sebagai kebaikan terhadap istri.

Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhanahu wata’ala,

وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ 

 “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Macam-Macam Lafaz Talak

Dilihat dari shighat atau lafaznya, talak bisa dibagi menjadi dua macam. Yaitu talak sharih (tegas) dan talak kinayah (sindiran).

Pertama, talak sharih (tegas) yaitu ucapan talak yang dapat dipahami dengan jelas sebagai kata-kata cerai, seperti “Kau aku ceraikan!” atau “Kita cerai!”

Dalam mazhab Syafi’i, lafaz-lafaz talak yang tergolong dalam talak sharih (tegas) ada tiga, yaitu الطلاق، الفراق، السراح  (cerai, pisah dan lepas) yang semua itu tercantum dalam Al-Qur’an Al-Karim. Allah Ta’la berfirman,

اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Allah juga berfirman,

أَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ

“Atau lepaskanlah mereka dengan baik.” (QS. At-Talaq: 2)

فَتَعَالَيۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ وَأُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا

“Maka, marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab:28)

Kedua, talak kinayah (sindiran) yaitu talak dengan menggunakan kata-kata yang tujuan aslinya tidak berarti menceraikan, tetapi juga bisa berarti cerai. Dan agar dinilai sah sebagai kalimat perceraian maka harus disertai niat. Contoh: “Kamu lain ya.” Kata-kata ini bisa berarti “Kamu bukan istriku lagi.”, tetapi juga bisa berarti “Kamu berbeda dari biasanya.”

Contoh lain: “Kau haram untukku.” Ini bisa berarti “haram aku setubuhi” dan bisa juga berarti “haram aku aniaya.”

Talak kinayah atau sindiran tidak bisa mengakibatkan jatuhnya talak, kecuali dengan keterangan yang jelas. Jadi, apabila ada orang yang mengucapkan talak sharih, tetapi dia mengaku tidak bermaksud menceraikannya, maka alasan tersebut tidak bisa diterima dan talak pun benar-benar jatuh. Dan sebaliknya, apabila orang tersebut mengucapkan talak kinayah (sindiran), sedangkan ia mengaku tidak bermaksud menceraikan istrinya, maka alasan tersebut bisa diterima dan talak pun tidak jatuh.

Hukum Talak Saat Istri Haid

Dilihat dari kondisi suci dari haid atau tidaknya istri, talak terbagi menjadi dua, yaitu talak sunni dan talak bid’i.

Pertama, talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan sejak masa haid terakhir istrinya berakhir dia belum mencampurinya lagi. Allah Ta’ala berfirman,

يَـأَيُّـهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْـتُـمُ النِّسَـآءَ فَطَلِّقُو هُنَّ لِعِدَّ تِهِنَّ 

“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu ‘iddah mereka (waktu yang wajar).” (QS. At-Thalaq: 1)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,

“Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu, bila ia menghendaki, ia boleh tetap menahannya menjadi istri. Atau bila ia menghendaki, ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” (Hadis sahih. Riwayat Bukhari no. 5332, Muslim no. 1471)

Kedua, talak bid’i yaitu talak yang menyelisihi ketentuan syariat. Sehingga hukum talak ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Keadaan ini berlaku manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haid atau dalam masa suci setelah ia mencampuri istrinya.

Hikmahnya, talak di masa haid akan memperpanjang masa ‘iddah-nya, karena masa haid yang tersisa tidak dihitung sebagai masa ‘iddah. Hal ini tentu saja membahayakan wanita tersebut, sehingga dilarang. Adapun talak di dalam masa suci, namun ia telah mencampurinya, bisa jadi ia akan menyesali talaknya setelah tahu istrinya hamil, menyesal karena telah meninggalkan calon ibu anaknya. Lebih-lebih kalau talak tiga yang mana suami tidak bisa merujuk, kecuali dengan akad baru sesuai syarat-syaratnya.

Mayoritas ulama berpendapat, talak bid’i statusnya sah, dan dihitung sebagai satu talak. Namun, suami diperintahkan untuk merujuk istrinya dan menahannya sampai suci dari haid, kemudian haid lagi yang kedua, sampai suci. Selanjutnya terserah suami, apakah dia mau menceraikan ataukah mempertahankannya. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadis Umar radhiyallahu ’anhu di atas, “Perintahkanlah kepada Ibnu Umar untuk merujuk istrinya.” menunjukkan bahwa talak tersebut jatuh, karena kata muraja’ah (merujuk) dalam syariat maknanya adalah kembalinya suami kepada istrinya setelah terjadi (jatuh) talak yang diperhitungkan.

Wallahu a’lam.

Semoga Allah senantiasa menjaga keluarga kita dan memberkahinya dengan kebaikan.

Bersambung.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72590-fikih-nikah-bag-8.html

Rajin Berdoa adalah Sebab Dosa Terampuni

Anjuran berzikir dan berdoa setiap waktu

Diantara keutamaan syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah begitu banyaknya zikir dan doa yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada umatnya. Tidaklah seorang muslim beraktivitas sehari-hari kecuali hampir di setiap amalan perbuatannya ada zikir dan doa yang diajarkan.

Allah Ta’ala memerintahkan kaum mukmin untuk banyak berzikir kepada-Nya. Allah Ta’ala juga memuji orang-orang yang banyak berzikir. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang” (QS. Al-Ahzâb: 41-42).

Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk berzikir sesudah salat,

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ

“Apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring” (QS. An-Nisâ’: 103).

Diantara dalil lainnya yang menunjukkan penekanan ibadah ini adalah perintah Allah kepada kaum mukmin agar berzikir di dalam peperangan. Bisa jadi hal tersebut akan menjadi sebab kemenangan kita. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung” (QS. Al-Anfâl: 45).

Membiasakan diri dengan berzikir merupakan bentuk mengikuti sunah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan bagi kita dalam berzikir kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaannya. Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengingat Allah dalam setiap keadaannya” (HR. Muslim no. 373, Abu Dâwud no. 18, At-Tirmidzi no. 3384, sahih).

Baca Juga: Bertekad untuk Tidak Melakukan Dosa

Beberapa keutamaan berzikir dan berdoa

Pertama, berzikir akan menenangkan hati. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram” (QS. Ar-Ra’d: 28).

Kedua, sebab hidupnya hati. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ ، مَثَلُ الْـحَيِّ وَ الْـمَيِّتِ

“Perumpamaan orang yang berzikir kepada Rabbnya dan orang yang tidak berzikir kepada Rabbnya adalah seperti perbedaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati(HR. Bukhari no. 6407).

Ketiga, menyelamatkannya dari azab Allah. Sebagaimana yang dikatakan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu’anhu dan dia me-marfu’-kannya, ”Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang banyak menyelamatkannya dari azab Allah, selain dari zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla” (HR. Imam Ahmad 5: 239, hasan).

Keempat, zikir merupakan ibadah yang paling mudah, namun paling agung dan paling utama. Sebab gerakan lidah merupakan gerakan anggota tubuh yang paling ringan dan paling mudah. Andaikan ada anggota tubuh lain yang harus bergerak, seperti gerakan lidah selama sehari semalam, tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan tidak mungkin.

Doa sehari-hari yang menyebabkan terampuninya dosa

Sebagai seorang hamba yang tidak mungkin lepas dari dosa dan kesalahan, tentu kita semua menginginkan agar dosa-dosa kita ini diampuni oleh Allah Ta’ala. Sehingga kita harus bertaubat, menyesal, dan menjalankan sebab-sebab terampuninya dosa.

Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan suatu doa atau zikir, seringkali beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengiringi dengan menyebutkan keutamaannya. Diantara keutamaan yang paling sering beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan adalah ampunan dosa yang disebabkan oleh doa dan zikir kita. Berikut ini adalah beberapa doa yang bisa kita amalkan agar kita mendapatkan ampunan Allah Ta’ala.

Pertama, doa mengenakan pakaian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﻟَﺒِﺲَ ﺛَﻮْﺑًﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻛَﺴَﺎﻧِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏَ ﻭَﺭَﺯَﻗَﻨِﻴﻪِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺣَﻮْﻝٍ ﻣِﻨِّﻲ ﻭَﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓٍ ﻏُﻔِﺮَ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﺫَﻧْﺒِﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺗَﺄَﺧَّﺮَ ‏

“Barang siapa yang memakai pakaian kemudian berdoa, ‘Alhamdulillahilladzi kasaaniy hadzats tsauba wa razaqanihi min ghairi haulim minniy wa laa quwwatin’ (Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pakaian ini kepadaku sebagai rezeki dari-Nya tanpa daya dan kekuatan dariku), maka akan diampuni dosanya yang lalu dan akan datang” (HR. Abu Daud no. 4023, hadis ini hasan jika tanpa tambahan “dan akan datang”).

Kedua, berdoa setelah makan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ. غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan, “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa razaqaniihi min ghairi haulim minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini dan memberikan rezeki kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Abu Daud no. 4023, hasan).

Ketiga, berdoa setelah berwudu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا , ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ , لا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang berwudu dengan cara wuduku ini, lalu salat dua rakaat dan tidak berbicara diantara keduanya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”(HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226).

Keempat, berdoa ketika mendengar muazin mengumandangkan azan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ

“Barang siapa yang ketika mendengar muazin membaca, ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, saya rida Allah sebagai Rabb(ku), Muhammad sebagai rasul(ku), dan Islam sebagai agama(ku),’ niscaya dosanya akan diampuni” (HR. Muslim no. 579).

Kelima, berzikir setiap selesai salat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

Barang siapa setelah salat fardu bertasbih sebanyak 33 kali, bertahmid sebanyak 33 kali, dan bertakbir sebanyak 33 kali, sehingga berjumlah 99 kali, kemudian menggenapkannya untuk yang keseratus dengan ucapan ‘laa ilaha illallahu wahdahu laa syarikalahu lahul mulku walalhul hamdu wahuwa ‘ala kulli syai-in qodiir’, maka kesalahannya akan diampuni meskipun sebanyak buih di lautan” (HR. Muslim no. 597).

Keenam, berdoa sebelum tidur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قال حين يأوي إلى فراشه ( لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر) غفرت له ذنوبه أو خطاياه وإن كانت مثل زبد البحر

“Barang siapa ketika akan tidur membaca, ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, baginya segala kerajaan dan kepemilikan, dan bagi-Nya pula semua pujian, Dia Mahamampu atas segala sesuatu. Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Mahasuci Allah dan segala pujian hanya untuk-Nya. Dan tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah saja. Allah Mahabesar.’ Maka diampuni semua dosanya atau kesalahannya meskipun sebanyak buih di lautan” (Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, al-Albani: 607).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang tidak pernah lupa untuk mengingat-Nya di setiap waktu. Semoga Allah Ta’ala menjadikan diri kita hamba yang konsisten mengamalkan doa-doa yang telah diajarkan Rasul-Nya, agar nantinya kita termasuk hamba-Nya yang beruntung di akhirat karena mendapatkan ampunan dan pertolongan dari-Nya.

Amiin Ya Rabbal Aalamiin.

Penulis: Muhammad Idris

Sumber: https://muslim.or.id/72588-rajin-berdoa-adalah-sebab-dosa-terampuni.html

Masa Hukuman Dikurangi Sebab Pelaku Sopan, Bolehkah?

Beberapa waktu lalu mencuat sejumlah putusan sidang yang dianggap kontroversial oleh masyarakat. Putusan-putusan  hukuman dikurangi sebab pelaku sopan. Tidak tanggung-tanggung, putusan hukum tersebut didiskon menjadi setengah dari tuntutan jaksa.

Sejumlah kasus yang menimpa beberapa figur publik ini kemudian menyeruak menimbulkan kehebohan di tengah khalayak masyarakat umum. Beberapa bahkan membanding-bandingkan dengan putusan yang menimpa rakyat kelas bawah yang dirasa memberatkan.

Sebagaimana dilansir dalam Kompas.tv pada 10 Desember 2021 Tercatat ada sebuah kasus yang menimpa seorang selebgram berinisial RV. RV yang melakukan pelanggaran terhadap prokes kesehatan divonis 4 bulan penjara. Kendati vonis tersebut, nyatanya RV tidak perlu menjalani masa penahanan. Putusan ini turun dengan dalih RV bersikap kooperatif, sopan dan tidak berbelit-belit selama menjalani pemeriksaan.

Masih dalam rentan waktu berdekatan, dikutip dari Viva.co.id, artis dan model berinisial CA terjerat kasus prostitusi online. Artis pemilik hotel tempat prostitusi online ini mulanya dituntut 6 tahun penjara dan denda sebesar 200 juta. Akan tetapi, lagi-lagi karena dalih sopan, CA hanya dijatuhi vonis 10 bulan penjara.

Berkaitan dengan kejanggalan putusan hakim tersebut, kita sebagai umat Islam tentulah merasa perlu untuk mencari rujukan landasan dari al-Quran. Benarkah hal-hal yang tendesinya sangat subjektif, seperti bersikap sopan dapat mempengaruhi putusan hukum ataukah tidak.

Terdapat suatu ayat yang menjelaskan bagaimana sikap seharusnya mengenai penjatuhan hukuman dalam al-Quran. Allah berfirman dalam QS. An-Nur [24]: 2:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin”.

Pada ayat tersebut, terdapat redaksi  penting yang perlu digarisbawahi terkait  pelaksanaan hukuman. Redaksi tersebut berbunyi: “dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir”.

Ibnu Asyur dalam karya tafsirnya, “At-Tahrir Wa at-Tanwir“, memaknai kata “ra’fah” sebagai perasaan kasih sayang yang secara khusus timbul ketika menyaksikan potensi bahaya terhadap orang yang dibelaskasihani.

 Kata ra’fah dalam kalimat tersebut berkaitan (taalluq) dengan fi dinillah, guna memberi pemahaman bahwa belas kasihan tersebut bukanlah sikap terpuji karena menganulir hukum Allah. Padahal sejatinya, Allah mensyariatkan had/hukuman dengan tujuan kemaslahatan, sehingga bersikap belas kasihan dalam konteks ini berarti mengandung kerusakan. 

Tindakan semacam ini tentulah seakan-akan meragukan kemaha belaskasihan Allah. Padahal Allah sebagai pensyariat hukuman pastilah Yang Maha belaskasih terhadap hamba-Nya dibandingkan selain-Nya.

Ibnu Asyur kemudian memperkuat argumentasinya dengan riwayat Hadis marfu’ dalam Musnad Abi Ya’la. Dari Huzaifah secara marfu (disandarkan kepada Nabi) berkata: “Kelak akan didatangkan orang-orang yang memukul (menghukum) melebihi had (batasan), kemudian Allah bertanya kepadanya:

“Wahai hambaku, mengapa engkau memukul melebihi batas hukuman?”. Dia menjawab: “Saya marah demi Engkau”. Allah lantas menjawab: “Apakah kemurkaanmu lebih besar dibanding kemurkaan-Ku?”. 

Kemudian orang-orang yang mengurangi hukuman dihadapkan. Allah kembali bertanya: “Wahai hambaku, mengapa Engkau mengurangi hukuman?”. Ia menjawab: “Saya berbelaskasih kepadanya”. Allah kemudian membalas: “Apa benar belaskasihmu lebih besar dari belaskasihku?”. Keduanya lalu digiring menuju neraka.”

Sejalan dengan Ibnu Asyur, Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menafsirkan: “Jangan sampai belas kasih dan kelembutan membuatmu menggugurkan had pezina, karena demikianlah hukum Allah. Alhasil tidak diperbolehkan menggugurkan hudud (batasan hukum) Allah, wajib untuk menetapi nash dan mengagungkan terhadap kehormatan Allah. 

Wahbah Zuhaili kemudian menuturkan riwayat hadits dari ‘Aisyah, Nabi Muhammad bersabda: “Demi dzat Yang menggenggam jiwaku, seandainya Fatimah Binti Muhammad mencuri, akan kupotong sendiri tangannya.”

Redaksi selanjutnya adalah jika kamu beriman kepada Allah. Frase tersebut merupakan frase syarat dengan jawab yang dibuang. Maksudnya, jika kalian beriman maka dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu. Tujuan penggunaan redaksi ini adalah memberikan peringatan keras, sehingga seakan-akan memberi belaskasihan membuat mereka tidak beriman.

Perlu juga dicermati, bahwa petikan kalimat “jika kalian beriman kepada Allah” juga disusul dengan beriman kepaada hari akhir. Hal ini sebagai pengingat bahwa perasaan belas kasihan dengan mengurangi hukuman justru akan menjadi semacam bumerang di hari kiamat. 

Sikap mengurangi hukuman mereka justru akan menyebabkan mereka dikenai siksa di hari kiamat. Perasaan belaskasihan semacam ini justru merupakan belas kasih yang keliru dan berbahaya sebagaimana halnya menghindari pengobatan si sakit karena perasaan tidak tega.

Penafsiran-penafsiran tersebut, sejatinya merupakan semacam pedoman bagi setiap pemangku wewenang khususnya dalam hal persidangan, untuk tidak bersikap subyektif dalam menjatuhkan putusan hukum, terlebih hanya dengan dalih perilaku sopan. Hal ini tentunya menyalahi rasa keadilan dan juga rentan menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Demikian penjelasan terkait hukuman dikurangi sebab pelaku sopan. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Madzhab al-Ghazali?

Penting untuk dipahami, bahwa aqidah Imam Asy’ari itu sama dengan aqidah Imam Syafi’i, bahkan dengan aqidah generasi Salaf dari sahabat Rasulullah ﷺ

IMAM ABU HAMID, Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali adalah sosok ulama hebat. Imam al-Haramain, guru al-Ghazali, memberinya gelar Bahrun Mughriq (Lautan yang menenggelamkan). Ulama di zamannya sepakat memberikan gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam).

Dalam disiplin ilmu apapun, nama al-Ghazali selalu muncul, disebut, bahkan dijadikan rujukan. Seakan-akan al-Ghazali itu bukan satu orang, tapi kumpulan sosok hebat dalam satu diri. Wajar jika Syeikh Musthafa al-Maraghi menyebut al-Ghazali sebagai Ensiklopedia pada masanya.

Bukan hanya di dunia Islam, nama al-Ghazali juga dikenal luas di luar Islam. Banyak ilmuwan Barat yang membaca karya-karyanya, mengkaji pemikirannya, bahkan terpengaruh dengan pandangan-pandangannya. Singkatnya, al-Ghazali memang ulama besar kelas dunia, bukan orang awam seperti kita.

Uniknya, dengan keilmuan yang luas itu, al-Ghazali ternyata seorang ulama Syafi’i Asy’ari. Maksudnya, dalam bidang fiqih, al-Ghazali mengikuti Madzhab Syafi’i.

Sedangkan dalam aqidah mengikuti madzhab Asy’ari. Bukti bahwa al-Ghazali itu ulama bermadzhab Syafi’i bisa dilihat setidaknya dari dua alasan.

Pertama, al-Ghazali telah menulis sejumlah kitab fiqih dalam Madzhab Syafi’i. Sebut saja al-Basith, al-Wasith, al-Khulashah dan al-Wajiz. Kitab-kitab yang ditulis al-Ghazali ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam sanad fiqih Madzhab Syafi’i.

Karya-karya fiqih al-Ghazali ini sangat mempengaruhi ulama berikutnya seperti Imam Nawawi, Imam Rofi’i, Ibn Hajar, al-Romli dan ulama lainnya. Ada yang membuat ringkasan (mukhtashar), komentar (syarah), catatan pinggir (hasyiyah) dan sebagainya. Begitu juga karya al-Ghazali dalam bidang ushul fiqih seperti al-Mankhul dan al-Mushtashfa yang mendapat pengakuan tinggi di kalangan ulama.

Kedua, atas sumbangan ilmiahnya itu, para ulama memasukkan al-Ghazali dalam kelompok ulama Madzhab Syafi’i (Thabaqat al-Syafi’iyyah). Kedudukan al-Ghazali di dalam Madzhab Syafi’i ini bukan ulama biasa, tapi mencapai derajat mufti bahkan mujtahid.

Imam dalam bidang Hadits, al-Hafizh Hibatullah Ibn al-Najjar menyatakan bahwa al-Ghazali adalah imam para fuqaha’ secara mutlak, seorang rabbani umat, dan mujtahid pada masanya. Bahkan Imam Muhammad ibn Yahya al-Nisaburi, menyebut al-Ghazali sebagai Imam Syafi’i kedua (al-Syafi’i al-Tsani).

Adapun dalam bidang aqidah, bukti bahwa al-Ghazali seorang Asy’ari juga bisa dilihat dari dua alasan. Pertama, al-Ghazali juga menulis sejumlah karya di bidang aqidah seperti al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Qawaid al-Aqaid, dan sebagainya. Bahkan di sebagian kitab tasawufnya, seperti Ihya’ ‘Ulumiddin, al-Arba’in fi Ushuliddin, juga menyentuh pembahasan aqidah.

Apalagi al-Ghazali juga menulis karya dalam bidang logika (mantiq) seperti dalam kitab Mi’yar al-‘Ilmi, Mihakk al-Nazhar, dan di bagian awal kitab al-Mushtahsfa. Bagi para pengkaji yang jeli, maka akan nampak bahwa dalam masalah aqidah, al-Ghazali mengikuti kerangka pemikiran Madzhab Asy’ari. Cara berargumen yang memadukan argumen naqli dan aqli khas Madzhab Asy’ari tampak dalam karya-karya al-Ghazali.

Kedua, berdasarkan karya-karya itu, para ulama juga memasukkan al-Ghazali sebagai ulama Madzhab Asy’ari. Para ulama dan sejarawan Muslim tanpa ragu menyebut al-Ghazali sebagai ulama pelanjut dan pembela Madzhab Asy’ari.

Sebut saja Ibn Asakir, Ibn Khaldun, dan sebagainya. Memang ada sebagian yang menyangka bahwa al-Ghazali kemudian meninggalkan Madzhab Asy’ari dan mengikuti Madzhab Salaf sebagaimana pandangannya dalam kitab Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam.

Padahal, jika dibaca dengan teliti, justru al-Ghazali mempertegas metodologi madzhab Asy’ari dalam kitabnya itu, tentang kesucian Allah SWT dari sifat-sifat makhluk-Nya. Di kitab itu juga al-Ghazali masih menggunakan metodologi ta’wil di beberapa pandangannya sebagaimana dalam Madzhab Asy’ari.

Dari fakta ini mungkin muncul beberapa pertanyaan. Mengapa sampai hari ini kita tidak mendengar madzhab al-Ghazali dalam bidang fiqih atau bidang aqidah?

Lalu, mengapa al-Ghazali mengikuti madzhab yang berbeda dalam dua bidang itu? Mengapa tidak mengikuti madzhab fiqih dan aqidah Syafi’i saja? Atau mengapa tidak mengikuti madzhab fiqih dan aqidah Asy’ari sekalian? Lalu bagaimana memahami beberapa pertanyaan ini? Melalui tulisan singkat ini, saya coba berbagi pandangan secara sederhana.

Madzhab al-Ghazali

Tentang madzhab, baik fiqh atau aqidah, untuk mengambil kesimpulan langsung dari al-Qur’an dan Sunnah itu bukan perkara mudah. Syaratnya banyak dan ketat, baik syarat intelektual maupun syarat moral.

Ini penting dipahami, agar tidak semua orang gegabah mendakwa ijtihad. Orang yang berilmu pun tidak otomatis bisa berijtihad langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, apalagi orang awam.

Imam al-Ghazali adalah ulama yang sangat beradab. Dengan ketinggian ilmunya, al-Ghazali tetap tahu diri. Meski diakui sebagai seorang mujtahid, namun al-Ghazali tetap mengakui otoritas keilmuan yang lebih tinggi.

Ijtihad dan mujtahid itu tidak sama levelnya. Dalam disiplin ilmu fiqh misalnya, ada mujtahid mutlak/mustaqill, ada mujtahid muntasib, mujtahid muqayyad, mujtahid tarjih, mujtahid fatwa dan sebagainya.

Imam yang empat seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah mujtahid mutlak / mustaqill. Keempat ulama ini adalah ulama yang telah mencapai level mampu menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan teori ushul yang mereka rumuskan sendiri.

Tidak semua ulama mampu mencapai derajat ini. Bahkan murid langsung keempat imam madzhab ini pun tidak otomatis menjadi mujtahid seperti mereka. Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan, al-Buwaithi, al-Muzani, adalah mujtahid. Namun level ijtihad mereka masih di bawah level ijtihad keempat imam madzhab itu.

Begitu juga dengan al-Ghazali yang ijtihadnya masih merujuk kepada ushul yang dirumuskan Imam Syafi’i dalam bidang fiqih, dan kepada Imam Asy’ari dalam bidang aqidah. Adapun adanya perbedaan furu’ dalam bidang fiqih maupun aqidah diantara al-Ghazali dengan pendiri madzhabnya, itu adalah hal yang biasa terjadi dalam bermadzhab.

Pembahasan ini bisa dikaji dalam bidang ushul fiqih dan ushuludin secara lebih jauh. Silakan mengaji lagi kedua disiplin ilmu yang penting itu kepada para guru yang ahli.

Selanjutnya, mengapa al-Ghazali mengikuti madzhab fiqih Syafi’i dan aqidah Asy’ari? Belakangan, pertanyaan semacam ini muncul di tengah masyarakat. Bukan khusus untuk al-Ghazali, tapi ditujukan kepada umat Islam secara luas.

Bahkan pertanyaan ini kadang diikuti pertanyaan berikutnya. Apakah aqidah Imam Syafi’i dan Imam Asy’ari itu sama atau beda? Kalau sama, mengapa tidak mengikuti aqidah Syafi’i juga? Kalau beda, aqidah siapa yang benar? Aqidah Imam Syafi’i atau aqidah Imam Asy’ari?

Akhirnya, berbagai pertanyaan ini ditutup dengan pernyataan, “Kalau aqidah Imam Syafi’i benar, maka ikuti itu saja, tidak perlu mengikuti Madzhab Asy’ari”. Begitu kira-kira gambarannya.

Saya tidak tahu apa motif di balik deretan pertanyaan ini. Apakah si penanya itu tidak pernah mendengar tentang Madzhab Asy’ari? Atau dia tidak memahami ajaran aqidah Madzhab Asy’ari? Atau memang dia alergi terhadap madzhab aqidah Asy’ari?

Lalu, apakah benar dia kemudian mengaji aqidah madzhab Imam Syafi’i? Kalau benar, kitab apa diantara karya Imam Syafi’i yang jadi rujukannya? Atau jangan-jangan dia hanya berkata mengikuti aqidah Imam Syafi’i, padahal yang dipelajari dan diajarkan justru kitab dari ulama lain? Bukan kitab imam Syafi’i juga bukan kitab ulama salaf yang lain.

Sebenarnya, jika mau jujur, pertanyaan ini bisa ditujukan ke ulama madzhab lain dan disiplin ilmu yang lain. Misalnya, mengapa ada ulama bermadzhab fiqih Maliki tapi bermadzhab aqidah Asy’ari juga? Atau ulama bermadzhab fiqih Hanafi tapi bermadzhab aqidah Maturidi?

Mengapa juga dalam bidang qiro’at tidak mengikuti Madzhab Syafi’i sekalian? Atau bidang hadits dan sebagainya? Apakah qiro’at Imam Syafi’i salah? Apakah hadits riwayat Imam Syafi’i lemah atau palsu?

Coba bayangkan apa akibatnya jika pertanyaan semacam ini dilanjutkan? Sepertinya, pertanyaan semacam ini malah menimbulkan kekacauan berpikir.

Penting untuk dipahami, bahwa aqidah Imam Asy’ari itu sama dengan aqidah Imam Syafi’i, bahkan dengan aqidah generasi Salaf dari sahabat Rasulullah ﷺ. Menurut Imam Tajuddin al-Subki, Imam al-Asy’ari sebenarnya bukan membuat pandangan baru atau madzhab baru.

Beliau itu menegaskan kembali keyakinan madzhab Salaf dan mempertahankan aqidah sahabat Rasulullah ﷺ. Oleh karena itu, menurut Ibn Asakir dan al-Subki, madzhab aqidah yang yang dirumuskan kembali oleh Imam Asy’ari ini diterima luas oleh kalangan fuqoha dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan tokoh ulama Hambali.

Bahkan menurut Imam al-Baihaqi, madzhab aqidah Asy’ari ini mendukung pandangan ulama terdahulu seperti  Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam-imam ahli Hadits seperti Imam Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, banyak ulama lintas madzhab fiqih ini mengikuti madzhab Asy’ari dalam aqidah. Sebagian lagi mengikuti madzhab Maturidi.

Diantara ulama fiqih Syafi’i yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ari adalah, Imam al-Daruqutni, Imam al-Baihaqi, al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi, Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dan lain-lain. Diantara ulama madzhab Maliki yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ari ada Imam al-Hafizh al-Qadhi Abu Bakr Ibn al-Arabi, al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, al-Qadhi ‘Iyadh al- Andalusi.

Dari madzhab Hambali yang mengikuti aqidah Asy’ari ada al-Hafizh Ibn al-Jauzi. Sedangkan dari madzhab Hanafi, kebanyakan bermadzhab aqidah Maturidi.

Jadi, tentang mengikuti madzhab fiqih yang berbeda dengan madzhab aqidah itu bukan hal aneh. Dengan demikian, tidak aneh jika al-Ghazali bermadzhab fiqih Syafi’i dan bermadzhab aqidah Asy’ari.

Justru yang aneh itu mempertanyakannya di hari ini. Padahal para ulama sejak dulu sudah memahami dan mengamalkannya.

Ini karena memang dalam beragama itu kita harus merujuk kepada otoritas ilmu. Ini bukan berarti imam Syafi’i tidak memiliki otoritas ilmu aqidah, tapi kebanyakan karya beliau memang di bidang fiqih dan ushul fiqh. Maka beliau lebih dikenal sebagai Imam dalam bidang fiqih dan ushulnya.

Begitu juga Imam Asy’ari bukan berarti tidak memiliki ilmu di bidang fiqih, hanya karya beliau banyak membahas masalah aqidah. Akhirnya jadilah dirinya rujukan utama di bidang aqidah.

Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah

Lalu, apakah wajib mengikuti Madzhab Asy’ari? Tentu saja tidak wajib. Ada madzhab lain yang juga termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Imam al-Safarini al-Hanbali, dalam kitabnya Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah, (1/73) Ahlussunnah itu ada tiga golongan. Atsariyyah dengan pemimpinnya adalah Imam Ahmad ibn Hanbal. Asy’ariyyah yang dipimpin oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Maturidiyyah yang dipimpin oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi.

Ketiga madzhab ini mewakili madzhab Ahlussunnah dalam bidang aqidah. Madzhab yang menjaga aqidah umat dari berbagai penyimpangan dan bid’ah pemikiran. Madzhab yang menjawab segala syubhat yang dilemparkan, khususnya terkait masalah ketuhanan, agar umat selamat dari pemahaman tasybih, tajsim, ta’thil dan berbagai kekeliruan lainnya.

Hanya saja, pengikut Madzhab Atsariyyah kemudian banyak yang bergabung ke Madzhab Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Jadi, Madzhab Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang kini lebih dikenal mewakili madzhab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Dengan demikian, tidak salah dan bukan masalah jika sejak dulu sampai hari ini ada ulama yang bermadzhab fiqih Syafi’i atau Maliki tapi bermadzhab aqidah Asy’ari. Ada juga yang bermadzhab fiqih Hanafi tapi bermadzhab aqidah Maturidi.

Ini karena mengikuti sosok otoritatif dalam madzhab itu merupakan tradisi ilmu para ulama sejak beradab-abad yang lalu. Justru yang aneh itu jika mengaji dan mengajar fiqih Madzhab Syafi’i tapi bukan untuk diamalkan. Malah seringnya mengkritisi dan berkomentar miring tentang Madzhab Syafi’i.

Muncul pandangan yang memberi kesan seakan-akan fiqih Syafi’i tidak sesuai dalil yang shahih atau dalilnya lemah, lalu akhirnya ditinggalkan. Ada juga pandangan yang mencela orang yang mengikuti madzhab Syafi’i.

Menurutnya, kita tidak wajib mengikuti madzhab, tapi wajib mengikuti dalil, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Ada juga yang tampak ingin menggiring opini umat agar mengikuti Madzhab Syafi’i dalam semua bidang keilmuan. Termasuk dalam masalah aqidah. Ini secara tidak langsung mengajak orang meninggalkan madzhab aqidah Asy’ari sebagai bagian dari madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah.

Lebih konyol lagi jika ada yang berpendapat bahwa madzhab aqidah Asy’ariyyah itu sesat dan bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Padahal, dalam Majmu’ Fatawa, (4/16) Ibn Taimiyyah menyatakan;

“Siapa yang melaknat ulama Asy’ariyyah, maka dia dita’zir. Dan laknatan dia (atas ulama Asy’ariyyah) kembali kepada dirinya sendiri. Siapa yang melaknat orang yang tidak layak dilaknat, maka ia akan terkena laknatnya sendiri. Para ulama itu penjaga perkara-perkara furu’ (cabang) dalam agama. Para ulama Asy’ariyyah itu penjaga perkara-perkara ushul (pokok) dalam agama.”

Lagipula, jika madzhab aqidah Asy’ari itu dianggap sesat, maka para ulama pengikutnya juga otomatis sesat. Kalau mereka sesat, lalu siapakah ulama yang lurus dan selamat? Apakah kita tega memvonis ulama shaleh itu sebagai orang-orang sesat?

Kembali kepada Imam al-Ghazali. Dari sosok Hujjatul Islam ini kita bisa belajar adab. Dengan ketinggian ilmu yang ada padanya, al-Ghazali tetap bersikap rendah hati. Dia mengakui otoritas ulama pendahulunya yang lebih layak untuk diikuti. Tidak mendabik dada dengan sombongnya sambil berkata “Saya berlepas diri dari Madzhab Syafi’i dan Asy’ari. Sekarang saya deklarasikan madzhab sendiri, Madzhab al-Ghazali.” Tidak sama sekali. Padahal, mungkin banyak orang memandang al-Ghazali layak membangun madzhab sendiri. Namun Sang Hujjatul Islam ini sangat tahu diri untuk tetap masuk ke dalam barisan para ulama yang ahli.

Dalam bidang fiqih, al-Ghazali adalah ulama Syafi’i. Dalam bidang aqidah al-Ghazali adalah ulama Asy’ari.

Meski demikian, al-Ghazali tetaplah seorang ulama yang memiliki pandangan ilmiah dan sikap yang beradab. Sang Hujjatul Islam ini bukanlah seorang yang bertaqlid buta kepada Imam Syafi’i dan Imam Asy’ari.

Dalam beberapa perkara furu’ fiqih bisa jadi ada perbedaan pandangan antara al-Ghazali dengan imam Syafi’i. Dengan istilah lain, Imam al-Ghazali itu bermadzhab secara ikhtiyari bukan idhthirari.

Maksudnya, al-Ghazali menjadi ulama Syafi’i karena ada kesamaan dalam ijtihadnya. Begitu juga dalam masalah furu’ aqidah sangat wajar jika al-Ghazali berbeda pandangan dengan imam Asy’ari. Dalam ranah ilmiah, perbedaan furu’ semacam ini ini bukanlah hal tabu dan tercela, tapi menunjukkan keluasan ilmu para ulama itu.

Sebagai penutup tulisan, mari bandingkan dengan kita yang hidup di zaman ini. Adakah yang ilmunya melebihi al-Ghazali? Atau menyamainya? Bahkan mendekati level keilmuannya? Tidak! Tidak akan ada!

Jadi, kalau al-Ghazali saja tidak membuat madzhab sendiri dalam kedua bidang itu, pantaskah kita yang awam ini berlagak seperti mujtahid? Layakkah kita yang buta bahasa Arab ingin merujuk langsung al-Qur’an dan Sunnah dalam masalah fiqih dan aqidah?

Silakan dijawab masing-masing tanpa perlu menunjuk kepada orang lain. Mudah-mudahan kita bisa memahami kedudukan al-Ghazali dalam madzhab yang ada dalam Islam. Lalu kita semakin beradab kepada para ulama yang telah menjaga peradaban Islam, sehingga kita bisa memahami dan mengamalkan Islam secara lurus, luas dan luwes. Wallahu a’lam bi al-shawab.*

Oleh: Dr Muhammad Ardiansyah, Mudir Ponpes at-Taqwa Depok

HIDAYATULLAH

Matan Taqrib: Seputar Hukum Riba dan Jual Beli Terlarang

Kali ini dalam matan taqrib dikaji mengenai seputar hukum riba dan jual beli terlarang.

Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah menyebutkan dalam Matan Taqrib sebagai berikut,

الرِّبَا:

وَالرِّبَا فِي الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ وَالمَطْعُوْمَاتِ وَلاَ يَجُوْزُ بَيْعُ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةِ كَذَلِكَ إِلاَّ مُتَمَاثِلاً نَقْدًا وَلاَ بَيْعُ مَا ابْتَاعَهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ وَلاَ بَيْعُ اللَّحْمِ بِالحَيَوَانِ وَيَجُوْزُ بَيْعُ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ مُتَفَاضِلاً نَقْدًا وَكَذَلِكَ المَطْعْوُمَاتِ لاَ يَجُوْزُ بَيْعُ الجِنْسِ مِنْهَا بِمِثْلِهِ إِلاَّ مُتَمَاثِلاً نَقْدًا وَيَجُوْزُ بَيْعُ الجِنْسِ مِنْهَا بِغَيْرِهِ مُتَفَاضِلاً نَقْدًا وَلاَ يَجُوْزُ بَيْعُ الغَرَرِ.

Riba berlaku pada emas, perak, dan bahan makanan. Tidak boleh menjual emas dengan emas, begitu juga perak dengan perak kecuali dengan harga semisal dan dibayar tunai.

Seseorang tidak boleh menjual barang yang dia beli sampai dia menerimanya. Begitu juga, tidak boleh menjual daging dengan hewannya yang masih hidup.

Boleh menjual emas dengan perak dalam nilai berbeda, asalkan dibayar tunai.

Begitu juga dengan makanan. Tidak boleh menjual makanan dengan makanan sejenis kecuali jika sebanding dan dibayar tunai. Boleh menjual makanan dengan makanan jenis lainnya jika nilainya berbeda dan dibayar tunai.

Tidak boleh melakukan jual beli gharar.

SEPUTAR HUKUM RIBA

Riba secara bahasa berarti az-ziyadah, yaitu tambahan.

Riba secara istilah syari adalah:

مُقَابَلَةُ عِوَضٍ بِآخَرَ مَجْهُوْل التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ العَقْدِ، أَوْ مَعَ تَأْخِيْرٍ فِي العِوَضَيْنِ،

Saling menukar barang dengan yang lain yang tidak diketahui kesamaannya menurut standar syari pada saat akad, atau dua barang yang ditukar mengalami takhir (keterlambatan) atau salah salah satunya telat.

Hukum riba itu haram.

Riba itu terjadi pada:

  1. Emas
  2. Perak
  3. Math’uumaat (makanan), yaitu makanan yang dimaksudkan secara umum untuk makanan baik sebagai iqtiyaatan (makanan pokok), tafakkuhan (buah-buahan), atau tadawiyan (obat-obatan).

Selain tiga barang di atas tidak berlaku aturan hukum riba.

Aturan tukar menukar barang ribawi:

  1. Menukar emas dan emas, juga perak dan perak, harus: (1) mutamatsilan (sama) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat).
  2. Menukar emas dan perak, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan (haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah).
  3. Menukar sesama makanan yang sejenis, harus: (1) mutamatsilan (sama) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat).
  4. Menukar makanan dengan yang beda jenis, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan (haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah).

Jika antara penjual dan pembeli terpisah sebelum qabdh (serah terima) semuanya, akadnya jadi batal. Namun, jika baru diserahkan sebagian, maka tafriqus shofqoh, sebagian akadnya sah, sebagian yang lain tidak.

Riba ada empat macam:

  1. Riba al-fadhl: riba pada dua barang ribawi sejenis dengan adanya penambahan pada salah satu dari dua barang ribawi.
  2. Riba al-yadd: riba pada dua barang ribawi dengan adanya keterlambatan qabdh (serah terima) pada kedua barang ribawi atau salah satunya.
  3. Riba an-nasaa’ (nasiah): riba pada dua barang ribawi dengan adanya penundaan.
  4. Riba al-qardh: setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat pada yang memberikan pinjaman (al-muqridh).

Syarat sahnya jual beli barang ribawi (naqdain dan math’umaat)

  1. Mutamatsilan (sama ukuran) untuk barang yang sejenis. Kalau tidak terpenuhi, maka terjatuh dalam riba al-fadhl.
  2. Hulul (tunai), tidak boleh ada yang tertunda. Kalau terjadi penundaan, maka tidaklah sah dan terjatuh dalam riba an-nasaa’.
  3. Taqobudh (serah terima di majelis akad). Kalau berpisah tanpa adanya qabdh, tidaklah sah walaupun tidak diberi syarat tertunda.

Yang dilarang lagi adalah:

  1. Barter daging dan hewan, baik dari sejenis (misal daging kambing dan kambing) atau beda jenis tetapi sama-sama ma’kul (dimakan), seperti jual beli daging sapi dan satu kambing.
  2. Menjual yang telah dibeli sebelum diterima, baik ia mau menjualnya lagi pada penjual atau pada yang lain.
  3. Jual beli gharar, seperti menjual budak dari beberapa budak atau menjual burung yang masih di udara.

Hukum jual beli online

Hukumnya sama dengan bai’ al-ghaib ‘ala ash-shifat, yaitu jual beli sesuatu yang tidak terlihat secara fisik, tetapi diterangkan mengenai sifat-sifatnya (spesifikasinya). Hukum jual beli seperti ini adalah halal karena hukum asal jual beli demikian. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Referensi:

Diambil dari Fathul Qarib, Al-Imta’ bi Syarh Matn Abu Syuja’, dan Tashilul Intifa’ bi Matan Abi Syuja’ wa Syai’ Mimma Tata’allaq bihi Min Dalil wa Ijma’.

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/32531-matan-taqrib-seputar-hukum-riba-dan-jual-beli-terlarang.html

Matan Taqrib: Jual Beli Gharar

Apa itu jual beli gharar? Apa saja bentuknya?

Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah menyebutkan dalam Matan Taqrib sebagai berikut,

وَلاَ يَجُوْزُ بَيْعُ الغَرَرِ.

Tidak boleh melakukan jual beli gharar.

Definisi Gharar

Jual beli tidak jelas kesudahannya.

Konsekuensi: antara ada dan tidak ada.

Unsur untung – rugi: spekulasi.

Haramnya Gharar

Gharar itu dihukumi haram. Gharar itu salah satu bentuk perjudian. Namun, tidak semua gharar itu haram. Ada gharar kecil yang masih boleh, ada gharar besar yang diharamkan. Sedangkan riba semuanya haram, baik riba yang banyak maupun sedikit.

Kriteria Gharar yang Diharamkan

  1. Nisbah gharar dalam akad besar. Gharar sedikit tidaklah masalah.
  2. Gharar dalam akad mendasar. Jika gharar dalam akad hanya sebagai pengikut, tidak merusak keabsahan akad. Jika ada yang menjual binatang ternak yang bunting, binatang ternak yang menyusui, dan pohon yang berbuah belum matang, hukumnya dibolehkan. Walaupun janin, susu, dan sebagian buah tersebut tidak jelas karena keberadaannya dalam akad hanya sebagai pengikut dan bukan tujuan dalam akad jual beli.
  3. Akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak. Masih dibolehkan menjual wortel, bawang, umbi-umbian, dan menjual barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti semangka dan telur, sekalipun terdapat gharar karena kebutuhan orang banyak.
  4. Gharar terjadi pada akad jual beli. Jika gharar terdapat pada akad hibah, wasiat, sedekah tidak mempengaruhi keabsahan akad. Ada kaidah yang menyatakan, “Tidak ada gharar dalam akad tabarru’aat (akad hibah dan semacamnya yang tidak ada kompensasi).”

Ruang Lingkup Gharar

Gharar bisa terjadi dalam akad, objek akad, dan waktu pelunasan kewajiban.

Gharar dalam akad jual beli

Jika seseorang membeli mobil atau selainnya dari orang lain, misalnya dengan harga 10.000 riyal secara tunai atau 12.000 riyal secara kredit kemudian berpisah dari majelis akad, tanpa ada kesepakatan dari dua akad tadi (mau tunai ataukah kredit), jual beli semacam ini mengandung gharar dalam akad.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akad” (HR. An-Nasai, no. 4632; Tirmidzi, no. 1231; dan Ahmad, 2:174. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih sebagaimana dalam Al-Jaami’ Ash-Shahih, no. 6943).

Lihat penjelasan di atas dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi), Pertanyaan 15-169, 15/6/1393 H.

Gharar dalam objek akad (barang atau harga)

  • Fisik barang tidak jelas. Contoh: menjual barang dalam kotak dengan harga Rp.100.000,-.
  • Sifat barang tidak jelas. Contoh: menjual mobil dengan harga Rp.50.000.000,-, di mana pembeli belum pernah melihat mobil dan belum dijelaskan spesifikasinya.
  • Ukuran barang tidak jelas. Contoh: menjual tanah Rp.10.000.000,- tanpa menentukan ukuran batasannya.
  • Barang bukan milik penjual. Contoh: seorang calo tanah membuat transaksi jual beli dengan pihak ketiga tanpa mendapatkan izin dari pemilik tanah sebelumnya.

Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3503; An-Nasai, no. 4613; Tirmidzi, no. 1232; dan Ibnu Majah, no. 2187. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih).

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual beli. Tidak halal dua persyaratan dalam jual beli. Tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu. Tidak halal menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Daud, no. 3504 dan Tirmidzi, no. 1234. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Barang yang telah dibeli penjual namun belum diterima dari penjual pertama. Contoh: A membeli motor dari B. Sebelum A menerima motor dari B, A menjual kepada C. A menerima uang dari C dan meminta B untuk menyerahkan langsung motor ke C. Ini termasuk bai’ gharar karena motor tersebut bisa jadi lenyap dari B dan tidak bisa diserahterimakan kepada C.

Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنِّي أَشْتَرِي بُيُوعًا فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْهَا ، وَمَا يُحَرَّمُ عَلَيَّ قَالَ : فَإِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعًا ، فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ.

“Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual beli, apa jual beli yang halal dan yang haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima.’” (HR. Ahmad, 3:402. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari jalur lainnya, secara sanad hadits ini hasan).

  • Barang tidak dapat diserahterimakan. Contoh: barang di luar negeri dan ia menjualnya di Indonesia. Ini termasuk jual beli gharar, karena barang tersebut kemungkinan tidak diizinkan masuk ke Indonesia.
  • Gharar pada harga disebabkan penjual tidak menentukan harga. Contoh: Aku jual mobil dengan harga sesukamu. Namun masih boleh jual beli dengan penetapan harga pasar.

Gharar dalam jangka waktu pembayaran

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883).

Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu.

Referensi:

Diambil dari Fathul Qarib, Al-Imta’ bi Syarh Matn Abu Syuja’, dan Tashilul Intifa’ bi Matan Abi Syuja’ wa Syai’ Mimma Tata’allaq bihi Min Dalil wa Ijma’, Harta Haram karya Gurunda Ustadz Erwandi Tarmizi.

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/32535-matan-taqrib-jual-beli-gharar.html

Al-Bai’ts, Yang Maha Membangkitkan

Al-Bai’ts, Yang Maha Membangkitkan

“Al-Bai’ts” dari kata “ba’atsa-yab’atsu-ba’tsan” yang artinya : mengutus, mengirim, membangkitkan, membangunkan. Jadi, kata “Al-Ba’its” artinya : Yang (Maha) Pengutus, Yang (Maha) Pengirim, Yang (Maha) Pembangkit, Yang (Maha) Pembangun.

Secara urut Al-Qur’an menjelaskan makna “al-Bai’ts” itu, pertama, Bersangkutan “Kekuasaan Allah s.w.t.”. Dalam hal ini meliputi 3 (tiga) tema utama.Tema pertama, kuasa Allah s.w.t. “Mengutus dan mengirim” Rasul (Utusan) (QS Al-Baqarah, 2: 213; QS An-Nahl, 16: 36; Qs Al-Furqan, 25:51). Sosok rasul adalah “manusia pilihan”, apalagi “pilihan Allah s.w.t.”’ sekalipun para Rasul tersebut adalah manusia biasa dari segi fisik (QS Al-Isra’ ,  17: 94; QS Al-Kahfi, 18: 110; QS Al-Fushshilat, 41: 6) namun ditakdirkan memiliki kemampuan rohani dan intergritas pribadi dan karenanya layak menerima wahyu  yang isi pesannya sungguh “berat” yang dalam Al-Qur’an diturunkan ke sebuah gunung maka gunung tersebut akan hancur lumer dan berkeping-keping (QS Al-Basyr, 59: 21).

Tema kedua, kuasa Allah s.w.t. “membangunkan (baca: mengaruniai) kekuasaan” kepada orang yang telah dipilihnya (QS Al-Baqarah, 2: 247). Karunia Kekuasaan tersebut bisa karena dipilih lewat berbagai model pemilihan, bisa juga karena keturunan seperti yang pernah berlaku dalam sistem kerajaan. Dalam ayat 247 Surat Al-Baqarah tersebut dikisahkan Allah s.w.t. telah mengaruniai kekuasaan kepada Thalut bagi Bani Israil setelah Musa a.s wafat. Tema ketiga, kuasa Allah s.w.t. “membangkitkan dari kematian” atau “menghidupkan kembali setelah mengalami kematian”.

Untuk menjelaskan tema ketiga ini, secara urut Al-Qur’an memberikan argumentasi secara bertahap. Tahap pertama, kaum kafir menolak adanya “kebangkitan dari mati” itu dengan alasan badan sudah hancur dalam tanah (QS Al-Isra’, 17: 49 dan 98), dan lahir-mati merupakan daur hidup alamiah (QS Al-Mu’minun, 23:37),serta daur hidup tersebut karena putaran waktu yang bersifat alamiah pula (QS Al-Jatsiyah, 45: 24). Karena itu mereka (kaum kafir) sampai bersumpah tidak akan menerima (mengimani) bahwa “bangkit dari kematian” tersebut  dapat terjadi karena kekuasaan Allah s.w.t.

Tahap kedua, Allah s.w.t menjelaskan secara faktual bahwa kelahiran manusia di dunia ini melalui sebuah proses, yaitu : semula dari sari tanah (turab), berubah menjadi sperma/mani (nuthfah), lalu berubah menjadi embrio (‘alaqah; setelah bersatu dengan sel telur/ovum), kemudian berubah lagi menjadi sebuah janin (mudghah) yang terus berkembang di dalam rahim ibu yang mengandungnya (al-arham) , lalu lahir, ada tidak sampai dewasa, ada yang sampai dewasa, bahkan sampai tua renta (pikun). Siapa yang memroses itu semuanya? Tentu saja Allah s.w.t Tahap ketiga, dengan demikian “membangkitkan manusia dari kematian” jauh lebih mudah ketimbang proses melahirkan manusia di dunia ini. Jadi, membangkitkan manusia yang telah mati dan dikuburkan bukan sesuatu yang mustahil (Qs Al-Hajj, 22:7). Karena itu sumpah penolakan kaum kafir terhadap fenomena “kebangkitan dalam kubur” adalah tertolak, baik dari sudut penalaran fakta, apalagi dari sudut keimanan (Qs An-Nahl, 16:38). Allah s.w.t. punya kuasa terhadap semuanya itu. Wallahua’lam

Mohammad Damami Zain, Pengajar PUTM Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2019

REPUBLIK ID

Hikmah dan Tujuan Isra dan Mi’raj Menurut Prof Quraish Shihab

Isra’ dan Mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad menjadi momentum khusus baginya untuk semakin memperkuat keimanan dan keyakinan dengan risalah dan ajaran yang dibawanya. Pada peristiwa itu, Allah swt memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya Yang Agung.

Isra` adalah peristiwa ketika Allah Swt. memperjalankan Nabi-Nya dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Al-Quds. Sementara Mi‘raj, peristiwa berikutnya, adalah dinaikkannya Nabi Muhammad SAW melintasi lapisan-lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau pengetahuan malaikat, manusia, maupun jin. Semua itu terjadi dalam satu malam.

Perjalanan Isra’ Nabi Muhammad akhirnya diabadikan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an, Dia berfirman:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Artinya, “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS Al-Isra’ [17]: 1).

Jika dilihat sekilas, ayat di atas memberikan gambaran bahwa tujuan di balik adanya peristiwa Isra dan Mi’raj adalah untuk memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah kepada Nabi Muhammad.

Menurut Prof Quraish Shihab tanda-tanda kebesaran Allah terbagi menjadi dua bagian, (1) nyata, dan bisa kita ketahui setelah mempelajarinya. Di antaranya, adalah hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta; dan (2) tidak nyata, dan berada di luar hukum-hukum yang manusia ketahui, misalnya Isra dan Mi’raj.

Menurut pakar tafsir kontemporer dari Indonesia itu, yang manusia ketahui dan menjadi hukum alam, di antaranya adalah air mencari tempat yang rendah, api membakar, akan tetapi Allah dengan segala kuasa-Nya bisa menjadikan api itu tidak membakar, seperti kisah Nabi Ibrahim.

Oleh karenanya, sangat tepat jika melihat beberapa perkataan para ilmuan, bahwa hukum-hukum alam itu tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Sebab, pada dasarnya hukum alam hanyalah ikhtisar (ringkasan) dari pukul rata statistik.

Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hikmah dari adanya peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah untuk memperlihatkan kuasa dan kebesaran Allah yang tidak selalu sesuai dengan hukum-hukum alam, yang diberikan kepada Nabi Muhammad dengan adanya tujuan dan maksud tertentu sekligus untuk memberikan pelajaran kepada manusia bahwa Dia Mahakuasa.

Oleh sebab itu, menurut Prof Quraish Shihab shalat lima waktu diwajibkan berhubungan dengan jiwa (keimanan) bukan dengan akal (pengetahuan). Artinya, untuk percaya terhadap terjadinya Isra dan Mi’raj membutuhkan keimanan yang matang.

BINCANG SYARIAH

Isra’ Mi’raj dan Lambang Islam sebagai Agama Fitrah dari Susu

Di antara kewajiban bagi umat Islam adalah meyakini bahwa Allah SWT memberikan kemuliaan kepada Nabi Muhammad dengan memperjalannya di waktu malam yang dikenal dengan peristiwa Isra dan Mi’raj dengan tempo waktu yang sangat singkat.

Isra’ dan Mi’raj menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah dalam Islam, khususnya dalam perjalanan risalah Nabi Muhammad. Selain sebagai awal mula diwajibkannya shalat lima waktu, juga menjadi salah satu mukjizat Rasulullah yang paling agung.

Perjalanan yang sangat jauh dan sangat sulit untuk digambarkan dengan akal, bisa ditempuh dengan tempo waktu yang sangat singkat, bahkan akal tidak bisa menerima kenyataan itu jika tidak dilandasi dengan keimanan yang matang.

Menurut salah satu ulama Nusantara, Syekh Nawawi Banten dalam kitab Nuruz Zhalam Syarah Mazumah Aqidatil Awam, ada banyak riwayat perihal durasi waktu yang dilalui oleh Rasulullah dalam peristiwa itu.

Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah berangkat dari tempat tidurnya dan kembali sebelum Siti Khadijah berbalik arah, sebagian riwayat yang lain mengatakan bahwa Rasulullah kembali sebelum bantal tidurnya dingin.

Sedangkan menurut Syekh Nawawi sendiri, perjalanan itu berada dalam kisaran waktu tiga atau empat jam, bahkan bisa lebih sedikit. Namun yang pasti, peristiwa Isra dan Mi’raj adalah perjalanan malam Rasulullah yang ditempuh dengan tempo waktu yang sangat singkat.

Oleh karenanya, tidak heran jika peristiwa ini selalu diperingati oleh umat Islam dalam setiap tahunnya, khususnya pada tangal 27 Rajab mengikuti pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi tepat satu tahun sebelum hijrahnya nabi dari Makkah ke Madinah, pada malam Senin, tanggal 27 Rajab. (Syekh Nawawi Banten, Nuruz Zhalam Syarah Mazumah Aqidatil Awam, [Darul Hawi: 1416 H/1996 M], halaman 152).

Susu dan Lambang Islam Agama Fitrah

Diriwayatkan bahwa Rasulullah dibawa dengan Buraq, sejenis binatang yang lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada bagal. Binatang ini melangkah sejauh mata memandang. Diriwayatkan pula bahwa Nabi Muhammad memasuki Masjidil Aqsha, lalu shalat dua rakaat di sana. Kemudian, Jibril membawakannya segelas arak dan segelas susu.

Pada momentum itu, Nabi Muhammad memilih susu. Jibril pun berkomentar, “Engkau memilih fitrah.”

Hikmah dari pilihan Nabi Muhammad terhadap air susu, ketika Jibril menawarkan dua jenis minuman, susu dan arak. Ini merupakan perlambang bahwa Islam adalah agama fitrah, agama yang akidah dan semua hukumnya selaras dengan dorongan fitrah manusia. Islam tidak mengandung sesuatu pun yang bertentangan dengan tabiat asli manusia. Seandainya fitrah itu berupa tubuh, tentu Islam adalah bajunya yang sangat pas.

Ini merupakan salah satu rahasia tersebar luasnya Islam dan penerimaannya oleh banyak manusia. Sebab, setinggi apa pun peradaban manusia, dan sebesar apa pun kebahagiaan materialnya, ia tetap didorong oleh fitrahnya dan cenderung untuk melepaskan diri dari segala beban dan ikatan yang jauh dari tabiatnya.

Nah, Islam merupakan satu-satunya aturan yang memenuhi semua dorongan fitrah manusia yang paling dalam.

Reaksi Kafir Quraisy Terhadap Isra Mi’raj

Sebagaimana jamak diketahui, Isra’ Mi’raj merupakah salah satu peristiwa yang sangat bersejarah dalam Islam. Di dalamnya banyak kejadian luar biasa yang tidak bisa dinalar oleh akal, misalnya, perjalanan yang sangat jauh dan panjang hanya dilalui oleh Nabi Muhammad dengan tempo waktu yang sangat singkat.

Jika tidak berdasarkan keimanan, mustahil seseorang bisa percaya dan iman kepada Rasulullah, termasuk setiap sesuatu yang disampaikannya dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Contohnya, orang-orang kafir Quraisy, mereka selalu mencemooh dan menganggap bahwa semua itu hanyalah dongeng belaka yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Kaum kafir Quraisy ketika mendengar cerita itu dari Rasulullah, serta-merta mereka menyebarkan berita yang mereka anggap lucu ini sambil mengolok-olok. Ada di antara mereka yang menantang Rasulullah untuk menggambarkan pepuingan Baitul Maqdis jika benar beliau telah pergi ke sana dan shalat di sana.

Padahal, ketika ia tiba di Baitul Maqdis, tak terpikir sedikit pun untuk memperhatikan setiap sudutnya, menghafal bentuknya, apalagi menghitung pilar-pilarnya. Maka, Allah memperlihatkan bentuk Baitul Maqdis kepadanya sehingga Rasulullah dapat menjelaskannya secara rinci sesuai permintaan mereka.

Al- Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

Saat kaum Quraisy tidak memercayaiku, ketika aku berdiri di Hijir Ismail, Allah memperlihatkan Baitul Maqdis kepadaku sehingga aku bisa menceritakan kepada mereka tentang pilar-pilarnya dengan gambaran yang jelas.

Beberapa orang musyrik sengaja menyampaikan cerita ini kepada sahabat Abu Bakar dengan maksud mencemooh dan agar dia tak lagi memercayai Rasulullah. Namun, Abu Bakar menjawab, “Jika memang beliau mengatakan itu maka beliau berkata benar. Dan, aku sungguh percaya jika beliau menceritakan sesuatu yang lebih heboh daripada itu (Mi’raj).”

Jawaban sahabat Abu Bakar di atas dijadikan gambaran oleh para ulama tafsir, bahwa iman yang benar adalah iman yang tidak mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pembawa risalah, semua percaya dan iman padanya, sekalipun tidak masuk akal.

BINCANG SYARIAH