Meneladani Sahabat Nabi

Banyak yang dapat diteladan dari empat sahabat Nabi dengan membaca kisah mereka.

Syaikh Nawawi, dalam karya terbaik beliau tentang akidah, yakni Fathul Majid, mengutip hadits Nabi yang sangat menarik, “Selain para Nabi, Allah telah memilihkan untukku para sahabat. Mereka berjumlah empat orang, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.” 

Bagi Syaikh Nawawi,  sahabat Nabi adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi secara fisik dan satu sama lain saling kenal. Jadi kendati bertemu Nabi tapi tidak saling kenal, tidak serta merta disebut sahabat.

Tentang para sahabat beliau, Nabi bersabda, “Sahabatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar, yang paling keras dan tegas adalah Umar, yang paling pemalu adalah Utsman, yang paling bijaksana memutuskan hukum adalah Ali.” (HR  Ahmad).

Nama asli Abu Bakar adalah Abdullah bin Abu Quhafah. Saat Nabi berdakwah secara sembunyi-sembunyi, Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan sahabat. Dalam sejarah, Abu Bakar adalah satu-satunya sahabat yang pernah menggantikan Nabi jadi imam. 

Beliau juga salah seorang sahabat yang menjadi mertua Nabi. Nabi menikah dengan putri Abu Bakar, yakni Aisyah setelah Khadijah wafat pada 619 Masehi. Abu Bakar juga jadi sahabat yang wafat bukan karena terhunus pedang pada 634 Masehi, berbeda dengan Umar, Utsman, dan Ali.

Sementara Umar adalah satu-satunya sahabat yang ditakuti setan karena ketegasannya. Nabi bersabda, “Sesungguhnya setan lari ketakutan jika bertemu Umar.” (HR  Ibnu Asakir).  Ketegasan Umar, diakui Abdullah bin Mas’ud, “Kami terus merasakan harga diri yang tinggi sejak Umar masuk Islam.” (HR Bukhari).

Umar juga jadi satu-satunya sahabat yang dimimpikan Nabi memiliki istana di surga. Seperti halnya Abu Bakar, Umar juga  jadi mertua Nabi, lewat putrinya Hafshah. Ia meninggal karena dibunuh pada 644 Masehi. Anaknya, Abdullah jadi intelektual muda pada masanya. Sedangkan cucunya, Umar bin Abdul Aziz jadi khalifah masyhur.

Tentang Utsman yang dikenal sebagai sahahat yang pemalu, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Utsman adalah seorang pria pemalu.” (HR  Muslim).  Pada kesempatan berbeda, secara retoris,  Nabi juga bersabda tentang Utsman, ”Apakah aku tidak malu pada seseorang yang para malaikat saja malu kepadanya?” (HR  Muslim). 

Utsman  termasuk di antara 10  sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Berbeda dengan Abu Bakar dan Umar yang menjadi mertua Nabi, Utsman justru jadi menantu Nabi dan dijuluki Dzun Nurain ((Pemilik Dua Cahaya) , karena menikahi dua putri Nabi, yakni Ruqayah dan Ummu Kultsum. Utsman wafat karena dibunuh pada 656 Masehi.

Terakhir, Ali bin Abu Thalib. Ayahnya adalah paman Nabi yang sangat sayang kepada beliau. Seperti halnya Utsman, Ali juga adalah menantu Nabi. Karena Ali menikah dengan Fatimah. Dari pernikahan inilah hari ini tersebar keturunan Nabi di seantero jagat. Seperti juga Umar dan Ustman, Ali wafat karena dibunuh pada 661 Masehi.

Banyak yang dapat diteladani dari empat sahabat Nabi dengan membaca kisah mereka dalam buku yang tebal-tebal. Keempat sahabat ini dijamin masuk surga. Semoga dengan meneladani mereka, kita dilimpahi ridha dan cinta-Nya dan dimasukkan ke surga tanpa hisab bersama mereka. Hidup bersama mereka di surga, tentu indah sekali.

Oleh  Syamsul Yakin

KHAZANAH REPUBLIKA

Meski Anak Panah Menancap Tubuh, Sahabat Ini Tetap Melanjutkan Sholatnya

Sahabat Abad bin Bisyr bernama lengkap Abad bin Basyir bin Waqsy Al-Asyhali Al-Khazraji. Sahabat Nabi Muhammad yang lahir pada tahun 33 sebelum hijrah itu masuk Islam di tangab duta besar Islam, Mushab bin Umair di Madinah.

Dia mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah SAW dan termasuk salah satu pahlawan besar sahabat Nabi SAW. Suatu ketika, dalam Perang Dzat Ar-Riqa, ia bertugas menjaga benteng pertahanan kaum Muslimin secara bergantian dengan Ammar bin Yasir.

Dan di suatu malam, ia meminta Ammar untuk tidur lebih dulu dan ia yang berjaga. Melihat suasana benteng aman, ia pun menunaikan sholat. Lalu tak lama kemudian, seorang pasukan musuh menyusup dan membidik anak panahnya ke tubuh Abad.

Lantas Abad mencabut anak panah itu lalu meneruskan sholatnya. Lalu si musuh kembali membidik Abad, dan dia lagi-lagi mencabut anak panah di tubuhnya kemudian meneruskan sholatnya. Ketika sujud, ia membangunkan Ammar.

Setelah sholat selesai, Ammar bertanya soal mengapa Abad tidak membangunkan dirinya ketika musuh membidiknya dengan anak panah. Lalu Abad menjawab, “Saat itu aku sedang membaca ayat yang membuatku terharu dan aku enggan berhenti membacanya sampai selesai.”

Aisyah RA pernah berkata, “Ada tiga orang dari kaum Anshar yang tidak ada seorang pun yang bisa mengungguli mereka dalam hal keutamaan. Mereka adalah Sa’ad bin Muadz, Usaid bin Hudhair, dan Abad bin Bisyr.”

Abad wafat dalam Perang Yamamah saat melawan pasukan Musailamah Al-Kadzdzab. Abad adalah sahabat yang membunuh Musailamah dalam perang tersebut, dan dalam perang ini pula, ia gugur sebagai syahid.

IHRAM

4 Bentuk Penghormatan Ali bin Abi Thalib terhadap Orang Berilmu

Ali bin Abi Thalib kr. dikenal sebagai salah satu sahabat yang cerdas. Kendati demikian, dia tidak sombong. Ali bin Abi Thalib sangat menghormati orang lain yang berilmu. Lantas, bagaimana bentuk penghormatan Ali bin Abi Thalib terhadap orang berilmu?

Ali bin Abi Thalib memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas, sehingga Rasulullah berkata, “Aku adalah pintunya ilmu, dan Ali adalah kuncinya.” Selama hidupnya Ali bin Abi Thalib begitu hormat dan menghargai orang-orang yang berilmu. Sehingga dia mendapatkan keberkahan dari orang-orang yang berilmu.

Bentuk penghormatan Ali bin Abi Thalib terhadap orang berilmu

Penghargaan dan penghormatan Ali bin Abi Thalib kepada orang yang berilmu dapat dilihat dari perkataannya.

Berikut bentuk penghormatan Ali bin Abi Thalib terhadap orang berilmu tersebut:

Menghormati guru

Menurutnya, diantara wujud memuliakan ilmu adalah menghormati guru. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajariku satu huruf. Jika mau ia boleh menjualku dan jika mau ia membebaskanku.”

Imam Az-Zarnuzi dalam kitabnya. “Ta’Limul, Mutallim” dalam persoalan ini ada syair yang dilantunkan:

“Aku melihat bahwa hak yang paling kuat adalah hak seorang Mualim ialah hak yang paling wajib dijaga oleh setiap muslim ia berhak diberi hadiah 1000 dirham untuk setiap huruf yang diajarkan, sebagai penghormatan.”

Sesungguhnya orang yang mengajarimu satu huruf yang kamu butuhkan dalam urusan agama, sejatinya Ia adalah bapakmu dalam agama.

2Menghormati orang alim

Imam Az-Zarnuzi, guru kami Asy-Syekh Imam Sadiduddin Asy-Syirazi rahimahullah berkata, “Guru-guru kami berkata. Siapa yang menginginkan anaknya menjadi seorang alim, hendaknya ia memperhatikan para fuqaha yang terasing, menghormati mereka, mengagungkan mereka dan memberi mereka sesuatu. Jika nanti anaknya tidak menjadi seorang alim ulama maka cucunyalah yang menjadi seorang alim.”

Salah satu cara menghormati seorang alim adalah tidak berjalan di depannya, tidak menduduki tempat duduknya, tidak memulai pembicaraan di hadapannya kecuali atas izinnya, tidak banyak berbicara di hadapannya, tidak bertanya tentang sesuatu saat sedang bosan, memperhatikan waktu, dan tidak mengetuk pintunya tetapi sabar menantinya hingga ia keluar.

3Mencari ridho guru

Seorang penuntut ilmu harus mencari ridho gurunya, menjauhi kemurkaannya, melaksanakan perintahnya selama bukan maksiat. Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada pencipta.

Hal tersebut selaras dengan sabda Nabi, “Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah yang membuang agamanya demi mengincar dunia orang lain dan dengan bermaksiat kepada sang pencipta.”

Menghormati keturunan para guru

Di antara bentuk penghormatan kepada seorang guru adalah menghormati anak-anaknya dan siapa saja yang memiliki hubungan dengannya.

Syekhul Islam Burhanudin, pengarang kitab Al-Hidayah rahimahullah pernah berkata, “Ada salah seorang Imam senior di Bukhara ikut duduk dalam satu majelis kadang-kadang ia berdiri di tengah-tengah pelajaran. Maka orang pun menanyakan hal itu. Dia menjawab, ‘Sesungguhnya Putra Guruku sedang bermain bersama anak-anak di jalan dan kadang-kadang ia datang ke pintu masjid. Apabila aku melihatnya, aku maka aku berdiri sebagai penghormatan untuk guruku.” []

SUMBER: REPUBLIKA

ISLAMPOS

Berniat Menjadi Imam Tapi Tidak Ada Orang, Benarkah Malaikat Akan Menjadi Makmum

Berikut ini penjelasan terkait berniat menjadi imam tapi tidak ada orang, benarkah malaikat akan menjadi makmum. Keterangan jamak saya temui dalam sebuah majalah dinding di pesantren, bahwa saya pernah membaca hukum seseorang berniat menjadi imam akan tetapi tidak ada orang di belakang, lalu benarkah malaikat akan menjadi makmumnya ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami mendapati beberapa ibaroh/keterangan di dalam kitab kuning yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Diantaranya adalah di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj karya Ibnu Hajar al-Haitami juz 8 halaman 250.

( فَرْعٌ ) الْمُتَبَادِرُ مِنْ كَلَامِهِمْ أَنَّ مَنْ نَوَى الْإِمَامَةَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنْ لَا أَحَدَ يُرِيدُ الِاقْتِدَاءَ بِهِ لَمْ تَنْعَقِدْ صَلَاتُهُ لِتَلَاعُبِهِ وَأَنَّهُ لَا أَثَرَ لِمُجَرَّدِ احْتِمَالِ اقْتِدَاءِ جِنِّيٍّ أَوْ مَلَكٍ بِهِ

Artinya : yang langsung dipahami dari kalam Ulama bahwasanya orang yang berniat menjadi imam, sedangkan ia tahu bahwa tidak ada seorangpun yang hendak bermakmum padanya, maka tidak sah sholatnya karena ia bermain-main. Dan karena itu juga, tidak ada pengaruh karena sekedar kemungkinan jin atau malaikat bermakmum kepadanya.

Ketengan ini juga terdapat di dalam beberapa kitab fikih lainnya, seperti kitab i’anut thalibin, hawasyis syarwani dan lain sebagainya.

Sedangkan dalam kitab Hawasyi Syarwani juz dua halaman 332 terdapat keterangan tambahan bahwasanya apabila seseorang menduga bahwa akan ada orang yang bermakmum padanya, maka ia boleh berniat menjadi imam (meskipun di awal takbir tak ada orang yang bermakmum padanya). Dengan syarat itu tadi, ia percaya dan yakin akan ada orang yang berjama’ah bersamanya.

فرع: المتبادر من كلامهم أن من نوى الامامة وهو يعلم أن لا أحد ثم يريد الاقتداء به لم تنعقد صلاته لتلاعبه وأنه لا أثر لمجرد احتمال اقتداء جني به نعم إن ظن ذلك لم يبعد جواز نية الامامة أو طلبها ثم رأيت في شرح العباب قال أي الزركشي بل ينبغي نية الامامة وإن لم يكن خلفه أحد إذا وثق بالجماعة انتهى

 Artinya : yang langsung dipahami dari kalam Ulama bahwasanya orang yang berniat menjadi imam, sedangkan ia tahu bahwa tidak ada seorangpun yang hendak bermakmum padaya, maka tidak sah sholatnya karena ia bermain-main. Dan karena itu juga, tidak ada pengaruh karena sekedar kemungkinan jin atau malaikat bermakmum kepadanya.

Akan tetapi, jika orang tersebut menduga akan ada orang yang bermakmum padanya, maka boleh/sunah untuk berniat menjadi imam. Kemudian aku (mushonnif) di dalam syarah ubab, Syekh Zarkasyi berkata, “bahkan hendaknya orang itu berniat menjadi imam, sekalipun tidak ada satupun orang di belakangnya, jika ia yakin akan ada jama’ah”. selesai.

Demikian penjelasan berniat menjadi imam tapi tidak ada orang, benarkah malaikat akan menjadi makmum. Semoga bermanfaat. 

BINCANG SYARIAH

Menolak Memaafkan Orang Ghibah, Haramkah?

Melupakan sekaligus memaafkan kesalahan orang lain termasuk hal yang sangat sulit. Apa lagi kesalahan yang dilakukannya teramat besar dalam melukai hati, semisal menggunjing, menggosip atau ghibah, terlebih lagi yang dighibahi adalah diri sendiri. Lantas menolak memaafkan orang ghibah, haramkah?

Pada dasarnya Islam sangat memotivasi umatnya agar senantiasa memaafkan orang yang telah mengghibah tentang diri kita. Akan tetapi, secara realistis, kita sebagai manusiawi terkadang merasa sulit menerima maaf orang lain yang telah berbuat ghibah kepada kita.

Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa memaafkan orang yang telah menggosipi kita tidak wajib. Sebagaimana beliau tegaskan dalam kitabnya Ihya Ulumiddin [3/150]

فَإِنْ قُلْتَ : فَالتَّحْلِيلُ هَلْ يَجِبُ ؟ فَأَقُولُ : لَا ؛ لِأَنَّهُ تَبَرُّعٌ ، وَالتَّبَرُّعُ فَضْلٌ ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ ، وَلَكِنَّهُ مُسْتَحْسَنٌ ،

“jika kau bertanya, apakah memberi maaf itu wajib? Maka saya katakan, memaafkan itu tidak wajib. Karena memaafkan adalah tabarru sedangkan tabarru’ Cuma kebaikan dan bukan merupakan kewajiban. Hanya saja dianggap baik (dianjurkan).”

Bahkan para salaf pernah mengatakan untuk tidak menerima pemaafan orang yang telah melakukan ghibah terhadap dirinya. Dalam kitab Ithaf Sadatil Muttaqin, Imam Azzabidi al-Murtadha menukil sebagai berikut;

 وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ يَقُولُ: لَا أُحَلِّلُ مَنِ اغْتَابَنِي) أَيْ: لَا أَجْعَلُهُ فِي حِلٍّ مِنِّي

“Sebagian salaf pernah berkata, saya tidak akan memberi maaf kepada orang yang telah berbuat ghibah tentang diriku: artinya tidak akan menjadikan kehalalan dariku”

Tidak hanya itu, salah seorang sahabat Nabi Muhamad yang menjadi pakar hadis dan fikih di Madinah, yaitu Said bin Musayyab pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan memeafakan orang yang telah mencacati kehormatannya dengan cara di ghibah/gossip sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam kitabnya.

قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: : لَا أُحَلِّلُ مَنْ ظَلَمَنِي

“Said bin Musayyab pernah berkata; aku tidak akan memberi kehalalan (memaafkan) orang yang telah menzaliminya”

Hal ini bisa dimaklumi, sebagai manusiawi korban yang telah dicabik-cabik harga diri dan kehormatannya maka tidak akan langsung bisa memaafkan secara sekaligus dan seketika. Ada proses dan iringan waktu yang terus bertahap.

Oleh sebab itu, untuk pelaku (orang yang meminta maaf) hendaknya senantiasa meminta maaf dan tidak putus asa. Seiring dengan ini, Imam al-Ghazali memberikan cara bagi orang yang meminta maaf atas kesalahannya berupa ghibah agar tidak putus asa.

Bahkan seandainya korban (orang yang pernah dilukai harkat martabatnya) tersebut tetap tidak mau memaafkan maka usaha yang dilakukan tidak akan sia-sia yaitu tetap mendapatkan apresiasi dari Allah swt kelak di hari kiamat.

وَسَبِيلُ الْمُعْتَذِرِ أَنْ يُبَالِغَ فِي الثَّنَاءِ عَلَيْهِ وَالتَّوَدُّدِ إِلَيْهِ وَيُلَازِمَ ذَلِكَ حَتَّى يَطِيبَ قَلْبُهُ فَإِنْ لَمْ يَطِبْ قَلْبُهُ كَانَ اعْتِذَارُهُ وَتَوَدُّدُهُ حَسَنَةً مَحْسُوبَةً لَهُ يُقَابِلُ بِهَا سَيِّئَةَ الْغِيبَةِ فِي الْقِيَامَةِ

“Cara bagi pelaku yaitu bersungguh-sungguh memuji korban dan berbuat baik kepada korban dan konsisten melakukannya (sebagai ekspresi minta maaf). Jika si korban tetap tidak lunak hatinya maka permintaan maaf dan kebaikan yang dilakukan pelaku tetap dihitung sebagai kebaikan dan bisa membandingi dosa ghibahnya di hari kiamat”

Hal ini selaras dengan dawuh Ibnu Ruslan yang dinukil oleh al-Manawi dalam kitab Faidul Qadir sebagai berikut.

قال ابن رسلان: ويظهر أنه لو صالح أحدهما الآخر فلم يقبل غفر للمصالح

“Ibnu Ruslan berkata, Yang bisa kita simpulkan, apabila salah satunya berusaha berdamai dengan yang lain tapi perdamaian itu tidak diterima, maka orang yang berusaha berdamai tersebut diampuni.(Faidul Qadir, Maktabah Syamilah, 259).

Demikianlah penjelasan orang yang disakiti boleh menolak permintaan maaf akan tetapi alangkah baiknya memaafkan. Itulah penjelasan menolak memaafkan orang ghibah, apakah haramkah? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Serial Fikih Muamalah (Bag. 8): Cara-Cara Memperoleh Harta yang Dilarang Syariat

Pada pembahasan-pembahasan yang telah lalu, kita telah mempelajari sebab-sebab memperoleh kepemilikan yang diperbolehkan oleh syariat. Baik itu berupa memanfaatkan benda halal yang tidak dimiliki oleh siapapun, akad-akad yang memindahkan kepemilikan harta, peninggalan, serta harta yang terlahir dari harta yang sudah kita miliki, ataupun hak irtifaq (hak pemanfaatan benda tidak bergerak milik orang lain).

Seorang muslim dilarang untuk mengambil dan memperoleh harta tersebut dengan cara-cara yang tidak disyariatkan, yaitu jika mengandung kezaliman dan eksploitasi, membahayakan orang lain, ketidakadilan, dan penipuan terhadap orang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

نِعْمَ المالُ الصَّالحُ للمَرءِ الصَّالحِ.

“Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh hamba yang saleh.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 299, Al-Hakim no. 2130, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 1248)

Maknanya, sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ahli ilmu adalah, “Sebaik-baik harta halal adalah yang dimiliki hamba saleh. Ia memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga serta kerabat terdekatnya, kemudian ia kembangkan dengan cara yang baik dan halal.”

Adapun cara-cara yang dilarang dan tidak disyariatkan untuk memperoleh harta bisa kita bagi menjadi 3 kategori:

Kategori pertama: Cara memperoleh harta yang mengandung kezaliman dan eksploitasi

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi asas keadilan dan melarang keras perbuatan zalim. Oleh karena itu, Islam melarang pencurian, menggunakan harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya (ghasab), dan ihtikar (menyimpan barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan untuk melonjakkan dan menaikkan harga). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئ

“Siapa yang melakukan ihtikar (penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam), maka ia telah berbuat salah.” (HR. Muslim no. 1605)

Para ulama menjelaskan bahwa makna (berbuat salah) di hadis adalah bermaksiat dan berdosa.

Termasuk dari cara mendapatkan harta yang mengandung kezaliman juga adalah perjudian. Dalam perjudian, pasti akan ada pihak yang dirugikan. Semua yang ikut sama-sama mengeluarkan harta, namun pada akhirnya pasti akan ada yang tidak mendapatkan imbalan. Perkara ini juga telah Allah haramkan di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 90)

Kategori kedua: Cara-cara yang membahayakan orang lain

Islam melarang keras dari berdagang dengan sesuatu yang akan membahayakan pribadi perseorangan ataupun masyarakat. Karena hal tersebut termasuk salah satu bentuk kerja sama dalam kemaksiatan dan permusuhan yang telah Allah Ta’ala haramkan. Ia berfirman,

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.” (HR. Syafi’i dalam kitab Al-Umm 8: 639, Malik di dalam kitab Al-Muwattha’ 2: 745, Syekh Albani mengatakan hadis ini hasan karena banyaknya jalur periwayatannya)

Termasuk yang dilarang karena sebab membahayakan orang lain adalah berdagang minuman memabukkan. Para ulama sepakat akan haramnya berdagang minuman memabukkan sebagaimana terdapat juga hadis larangannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

حُرِّمَتِ التِّجَارَةُ في الخَمْرِ

“Dan telah diharamkan mengambil keuntungan dari berdagang minuman keras.” (HR. Bukhari no. 2226)

Termasuk di dalamnya juga adalah perdagangan narkoba, baik itu opium, heroin, kokain, dan lain sebagainya. Para ulama sangatlah tegas dan keras melarang perdagangannya, bahkan lebih tegas dari pelarangan penjualan miras, karena kesemuanya itu mengancam nyawa manusia, cepat atau lambat.

Dalil pelarangannya adalah dalil pelarangan minuman keras, karena keduanya sama-sama menutup akal pikiran manusia, bahkan narkoba lebih buruk dari minuman keras dalam hal menutup pikiran manusia. Pengedar dan penjual narkoba lebih besar bahayanya dan lebih tinggi pelanggarannya dari mereka yang mengonsumsinya, karena mereka yang mengonsumsinya seringkali dikarenakan kebodohan ataupun kecerobohan mereka.

Kategori ketiga: Cara-cara yang mengandung penipuan, kecurangan, dan keculasan

Agama ini melarang keras penipuan, phising, kecurangan, dan segala macam hal yang serupa. Sebaliknya Islam memerintahkan kita untuk bersikap jujur dan terbuka. Bahkan, Islam menjadikan kejujuran dan keterbukaan sebagai identitas keislaman seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الدين النصيحة قلنا: لمن يا رسول الله؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم

”Agama itu nasihat.” Kami bertanya, ”Untuk siapa?” Beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, ”Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.” (HR. Muslim no. 55, Abu Dawud no. 4944, Nasa’i no. 4197 dan Ahmad 16945)

Syekh Ibnu Baaz rahimahullah ketika ditanya mengenai hadis ini, beliau mengatakan,

“Hadis ini menunjukkan bahwa nasihat merupakan (intisari) agama Islam, yaitu tulus dalam suatu hal dan jujur di dalamnya. Sehingga kesemuanya itu terlaksana sebagaimana yang telah Allah wajibkan. Maka, (inti) agama Islam adalah ketulusan dan kejujuran pada segala sesuatu yang Allah wajibkan dan pada apa-apa yang Allah haramkan … menjaga dan memperhatikannya serta berusaha untuk menjalankannya dengan sempurna tanpa ada kecurangan, pengkhianatan, dan meremehkan sedikitpun.”

Di antara bentuk penipuan adalah al-ghabn (kelebihan atau kekurangan atas harga yang sepadan dengan selisih yang sangat jauh). Yaitu, ketika seseorang menawar barang dagangan penjual dengan harga yang sangat rendah, dengan cara memelas, dan berbohong. Atau ketika seseorang menjual sebuah barang dengan harga yang sangat tinggi dengan menggunakan iming-iming palsu dan menyebutkan keunggulan yang faktanya tidak ada pada produk tersebut.

Kedua macam ghabn di atas sama-sama tercela, karena Nabi melarang para sahabatnya dahulu dari menipu dan menggunakan iming-iming palsu, baik ketika menjual barang ataupun membeli barang.

أنَّ رَجُلًا ذَكَرَ للنَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنَّه يُخْدَعُ في البُيُوعِ، فَقالَ: إذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لا خِلَابَةَ

Seorang laki-laki mengadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia ditipu dalam transaksi jual beli. Lalu, Nabi bersabda, “Jika engkau berjual-beli, maka katakanlah, ‘Laa Khilaabah.’ (tidak ada penipuan).“ (HR. Bukhari no. 2117 dan Muslim no. 1533)

Suatu transaksi dapat digolongkan kepada keadaan ghabn yang terlarang ketika harga yang diberikan sudah melewati batas kewajaran dan calon pelanggan tidak mengetahui harga pasar dari barang tersebut.

Termasuk yang tidak diperbolehkan juga dalam masalah ini adalah adanya penipuan pada produk yang dijual, baik itu dengan menyembunyikan cacat dan kerusakan ataupun memberikan deskripsi palsu terkait produk tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَن حمل علينا السلاحَ فليس مِنَّا ، ومَن غَشَّنا فليس مِنَّا

“Barangsiapa yang mengangkat senjata (yakni memerangi) kepada kami, maka ia bukanlah termasuk golongan kami (kaum muslimin). Dan barangsiapa yang mengelabui (atau menipu) kami, maka ia pun bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim no. 101)

Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu, beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka, beliau bertanya, “Apa ini wahai penjual makanan?” Ia menjawab, “Terkena hujan, wahai Rasulullah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أفَلا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعامِ كَيْ يَراهُ النَّاسُ، مَن غَشَّ فليسَ مِنِّي

“Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Muslim no. 102)

Perkataan Nabi, “Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan termasuk golonganku.” menunjukkan bahwa menipu merupakan salah satu dosa besar. Mengapa? Karena Nabi tidak akan mungkin berlepas diri dari seseorang yang melakukan dosa kecil yang bisa dihapus dengan salat lima waktu. Sedangkan dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari mereka yang menipu.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua dari memperoleh dan mendapatkan harta dengan cara yang dilarang dan tidak diridai oleh-Nya. Semoga Allah Ta’ala cukupkan rezeki kita dengan cara yang halal sehingga tidak perlu mencarinya dengan cara yang haram.

اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563)

Wallahu a’lam bisshawab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78697-serial-fikih-muamalah-bag-8.html

Berjalan Membungkuk Depan yang Lebih Tua Mulai Hilang, Lalu Dipertanyakan Dalil?

Indonesia merupakan negara yang kaya akan adat, tradisi dan norma yang diwarisi dari nenek moyang dan dijaga secara turun temurun. Salah satunya ialah tradisi berjalan dengan menunduk jika melewati orang yang lebih tua atau orang yang dianggap berilmu.

Berjalan membungkuk bertujuan untuk mengajarkan tatakrama dan sopan santun kepada anak agar menghormati orang yang lebih tua, sambil berkata, “nyuwun sewu, nderek langkung”. Saat berjalan dengan membungkukkan badan seperti ini, haruslah berjalan pelan-pelan, bukan malah berlari.

Berjalan membungkuk seperti ini adalah cara beretika yang di ajarkan oleh orangtua kepada anaknya yang masih kecil sehingga mereka lebih beradab dan menghormati orang tua. Tradisi membungkuk seperti ini juga banyak kita jumpai di setiap pondok pesantren yang hingga saat ini tetap merawat tradisi tersebut.

Namun sayangnya di era sekarang ternyata masih ada saja yang membid’ahkan tradisi semacam ini. Seolah tradisi seperti tidak diajarkan oleh Nabi dan dianggap melanggar syariat agama karena dianggap dengan menunduk kepada orang yang lebih tua merupakan bentuk kita tunduk selain kepada Allah. Lucu bukan?

Bentuk penghormatan kepada orang tua justru malah di pelintirkan seolah kita menyekutukan Tuhan. Ada pula yang lebih ingin rasional dengan mengatakan tradisi itu adalah tradisi kolonial dan para kerajaan zaman dahulu.

Apapun perdebatan yang anda munculkan, jika ada anak berlari-lari depan anda atau tidak menghiraukan orang tua yang sedang duduk, Nurani anda apakah anak itu berakhlak atau tidak? Biarkan anda yang menjawab dalam hati kecilmu dan biarkan tradisi penghormatan itu berjalan.

Saya pribadi hanya ingin menyampaikan pesan Allah dalam al-Quran bahwa kita diajarkan untuk berbakti dan hormat kepada orang tua. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra: 23-24).

Al-Quran secara detail dan teknis memberikan panduan berakhlak kepada orang tua. Tentu panduan itu tidak sekedar apa yang tertera tetapi intinya adalah segala tindakan yang tidak bertentangan dengan syariat dan mengandung arti penghormatan.

Dalam beberapa hadist Nabi memberikan panduan ketika berhadapan yang lebih tua. 1) mendahulukan orang lebih tua dalam berbicara, 2) mendahulukan orang yang lebih tua mendapatkan tempat duduk, 3) mengucapkan salam kepada yang lebih tua, 4) mengangkat yang lebih tua sebagai pemimpin.

Artinya penghormatan kepada orang tua dan yang lebih tua adalah bagian dari ajaran Islam. Bahkan Nabi pernah mempertegas : “Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR. at-Tirmidzi no. 1842).

Menghormati orang tua dan yang lebih tua merupakan praktek yang sejak dahulu diajarkan Nabi. Penghormatan tentu akan banyak beragam tergantung tradisi. Sebenarnya tradisi seperti ini tidak hanya dilakukan di negara Indonesia saja, namun bentuk penghormatan seperti ini juga banyak dilakukan dinegara-negara lain dengan tujuan yang sama. Ada yang mengangkat topi sembari membungkukkan badan, ada juga yang hanya membungkukkan badan sembari berjalan seperti yang kita lakukan, dan ada pula yang hanya membungkukkan badan dengan tujuan yang sama yakni bentuk penghormatan kepada orang lain.

Jangankan tradisi membungkuk, bahkan tradisi mencium tangan saja tidak dilarang meski tidak terdapat asalnya dalam syariat. Para ulama telah membahas ketentuan ini dalam kitabnya. Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuththalibin juz 10 halaman 236, berbunyi, “Adapun mencium tangan, jika dilakukan terhadap orang atas dasar kezuhudan, kesalehan, kealiman, kemuliaan dan keapikkannya dalam perkara agama maka hukumnya sunnah. Namun jika dilakukan atas dasar hal yang berbau duniawi, kekayaan, kekuasaan, keunggulannya dalam urusan dunia maka hukumnya makruh yang amat sangat.”

Jadi bisa kita simpulkan bahwa tradisi membungkukkan badan ataupun mencium tangan tidaklah melanggar syariat dan dihukumi sunnah karena Nabi memerintahkan untuk menghormati yang lebih tua. Praktek dan implementasi penghormatan akan berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Tetapi subtansinya adalah penghormatan.

Hari ini kita menyaksikan anak-anak sudah mulai keropos adab dan etika. Kesantunan depan orang tua sangat memperihatinkan. Berlari, berteriak, dan mengabaikan yang lebih tua sudah menjadi lazim. Dulu , adat dan tradisi itu diajarkan untuk mencetak anak yang sesuai akhlak islami. Namun, kenapa hal itu harus dipertanyakan dalilnya.

Terjebak dengan meminta dalil atau bertanya ada dalil atau tidaknya, tetapi melupakan substansi tindakan yang sejatinya sesuai dalil adalah perbuatan yang kurang arif.  Semoga kita menjadi umat yang mampu memahami ajaran yang melanggar syariat atau yang tidak melanggar syariat.

Di sinilah mengapa seseorang membutuhkan ilmu dengan sanad yang jelas supaya kita mampu memahami setiap informasi yang kita dapatkan dan menyerapnya dengan baik dan bijak. Bukan sekedar belajar al-Quran dan hadist tetapi tidak memahami kandungan yang dimaksud.

Waulahuallam.

ISLAM KAFFAH

Waspada Konten Negatif di Dunia Digital, Umat Diimbau Jangan Salah Akses Informasi

Pesatnya perkembangan teknologi, umat Islam diimbau agar jangan sampai salah akses informasi yang tersebar secara online. Pasalnya, di dunia online (dunia maya) banyak tersebar konten-konten hoaks, provokasi, dan intoleransi.

“Sekarang informasi bisa kita dapatkan dengan mudah. Siapa saja bisa membuat dan mengakses informasi. Akan tetapi perlu diingat, hal ini berimbas pada tingkat kebenaran data yang akan sulit dipertanggungjawabkan dan menjadi relatif tidak moderat lagi,” jelas Wakil Ketua Umum MUI, Buya Basri Bermanda dalam pembukaan acara “Kongres Mujahid Digital” yang diselenggarakan oleh Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (Infokom MUI), di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat  (16/09/2022).

Menurut dia, kondisi tersebut memicu lahirnya kesulitan pencegahan bagi kelompok-kelompok tertentu yang ingin membuat isi konten negatif bahkan sesat di media online.

Fakta itulah yang membuat Buya Basri mengapresiasi pembentukan Mujahid Cyber atau Digital yang berguna untuk membangun informasi tentang ajaran Islam baik secara proaktif maupun reaktif.

“Saya ingin memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Ketua Bidang Infokom, Kiai Masduki Baidlowi beserta segenap jajarannya yang telah berusaha penuh merancang program ini dengan baik,” katanya dikutip dari MUI Digital.

Ia berharap, program dari Komisi Infokom MUI dapat terus ditingkatkan kembali guna mengedukasi masyarakat melalui dengan narasi-narasi positif di media sosial.

ISLAM KAFFAH

Innalillahi Wainnailahirojiun Cendikiawan Muslim Prof. Dr. Azyumardi Azra Wafat Di Malaysia

Innalillahi Wainnailahirojiun Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya, cendikiawan muslim yang cukup berperngaruh Prof. Dr. Azyumardi Azra wafat di Rumah Sakit di Malaysia pada Minggu, (18/9/22).

Prof. Azyumardi Azra selain menjadi Guru Besar di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah (UIN Syarief Hidayatullah) juga menjadi Ketua Dewan Pers, selain itu beliau juga merupakan kelompok ahli BNPT. Segenap keluarga besar mengucapkan belasungkawa dan memohon doa untuk beliau.

“Sekarang jenazahnya sedang diurus oleh kedutaan. Doakan, ya, turut dimaafkan. Kaget saya, masih kaget syok banget,” kata Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Dewan Pers, Ninik Rahayu, kepada wartawan, seperti dikutip dari laman detik.com Minggu (18/9/2022).

Ninik mengatakan kabar Azyumardi meninggal dunia terkonfirmasi oleh istri almarhum sudah di Malaysia. Azyumardi sebelumnya sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Selangor, Malaysia.

“Benar. Saya konfirmasi ke istri beliau yang berada di sana,” ucapnya.

Sebelumnya disampaikan Azyumardi perlu dilakukan perawatan secara intensif. Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu dirawat di Hospital Serdang.

“Beliau dirawat di Hospital Serdang,” kata Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Kuala Lumpur Yoshi Iskandar saat dihubungi, Jumat (16/9).

Azyumardi Azra dinyatakan positif COVID-19. Hal ini dibenarkan oleh Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Kuala Lumpur Yoshi Iskandar.

“Menurut Keterangan RS yang menangani demikian (positif COVID-19),” kata Yoshi saat dimintai konfirmasi, Sabtu (17/9).

ISLAM KAFFAH

Batalkan Transaksi Daring Setelah Akad, Bolehkah?

Banyak masyarakat memanfaatkan platform perdagangan elektronik (e-commerce) untuk membeli barang yang diinginkan. Namun, terkadang ada konsumen yang membatalkan transaksi setelah akad seperti setelah melakukan check-out atau mengeklik oke terhadap barang yang dibeli pada platform e- commerce tertentu.

Apakah itu diperbolehkan dalam syariat Islam?

Pakar fikih Muamalah yang juga anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Ustaz Oni Sahroni, mengatakan, jika pembatalan transaksi daring dilakukan sebelum melakuan ijab kabul atau akad maka tidak ada konsekuensi apa pun. Sebab, itu merupakan fase musawamah atau tawar-menawar untuk menyepakati harga barang.

Itu disebut juga fase khiyar, yaitu fase bagi pembeli maupun penjual menentukan pilihan akan melanjutkan atau membatalkan transaksi. Artinya, bila belum terjadi transaksi atau belum ada ijab kabul maka pihak penjual atau pembeli boleh membatalkan perjanjian.

Lalu, bagaimana bila ijab kabul telah terjadi dan konsumen telah melakukan transfer pembayaran kepada penjual?

Ustaz Oni mengatakan, bila barang telah masuk dalam inputbarang yang dibeli, konsumen telah menentukan alat bayar, konsumen sudah melakukan checkoutatau mengeklik oketerhadap barang yang dibeli dan melakukan transfer, artinya telah terjadi ijab kabul antara pembeli dan penjual. Dalam kondisi seperti itu, yakni telah terjadi transaksi, salah satu pihak tidak boleh membatalkan perjanjian kecuali mendapatkan persetujuan dari pihak lain.

Jika salah satu pihak melakukan pembatalan, itu harus dilakukan atas persetujuan. Jadi, tidak boleh serta- merta salah satu pihak membatalkan akad kecuali pihak lain menyetujui.Namun, jika salah satu pihak membatalkan, misalnya di platform digital, harus ada sistem yang memberikan perlindungan kepada konsumen. Caranya adalah hak-hak mereka harus dikembalikan.

Kalau uangnya sudah dikirim, segera dikembalikan. Ini harus jelas apa ke rekening e-commerceatau ke rekening si pembeli,” kata Ustaz Oni dalam kajian virtual konsultasi syariah beberapa hari lalu.

Ustaz Oni mengatakan, bila terjadi pembatalan maka transaksinya menjadi batal (infisakh)sehingga tidak ada akad yang mengikat kedua belah pihak. Maka, bila transaksi dibatalkan, hak-hak masing-masing harus dikembalikan.

Bila ada kerugian akibat pembatal an, pihak yang melakukan dan mengakibatkan kerugian harus meng ganti sebesar real cost. Itu seba gaimana dijelaskan dalam Fatwa DSN MUI Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh).Bila terjadi pembatalan maka barang yang masih dalam tahap pengiriman dan uang yang sudah ditransfer itu harus dihitung ulang dan diberikan ganti rugi jika ada sehingga semaksimal mungkin para pihak itu tidak terzalimi (diperlakukan secara adil). 

Tentang mekanisme pembatalan beserta konsekuensinya, itu telah diatur dalam klausul perjanjian platform daring. Di sana dijelaskan tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan konsumen memba talkan dan tidak boleh membatalkan.Ketika terjadi pembatalan, ditentukan pula kondisi-kondisi yang mengharuskan kerugian riil ditanggung oleh konsumen atau pihak penjual. Semua mekanisme tersebut merujuk pada tuntunan syariah seputar pembagian kerugian, khiyar, dan komitmen dengan perjanjian serta merujuk pada asas pemenuhan hak kedua belah pihak semaksimal mungkin serta perlindungan konsumen.

“Dibuat klausul dari awal bahwa kalau barangnya tidak ada, tidak terse dia, ada klausul di awal (uangnya kon sumen) dikembalikan ke mana, dan kalau ada kerugian harus dibuat pa rameter kerugian riil yang harus dikompensasi tersebut,” katanya. 

IHRAM