Teks Khotbah Jumat: Bukti Cinta Seorang Hamba kepada Allah

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ  

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 35)

Mendekatkan diri kepada Allah, bertakwa, dan mencintai Allah Ta’ala adalah pondasi utama agama Islam. Dengan sempurnanya kecintaan seorang hamba kepada Allah, maka sempurna pula keimanannya. Dan dengan berkurangnya rasa cinta seorang hamba kepada Allah Ta’ala, maka berkurang juga kadar tauhid dan keimanan dari diri seorang hamba.

Kecintaan ini hukumnya wajib menurut kesepakatan seluruh kaum muslimin. Seorang hamba dituntut untuk mengusahakan setiap hal yang akan mengantarkannya menuju rasa cinta kepada Allah Ta’ala sehingga nantinya imannya menjadi sempurna.

Jemaah Jumat yang senantiasa dalam rahmat Allah Ta’ala.

Sesungguhnya, kecintaan kita kepada Allah ini layaknya pohon yang tumbuh dengan subur. Akarnya kuat dan ranting-rantingnya menjulang tinggi ke langit. Tanda-tanda kecintaan ini akan nampak di hati dan anggota badan pemiliknya, layaknya sebuah pohon yang buahnya berlimpah menandakan bahwa pohon tersebut tumbuh dengan baik dan subur.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Berikut ini adalah beberapa ciri yang membuktikan kejujuran cinta kita kepada Allah Ta’ala. Ciri-ciri yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap muslim yang mengaku cinta kepada Tuhan-Nya, Allah Ta’ala.

Yang pertama: Hamba yang mencintai Allah Ta’ala karena sibuknya ia dengan beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala serta membaca kitab-Nya. Ia akan terlupa dari selain Allah Ta’ala. Beribadah kepada Allah menjadi penyejuk hati dan penggembiranya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

حُبِّبَ إِلِيَّ مِنْ دُنْيَاكُمُ النِّسَاءُ وَالطِّيبُ وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

Dijadikan kecintaan pada diriku dari dunia kalian (yaitu) wanita-wanita (istri-istri beliau) dan wewangian. Dan dijadikanlah penyejuk hatiku dalam salat.” (HR. An-Nasa’i no. 3939, Ahmad no. 14069 dan Baihaqi no. 13836)

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Waabil As-Sayyib menjelaskan,

“Siapa yang hatinya menjadi sejuk karena melaksanakan salat di dunia, di akhirat kelak hatinya akan bahagia dan sejuk karena kedekatannya dengan Allah Ta’ala, bahkan di dunia pun hatinya akan menjadi lebih nyaman dan tentram. Siapa yang senang dan bahagia dengan beribadah kepada Allah Ta’ala, maka hatinya akan menjadi tenang. Dan siapa yang hatinya tidak senang dan bahagia dengan Allah Ta’ala, maka di dunia ini hatinya akan senantiasa dipenuhi kesedihan dan patah hati.”

Yang kedua: Sabar di atas ketaatan dan saat menghadapi kesulitan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

“Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al-Muddassir: 7)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Banyak dari kita yang mengaku mencintai Allah Ta’ala, padahal kecintaannya itu adalah kecintaan yang palsu. Betapa banyak dari kita yang tidak bisa bersabar saat ditimpa sebuah ujian dan musibah, padahal kesabaran merupakan pembuktian cinta yang paling besar. Allah Ta’ala mengisahkan Nabi Ayyub alaihissalam saat ia diberi ujian oleh Allah Ta’ala,

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” (QS. Sad: 44)

Imam Al-Halimi rahimahullah mengatakan,

مَنْ أَحَبَّ اللهَ تَعَالَى لَمْ يُعِدَّ المَصَائِبَ الَّتِي يَقْضِيهَا عَلَيْهِ إِسَاءَةً مِنْهُ إِلَيْهِ، وَلَمْ يَسْتَثْقِلْ وَظَائِفَ عِبَادَتِهِ وَتَكَالِيفَهُ المَكْتُوبَةَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa mencintai Allah Yang Mahatinggi, ia tidak akan lagi menganggap bencana yang menimpanya sebagai bentuk penghinaan-Nya atas dirinya. Ia juga tidak menganggap berat kewajiban ibadah dan beban tanggung jawab yang Allah tuliskan kepada-Nya.”

Yang ketiga: Orang yang jujur di dalam cintanya kepada Allah Ta’ala, saat ia mengingat dan berzikir kepada Allah dalam kesendirian, hatinya menjadi takut dan air matanya pun bercucuran karena rasa takutnya kepada Allah Ta’ala. Mereka layak mendapatkan kasih sayang Allah berupa naungan-Nya di hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: (وَمِنْهَا) رَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

“Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya: (salah satunya) seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 6806 dan Muslim no. 1031)

Yang keempat: Mencintai Al-Qur’an sepenuh hati.

Sebagaimana perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

مَنْ كَانَ يُحِبُّ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، فَلْيَعْرِضْ نَفْسَهُ عَلَى القُرْآنِ؛ فَإِنْ أَحَبَّ القُرْآنَ فَهُوَ يُحِبُّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنَّمَا القُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Siapa yang ingin mengetahui apakah ia benar-benar mencintai Allah ‘Azza Wajalla, maka biarkan dirinya di hadapan Al-Qur’an. Jika ia mencintai Al-Qur’an, maka ia juga mencintai Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Al-Qur’an merupakan kalamullah.” (AS-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad rahimahullah)

أقُولُ قَوْلي هَذَا   وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Ma’asyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Bukti cinta kita kepada Allah Ta’ala yang kelima adalah menyesal jika terluput dan terlewat dari sebuah ketaatan kepada Allah, menyesal apabila kita lupa tidak berzikir kepada Allah Ta’ala, menyesal jika tidak membaca zikir di waktu pagi dan petang.

Bukan hanya menyesal saja, jika kita memang mencintai Allah Ta’ala, kita juga akan berusaha untuk mengganti, mengqada amalan yang kita tinggalkan tersebut secepatnya, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا عَمِلَ عَمَلاً أَثْبَتَهُ، وَكَانَ إِذَا نَامَ مِنَ اللَّيْلِ أَوْ مَرِضَ؛ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika beliau mengerjakan sebuah amalan, maka akan benar-benar serius dan berusaha untuk konsisten melaksanakannya. Jika beliau (mendapati halangan dari melaksanakan salat malam karena) tertidur di sebuah malam atau sakit, maka beliau akan salat di siang harinya 12 rakaat (sebagai pengganti salat malamnya).” (HR. Muslim no. 746)

Jemaah salat Jumat yang berbahagia.

Bukti cinta kita kepada Allah yang keenam adalah senantiasa mengikuti dan tunduk terhadap syariat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Imran: 31)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

“Sungguh ayat yang mulia ini membantah setiap orang yang mengaku-ngaku cinta kepada Allah Ta’ala, namun ia tidak di atas jalan dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh mereka adalah pendusta atas apa yang mereka dakwakan hingga mereka benar-benar mengikuti ajaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, agama islam ini dalam setiap perkataan dan perbuatan.”

Bukti cinta kita kepada Allah yang terakhir adalah zuhud dalam urusan dunia, mencukupkan diri dan tidak berlebihan di dalam urusan duniawi. Setiap kali seorang hamba semakin mencintai Allah Ta’ala, semakin zuhud juga dirinya terhadap perkara duniawi, lebih menyibukkan diri dengan amalan-amalan yang akan menjadi bekalnya di akhirat nanti.

Ketahuilah wahai saudaraku, zuhud kita, rasa cukup kita terhadap perkara duniawi akan membawa dua cinta kepada diri kita, cinta Allah Ta’ala dan cinta manusia. Suatu ketika ada seorang sahabat yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bertanya,

“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku sebuah amalan yang apabila aku mengamalkannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia akan mencintaiku.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab,

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

“Bersikaplah zuhud terhadap dunia, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintaimu. Dan bersikaplah zuhud terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya mereka akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah no. 3326)

Ya Allah, ya Mujiba As-Saa’ilin, tuliskanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang senantiasa jujur di dalam mencintai-Mu. Ya Allah, jadikanlah kami salah satu hamba-Mu yang selalu mendapatkan cinta dan rida-Mu.

Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79968-bukti-cinta-seorang-hamba-kepada-allah.html

Khutbah Jumat: Perbuatan-perbuatan yang Merusak Ukhuwah Islamiyah

Islam memerintahkan menghindari hal  yang menjadi perusak persaudaraan umat Islam (merusak ukhuwah Islamiyah) dan gelar buruk pada sesama Muslim, baca lengkap materi khutbah Jumat ini

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

KHUTBAH Jumat kali ini membahas enam perusak ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Muslim). Mengolok-oleh, menghina, memberi cap atau gelar-gelar buruk kepada sesama Muslim adalah di antara perusak ukhuwah Islamiyah yang paling dibenci Allah Subhanahu Wata’ala.

Khutbah Jumat Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah jamaah Jumat

Persaudaraan di dalam tubuh umat Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari iman kepada Allah. Persaudaraan dalam Islam adalah sesuatu yang sangat penting dan mendasar karena ia tanda bukti keimanan yang sejati. Dalam hal ini Allah ﷻ telah menegaskan :

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-Hujuraat: 10).

Semangat persaudaraan juga digelorakan oleh Rasul ﷺ dalam banyak kesempatan yang salah satunya beliau menggambarkan bahwa kita sebagai sesama umat Islam, seperti satu tubuh yang saling mengisi dan menyempurnakan. Beliau ﷺ bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari-Muslim)

Mengingat pentingnya persaudaraan dalam Islam, mari kita waspadai enam perkara yang bisa merusak ukhuwah di antara kita. Keenam perkara ini berdasarkan firman Allah ﷻ yang tercantum pada Surah Al-Hujurat ayat 11-12.

Pertama, faktor yang merusak persaudaraan kita adalah mengolok-olok, baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan kata-kata maupun dengan bahasa isyarat.

Allah ﷻ berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).”

Sudah barang tentu saling mengolok akan menimbulkan luka di hati yang mengakibatkan kemarahan dan permusuhan.

Kaum Muslimin jamaah shalat Jumat yang Berbahagia

Kedua, mencaci atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan. Tidak jauh berbeda, faktor kedua ini salah satu sebab yang menimbulkan pertikaian.

Karenanya, kita dilarang oleh Allah ﷻ untuk mencaci dan menghina diri seseorang, lebih-lebih jika dia adalah orang yang beriman sama seperti kita.

Allah ﷻ berfirman :

وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ

“Janganlah kamu saling mencela satu sama lain…”

Ketiga, perusak persaudaraan antar umat Islam itu adalah memanggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk. Kita bisa berbeda baik dalam organisasi, manhaj, mazhab, pengajian, guru spiritual, pilihan politik. Namun sebagai umat Islam haram hukumnya menempelkan gelar sebagai ahli bidah, ahli neraka, Kadrun, Cebong, dan gelar-gelar semisal.

Mari kita belajar lebih toleran dalam perbedaan dan membuka diri untuk melihat perbedaan sebagai keluasan ilmu Allah ﷻ yang diberikan kepada kita.

Allah ﷻ berfirman :

وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ

“…dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman…”

Keempat, buruk sangka. Sikap yang satu ini berawal dari iri hati yang bersemayam dalam diri. Iri melihat kebahagiaan pada diri orang lain, iri melihat keberhasilan yang diraih orang lain, sehingga menimbulkan buruk sangka kepadanya. Allah ﷻ jelas melarang hal ini :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa..”

Kelima, mencari-cari kesalahan orang lain. Bicara tentang kesalahan pasti tidak ada seorang manusia pun yang lepas darinya. Sejak aqil baligh kita tidak luput dari perbuatan salah dan dosa. Tugas kita bertobat, banyak istighfar, dan memperbaiki diri agar lebih baik dari sebelumnya. Tugas kita bukan mengorek aib saudara kita, apalagi sampai menyebarkannya. Inilah faktor yang bisa merobohkan bangunan ukhuwah islamiah.

Allah ﷻ berfirman :

وَلَا تَجَسَّسُوا۟

“…dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain..”

Jemaah Shalat Jumat yang Dimuliakan Allah

Faktor perusak persaudaraan yang berikutnya atau keenam adalah bergunjing. Bergunjing yang dalam bahasa Arab disebut ghibah adalah membicarakan keadaan orang lain yang jika ia sampai mengetahuinya, ia tidak menyukainya. Jika sesuatu yang buruk yang disampaikan memang benar ada pada dirinya berarti ia telah menggunjing, lebih-lebih bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang. Jika tidak ada, berarti ia telah jatuh pada perbuatan fitnah yang keji.

Allah ﷻ berfirman :

وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ

“…dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik…”

Ketika kita menghendaki untuk memperkuat ukhuwah islamiyah, maka setiap kali ada berita buruk yang datang tentang saudara kita, jangan kita telan mentah-mentah. Kita lakukan tabayyun atau meneliti terlebih dahulu kebenaran berita tersebut.

Enam hal di atas merupakan larangan yang Allah ﷻ sampaikan kepada kita. Keenamnya jelas merupakan biang perusak persaudaraan umat Islam. Kita tidak menginginkan terjadinya permusuhan yang diakibatkan oleh enam sikap perusak persaudaraan. Maka, di akhir ayat kita diperintahkan untuk meningkatkan iman serta takwa kita kepada Allah ﷻ

وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

”Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Jumat kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Khutbah Jumat: ini dikeluarkan, DPC Rabithah Alawiyah Kota Malang.

Selain Khutbah Jumat: Perbuatan-perbuatan yang Merusak Ukhuwah Islamiyah, Khutbah Jumat lainnya bisa dilihat di sini

Rep: Admin Hidcom

Empat Kecukupan yang Harus Dihindari

Di antaranya kecukupan berupa hilangnya suatu kegemaran, selera, semangat dan keinginan untuk berbuat kebaikan sebagai sebuah musibah

Hidayatullah.com | AL-HABIB Abdullah Al-Haddad pernah memberi pesan bahwah ada empat macam ‘kecukupan’ yang harus kita hindari. Di antaranya kecukupan berupa hilangnya suatu kegemaran, selera, semangat dan keinginan untuk berbuat kebaikan sebagai sebuah musibah.

Begini pesannya:

كَفَى بِفُقْدَانِ الرَّغْبَةِ فِى الخَيْرِ مُصِيْبَةً وَكَفَى بِالذُّلِّ فِى طَلَبِ الدُّنْياَ عُقُوْبَةً

وَكَفَى بَالظُّلْمِ حَتْفاً لِصَاحِبِهِ وَكَفَى باِلذَّنْبِ عَارًا لِلْمُلِمِّ بِهِ

“Cukuplah sudah hilangnya sebuah semangat dan keinginan untuk berbuat kebaikan itu menjadi suatu musibah! Cukuplah sudah sikap merendahkan diri mencari dunia sebagai hukuman”

Di dalam Syarah Al Hikam beliau berkata, “Tidak ada musibah yang lebih besar selain kemalasan dan hilangnya semangat dari hati seseorang untuk berbuat baik. Maka ketahuilah bahwa dia sedang tertimpa musibah yang paling besar yang tiada lagi musibah lebih besar dari itu.”

Persoalannya, apakah kita bisa mengerti bahwa apa yang diungkapkan beliau ini memang sebuah musibah, mengingat kelemahan kita dalam bernalar. Sering kali kita  tidak mampu membedakan batu permata dan batu sungai.

Para salafus salih beranggapan kehilangan satu kebaikan, sekalipun nampaknya remeh, adalah sebuah musibah.  Dalam Manaqib Habib Abdulkadir bin Husein Assegaf disebutkan bahwa beliau memiliki semangat besar dalam berbuat kebaikan.

Imam Hatim Al-Ashom pernah berkata : “Aku pernah ketinggalan shalat berjamaah sekali. Kemudian aku dita’ziah i oleh Abu Ishaq al-Bukhori.” Kunjungan ini merupakan pernyataan berduka- cita atas tertinggalnya Hatim dalam shalat berjamaah di masjid.

Imam Hatim Al-Ashom melanjutkan, “Aku yakin kalau anakku meninggal dunia mungkin yang ta’ziah  lebih dari sepuluh ribu orang. Tapi ketika aku ketinggalan shalat berjama’ah hanya satu orang yang berta’ziah  kepadaku. Ini dikarenakan musibah agama bagi mereka lebih ringan jika dibandingkan dengan musibah dunia.” Beginilah sikap para salaf kita terdahulu.

Generasi masa sekarang sangat jauh dari tatanan ideal generasi Hatim. Kita yang bermodalkan pengajian seminggu sekali ini sering menganggap enteng dan mudah hilangnya waktu-waktu kebaikan, memandang enteng ketinggalan shalat berjamaah di masjid, membaca Al-Quran, mempelajari ilmu-ilmu Islam.

Bahkan seringkali kita melindungi diri  dengan mengutip Hadits “Yassiruu wa laa Tu’assiruu” (Mudahkanlah jangan mempersulit). Dalilnya sudah betul, aplikasinya yang tidak tepat.

Inilah pentingnya menumbuhkan semangat kebaikan. Bahkan orang-orang dulu bukan hanya sekedar “roghbah” (semangat berbuat baik), tetapi menjadi pencetus kebaikan untuk umat. Mereka menciptakan beragam karya kebaikan untuk umat . Setidaknya, kalau kita tidak bisa menjadi seperti mereka, kita berusaha mendekati. Disebutkan dalam sebuah ungkapan bijak: 

النَّاسُ فِى الخَيْرِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ مَنْ فَعَلَهُ اِبْتِدَاءً فهو كَرِيْمٌ وَمَنْ فَعَلَهُ اِقْتِدَاءً فَهُوَ حَكِيْمٌ وَمَنْ تَرَكَهُ حِرْمَاناً فَهُوَ شَقِيٌّ وَمَنْ تَرَكَهُ اِسْتِحْسَاناً فَهُوَ غَبِيٌّ

“Manusia dalam kaitannya dengan kebaikan ada empat macam” :

Pertama, orang yang berbuat baik pertama kali

Orang semacam ini disebut orang yang mulia. Orang yang memulai, pencetus sebuah kebaikan. Kalau untuk menjadi yang pertama bagi kita terasa berat, mengapa tidak menjadi yang nomor dua?

Kedua, orang yang melakukan kebaikan atas dasar iqtidaa`an (meniru).

Meneladani pendahulunya, mencontoh kebaikan yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Kategorinya sebagai orang yang bijaksana.

Ketiga, orang yang meninggalkan kebaikan karena memang dia tercegah dari kebaikan itu.

Ini adalah kategori orang yang celaka. Bagi orang seperti ini melakukan suatu kebaikan akan terasa sangat sulit.

Keempat, orang yang meninggalkan kebaikan karena justru menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang baik (istihsaan). Orang semacam ini termasuk manusia terkebelakang yang seolah tidak bisa lagi membedakan mana siang dan malam, keburukan dan kebaikan.

Berbuat baik itu tidak mudah. Soalnya, elemen yang mendasarinya harus iman. Kita berangkat dari rumah misalnya, menghadiri majlis dengan membawa iman.

Oleh karena itu, boleh jadi akan terasa berat meski jaraknya dekat. Berbeda mungkin kalau sedang menuju tempat hiburan meski letaknya cukup jauh.

Mari berusaha sedapat mungkin untuk menjalani hari-hari kita dengan mengisinya dengan kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat. Meskipun arah menuju kebaikan adakalanya terasa berat, usaha kesana tidak pernah boleh berhenti.

Setan dan nafsu memang akan senantiasa menjadi musuh manusia. Namun, itu tidak berarti bahwa kita tidak mampu menaklukkan keduanya! Mari kita jadikan usaha melakukan yang terbaik dalam hidup ini sebagai yang terdepan. Dalam banyak peristiwa, manusia bahkan tampil lebih perkasa dari nafsu dan setan…!*/ Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

HIDAYATULLAH

Apakah Mayat Disiksa karena Tangisan Keluarganya?

Di dunia ini ada siklus kehidupan yang harus dijalani mulai dari seseorang dilahirkan, menjadi bayi dan anak anak, remaja dan dewasa, hingga tua dan meninggal dunia. Hal itu merupakan sifat alami yang ditempuh setiap makhluk hidup tak terkecuali manusia. Sebab dunia memang hanya sementara, akhirnya ditinggalkan juga. Entah cepat atau lambat.

Urusan meninggal dunia, tidak ada istilah tua dan muda. Tidak ada seorangpun yang bisa mencegah dan memajukannya. Sebab itu sudah menjadi ketentuan Allah.

Setiap orang tentu mengalami hal yang menyedihkan dalam hidupnya. Seperti ditinggal oleh orang tersayang. Tentu hal tersebut tidak bisa menyembunyikan kesedihan orang yang ditinggal. Ada banyak bentuk kesedihan yang diluapkan oleh orang yang ditinggal, ada dengan cara biasa saja dan berupaya untuk tegar, ada juga yang mengungkapkan kesedihannya dengan menangis, meratapi atau bahkan dengan pekikan yang tidak sewajarnya. Harapannya, dan sesuai dengan ketentuan ajaran Islam tentu kesedihan itu harus berlangsung sementara dan selanjutnya diganti dengan doa yang dihadiahkan kepada almarhum, sebab dengan bagaimanapun seseorang tidak akan bisa mengembalikan orang yang meninggal dunia itu.

Karena itu merupakan sifat alamiah manusia, benarkah menangisi mayat akan berakibat kepada siksaannya di dalam kubur? Lalu, tanggisan seperti apa yang bisa mayat disiksa?

Pada dasarnya, seseorang tidak akan disiksa melainkan perbuatannya sendiri. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-Mudatsir ayat 38:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS al-Mudattsir: 38)

Lebih lanjut Allah menjelaskan:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS Fathir: 18)

Terkait dengan hukum menangisi mayat, mayoritas ulama berpendapat bahwa menangisi mayat itu hukumnya boleh, asal tidak disertai ratapan dan pekikan.

Imam Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid mengatakan: “Diberi keringanan menangis itu, jika tidak disertai ratapan. Adapun tangis yang berkelanjutan dan disertai pekikan, maka demikian itu salah satu sebab tersiksanya dan pahitnya pendertiaan si mayat.”

Diterima dari Ibnu Umar RA bahwa tatkala Umar ditikam ia tidak sadarkan diri, maka ditangisi orang. Setelah itu ia sadar dan berkata: “Tidakkah tuan-tuan tahu bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya mayat itu akan disiksa karena ditangisi oleh orang yang hidup.”

Maksudnya adalah mayat merasa sedih dan tersiksa karena tangisan keluarganya, karena ia akan mendengar tangis dan melihat apa-apa yang mereka lakukan, bukankah si mayat akan dihukum dan disiksa disebabkan tangis keluarganya, karena dosa seseorang tidaklah akan dipikul oleh orang lain.

Kemudian ada beberapa hadits shahih yang menunjukkan bahwa mayit disiksa karena tangisan keluarganya. Muncullah kerancuan dalam memahami hal ini sehingga para ulama pun berselisih.

Sementara bagi keluarga yang menangisi mayat dengan ratapan yang berkelanjutan dan pekikan yang tidak sewajarnya, maka Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar dan mayoritas ulama berpendapat bahwa mayat disiksa karena tangisan keluarganya. Namun siksa tersebut dipahami (ditakwil) dengan makna lain sehingga tidak bertentangan dengan hukum asal.

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya padanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis lain disebutkan:

إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya mayat disiksa karena sebagian tangisan keluarganya padanya.” (HR Bukhari)

Dari penjelasan di atass maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, mayat itu disiksa karena tangisan yang dinilai terlarang (haram) yang dilakukan oleh keluarganya, seperti dengan menampar pipi, merobek saku baju dan seperti menentang (ketentuan) Allah SWT. Sedangkan jika tangisannya itu bukan tangisan haram, maka si mayat tidak disiksa.

Kedua, mayoritas ulama memaknai bahwa yang dimaksud mendapatkan siksa adalah jika mayat berwasiat agar ia ditangisi setelah meninggal dunia.

Ketiga, yang dimaksud mayat disiksa adalah mayat dijelekkan oleh malaikat.

Keempat, tangisan tersebut terjadi karena kekuasaan dan kebanggaan si mayat di mana dimanfaatkan bukan dalam jalan ketaatan kepada Allah.

Maka yang lebih tepat, ialah memilih pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya. Tangisan yang dimaksud adalah tangisan yang haram. Dan pemahaman seperti ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang disebutkan di atas yang menunjukkan asalnya mayat itu tidak disiksa. Waallahu ‘alam!

BINCANG SYARIAH

Hukum Melihat Aurat Mayat

Ketika mengurus mayyit, tak jarang auratnya tersingkap. Yang demikian sudah lumrah, di mana-mana kadang terjadi. Lalu bagaimanakah pandangan fikih Syafi’i atas hukum melihat aurat mayat?

Terkait hukum melihat aurat mayat, Imam al-Nawawi mengatakan;

قَالَ الْمُصَنِّفُ وَالْأَصْحَابُ لَا يَجُوزُ للغاسل أو لغيره مس شئ من ستر عَوْرَةِ الْمَغْسُولِ وَلَا النَّظَرُ إلَيْهَا بَلْ يَلُفُّ عَلَى يَدِهِ خِرْقَةً وَيَغْسِلُ فَرْجَهُ وَسَائِرَ بَدَنِهِ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَنْظُرَ إلَى غَيْرِ الْعَوْرَةِ الا الي مالا بدله مِنْهُ فِي تَمَكُّنِهِ مِنْ غُسْلِهِ وَكَذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَمَسَّهُ بِيَدِهِ فَإِنْ نَظَرَ إلَيْهِ أَوْ مَسَّهُ بِلَا شَهْوَةٍ لَمْ يَحْرُمْ بَلْ هُوَ تَارِكٌ لِلْأَوْلَى وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ وَأَمَّا غَيْرُ الْغَاسِلِ مِنْ الْمُعِينِ وَغَيْرِهِ فَيُكْرَهُ لَهُمْ النَّظَرُ إلَى مَا سِوَى الْعَوْرَةِ إلَّا لِضَرُورَةٍ لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ أَنْ يَنْكَشِفَ مِنْ الْعَوْرَةِ فِي حَالِ نَظَرِهِ أَوْ يَرَى فِي بَدَنِهِ شَيْئًا كَانَ يَكْرَهُهُ أَوْ يَرَى سَوَادًا أَوْ دَمًا مُجْتَمِعًا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَيَظُنَّهُ عُقُوبَةً قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ لِأَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَنْظُرَ إلَى بَدَنِ الْحَيِّ فَالْمَيِّتُ أَوْلَى.

“Menurut para ashab, orang yang memandikan mayyit atau pihak lainnya itu tidak boleh memegang auratnya mayyit. Juga tidak boleh melihat terhadap auratnya, bahkan yang memandikan harus membungkus tangannya dengan kain di saat membersihkan seluruh tubuhnya mayyit. 

Dan disunnahkan untuk tidak melihat pada anggota tubuh yang bukan aurat, kecuali jika memang mengharuskan untuk melihatnya agar supaya sempurna prosesi memandikannya. 

Demikian pula disunnahkan untuk tidak memegang anggota yang bukan aurat tadi dengan tangan secara langsung, namun jika ia memegangnya dan melihatnya disertai dengan syahwat, maka tidak haram baginya, hanya saja ia Tarik li al-aula (istilah hukum untuk taraf di bawah makruh), sedang menurut ashab syafi’i yang demikian ini makruh.

Adapun bagi selain yang memandikan namun ia juga berperan dalam prosesi memandikan mayit maka makruh baginya untuk melihat terhadap anggota yang bukan aurat kecuali adanya darurat, yang demikian juga berlaku bagi orang lain. 

Hal ini ditengarai bahwa dalam keadaan tersebut tidaklah aman auratnya mayit ketika dipandang atau seseorang melihat di badannya sesuatu yang tidak elok untuk dipandang semisal karena hitam atau karena ada darah yang menggumpal dan lain-lain, yang mana seseorang itu bisa beranggapan bahwasanya yang demikian ini adalah siksa baginya. 

Menurut Syekh Abu Hamid Sunnah untuk tidak melihat badannya orang yang masih hidup, maka tentunya hukum ini lebih utama untuk diterapkan pada orang yang sudah meninggal.” (Majmu’ syarh al-Muhadzdzab Juz 5 Halaman 165) 

Namun, pada kondisi tertentu mengharuskan kita untuk melihat auratnya mayyit. Dalam kitab yang sama, Imam al-Nawawi telah menyitirnya dengan mengatakan; 

يَجِبُ غُسْلُهُ مِنْ فَوْقِ ثَوْبٍ وَيَلُفُّ الْغَاسِلُ عَلَى يَدِهِ خِرْقَةً وَيَغُضُّ طَرْفَهُ مَا امكنه فان اضطر إلى النظر نظر قَدْرَ الضَّرُورَةِ صَرَّحَ بِهِ الْبَغَوِيّ وَالرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمَ

“Wajib memandikan mayyit dengan mengenakannya kain penutup (aurat), dan yang memandikan harus membungkus tangannya dengan kain, serta ia menundukkan pandangannya sebisa mungkin. 

Hanya saja ketika ia terpaksa untuk melihat (auratnya) mayyit, maka ia boleh melihatnya, namun pada taraf daruratnya saja. Demikian penjelasannya Imam al-Baghawi dan Imam Al-rafi’i, serta ulama lainnya. (Majmu Syarh al-Muhadzzab, Juz 5 Halaman 141) 

Dengan demikian maka hindari untuk melihat auratnya mayyit, Lalu bagaimanakah batasan auratnya mayyit, apakah tetap disamakan dengan saat ia hidup? Menurut Imam al-Mawardi iya, auratnya disamakan. Beliau mengatakannya dalam redaksi berikut;

فَإِنْ لم يكن غُسْلُهُ فِي الْقَمِيِصِ لِصَفَاقَتِهِ سُتِرَ مِنْهُ قَدْرُ عَوْرَتِهِ، وَذَلِكَ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ، لِأَنَّ حُكْمَ عَوْرَتِهِ بَعْدَ وَفَاتِهِ كَحُكْمِ عَوْرَتِهِ فِي حَيَاتِهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعَلِيٍّ: ” لَا تَنْظُرْ لِفَخِذِ حي وَلَا مَيِّتٍ “.

” Jika mayyit tidak dimandikan dengan mengenakan kain penutup aurat berupa gamis, maka ia ditutup sekadar auratnya saja. Yaitu (dalam konteks laki-laki yang bermadzhab Syafii) antara pusar dan kedua lutut. 

Karena auratnya mayyit ini diikutkan dengan auratnya ketika masa hidup, makanya Rasulullah saw bersabda ke Sayyidina Ali “janganlah kamu melihat pahanya orang, baik ia masih hidup atau meninggal”. (Al-Hawi al-Kabir Juz 7 Halaman 3)

Adapun terkait suami istri ada pengecualian tersendiri, dalam konteks ini, dijelaskan;

 قَالَ شَيْخُنَا الْمَدَابِغِيُّ: وَمَذْهَبُنَا أَنَّ الْمَوْتَ مُحَرِّمٌ لِلنَّظَرِ بِشَهْوَةٍ فِي حَقِّ الزَّوْجَيْنِ دُونَ النَّظَرِ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَلَوْ لِجَمِيعِ الْبَدَنِ فَيَجُوزُ، وَمِثْلُهُ الْمَسُّ وَلَوْ لِجَمِيعِ الْبَدَنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ اهـ أج.

“Guru kami, Al-Madabighi mengatakan bahwasanya dalam pendapat madzhab Syafii dirumuskan jikalau kematian itu menjadi sebab keharaman untuk memandang dengan adanya syahwat bagi pasutri. Lain halnya apabila pandangan tersebut tidak disertai syahwat, hatta sekujur tubuh pun bolh dilihat jika demikian. 

Dianalogikan dengan konsep ini, yaitu dalam konteks memegangnya. Bahkan dijelaskan bahwasanya boleh menyentuh sekujur tubuhnya, pendapat inilah yang menjadi pendapat muktamad.” (Tuhfat al-habib ala Syarah al-Khatib Juz 2 Halaman 269)

Maka dari itu, dari beberapa keterangan di atas bisa diketahui bahwa melihat aurat mayyit itu diharamkan, kecuali adanya darurat yang mendesak. Dengan demikian, seyogyanya yang memandikan mayyit untuk menghindari melihat auratnya mayyit, sebab ditakutkan ada sesuatu yang tabu untuk dilihat.

Demikian hukum melihat aurat mayat dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

7 Hal yang Bermanfaat bagi Orang yang sudah Meninggal

SAHABAT Islampos, seseorang yang meninggal, maka terhenti segala amalannya. Kendati demikian, ada beberapa amaljariah yang pahalanya akan senantiasa mengalir bagi dia. Selain itu, ada pula beberapa hal yang dapat memberikan manfaat baginya. Apa saja hal-hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal tersebut?

Dikutip dari buku Azab dan Nikmat Kubur karya Syaikh Husain bin Audah al-Awaisyah, berikut tujuh hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal menurut syariat Islam:

1 Hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal: Disholatkan dan didoakan

Hal ini dapat memberikan syafaat bagi orang yang  telah meninggal. Rasulullah ﷺ bersabda:

ما من ميت تصلي عليه أمة من المسلمين يبلغون مائة كلهم يشفعون له إلا شفعوا فيه

“Tidak seorang mayit pun yang dishalatkan oleh seratus umat muslimin (dan mereka) memohonkan syafaat untuknya, kecuali Allah akan menerima permintaan syafaat mereka untuknya,” (HR Muslim).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak seorang muslim pun yang meninggal, lalu empat puluh orang yang tidak melakukan kemusyrikan kepada Allah berdiri untuk menshalatkan jenazahnya, melainkan Allah pasti akan menerima permohonan syafaat mereka untuknya,” (HR Muslim)

2 Hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal: Kehadiran orang shaleh di makamnya

Mayit Mukmin akan merasa senang dengan kehadiran orang shaleh setelah dia di kubur.

Selama kurang lebih seekor unta disembelih, dan dagingnya dibagikan.

Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Amr bin Ash Radhiyallahu Anhu,

إذا دَفَنْتُمُونِي فَشُنُّوا عَلَيَّ التُّرابَ شَنًّا، ثُمَّ أقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ ما تُنْحَرُ جَزُورٌ ويُقْسَمُ لَحْمُها، حتَّى أسْتَأْنِسَ بكُمْ، وأَنْظُرَ ماذا أُراجِعُ به رُسُلَ رَبِّي

“Jika kalian telah menguburku, maka taburkanlah tanah kepadaku, kemudian tetaplah kalian di sekeliling kuburku (untuk berdoa) selama kurang lebih seekor unta disembelih dan dagingnya dibagikan, sehingga aku merasa senang dengan keberadaan kalian dan aku bisa mengetahui jawaban apa yang akan aku berikan terhadap pertanyaan utusan-utusan Rabbku (Malaikat).” (HR Muslim)

3 Hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal: Doa saat dikuburkan

Mendoakan mayit secara langsung setelah penguburan agar diteguhkan saat menjawab pertanyaan dan diampuni.

Diriwayatkan dari Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, dia berkata:

Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Amr bin Ash Radhiyallahu Anhu,

إذا دَفَنْتُمُونِي فَشُنُّوا عَلَيَّ التُّرابَ شَنًّا، ثُمَّ أقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ ما تُنْحَرُ جَزُورٌ ويُقْسَمُ لَحْمُها، حتَّى أسْتَأْنِسَ بكُمْ، وأَنْظُرَ ماذا أُراجِعُ به رُسُلَ رَبِّي

“Jika kalian telah menguburku, maka taburkanlah tanah kepadaku, kemudian tetaplah kalian di sekeliling kuburku (untuk berdoa) selama kurang lebih seekor unta disembelih dan dagingnya dibagikan, sehingga aku merasa senang dengan keberadaan kalian dan aku bisa mengetahui jawaban apa yang akan aku berikan terhadap pertanyaan utusan-utusan Rabbku (Malaikat).” (HR Muslim)

3 Hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal: Doa saat dikuburkan

Mendoakan mayit secara langsung setelah penguburan agar diteguhkan saat menjawab pertanyaan dan diampuni.

Diriwayatkan dari Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, dia berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من دفن الميت وقف عليه فقال: \”استغفروا لأخيكم وسلوا له لتثبيت؛ فإنه الآن يسأل\”

“Seusai mengubur seorang mayit, Nabi ﷺ berdiri lalu berkata, ‘Mintalah ampunan bagi saudara kalian, dan mohonlah ketetapan (yaitu kalimat tauhid), karena dia sekarang ini sedang ditanya” (HR Abu Dawud).

4 Hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal: Sedekah jariyah yang dilakukan ketika hidup, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إذا مات الإنسانُ انقطع عنه عملهُ إلا من ثلاثةٍ: إلا من صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له

“Jika seorang manusia meninggal, maka semua pahala amalnya terputus kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

5 Hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal: Sedekah Anaknya

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anhuma,

أنَّ رجلًا قال للنبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم: إنَّ أمِّي افتُلتَتْ نفسُها وأراها لو تكلَّمَتْ تصدَّقَتْ أفأ تصدَّق عنها؟ قال: نعمْ تصدَّق عنها

Seseorang bertanya kepada Nabi ﷺ : ‘Ibuku meninggal dunia dengan tiba-tiba, dan aku yakin seandainya ketika itu ia masih bisa bicara, niscaya ia akan bersedekah. Bolehkah aku bersedekah atas namanya?’ Rasulullah menjawab: “Bersedekahlah atas namanya!’” (HR Bukhari dan Muslim)

6 Hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal: Doa dan permohonan ampun dari kaum muslimin untuk dirinya

Di dalam Alquran telah dijelaskan mengenai hal ini, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

وَالَّذِيۡنَ جَآءُوۡ مِنۡۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَا اغۡفِرۡ لَـنَا وَلِاِخۡوَانِنَا الَّذِيۡنَ سَبَقُوۡنَا بِالۡاِيۡمَانِ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…” (QS Al-Hasyr ayat 10)

Dan sabda Rasulullah ﷺ

  من استغفر للمؤمنين والمؤمنات كتب الله له بكل مؤمن ومؤمنة حسنة

“Siapa saja yang meminta ampunan bagi orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan, maka dicatat baginya satu kebaikan pada setiap orang Mukmin laki-laki maupun perempuan (yang dia mintakan ampunan),” (HR. Ath-Thabrani)

Hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal: Perjuangan di jalan Allah

Rasulullah ﷺ bersabda:

كلُّ ميتٍ يُختَمُ على عملِهِ إلا المرابطَ فإنَّهُ يَنْمُوْ له عملُهُ إلى يومِ القيامةِ ويؤمنُ من فتنةِ القبرِ

“Setiap mayit ditutup catatan amalnya karena kematiannya, kecuali pejuang (mujahid) yang berjaga-jaga di wilayah perbatasan; karena amalnya terus berkembang sampai hari Kiamat, dan dia akan diselamatkan dari fitnah kubur,” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi). []

Referensi: Adzab & nikmat kubur/Karya: Syaikh Husain A./Penerbit: Niaga Swadaya/Tahun: 2005

Meneladani Sedekah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam

Pribadi yang mulia akan senantiasa bersedekah baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Membantu orang yang lemah dan dalam kondisi kesempitan agar mereka dapat melaksanakan kewajiban kepada Allah Ta’ala. Bersedekah dengan ikhlas merupakan bukti kebenaran Iman sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas segala nikmat dari Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam adalah sosok yang sangat menakjubkan dan menjadi teladan dalam bersedekah.

Gambaran Sedekah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah mengungkapkan: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam adalah sosok insan yang paling banyak bersedekah dengan apa yang berada di tangan Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah memperbanyak apa yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada beliau Shallallahu’alaihi wa sallam juga tidak mengecilkannya. Tidak ada seorang meminta kepada beliau satupun kecuali beliau Shallallahu’alaihi wa sallam akan memberikannya sedikit maupun banyak. Pemberian yang beliau Shallallahu’alaihi wa sallam kepada orang lain dilakukan tanpa mengkhawatirkan kemiskinan. Memberi dan bersedekah merupakan perkara yang paling dicintai Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Kebahagiaan dan keceriaan beliau Shallallahu’alaihi wa sallam dengan apa yang beliau Shallallahu’alaihi wa sallam berikan melebihi kebahagiaan orang yang menerima pemberian beliau Shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan. Tangan kanan beliau layaknya angin yang membawa kebaikan kepada semua orang” (Zadul Ma’ad, 2/21).

Bersedekah dengan tulus tanpa harapan akan dibalas dengan hal serupa, kondisi hati bahagia meskipun sedekahnya sama sekali tanpa diapresiasi oleh orang lain. Bukan pula sedekah dengan tujuan dunia agar dikenal sebagai orang dermawan atau untuk melariskan dagangannya semata dan niat-niat lain yang lebih berorientasi duniawi. Disinilah pentingnya lebih ilmu seputar sedekah dan butuhnya kita pada petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam agar sedekah kita diberkahi.

Harta yang Hakiki

Harta yang hakiki tidak lain adalah harta yang ia sedekahkan di jalan Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ، قَالَ: «فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ، وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ

“‘Siapakah diantara kalian yang mencintai harta ahli warisnya lebih dari mencintai hartanya sendiri?’ Mereka menjawab: ‘wahai Rasulullah! Tidak ada seorangpun diantara kami melainkan lebih mencintai hartanya sendiri.’ Lalu Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya hartanya sendiri itu ialah apa yang telah dipergunakannya (disedekahkannya) dan harta ahli warisnya ialah apa yang ditinggalkannya.’” (HR. Bukhari no.6442 dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu).

Hadis di atas memotivasi kaum muslimin untuk bisa bersegera bersedekah sesuai rezeki yang dimilikinya sebelum ajal datang. Karena sedekahnya atau infaknya di dunia akan menolongnya di akhirat. Allah Ta’ala berfirman:

وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al Munafiqun: 10)

Hendaknya Jangan sampai kita tertipu dengan nikmat harta dan berlomba-lomba untuk membelanjakan di jalan Allah Ta’ala. Inilah kekayaan dan simpanan yang kelak memperberat timbangan amal saleh ketika menghadap Ilahi Rabbi.

Keutamaan dan pahala sedekah

Apa saja yang diperintahkan syariat memiliki keutamaan dan pahala besar yang kembali kepada pelakunya. Sedekah merupakan amalan saleh yang istimewa yang seharusnya kita terdorong untuk mengamalkannya.

Allah Ta’ala berfirman:

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍۢ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍۢ ۗ وَٱللَّهُ يُضَـٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ . ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَآ أَنفَقُوا۟ مَنًّۭا وَلَآ أَذًۭى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.

Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) dan Maha Mengetahui. Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al Baqarah: 261-262).

Allah Ta’ala juga berfirman:

قُلْ إِنَّ رَبِّى يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ وَيَقْدِرُ لَهُۥ ۚ وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن شَىْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُۥ ۖ وَهُوَ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

Katakanlah, ‘Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.’ Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. Saba’: 39).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌۭ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

“ … Dan mereka (Anshar) mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr: 9)

Semoga uraian di atas semakin meneguhkan iman kaum muslimin untuk bersedekah dan membelanjakan hartanya demi kemaslahatan dunia akhirat untuk dirinya dan orang yang mereka santuni.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Majalah As-Sunnah edisi 11 / tahun XXV/ 1443 H

2. Kiat-Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan, Yazid bin Abdul Qodir Jawas, Pustaka At-Taqwa, Bogor, 2015

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14603-meneladani-sedekah-rasulullah-shallallahualaihi-wa-sallam.html

Kesalahan dalam Membaca Surah Al-Fatihah dan Konsekuensi Hukumnya

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Walhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Keutamaan membaca Al-Qur’an Al-Karim

Al-Fatihah termasuk Al-Qur’an Al-Karim, sehingga keutamaan membacanya juga tercakup dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ وَهُو ماهِرٌ بِهِ معَ السَّفَرةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ، وَالَّذِي يقرَأُ القُرْآنَ ويَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُو عليهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْران

“Seorang yang lancar membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia lagi senantiasa taat kepada Allah. Adapun orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan kesulitan, maka ia mendapatkan dua pahala.”

Apa pentingnya mempelajari cara baca Al-Fatihah yang benar?

Pentingnya mempelajari cara baca Al-Fatihah itu bisa diketahui dari konsekuensi hukum jika seseorang salah baca Al-Fatihah dalam salat dan dari status membaca Al-Fatihah itu sebagai rukun salat.

Jumhur ulama menyatakan bahwa hukum membaca Al-Fatihah dalam salat adalah rukun salat. Salat menjadi tidak sah tanpa membaca surah Al-Fatihah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak sah salat orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kesalahan membaca Al-fatihah dan konsekuensi hukumnya

Membaca Al-Fatihah adalah rukun salat bagi imam dan orang yang salat sendirian, maka ada konsekuensi hukumnya jika salah dalam membacanya. Kesalahan imam salat atau selainnya dalam membaca Al-Fatihah itu ada dua, yaitu:

Kesalahan yang membatalkan salat 

Yaitu kesalahan yang mengubah makna ayat, atau tidak urut membacanya, atau tidak membaca suatu hurufnya, atau meninggalkan tasydid, atau mengganti huruf dengan huruf lainnya yang bukan penggantinya, padahal mampu membacanya dengan benar. Dalam hal ini, salat imam atau selainnya menjadi batal jika melakukan dengan sengaja dan orang lain tidak sah bermakmum di belakangnya. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’iyyah, Hanbaliyyah, dan salah satu pendapat Malikiyyah. Namun, jika dilakukan dengan tidak sengaja, maka wajib mengulang.

Kesalahan jenis ini misalnya:

Pertama, mendamahkan/mengasrahkan huruf ت  pada

صراط الذين أنعمت عليهم

Kedua, mengasrah huruf ك pada إياك atau tidak menasydidkan huruf ي padanya.

Ketiga, mengganti huruf م dengan ن pada  الصراط المستقيم

Kesalahan yang tidak membatalkan salat

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa kesalahan membaca Al-Fatihah yang tidak mengubah makna ayat, maka hukumnya makruh, namun jika disengaja menjadi haram, tetapi tidak membatalkan salatnya.

Adapun jika ia seorang imam, maka tidak membatalkan salat makmumnya, namun makruh bermakmum di belakangnya.

Tidak membatalkan salat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, jika ada orang yang lebih baik bacaannya, maka ia lebih utama menjadi imam.

Kesalahan jenis ini misalnya:

Pertama, menfatah huruf د pada  نعبد dan memfatah huruf ن pada  نستعين dan memfatah huruf ن pada يوم الدين

Kedua, mengganti ض dengan ظ  pada وَلَا الضَّالِّينَ karena dekatnya kedua makhraj dan karena sulit membedakannya.

Ketiga, mengasrahkan atau mendamahkan م  pada المستقيم

Keempat, mendamahkan هـ pada  الحمد لله .

Kewajiban bagi orang yang salah membaca Al-Fatihah dengan jenis kesalahan membatalkan salat 

Kewajiban imam jika belum salat

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan jika imam tersebut mampu belajar membaca Al-Fatihah dan memperbaiki bacaannya sebelum salat, maka ia wajib melakukan hal itu. Namun, jika mendesak waktu salatnya, tidak cukup untuk mempelajari dan memperbaiki bacaan Al-Fatihah, maka ia salat sendirian dan nanti mengqada jika sudah mampu memperbaiki bacaannya.

Kewajiban orang yang salat jika salah dengan kesalahan jenis ini di saat sedang salat

Pertama: Saat masih baca Al-Fatihah, maka mengulanginya dan mengulangi ayat setelahnya dan tidak tertuntut mengulangi dari awal ayat dan tidak disyariatkan sujud sahwi.

Kedua: Saat setelah selesai baca Al-Fatihah dan telah beralih ke rukun berikutnya, misal saat rukuk atau saat sujud baru sadar kalau salah, maka mengulangi berdiri dan cukup membaca dari ayat yang salah bacaannya, kemudian melanjutkan dengan ucapan dan gerakan setelah Al-Fatihah dan jika menambah gerakan yang hukum asalnya disyariatkan/ sejenis gerakan salat, maka disyariatkan sujud sahwi.

Syarat sah membaca Al-Fatihah

Dalam kitab Safinatun Najah, karya Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami rahimahullah, disebutkan bahwa syarat sah membaca Al-Fatihah itu ada sepuluh:

Pertama: Wajib mengikuti tertib susunan ayat demi ayat bacaan Al-Fatihah (الترتيب)

Kedua: Muwalah, yaitu membaca surat Al-Fatihah dengan tanpa terputus dengan sesuatu yang bukan uzur. (الموالاة)

Ketiga: Menjaga huruf-hurufnya (sehingga dibaca semuanya) (مراعاة حروفها)

Keterangan :

Jika ada satu huruf yang tidak terbaca, maka tidak sah salatnya. Adapun jumlah huruf Al-Fatihah ada 156 huruf termasuk tasydid.

Keempat: Memperhatikan tasydid-tasydidnya. (تشديداتها مراعاة)

Kelima: Tidak lama terputus antar ayat-ayat Al-Fatihah, ataupun tidak terputus sebentar dengan niat memutuskan bacaan.

(ألا يسكت سكتة طويلة ولا قصيرة يقصد بها قطع القراءة)

Keenam: Membaca semua ayat dalam Surah Al-Fatihah, dan termasuk Al-Fatihah adalah basmalah (menurut pendapat terkuat).

(قراءة كل آياتها ومنها البسملة)

Ketujuh: Tidak membaca dengan bacaan salah (lahn) yang merubah makna.

(عدم اللحن المخل بالمعنى)

Kedelapan: Membaca surah Al-Fatihah dalam keadaan berdiri ketika salat fardu.

(أن تكون حالة القيام في الفرض)

Kesembilan: Diri sendiri mendengar surat Al-Fatihah yang dibaca.

(أن يسمع نفسه القراءة)

Keterangan :

Pendapat ulama yang terkuat adalah tidak disyaratkan mendengarnya, cukup menggerakkan lisan dan bibir untuk mengeluarkan huruf dari makhrajnya.

Kesepuluh: Tidak terhalang oleh zikir yang lain.

(ألا يتخللها ذكرأجنبي)

Keterangan :

Contoh zikir yang lain adalah hamdalah setelah bersin, atau tasbih orang yang izin kepadanya di tengah membaca Al-Fatihah. Jika tersela dengan zikir lain, maka wajib mengulangi dari awal Al-Fatihah.

Nasihat

Hendaknya para DKM masjid/musala, benar-benar menyeleksi siapa yang berhak menjadi imam salat, tentunya dengan mengusahakan program pendidikan baca Al-Qur’an untuk kaderisasi imam masjid/musala.

Dan hendaknya orang yang tidak mampu membaca Al-Qur’an dengan benar, khususnya Al-Fatihah, tidak memberanikan dirinya menjadi imam, padahal ada orang lain yang benar bacaannya yang berhak menjadi imam salat. Karena jika sebagai imam, kesalahan bacaan Al-Fatihahnya sampai membatalkan salat, padahal ia tahu ada orang lain yang benar bacaannya dan siap menjadi imam, maka ia akan menanggung dosa yang besar, termasuk dosa menzalimi makmumnya. Wallahu a’lam

الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79914-kesalahan-dalam-membaca-surah-al-fatihah-dan-konsekuensi-hukumnya.html

Salah Paham tentang Tauhid

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Tauhid yang diajarkan oleh para rasul sesungguhnya mengandung penetapan uluhiyah/peribadahan semata-mata kepada Allah. Hal itu terwujud dengan mempersaksikan bahwa tiada yang berhak disembah, kecuali Allah. Tidak boleh dipuja, kecuali Dia. Tidak boleh dijadikan tempat menggantungkan hati (tawakal), kecuali Dia. Tidak boleh menegakkan loyalitas, kecuali karena-Nya. Tidaklah boleh bermusuhan, kecuali karena-Nya. Dan tidak boleh beramal, kecuali apabila tegak di atas ajaran agama-Nya. Dan tauhid ini juga mengandung kewajiban untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat (kesempurnaan) yang ditetapkan-Nya bagi diri-Nya sendiri.”

Beliau rahimahullah melanjutkan, “Dan bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar mencakup tauhid rububiyah saja, yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam, sebagaimana sangkaan sebagian orang dari kalangan ahli kalam/filsafat dan penganut ajaran tasawuf. Mereka mengira apabila telah berhasil menetapkan tauhid rububiyah itu dengan membawakan dalil atau bukti yang kuat maka mereka telah berhasil menetapkan puncak hakikat ketauhidan.” (lihat Fathul Majid, hal. 15 dan 16)

Oleh sebab itu, jangan heran apabila terdengar komentar dari sebagian orang, “Tauhid sudah diyakini orang” dan semacamnya. Hal itu terjadi karena mereka mengira tauhid itu cukup dengan pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Pengatur alam semesta. Padahal, sebenarnya bukan sekedar ketauhidan semacam itu yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada mereka.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Tidaklah setiap orang yang meyakini bahwa Allah adalah Rabb dan pencipta segala sesuatu secara otomatis layak menyandang gelar sebagai hamba (penyembah) Allah.” Kenapa demikian? Beliau menjelaskan buktinya, “Karena sesungguhnya kaum musyrikin Arab telah mengakui bahwa Allah semata sebagai pencipta segala sesuatu. Meskipun demikian, mereka tetap dianggap sebagai orang-orang musyrik.” (lihat Fathul Majid, hal. 16)

Syekh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Dan tauhid jenis ini (yaitu tauhid rububiyah) telah diakui oleh orang-orang musyrik penyembah berhala. Meskipun kebanyakan dari mereka juga menentang adanya hari kebangkitan dan dikumpulkannya manusia (kelak di hari kiamat). Dan pengakuan ini belumlah memasukkan mereka ke dalam agama Islam karena kesyirikan mereka (dalam beribadah kepada-Nya) dengan menyembah arca dan berhala (di samping menyembah Allah) dan juga karena mereka tidak mau beriman terhadap Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (lihat Syarah ‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 18-19. cet Darul ‘Aqidah)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah kesyirikan yang dilakukan oleh kaum musyrikin yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus di tengah mereka?”

Maka, beliau menjawab, “Apabila dilihat dari sisi kesyirikan orang-orang musyrik yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus di tengah mereka, maka sesungguhnya letak kesyirikan mereka bukanlah dalam hal rububiyah. Karena Al-Qur’an Al-Karim menunjukkan bukti bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah dalam hal ibadah saja. Adapun dalam hal rububiyah, maka mereka itu beriman bahwa Allah adalah Rabb (Pencipta dan Pemelihara) satu-satunya. Mereka juga meyakini bahwa Allahlah yang bisa mengabulkan doa orang-orang yang dalam keadaan terjepit. Mereka juga beriman bahwa Allah yang sanggup menyingkapkan berbagai keburukan dan bahaya, dan mereka juga mengakui hal-hal yang lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan Allah tentang mereka, yaitu pengakuan mereka terhadap keesaan rububiyah Allah ‘Azza Wajalla. Akan tetapi, mereka itu orang-orang yang mempersekutukan Allah dalam peribadahan, yaitu mereka menyembah sesembahan lain selain menyembah Allah. Dan ini merupakan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari agama.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 18)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79823-salah-paham-tentang-tauhid.html

Hukum Istri Meninggalkan Rumah Karena Bertengkar

Dalam hubungan suami istri, seringkali terjadi adanya pertengkaran antara keduanya baik karena adanya kesalahpahaman atau masalah lainnya. Hal ini terkadang membuat istri enggan untuk melayani suami dan memilih untuk meninggalkan rumah. Lantas, bagaimanakah hukum istri meninggalkan rumah karena bertengkar?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menyatakan bahwasanya termasuk dari kewajiban istri adalah menyerahkan dirinya kepada suaminya dan tidak keberatan untuk pindah tempat apabila suami menghendakinya. 

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul mu’in berikut ini;

(يجب) المد الآتي وما عطف عليه (لزوجة) أو أمة ومريضة (مكنت) من الاستمتاع بها ومن نقلها إلى حيث شاء عند أمن الطريق والمقصد ولو بركوب بحر غلبت فيه السلامة

Artinya : “Wajib memberi satu mud dan nafkah yang lain untuk istri, budak wanita, dan istri yang sakit ketika memasrahkan dirinya sehingga memungkinkan bagi suami untuk menikmatinya dan tidak keberatan untuk pindah domisili ke tempat yang diinginkan suami ketika memang dirasa aman untuk bepergian ke tempat tersebut sekalipun menggunakan jalur laut.”

Namun demikian, bagi istri diperbolehkan untuk keluar dari rumah dan memilih untuk meninggalkan suaminya apabila hal tersebut dapat membuatnya lebih tenang dan menjauhi pertengkaran. Tetapi, apabila istri memilih untuk keluar dari rumah, maka suami tidak wajib untuk memberikan nafkah kepadanya.

Sebagaimana dalam keterangan kitab Bughyatul Mustarsidin halaman 215 berikut,

.مزوجة إذا دخلت على زوجها اعتراها ضيق وكرب وصياح واذا خرجت من بيته سكن روعها لم يلزمها التسليم للضرر لكن تسقط مؤنتها.بغية 

Artinya : “Seorang istri yang apabila bertemu dengan suaminya, maka akan tertimpa kesusahan, kesedihan, dan berteriak (karena tidak suka), sementara apabila dia keluar dari rumah suaminya maka hilanglah ketakutannya (menjadi tenang), maka istri diperbolehkan untuk pergi dan tidak wajib menyerahkan dirinya pada suami, karena adanya dharar. Tetapi, kewajiban suami untuk membiayai hidupnya menjadi gugur.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa bagi istri diperbolehkan untuk keluar dari rumah dan memilih untuk meninggalkan suaminya apabila hal tersebut dapat membuatnya lebih tenang dan menjauhi pertengkaran.

Tetapi, apabila istri memilih untuk keluar dari rumah, maka suami tidak wajib untuk memberikan nafkah kepadanya.

Demikian penjelasan mengenai hukum istri meninggalkan rumah karena bertengkar. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH