Permata Tersembunyi Arab Saudi, Desa Al-Majaridah yang Unggul dalam Pertanian

Banyak tempat di Arab Saudi yang masih jarang disorot oleh wisatawan. Salah satunya adalah Kegubernuran Al-Majaridah yang terletak di Provinsi Asir. Al-Majaridah menjadi permata unik Arab Saudi, mulai dari keindahan rumah penduduk hingga kekayaan sejarahnya.

Penduduk awal dikenal unggul dalam bidang pertanian dan astronomi. Dengan menggunakan perhitungan abstrak, mereka mampu membuat kalender pertanian yang menjadi salah satu yang paling terkenal dan tertua dari jenisnya di Kerajaan.

Kemudian rumah-rumah dibangun dengan gaya arsitektur yang berbeda dan terletak di lanskap pegunungan, lembah, gua, dan ladang yang luas, tempat perayaan dan tarian rakyat sering diadakan. Daerah ini memiliki banyak semak harum dan rempah-rempah termasuk apsintus, buddleja polystachya, caralluma, lavender, dodonaea, thyme dan basil, serta pohon-pohon seperti juniper, jujube duri Kristus dan almond.

Dilansir Arab News, Senin (31/10/2022), Al-Majaridah dicirikan dengan ketinggian pegunungannya dan variasi suhu sepanjang musim. Desa ini terletak di tengah tanah subur yang disuplai oleh sumur yang menampung cukup air untuk penduduk dan pertanian mereka. Beberapa di antaranya menggunakan irigasi dan yang lainnya menggunakan sistem Falaj yang mendistribusikan air hujan secara merata di antara pertanian.

Komunitas awal Al-Majaridah unggul dalam pertanian, membudidayakan berbagai macam buah-buahan seperti delima, apel, plum, ara barbar, aprikot, anggur, persik, beri, dan semua jenis kacang-kacangan. Mereka juga dikenal dengan produk ghee dan madunya.

IHRAM

Mengenal Generasi Sandwich dalam Islam

Saat ini generasi sandwich tengah jadi obrolan hangat di tengah masyarakat. Istilah mengenal generasi sandwich ialah  generasi yang berperan memegang kebutuhan keluarga serta anak-anaknya. Simak penjelasan lanjut, mengenal generasi sandwich dalam Islam.

Manusia yang lahir pada rentang tahun 1984 generasi yang berperan memegang kebutuhan keluarga serta anak-anaknya.  Tahun 1996 ini juga sering dijuluki sebagai generasi Y. Namun generasi milenial terdengar akrab dan familiar.

Generasi Milenial kerap diidentikkan dengan sifat yang pragmatis, individualis dan bersifat egosentris. Tidak ada yang dipikirkan selain diri sendiri dan kehidupan yang tengah ia jalani.

Pada anggapan paling ekstrim, kaum milenial disebut-sebut hanya menggantungkan hidupnya pada orang tua. Makan dan minum tinggal minta. Bahkan dianggap sebagai kaum pemalas yang enggan bergerak maju ke depan.

Tapi benarkah demikian? Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Banyak generasi muda yang di luar sana lebih mandiri dan bertanggung jawab dari yang diperkirakan. Tidak hanya menghidupi diri sendiri, mereka pun turut menafkahi kebutuhan keluarga.

Perlu diakui jika situasi sosial dan ekonomi saat ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Biaya hidup yang melonjak tajam, biaya rumah yang tidak lagi murah, serta standar sosial yang cukup tinggi.

Bahkan setelah menikah, masih ada yang membantu keuangan keluarga. Jika dipikirkan secara seksama, mereka adalah kelompok yang terjepit. Dimana terjepit dari generasi terdahulu yaitu orang tua dan generasi setelahnya yaitu anak.

Orang yang berada di posisi ini kerap dijuluki dengan generasi sandwich. Dilansir dari dari Tirto.id, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh seorang profesor dan juga menjabat sebagai Direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat yaitu Dorothy A. Miller, pada 1981.

Istilah ini ia tuangkan ke dalam jurnal yang berjudul “The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging. Di dalam jurnal tersebut dijelaskan generasi yang berperan memegang kebutuhan keluarga serta anak-anaknya.

Dan istilah ini rentan mengalami tekanan karena harus memikirkan dua sisi. Yaitu dari sisi satunya adalah  orang tua, dan di sisi yang lain adalah anak mereka. Jika manajemennya emosional kurang tepat, maka akan berpengaruh pada keluarga dan rumah tangga secara sekaligus.

Apalagi jika penghasilan mereka tidaklah besar. Banyak keperluan yang dipikirkan selain membiayai keluarga, tapi juga anak-anak dan diri sendiri. Lantas bagaimana tanggapan Islam terkait hal ini?

يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلْ مَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.” Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah ayat 215)

Menurut Tafsir as-Sa’di oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di abad 14 menjelaskan jika Q.S Al-Baqarah ayat 215 ini mencerita pertanyaan umat kepada Rasulullah. Ia mempunya harta dan bertanya, kemana baiknya akan diinfakkan.

Nabi Muhammad Saw pun menjawab, pihak yang paling utama menerima dan harus didahulukan adalah orangtua. Karena memberikan sebagian nafkah menjadi salah bentuk bakti anak pada orang tua yang telah mendoakan dan membesarkan kita.

Baru setelahnya diikuti oleh kerabat terdekat dan mereka yang teramat membutuhkan bantuan seperti anak yatim, orang miskin dan musafir.

Namun ada kalimat penyerta di sini, dimana seorang anak diharuskan menafkahi orang tua dalam kondisi yang lapang. Dan jika kondisi seorang anak tengah sempit, maka berbuat baik dengan jenis apapun disebut dengan menafkahi.

Tercatut pada ‘dan kebaikan apa saya yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.’ Karenanya, besar atau kecil, materi atau selalu berada di sisi orangtua tetap memiliki nilai di mata Allah.

Allah tidak memberi takaran pada anak yang ingin membantu meringankan beban orang tua dan keluarganya sendiri. Jika berlandaskan pada keikhlasan dan niat yang tulus, maka kerjakanlah.

Dan apabila dirasa tidak sanggup menanggung sendiri, maka berdiskusi dengan sesama generasi sandwich mungkin dapat menemukan beberapa solusi. Mereka juga bisa mengkomunikasikan pada orang tua terkait situasi keuangan secara berkala. Sehingga bisa berdiskusi dan mengambil jalan tengah.

Bersikap terbuka pada saudara lain juga bisa menjadi pemecah masalah. Jika ada satu permasalahan finansial yang tidak bisa dipegang sendiri, maka saling bahu-membahu dan ‘patungan’ dapat menjadi kunci.

Oleh karena itu, ada dua poin kesimpulan yang bisa diulas pada tulisan ini. Pertama, tidak semua generasi milenial bersikap egosentris dan tidak bisa mandiri. Tingginya standar dan persaingan aktivitas ekonomi serta sosial mengolah mereka turut andil menghidupi keluarga.

Kedua, menjadi generasi sandwich adalah salah satu cara berbakti anak pada orang tua. Dan jika dalam kondisi tidak lapang, jangan sungkan untuk berdiskusi dan menyambung komunikasi. Sehingga semua masalah dapat dihadapi bersama, tidak ditanggung sendiri.

Demikian penjelasan mengenal generasi sandwich dalam Islam. Semoga bermanfat. (Baca juga: Ajarkan Kesetaraan Pada Anak Laki-laki dan Perempuan).

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

Rahasia Bacaan Basmalah Menurut Muhammad Alawi al-Maliki

Kalimat basmalah merupakan ungkapan baik dalam membuka segala macam bentuk aktivitas. Karena saat ia mengerjakan pekerjaan dengan diawali oleh membaca basmallah, Allah akan mempermudah urusan yang dikerjakan. Terdapat rahasia bacaan Basmalah yang berlimpah.

Kitab Abwabul al-Farah karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani hal 116 menyebutkan beberapa rahasia dan keistimewaan bacaan basmalah. Beliau menyebutkan diantaranya adalah;

Pertama, orang yang  membaca basmalah sebanyak dua puluh satu kali sebelum tidur, maka akan terhindar dari mati secara tiba-tiba, menolak setiap musibah dan akan merasa aman dari gangguan setan, pencuri dan kebakaran.

Kedua, orang yang membaca basmalah sebanyak seratus kali, maka akan terhindar dari rasa sakit dan kekeringan. Dan orang yang membaca basmalah sebanyak seratus tiga belas kali di Hari jumat, berdoa bersama khatib serta meminta semua hajat terpenuhi, maka apa yang diminta akan dikabulkan.

Ketiga, orang yang membaca basmalah sebanyak tiga ratus tiga belas kali dan disertai membaca shalawat seratus kali, maka rizkinya akan ditambah.

Keempat, orang yang membaca basmalah sebanyak tujuh ratus delapan puluh tujuh kali, maka semua kebutuhannya akan terpenuhi.

Kelima, orang yang membaca basmalah sebanyak dua ratus lima puluh kali, maka akan dibukakan pintu rizki dan pemahaman.

Selanjutnya, sayyid Muhammad mengutip pendapat Imam al-Ghazali. Menurut Imam yang dikenal dengan Sultan Auliya’, menyebutkan

فاعلم أن خصائصها لا تعد ولا تحصى, ولكن أوصيك يا أخي في الله وليكن في أول أمورك جميعا مفتوحا (بسم الله ), في جلوسك وقعودك وقيامك ونومك ووضوئك وصلاتك وقراءتك , ومن فعلها في تلك الأحوال, هون الله تعالى عليه سكرات الموت وسؤال منكر ونكير, ويدفع عنه ضيق القبر ويوسع قبره وينوره

“Ketahuilah olehmu, sesungguhnya ciri khas atau keistimewaan dari membaca basmalah tidak bisa dihitung dan tidak terbatas. Meskipun demikian, imam al-Ghazali merekomendasikan kepadamu wahai saudaraku didalam Allah.

Dan hendaknya dalam setiap urusan dan setiap kondisi dibuka dengan (bismillah), baik saat kamu duduk, berdiri, tidur melakukan wudhu, shalat dan membaca al-Qur’an. Allah akan mempermudah orang yang sering membaca basmallah ketika sakaratul maut, membantu menjawab setiap pertanyaan dari malaikat mungkar dan nakir, dan memperluas  serta akan bercahaya kuburannya” (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, Abwabul al-Farah hal 117)

Rahasia dan keistimewaan saat membaca basmalah tidak berhenti disini saja, masih banyak keistimewaan serta rahasia yang masih belum disebutkan. Untuk mempermudah setiap urusan hendaknya diawali dengan basmalah.

BINCANG SYARIAH

Mendoakan Saudara Semuslim Tanpa Sepengetahuannya adalah Tanda Jujurnya Keimanan

Salah satu sunnah yang mungkin sangat jarang kita lakukan adalah mendoakan sesama muslim semisal teman, sahabat, guru dan lain-lain tanpa sepengetahuan dia. Kita doakan dia dengan ikhlas dan tulus agar dia mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.

Tidak mudah melakukan sunnah ini, karena butuh keimanan yang tinggi serta hati yang tulus dan ikhlas. Hal ini karena sifat dasar manusia yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri saja. Setelah semua kebutuhan manusia terpenuhi, barulah dia memperhatikan orang lain. Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa sunnah ini adalah tanda jujurnya keimanan seseorang.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

الدعاء بظهر الغيب يدل دلالة واضحة على صدق الايمان

لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال :

(لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه مايحب لنفسه)

“Mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya menunjukkan jujurnya keimanan seseorang. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah sempurna keimanan kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 6: 54)

Mengenai sunnah ini, terdapat dalil hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan sunnah ini. Yaitu apabila kita mendoakan saudara muslim, maka malaikat akan mendoakan bagi kita yang semisal doa yang kita panjatkan. Jadi apa yang kita doakan kepada saudara kita, kita pun akan mendapatkannya dengan izin Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘Dan bagimu juga kebaikan yang sama.’” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lainnya,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, ‘Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.’

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah generasi terbaik umat ini dengan keimanan yang jujur dan ikhlas. Salah satu riwayat dari mereka yang menerapkan sunnah ini adalah riwayat dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu.  Istri beliau,  Ummu Darda’ menceritakan,

كان لأبي الدرداء ستون وثلاث مئة خليل في الله يدعو لهم في الصلاة، فقلت له في ذلك، فقال : إنه ليس رجل يدعو لأخيه في الغيب إلا وكل الله به ملكين يقولان : « ولك بمثل » أفلا أرغب أن تدعو لي الملائكة

‘Dahulu Abu Darda’ memiliki sekitar 300 orang sahabat (pertemanan di dalam ketaatan). Di dalam shalatnya, Abu Darda’ seringkali mendoakan mereka. Aku pun berkata kepadanya tentang apa yang dia lakukan.’

Maka dia pun berkata, ‘Sesungguhnya tidaklah seseorang mendoakan bagi saudaranya tanpa sepengetahuanya, kecuali Allah mengutus denganya dua malaikat, yang keduanya akan mengatakan, ‘Begitu juga denganmu.’ Apakah aku tidak boleh mendambakan malaikat mendoakanku?’” (Siyar A’lamin Nubala’, 2: 351)

Dalam hadits disebutkan bahwa malaikat ikut mendoakan bagi yang berdoa. Para ulama mejelaskan bahwa doa malaikat itu mustajab.

Abul Hasan Al-Mufarakfuri rahimahullah berkata,

دعاء الملائكة مستجاب

“Doa para malaikat itu mustajab.” (Mura’atul Mafatih, 5: 309)

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/58881-mendoakan-saudara-tanpa-sepengetahuannya-adalah-tanda-jujurnya-keimanan.html

Bukti Keislaman Para Rasul Terdahulu, termasuk “Yesus”

Pada prinsipnya, semua Rasul memeluk dan mengajarkan agama tauhid atau Islam, termasuk Yesus atau Nabi Isa

KITAB SUCI Al-Qur’an sangat jelas menerangkan agama para rasul sebelum Islam. Islam, yang artinya tunduk dan patuh kepada semua perintah Allah Subhanahu Wata’ala.

Setiap rasul menyeru umatnya untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT semata dan menaati hukum-hukum-Nya yang diutus kepada masing-masing rasul tersebut.

Setiap rasul memegang hukum (Syariat) yang telah diutus Allah kepadanya, sesuai dengan zaman dan masyarakatnya kala itu. Demikian pula bagaimana Nabi Muhammad ﷺ diutus oleh Allah untuk menegakkan akidah para nabi-nabi sebelumnya dan melaksanakan syariat yang diutus kepadanya untuk seluruh umat manusia hingga Hari Kiamat.

Artinya syariat yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ merupakan penyempurnaan atau pelengkap/penutup dari seluruh syariat para nabi sebelumnya dan sesuai dengan suasana masyarakat yang hidup di akhir zaman hingga hari kiamat.

Ini berarti bahwa agama para rasul sebelumnya adalah Islam karena mereka menyeru manusia kepada ketundukan dan ketaatan terhadap segala yang diperintahkan oleh Allah SWT, sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk menyeru manusia kepada ketundukan dan ketaatan terhadap segala yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Pada prinsipnya, semua Rasul memeluk dan mengajarkan agama tauhid atau Islam.

Nabi Adam diperkirakan hidup kurang lebih 930 tahun, merupakan manusia pertama yang menjadi khalifah Allah, dimuliakan dan diangkat sebagai nabi pertama. Beliau diutus kepada anak dan cucunya untuk beribadah kepada Allah SWT. Maka di antara mereka ada yang taat dan ada pula yang durhaka.

Nabi Idris Alaihissalam diutus Allah kepada keturunan Qabil untuk bertaubat dan beribadah kepada Allah SWT. Namun mereka tetap mendurhakai perintah Allah SWT.

Nabi Nuh adalah keturunan Nabi Idris, yang dikirimkan Allah kepada orang-orang kafir. Baginda menyerukan agar semua orang menyembah Allah, tetapi ajakan Nabi Nuh ditolak, dan akhirnya mereka yang kafir dan memilih tenggelam dalam banjir besar.

Nabi Hud adalah keturunan Yafit bin Nuh. Beliau diutus Allah kepada kaum Aad karena orang-orang itu menyembah berhala. Kemudian Nabi Nuh menyuruh mereka untuk menyembah Allah, tetapi mereka tidak taat, dan akhirnya mereka disiksa oleh badai dan udara yang sangat dingin selama tujuh hari delapan malam.

Nabi Salah adalah keturunan Sam bin Nuh yang diutus Allah kepada bangsa Tsamud di selatan Palestina. Budaya mereka tinggi tetapi mereka menyembah dewa dan patung.

Nabi Saleh menyuruh mereka untuk menyembah Allah, sebagian besar orang Tsamud menolak untuk memeluk agama Tauhid. Mereka melanggar larangan Nabi.

Pada hari pertama wajah mereka menjadi kuning, pada hari kedua menjadi merah, pada hari ketiga menjadi hitam, dan akhirnya tersambar petir.

Nabi Ibrahim as. juga keturunan Sam bin Nuh yang diutus Allah kepada kaum Namrud di negeri Babilonia, sekitar 4000 tahun sebelum Masehi. Orang-orang Namrud menyembah berhala dan bahkan akhirnya Namrud menganggap dirinya sebagai Tuhan.

Nabi Ibrahim menyeru ajaran tauhid atau Islam kepada mereka tetapi mereka tetap memilih kafir, akhirnya Allah mendatangkan kepada mereka bala tentara nyamuk sebagai balasannya, kemudian orang-orang kafir dibinasakan.

Nabi Luth, bersaudara dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang diutus kepada kaumnya di tanah Sodom, agar kaumnya menyembah Allah SWT, tetapi mereka durhaka. Allah SWT membalas kemaksiatan mereka dengan mengembalikan tanah Sodom hingga tanah tersebut musnah.

Nabi Ismail adalah putra Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam melalui pernikahannya dengan Siti Hajar. Dia dikirim ke Arab di negara Yaman, karena mereka belum mengenal agama tauhid atau Islam.

Mereka juga diperintahkan untuk berpuasa, membayar zakat, dan menunaikan haji. Baginda memiliki 12 orang putra yang semuanya bernama Bani Ismail atau Adnanniyun. Dari garis keturunan inilah lahir suku Quraisy yang melahirkan Nabi Muhammad ﷺ.

Nabi Ishaq, anak kandung Nabi Ibrahim melalui pernikahan dengan Siti Sarah. Beliau diutus oleh Allah ke tanah Kana’an untuk beribadah kepada Allah, mengajarkan tauhid, perintah membayar zakat, puasa, dan menunaikan haji.

Nabi Ishaq menikah dengan Rifka dan memiliki anak kembar, Ish dan Ya’kub. Nabi Ishaq wafat dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Baitul Maqdis, Palestina.

Nabi Ya’qub diutus oleh Allah SWT di tanah Kana’an karena penduduknya banyak yang menyembah berhala. Nabi Ya’qub mengajarkan umatnya untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Beliu meninggal pada usia 148 dan dia memiliki 12 putra.

Nabi Yusuf putra Nabi Ya’qub, yang diutus sebagai nabi ke Mesir untuk mengajarkan agama tauhid, yaitu menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Selain sebagai nabi, ia juga seorang raja yang pemerintahannya berdasarkan Islam.

Dia meninggal pada usia 120 dan dimakamkan di tepi Sungai Nil.

Nabi Ayub putra Amus bin Tarikh bin Rum bin Ish yang diutus oleh Allah SWT ke tanah Roma untuk mengajarkan agama tauhid yaitu menyembah Allah SWT. Dia meninggal pada usia sekitar 93 tahun dan dimakamkan di suatu tempat di Italia.

Nabi Zulkifli adalah anak Nabi Ayub. Beliau dikirim oleh Allah SWT ke tanah Roma. Selain sebagai nabi, beliau juga seorang raja yang masih mengajarkan agama tauhid, yaitu menyembah Allah Yang Maha Esa, mengajak umatnya meninggalkan kemusyrikan dan menjalankan syariat Islam dengan shalat dan membayar zakat.

Beliau meninggal pada usia 95 dan dimakamkan di Napoli, sebuah distrik di Roma Selatan.

Nabi Shuaib. Beliay keturunan Nabi Luth as, yang diutus oleh Allah ke tanah Madyan, Palestina Selatan untuk mengajarkan agama tauhid, yaitu menyembah Allah SWT, membayar zakat dan perintah jujur ​​kepada umatnya. Namun banyak dari umatnya inkar, akhirnya ditimpa musibah dari Allah berupa gempa bumi dan kepingan awan panas dari langit.

Nabi Musa dan Nabi Harun diutus oleh Allah SWT kepada umatnya Bani Israil untuk beribadah kepada Allah, menunaikan zakat, puasa dan berbuat jujur. Namun banyak dari anak-anak ‘Israel’ tidak taat sampai mereka menyembah patung anak sapi yang dipelopori oleh Samiri.

Nabi Musa mendapat kitab Taurat dari Allah SWT dan diberi mukjizat. Kemudian Nabi Daud diberikan oleh Allah kitab Mazmur untuk mengajarkan umatnya beribadah kepada Allah dan berpuasa. Nabi Daud meninggal dalam usia kurang lebih 100 tahun, kemudian dimakamkan di Palestina.

Nabi Sulaiman adalah putra Nabi Daud. Beliau adalah seorang nabi dan raja. Nabi Sulaiman berdoa kepada Allah SWT untuk memberinya kerajaan yang tidak akan didapat oleh siapa pun setelahnya. Doa Nabi Sulaiman dikabulkan oleh Allah, agar ia bisa menguasai Bahasa semua makhluk termasuk jin dan hewan.

Nabi Sulaiman mengajak seluruh umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi kemusyrikan.

Nabi Ilyas alaihissalam adalah keturunan Nabi Harun yang diutus oleh Tuhan sebagai utusan di negara Babil di Lebanon Selatan karena banyak orang Babil yang menyembah berhala. Patung terbesar pemujaan mereka yang disebut “Baal” terbuat dari emas.

Nabi Ilyas mengajak umatnya untuk beribadah kepada Allah SWT yang merupakan agama tauhid, namun banyak yang mengingkarinya, sehingga sebagian besar dari mereka mengalami gempa bumi yang dahsyat. Nabi Ilyas wafat dan dimakamkan di Libanon Selatan.

Nabi Ilyasa diutus oleh Allah SWT kepada Bani Israil, untuk mengajarkan agama tauhid berdasarkan Taurat dan Zabur. Karena ketidaktaatan dan ketidaktaatan mereka kepada Tuhan dan Rasul-Nya, orang-orang Yahudi akhirnya dijajah oleh seorang raja dari Babel bernama Nebukad Nezar.

Kemudian Nebukad Nezar dikalahkan oleh Cyrus raja Persia. Pada tahun 70 SM, raja Romawi Titus memasuki Palestina dan menghancurkan seluruh kota Yerusalem, kecuali Yerusalem. Begitulah bangsa Yahudi menerima laknat dan laknat dari Allah dan Rasul-Nya hingga tercerai berai ke segala penjuru, dikutuk dan dihina oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Nabi Yunus keturunan Nabi Ya’qub diutus Allah kepada penduduk Ninawa di daerah Mansul di kerajaan Babil. Ia mengajak umatnya untuk menyembah Allah, namun ajakannya ditentang bahkan diolok-olok.

Pada akhirnya Nabi Yunus meninggalkan kaumnya dan berdoa kepada Tuhan agar hukuman diturunkan kepada mereka. Ketika tanda-tanda kiamat akan turun, seluruh penduduk mencari Nabi Yunus karena ingin bertaubat, namun Nabi Yunus tetap melanjutkan perjalanannya.

Mereka semua percaya kepada Tuhan dan menyesal telah memerangi Rasulullah. Nabi Yunus diuji oleh Allah ketika berada di dalam perut ikan Nun. Setelah kembali ke Ninawa, ia melihat bahwa mereka semua telah beriman, maka Nabi Yunus melanjutkan dakwahnya, hingga negeri itu menjadi aman dan makmur.

Nabi Zakaria dan Nabi Yahya as. dikirim kepada orang-orang Yahudi, agar mereka menyembah Allah SWT, bertindak jujur, adil dengan memegang petunjuk dalam kitab Allah. Kemudian nabi Yahya dibunuh, kepalanya dipenggal.

Begitu pula dengan Nabi Zakaria yang terbunuh pada saat itu juga. Kedua nabi itu mati syahid. Orang-orang Yahudi begitu bangga sehingga hati mereka tertutup dalam menerima kebenaran.

Nabi Zakaria as dan Nabi Yahya as. dikirim kepada orang-orang Yahudi, agar mereka menyembah Allah SWT, bertindak jujur, adil dengan memegang petunjuk dalam kitab Allah. Kemudian nabi Yahya dibunuh, kepalanya dipenggal.

Begitu pula dengan Nabi Zakaria yang terbunuh pada saat itu juga. Kedua nabi itu mati syahid.

Orang-orang Yahudi begitu bangga sehingga hati mereka tertutup dalam menerima kebenaran. Hanya hukuman Allah yang cocok bagi mereka yang tidak taat.

Nabi Isa atau yang dipanggil Yesus oleh orang Kristen, lahir dari tubuh perawan suci Maryam, kemudian diangkat menjadi nabi dan rasul. Sedangkan Hawa lahir dari tubuh Adam tanpa ibu di surga.

Ia ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menjadi ibu dari seluruh umat manusia. Maka agar tidak keliru dalam beriman atau beriman, mari kita simak makna firman Allah SWT:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ ٱللَّهِ كَمَثَلِ ءَادَمَ ۖ خَلَقَهُۥ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

“Sesungguhnya perbandingan peristiwa Nabi Isa di mata Allah sama dengan peristiwa Nabi Adam, Allah menciptakan Adam dari tanah, lalu berfirman kepadanya: ‘Jadilah kamu! Maka ia jadi.”. (QS: Ali Imran ayat 59)

Nabi Isa diutus oleh Allah kepada umatnya sendiri, Bani Israel di Palestina, untuk tetap taat kepada Allah SWT. Belaiu diberi kitab suci bernama Injil yang melengkapi Taurat dan Mazmur.

Semua firman Tuhan yang diwahyukan kepadanya ditulis oleh para pengikutnya dalam Bahasa Ibrani (Hebrew bahasa Ibrani Yahudi).

Bisakah kita menemukan kembali kitab Injil peninggalan Nabi Isa as. itu? Untuk meyakinkan diri mari kita lihat ayat-ayat Allah di bawah ini:

قَالَ اِنِّىۡ عَبۡدُ اللّٰهِ ؕ اٰتٰٮنِىَ الۡكِتٰبَ وَجَعَلَنِىۡ نَبِيًّا

“Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.”(Surat Maryam ayat 30).

Surat ini dilanjutkan penegasan bahwa, hanya Allah Tuhan disembah, bukan Nabi Isa.

وَاِنَّ اللّٰهَ رَبِّىۡ وَرَبُّكُمۡ فَاعۡبُدُوۡهُ ‌ؕ هٰذَا صِرَاطٌ مُّسۡتَقِيۡمٌ

“(Isa berkata), “Dan sesungguhnya Allah itu Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.” (Surat Maryam ayat 36).

Ayat-ayat di atas dengan jelas membuktikan bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam hanyalah seorang nabi dan Rasul, bukanlah anak Tuhan seperti yang diklaim oleh sebagian pengikutnya.

Alkitab asli dengan tegas dan jelas memerintahkan para pengikutnya untuk menyembah Tuhan saja dan tidak mempersekutukan Dia dengan orang lain. Namun sebagian besar pengikut nabi Isa telah mengubah Injil yang asli sesuai dengan seleranya masing-masing, sehingga lahirlah ratusan versi Alkitab, dengan ribuan jumlahnya.

Karena penentangan umatnya terhadap ajaran tauhid terlalu kuat, Nabi Isa bahkan diancam akan dibunuh, sehingga beliau dibawa oleh ibunya ke Mesir selama 12 tahun.

Nabi Isa pindah lagi ke negeri Nazareth, Palestina. Di negeri ini, beliau mulai memiliki pengikut yang menyetujui ajarannya, yaitu mengesakan Allah SWT.

Di kalangan orang Yahudi tersiar kabar bahwa Nabi Isa yang beribu tanpa ayah telah ditangkap oleh Yudas Iskariot, kemudian diserahkan kepada penguasa Romawi, dan disalibkan di bukit Golgota.

Ada yang mengatakan bahwa bukan Nabi Isa (Yesus) yang ditangkap tetapi Yudas karena dia dianggap pengkhianat. Beberapa orang meyakinkan mereka bahwa bukan Nabi Isa (Yesus), bukan pula Yudas, tetapi orang lain yang benar-benar mirip dengannya.

Nabi Isa sendiri selamat dari malapetaka ini. Sungguh, Allah telah mengangkatnya ke langit.

Bagi kaum Muslim, keyakinan bahwa Nabi Isa (Yesus) adalah utusan Allah (Nabi), sudah sangat jelas dalam Al-Quran. Allah bahkan mengharamkanya surga bagi yang menjadikan Nabi Isa (Yesus) sebagai Tuhan.

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.“ (QS. Al-Maidah:72).

Nabi Muhammad ﷺ  beliau lahir tahun 571 M melalui pernikahan Ibunda Aminah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Beliau adalah keturunan Nabi Ismail putra Nabi Ibrahim.

Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang paling mulia di atas derajat dan derajat dari semua nabi dan umat manusia, bahkan semua makhluk Allah SWT. Itulah sebabnya Rasulullah ﷺ disebut “Rahmat Lil ‘Alamin”, berarti “rahmat untuk seluruh alam”.

Rasulullah diberikan kitab Al-Quran, yang diturunkan oleh Allah untuk semua bangsa di dunia ini. Seperti para nabi atau utusan Tuhan sebelumnya, Yang Mulia mengajar dan memanggil manusia untuk menyembah Tuhan.

Nabi Muhammad ﷺ adalah akhir (penutup) dari semua nabi dan rasul, sehingga agama Tuhan yang diturunkan sejak Nabi Adam secara bertahap dan disempurnakan oleh Allah melalui kenabian (nubuwat) Muhammad ﷺ.

Itu sebabnya tidak akan ada lagi nabi dan wahyu setelah dia. Bahkan dalam kitab-kitab yang sebelumnya disebutkan tentang kelahiran Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan terakhir.

Dalam hal ini, Nabi Isa as. sendiri menjelaskan kepada kaumnya tentang munculnya nabi terakhir setelah dia. Dalam Al Quran, ungkapan Nabi Isa (as) dijelaskan sebagai berikut.

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ يَٰبَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُم مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَىَّ مِنَ ٱلتَّوْرَىٰةِ وَمُبَشِّرًۢا بِرَسُولٍ يَأْتِى مِنۢ بَعْدِى ٱسْمُهُۥٓ أَحْمَدُ ۖ فَلَمَّا جَآءَهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ قَالُوا۟ هَٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata“. (QS: Surat As-Shaff Ayat 6).

Firman Allah SWT lain nya mengatakan:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِكُمۡ وَلٰـكِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمًا

“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS: Al-Ahzab ayat 40).*/DarulNuman

HIDAYATULLAH

Arab Saudi Ingatkan Jamaah Umroh Luar Negeri Jangan Overstay Visa

Pihak berwenang Arab Saudi telah mendesak peziarah luar negeri yang berkeinginan melakukan umrah, untuk memastikan meninggalkan Kerajaan sebelum visa berakhir.

Kementerian Haji dan Umrah Saudi mengatakan mereka yang tinggal setelah visa kadaluwarsa dianggap sebagai pelanggaran hukum Kerajaan.

Dilansir di Gulf News, Senin (31/10/2022), baru-baru ini otoritas terkait mengumumkan perpanjangan durasi visa umrah, dari 30 hari menjadi 90 hari. Selama masa waktu tersebut, peziarah memiliki hak untuk bebas bergerak di wilayah Arab Saudi.

Tak hanya itu, Kementerian Haji juga mengatakan jamaah dapat tiba dan berangkat dari bandara Saudi mana pun. Namun, mereka harus mendaftar di aplikasi Nusuk dan mendapatkan izin umrah.

Arab Saudi baru-baru ini meluncurkan platform pemerintah terpadu, yang dikenal sebagai Nusuk. Platform ini disediakan untuk memfasilitasi langkah-langkah bagi jamaah umrah dan pengunjung menuju dua kota suci Makkah dan Madinah.

Platform nusuk.sa memungkinkan umat Islam yang ingin melakukan umrah atau mengunjungi tempat-tempat suci mendapatkan visa dan izin yang diperlukan, serta memesan paket terkait secara elektronik.

Dalam beberapa bulan terakhir, Arab Saudi selaku tempat kelahiran Islam, telah memperkenalkan serangkaian fasilitas untuk ritual umrah, yang dilakukan sepanjang tahun kecuali selama musim haji tahunan.

Menurut angka resmi yang ada, Arab Saudi telah mengeluarkan lebih dari 126.000 visa untuk Muslim di luar negeri, yang ingin melakukan umrah sejak pertengahan Juli. 

Sumber:

https://gulfnews.com/world/gulf/saudi/dont-overstay-visa-saudi-arabia-tells-overseas-pilgrims-1.91607437

IHRAM

6 Kewajiban Orangtua pada Anak

SEBAGAI seorang anak, ia wajib mematuhi perintah orangtuanya. Ia harus mengikuti apa yang menjadi aturan dan nasihatnya, selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam. Meski begitu, anak pun memiliki hak. Dan sebagai orangtua, memenuhi kewajiban anak merupakan sebuah keharusan. Ada beberapa kewajiban orangtua pada anak.

Sedikitnya ada enam kewajiban orangtua pada anaknya. Apa sajakah itu?

1. Kewajiban Orangtua pada Anak: Memberinya Nama yang Bagus dan Berarti Baik

Ada yang mengatakan bahwa nama adalah doa. Nah, istilah ini bisa kita terapkan pada anak kita. Agar banyak orang yang selalu mendoakan kebaikan padanya, maka berikanlah nama yang berarti baik bagi anak.

Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kamu sekalian, maka perbaguslah nama kalian,” (HR. Abu Dawud).

2. Kewajiban Orangtua pada Anak: Memberi Anak Air Susu Ibu

Ibnu Sina, seorang dokter kenamaan, menegaskan urgensi penyusuan alami dalam pernyataannya, “Bahwasanya seorang bayi sebisa mungkin harus menyusu dari air susu ibunya. Sebab, dalam tindakannya mengulum puting susu ibu terkandung manfaat sangat besar dalam menolak segala sesuatu yang rentan membahayakan dirinya.”

Hal tersebut senada dengan apa yang diperintahkan Allah SWT melalui firman-Nya, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan,” (QS. Al-Baqarah: 233).

3. Kewajiban Orangtua pada Anak: Bersikap Adil

Sebagai orangtua, kita harus berusaha memberikan keadilan bagi anak. Jangan sampai kita memberikan kasih sayang yang berbeda di antara anak-anak. Kasih sayang adalah hak yang harus mereka dapatkan dan ukurannya sama antara anak satu dengan anak yang lainnya.

Tidak hanya itu, memberikan sesuatu kepada anak juga harus sama rata. Tidak boleh ada yang jauh lebih banyak, tidak ada yang jauh lebih sedikit. Semuanya harus dibagi sama rata.

4. Kewajiban Orangtua pada Anak: Mendidiknya dengan Baik

Semua orangtua pasti tahu kewajiban yang harus mereka lakukan terhadap anak-anaknya. Ya, mendidik adalah hal yang paling penting dan paling utama yang harus diberikan kepada anak. Mendidik dengan baik memang menjadi salah satu kewajiban dan hak yang harus didapatkan seorang anak.

Anak harus mendapatkan pendidikan yang baik dan sama di antara anak-anak yang lain. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berdasarkan dengan agama. Sudah menjadi kewajiban orangtua untuk memberikan pendidikan yang sangat baik dan benar sesuai dengan tuntunan agama Islam.

5. Kewajiban Orangtua pada Anak: Memberi Nafkah dan Makanan Halal

Memberi nafkah hanya dengan harta yang baik dan dari mata pencaharian yang halal adalah kewajiban seorang ayah. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara, tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang ia kerjakan dengannnya, tentang hartanya dari mana ia mendapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia pergunakan,” (HR. Turmudzi).

Dan makanan yang diberikan kepada anak-anak hendaknya makanan yang halal. Ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ kepada Sa’ad Bin Abi Waqhas, “Baguskanlah makananmu, niscaya doamu akan dikabulkan.” Karenanya, anak dibiasakan untuk mengonsumsi makanan yang halal, mencari penghasilan yang halal dan membelanjakan kepada yang halal. Sehingga ia tumbuh dalam sikap sederhana dan pertengahan, terjauh dari sikap boros dan pelit.

6. Kewajiban Orangtua pada Anak: Menikahkan Anak dengan Calon Suami/ Istri yang Baik

Bila anak telah memasuki usia siap nikah, maka nikahkanlah. Jangan biarkan mereka terus tersesat dalam belantara kemaksiatan. Do’akan dan dorong mereka untuk hidup berkeluarga, tak perlu menunggu memasuki usia senja.

Bila muncul rasa khawatir tidak mendapat rezeki dan menanggung beban berat keluarga, Allah berjanji akan menutupinya seiring dengan usaha dan kerja keras yang dilakukannya.

Sebagaimana firman-Nya, “Kawinkanlah anak-anak kamu (yang belum kawin) dan orang-orang yang sudah waktunya kawin dari hamba-hambamu yang laki-laki ataupun yang perempuan. Jika mereka itu orang-orang yang tidak mampu, maka Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari anugerah-Nya,” (QS. An-Nur: 32). []

Sumber: Arsip Islampos

Pembagian Tauhid Menurut Para Ulama Ahlusunah (Bag. 2)

Pembagian tauhid ditinjau dari kewajiban hamba terhadap Allah

Setelah dipaparkan pembagian tauhid menjadi tiga jenis, maka di antara para ulama ada yang membagi tauhid ini ke dalam dua jenis saja dengan menimbang sudut pandang kewajiban bertauhid seorang hamba terhadap Allah. Para ulama ahlusunah pada abad yang lebih lalu, yaitu sekitar abad 7 H, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah, lebih banyak membagi tauhid ini kepada dua jenis saja. Pembagian ke dalam dua jenis tauhid ini akan berkumpul pada klasifikasi berikut, yaitu, 1) tauhid al-‘ilmi dan 2) tauhid al-‘amali. Adapun penjelasan definisi ringkas dari kedua jenis tauhid tersebut sebagai berikut.

Tauhid al-’ilmi

Tauhid al-’ilmi adalah tauhid yang yang berisi kewajiban dari syariat kepada mukalaf untuk berilmu dan beriman dengan makna-makna rububiyyah dan sifat-sifat Allah yang sempurna. Maka, dapat disimpulkan bahwa pada tauhid jenis ini berkumpul dua jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid asma wa sifat.

Tauhid al-’amali

Tauhid al-’amali adalah tauhid yang berisi kewajiban syariat terhadap mukalaf untuk beramal dengan beribadah kepada Allah dan larangan untuk berbuat syirik. (Al-Fawaid Al-Masturah, 1: 52-53)

Setelah masa beliau berdua sampai zaman kontemporer ini, terdapat para ulama yang membagi tauhid ke dalam dua jenis, tetapi memiliki penamaan yang berbeda dengan beliau berdua. Berikut rincian pembagian tauhid menjadi dua jenis dengan sudut pandang kewajiban hamba terhadap Allah menurut berbagai pandangan para ulama.

Klasifikasi, penamaan, dan penjelasan tauhid menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H)

Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam satu kitab yang beliau tulis, yaitu Ash-Shafadiyah, menerangkan tentang tauhid ilahiah itu ada dua jenis, yaitu 1) tauhid al-qaul al-’amali dan b) tauhid al-’amali al-iradi. Syaikhul Islam rahimahullah berkata,

والتوحيد الذي جاءتْ به الرسل ونزلتْ به الكُتب هو توحيد الإلهية، وهو أن يعبد الله وحده لَا شريكَ له، وهو متضَمِّنٌ لشيئينِ، أحدهما: القول العلْميّ ، وهو إثباتُ صفاتِ الكمالِ، وتنزِيهه عن النقائصِ، وتنزيهه عن أنْ يمَاثِلَه أحدٌ في شيئ من صفاته، فلا يوصَفُ بنقْصٍ بحالٍ، ولا يماثله أحدٌ في الكمال، كما قال تعالى: (قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ۝  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ۝  لَمۡ یَلِدۡ وَلَمۡ یُولَدۡ ۝  وَلَمۡ یَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ)، فالصّمدية تُثبت له الكمال، والأحدية تنفي مماثلَه شيئ له في ذلك، كما بسطنا ذلك في غير هذا الموضع.

والتوحيد العَملي الإرادي أن يعبد إلا إياه، فلا يدعو إلا إياه ولا يتوكل إلّا عليه، ولا يخاف إلا إياه، ولا يرجو إلا أياه، ويكون الدين كله لله، قال تعالى: (قُلۡ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡكَـٰفِرُونَ ۝  لَاۤ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ۝  وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ ۝  وَلَاۤ أَنَا۠ عَابِدࣱ مَّا عَبَدتُّمۡ ۝  وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ ۝  لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ). وهذا التوحيد يتضمنُ أنّ اللهَ خالق كلِّ شيئٍ  وربه ومليكه لا شريك له في المُلكِ.

“Tauhid yang didakwahkan oleh para rasul dan yang terkandung dalam kitab-kitab Allah adalah tauhid ilahiah. Tauhid ilahiah adalah seorang hamba beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya. Tauhid ilahiah mengandung dua unsur, yaitu:

Tauhid al-qaul al-’ilmi

Tauhid ini memiliki makna penetapan bagi Allah sifat-sifat yang sempurna, menyucikan Allah dari kekurangan-kekurangan, dan menyucikan Allah dari segala sesuatu yang menyerupai atau menyaingi-Nya dalam sifat-sifat Allah. Maka dari itu, Allah tidak disifati sedikit pun dengan kekurangan dan tidak ada sesuatu apa pun yang menyerupai-Nya dalam kesempurnaan. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan, “Katakanlah (Muhammad), bahwa Allah adalah Esa. Allah adalah Zat tempat bergantung seluruh makhluk-Nya. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan Dia (Allah) tidak ada sesuatu apa pun yang sebanding (semisal) dengan-Nya. Maka, sifat Ash-Shamadiyah yang dimiliki Allah mengandung makna bahwa Allah memiliki kesempurnaan dari segala sisi. Sementara sifat Al-Ahadiyah menegasikan keserupaan sesuatu apa pun terhadap Allah dalam aspek kesempurnaan-Nya sebagaimana yang telah kami jelaskan pada tempat lain.

Tauhid al-’amali al-iradi

Tauhid ini memiliki makna bahwa seorang hamba tidak mengerjakan ibadah, kecuali hanya untuk Allah semata.  Maka, nantinya ia tidak akan berdoa kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali hanya kepada Allah, tidak takut kecuali hanya kepada Allah, dan tidak berharap kecuali hanya pada Allah. Sehingga seluruh agamanya (ibadahnya) hanya untuk Allah semata. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah (Muhammad), wahai orang-orang yang kafir. Aku tidak menyembah apa yang kalian sembah. Sementara kalian tidak menyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak akan (sekali-kali) menyembah apa yang kalian sembah. Sementara kalian juga tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” Tauhid jenis ini terkandung makna bahwa Allah adalah Sang Pencipta segala sesuatu, Allah adalah Tuhan seluruh alam, Sang Pemilik jagad semesta, dan tidak ada suatu serikat pun yang bersama Allah.” (Ash-Shafadiyah, 2: 228-229)

Klasifikasi jenis tauhid menurut Ibnul Qayyim (691-751 H)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga memiliki pembagian tauhid yang hampir sama dengan gurunya (Ibnu Taimiyyah) dengan membagi tauhid menjadi dua macam, yaitu: 1) tauhid al-ma’rifat wa al-itsbat dan b) tauhid al-mathlab wa al-qashdu. Pada kesempatan yang sama, Ibnul Qayyim juga menyebutkan nama lain dari dua jenis tauhid tersebut. Ibnul Qayyim menyampaikan pembagian tauhid ini dalam kitab Madarijus Salikin ketika membahas pembagian tauhid yang sebelumnya dipaparkan pembagian tauhid menurut berbagai firqah dalam Islam maupun luar Islam. Adapun beliau rahimahullah berkata,

وأمّا التوحيدُ الذي دعتْ رسل الله، نزلتْ بهِ كُتُبُ فوَرَاءَ ذلك كلِّهِ وهو نوعان، تَوْحيدٌ في المعْرفة والإثْباتِ، وتوحيدٌ في المطْلبِ والقصْد

فالأوّل: هو حقيقةُ ذاتِ الرّبِّ تعالى، وأسماءه، وصفاته، وأفْعالِه، وعُلُوِّه، فوق سمواتِهِ على عرْشِهِ، وتكلُّمِهِ بِكُتُبِه، وتكْلميهِ لِمنْ شاء منْ عِبادهِ، وإثْبات عمومِ قضاءِهِ، وقَدَره، وحُكْمه، وقد أفصح القرآنُ عن هذا النوعِ جِدَّ الإفصَاحِ

كما في أوّل سورةِ الحديد، وسورة طه، وآخر سورة الحشْر، وأوَّلُ سورة (تنزيل) السجدة، وأوّل سورة آل عمران، وسورة الإخلاصِ بكمالها، وغير ذلك.

النوع الثاني: مِثْلُ ما تضمّنتْهُ سورة: قل يأيها الكافرون)، وقوله: (قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم)، الآية وأوَّلُ سورة سورة (تنزيل الكتاب) وآخِرِها، وأوَّلِ سورة يونس ووسطِها وآخِرِها، وأوّلِ سورةِ الأعراف وآخِرُها، وجُمْلة سورة الأنعامِ وغالبِ سور القرآنِ، بل كلُّ سورةٍ في القرآن فهي متضمنة لنَوعي التوحيدِ.

بل نقول قولًا كليًا: إنّ كلَّ آية في القرآن فهي متضمةٌ للتوحيدِ، شاهدةٌ بِهِ، داعيةٌ إليهِ، فإنّ القرآنَ: إمّا خَبَرٌ عن اللهِ، وأسمائه، وصفاته، وأفعالِهِ، فهو التوحيد العلميالخبري، وإمّا دعوةٌ إلى عبادته وحده لا شريك له، وخَلْعُ كلّ ما يُعبدُ من دونِهِ، فهو التوحيد الإراديّ الطلبي، وإمّا أمرٌ ونهيٌ، وإلْزامٌ بطاعته في نهيِهِ وأمره، فهي حقوق التوحيد ومكمَّلاته، وإمّا خبرٌ عَنْ كرامة الله لِأهل توحيده وطاعَتِهِ، وما فعل بهم في الدنيا وما يُكرمُهم به في الآخرة، فهو جزاء توحيده، وإمّا خبر عن أهل الشِرْك، وما فعل بهم في الدنيا من النكال، وما يَحُلُّ بهم في العُقبى من العذاب، فهو خبر عمّنْ خرج عن حكم التوحيد.

“Adapun tauhid yang didakwahkan oleh para rasul Allah dan yang dikandung oleh seluruh kitab-kitab Allah terdapat dua macam, yaitu: 1) tauhid al-ma’rifat wa al-itsbat dan 2) tauhid al-mathlab wa al-qashdu.

Tauhid al-ma’rifat wa al-itsbat

Tauhid yang pertama ini berisi tentang pembahasan hakikat Zat Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, ketinggian Allah di atas langit-langit, yaitu di atas ‘Arsy-Nya, perkataan-perkataan Allah dalam semua kitab-kitab-Nya, pembicaraan Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya, penetapan atas seluruh kekuasaan, takdir, dan hukum yang ditetapkan oleh-Nya. Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an tentang tauhid ini dengan sangat fasih. Bukti-bukti tauhid ini tergambar pada awal surah Al-Hadid, surah Thaha, akhir dari surah Al-Hasyr, awal dari surah As-Sajdah, akhir surah Ali-Imran, surah Al-Ikhlas seluruhnya, dan lain-lain.

Tauhid al-mathlab wa al-qashdi

Tauhid ini adalah semisal yang dikandung dalam surah Al-Kafirun, “Katakanlah (Muhammad), wahai orang-orang yang kafir ,.. ”, juga firman Allah, “Katakanlah (Muhammad), wahai ahlul kitab, marilah kita sama-sama menuju satu seruan (tauhid) yang sama antara kami dengan kalian..”, ayat awal dalam surah Az-Zumar dan bagian akhirnya, awal surah Yunus, bagian tengah, dan akhirnya, awal surah Al-A’raf dan bagian akhirnya, sebagian dari surah Al-An’am, dan kebanyakan dari kandungan surah-surah dalam Al-Qur’an. Bahkan, setiap surah dalam Al-Qur’an berisi dua jenis tauhid di atas.

Maka, dapat kita disimpulkan secara global, bahwasanya setiap ayat dalam Al-Qur’an pasti mengandung, menjadi saksi kebenaran ajaran tauhid, serta mengajak untuk bertauhid. Hal ini karena Al-Qur’an isinya tidak lepas dari beberapa hal berikut, yaitu:

Pertama, kabar terkait Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Inilah tauhid (jenis pertama) yaitu tauhid al-’ilmi wa al-khabari.

Kedua, perintah untuk beribadah kepada Allah semata tanpa dan tidak menyekutukan-Nya, serta membebaskan dari seluruh peribadahan kepada selain Allah. Tauhid ini (jenis kedua) disebut dengan tauhid al-iradi ath-thalabi.

Ketiga, syariat perintah dan larangan. Isi dari syariat ini adalah kewajiban menaati Allah dalam perintah dan larangan-Nya. Dua hal ini adalah hak-hak tauhid (yang harus ditunaikan hamba) dan penyempurna tauhid.

Keempat, kabar berupa karamah Allah kepada ahli tauhid dan ahli ketaatan, apa yang diperbuat oleh mereka di dunia, dan akhir yang akan mereka dapat berupa pemuliaan dari Allah di akhirat.

Kelima, kabar tentang ahli kesyirikan, apa yang mereka perbuat di dunia dari kezaliman, dan akhir yang akan menimpa mereka berupa azab. Isi yang kelima ini adalah kabar dari orang-orang yang telah keluar dari tauhid.” (Madariju As-Salikin baina Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in/1099)

Klasifikasi jenis tauhid menurut Al-Hafidz Al-Hakami (1342-1377 H)

Al-Hafidz Al-Hakami memiliki nazam yang cukup masyhur yang membahas tema akidah ahlusunah waljamaah. Nazam ini juga disyarah oleh beliau sendiri dalam kitab Ma’arijul Qabul. Beliau dalam nazam dan syarahnya membagi jenis tauhid kepada dua jenis, yaitu 1) tauhid al-’ilmi al-khabari al-i’tiqadi dan 2) tauhid ath-thalabi al-qashdi al-iradi. Beliau rahimahullah menjelaskan dalam kitab beliau,

التوحيد نوعان

الأوَّلُ: التوحيد العِلْمي الخَبَري الإعْتقَادي المتضمِّنُ إثباتَ صفاتِ الكَمال للهِ عزَّ وجلّ وتنزيههُ عن التشْبيهِ والتَمْثيلِ ووتنزيههُ عن صِفات النقصِ، وهو توحيد الربوبيّة.

الثاني: التوحيدُ الطّلَبِي القصْدي الإرَادي، وهو عبادةُ الله تعالى وحْده لا شريك له وتجْريد محَبَّته، والإخْلاص له وخوفه ورَجاؤُه والتوكُّل عليه بالرضا به ربًّا وإلهًا ووليا، وأن لا يجعل له عَدْلًا في شيئ من الأشياء، وهو توحيد الألوهية.

“Tauhid ada dua macam, yaitu:

Tauhid al-’ilmi al-khabari al-i’tiqadi

Yang pertama, tauhid al-’ilmi al-khabari al-i’tiqadi adalah tauhid yang terkandung di dalamnya penetapan sifat-sifat sempurna bagi Allah ‘Azza Wajalla dan penyucian Allah dari segala bentuk penyerupaan dan penyamaan Allah (terhadap makhluk), serta penyucian Allah dari segala sifat kurang. Tauhid ini sama dengan tauhid rububiyyah dan asma’ wa sifat.

Tauhid ath-thalabi al-qashdi al-iradi

Yang kedua, tauhid ath-thalabi al-qashdi al-iradi adalah yang berisi tentang perintah untuk beribadah kepada Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, memurnikan kecintaan, keikhlasan, rasa takut, rasa harap, dan tawakal kepada-Nya dengan penuh rida bahwa Allah sebagai Tuhan yang berhak disembah dan Yang Mahapelindung, serta tidak menjadikan sekutu bagi-Nya dalam satu pun bentuk peribadahan. Tauhid ini sama dengan tauhid uluhiyah.” (Ma’ariju Al-Qabul, 1: 121)

***

Penulis: Sakti Putra Mahardika

Referensi:

Al-Kawariy, Kamilah. 2019 M. Al-Fawaid Al-Masthurah Fii Halli Alfadzi Kitabi A’lami As-Sunnah Al-Manshurah. Beriut: Dar Ibnu Hazm.

Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. 2011 M. Ash-Shafadiyah. Riyadh: Dar Al-Fadhilah.

Al-Hakami, Hafiz bin Ahmad. Ma’ariju Al-Qabul Bi Syarhi Sullam Al-Wushul Ila ‘Ilmi Al-Ushul Fi At-Tauhid. Dimam: Dar Ibnu Al-Jauzi.

Al-Jauziyah, Muhammad bin Abu Bakr bin Al-Qayyim. Madariju As-Salikin Baina Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in. Al-Azhar: Dar Al-’Alamiyah.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79818-pembagian-tauhid-menurut-para-ulama-ahlussunnah-bag-2.html

Tangan Masih Bersih, Apakah Tetap Dianjurkan Cuci Tangan Sebelum Makan?

Sudah maklum bahwa di antara perkara yang dianjurkan dalam Islam sebelum kita makan adalah mencuci tangan terlebih dahulu. Namun demikian, terkadang terdapat di antara kita yang enggan untuk melakukan hal tersebut dengan alasan masih tangan masih bersih.

Sebenarnya, bagaimana hukum mencuci tangan, padahal dalam keadaan masih bersih ini, apakah tetap dianjurkan?

Mengenai anjuran mencuci tangan sebelum makan jika tangan masih dalam keadaan bersih dan tidak kotor, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Setidaknya terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama, tetap dianjurkan untuk mencuci tangan sebelum makan meskipun tangan masih dalam keadaan bersih. Terdapat beberapa hadis yang dijadikan dasar oleh para ulama mengenai anjuran tersebut meskipun tangan masih dalam keadaan bersih.

Di antaranya adalah hadis yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berikut;

وروى أبو بكر بإسناده عن الحسن بن علي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الوضوء قبل الطعام ينفي الفقر وبعده ينفي اللمم يعني به غسل اليدين

Abu Bakar dengan sanadnya meriwayatkan dari Sayidina Al-Hasan bin Ali bahwa Nabi Saw bersabda; Wudhu sebelum makan menghilangkan kefakiran dan setelahnya menghilangkan gangguan pikiran. Maksud wudhu di sini adalah mencuci kedua tangan.

Berdasarkan riwayat ini, para ulama tetap menganjurkan untuk mencuci tangan sebelum makan meskipun kedua tangan kita masih dalam keadaan bersih. Ini karena tujuannya bukan hanya untuk menghilangkan kotoran yang tampak, melainkan juga untuk menghilangkan penyakit yang tidak tampak, seperti kefakiran, sebagaimana disebutkan dalam riwayat di atas.

Kedua, jika tangan masih dalam keadaan bersih, misalnya karena baru melakukan wudhu, atau baru cuci tangan di kamar mandi, maka tidak dianjurkan melakukan hal tersebut sebelum makan. 

Ini karena dalam suatu kesempatan, pernah Rasulullah Saw makan dengan para sahabat tanpa melakukan cuci tangan setelah beliau selesai buang hajat. Ini menunjukkan bahwa jika tangan masih dalam keadaan bersih karena selesai dari kamar mandi, baru selesai wudhu dan lainnya, maka tidak dianjurkan lagi untuk cuci tangan. 

Ini sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni, dari Jabir dia berkata;

أقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم من شعب الجبل وقد قضى حاجته وبين أيدينا تمر على ترس أو جحفة فدعوناه فأكل معنا وما مس ماء

Rasulullah Saw menghadap kami dari lereng gunung dan beliau telah menyelesaikan buat hajat dan kami memiliki kurma di atas perisai, lalu kami mengajak beliau untuk makan dan beliau makan bersama kami tanpa menyentuh air (tanpa cuci tangan). 

Demikian penjelasan terkait tangan masih bersih, apakah tetap dianjurkan cuci tangan sebelum makan? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum Merayakan Halloween Day dalam Tinjauan Fikih Islam

Bagaimana hukum Halloween Day dalam Tinjauan Fikih Islam? Pada penghujung bulan Oktober, tepatnya tanggal 31 sebagian masyarakat di pelbagai belahan dunia merayakan Halloween. Meski tradisi ini pada mulanya kerap dilakukan di wilayah Eropa dan Amerika Serikat, akan tetapi kini Halloween sudah menyebar hingga wilayah Asia termasuk di Indonesia.

Perayaan Halloween di luar negeri ditandai dengan adanya dekorasi dan pernak-pernik bernuansa menyeramkan sesuai dengan daerahnya masing-masing.

Selain itu, orang dewasa dan anak-anak akan mengenakan beragam kostum yang dikenakan pada saat perayaan tersebut sesuai tradisinya menirukan tokoh-tokoh supranatural seperti vampire, monster, hantu, kerangka, penyihir, dan setan.

Kendati di Indonesia sendiri tradisi Halloween ini belum dilakukan dengan begitu masif dan umumnya hanya cosplay menjadi karakter terkenal seperti Joker dll, namun terdapat sejumlah kalangan yang meramaikan tradisi tersebut.

Bahkan tak sedikit mereka dari kalangan muslim. Sehingga timbul pertanyaan, bolehkah merayakan Hallowen dalam Islam? Lalu bagaimana hukum mengenakan kostum bernuansa menyeramkan dalam perayaan tersebut?

Asal-Usul Halloween Day

Melansir Detik.com Halloween berasal dari kata All Hallows Eve yang berarti malam hari semua orang Kudus. Asal mulanya ialah pada abad kedelapan, Paus Gregorius III menetapkan tanggal 1 November sebagai waktu untuk menghormati semua orang kudus atau juga disebut dengan All Saints Day. Selanjutnya, All Saints Day menggabungkan beberapa tradisi Samhain.

Pada malam sebelumnya dikenal sebagai All Hallows Eve, dan kemudian disebut Halloween. Seiring berjalannya waktu, akhirnya Halloween berkembang menjadi hari yang dirayakan dengan beragam tradisi seperti trick-or-treat, mengukir jack-o-lantern, pertemuan meriah, mengenakan kostum, dan suguhan makan. Sehingga, Halloween yang dulunya merupakan tradisi mengusir hantu seiring berjalannya waktu dirayakan sebagian orang untuk bersenang-senang dengan beragam tradisi.

Hukum Merayakan Halloween Day dalam Tinjauan Fikih Islam

Problematika seputar tradisi dan budaya dari kalangan non-muslim dalam tinjauan fikih Islam kerap direspon oleh fukaha dengan mengusung konsep tasyabbuh, tasyabbuh secara etimologi berasal dari kata syabbaha yang berarti menyerupai orang lain dalam suatu perkara.

Sedangkan menurut terminologi, tasyabbuh diartikan dengan menyerupai orang-orang kafir dalam hal akidah, ibadah ataupun perayaan, kebiasaan, dan setiap hal yang menjadi ciri khas bagi mereka. Argumentasi mengenai tasyabbuh yang dirumuskan oleh fukaha ini bersumber dari sabda Rasulullah Saw.:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (H.R. Abu Dawud  No. 4031, vol. 4, h. 44)

Dalam khazanah fikih, ditemukan beberapa keterangan perihal tasyabbuh ini, diantaranya ialah pendapat yang diungkapkan oleh Mufti Yaman Al-Habib Abdullah bin Umar bin Yahya Al-Alawi (W. 1265 H) dalam kompilasi fatwanya:

(وَسُئِلَ) الشِّهَابُ الرَّمْلِي عَنِ التَّزَيِّ بِزِيِّ الْكُفَّارِ هَلْ هُوَ رِدَّةٌ أَوْ لَا فَيَحرُمُ فَقَطْ؟ (فَأَجَابَ) – إِلَى أَنْ قَالَ – فَهَذِهِ الْعِبَارَةُ وَنَحوُهَا تُفِيْدُ أَرْبَعَ مَسَائِلَ (الْأُوْلَى) أَنْ يَتَزَيَّا بِزِيِّهِمْ وَيَمْشِي مَعَهُمْ إِلَى مُتَعَبَّدَاتِهِمْ فَيُحْكَمُ بِكُفْرِهِ (الثَّانِيَةُ) أَنْ يَتَزَيَّا بِزِيِّهِمْ مَيْلًا إِلَى دِيْنِهِمْ أَوْقَاصِدًا التَّشَبُّهَ بِهِمْ بِشَعَائِرِ الْكُفْرِ فَيَكْفُرُ بِذَلِكَ (الثَّالِثَةُ) أَنْ يَتَزَيَّا بِزِيِّهِمْ لَا مَيْلًا إِلَى دِيْنِهِمْ وَلَا قَاصِدًا التَّشَبُّهَ بِهِمْ فِي شَعَائِرِ الْكُفْرِ بَلْ قَاصِدًا التَّشَبُّهَ بِهِمْ فِي شَعَائِرِ الْعِيْدِ أَوْ قَاصِدًا بِذَلِكَ التَّوَصُّلَ إِلَى مُعَامَلَةٍ تَجُوْزُ مَعَهُمْ كَبَيْعٍ وَإِجَارَةٍ فَيَأْثَمُ بِذَلِكَ وَلَا يَكْفُرُ (الرَّابِعُ) أَنْ يَتَزَيَّا بِذَلِكَ اتِّفَاقًا مِنْ غَيْرِ قَصْدِ شَيْءٍ مِمَّا مَرَّ فَلَا يَحْرُمُ لَكِنْ يُكْرَهُ كَمَا ذَكَرُوْا فِي كَرَاهَةِ اسْتِدْلَاءِ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ وَخَارِجِهَا لِمَا فِيْهِ مِنَ التَّشَبُّهِ بِالْيَهُوْدِ.

“Imam Asy-Syihab Ar-Ramli pernah ditanya mengenai persoalan berhias dengan atribut orang-orang non-muslim, apakah hal tersebut tergolong murtad atau sebatas haram saja? (Beliau menjawab) …. Ungkapan ini memuat beberapa sub persoalan;

(1) Berhias dengan atribut mereka (non-muslim) dan berjalan layaknya gaya berjalan mereka menuju tempat peribadatan, maka dihukumi kufur.

(2) Berhias dengan atribut mereka seraya condong hati pada agama mereka atau bermaksud menyerupai mereka dalam menyemarakkan kekufuran, maka hal tersebut menyebabkan kufur.

 (3) Berhias dengan atribut mereka seraya condong hati pada agama mereka dan tidak ada maksud untuk menyerupai mereka dalam meyemarakkan kekufuran, namun bertujuan menyerupai dalam menyemarakkan hari raya atau menjadikan hal tersebut sebagai penunjang bisnis dengan mereka, seperti transaksi jual-beli atau sewa-menyewa, maka dihukumi berdosa sebab itu, namun tidak dihukumi kufur.

(4) Berhias dengan atribut tersebut secara kebetulan, tanpa ada maksud apapun seperti yang disebut di atas, maka tidak haram, namun makruh, sebagaimana telah dipaparkan oleh para ulama tentang kemakruhan melilitkan selendang saat shalat atau di luar keadaan shalat, karena memiliki unsur keserupaan dengan umat Yahudi.” [Abdullah bin Umar bin Yahya Al-Alawi, Fatawa Asy-Syar’iyyah (Kairo: Maktabah Al-Madani), h. 403-402]

Pernyataan yang serupa juga pernah dirilis pakar hadis terkemuka asal Haramain Sayyid Alawi Al-Maliki Al-Hasani (w. 1391 H) dalam kompilasi fatwanya, hanya saja beliau lebih memperjelas konteks pakaian yang identik dengan non-muslim berikut contohnya:

وَأَمَّا مَا كَانَ خَاصًّا بِالْكُفَّارِ وَزَيًّا مِنْ أَزْيَائِهِمْ الَّتِي جَعَلُوْهَا عَلَامَةً لَهُمْ كَلَبْسِ بَرْنِيْطَةٍ وَشَدِّ زِنَّارٍ وَطَرْطُوْرٍ يَهُوْدِيٍّ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَمَنْ لَبِسَهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ رِضًا بِهِمْ وَتَهَاوُنًا بِالدِّيْنِ وَمَيْلًا لِلْكَافِرِيْنَ فَهُوَ كُفْرٌ وَرِدَّةٌ وَالْعِيَاذُ بِاللهِ وَمَنْ لَبِسَهُ اسْتِخْفَافًا بِهِمْ وَاسْتِحْسَانًا لِلزَّيِّ دُوْنَ دِيْنِ الْكُفْرِ فَهُوَ إِثْمٌ قَرِيْبٌ مِنَ الْمُحَرَّمِ  وَأَمَّا مَنْ لَبِسَهُ ضَرُوْرَةً كَأَسِيْرٍ عِنْدَ الْكُفَّارِ وَمُضْطَرٍّ لِلُبْسِ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَكَمَنْ لَبِسَهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ أَنَّهُ زِيٌّ خَاصٌّ بِالْكُفَّارِ وَعَلَامَةٌ عَلَيْهِمْ أَصْلًا لَكِنْ إِذَا عَلِمَ ذَلِكَ وَجَبَ خَلْعُهُ وَتَرْكُهُ.

“Adapun sesuatu yang terkhusus bagi non-muslim ataupun atribut yang dijadikan sebagai tanda bagi mereka, seperti memakai topi, mengikatkan ikat pinggang, peci panjang khas kaum Yahudi, dll, maka bagi warga muslim yang mengenakannya dalam keadaan rela dengan mereka, menganggap remeh agama Islam, dan cenderung pada non-muslim, maka dia distatuskan kufur dan murtad – kita memohon perlindungan pada Allah Swt. 

Sedangkan orang yang memakainya dengan maksud menghina mereka namun menganggap baik atribut tersebut bukan condong pada agama non-muslim, maka dia dihukumi berdosa yang mendekati keharaman.

Sedangkan orang yang mengenakannya dalam keadaan darurat, seperti karena menjadi tawanan non-muslim dan dipaksa untuk memakai atribut tersebut, maka tidak mengapa. Begitu Pula orang yang mengenakannya dalam keadaan tidak tahu menahu bahwa hal itu termasuk atribut dan tanda non-muslim. Namun, saat ia sudah mengetahui hal itu, ia wajib melepas dan meninggalkannya.” [Sayyid Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Majmu’ Fatawa Wa Rasail (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), h. 183)]

Kesimpulan

Dari dua referensi yang ditampilkan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum merayakan Halloween Day dalam tinjauan fikih Islam tidak serta merta langsung divonis haram, namun terdapat perincian sebagaimana berikut:

Pertama, Kufur apabila ada tujuan menyerupai non-muslim dalam syi’ar agama mereka atau condong kepada agama mereka. Kedua, Haram apabila ada tujuan menyerupai non-muslim dalam hari raya mereka saja, bukan dalam syi’ar agama mereka dan tidak ada kecondongan pada agama mereka.

Ketiga, Makruh apabila tidak ada tujuan untuk menyerupai non-muslim, baik dalam syi’ar agama maupun hari raya mereka. Keempat, Boleh apabila tidak tahu bahwa perayaan Halloween Day merupakan ciri khas dari non-muslim, namun jika ia tahu, maka ia wajib untuk meninggalkannya.

Demikian penjelasan mengenai hukum merayakan Halloween Day serta mengenakan kostum bernuansa menyeramkan dalam perayaan tersebut. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bisshawab.

BINCANG SYARIAH