11 Orang yang Kerasukan Setan

SIAPA saja orang yang kerasukan setan? Apa sebabnya?

Sebagai orang yang beriman, kita tak bisa menyangkal tentang keberadaan setan. Mereka ada sama seperti halnya manusia ada di muka bumi. Mereka ada karena memiliki misi yang kuat untuk menghancurkan akhlak manusia agar terjerumus kepada hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Oleh sebab itulah, kita harus berhati-hati dengannya. Karena merekalah musuh yang sesungguhnya.

Kita seringkali mendengar seseorang yang kerasukan setan. Sebenarnya, apakah hal seperti itu benar adanya? Lalu, siapa sajakah orang-orang yang kemasukan setan?

Orang yang Kerasukan Setan: Landasan Ayat

Untuk mengetahui lebih jelas siapa saja yang “kemasukan” setan atau tunduk kepada setan, bahkan dikader oleh setan, mari kita perhatikan ayat-ayat berikut.

“Hai, manusia! Makanlah makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi serta jangan kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya, setan itu musuh yang nyata bagimu. Setan itu hanya menyuruhmu untuk berbuat jahat dan keji serta mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah,” (QS. Al-Baqarah: 168-169).

“Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah merupakan perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi, setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu serta menghalang-halangi dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat. Maka, tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al-Maidah: 90-91).

“Sesungguhnya para pemboros tiu adalah saudara-saudara setan dan setan sangat ingkar kepada Tuhannya,” (QS. Al-Isra’: 27).

Menurut ayat-ayat tersebut, orang yang “kemasukan” setan atau terbawa oleh setan adalah:

1. Orang yang Kerasukan Setan:  Orang yang suka memakan barang haram, baik haram dzati, seperti bangkai, daging babi dan sebagainya, maupun haram hukmi, seperti makanan yang dibeli dengan uang yang didapat dengan cara haram seperti mencuri, korupsi, menipu dan riba.

2. Orang yang Kerasukan Setan: Orang yang suka berbuat jahat, seperti menyakiti orang lain.

3. Orang yang Kerasukan Setan: Orang yang suka berbuat keji, seperti berzina atau mengatakan perkataan yang jorok dan kotor.

4. Orang yang Kerasukan Setan: Orang yang berkata tentang masalah-masalah keyakinan yang menyimpang dari ajaran tauhid, yaitu mereka mengada-ada dalam urusan aqidah.

5. Orang yang Kerasukan Setan: Orang yang minum khamar.

6. Orang yang Kerasukan Setan: Orang yang suka main judi.

7. Orang yang Kerasukan Setan: Orang yang menyembah berhala atau meyakini ada Tuhan selain Allah.

8. Orang yang Kerasukan Setan: Orang yang mengadu nasib dengan menggunakan cara-cara takhayul-khurafat.

9. Orang yang Kerasukan Setan: Orang yang suka bermusuhan.

10. Orang yang Kerasukan Setan:  Orang yang pemarah.

11. Orang yang Kerasukan Setan: Orang yang boros dalam membelanjakan hartanya.

Memang, orang yang sedang durhaka kepada Allah, kalau belum menjadi setan, maka sebenarnya dia adalah orang yang sedang “kemasukan” setan dan dibina menjadi pembantunya untuk menggoda manusia agar menyimpang dari ajaran yang benar. []

Sumber: Setan pun Hafal Al-Quran dan Pandai Meruqyah/Karya: Dr. Saiful Islam Mubarak/Penerbit: Khazanah Intelektual

Kehilangan Uang yang Bikin Ketagihan…

JUDUL di atas memang tidak berlebihan. Ceritanya begini. Dulu, saya dulu pernah kehilangan dompet yang tertinggal di mobil.

Mobil ini terparkir di samping sebuah masjid di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Sementara dompet itu berisi uang Rp 2 juta dan kartu-kartu penting lainnya. Setelah dicari-cari, bertanya ke sana ke mari, tak ada kabar tentangnya.

Maka saya berdoa dengan redaksi yang saya buat sendiri. Doa itu selalu saya ulang-ulang dalam shalat dan di luar shalat. Begini bunyinya:

اللهم رده إلي ردا سليما كاملا

“Ya Allah, kembalikanlah dompet itu kepadaku dalam keadaan selamat dan sempurna.”

Selamat, maksudnya; tidak ada kartu-kartu penting yang hilang.

Sempurna, maksudnya: uang sebanyak Rp 2 juta tetap aman, tak terkurangi sedikitpun.

Bagi sebagian orang, uang segitu mungkin tidak seberapa. Tapi bagi seorang guru ngaji, misalnya, jumlah itu bisa terbilang banyak.

Beberapa pekan kemudian, ada yang menginformasikan bahwa dompet saya ada yang mengantarkan ke kantor STIS Hidayatullah. Ini perguruan tinggi tempat saya mengajar, terletak di Kelurahan Teritip, Kecamatan Balikpapan Timur.

Konon dompet itu di temukan di Manggar, kelurahan yang terletak sekitar 5 kilometer dari Teritip. Lalu oleh penemunya diumumkan di Facebook. Bertepatan ada wali murid Pesantren Hidayatullah Balikpapan yang mengenal foto saya yang disebar di FB oleh penemu dompet. Maka, oleh  wali murid yang baik hati itu,  dompet tersebut diantarkan ke Pos Keamanan Pesantren. Selanjutnya petugas keamanan itu mengantarkannya ke kantor STIS Hidayatullah.

Sungguh sebuah kesyukuran tak terhingga. Berpekan-pekan menantinya, akhirnya dompet itu bisa kembali ke tuannya.

“Alhamdulillah!” Saat saya buka dompet itu, semua kartu-kartunya lengkap; KTP, ATM, dan kartu lainnya. Rupanya memang, Allah Subhanahu Wata’ala mengabulkan doa saya: dompet itu kembali kepadaku dalam keadaan selamat.

Tapi bagaimana dengan uang Rp 2 juta di dompet? Rupanya raib tanpa bekas. Saya bergumam; Allah kabulkan bagian doa yang pertama (saliman/selamat), tapi kenapa Allah Subhanahu Wata’ala tidak kabulkan bagian doa yang kedua (kamilan/lengkap isinya)?

Saya merenung dan berusaha berprasangka baik kepada Allah, Tuhan Yang Maha Baik. Barangkali Dia ingin menjadikan uang Rp 2 juta yang hilang itu sebagai tabungan di akhirat. Dan saya akan dipertemukan di sana dengan pelaku pencurian untuk saya ambil pahala shalatnya, pahala ngajinya, pahala shadaqahnya. Amin!

Tapi kemudian saya teringat. Bahwa sejak dompet hilang sampai ditemukan kembali, saya merasakan ada yang aneh dengan rezeki saya. Rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka datang meningkat tajam. Meski belum genap sebulan, kalau ditotal saya mendapat uang lebih dari Rp 2 juta. Agak beda dari biasanya.

Akhirnya, terlintas di benak. Bisa jadi Allah Subhanahu Wata’ala melebihkan pemasukan sebagai bentuk jawaban atas doa: “Ya Allah kembalikan dompet itu secara selamat dan sempurna”. Selamat kartu-kartu di dalamnya. Sempurna isinya, meskipun datang tidak bersama dompet itu.

Alhamdulillah, kode ilahiyah itu menjadikanku semakin yakin bahwa Allah Subhanahu Wata’ala menjawab doa yang selama ini kupanjatkan. Terjawab sempurna. Memuaskan dan tidak mengecewakan. Hanya terkadang kita yang lemah ini kurang cerdas memahami terkabulnya doa itu.

Setelah ini, rasanya makin tambah ketagihan. Ketagihan untuk berdoa apa saja kepada Allah, bukan ketagihan kehilangan uang, hehehe…* (Habib Lukman Hakim Alatas/Dai dan Pengajar di Balikpapan)

HIDAYATULLAH

Serial Fikih Muamalah (Bag. 12): Bolehkah Membuat Syarat Tambahan Saat Melangsungkan Sebuah Akad?

Pada pembahasan sebelumnya, telah kita ketahui bersama beberapa syarat yang harus dipenuhi saat berlangsungnya sebuah akad. Pada pembahasan kali ini, akan kita bahas hakikat syarat tambahan yang terjadi dalam sebuah akad dan bagaimana hukumnya dalam syariat Islam.

Kapan sebuah syarat dikatakan sebagai syarat tambahan?

Syarat tambahan hakikatnya adalah sebuah kewajiban dan kelaziman yang terjadi saat terbentuknya sebuah akad. Di mana syarat ini di luar syarat-syarat asli yang telah kita bahas sebelumnya.

Syekh Musthofa Az-Zarqa’ rahimahullah memberikan pengertian tentang syarat tambahan ini dengan,

“Sebuah kewajiban pada tindakan lisan (akad) yang tidak wajib dipenuhi apabila akadnya dilafalkan secara mutlak (syarat tersebut tidak wajib dipenuhi apabila tidak disebutkan dalam akad).” (Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-Aam, 1: 506)

Ciri-ciri syarat tambahan

Syarat tambahan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Pertama: Ia merupakan kelaziman tambahan di luar kelaziman asli akad.

Jika seseorang mengatakan, “Aku jual mobil ini kepadamu dua ratus juta dengan pembayaran yang bisa dicicil selama setahun, asalkan kamu berikan kepadaku sebuah jaminan.” Lalu, pihak kedua menerimanya, maka akad tersebut terwujud dengan tambahan adanya gadai atau jaminan. Tidak sah akadnya, kecuali dengan terpenuhinya syarat tersebut.

Kedua: Syarat tambahan yang berlangsung dan terjadi saat berlangsungnya sebuah akad, menjadi bagian dari akad tersebut dan diikutkan dalam lafal akadnya.

Ketiga: Sesungguhnya syarat tambahan ini berupa perkara yang akan datang. Sesuatu yang belum terjadi, namun akan terjadi. Maka, tidak termasuk darinya menyaratkan sesuatu yang memang sudah ada di waktu akad, seperti seseorang yang membeli seekor unta sedangkan unta tersebut sedang hamil, kemudian ia menyaratkan agar janinnya tersebut diikutkan dalam pembelian.

Hal semacam ini tidak dianggap sebagai syarat konkret dan nyata, namun merupakan syarat metaforis.

Keempat: Syarat tambahan merupakan sesuatu yang kemungkinan besar akan terjadi, maka syarat yang mustahil terjadi tidak masuk di dalamnya.

Seseorang yang mengatakan, “Aku beli kambing ini darimu dengan syarat ia bisa terbang ke langit.” Maka, syarat semacam ini tidaklah sah karena perkataannya tersebut mengindikasikan ketidaktertarikannya untuk menyelesaikan akad tersebut.

Contoh syarat yang kemungkinan besar bisa terealisasi di masa mendatang adalah seorang calon istri yang menyaratkan agar calon suaminya tidak membawanya pergi dari daerahnya ketika mereka menikah nantinya.

Hukum syarat tambahan pada sebuah akad menurut mazhab Syafi’i

Mazhab Syafii berpendapat bahwa pada asalnya, hukum membuat syarat-syarat tambahan pada sebuah akad adalah terlarang.

Tidak boleh bagi kedua belah pihak untuk membatasi dan mengikat sebuah akad dan kontrak dengan memberikan syarat-syarat tambahan, kecuali jika syarat ini memiliki dalil dari syariat, atau ada kesepakatan dari ulama (ijma’) perihal kebolehannya.

Di antara syarat tambahan yang diperbolehkan:

Pertama: Menyaratkan adanya barang jaminan pada jual beli dengan pembayaran tertunda. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗ

“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283)

Kedua: Syarat jelasnya tempo pembayaran saat melakukan jual beli dengan pembayaran tertunda. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ 

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Ketiga: Syarat membayar utang saat dalam kondisi lapang. Allah Ta’ala berfirman,

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Keempat: Menyaratkan adanya spesifikasi tertentu pada barang yang akan dibeli harus dengan adanya persetujuan dari kedua pihak. Seperti memberikan syarat saat akan membeli seekor kambing dengan spesifikasi kambing tersebut merupakan penghasil susu. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

Kelima: Menyaratkan adanya hak memilih (khiyar) pada sebuah akad.

Sebagaimana perkataan seseorang, “Aku beli mobil ini seharga dua ratus juta dan beri aku waktu tiga hari untuk bisa memilih apakah jadi membelinya atau tidak.” Lalu, pihak yang lainnya menyetujuinya.

Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hibban bin Munqad yang pernah tertipu dalam sebuah jual beli,

إِذَا أَنْتَ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ. ثُمَّ أَنْتَ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَضِيتَ فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا.

“Apabila kamu sedang menjual atau membeli, maka katakanlah, ‘Jangan menipu!’ Jika kamu membeli sesuatu, maka engkau mempunyai hak pilih selama tiga hari. Jika kamu rela, maka ambillah. Akan tetapi, jika tidak, maka kembalikan kepada pemiliknya.”   (HR. Ibnu Majah no. 1921)

Keenam: Seorang pembeli menyaratkan untuk mengambil juga harta hamba sahaya yang sedang dijual atau sebagian hartanya dari pihak penjual saat ia membeli budak tersebut. Hal ini diperbolehkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

ومَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وله مَالٌ، فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ، إلَّا أنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ

“Barangsiapa membeli seorang budak yang memiliki harta, maka harta itu milik penjualnya, kecuali pembeli mensyaratkannya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)

Ketujuh: Seorang pembeli menyaratkan untuk mengambil hasil panen kurma dari pohonnya yang baru saja dikawinkan.

Hukum asalnya, hasil panen dari pohon kurma yang telah dikawinkan tersebut adalah milik penjual. Namun, apabila pembeli menyaratkannya, maka diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلَّذِي بَاعَهَا إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

“Barangsiapa membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka hasilnya bagi orang yang menjualnya, kecuali pembeli mensyaratkannya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)

Kedelapan: Membuat syarat tambahan yang sesuai dengan keadaan akad (kontrak).

Syarat yang bisa menguatkan sebuah akad dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatannya. Seperti menyaratkan adanya persaksian dalam sebuah akad dan menguatkannya dengan ditulis serta hal-hal lainnya yang dibutuhkan dalam sebuah akad.

Kesemuanya itu demi terciptanya kemaslahatan akad dan orang yang melaksanakannya, tanpa adanya pertentangan dengan syariat. Syarat tambahan semacam ini diperbolehkan dengan mengiaskannya kepada syarat-syarat tambahan yang memang sudah ada dalilnya dari syariat kita.

Kesembilan: Menyaratkan dengan sesuatu yang mengandung makna kebaikan.

Contohnya adalah seorang penjual budak yang menyaratkan kepada pembelinya untuk membebaskan budak yang ia beli. Sebagaimana hadis Barirah di mana ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha membelinya sedang pemiliknya menyaratkan agar Barirah dibebaskan, dan hak wala-’nya menjadi hak mereka. (HR. Bukhari no. 456 dan Muslim no. 1504)

Hal semacam ini diperbolehkan karena Islam menjunjung tinggi pembebasan perbudakan dan perbuatan baik, sehingga terbukalah peluang-peluang tersebut. Wallahu a’lam bisshawab

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81710-serial-fikih-muamalah-bag-12-bolehkah-membuat-syarat-tambahan-saat-melangsungkan-sebuah-akad.html

Ekstremis Hindu Mengganggu Shalat Jumat Umat Islam di Kota India

Anggota organisasi ekstremis Hindu Bajrang Dal kembali berulah.  Dikutip 24newshd.tv, hari Jumat (23/12/2022), mereka mengganggu umat Islam yang tengah melaksanakan shalat Jumat yang diadakan di tempat terbuka di sektor 69 Gurugram, memaksa 100 orang yang shalat meninggalkan tempat tersebut.

Dalam sebuah video yang diposting oleh Live Hindustan, seorang anggota organisasi terlihat memberi tahu para jamaah Muslim untuk tidak sholat di ruang terbuka. Pada tahun 2021, administrasi distrik menetapkan enam tempat terbuka untuk shalat di kota.

Polisi mengatakan sekitar 15 anggota Bajrang Dal yang dipimpin oleh kepala keamanan distriknya Amit Hindu mengganggu lebih dari 100 orang yang sedang shalat di sebuah lokasi di tanah Haryana Shahari Vikas Pradhikaran (HSVP) di sektor 69, seperti yang dilaporkan oleh Press Trust of India (PTI) ).

Setelah menerima informasi, tim polisi tiba di lokasi dan menemukan bahwa orang-orang dari komunitas Muslim telah meninggalkan tempat tersebut, kata Umesh Kumar, SHO dari kantor polisi Badshahpur.

Tim meminta anggota Bajrang Dal untuk meninggalkan tempat itu setelah situasi dapat dikendalikan, katanya. “Lokasi tersebut adalah salah satu dari enam lokasi yang ditunjuk (terbuka). Kami belum menerima pengaduan apapun dan jika diterima akan diambil tindakan sesuai hukum,” tambahnya.

Praveen Saini, Koordinator Distrik Bajrang Dal, menuduh Muslim berbohong ketika mengatakan bahwa mereka telah shalat di ruang terbuka selama 15 tahun. “Kepala Menteri sudah jelas mengatakan tidak akan ada shalat di ruang terbuka,” ujarnya.

Pada Desember 2021, Ketua Menteri Haryana Manohar Lal Khattar mengatakan bahwa shalat di ruang terbuka tidak akan ditoleransi dan beberapa situs di Gurugram yang diperuntukkan bagi umat Islam untuk melakukan shalat telah ditarik.  Tahun lalu, ada beberapa laporan tentang kelompok Hindutva yang mengganggu shalat di Gurugram.

Pada 17 Desember 2021, kelompok Hindutva mengganggu shalat di sebuah taman di kawasan Udyog Vihar kota. Video yang dibagikan di media sosial menunjukkan mereka memaksa orang untuk menyanyikan “Bharat Mata ki Jai”.

Pada hari itu, umat Islam menjauh dari lapangan Sektor 37, yang merupakan salah satu tempat yang ditunjuk untuk shalat di Gurugram.  Situs shalat khusus ini telah mengalami beberapa gangguan antara November 2021 dan Desember 2021.

Kelompok Hindutva telah memprotes pada 20 November tahun lalu terhadap umat Islam yang melakukan sholat di lapangan Sektor 37, mengklaim bahwa mereka ingin bermain kriket di sana. Kelompok itu juga mengadakan upacara havan pada 26 November tahun lalu di lokasi itu untuk memperingati serangan teror Mumbai 2008.

Di Sektor 12A, sekelompok orang mencegah shalat pada 7 November 2021 mengklaim bahwa lapangan voli akan didirikan di sana.

Tahun lalu administrasi distrik menetapkan enam lokasi termasuk Atlas Chowk di HSIIDC Ground, Peepal Chowk di Udyog Vihar fase-2, lahan HSVP di Udyog Vihar fase-4, Leisure Valley Ground di Sektor 29, lahan HSVP di Sektor 42 dan lahan HSVP di Sektor 69 untuk menawarkan Namaz oleh komunitas Muslim. 

Amit Hindu, seorang anggota sayap kanan, menuduh para jamaah melanggar batas sabuk hijau di daerah tersebut untuk berdoa.

Situs ini dialokasikan secara sementara untuk shalat. Sekarang, beberapa orang dari distrik dan negara bagian lain juga datang ke sini untuk shalat, katanya. “Kami akan memberikan nota kepada wakil komisaris untuk menghentikan shslat di situs ini,” tambahnya. Pakaian sayap kanan menentang shalat Jumat di ruang terbuka.

Anggota komunitas Muslim di Gurugram mengatakan mereka terpaksa melaksanakan shalat Jumat di tempat umum karena kurangnya masjid di daerah tempat mereka bekerja atau tinggal. Laporan 2018 oleh portal berita Scroll.in mengatakan ada 22 masjid di Gurugram, rumah bagi 1,1 juta warga, menurut sensus 2011, kurang dari 5% dari mereka adalah Muslim.*

HIDAYATULLAH

Shalat Dhuha Sebagai Pembukan Pintu Rezeki dan Keberkahan

KITA sebagai seorang muslim harus memperbanyak istighfar sebagai upaya taubat karena dosa bisa menjadi salah satu penghalang rezeki. Lalu, ada juga amalan yang bisa dilakukan dengan melakukan dua rakaat di pagi hari, yaitu shalat dhuha. Berikut ini penjelasan dari Ustadz Ammi Nur Baits.

Dari Nu’aim bin Hammar Al-Ghathafaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad, 5: 286; Abu Daud, no. 1289; At Tirmidzi, no. 475; Ad Darimi, no. 1451 . Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ‎shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ اكْفِنِى أَوَّلَ النَّهَارِ بِأَرْبَعِ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ بِهِنَّ آخِرَ يَوْمِكَ

“Sesungguhnya Allah berfirman: “Wahai ‎anak adam, laksanakan untukKu 4 rakaat di awal siang, Aku akan cukupi ‎dirimu dengan shalat itu di akhir harimu.” (HR. Ahmad, 4: 153. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih. Perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi kitab shahih kecuali Nu’aim bin Himar termasuk dalam perawi Abu Daud dan An-Nasa’i).‎

Kalau kita lihat maksud hadits dari penjelasan para ulama bahwa Allah akan mencukupinya, tidak ditunjukkan bahwa shalat dhuha jadi pembuka pintu rezeki. Namun tetap setiap amalan shalih memang jadi pembuka pintu rezeki karena amalan shalih adalah bentuk takwa. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Akan tetapi, jika dimaksud dengan dilaksanakannya shalat Dhuha hanya semata-mata untuk menambah rezeki dunia, tanpa ingin pahala atau balasan di sisi Allah, maka akan terancam dengan ayat berikut,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.” (QS. Asy-Syuraa: 20)

Wallahu a’lam bish shawab. []

SUMBER: HIJAZ.ID

Tanpa Disadari Doa Tidak Terkabul karena Salah Makan, Bagaimana Cara Mengatasinya?

Persoalan konsumsi dalam Islam bukan sekedar murni tentang Kesehatan. Umat Islam harus berhati-hati dalam menyeleksi makanan. Jika tidak, di samping mengganggu kesehatan, makanan juga menjadi penyebab terhalangnya doa dan permohonan ke pada Allah.

Dalam sebuah hadist dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi:

Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah”. Apa jawaban Rasulullah SAW, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya.” (HR At-Thabrani).

Makanan memiliki dampak spiritual yang patut diperhatikan. Karena itulah, Islam menganjurkan agar umatnya mengonsumsi barang yang tidak hanya baik tetapi juga halal.

Memakan makanan yang haram merupakan sebuah larangan dalam Islam. Makanan haram dalam pembahasan ini mencakup terhadap dua hal. Pertama, makanan haram li dzati. Kedua, makanan haram li sababi.

Pertama, makanan haram yang secara dzatiyah.

Makanan yang memang secara zatnya telah diharamkan oleh Allah seperti babi atau anjing. Namun terkadang tanpa kita sadari kita telah mengkonsumsi makanan haram tersebut, jadi apa yang harus kita lakukan jika kita sudah terlanjur memakannya dan kemudian menyadarinya ketika kita telah habis menyantapnya?

Dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 173 dijelaskan, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al Baqarah: 173).

Dari surat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan yang hukumnya haram ketika dilakukan karena tidak tahu, tidak sengaja atau karena lupa tidak terhitung sebagai dosa atau bisa dikatakan orang seperti ini tidak dituntut untuk bertaubat.

Rasulullah sendiri juga pernah menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa.” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Hal ini juga berlaku untuk orang yang terpaksa menyantap daging babi atau makanan haram lain karena berbagai alasan, salah satunya karena tak ada makanan lain untuk bertahan hidup. Misalnya seseorang ada dalam keadaan darurat lalu tidak ada makanan lain selain daging babi, maka ia diperbolehkan menyantapnya asalkan tidak berlebihan.

Tidak ada kewajiban apapun baginya, selama ia memakannya karena tidak tahu sedikit pun. Yang perlu ia lakukan adalah berkumur-kumur dan mencuci mulutnya dari sisa-sisa najis (daging babi) dan mencuci tangannya. Namun jika memakannya pada waktu yang sudah berlalu lama, apa yang perlu dilakukan? Jawabnya: tidak perlu melakukan apa-apa.

Kedua, makanan yang secara dzatiyah dihalalkan oleh syara’.

Zat yang terkandung di dalamnya adalah halal namun cara mendapatkannya dengan cara yang haram, ia berubah status menjadi haram, seperti daging sapi hasil curian, membeli makanan dengan uang yang haram.

Allah menegaskan dalam salah satu firman-Nya, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188).

Hal pertama yang harus dilakukan bagi orang yang pernah mengonsumsi makanan haram adalah bertaubat. Syarat-syarat bertaubat secara lugas dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah berikut:

  1. Menyudahi perbuatan dosa saat itu juga
  2. Menyesalinya
  3. Bertekad untuk tidak mengulanginya lagi
  4. Mengembalikan hak orang lain yang dizalimi, meminta maaf, atau meminta pembebasan tanggungan akibat kezaliman itu.

Poin nomor pertama hingga ketiga berlaku untuk kasus dosa atau maksiat yang berhubungan dengan Allah, sedangkan poin keempat adalah syarat tambahan ketika doa tersebut berhubungan dengan relasi antarmanusia, yakni dalam menyelesaikan urusan sosialnya haruslah mengganti makanan yang telah dikonsumsi, meminta maaf, serta meminta kerelaan pada pemilik makanan.

Wallahu a’lam

ISLAM KAFFAH

Pemilik Rumah Termahal di Palestina Abdul Raouf Al-Muhtaseb Meninggal Dunia

Warga Palestina Abdul Raouf Al-Muhtaseb (Abdurrauf Al-Muhtasib) meninggal di Hebron pada usia 61 tahun. Abdul Raouf adalah warga Palestina yang menolak menjual rumah dan tokonya kepada pemukim dan otoritas penjajah ‘Israel’ seharga 100 juta dolar AS (setara Rp 1,6 T).

Abdul Raouf meninggal dunia pada hari Kamis (22/12/2022), di rumahnya di Kota Tua Hebron akibat serangan jantung. “Abdul Raouf Al-Muhtaseb, jamaah tetap Masjid Ibrahimi, meninggal dunia hari ini. Dia terkenal karena menolak uang jutaan dolar untuk melepas rumahnya di Hebron yang diduduki (‘Israel’),” demikian tulis CJ Werleman, jurnalis, dan komentator politik, yang mendedikasikan karir jurnalistiknya untuk mengungkap diskriminasi dan ketidakadilan terhadap komunitas Muslim di seluruh dunia melalui akun twitternya.

Sebagaimana diketahui, rumah Abdul Raouf Al-Muhtaseb berhadapan langsung dengan Masjid Ibrahimi, di pusat lingkungan lama Al-Sahla, Hebron, lapor Arabi 21. Dikutip media Albawaba edisi Bahasa Arab, selama hidupnya, Abdul Raouf mengalami intimidasi oleh pemukim haram Yahudi agar melepaskan rumah dan tanahnya.

Namun selama selama 40 tahun ia mengaku tetap teguh mempertahankan setiap jengkal tanahnya agar tidah jatuh ke tangan Yahudi meskipun mereka telah menggunakan semua metode intimidasi dan penindasan didukung pasukan penjajah ‘Israel’, kata media itu.

Al-Mohtaseb telah menolak semua tawaran ‘Israel’ sebelumnya yang dibuat untuk membeli rumah dan tokonya, yang menghadap Masjid Ibrahimi di kota tua Al-Quds.

Dalam sebuah media, ia pernah mengungkapkan, bahwa penawaran dimulai dari harga 6 juta USD, kemudia naik menjadi 40 juta USD dan akhirnya mencapai 100 juta USD. Meski demikian, ia mengaku tak akan pernah mengubah pendiriannya untuk melepaskan dan akan tetap menjadi penjaga Masjid Ibrahimi.

“Saya menolak tawaran ‘Israel’ sebesar 100 juta dolar. Bahkan saya akan menolak seluruh uang di bumi. Saya tidak akan mengkhianati tanah atau rakyat saya,” kata Al-Mohtaseb.

Ia pernah bercerita, seorang pemukim haram ‘Israel’ juga pernah menawarkan fasilitas gratis agar Al-Mohtaseb dan keluarganya bisa memilih pindah ke Australia atau Kanada untuk menjalani kehidupan baru dan memulai bisnis baru, ia menolak mentah-mentah tawaran itu.

Al-Mohtaseb mengatakan, semakin tinggi Yahudi menaikkan tawaran untuk rumahnya, cintanya kepada Palestina justru semakin meningkat. Al-Mohtaseb mengatakan ia memiliki 20 cucu yang diharapkan akan menghabiskan hidup mereka di Hebron.

“Saya menghabiskan masa kecil saya di sini, tetapi cucu saya kehilangan ini. Saya tidak mau,” keluhnya.

Dalam sebuah wawancara dengan media Al-Mohtaseb juga menjelaskan penderitaan warga Palestina di Hebron karena ulah pendudukan ‘Israel’. “Suatu kali, saya melakukan perjalanan ke Yordania, tetapi saya merasa tidak betah. Akhirnya saya memutuskan segera pulang ke Hebron, walaupun hidup di penjara yang nyata.”

Suatu ketika, seorang pemukim Isral bernama Boaz mendatangi dan menawari 30 juta USD (sekitar 470 Miliar) untuk membeli rumahnya. Al-Mohtaseb mengajak Boaz ke sudut rumahnya dan menunjuk ke sebuah batu bata.

“Batu bata manakah yang kamu berani bayar 30 juta USD?” Boaz menjawab: “Saya ingin membeli seluruh rumah.” Lalu Al-Mohtaseb menjawab: “30 juta USD tidak cukup untuk satu bata saja.”

Ia juga mengatakan, semakin mereka (Yahudi) menaikkan harga jual, ia semakin mencintai rumah dan tanahnya, meski di bawah penjajahan. “Semakin mereka menaikkan harga, semakin saya menempel di tanah saya dan menyukainya,” katanya.*

HIDAYATULLAH

Warganet Tagih Sertifikat Halal Produk China Mixue, Ini Syarat Kehalalan Es Krim

Semakin menjamurnya toko es krim Mixue di berbagai kota kembali menimbulkan pertanyaan tentang status halal produk tersebut. Hal ini terlihat kolom komentar di unggahan terakhir akun Instagram @mixueindonesia.

Pada unggahan terakhir itu, tertanggal 27 Juli 2022, Mixue mengakui bahwa produknya belum memiliki sertifikat Halal. Meski menyatakan bahwa pihaknya sudah mengurus sertifikat halal sejak awal 2021, namun hingga kini proses tersebut belum selesai.

Ketika itu, perusahaan asal China itu menyebut ada 3 hal yang menyebabkan proses sertifikasi lama tapi belum selesai.

Mulai dari bahan baku Mixue yang 90% diimpor dari China, sumber bahan baku yang tidak terpusat di satu kota hingga adanya pandemi Covid dan lockdown.

Banyak netizen yang menagih status kehalalan es krim Mixue yang perusahaannya telah berdiri sejak 1997.

Aisha Maharani, pendiri Halal Corner, menyebut ada beberapa bahan yang perlu diperhatikan dalam kehalalan es krim.

Yang pertama, lemak susu. Enzim yang digunakan terkadang berasal dari babi atau sapi yang penyembelihannya tidak syar’i.

Kedua, pemanis yang sumbernya mungkin berasal dari hewan yang penyembelihannya tidak syar’i.

Ketiga, stabilizer yang biasanya menggunakan gelatin. Sehingga perlu dipastikan tidak menggunakan gelatin babi.

Keempat, emulsfier. Bahan yang berasal dari hewan ini juga perlu dipastikan berasal dari lemak nabati atau hewan halal yang disembelih dengan benar.

Kelima, perisa. Terkadang sumbernya turunan lemak dari sumber yang haram.

Keenam, pewarna yang mengandung gelatin, pastikan bukan dari yang non-halal. Serta topping dan isian.

Menurut Aisha, perusahaan Mixue pusat bernama Daka International Food Co.,Ltd sebenarnya sudah mengadakan kontrak kerjasama dengan Shanghai Al Amin Consultant Co., Ltd untuk layanan konsultasi halal di China.

Pada April 2022, perusahaan pusat Mixue sudah terdaftar di LPPOM MUI untuk bahan baku saja dan pada Mei 2022 sudah mengajukan permohonan ke BPJPH atas nama PT. Zhiseng Pacific namun belum mengirimkan kelengkapan dokumen.

Pada kesimpulannya, menurut Aisha, es krim Mixue sampai saat ini belum termasuk dalam daftar produk bersertifikat halal dan belum diketahui perkembangan terbarunya hingga kini.

Sementara, proses pengajuan sertifikat halal di dua negara dilakukan dengan perusahaan yang berbeda membuat proses sertifikasi halal belum selesai.*

HIDAYATULLAH

Hidup adalah Ibadah

Sebelum dilahirkan ke dunia, manusia membuat perjanjian dengan Allah SWT yang menciptakannya bahwa ia akan hidup di dunia dan mengabdi kepada-Nya. Ia bersedia memegang amanah sebagai khalifah di muka bumi. Namun, banyak manusia yang lupa akan ikrar tersebut dan berjalan jauh dari tuntunan-Nya. Padahal, Allah SWT telah mengingatkan manusia dalam Alquran mengenai tujuan penciptaan manusia. ”Dan, aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Aldzariyat [51]: 56).

Apakah itu berarti kita harus beribadah sepanjang hari, sepanjang waktu, setiap detik yang kita lalui? Ya, tentu saja. Karena, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kita kelak. Demikian berharganya waktu, Allah SWT pun bersumpah demi waktu. ”Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh serta nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al Ashr [103]: 1-3).

Meski begitu, tidak berarti kita harus shalat terus-menerus sepanjang waktu, puasa tanpa berbuka, atau membaca dan menghapal Alquran sepanjang hari atau beribadah ritual lainnya setiap saat. Karena, ibadah tak hanya diartikan sebagai kegiatan ritual semata, tapi juga kegiatan sosial dan muamalah. Kita bekerja, berdagang, belajar, memasak, mencuci piring, bahkan mandi setiap hari juga sebagai ibadah jika memang diniatkan demikian. Bukankah segala perbuatan akan dinilai oleh Allah SWT bergantung pada niatnya?

Mengapa kegiatan-kegiatan yang berorientasi kehidupan dunia disebut ibadah? Karena, demikianlah Allah memerintahkan, hidup manusia haruslah seimbang. Allah menciptakan siang untuk bekerja dan malam untuk beristirahat. Allah juga menyuruh manusia untuk menikah dan berketurunan. Dia memberikan tuntunan bagi manusia untuk bermuamalah dengan sesama manusia, baik orang tua, anak, tetangga, maupun fakir miskin. Semua tuntunan itu sudah lengkap dalam Alquran.

Karena itu, umat Islam hendaknya senantiasa menyelaraskan kehidupan duniawinya dengan kebutuhan hidup akhiratnya agar ia menjadi orang yang beruntung. Tak hanya di dunia, tetapi yang lebih penting lagi kelak di kampung akhirat, tempat kembali yang kekal bagi setiap manusia. Wallahu alam bishawab. 

Oleh: Arbaiyah Satriani

IHRAM

Sebab Dajjal Tidak Disebutkan dalam Al-Quran

DALAM bahasa Arab, istilah dajjal lazim digunakan untuk menyebut “nabi palsu”. Namun, istilah ad-Dajjal, yang dimaksudkan di sini merujuk pada sosok “pembohong” yang muncul menjelang dunia berakhir atau kiamat.

Sosok ini juga disebut sebagai al-Masih ad-Dajjal; yang dimaksudkan di sini adalah “Al-Masih Palsu”. Menurut beberapa sumber, istilah ini berasal dari istilah Syria, yakni Meshiha Deghala yang telah menjadi kosakata umum di Timur Tengah selama lebih dari 400 tahun sebelum al-Qur’an diturunkan.

Dalam kamus Lisân al-‘Arab, dikemukakan bahwa Dajjal berasal dari kata dajala, artinya menutupi. Mengapa dikatakan menutupi? Karena ia adalah pembohong yang akan menutupi segala kebenaran dengan kebohongan dan kepalsuannya.

Dikatakan “menutupi” karena Dajjal kelak akan menutupi bumi dengan jumlah pengikutnya yang sangat banyak. Ada juga yang berpendapat bahwa Dajjal kelak akan menutupi manusia dengan kekafiran atau ingkar terhadap kebenaran yang datangnya dari Allah Swt.

Menurut Al-Quran

Lalu, siapakah sesungguhnya Dajjal menurut rujukan utama dan pertama kita dalam menggali berbagai informasi, utamanya berkaitan dengan agama, yakni al-Qur’an al-Karim? Sayangnya, kata Dajjal ini tidak disebut secara langsung di dalam al-Qur’an. Namun, sumber kedua kita, yakni hadits Nabi Muhammad ﷺ  banyak menginformasikan tentang Dajjal ini.

Mengapa Dajjal tidak disebut secara langsung di dalam al-Qur’an? Pertanyaan ini perlu kita jawab terlebih dahulu sebelum menelusuri informasi tentang Dajjal dari hadits Nabi ﷺ. Jawaban yang sesungguhnya, sudah barang tentu, hanya Allah SWT. Yang Maha Mengetahui. Namun, para ulama memberikan pendapat mengenai hal ini.

Penyebutan Dajjal di dalam al-Qur’an sudah termasuk dalam kandungan ayat sebagai berikut:

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya Kami pun menunggu (pula).” (QS al-An’âm [6]: 158).

Dalam surat al-An’âm ayat 158 di atas disebutkan “tanda-tanda atau ayat Tuhanmu”, yang dimaksudkan adalah tanda-tanda kiamat, dalam hal ini adalah munculnya Dajjal. Sebab, disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Tiga hal apabila telah muncul (terjadi) maka tiada bermanfaat lagi sebuah keimanan bagi seorang yang belum beriman (sebelumnya): Dajjal, dâbbah, dan terbitnya matahari dari arah barat.”

Sesungguhnya al-Qur-an tidak menyebutkan Dajjal secara jelas sebagai pelecehen terhadapnya karena dia telah mengaku sebagai tuhan padahal dia adalah manusia, di mana keadaan sangat bertentangan dengan kemuliaan Rabb, keagungan, kesempurnaan, dan kesuciaan-Nya dari segala kekurangan. Karena Dajjal sangat hina di sisi Allah dan sangat kecil sehingga tidak pantas untuk disebutkan (di dalam al-Qur-an).

Walaupun demikian, para Nabi memberikan peringatan akan kedatangannya, menjelaskan bahaya fitnahnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Sesungguhnya setiap Nabi telah memberikan peringatan akan (kemunculannya) dan memberikan peringatan terhadap fitnahnya.

Jika ada bantahan (terhadap ungkapan tersebut) dengan pernyataan bahwa al-Qur-an pun telah menyebutkan Fir’aun padahal dia telah mengaku sebagai tuhan yang disembah, maka jawabannya bahwa masalah Fir’aun telah berlalu dan selesai, hal ini disebutkan sebagai peringatan dan pelajaran bagi manusia setelahnya. Namun, Dajjal akan hidup di akhir zaman dan akan menjadi ujian bagi umat manusia.

Adapun masalah Dajjal, maka sesungguhnya ia akan terjadi pada akhir zaman. Tidak disebutkannya hal ini dalam al-Qur-an sebagai cobaan bagi manusia, padahal pengakuannya sebagai tuhan lebih jelas, sehingga tidak perlu diberikan perhatian atas kebathilannya karena Dajjal sangat nampak kekurangannya, jelas keburukannya, dan kerendahannya lebih jelas daripada pengakuan yang diserukannya.

Maka Allah tidak mengungkapkannya (di dalam al-Qur-an), karena Allah Ta’ala mengetahui dari para hamba-Nya yang beriman bahwa hal seperti ini tidak samar bagi mereka, dan tidak menambah mereka kecuali keimanan dan rasa berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang dikata-kan oleh si pemuda yang dibunuh oleh Dajjal, “Demi Allah, sungguh aku lebih yakin kepadamu pada hari ini bahwa engkau adalah Dajjal,” Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab La Yadkhulud Dajjal al-Madinah (XIII/101, al-Fat-h).

Ibnu Hajar rahimahullah mengungkapkan bahwa pertanyaan mengenai tidak adanya penyebutan secara jelas tentang Dajjal di dalam al-Qur-an senantiasa ada, karena sesungguhnya Allah Ta’ala menyebutkan Ya’-juj dan Ma’-juj di dalam al-Qur-an, sedangkan fitnah mereka dekat dengan fitnah Dajjal.” Fat-hul Baari (XIII/91-92, al-Fat-h).

Demikianlah di antara jawaban dari para ulama tentang tidak disebutkannya Dajjal secara langsung di dalam al-Qur’an. []

ISLAMPOS