Kisah Pertobatan Pecuri Karena Menerima Sedekah di Zaman Nabi

Suatu ketika, dan seperti biasanya, Baginda Rasulullah SAW berbincang-bincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Setelah berbincang dengan mereka, beliau berkata kepada mereka:

“Suatu saat ada seorang pria berkata kepada dirinya sendiri, ‘Malam ini aku akan bersedekah!”. Dan benar saja, malam itu juga dia memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata, perempuan itu seorang pezina. Sehingga, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai.

Akhirnya, pria itu mengetahui tentang wanita itu yang ternyata adalah seorang pezina. Mendengar kabar yang demikian, pria itu bergumam, “Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!”.

Kemudian, pria itu mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah seorang yang kaya raya. Sehingga, lagi dan lagi membuat kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, pria itu lalu mengetahui bahwa orang tadi merupakan orang yang kaya.

Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam, “Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!”.

Akhirnya kali ini mencoba kembali mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah dengan cermat dan teliti. Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri. Tak lama berselang, kejadian itupun menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu diketahui oleh sang pria bahwa yang menerima sedekahnya adalah seorang pencuri.

Akhirnya pria itu pun mengeluh dan berkata, “Ya Allah! Segala puji ha­nya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!,”.

Pria itu kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, “Sedekahmu telah diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu. Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia menyedekahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas menerima sedekah itu,”.

BWI

Kisah Sedekah Ini! Bikin Rasulullah Teteskan Airmata

Kisah berikut diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Jabir radhiyallahu anhu. Suatu hari, kaum Muslimin sedang duduk-duduk di dekat masjid di Madinah. Dari kejauhan, tampak segerombolan orang sedang berjalan kaki. Mereka berpakaian compang-camping. Terlihat dari wajah mereka kelelahan dan kemiskinan yang mendera.

Rasulullah SAW ikut menyaksikan pemandangan ini. Wajah beliau bersedih. Kemudian, beliau masuk ke dalam rumah dan keluar kembali. Nabi SAW lantas menyuruh Bilal untuk mengumandangkan azan dan qamat. Selanjutnya, shalat pun digelar dengan dipimpin beliau.

Selesai shalat, Rasulullah SAW berpidato di hadapan jamaah, “Wahai sekalian manusia, hendaklah setiap orang menyedekahkan sebagian dari dinarnya, sebagian dari dirhamnya, sebagian dari pakaiannya, segantang dari gandumnya, dari segantang kurmanya. Bersedekahlah biarpun hanya dengan sekeping kurma!”

Pidato Nabi SAW amat menyentuh hati kaum Muslimin. Satu per satu mereka pulang ke rumah untuk kemudian kembali lagi dengan membawa harta sedekah.

Seorang laki-laki dari golongan Anshar membawa sebuah pundi yang hampir-hampir tangannya tidak kuat membawanya. Ada pula orang-orang yang membawa berlapis-lapis pakaian serta makanan.

Jabir melihat dua tumpukan dari sedekah itu yang terdiri atas makanan dan pakaian. Tak menunggu waktu lama, terkumpulah uang dalam jumlah yang banyak sekali.

“Kulihat wajah Rasulullah berseri-seri bagaikan sesuatu bersepuh emas layaknya,” kenang Jabir.

Nabi SAW lantas memanggil perwakilan kelompok kafilah miskin tadi. Sambil menyerahkan bantuan yang terkumpul itu, beliau bersabda, “Barangsiapa membuat suatu aturan yang baik, maka baginya pahala ditambah dengan pahala orang-orang yang menjalankan aturan itu di belakangnya, dengan tidak dikurangi sedikit pun dari pahala mereka”

Dalam hal ini, Nabi SAW membicarakan orang yang pertama kali merespons seruannya agar bersedekah. Sebab, dengan melihat inisiatif orang itu, banyak Muslimin yang tergerak untuk ikut bersedekah.

Bagi orang yang pertama kali itu akan mendapatkan pahala berlipat dengan tanpa mengurangi pahala orang-orang yang tergerak karenanya.

BWI

Berdusta atas Nama Allah dan Rasulullah

Pada zaman dulu, banyak dijumpai hadis-hadis palsu atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Sejumlah ulama berpendapat bahwa hukum sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dengan membuat hadis palsu adalah kafir yang mengeluarkannya dari Islam. Tidak diragukan lagi bahwa sengaja bedusta atas nama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal adalah murni kekafiran.

Diriwayatkan dari Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

”Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidak sama dengan berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka persiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3)

Maksud hadis ini adalah barangsiapa yang berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sengaja, maka dia telah menyiapkan tempat tinggal (tempat duduk) di dalam neraka dan dia akan tinggal di tempat yang telah dipersiapkannya tersebut.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

”Barangsiapa meriwayatkan suatu hadis dan dia beranggapan (berprasangka) bahwa hadis tersebut adalah hadis palsu, maka dia adalah salah satu dari dua pendusta.” (HR. Muslim no. 4, Tirmidzi no. 2664, dan Ibnu Majah no. 38)

Hadis di atas menunjukkan terlarangnya seseorang untuk meriwayatkan hadis ketika di dalam hatinya timbul prasangka apakah hadis tersebut adalah hadis palsu ataukah tidak. Jika meriwayatkan hadis yang statusnya meragukan saja tidak boleh, lalu bagaimana lagi dengan orang yang sudah mengetahui dengan jelas bahwa status suatu hadis adalah palsu, kemudian dia ceritakan (sebarkan) tanpa menjelaskan bahwa hadis tersebut palsu?

Orang yang meriwayatkan atau menceritakan suatu hadis, padahal di dalam hatinya timbul prasangka apakah status hadis tersebut palsu ataukah tidak, maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam katakan bahwa dia adalah salah satu dari dua pendusta. Pendusta yang pertama adalah mereka yang membuat hadis palsu. Sedangkan pendusta kedua adalah dirinya sendiri yang tetap menceritakan suatu hadis, padahal dia memiliki prasangka bahwa hadis tersebut adalah hadis palsu.

BACA JUGA: Bangga Dengan Suatu Yang Tak Dimiliki, Bagai Memakai Dua Baju Kedustaan

Berdusta atas nama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam adalah bentuk kedustaan yang paling besar. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

”Maka, siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta atas nama Allah sehingga menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-An ‘am: 144)

Dalam bahasa Arab, huruf lam pada kalimat لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ adalah ”lam aqibah”, dan bukan ”lam ta’lil”. Jika ”lam” pada ayat tersebut adalah ”lam ta’lil”, maka makna ayat menjadi, ”orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah karena ingin menyesatkan manusia.” Jika dimaknai semacam ini, maka konsekuensinya adalah seseorang boleh berdusta atas nama Allah Ta’ala selama tidak bertujuan untuk menyesatkan manusia. Hal ini karena berdusta atas nama Allah Ta’ala yang dilarang adalah berdusta atas nama Allah dengan tujuan untuk menyesatkan manusia. Sebagai contoh jika membuat hadis palsu dengan tujuan menyemangati orang beribadah, maka hal itu tidak mengapa.

Padahal, makna yang benar bukanlah demikian. Huruf lam pada kalimat لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ adalah ”lam aqibah”, yang menunjukkan akibat dari suatu perbuatan. Oleh karena itu, makna yang tepat dari ayat tersebut adalah bahwa akibat dari kedustaan-Nya tersebut kepada Allah Ta’ala itulah yang menyebabkan manusia tersesat.

Berdusta atas nama Allah Ta’ala dapat dibagi ke dalam dua kelompok:

Pertama, mengatakan bahwa Allah Ta’ala berfirman demikian dan demikian, padahal Allah Ta’ala tidak berfirman seperti yang dia katakan.

Kedua, menafsirkan firman Allah Ta’ala dengan seenaknya, berbeda dengan yang Allah Ta’ala kehendaki. Namun, jika seseorang menafsirkan bahwa makna ayat ini adalah demikian dan demikian, padahal makna dari ayat tersebut tidak seperti yang dikatakannya, maka kedustaan jenis kedua ini perlu dirinci.

Rincian pertama, jika dia keliru (salah paham) dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an disebabkan karena kesalahan dalam ijtihad, maka hal ini dimaafkan. Hal ini karena Allah Ta’ala tidak membuat kesempitan dalam agama. Itulah kemampuan maksimal orang tersebut dan Allah Ta’ala tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya.

Rincian kedua, jika dia keliru dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an disebabkan faktor kesengajaan, yaitu karena mengikuti hawa nafsu atau karena ingin menyenangkan suatu kelompok tertentu, maka dia dikatakan telah berdusta atas nama Allah Ta’ala.

Demikian pula, berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dapat dibagi ke dalam dua kelompok,

Pertama, mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian dan demikian, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah bersabda seperti yang diucapkannya.

Kedua, menafsirkan hadis berbeda dengan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kehendaki.

Kelompok yang sangat layak dimasukkan ke dalam dusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jenis kedua adalah kelompok syi’ah rafidhah. Syi’ah rafidhah merupakan  kelompok sesat yang paling banyak membuat hadis palsu. Para ulama ahli hadis menegaskan bahwa tidak ada kelompok sesat yang membuat hadis palsu sebanyak yang dibuat oleh syi’ah rafidhah. Hal ini dapat kita ketahui dengan meneliti dan mengkaji buku-buku karya para tokoh syi’ah rafidhah.

Termasuk berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seseorang yang mengatakan bahwa ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah demikian dan demikian. Padahal, yang diucapkannya itu sama sekali bukan termasuk ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81719-berdusta-atas-nama-allah-dan-rasulullah.html

Tafsir Surat Al-Baqarah: Tidak Ada Paksaan dalam Islam

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat, inilah tafsir Surat Al-Baqarah 256

ISLAM adalah agama yang sangat toleran, tidak memaksakan orang agar masuk ke dalamnya. Hal ini bahkan telah dijamin langsung oleh Allah Subhanahu Wata’ala dakan Surat Al-Baqarah ayat 256.

Di bawah ini tafsir Surat Al-Baqarah ayat 256 tentang tidak bolehnya memaksa dalam beragama dan berislam;

لَاۤ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ ۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِا لطَّا غُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِۢا للّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِا لْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَا مَ لَهَا ۗ وَا للّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS: Al-Baqarah[2]: 256)

Tidak ada paksaan dalam agama. Maksudnya tidak boleh memaksa seseorang untuk masuk kedalam agama Islam. Bukti dalam dalil tentang kebenaran Islam sangat jelas dan gamblang.

Tetapi barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah dan dilapangkan dadanya oleh Allah, maka dia akan memeluk dan masuk ke dalam Islam dengan kesadarannya sendiri. Sebaliknya barang siapa yang dibutakan hatinya oleh Allah dan dikunci hati, pendengaran, dan pandangannya maka tidak ada manfaat baginya paksaan dan tekanan untuk memeluk Islam.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِ سْلَا مِ ۚ وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ يَجْعَلْ صَدْرَهٗ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَ نَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَآءِ ۗ كَذٰلِكَ يَجْعَلُ اللّٰهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”(QS. Al-An’am [6] : 125)

Surat ini turun berkaitan dengan seorang laki-laki dari kaum Anshar dari Bani Salim yang bernama al-Husain. Ia memiliki dua putra yang memeluk agama Nasrani, sedangkan al-Husain adalah seorang muslim.

Lalu ia berkata kepada Rasulullah ﷺ, “bolehkah saya memaksa kedua putraku untuk memeluk Islam? Karena mereka berdua tidak mau kecuali memeluk agama Nasrani.” Lalu turunlah ayat ini (QS. Al-Baqarah [2] : 256).

Ada riwayat yang mengatakan bahwa ada seorang wanita yang tidak memiliki anak yang hidup (maksudnya setiap ia melahirkan, anaknya selalu mati) lalu ia berjanji bahwa jika memiliki anak yang hidup, maka ia akan menjadikannya seorang yang memeluk agama Yahudi. Lalu ketika Bani Nadhir diusir, diantara mereka terdapat anak-anak sebagian sahabat Anshar. Lalu sahabat Anshar berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami (tetap dalam keadaan memeluk agama Yahudi).” Lalu turunlah ayat ini (QS. Al-Baqarah [2] : 256).

Makna Rusydu

قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

“Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 256)

1. Ada beberapa makna “Ar-Rusydu”

a) Ar-Rusydu arti petunjuk :

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


وَا عْلَمُوْۤا اَنَّ فِيْكُمْ رَسُوْلَ اللّٰهِ ۗ لَوْ يُطِيْعُكُمْ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنَ الْاَ مْرِ لَعَنِتُّمْ وَ لٰـكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ اِلَيْكُمُ الْاِ يْمَا نَ وَزَيَّنَهٗ فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَا لْفُسُوْقَ وَا لْعِصْيَا نَ ۗ اُولٰٓئِكَ هُمُ الرّٰشِدُوْنَ 


“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”  (QS. Al-Hujurat [49] : 7) 

 Di dalam hadits disebutkan, 

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa’  rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Karena setiap perkara yang baru dalam agama itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”  (HR. Abu Dawud, 4607, dan Tirmidzi, 2677)

 
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ وَأَسْأَلُكَ حُسْنَ عِبَادَتِكَ وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا صَادِقًا وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam segala perkara, dan kemauan kuat untuk berbuat sesuatu yang benar, aku memohon kepada-Mu rasa syukur atas nikmat-Mu dan ibadah dengan baik kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu hati yang bersih dan lisan yang jujur. Aku memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau mengetahuinya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang Engkau mengetahuinya. Dan aku memohon ampunan-Mu atas (dosa-dosaku) yang Engkau mengetahuinya, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui yang ghaib.” (Hadits Hasan. (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Hibban Lafadh dari Ahmad)

 b) Ar-Rusydu artinya kemampuan mengatur keuangan (dewasa).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


وَا بْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰۤى اِذَا بَلَغُوا النِّكَا حَ ۚ فَاِ نْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَا دْفَعُوْۤا اِلَيْهِمْ اَمْوَا لَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَاۤ اِسْرَا فًا وَّبِدَا رًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَا نَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَا نَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِا لْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِ ذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَا لَهُمْ فَاَ شْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِا للّٰهِ حَسِيْبًا

“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.” (QS. An-Nisa’ [4] : 6)

c) Ar-Rusydu artinya kebenaran. 

لَاۤ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ ۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

 “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.”  (QS. Al-Baqarah [2] : 256)

 2. Adapun Al-Ghayyu artinya sesat

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


فَاَ كَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْاٰ تُہُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَـنَّةِ ۚ وَعَصٰۤى اٰدَمُ رَبَّهٗ فَغَوٰى

“Lalu keduanya memakannya, lalu tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya, dan sesatlah dia.” (QS: Ta-Ha [20] : 121)

 Maksud dari ayat bahwa “Telah jelas jalan kebenaran yaitu Islam dari jalan yang sesat (salain Islam). Atau bahwa kebenaran ajaran Islam sudah sangat jelas dan gamblang, maka tidak perlu sesuatu dipaksa untuk memeluk Islam.

Mengkuburi Thaghut

فَمَنْ يَّكْفُرْ بِا لطَّا غُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِۢا للّٰهِ

 “Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah [2] : 256)

 1. Thaghut dari thagha  yang berarti segala sesuatu melampaui batas. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


اِنَّا لَمَّا طَغَا الْمَآءُ حَمَلْنٰكُمْ فِى الْجَا رِيَةِ

“Sesungguhnya ketika air naik (sampai ke gunung), Kami membawa (nenek moyang) kamu ke dalam kapal,”(QS. Al-Haqqah [69] : 11)

2. Adapun secara istilah thaghut adalah setiap melampaui batas-batas yang ditetapkan Allah dan melanggar hukum-hukum Nya. Maka thaghut mencakup: setan, dukun, dan para pemimpin kesesatan. Sebagian menegakkan segala sesuatu yang disembah selain Allah dan dia ridha dengannya. 

3. Didalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyebut Thaghut, di antaranya :

a) Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ اُوْتُوْا نَصِيْبًا مِّنَ الْكِتٰبِ يُؤْمِنُوْنَ بِا لْجِبْتِ وَا لطَّا غُوْتِ وَيَقُوْلُوْنَ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا هٰۤؤُلَآ ءِ اَهْدٰى مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا سَبِيْلًا

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Kitab (Taurat)? Mereka percaya kepada Jibt dan Tagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4] : 51)

b) Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَاۤ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَا كَمُوْۤا اِلَى الطَّا غُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْۤا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗ وَيُرِيْدُ الشَّيْـطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًاۢ بَعِيْدًا


“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Tagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Tagut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.”  (QS. An-Nisa’ [4] : 60)

 c) Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَـقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَا جْتَنِبُوا الطَّا غُوْتَ ۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُ ۗ فَسِيْرُوْا فِيْ الْاَ رْضِ فَا نْظُرُوْا كَيْفَ كَا نَ عَا قِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ


“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut”, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di Bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl [16] : 36)

 d) Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

قُلْ هَلْ اُنَـبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِّنْ ذٰلِكَ مَثُوْبَةً عِنْدَ اللّٰهِ ۗ مَنْ لَّعَنَهُ اللّٰهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَا لْخَـنَا زِيْرَ وَعَبَدَ الطَّا غُوْتَ ۗ اُولٰٓئِكَ شَرٌّ مَّكَا نًا وَّاَضَلُّ عَنْ سَوَآءِ السَّبِيْلِ


“Katakanlah (Muhammad), “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Tagut.” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”  (QS. Al-Ma’idah [5] : 60)

4. Ayat di atas menyebutkan: Kabir dengan thaghut dahulu, baru kemudian beriman kepada Allah. Ini seperti kandungan kalimat Tauhid (Lailaha illallahu) menabikan selain Allah sebagai sesembahan, baru kemudia menetapkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan.

 5. Ahli hikmah menyatakan,

التخلى قبل التحلى

 “Mengisingkan sebelum mengisi.”

a) Hati ini bagaikan gelas. Jika gelas sudah terisi dengan air kopi misalnya, maka sebelum diisi dengan air putih air kopi dlam gelas tersebut harus dikosongkan dahulu. Baru kemudian diisi dengan air putih sehingga hasilnya murni tidak ada campuran kopi didalamnya.

b) Begitu juga hati, sebelum diisi dengan kalimat Tauhid (Lailah Illallahu) maka kotoran-kotoran hati dan berhala-berhala yang ada didalam hati harus dikeluarkan. Kemudian diisi dengan kalimat Tauhid, sehingga kalimat tersebut murni tidak tercampur dengan apapun juga.

c) Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْۤا اِيْمَا نَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰٓئِكَ لَهُمُ الْاَ مْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ

 “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.”(QS. Al-An’am [6] : 82)

 Maksudnya iman mereka tidak tercampur dengan syirik maka hati mereka menjadia tenang.

 6. Al-Urwatu Al-Wutsqa

 فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِا لْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَا مَ لَهَا

 “maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al-Baqarah [2] : 256) 

Jika didalam hati seseorang sudah dibersihkan dari thaghut dan diisi dengan kalimat Tauhid maka sungguh dia telah berperang dengan tali yang kuat, dan tidak akan pernah putus selamanya. “Al-‘Urwah Al-Wutsqa” dalam ayat diatas adalah Islam dan imam yang tidak putus hingga akhir hayat.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin ‘Ubadah. Ia mencerikan, sesuatu ketika aku berada dalam masjid, lalu datang seorang yang terpancar kekhusyu’an dari wajahnya. Kemudian orang itu mengerjakan salat dua raka’at secara singkat.

Orang-orang di masjid itu berkata : “Inilah seorang ahli surga.” Ketika orang itu keluar, aku mengikutinya hingga memasuki rumahnya. Maka akupun masuk ke rumahnnya bersamanya. Selanjutnya aku ajak ia berbicara, dan setelah sedikit akrab aku pun berkata kepadanya : “Sesungguhnya ketika engkau masuk masjid, orang-orang berkata ini dan itu.” Ia berkata : “Subhanallah, tidak seharusnya seseorng mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Akan aku ceritakan kepadamu mengapa aku demikian. : ‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah ﷺ, aku bermimpi dan mimpi itu pun kuceritankan kepada beliau. Aku pernah bermimpi seolah-olah berada di sebuah taman yang sangat hijau.’ Ibnu ‘Aun mengatakan : ‘Orang itu menyebutkan warna hijau dan keluasan taman itu.’ Ditengah-tengah taman itu terdapat tiang besi yang bagian bawahnya berada dibumi dan yang bagian atas berada dilangit. Diatasnya terdapat tali dikatakan kepadaku : ‘Naiklah keatasnya.’ ‘Aku tidak sanggup.’ Jawabku. Kemudian datang seorang pelayan kepadaku. Ibnu ‘Aun mengatakan : ‘Yaitu seorang peyalan muda, lalu ia menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata “Naiklah”. Maka aku pun menaikinya hingga aku berpegangan pada tali itu.’ Ia berkata : ‘Berpegang teguhlah pada tali itu!’ setelah itu aku bangun tidur dan tali itu berada di tangangku. Selanjutnya aku menemui Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan kuceritakan semuanya itu kepada beliau, maka beliau bersabda : ‘Taman itu adalah taman Islam, tiang itu adalah tiang Islam, sedangkan tali itu adalah tali yang sangat kuat. Engkau akan memeluk Islam sampai mati.’”

Imam Ahmad mengatakan : “Ia adalah ‘Abdullah bin Salam’ ” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 

7. Allah pemimpin orang beriman

اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ۗ وَا لَّذِيْنَ كَفَرُوْۤا اَوْلِيٰۤــئُهُمُ الطَّا غُوْتُ ۙ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِ ۗ اُولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّا رِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

“Allah Pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 257)

 (Wali) di sini artinya penolong atau pemimpin. Jadi Allah adalah penolong dan pemimpin orang-orang beriman. Ini seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ذٰلِكَ بِاَ نَّ اللّٰهَ مَوْلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاَ نَّ الْكٰفِرِيْنَ لَا مَوْلٰى لَهُمْ

“Yang demikian itu karena Allah Pelindung bagi orang-orang yang beriman sedang orang-orang kafir tidak ada pelindung bagi mereka.” (QS. Muhammad [47] : 11)

Juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَا لَّذِيْنَ اٰمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَهُمْ رَا كِعُوْنَ

“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah).” (QS. Al-Ma’idah [5] : 55)

 Firman-Nya الظُّلُمٰتِ artinya kegelapan-kegelapan. Di sini disebut banyak kegelapan sedang النُّوْرِ cahaya disebut satu. Hal itu karena kebatilan sangatlah banyak sedangkan kebenaran hanya satu. Begitu juga sesembahan-sesembahan selain Allah sangat banyak, sedangkan Allah hanya satu.

Agama yang sesat sangat banyak, sedangkan agama yang benar hanya satu yaitu Islam. Walaupun kegelapan sangat banyak maka akan hilang akan datang cahaya walaupun hanya satu malam yang gelab gulita akan sirna jika datang sinar matahari.

Barangsiapa yang masuk Islam dan mendapat hidayah dari Allah berarti Allah telah mengeluarkan dari kegelapan menuju cahaya Islam yang terang benderang. Sebaliknya seseorang yang sudah mendapatkan hidayah Islam kemudian keluar dari Islam berarti telah keluar dari cahaya menuju kegelapan.

Diceritakan bahwa ayat ini turun berkenaan sebagian orang beriman kepada Nabi Isa, tetapi setelah datang Nabi Muhammad ﷺ mereka mengkuburinya.*/Dr Ahmad Zain an-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Pemilihan Kosakata Bahasa Arab untuk Alquran Bukan Kebetulan, Ini Penjelasannya

 Ayat-ayat Alquran tersusun dengan kosa kata bahasa Arab, kecuali beberapa kata yang masuk dalam perbendaharaan akibat akulturasi. 

Pakar Ilmu Tafsir Prof Quraish Shihab dalam buku Mukjizat Alquran mengatakan, bahasa Ajam adalam bahasa selain bahasa Arab dan diartikan juga dengan bahasa Arab yang baik. 

Banyak faktor yang menyebabkan terpilihnya bahasa Arab sebagai wahyu Illahi yang terakhir. 

Faktor-faktor tersebut antara lain berkaitan dengan ciri bahasa Arab dan tujuan penyebaran ajarannya. Adapun ciri bahasa Arab, dia termasuk rumpun bahasa Semit. Sama dengan bahasa Ibrani, Aramaik (Aramea), Suryani, Kaldea, dan Bailonia. 

Kata-kata bahasa Arab pada umumnya mempunyai dasar tiga huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk. Kata ‘qala’ misalnya yang berarti ‘berkata’ terambil dari huruf qaf, wawu, dan lam. Sedangkan kata ‘kalam’ yang berarti ‘pembicaraan’ walaupun terdiri dari empat huruf yakni kaf, lam, alif, dan mim sebenarnya hanya terdiri dari tiga huruf, yakni kecuali alif pada huruf-huruf tersebut. 

Usman bin Jinni (932-1002) yang merupakan pakar bahasa Arab menekankan bahwa pemilihan huruf-huruf kosa kata oleh bahasa Arab bukan suatu kebetulan. 

Melainkan mengandung falsafah bahasa tersendiri. Misalnya dari ketiga huruf yang membentuk kata ‘qala’, dapat dibentuk menjadi enam bentuk kata yang kesemuanya mempunyai makna. 

Namun kesemua makna yang berbeda itu, betapapun ada huruf yang didahulukan atau dibelakangkan, kesemuanya mengandung makna dasar yang menghimpunnya. Maknanya dalam contoh kata tersebut adalah ‘gerakan’. 

Kata ‘qala’ mengisyaratkan gerakan yang mudah dari mulut dan lidah. Karena itu pula huruf pertama yang digunakan haruslah yang bergerak, karena bukankah dia berupaya untuk (berbicara) dalam arti menggerakkan mulut dan lidah dan huruf terakhir dari kata ini haruslah huruf mati (yang tidak bergerak) karena mengakhiri perkataan berarti diam atau tidak bergerak.  /Imas Damayanti  

KHAZANAH REPUBLIKA

Empat Penafsir Alquran Terkemuka

Tekad dan keinginan untuk memahami kandungan Alquran, telah terbentuk sejak lama. Para shahabat, tabi’in maupun murid-murid mereka menjalankan amalan mulia ini dengan tujuan ingin lebih mendekatkan diri dengan Allah SWT, dan tetap berlangsung hingga kini.

Rasulullah SAW merupakan yang pertama kali menerangkan, mengajarkan sekaligus menafsirkan Alquran. Beliau menjadi sumber utama rujukan tafsir, dan menjadi tempat bertanya bagi para shahabat, maupun umat ketika itu.Karena kedekatan mereka dengan Rasulullah, para shahabat pun mengetahui makna, maksud dan rahasia-rahasianya. Mereka terutama Khulafa’ Ar-Rasyidin, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Az-Zubair.

Dari para shahabat inilah, kegiatan kian berkembang, karena sepeninggal Rasulullah, mereka lantas menjadi guru bagi para tabi’in. Sejumlah ahli tafsir pun bermunculan di sejumlah pusat-pusat pendidikan Islam, semisal di Irak, Makkah dan Madinah.

Di antara para ahli tafsir terkemuka, lantas tersebutlah empat yang utama, yang karya-karya kitabnya telah memberikan pengaruh besar hingga kini. Mereka adalah Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (224 – 310 H), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H), Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H) dan Jalal ad-Din al-Mahali.

Tafsir al-Thabari.

Berjumlah 12 jilid, adalah tafsir tertua. Tafsir ini telah menjadi referensi utama bagi para mufassirin terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Penjelasan Rasulullah, pendapat shahabat, dan tabi’in menjadi dasar utama penjabaran, untuk kemudian ulama ini mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam.

Apabila dalam satu ayat, muncul dua pendapat atau lebih, maka akan disebutkan satu persatu lengkap dengan dalil dan riwayat para shahabat dan tabi’in yang mendukung masing-masing pendapat, untuk selanjutkan mentarjih (memilih) mana yang lebih kuat dari sisi dalilnya. Di samping itu, juga dijabarkan harakat akhir, mengistimbat hukum jika ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum.

Tafsir Ibnu Katsir

Imam Asy-Syaukani ra, mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan salah satu kitab tafsir terbaik, jika tidak bisa dikatakan sebagai tafsir terbaik. Sementara Imam As-Suyuthi ra menilai tafsirnya menakjubkan, dan belum ada ulama yang menandinginya.

Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir adalah adalah alumnus akhir madrasah tafsir dengan atsar. Ulama ini juga tercatat salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra (wafat tahun 774 H).Tafsir Alquran Ibnu Katsir terdiri dari 10 jilid. Penafsirkan ayat-ayat Alquran dilakukan dengan sangat teliti, yang menukil perkataan para salafus shaleh.

Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami, menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya.Selain itu, disebutkan pula hadis-hadis yang berhubungan dengan sebuah ayat, serta penafsiran para shahabat dan tabi’in. Beliau juga sering mentarjih di antara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang sahih atau yang dhoif (lemah).

Tafsir Al-Qurtuby

Secara keseluruhan, kitab tafsir ini terdiri dari 11 jilid, lengkap dengan daftar isinya. Menurut beberapa ulama, keistimewaan dari kitab tafsir ini yakni membuang kisah dan sejarah, dan diganti dengan hukum serta istimbat dalil, juga menerangkan qiroat, nasikh dan mansukh.

Gaya penulisannya khas ulama fikih. Beliau banyak menukil tafsir dan hukum dari para ulama salaf, dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Pembahasan suatu permasalahan fiqiyah pun dilakukan dengan sangat detil. Tak hanya itu, al-Qurtuby tidak segan mengadakan riset mendalam untuk memperjelas kata-kata yang dianggap sulit.

Tafsir Al-Jalalain

Merupakan kitab tafsir klasik dari ulama Sunni terkenal. Pertama kali disusun oleh Imam Jalal ad-Din al-Mahali pada tahun 1459, kemudian disempurnakan oleh sang murid, Jalal ad-Din as-Suyuti tahun 1505.Tafsir ini memiliki metode penjelasan yang singkat, merujuk kepada pendapat yang paling kuat, pemaparan i’rab yang dipandang perlu, dan penjelasan singkat terhadap segi qira’at yang diperselisihkan.

Sejumlah ulama terdahulu semisal Sulaeman bin Umar al-Ajiliy al-Syafi’i yang lebih populer dengan sebutan al-Jamal (w. 1204 H), pernah memberikan komentar terhadap tafsir al-Jalalain. Dalam mukadimahnya, al-Jamal menyebutkan bahwa yang ia lakukan terhadap al-Jalalain adalah memperjelas pelik-pelik penafsiran yang masih samar dengan merujuk beragam kitab tafsir dan pemikiran rasional. 

IHRAM

Masjidil Haram Makkah Luncurkan Pelajaran dalam Bahasa China

Masjidil Haram belum lama ini meluncurkan pelajaran agama Islam dalam bahasa China. Departemen penerjemahan Presidensi Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci telah mengawasi penerjemahan tersebut.

Dilansir di Arab News, Senin (26/12/2022), Direktur Departemen Penerjemahan, Saleh Al-Rashedi, mengatakan pelajaran agama Islam sekarang tersedia dalam 14 bahasa. Tujuan dari proyek ini adalah untuk membantu penutur non-Arab yang menghadiri kelas-kelas tersebut di Masjidil Haram.

Al-Rashedi mengatakan bahasa lain yang tersedia adalah Inggris, Urdu, Prancis, Hausa, Turki, Melayu, Indonesia, Tamil, Hindi, Bengali, Persia, Rusia, dan Borneo. Setiap bulannya, lebih dari 7.000 orang menggunakan layanan tersebut, baik melalui terjemahan pelajaran secara simultan atau melalui kutipan yang dipublikasikan di media sosial oleh kepresidenan umum.

Sementara itu, Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi baru-baru ini meluncurkan film pendek berjudul The Journey of a Lifetime. Video ini dimaksudkan mengedukasi jamaah haji tentang manasik acara tahunan tersebut.

Proyek tersebut dilaksanakan di bawah naungan Menteri Haji dan Umrah Tawfiq bin Fawzan Al-Rabiah. Nantinya akan diputar dalam sembilan bahasa, yaitu Arab, Inggris, Urdu, Prancis, Bengali, Farsi, Hausa, Indonesia, dan Turki. Karya tersebut difilmkan di lebih dari 14 lokasi dalam tujuh minggu dengan lebih dari 800 aktor.

Nantinya, film tersebut juga akan ditampilkan oleh maskapai Saudia pada sistem hiburan penerbangannya. Wakil Menteri Layanan Haji Saudi Hisham Saeed menyebut hal ini merupakan bagian dari kesepakatan antara maskapai dan Otoritas Umum Awqaf.

Dia mengatakan isi film tersebut berfokus pada semua ritual yang dilakukan para peziarah sejak mereka meninggalkan rumah. “Selain itu, saluran Haji dan Umrah memberikan fitur tambahan, antara lain Program Panduan Edukasi Haji dan Umrah, yang mencakup 13 panduan yang diluncurkan tahun lalu,” lanjut dia.

Panduan itu memberikan pedoman pendidikan tentang manasik haji dan umroh, mengenakan ihram, serta tempat-tempat arkeologi dan bersejarah di Kerajaan. Sementara pemandu lain akan menjelaskan seputar bagaimana menghabiskan satu hari di Mina dan larangan selama haji.

Film tersebut juga disebut akan menawarkan panduan jamaah tentang ritual wajib, acara dan lokasi, termasuk Hari Arafah, Idul Adha, hari-hari Tashreeq, daerah padat, jam buka Jembatan Jamarat, serta beberapa situs Islam. Proyek pengembangan yang sedang berlangsung, waktu penerbangan dan jadwal Kereta Ekspres Al-Haramain, yang menghubungkan Makkah, Madinah dan Jeddah juga menjadi informasi lain yang tercantum di dalamnya.

IHRAM

Jangan Tinggalkan Salat

Salat merupakan perkara yang agung dan seharusnya menjadi perhatian kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, banyak di antara kaum muslimin yang melalaikannya, dan tidak mempedulikannya sama sekali. Mereka inilah yang telah menyia-nyiakan salat sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an.

Allah Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً

”Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka, mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (QS. Maryam: 59-60)

Dalam ayat di atas, yang dimaksud dengan أَضَاعُوا الصَّلَاةَ (menyia-nyiakan salat) adalah semua bentuk perbuatan yang dinilai menyia-nyiakan salat. Termasuk di antaranya adalah menyia-nyiakan (tidak memperhatikan) syarat sah dan rukun salat, tidak khusyuk dalam salat, atau tidak salat wajib berjemaah di masjid bagi laki-laki tanpa uzur (tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat). Dan di antara bentuk menyia-nyiakan salat yang paling besar adalah tidak mendirikan atau mengerjakan salat.

Surah Maryam ayat 59-60 di atas menjelaskan bahwa salah satu sifat generasi yang jelek adalah menyia-nyiakan salat. Orang yang menyia-nyiakan salat itu bisa disebabkan karena mengikuti syahwat yang terlarang.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang lalai dari ibadah salat bahwa mereka akan ditimpa kecelakaan. Allah Ta’ala berfirman,

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

”Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Terdapat dua bentuk ”lalai” yang berkaitan dengan salat, yaitu:

Pertama, lalai (lupa) ”dalam” salat. Lalai dalam salat ini bukanlah hal yang tercela. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pernah lupa telah mendapatkan berapa rakaat salat. Beliau pun kemudian melengkapi salatnya dan dilanjutkan dengan sujud sahwi.

Kedua, lalai yang tercela adalah lalai ”dari” salat, yaitu semua bentuk kelalaian yang berkaitan dengan ibadah salat. Boleh jadi melalaikan syarat atau rukun salat, melalaikan waktu salat, tidak mengerjakan salat, atau baru mendirikan salat ketika sudah di akhir waktu salat.

Maka, orang yang mengerjakan salat setelah selesai waktunya adalah pelaku dosa besar, sedang yang meninggalkan salat secara total walaupun hanya satu salat saja, baik di dalam waktu atau di luar waktunya, maka dia seperti orang yang berbuat zina dan mencuri. Karena orang yang meninggalkan salat adalah dosa besar. Jika hal ini dilakukan berkali-kali atau dengan kata lain terkadang salat dan terkadang tidak, maka dia termasuk pelaku dosa besar, kecuali jika dia bertobat. Jika terus menerus tidak salat, maka dia termasuk orang yang keji dan celaka dan orang yang melakukan tindak kejahatan.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka (orang-orang kafir) menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Mudatsir: 42-48)

Surah Al-Mudatsir ayat 42-28 di atas menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga terkena kewajiban salat. Maksudnya, jika mati dalam kondisi kafir, mereka akan mendapatkan tambahan hukuman di neraka karena selama di dunia, mereka tidak mengerjakan (mendirikan) salat. Meskipun jika mereka salat dalam kondisi tidak beriman, maka salatnya tidak pernah sah sampai mereka masuk Islam terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mendapatkan tambahan hukuman (azab) karena adanya kewajiban yang tidak mereka kerjakan. Ayat ini digunakan sebagai dalil dari sebagian ulama yang mengafirkan orang yang tidak mengerjakan salat.

Lalu, apa sebab seseorang menyia-nyiakan (meninggalkan) salat? Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ

”Barangsiapa yang tidak menjaga salat, maka dia tidak mendapatkan cahaya, tidak mendapatkan burhan (petunjuk), tidak mendapatkan keselamatan, dan di hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad 2: 169; Ad-Darimi 2: 301, dan lain-lain. Hadis ini dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani)

Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa orang yang tidak menjaga alias menyia-nyiakan salat, akan dikumpulkan bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf. Penyebutan tokoh-tokoh ini merupakan isyarat apakah penyebab seseorang meninggalkan salat. Sebab yang pertama, karena seseorang sibuk dengan hartanya. Qarun adalah simbol orang kafir yang memiliki harta yang melimpah. Sebab yang kedua, karena kekuasaannya. Firaun dan Haman adalah simbol orang kafir yang sangat berkuasa di zamannya. Kemudian sebab yang ketiga adalah karena sibuk dengan harta perdagangan atau perniagaannya. Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan Ubay bin Khalaf sebagai simbol orang kafir yang berprofesi sebagai pedagang.

Salat adalah ibadah yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ

”Hal pertama kali yang dihisab dari seorang hamba di hari kiamat adalah salatnya. Jika salatnya baik, maka dia telah beruntung dan selamat. Dan jika salatnya rusak, dia telah gagal dan merugi.” (HR. Tirmidzi no. 413 dan An-Nasa’i no. 465, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kaum muslimin agar mereka istikamah dalam menjaga salatnya.


Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Al-Kabaair, karya Adz-Dzahabi rahimahullah, dengan beberapa penambahan.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81712-jangan-tinggalkan-salat.html

Bolehkah Saling Mendoakan Dan Memberi Selamat Tahun Baru Masehi?

Berikut ini adalah pernyataan yang kurang tepat:

Daripada kumpul-kumpul malam tahun baru untuk bakar kembang api dan niup terompet seperti orang Yahudi, mendingan malam tahun baru kita berkumpul buat pengajian dan saling mendoakan

Saya ikut tahun baru sekedar formalitas aja kok, gak enak ama temen, gak niat merayakannya juga, saya sudah tahu hukumnya

Yang benar adalah, jalanilah malam tahun baru sebagaimana malam-malam biasanya. Tidak ada yang spesial di malam tahun baru. Tidak perlu membuat “saingan” berupa kegiatan Islami dalam rangka menyambut tahun baru. Intinya tidak perlu membuat acara khusus dalam rangka menyambut tahun baru masehi. Tidak perlu membuat majelis dzikir atau pengajian dalam rangka tahun baru. Karena jelas tahun baru masehi bukan perayaan kaum Muslimin dan jelas itu adalah perayaan non-muslim serta memiliki sejarah yang terkait dengan agama kuno Romawi.

Sebagaimana dalam buku “The World Book Encyclopedia” vol.14 hal.237 dijelaskan: “Semenjak abad ke 46 SM raja Romawi julius caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun. Orang Romawi mem persembahkan hari 1 Januari kepada janus, dewa segala gerbang pintu-pintu dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama janus sendiri,yaitu dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menghadap ke (masa) depan dan satu wajah lagi menghadap ke (masa) lalu”.

Jelas tahun baru masehi bukanlah bagian dalam Islam dan jangan sampai kita ikut-ikutan menyerupai mereka. Karena jika kita ikut-ikutan menyerupai mereka maka kita bisa dihukumi bagian dari mereka. Tidak perlu menjadikan momen tahun baru untuk ajang saling mendoakan tau membuat majelis “pengajian” khusus untuk menyambutnya. Atau sekedar basa-basa walapun tidak berniat merayakannya.

Berikut pertanyaan yang diajukan kepada syaikh Muhammad Al-Munajjid hafidzahullah: “Bolehkah bagi kaum Muslimin saling memberikan ucapan selamat dan mendoakan pada saat momen tahun baru masehi? Tentunya mereka tidak berniat/bermaksud untuk merayakannya“.

Beliau menjawab: “Tidak boleh bagi kaum Muslimin saling memberikan ucapan selamat tahun baru masehi, tidak boleh juga mereka merayakannya. Karena kedua perbuatan tersebut termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, sedangkan kita dilarang melakukan hal itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Daud no. 4031, dishahihkan oleh Al Albani)

Memberikan ucapan selamat yang terkait dengan suatu hari yang berulang  tiap tahunnya termasuk dalam makna merayakannya dan mmenjadikan hari tersebut sebagai hari raya, dan ini juga terlarang. Wallahu a’lam.1

Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair hafizhahullah ditanya mengenai berdoa dan ucapan selamat tahun baru. Beliau menjelaskan bahwa doa itu boleh kapan saja (doa mutlak), tetapi sebaiknya tidak dikaitkan dengan perayaan-perayaan hari raya tertentu seperti tahun baru. Beliau berkata, “Doa untuk saudara muslim bisa dengan doa mutlak, seorang muslim tidak menjadikannya ibadah (khusus) terkait dengan hari raya tertentu.”2

Sebagai seorang muslim hendaknya kita tidak ikut-ikutan setelah tahu sejarah dan hakikat perayaan tahun baru. Janganlah kita mengikuti perayaan dan hal-hal yang jelek dari Yahudi dan Nashrani. Karena ini sudah diperingati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa akan banyak kaum muslimin yang mengikuti mereka walapun sampai ke perkara yang buruk dan bisa merusakan agama kaum muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ  . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ  وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?3

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?4

Demikian semoga bermanfaat.

Baca juga Mengkhususkan Malam Awal Tahun Dengan Ibadah

***

@Laboratorium Klinik RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta tercinta

Catatan kaki

1. Sumber: http://islamqa.info/ar/177460

2.Sumber: http://www.saaid.net/mktarat/nihat/13.htm

3. HR. Bukhari no. 7319

4. HR. Muslim no. 2669

Penyusun: Raehanul Bahraen

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/24091-bolehkah-saling-mendoakan-dan-memberi-selamat-tahun-baru-masehi.html

Setan Ikut Makan Jika Kita Lupa Baca Doa Makan

PERNAHKAH Anda lupa bahkan tidak pernah baca doa makan? Baiknya, sebagai seorang muslim yang baik tentunya kita berupaya menjalankan agama Islam dengan sebaik-baiknya termasuk dalam menjaga adab makan. Salah satu adab makan adalah berdo’a sebelum mulai makan.

Namun kadangkala kita lupa membaca do’a sebelum makan. Biasanya hal itu terjadi karena makanan yang kita hadapi adalah hidangan yang lezat atau menarik hati kita. Akhirnya kita pun makan dengan lahap sampai lupa

Baca Doa Makan, Jika Lupa, Setan Sudah Mengincar 

Tahukah Anda, ketika kita lupa membaca doa makan setan sudah mengincar-incar untuk dapat makan bersama orang yang tidak ucapkan doa, seperti dikatakan  dari Ibnu Shabh, dari al-Mustsanni bin Abdurrahman al-huza’i, dari pamannya yang bernama Umayyah bin Mukhsyi.

Dia adalah yang selalu menyertai Nabi Muhammad SAW, lalu dia berkata,

“Suatu ketika Nabi sedang duduk ada seorang sahabat beliau makan, dan tidak membaca bissmillah. Maka setan pun makan bersama dengannya, ketika makannya itu tinggal satu suap, orang itu berdo’a.

“Bissmillahi fii awwalihhi wa fii akhirihi” artinya Dengan menyebut nama Allah di awal dan di akhir.”

Baca Doa Makan, Terus-menerus Ikut

Kemudian beliau seraya bersabda, “Pada saat ini setan terus-menerus ikut dengan orang itu, namun ketika dia menyebut Nama Allah, maka dia memuntahkan semua makanan yang masuk ke dalam perutnya,” (Al-Hadits)

Oleh karena itu, perlulah kita ingat untuk berdoa, tahanlah terlebih dahulu hawa nafsu kita, jika ingin selamat. []

Sumber: 11 dari 101 Kisah Tawa dan Senyum Nabi Muhammad SAW/Karya: Abu Islam Ahmad/Penerbit: Al-Qalam

ISLAMPOS