Tidak Boleh Hasad Kecuali dalam Dua Perkara

Dalam kitab Riyadhus Sholihin kali ini masih dibicarakan keutamaan Al-Qur’an, yaitu tidak boleh hasad salah satunya pada orang yang mengamalkan dan mengajarkan Al-Qur’an.

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)

بَابُ فَضْلِ قِرَاءَةِ القُرْآنِ

Bab 180. Keutamaan Membaca Al-Qur’an

Hadits #997

Tidak Boleh Hasad Kecuali dalam Dua Perkara

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ )) متفقٌ عَلَيْهِ .

(( والآنَاءُ )) : السَّاعَاتُ .

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh hasad kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberikan kepandaian Al-Qur’an oleh Allah, lalu ia membaca dan mengamalkannya pada malam dan siang hari, dan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menginfakkannya pada malam dan siang hari.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 5025 dan Muslim, no. 815]

Al-anaa’ adalah waktu-waktu.

Faedah hadits

  1. Hadits ini jadi dalil motivasi agar menghafalkan Al-Qur’an dan terus menerus bersamanya dengan tilawah, tadabur, dan tafakur.
  2. Hadits ini jadi dalil keutamaan orang yang membaca dan mengamalkan Al-Qur’an pada siang dan malam hari.
  3. Hendaklah menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
  4. Hasad adalah penyakit berbahaya, hendaklah dijauhi.
  5. Hasad ghibthah, yaitu berlomba dalam kebaikan itu terpuji.
  6. Hendaklah berlomba dalam amal kebaikan. Hal ini disebut dengan ghibthah. Ghibthah dalam ilmu dan amalan kebaikan tidaklah termasuk hasad yang tercela.
  7. Seluruh nikmat itu dari Allah, wajib disyukuri. Cara bersyukur adalah memanfaatkan nikmat itu dalam ketaatan.
  8. Hendaklah mengeluarkan harta pada jalan kebaikan, boleh seluruh harta dikeluarkan asalkan tidak menghalangi ahli waris mendapati hartanya atau tidak menjadikan ahli waris meminta-minta atau melakukan hal haram.
  9. Hadits ini menjadi dalil bahwa orang kaya yang mencari rida Allah dengan hartanya itu lebih afdal daripada orang miskin yang tidak mampu melakukan seperti itu. Demikian dikatakan oleh Ibnu Baththol.
  10. Al-Khaththabi menyimpulkan dari hadits ini tentang motivasi untuk mencari ilmu, belajar, dan bersedekah dengan harta.

Hasad ada tiga macam:

  1. Muharrom (yang diharamkan), yaitu menginginkan nikmat yang ada pada orang lain itu hilang, bisa jadi berharap nikmat itu berpindah padanya.
  2. Mubah (yang dibolehkan), yaitu menginginkan kebaikan dunia yang ada pada orang lain dan ingin semisalnya.
  3. Mahmuud (yang terpuji), yaitu menginginkan kebaikan agama yang ada pada orang lain dan ingin semisalnya.

Imam Nawawi katakan, bahwa hasad yang pertama itu haram dengan ijmak.

Sebagai ulama berkata, “Jika Allah memberikan nikmat pada saudaramu, lantas engkau benci, engkau malah suka nikmat tersebut hilang, itu jelas haramnya. Hal ini berbeda jika nikmat tersebut diperoleh orang kafir, fajir (ahli maksiat), atau yang buat kerusakan.” (‘Umdah Al-Qari, 2:87)

Lihat bahasan ini dalam Al-Bahr Al-Muhith Ats-Tsajaj Syarh Shahih Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj16:448.

Referensi:

  • Al-Bahr Al-Muhith Ats-Tsajaj Syarh Shahih Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Muhammad bin Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Ali bin Adam bin Musa Al-Itiyubia Al-Wallawi. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 16:448-449.
  • Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 1:552.
  • Nuzhah Al-Muttaqin Syarh Riyadh Ash-Shalihin min Kalaam Sayyid Al-Mursalim. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, dkk. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. hlm. 395.

Ditulis saat perjalanan Gunungkidul – Jogja, 26 Jumadal Akhirah 1444 H, 19 Januari 2023

@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/35795-tidak-boleh-hasad-kecuali-dalam-dua-perkara.html

Sejarah Bulan Rajab dalam Islam dan Keutamaannya

Allah SWT menjelaskan bahwasanya dalam 12 bulan, ada beberapa bulan yang dimuliakan oleh-Nya, bulan Rajab merupakan salah satu bulan yang diistimewakan dari beberapa bulan lainya; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Sya’ban, Muharram. Berikut sejarah bulan Rajab dalam Islam dan keutamaannya. 

Terkait sejarah bulan Rajab, dalam masyarakat Arab kuno, penamaan bulan dilakukan berdasarkan dengan keadaan sosiologi, peristiwa, dsb. Sedangkan, sebelum masa Umar bin Khattab, bulan Rajab diistimewakan karena berada sebelum bulan Sya’ban dan sesudah bulan Jumadal al-Tsaniyah.

Beberapa sumber juga mengatakan, bahwasannya bulan Rajab merupakan bulan di mana Salahuddin Al-Ayyubi membebaskan Al-Aqsa dan peristiwa penting, yakni diangkatnya Nabi ke langit atau isra mi’raj. Maka dari itu, bulan Rajab dijadikan bulan istimewa.

Menurut Abu Nashr al-Farabi, dalam kitabnya ‘Al-Shihah Taaj al-Lughoh’, bahwasannya keistimewaan dan penghormatan bulan Rajab sudah dilakukan sejak zaman Jahili. Di mana, tidak adanya genjatan senjata yang terjadi.

Menurut Imam Atiyah Saqr, salah satu Imam Besar Al-Azhar mengatakan, bahwasannya ada beberapa istilah dan makna yang paling masyhur digunakan. Diantaranya adalah; Pertama, لأصمّ ‘al-Summmu atau yang tuli. Di mana, tidak adanya suara senjata pasukan perang pada bulan ini. Kedua, rajam  (الرجم)  yang berarti melempar.

Dinamakan demikian karena musuh dan setan-setan pada bulan ini dikutuk dan dilempari, dengan demikian para setan-setan tidak menyakiti para wali dan orang-orang saleh. Ketiga, الأصب  ‘al-ashab’ atau yang mengucur. Yang mana pada bulan banyaknya kebaikan yang datang. 

Keistimewaan Rajab

Keistimewaan bulan Rajab juga terdapat dalam Alquran dan Sunnah. 

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.

Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (Q.S At-Taubah; 36). 

Selain itu, Allah juga berfirman bahwasannya untuk melarang umatnya jangan saling berperang. 

فَإِذَا ٱنسَلَخَ ٱلْأَشْهُرُ ٱلْحُرُمُ فَٱقْتُلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ. 

Artinya: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. (Q.S At-Taubah; 5). 

Salah satu bentuk dari kemuliaan bulan Rajab yaitu, disunnahkannya untuk berpuasa. Dari beberapa hadis juga mengatakan, bahwasannya kelak di surga ada sungai yang bernama Rajab. Sungai air yang mengalir dari sungai tersebut seputih susu dan lebih manis dari madu. Sungai tersebut diperuntukkan bagi mereka yang berpuasa di bulan Rajab. Sebagaimana dalam hadis Nabi. 

مَن صام من رجب يومًا كان كصيام شهرٍ، ومن صام منه سبعةَ أيّام غُلِّقت عنه أبواب الجَحيم السبعةُ ومن صام منه ثمانيةَ أيام فُتِّحتْ أبوابُ الجنّةِ الثمانيةُ، ومن صام منه عشرة أيام بُدِّلت سيِّئاته حسناتٍ

Artinya: Barangsiapa yang berpuasa satu hari di bulan Rajab, maka pahalanya seperti orang berpuasa selama satu bulan. Dan barangsiapa yang berpuasa selama tujuh hari, maka ditutupnya tujuh pintu neraka.

Dan barangsiapa yang berpuasa hingga delapan hari, mka dibukakannya delapan pintu surga. Dan barangsiapa yang berpuasa sepuluh hari, maka amal nuruknya akan diganti dengan amal baik.  

Kendati demikian, Ibnu Hajar dalam risalahnya melarang seseorang untuk berpuasa penuh selama satu bulan Rajab. Karena perbuatan demikian menyerupai kebiasaan orang-orang Jahiliyah dalam memberi penghormatan.

Demikian sejarah bulan Rajab dalam Islam dan keistimewaanya. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam. 

BINCANG SYARIAH

Rukun-Rukun Khotbah Jumat

Khotbah merupakan salah satu syarat sah salat Jumat menurut para ulama. Bahkan, sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menilai bahwa dua khotbah sebelum salat Jumat adalah pengganti bagi dua rakaat salat Zuhur. Akan tetapi, yang jelas setiap muslim laki-laki yang tidak memiliki uzur syar’i wajib untuk menghadiri panggilan salat Jumat. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wajalla,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila (seruan) untuk melaksanakan salat pada hari Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu mengatakan,

يأمر تعالى عباده المؤمنين بالحضور لصلاة الجمعة والمبادرة إليها

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menghadiri salat Jumat dan bersegera untuk bersangkat ke masjid.” (Tafsir As Sa’diy, hal. 863)

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya bersegera berangkat saat mendengar azan atau bahkan berlomba-lomba ke masjid sebelum azan berkumandang. Sementara bagi para imam atau khathib, wajib bagi mereka untuk mengetahui tentang rukun-rukun khotbah Jumat. Berikut adalah uraian penjelasan para ulama perihal rukun khotbah Jumat:

Pendapat yang menyebutkan tidak ada ketentuan khusus perihal khotbah

Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Hazm rahimahullahu dan beberapa ulama lain. Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan,

ولا يكفي في الخطبة ذم الدنيا وذكر الموت ، بل لا بد من مسمى الخطبة عرفا ، ولا تحصل باختصار يفوت به المقصود

Mencela dunia dan mengingat kematian ketika khotbah tidaklah cukup. Akan tetapi, baru disebut khotbah jika memang kebiasaan setempat menyebutnya sebagai sebuah khotbah. Maka, penyampaian sekilas tadi tidaklah memenuhi kriteria khotbah.” (Al-Ikhtiyaraat, hal. 79)

Pendapat yang menyebutkan rukun khotbah ada empat atau lima

Pendapat ini dipegang oleh ulama dari kalangan Syafi’iyah yang menyebutkan bahwa rukun khotbah ada lima:

Pertama: Memuji Allah ‘Azza Wajalla;

Kedua: Membaca selawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama;

Ketiga: Memberikan nasihat ketakwaan;

Keempat: Membaca ayat Al-Qur’an;

Kelima: Berdoa untuk kaum muslimin di khotbah kedua.

(Al-Fiqh Al-Manjahi ‘ala Madzhabil Imam Asy’Syafii, 1: 206-207)

Pendapat pertengahan

Pendapat pertengahan ini disampaikan oleh para ulama seperti Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu,

اشتراط الفقهاء الأركان الأربعة في كل من الخطبتين فيه نظر ، وإذا أتى في كل خطبة بما يحصل به المقصود من الخطبة الواعظة الملينة للقلوب فقد أتى بالخطبة ، ولكن لا شك أن حمد الله ، والصلاة على رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وقراءة شيء من القرآن من مكملات الخطبة ، وهي زينة لها

Persyaratan para fuqaha perihal empat rukun khotbah perlu ditinjau kembali. Jika di setiap khotbah tercapai maksud atau tujuan khotbah itu sendiri, yaitu berisi peringatan yang menggugah hati, maka sudah disebut khotbah. Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa memuji Allah, berselawat, dan membaca ayat Al-Qur’an di dalam khotbah adalah hal yang sangat baik dan menyempurnakan khotbah itu sendiri.” (Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 193) Wallahu Ta’ala a’lam

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82353-rukun-rukun-khutbah-jumat.html

Benarkah Pahala Umroh Saat Rajab Lebih Besar dari Bulan Lainnya?

Meskipun umroh memiliki pahala yang besar, tidak benar melakukannya di bulan Rajab sambil meyakini umroh di Rajab adalah sunnah atau memiliki pahala lebih dari bulan lainnya.

Dilansir di About Islam, Rabu (25/1/2023), Syekh Mahmoud Ismail menjelaskan alasan mengapa pahala umroh di bulan Rajab tidak memberikan ganjaran pahala lebih besar dibanding bulan-bulan lainnya.

Namun, dia menjelaskan, tidak ada salahnya melakukan umroh di bulan Rajab, karena pada umumnya umroh memiliki keutamaan yang besar jika dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Selain itu, umat Islam harus rajin melakukan banyak amal saleh di bulan-bulan suci.

Keutamaan bulan suci

Allah SWT telah memilih empat bulan untuk menjadi suci, sebagaimana terekam dalam hadis. Dikisahkan Abu Bakrah, Nabi Muhammad SAW memberikan khutbah selama hajinya dan berkata, “Waktu telah menyelesaikan satu siklus dan mengambil bentuk hari ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam satu tahun terdapat dua belas bulan yang empat di antaranya adalah bulan suci, tiga di antaranya berurutan, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan juga Rajab Mudar yang terjadi antara Jumada dan Sya’ban.” (HR. Sunan Abi Dawud)

Puasa dan umroh di bulan Rajab

Tidak ada dalil yang shahih dari Nabi Muhammad atau para sahabatnya yang menunjukkan keistimewaan menjalankan puasa di Rajab secara khusus. Namun puasa sunnah di bulan Rajab sama seperti bulan-bulan Hijriyah lainnya, seperti puasa Senin dan Kamis; pada tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas setiap bulan Hijriyah; dan pada hari-hari alternatif. Apalagi, tidak ada dalil yang sahih dari Nabi Muhammad atau para sahabat yang menunjukkan ada pahala tertentu bagi umroh di Rajab.

Apakah Nabi melakukan umroh di bulan Rajab?

Tidak diriwayatkan secara otentik bahwa Nabi Muhammad melakukan Umrah di bulan Rajab. Hanya ada satu riwayat dari Ibnu Umar yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad pernah melakukan umroh di Rajab. Riwayat ini ditolak oleh para ulama dan juga oleh Sayyidah Aisyah.

Apakah pahala umroh di Rajab lebih besar dari bulan lainnya?

Dibolehkan melakukan umroh di Rajab sama seperti yang diizinkan sepanjang tahun tetapi tanpa niat melakukannya hanya di Rajab saja. Sebab melakukan umroh memiliki pahala yang besar jika dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Akhirnya, seorang Muslim membutuhkan melakukan ibadah di semua Bulan Suci, dan Rajab tidak diragukan lagi salah satunya.

IHRAM

Orang-Orang yang Dimusuhi Allah pada Hari Kiamat

Ada tiga jenis orang yang dimusuhi Allah di hari kiamat.

حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ مَرْحُومٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ. (رواه البخاري)

“Telah menceritakan kepadaku Bisyir bin Marhum telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim dari Isma’il bin Umayyah dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang yang telah merdeka, lalu memakan hasil penjualannya (harganya) dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak memberi upahnya” (HR Al-Bukhari).

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab al-Jami’ as-Shahih-nya pada bab “Itsmun Man Ba’a Hurran” (dosa bagi orang yang menjual orang yang merdeka) nomor 2075, dengan  derajat  yang  shahih. Matan  Hadits  yang  sama  juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam bab “Itsmun Man Mana’a Ajra al-Ajira” (Dosa bagi orang yang menahan upah pekerja/buruh) nomor 2109.

Selain Imam al-Bukhari, matan Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan  redaksi  yang  agak sedikit berbeda, sebagaimana tercantum dalam kitab  Sunan-nya,  bab “Ajru al-Ajra’ (Upah bagi pekerja) nomor 2433 dan Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya, bab Musnad Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu nomor 8338, sebagai berikut:

حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَلِيمٍ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوفِّهِ أَجْرَهُ. (رواه ابن ماجة و أحمد)

“Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa’id berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulim dari Isma’il bin Umayyah dari Sa’id bin Abu Sa’id al-Maqburi dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Tiga  orang yang akan menjadi musuhku pada hari kiamat, dan barangsiapa aku sebagai lawannya, maka aku akan memusuhinya pada hari kiamat; seseorang yang memberi dengan namaku tetapi dia berkhianat, seseorang yang menjual orang merdeka kemudian dia memakan hasil penjualan, dan seseorang yang memperkerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak membayar upahnya” (HR Ibnu Majah dan Ahmad)

Isi Kandungan Hadits

Hadits ini berbicara tentang kelompok atau orang-orang yang dibenci dan dimusuhi oleh Allah SWT pada hari kiamat kelak, yaitu orang yang bersumpah  atas (nama) Allah, lalu mengingkari sumpahnya. Jujur dalam berkata dan berbuat adalah salah satu persoalan yang sangat diperintahkan dalam ajaran Islam. Sebaliknya, berdusta merupakan  perbuataan tercela yang dilarang oleh agama dan dikategorikan sebagai dosa besar serta dimusuhi oleh Allah SWT.

Bahkan lebih tegas lagi, Ibnul Qayyim al-Jauzi rahimahullah mengutip pendapat sebagian ulama, bahwa berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya adalah salah satu bentuk kekufuran yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (kharijun ‘an millah). Tidak diragukan lagi, berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya adalah salah satu dosa  besar, bahkan dalam tingkatan tertentu dapat menyebabkan kepada kekufuran. (Imam adz-Dzahabi, Al-Kaba’ir).

Berdusta  dengan bersumpah atas nama Allah seperti; Wallahi, Billahi, Tallahi (Demi Allah), sering juga disebut dengan sumpah palsu (Qaul az-Zur) yang menyebabkan pelakunya berdosa besar dan mendapatkan hukuman  kaffarat. Hal ini juga dijelaskan dalam Hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ. (رواه البخاري و مسلم)

“Dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah dari bapaknya ra. berkata; Nabi SAW. bersabda: “Maukah kalian aku  beritahukan akan dosa yang paling besar?” Beliau menyatakannya  tiga kali. Mereka menjawab: “Mau, wahai Rasulullah”. Lalu Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua”. Lalu Beliau duduk dari sebelumnya, berbaring kemudian melanjutkan sabdanya: “Ketahuilah, juga perkataan (janji) palsu”. Dia berkata: “Beliau terus saja mengatakannya berulang-ulang hingga kami mengatakannya ‘Duhai (kapan) sekiranya Beliau diam”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Selain  sumpah  palsu atas nama Allah SWT, terdapat juga beberapa jenis perbuatan yang termasuk  kategori  berdusta  atas  nama  Allah  SWT,  seperti;  Mengaku menerima wahyu dari Allah SWT. (QS. Yunus: 18);  mengaku  dan meyakini bahwa Allah memiliki anak (QS. Yunus: 68);  membuat  syariat  lalu  dinisbatkan  pada Allah SWT. (QS. Al-A’raf: 28);  menghalalkan apa yang  diharamkan  oleh  Allah  dan  mengharamkan  apa  yang  dihalalkan-Nya.

Balasan Orang yang Berdusta atas Nama Allah

Karena berdusta atas nama Allah termasuk  salah  satu  dosa besar, maka tentu orang yang melakukannya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat  kelak. Di antara balasan yang akan didapatkan oleh pelakunya antara lain pertama, akan dilaknat dan dimusuhi oleh Allah SwT, sebagaimana dijelaskan dalam matan Hadits di atas; kedua, orang yang berdusta atas nama Allah  digolongkan sebagai orang-orang yang zalim, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 21 sebagai berikut:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِه إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ.

“Dan siapakah yang lebih zalim/aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang zalim/aniaya itu tidak akan mendapat keberuntungan.”

Ruslan Fariadi, Dosen  Pendidikan  Ulama’ Tarjih  Muhammadiyah  Yogyakarta dan  mengabdi di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

KHAZANAH REPUBLIKA

Dua Golongan yang Dimusuhi Allah di Hari Kiamat

Allah memusuhi orang yang tidak membayar upah pekerja.

Orang yang berdusta mengatasnamakan Allah, akan memperoleh kerugian, baik di dunia maupun di akhirat. Sekalipun andai mereka mendapatkan kesenangan dunia, tapi di akhirat kelak akan mendapat siksaan yang amat pedih. Firman Allah SWT:

قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ (٦٩) مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ. (يونس: 69-70)

“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, mereka tidak akan beruntung”. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan (timpakan) kepada mereka siksaan yang berat, disebabkan kekafiran mereka” (Qs Yunus: 69-70).

Menjual orang (merdeka) lalu memakan hasil penjualannya (human trafficking)

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam bentuk  terbaik dan sempurna (ahsanu taqwim: Qs At-Tiin: 4), dimuliakan oleh-Nya, dan miliki kelebihan dibandingkan makhluk lainnya (Qs Al-Isra’: 70). Sekalipun secara sosial, manusia pada masa pra dan awal kehadiran Islam mengenal dua  status  sosial masyarakat, yaitu orang yang merdeka (al-hur) dan budak sahaya (al-‘abd).

Jika dikaji saksama, semangat Islam sejak awal hadirnya sangat menentang sistem perbudakan dan menghapusnya secara bertahap. Terbukti dalam Islam, terdapat beberapa strategi membebaskan umat manusia dari sistem perbudakan, antara lain: dalam kasus tawanan perang, seorang tawanan dapat dibebaskan ketika mau dan sanggup membayar upeti, atau mengajarkan baca tulis, atau memerdekakan budak Muslim.

Juga dalam kasus pembunuhan disengaja (al-qatlu al-‘amdu) yang mendapatkan ampunan dari keluarga korban, atau  pembunuhan  semi  sengaja (al-qatlu  syibhu  al-‘amdi), bagi pelakunya diwajibkan membayar kaffarat (ganti)  sebagai  bentuk  hukuman  dan pertaubatannya  pada Allah berupa; memberi makan 60 fakir miskin, atau memerdekakan  budak  mukmin. 

Inilah semangat Islam untuk menghapuskan sistem perbudakan  secara  bertahap hinga berlanjut dengan penegasan al-Qur’an, bahwa Islam tidak mengenal kasta, pun kemulian seseorang bukan karena status sosialnya, tapi karena kualitas keimanan dan ketakwaannya (Qs Al-Hujurat: 13).

Konsekuensi  Islam  memuliakan  manusia adalah larangan merendahkan martabatnya dan menyamakannya seperti hewan, atau komoditas (barang dagangan) untuk diperjual belikan. Maka spirit Hadits di atas adalah larangan  merendahkan harkat dan martabat manusia, terlebih lagi menjadikan manusia  sebagai komoditas oleh siapapun, dengan tujuan apapun juga, yang saat ini dikenal dengan human trafficking (perdagangan manusia).

Hal ini selaras dengan komentar Ibnu Abidin (madzhab Hanafi), bahwa; ” Anak Adam (manusia) sangat dimuliakan oleh syariat Islam, sekalipun ia kafir (kafir dzimmi). Akad penjualan manusia serta menyamakannya dengan komoditas  adalah bentuk penistaan dan perendahan martabatnya.” Terlebih lagi dengan  tujuan untuk memperjual belikan organ tubuh seperti kornea mata dan ginjal.  Terkait hal ini, syariat  Islam  tegas mengharamkan jual beli organ tubuh  manusia (al-a’dha’ al-jism al-basyariyah), pun orang yang menghilangkan satu  nyawa manusia, disamakan  dengan membunuh seluruh umat manusia (Qs Al-Ma’idah: 32).

Orang yang tidak membayar upah pekerja

Inilah kelompok yang  termasuk dimusuhi oleh Allah pada hari kiamat dalam Hadits di atas. Saat ini berbagai kasus yang digambarkan oleh Hadits tersebut banyak terjadi, misalnya: makelar atau sindikat (banyak yang ilegal) yang  mempekerjakan seseorang menjadi buruh maupun tenaga kerja (seperti  Tenaga  Kerja  Indonesia  di luar negeri), lalu upah  mereka  diambil oleh para makelar atau penyalur  tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab, sehingga para pekerja tidak mendapatkan  upahnya. Contoh lain adalah majikan yang zalim, yang menguras tenaga pembantu rumah tangga, namun tidak diberi gaji/upahnya, bahkan tidak sedikit disertai dengan kekerasan/penganiayaan dan berbagai tindakan tidak terpuji lainnya.

Para ulama berpendapat, menunda pembayaran upah/gaji pekerja, atau tidak memberikan haknya setelah usai bekerja, termasuk dosa besar dan mendapat  ancaman sangat berat, adalah bentuk kezaliman terhadap para pekerja. Bentuk kezaliman lain adalah membebani pekerjaan yang tidak sesuai dengan hak-hak yang diterimanya, atau menambah waktu kerja (lembur), namun tidak  mengapresiasinya dengan sewajarnya karena lemahnya posisi dan perlindungan terhadap hak-hak mereka. Ada pula  yang sengaja  menunda  dengan tujuan, agar uang gaji mereka bisa dimanfaatkan atau diputar untuk keperluan bisnis  sang majikan atau maksud negatif lain. Sikap semacam ini sangat dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, yang bahkan dalam Hadits lain, Nabi bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ. (رواه البخاري ومسلم)

“Dari  Abu Hurairah ra.  bahwa  Rasulullah saw bersabda: “Menunda membayar hutang (termasuk upah pekerja) bagi orang yang mampu adalah  kezaliman dan apabila seorang dari  kalian dialihkan kepada orang yang mampu, maka hendaknya dialihkan” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas oleh para ulama adalah penegasan tentang keharaman menunda pembayaran utang, termasuk pemberian gaji atau upah bagi orang yang mampu menunaikan tepat pada waktu. Secara mafhum aulawi (logika maksimalnya): jika  menunda saja termasuk suatu kezaliman, maka terlebih lagi jika sengaja tidak membayar,  tentu menjadi kezaliman yang lebih besar dan keji. Dalam Hadits  lain,  lebih spesifik Rasul bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه إبن ماجة والطبراني)

“Dari  Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya” (HR Ibnu Majah dan at-Thabrani).

Maksud matan Hadits  ini yaitu perintah untuk segera memberikan gaji/upah  kepada pekerja setelah usai melaksanakan tugas dan pekerjaannya secara tepat waktu dan disesuaikan dengan beban kerja mereka. Karena menunda, mengurangi, terlebih lagi tidak membayar upah pekerja,  termasuk  kezaliman  dan  dimusuhi  Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam bis-shawab.

Ruslan Fariadi, Dosen  Pendidikan  Ulama’ Tarjih  Muhammadiyah  Yogyakarta dan  mengabdi di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

sumber : Suara Muhammadiyah

KHAZANAH REPUBLIKA

2 Syarat Diterimanya Amal

APA syarat diterimanya amal?

Setiap Muslim yang beramal pasti mengharapkan balasan pahala dari Allah SWT. Namun kita harus mengetahui bahwa setiap amal yang akan diterima oleh Allah SWT memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya:

Syarat Diterimanya Amal yang Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata unuk mencari ridha Allah.

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya…” (HR. Bukhari-Muslim).

Syarat Diterimanya Amal yang  Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda:

“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha).

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah SWT adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima Allah SWT.

Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: “Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya?” Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.

Masalah berikutnya, juga bukan sekadar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah SWT berfirman:

“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (QS. Al Mulk: 2).

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata’ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396

Allah SWT mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah ﷺ , sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri. Wallahualam. []

SUMBER: ASYSYARIAH/ISLAMPOS

Cara Mengenali Perkara Syubhat yang Berada di Antara Batas Halal dan Haram

Menjauhi perkara syubhat adalah salah satu bentuk kecerdasan dan kemuliaan

Mengidentifikasi Syubhat yang Berada di Antara Halal dan Haram? 

Selain perkara halal dan haram, dalam Islam pun ada perkara yang syubhat. Dimana perkara syubhat ini, posisinya berada di antara keduanya. 

Secara bahasa syubhat berarti kabur, samar, atau tidak jelas. Sedangkan Syubhat secara istilah adalah terbatas pada hal-hal yang berada di antara maslahat dan mafsadat, dimana disana ada maslahat tanpa diperkirakan adanya mafsadat atau keduanya. 

Hal ini selaras dengan hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ánhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ

 “Yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas pula. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Yang tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Maka batang yang meninggalkan yang syubhat, maka dia telah membersihkan diri dari agama dan kehormatannya” (HR Bukhari 52 dan Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir RA).  

Dengan demikian agama dan kehormatan kita menjadi bersih, jika kita meninggalkan perkara-perkara yang syubhat. 

Syekh Izzuddin bin Abdus Salam, dalam Karyanya, Syajarat al-Maarif, menjelaskan contoh-contoh  yang Allah SWT halalkan, haramkan, dan yang terjadi perbedaan pendapat di antara keduanya: 

Pertama, contoh yang Allah SWT halalkan dengan menyebutkan sifatnya. Misalnya, gandum dan domba yang Allah SWT ciptakan dengan sifat yang menunjukkan kehalalannya. Maka dia bisa diharamkan kecuali karena adanya sebab-sebab yang rusak, seperti karena barang itu merupakan hasil rampasan.  

Dengan demikian jika keduanya diambil melalui sebab-sebab yang disepakati, mama keduanya halal. 

Akan tetapi jika keduanya diambil dengan sebab yang diperselisihkan, maka keduanya menjadi syubhat, karena sebabnya bukan dari sifatnya.

Baca juga: Islam akan Jadi Agama Mayoritas di 13 Negara Eropa pada 2085, Ini Daftarnya 

Kedua, contoh yang haram secara jelas adalah bangkai dan darah. Keduanya itu diharamkan, karena sifatnya. Maka keduanya tidak bisa menjadi halal, tanpa ada sebab-sebab tertentu, misalnya  terdesak ataupun terpaksa yang disepakati hukumnya halal dalam dua kondisi ini. 

Akan tetapi jika keduanya berada dalam perselisihan pendapat, maka tingkatan meninggalkan bangkai adalah sesuai dengan tingkatan dalilnya, dalam hal kuat dan lemahnya. 

Ketiga, contoh sesuatu yang terjadi perbedaan pendapat didalamnya, karena sifatnya. Misalnya  cakar binatang buas hukumnya haram karena Rasullullah SAW telah mengharamkan setiap binatang yang memiliki cakar atau kuku tajam.

Dengan demikian jika kita mengambil dari sebab-sebab yang telah disepakati, maka syubhatnya adalah dari sisi sifat yakni “cakarnya”, dan jika kita ambil dari sisi yang perbedaan pendapat didalamnya, maka syubhatnya datang dari sifatnya serta kesamaannya.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Taki Takazawa, Berandalan Penuh Tato yang Kini Jadi Imam Masjid Jepang

Seorang lelaki tua berbaju serba putih berjalan di sebuah jalan distrik Shibuya, Jepang. Terasa aneh melihat orang tua asing berjanggut itu membagikan pamflet di jalanan Negeri Sakura.

Dia lantas bertemu seorang pria Jepang, yang tampak lebih muda, berwajah garang. Tidak hanya itu, badan pria Jepang penuh dengan tato.

Tak terpengaruh penampilan, pria tua tetap menyerahkan sehelai pamflet kepada pria Jepang itu. Di sana tertulis, sebuah kalimat yang ternyata adalah syahadat, pengakuan atas keesaan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusannya.

Walau sudah membacanya berulang kali, kalimat itu tetap tidak ia pahami. Kebanyakan penduduk Jepang, yang mayoritas menganut aliran kepercayaan Shinto, juga akan merasakan hal yang sama.

Momen tersebut merupakan momen yang akan selalu dikenang Syekh Abdullah Taki Takazawa, sang pria Jepang penuh tato. Itu pertama kalinya Syekh Abdullah Taki bertemu Islam, melalui pamflet yang diberikan seorang pria tua yang ternyata adalah Syekh Niamatullah, seorang imam di Masjid Nabawi.

Dulu dia berjalan penuh bangga dengan gaya rambut dan lengan pendek yang sengaja dipakainya demi memamerkan tato. Islam telah mengubahnya. Gaya rambut stylish kini sudah lama hilang, tertutupi oleh surban.

Meski badannya masih penuh dengan tato, namun tak lagi ia pamerkan. Semua tertutup jubah lengan panjang.

Suka Tato dan Rumor Mantan Yakuza

Taki Takazawa lahir dan besar di keluarga khas Jepang. Pendidikan terakhir ia tempuh hingga SMP. Sempat dia masuk SMA, tetapi akhirnya hanya bertahan satu tahun.

Kesukaannya pada seni tato dimulai sesudah dia keluar dari SMA.

“Saya hanya satu tahun di SMA, tidak lulus. Lalu sekitar tahun 1992 saya mulai menekuni sendiri cara mentato orang,” ujarnya dikutip telisik.id.

Ia mengaku mempelajari cara mentato secara otodidak, tanpa bimbingan siapapun.

“Semua saya pelajari sendiri, tidak pernah belajar dari orang lain. Mungkin inilah karakter saya ya.”

Selama 20 tahun, dia berjibaku dalam dunia tato. Selama itu pula, Taki memenuhi badannya sendiri dengan tato.

Penampilannya sempat menimbulkan rumor bahwa dia merupakan mantan anggota mafia Jepang, Yakuza. Namun, hal itu dibantahnya. Biarpun sejak kecil memang anak nakal, dia mengaku tidak pernah menjadi anggota Yakuza.

“Saya bukan Yakuza dan tak pernah jadi Yakuza. Dulu saat kecil memang saya anak berandalan, nakal seperti anak lainnya.

Namun, saya tidak pernah masuk atau jadi anggota Yakuza dan tidak juga sekarang,”

Ujarnya dalam sebuah wawancara media online.

Masuk Islam dan Jadi Mualaf

Pertemuannya dengan imam Masjid Nabawi yang sedang berdakwah ternyata sangat melekat di ingatan Taki Takazawa. Ia terus mencari tahu makna di balik pesan syahadat yang diterimanya.

Dia pun mempelajari berbagai agama sebelum akhirnya memutuskan masuk Islam pada tahun 2006 dan mengganti namanya dengan Abdullah yang berarti Hamba Allah SWT.

Dua tahun sesudah ia masuk Islam dan menjadi mualaf, Abdullah Taki Takazawa kembali bertemu pria tua serba putih yang memberinya pamflet dan mengubah hidupnya.

“Ternyata dia adalah salah seorang Imam di Masjid Nabawi, Kota Madinah, Arab Saudi. Saya sangat bersyukur bisa bertemu dengannya,” kata Takazawa.

Imam Masjid Nabawi itu kemudian memintanya untuk melaksanakan ibadah haji dan belajar agama di kota suci Makkah selama beberapa bulan.

Pada tahun 2008, ia pun dapat melaksanakan ibadah haji ke Makkah atas undangan pemerintah Arab Saudi.

Sepulangnya dari Arab Saudi, mantan tatto artist atau pembuat tato itu diberi kepercayaan masyarakat untuk mengimami salah satu masjid besar wilayah Kabukicho, Tokyo.

Saat ini, Syekh Abdullah Taki Takazawa dikenal sebagai salah satu dari imam besar masjid Jepang.

Muslim yang Tertidur

Sebuah jawaban indah pernah disampaikan Syekh Abdullah Taki bagaimana rasanya menjadi mualaf dan masuk Islam.

Ia menjawab;

“Seperti yang saya katakan, saat saya lahir saya sudah menjadi seorang Muslim. Saya sekarang berusia 39 tahun. Selama 35 tahun saya Muslim yang tertidur dan kemudian empat tahun lalu saya bangun.

Saya ingin bertanya ketika Anda bangun di pagi hari apa yang membuat Anda bangun. Saya resmi masuk Islam empat tahun lalu (2006).

Ini adalah proses bertahap; sesuatu terjadi, saya menjadi Muslim. Tentu saja, empat tahun lalu, bukan seseorang yang memaksa saya untuk bangun; bukan karena saya menggunakan jam alarm saya. Rasanya sangat menyenangkan bisa bangun.”

Apa yang dikatakan Syekh Abdullah Taki Takazawa benar bahwa kita semua adalah Muslim dan ini disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW;

“Semua bayi lahir dalam keadaan fitrah (Muslim). Orang tuanyalah yang menjadikan mereka Majusi, Yahudi & Nasrani”
[Sahih Muslim]

Berapa banyak dari kita yang masih tidur? Kapan kita harus benar-benar bangun untuk menyampaikan dakwah Islam atau belajar tentang Islam jika kita masih Belum Muslim?

Kisahnya sendiri adalah pengingat bagi kita untuk melakukan yang terbaik dan biarkan Allah melakukan sisanya. Jangan mengucilkan siapapun adalah dakwah kita. Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim.

Tugas kita hanya berbagi kebenaran dengan mereka dan mengajak mereka kembali ke Islam. Nabi Muhammad s.a.w tidak bisa memberikan hidayah kepada setiap orang yang dicintainya meskipun dia menginginkannya karena Allah-lah yang membimbing;

HIDAYATULLAH

Tanya Jawab Seputar Tobat

Syarat Tobat

Pertanyaan:

Jika seorang muslim mencabut diri dari dosa-dosa yang dahulu dia lakukan, apa saja syarat yang harus dipenuhi terkait orang yang bertobat dari sebuah dosa? Apa nasihat Anda untuk orang yang melakukan kemaksiatan agar dia bisa bertobat sebelum datang ajalnya—sehingga dia merugi dan menyesal?

Jawaban:

  1. Dia harus memenuhi syarat-syarat tobat sebagai berikut:
  • Seseorang bertobat dengan tobat yang jujur dan tulus,
  • menyesali dosa yang telah dilakukan,
  • bertekad kuat untuk tidak mengulanginya,
  • jika dosanya terkait dengan sesuatu yang bisa dikembalikan seperti harta, dia kembalikan kepada pemiliknya; jika tidak terkait dengan sesuatu yang bisa dikembalikan, dia meminta kemurahan dan maaf dari pihak-pihak yang dizalimi, disertai doa kebaikan untuk mereka dan pujian terhadap kebaikan mereka yang dia ketahui.
  1. Kami nasihatkan agar dia:
  • membaca Al-Qur’an dan hadits-hadits tentang targhib (anjuran berbuat kebaikan) dan tarhib (ancaman atas perbuatan dosa),
  • mengingat negeri akhirat dan berbagai keadaannya yang menakutkan,
  • bergaul dengan orang-orang yang baik dan menjauhi orang-orang yang buruk.

Semoga Rabbnya akan menerima tobatnya dari dosa dan mengampuninya, dan dia bisa menolak bisikan nafsunya yang mengajak kepada maksiat.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud

(Fatawa al-Lajnah 24/297—298, pertanyaan ke-6 dari fatwa no. 3866)

Apakah Shalat Adalah Syarat Tobat?

Pertanyaan:

Saya telah kembali kepada Allah dan bertobat dari segala dosa—saya memohon ampunan kepada Allah. Saya mendengar bahwa orang yang bertobat harus melakukan shalat dua rakaat tanpa ada waswas padanya, lalu dia bertobat setelah atau saat sedang melakukan shalat tersebut.

Saya telah bertanya kepada salah seorang saudara di jalan Allah, dia menjawab, “Tobat dilakukan tanpa harus shalat. Kapan pun waktunya, engkau bisa bertobat. Engkau tidak perlu shalat (untuk bertobat).”

Apa yang seharusnya saya lakukan? Berilah bimbingan kepada saya. Semoga Allah membalasi Anda dengan kebaikan.

Jawaban:

Shalat dua rakaat tidak menjadi syarat sahnya tobat.

Yang dipersyaratkan adalah mencabut diri dari dosa, bertekad kuat untuk tidak mengulangi, menyesali apa yang telah luput, dan membebaskan diri dari hak-hak para makhluk. Allah akan menerima tobat kami dan Anda.

Akan tetapi, barang siapa bersuci dan shalat dua rakaat kemudian bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyesali dosa yang telah berlalu, mencabut diri darinya, bertekad dengan jujur tidak mengulanginya, tentu ini lebih sempurna dan lebih mendekatkan kemungkinan tobatnya diterima.

Ini berdasarkan hadits dari Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَيَسْتَغْفِرُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا غَفَرَ لَهُ

“Tidak ada seseorang yang berbuat dosa lalu berwudhu dan memperbagusnya, kemudian shalat dua rakaat dan memohon ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kecuali Dia subhanahu wa ta’ala akan mengampuninya.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad)[1]

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh; Anggota: Shalih bin Fauzan al-Fauzan

(Fatawa al-Lajnah, 24/309—310, pertanyaan kedua dari fatwa no. 19045)

Tobat, Tetapi Berbuat Dosa Lagi

Pertanyaan:

Apa hukum orang yang bertobat dari sebuah dosa kemudian jatuh lagi pada dosa yang sama?

Jawaban:

Apabila dahulu dia telah bertobat dari dosa tersebut dengan ikhlas, niat yang jujur, mencabut diri dari dosa tersebut, dan menyesalinya, kemudian setan membisikinya dan dia dikalahkan oleh hawa nafsunya yang memerintahkan kepada kejelekan hingga terjatuh lagi dalam dosa yang sama untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya; tidak akan kembali dosa yang dahulu dia telah bertobat darinya dengan jujur.

Hendaknya dia kembali bertobat setelah melakukan dosa tersebut yang kedua kali atau ketiga kali. Selain itu, hendaknya ia juga menempuh sebab yang menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa tersebut.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi

(Fatawa al-Lajnah, 24/318—319, pertanyaan ketiga dari fatwa no. 3025)

Pertanyaan:

Seseorang berbuat dosa lalu beristigfar, kemudian berbuat dosa lagi dan beristigfar lagi, begitu seterusnya. Selama beberapa waktu dia berhenti berbuat dosa, tetapi kemudian melakukannya lagi. Bagaimana hukumnya?

Jawaban:

Apabila dia beristigfar (memohon ampunan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bertobat dengan tobat nasuha, dan mencabut diri dari dosa tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menerima tobatnya dan mengampuninya.

Apabila ia kembali melakukan dosa tersebut lalu memohon ampunan (kepada Allah), bertobat dengan tobat nasuha, dan mencabut diri dari dosa tersebut, Allah akan menerima tobatnya dan mengampuninya. Demikian seterusnya.

Dosa yang terdahulu tidaklah kembali setelah dia melakukan tobat yang jujur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِنِّي لَغَفَّارٞ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82)

إِنَّ رَبَّكَ وَٰسِعُ ٱلۡمَغۡفِرَةِۚ

“Sesungguhnya Rabbmu Mahaluas ampunan-Nya.” (an-Najm: 32)

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud

(Fatawa al-Lajnah 24/319, pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 7825)


Catatan Kaki

[1] HR. Ahmad (1/2) Abu Dawud (2/180 no. 1521), at-Tirmidzi (2/258, 5/228 no. 406 & 3006), dan lainnya.

ASSYARIYAH