Bolehkah Seorang Suami Memandikan Jenazah Istrinya?

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

مَا ضَرَّكِ لَوْ مِتِّ قَبْلِي، فَقُمْتُ عَلَيْكِ، فَغَسَّلْتُكِ، وَكَفَّنْتُكِ، وَصَلَّيْتُ عَلَيْكِ، وَدَفَنْتُكِ

Tidak ada bahaya sekiranya kamu meninggal sebelumku. Aku akan mengurusimu, memandikan, mengafani, mensalatkan, dan menguburkanmu.” (HR. Ibnu Majah no. 14 dan Ahmad 43: 81. Dinilai hasan oleh Syekh Albani dan Syekh Syu’aib Al-Arnauth)

Faedah hadis

Hadis ini merupakan dalil bolehnya seorang suami memandikan jenazah istrinya. Pendapat ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad (pendapat yang masyhur dari beliau). Sebagaimana mereka juga berdalil dengan qiyas bolehnya seorang istri memandikan jenazah sang suami.

Sedangkan sejumlah ulama yang lain berpendapat tidak boleh seorang suami memandikan jenazah istrinya, di antara adalah pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsauri, dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka berargumentasi bahwa kematian itu telah membatalkan pernikahan di antara keduanya, sehingga tidak boleh lagi melihat dan memegang jenazahnya. Sehingga konsekuensinya, seorang suami tidak boleh memandikan jenazah istrinya.

Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama, karena dalilnya yang kuat.

Adapun bolehnya seorang istri memandikan jenazah suami, hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

لَمَّا أَرَادُوا غَسْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: وَاللَّهِ مَا نَدْرِي أَنُجَرِّدُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ثِيَابِهِ كَمَا نُجَرِّدُ مَوْتَانَا، أَمْ نَغْسِلُهُ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ؟ فَلَمَّا اخْتَلَفُوا أَلْقَى اللَّهُ عَلَيْهِمُ النَّوْمَ حَتَّى مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلَّا وَذَقْنُهُ فِي صَدْرِهِ، ثُمَّ كَلَّمَهُمْ مُكَلِّمٌ مِنْ نَاحِيَةِ الْبَيْتِ لَا يَدْرُونَ مَنْ هُوَ: أَنْ اغْسِلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ، فَقَامُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَسَلُوهُ وَعَلَيْهِ قَمِيصُهُ، يَصُبُّونَ الْمَاءَ فَوْقَ الْقَمِيصِ وَيُدَلِّكُونَهُ بِالْقَمِيصِ دُونَ أَيْدِيهِمْ ، وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَقُولُ: لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ، مَا غَسَلَهُ إِلَّا نِسَاؤُهُ

Tatkala mereka hendak memandikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka mengatakan, “Demi Allah, kami tidak tahu apakah kita akan menelanjangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari pakaiannya sebagaimana kita menelanjangi orang-orang yang meninggal di antara kita atau kita memandikannya dalam keadaan beliau memakai pakaiannya?” Tatkala mereka berselisih, Allah menidurkan mereka hingga tidak ada seorang pun melainkan dagunya menempel pada dadanya. Kemudian mereka diajak bicara seseorang yang berbicara dari sisi rumah. Mereka tidak mengetahui siapakah dia. Orang tersebut berkata, “Mandikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan memakai pakaiannya.”

Kemudian mereka bangkit menuju kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memandikan beliau dalam keadaan beliau memakai jubahnya. Mereka menuangkan air dari atas jubah dan memijat-mijatnya dengan jubah bukan dengan tangan mereka. Aisyah berkata, “Seandainya nampak bagiku dahulu seperti apa yang nampak sekarang ini, maka tidak ada yang  memandikan beliau, kecuali para istrinya.” (HR. Abu Dawud no. 3141, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Aisyah berkeinginan untuk memandikan jenazah Nabi. Dan tidaklah beliau berkeinginan, kecuali atas sesuatu yang hukumnya boleh.” (As-Sunan Al-Kubra, 3: 398)

Juga terdapat riwayat yang sangat banyak yang menunjukkan bahwa istri Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah yang memandikan jenazah Abu Bakr sesuai dengan wasiat beliau. (Lihat Al-Ghusl wal Kafn, hal. 40 karya Syekh Musthafa Al-‘Adawi)

Selain itu, terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Fathimah radhiyallahu ‘anha dimandikan jenazahnya oleh ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu. (Lihat  Al-Irwa’, 3: 162 karya Syekh Al-Albani)

Demikian pula Ibnul Munzir dan Ibnu Abdil Barr rahimahumallah mengutip adanya ijma’ bolehnya seorang istri memandikan jenazah suaminya. (Al-Ijma’, hal. 46 dan Al-Istidzkar, 8: 198) Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82405-bolehkah-seorang-suami-memandikan-jenazah-istrinya.html

Tafsir Ayatul Ahkam Surat Al-Baqarah 258-260: Kisah Nabi Ibrahim dan Namrud (2)

Selain mengulas kisah Nabi Ibrahim dan Raja Namrud, Surat ini juga menjelaskan bagaimana Allah menghidupkan kembali keledai yang sudah mati, menyusun kembali tulang-tulang yang telah berserakan, dan membalutnya dengan daging, urat saraf dan kulit

Sambungan artikelPERTAMA

AYAT di atas menunjukkan bolehnya melakukan dialog dan perdebatan dalam masalah agama dan keyakinan. Jika tujuan perdebatan menjelaskan kebenaran dan di prediksi membawa maslahat dakwah diantara dalilnya adalah sebagai berikut,

a) Firman-Nya,

 وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ

“dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl [16]: :125 ).

b) Firman-Nya,

وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ وَقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلٰهُنَا وَاِلٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ”Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (QS. Al-Ankabut [ 29 ] : 46)

 c) Firman-Nya,

 وَقَالُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ تِلْكَ اَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

 “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 111).

 d) Firman Allah tentang perdebatan Nabi Nuh dengan kaumnya; 

قَالُوْا يٰنُوْحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَاَ كْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ اِنْ كُنْتَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ

 “Mereka berkata, “Wahai Nuh! Sungguh, engkau telah berbantah dengan kami, dan engkau telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang engkau ancamkan, jika kamu termasuk orang yang benar.” (QS. Hud [ 11 ] : 32 )

Kisah Uzair bin Syarkhiya

 اَوْ كَالَّذِيْ مَرَّ عَلٰى قَرْيَةٍ وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ قَالَ اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهٗ ۗ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَۗ وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا ۗ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗ ۙ قَالَ اَعْلَمُ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?” Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 259 )

Ayat di atas menjelaskan tentang kisah Uzair bin Syarkhiya, salah satu ulama Bani Israil yang melewati sebuah kota yang hancur, tembok-tembok yang telah runtuh di atas atap-atapnya. 

وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ

“yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya.

Khawiyah artinya: kosong, sedangkan “urusy adalah atap-atap sehingga diartikan, “kosong karena runtuh atap-atapnya.”

Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan kota yang dimaksud. Yang paling masyhur di kalangan ahli tafsir  bahwa kota tersebut adalah Baitul Maqdis yang dihancurkan oleh Bukhtanasar.

Kemudian Uzair berkata, 

اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا

“Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?”

Pertanyaan ini mengandung dua hal;

a) Bagaimana Allah menghidupkan kembali kota yang sudah hancur ini ?

b) Bagaimana Allah menghidukan orang-orang yang sudah mati?

Allah berfirman;

فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَه

“Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali.”

Imam Al-Qurthubi berkata, “Makna lahiriyah dari ayat ini adalah kematian yang sebenarnya (keluarnya ruh dari jasad). ”Jadi bukan pingsan dan bukan pula koma atau mati suri. Hal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir.

Kemudian setelah 100 tahun, Allah menghidupkannya kembali. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa setelah berlalu 70 tahun dari kematiannya.

Allah mengirim seorang Raja Persia yang agung bernama “Kusyka” ke tempat tersebut dan membangun kembali kota tersebut selama 30 tahun.

Dalam Al-Quran disebutkan;

قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ

“Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.”

Diriwayatkan bahwa Allah mematikannya pada pagi hari, kemudian menghidupkan setelah 100 tahun ppada sore harinya. Oleh karenanya ia mengira baru tidur sehari satu setengah hari.

Hal ini mirip dengan jawaban ashabul kahfi ketika ditanya, berapa lama kalian tinggal di dalam gua ini?

 قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ

“Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” (QS. Al-Kahfi [ 18 ] : 19 )

Allah berfirman;

قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَ

“Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang).”

Makanan di sini maksudnya buah (tin) yang ia kumpulkan dari pohon-pohon sekitar kota tersebut. Dahulu kota Baitul Maqdis dan sekitarnya banyak tumbuh pohon tin dan zaitun. Ini sesuai dengan firman Allah, 

وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ

“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.” (QS. At-Tin [ 95 ] : 1)

Maksudnya yang tumbuh di kota Baitul Maqdis, mengisyaratkan tentang Nabi Isa Alaihi Salaam.

Adapun minuman di sini adalah minuman hasil perasan buah. Makanan dan minuman tersebut tidak berubah (لَمْ يَتَسَنَّهْ) makna aslinya tidak berubah dengan perubahan tahun.

Tetapi ketika melihat keledainya ternyata dia telah mati tidak tersisa darinya kecuali tulang belulangnya saja. Terkait ini Allah berfirman;

وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا

“Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”

Uzair dijadikan Allah sebagai salah satu bukti kekuasaan-Nya hal itu karena dia diperintahkan untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah menghidupkan kembali keledai yang sudah mati tersebut, setahap demi setahap, mulai dari menyusun kembali tulang-tulang keledai tersebut yang telah berserakan, kemudian dibalutnya dengan daging, urat saraf dan kulit. Seperti terbalutnya  tubuh oleh pakaian. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh  ke dalam jasad keledai  tersebut, lalu keledai itu pun hidup kembali.

Kata (نُنْشِزُهَا) artinya kami tinggikan. Dikatakan wanita Nasyizah yaitu wanita yang meninggi dan melawan suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz.” (QS. An-Nisa [4]: 34 )

Berarti makna ayat 259 dari Surat al-Baqarah di atas adalah “Kami mengangkat tulang-tuang keledai tersebut dari muka bumi dan menggabungkan satu dengan yang lainnya, kemudian kami tiup dengan daging.”/Dr Ahmad Zain An-NajahPusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI) (BERSAMBUNG)

HIDAYATULLAH

Asrorun Ni’am Minta Mekanisme PONZI Pengelolaan Keuangan Haji Dihentikan

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh meminta, skema PONZI pengelolaan keuangan haji dihentikan. Hal ini, sehubungan dengan perhitungan nilai manfaat yang diharap dihitung per-individu, bukan kolektif per-kelompok.

“Nilai manfaat merupakan dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji, yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. Nah nilai manfaat yang digunakan ini punya siapa? Dalam aturan UU dan syar’i, nilai manfaat ini idealnya dan seharusnya secara personal individual, bukan kolektif sebagai perkumpulan calon jamaah. Namun kondisi faktual, ini secara kolektif,” kata dia dalam agenda Forum Diskusi BPIH Berkeadilan dan Berkelanjutan, Senin (30/1/2023). Baca Juga

Asrorun Ni’am menyebut, berdasarkan kondisi saat ini, otoritas pemanfaatan nilai manfaat yang seharusnya dimiliki individu calon jamaah haji malah digunakan untuk keberangkatan jamaah haji tahun berlangsung, atau bukan punyanya. Ini merupakan tanggung jawab negara dalam pengelolaan, termasuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Bantuan pelaksanaan ibadah haji, dalam hal pembiayaan, disebut bukan hal yang tidak mungkin. Hal ini mengingat fungsi negara adalah memberi jaminan dalam bentuk subsidi, sebagai tugasnya dalam pelayanan dan fasilitasi.

Namun demikian, sumber subsidi ini harus jelas dan tepat. Jika hal ini bersumber dari dana calon jamaah haji yang lain, yang mana pemerintah memiliki kewenangan untuk mengaturnya, maka ini tidak sah karena jamaah haji yang akan berangkat tidak memiliki hak di dalamnya.

“Skema ini mirip PONZI, yaitu nilai manfaat dari uang calon jamaah yang baru digunakan untuk membayar pelaksanaan haji jamaah tahun berjalan. Prinsipnya dana jamaah boleh diinvestasikan dan nilai manfaatnya kembali ke jamaah. Tapi kalau untuk menutupi biaya haji jamaah lain, ini masuk kategori malpraktik penyelenggaraan ibadah haji dan perlu perbaikan,” lanjutnya.

Dia lantas mengusulkan perbaikan dari sisi perspektif keagamaan, yaitu memotong dan menghilangkan mekanisme PONZI dalam pengelolaan keuangan haji. Jika sudah terlanjur, harus segera dihentikan dan hak calon jamaah dikembalikan, jangan sampai mendzalimi mereka.

“Kalau //toh// seandainya skema yang berjalan saat ini memanfaatkan nilai manfaat dana kelolaan kepentingan jamaah haji yang berbeda dari yang memilikinya, maka ini saatnya untuk berhenti. Dari saat BPKH bisa mengidentifikasi si A punya uang berapa dan nilai manfaat berapa, sisanya jika sudah dihitung BPIH dan Bipihnya, maka tinggal menambah,” ujar dia.

Asrorun Ni’am menyebut, pemerintah memiliki hak tasharruf dalam menentukan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih), serta pengelolaannya dengan memperhatikan status dan karakteristik sumber dana masing-masing. Diketahui BPIH ini bersumber dari dana APBN, Bipih dan nilai manfaat.

Pemerintah disebut harus menyusun dan menetapkan kebutuhan riil penyelenggaraan ibadah haji, serta mempertegas komponen yang ditanggung masing-masing jamaah dan pemerintah. Diharapkan tidak ada lagi pertimbangan posisi politik dan lainnya, yang dapat mengorbankan hak jamaah secara finansial.

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Umroh

Umroh adalah ibadah yang hanya bisa dilakukan secara fisik di Tanah Suci Makkah. Dalam sejumlah hadits, disebutkan tentang keutamaan umroh.

Di dalam buku Fiqih Umrah karangan Muhammad Ajib diantara keutamaan ibadah umrah tersebut adalah sebagai berikut:

Doanya Mustajab

Di antara keutamaan yang Rasulullah SAW janjikan untuk mereka yang mengerjakan ibadah umrah adalah jika berdoa maka doanya mustajab atau dikabulkan, dan jika meminta ampunan akan diberikan ampunan oleh Allah SWT.

Dasarnya adalah karena orang yang mengerjakan ibadah umroh tidak lain mereka menjadi tamu Allah SWT. Maka sebagai ’tuan rumah’, pastilah Allah SWT akan memberikan pelayanan yang terbaik buat sang tamu. Dan pemberian yang terbaik adalah berupa dikabulkannya doa serta diterimanya ampunan.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang tertera dalam kitab hadits: Jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka lalu mereka pun menyambut panggilan-Nya; jika mereka meminta ampun kepada-Nya maka Dia pun mengampuninya.” (HR. Ibnu Majah).

Menghapus Dosa

Orang yang menjalankan ibadah umroh, maka insya Allah dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih dibawah ini.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Dari satu umroh ke umroh yang lainnya menjadi penghapus dosa diantara keduanya. Dan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga. (HR. Bukhari dan Muslim)

Umroh Ramadhan Berpahala Haji

Siapapun diantara kita yang melakukan ibadah umroh khusus pada bulan Ramadhan maka dia seolah-olah mendapatkan pahala ibadah haji bersama Rasulullah SAW.

Dalam hal ini Imam An-Nawawi dalam kitab al Majmu Syarh Al-Muhadzdzab menyebutkan sebuah hadits shahih sebagai berikut: “Dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Umroh pada bulan Ramadhan pahalanya setara dengan haji atau setara dengan haji bersamaku.” (HR Bukhari & Muslim)

IHRAM