Sumbangan Ilmuwan Muslim Terhadap Kemajuan Barat

Sebelum gemilang, Barat pernah mengalami masa gelap, para sarjana Kristen dan Eropa berbondong-bondong menemukan pengetahuan yang melimpah  dari ilmuwan orang Arab  dan Muslim

Hidayatullah.com | DALAM perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) pernah mengalami masa yang pahit yang mereka sebut dengan zaman kegelapan (the Dark Ages) atau disebut juga zaman pertengahan (the Medieval Ages).

Zaman kegelapan itu dimulai dari runtuhnya Imperium Romawi Barat pada tahun 476 M dan munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat kristen Barat.

Dalam buku Seni Mendidik Islami karya Baqir Syafir al-Qarasyi (Jakarta, Pustaka Zahra, 2003) dijelaskan bahwa, dalam abad kegelapan Barat itu ilmuan Muslim seperti al-Biruni sudah menghidupkan metode eksperimen yang tak pernah di kenal oleh para pemikir besar Yunani.

Metode yang kemudian menjadi bangunan dasar sains modern ini, memang membawa Islam pada puncak  kegemilangan peradabannya. Maka tidaklah berlebihan untuk me­ngatakan bahwa sains modern yang dikembangkan oleh Barat saat ini berasal dari benih pemikiran Islam.

Sains modern, setidaknya metode eksperimental itu, merupakan kontribusi paling monumental dari peradaban Islam. Jadi, perkembangan ilmu di Barat saat ini adalah hutang dari Islam.

Dr Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya, Liberalisasi Pemikiran Islam, menyebutkan bahwa Barat bangkit setelah melalui periode penerjemahan (Translation Period), khususnya penerjemahan karya-karya Muslim dalam bidang sains dari bahasa Arab ke bahasa latin.

Augene Myeres dengan tegas menyimpulkan bahwa salah satu faktor terpenting kebangkitan Barat adalah penerjemahan karya-karya cendikiawan Muslim tersebut. Penerjemahan itu terus berlanjut sampai zaman Renaissance, sekitar abad ke 14. Pada zaman pertengahan itulah gereja mulai membangun kekuatan hegemoniknya.

Peradaban dan agama

Islam sebagai negara (kekhalifahan) telah bertempur dengan negara Byzantium atau kerajaan Romawi Timur di Syam, kemudian di Mesir dan seluruh Afrika Utara. Islam sempat melebar hingga ke Spanyol dan Prancis, tapi kemudian mengalami kekalahan sehingga peradaban Islam semakin surut.

Seiring pudarnya penguasaan umat Islam atas sains dan teknologi dan menanjaknya kemampuan sains Barat, lenyap pula kemampuan umat Islam untuk bertahan, sehingga kecenderungan menurunnya peran umat Islam di dunia tidak dapat dielakkan.  Sebaliknya bangsa Eropa, setelah belajar dari umat Islam, lima abad kemudian ber­hasil melanjutkan pengembangan sains di tengah ma­syarakat mereka.

Agama Kristen mulai mendapat kebebasan setelah –beratus tahun- mengalami penindasan dibawah imperium Romawi. Namun orang Barat seperti mengalami kematian karena hidupnya berada dibawah cengkraman gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil tuhan di muka bumi, melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. (Dr. Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan tinggi, Gema Insani press, 2006).

Kejahatan dan kekejaman institusi gereja ini kemudian dikenal sebagai “inquisisi”. Pada akhirnya gereja kehilangan kekuasannya, dan sekularisasi melanda dunia Barat.

Akibatnya gama dipisahkan dari politik, ekonomi dan sains. Selanjutnya dapat dilihat pertumbuhan sains dan teknologi yang pesat di Barat, disusul dengan penjajahan atas umat Islam.

Berawal dari perasaan trauma terhadap gereja itulah, umat Kristen mulai mempelajari dan mengadopsi peradaban Islam. Ibrahim Muhammad Salqini dalam Fiqh al-Islam: Ahkamus Shalat, mengatakan bahwa orang-orang Barat sebenarnya banyak belajar tentang kebersihan dan kesehatan dari orang-orang Islam di Andalusia. Hal itu terjadi karena problem agama Kristen berkaitan dengan hilangnya otentisitas teks Bibel dan makna yang terkandung di dalamnya.

Lee Phillips, Anggota Zubaida Foundation juga seorang mualaf, menceritakan pilihannya pada Islam mengatakan, “Menurut saya tidak terdapat banyak perbedaan antara agama Kristen dan Islam tersebut. Makanya saya tidak sulit mengikuti ajaran Islam,” katanya. Islam, kata Philips, mengajarkan orang untuk melakukan perbuatan baik, sering berdoa, selalu ingat Allah kapan pun dan dimanapun. Selain itu Islam juga mengajarkan untuk memberikan hal-hal yang kita sukai kepada orang lain. ”Hidup saya lebih kaya dan lebih damai dengan menjadi seorang Muslim,” tuturnya.

Sejarah pekembangan sains Barat

Dilihat dari sejarahnya, pada abad ke 6 sampai abad ke 13 Eropa masih dalam masa kegelapan (kemunduran), sedangkan Islam berada dalam masa keeemasan. Saat itu banyak orang Eropa seperti dari Prancis, Inggris, Italia dan lain-lain yang datang ke negeri Islam untuk belajar.

Melalui merekalah, pemikiran rasional, ilmiah, dan filosofis Islam dibawa ke Eropa, serta sains. Dalam sejarah, Renaissense Eropa terjadi setelah mereka belajar pada ilmuan-ilmuan Islam.

Namun sekarang kondisinya terbalik, sejak zaman itu Eropa bangkit hingga mengalami kemajuan sampai sekarang, sebaliknya umat Islam mengalami “kemunduran”.

Semenjak abad ke 15 bangsa-bangsa yang beragama Kristen menjajah dan menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam. Akhirnya, pada tahun 1918 hampir seluruh umat Islam di dunia menjadi jajahan Kolonial Kristen.

Pada waktu itu seluruh kepulauan Indonesia dikuasai Belanda dan Malaysia dikuasai Inggris. Pada periode permulaan abad ke 20 itulah banyak sarjana-sarjana Barat yang mempelajari Islam.

Belanda memunculkan orientalis Snouck Hurgronje (1857-1936), Prancis memunculkan Louis Massignon (1958), Inggris memunculkan Hamilton Gibb (1960), Jerman memunculkan Joseph Schacht, dan Canada memberikan Cantwell Wilfred Smith, dan lain sebagainya.

Selain itu banyak lagi orang Barat yang belajar pada cendekiawan muslim seperti Herman Si Pincang (1013-1054); biarawan Reichenan di Swiss yang menulis buku matematika; Adeland of Bath (1090-1150), orang Inggris yang menyamar sebagai orang Islam dan mengikuti kuliah-kuliah di Cordoba (Qurtubah) menulis kompendium untuk sains ilmuwan Muslim; Gerando de Cremona (1114-1187) yang menyalin sekitar 90 karya ilmuwan Muslim ke dalam bahasa latin.

Sehubungan dengan ini Prof. Fuat Sezgin dari universitas Frankfurt, yang menulis buku Geschichte des Arabischen Schrifftums (20 jilid) menemukan bahwa tidak sedikit karya ilmuwan Muslim yang dibajak dengan jalan menyalinnya dalam bahasa latin dan kemudian dibubuhi nama penyalin itu sendiri sebagai ganti nama penulis aslinya.

Karen Amstrong dalam bukunya, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk (Jakarta, Serambi) menjelaskan bahwa dalam bidang pengetahuan dan kesarjanaan, Eropa juga mulai mengadopsi sikap yang mengurangi rasa permusuhan terhadap dunia luar.

Selama paruh abad ke 12, para sarjana Kristen berbondong-bondong ke Spanyol dan Sisilia. Di sana mereka menemukan pengetahuan yang melimpah di antara orang-orang Arab dan Yahudi bekas wilayah-wilayah Islam.

Mereka mulai menerjemahkan berbagai teks dari bahasa Arab dan sekaligus menemukan karya-karya ilmiah Aristoteles, sebagaimana juga mereka menemukan ilmu-ilmu filosofis dan ilmiah di dunia Arab.

Karena itu dengan menerjemahkan teks-teks Arab, para sarjana Barat ini mengembalikan budaya yang telah hilang selama abad kegelapan di Eropa. Mereka menemukan bahwa mereka dapat banyak belajar dari para sarjana Arab seperti Abu Ali al-Husain Ibn Abdullah Ibnu Sina (w. 1037) dan rekan Muslim sezaman mereka dari Cordoba, abu al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad ibn Rusyd. Nama-nama ini kemudian dipendekkan dan dibaratkan menjadi Avecienna dan Averroes yang menjadi orang bijak baru dan pemandu Barat yang sedang berjuang untuk maju.

Tidak hanya itu, masih banyak lagi ilmuan dan sarjana Islam yang menjadi inspirasi Barat untuk melakukan penelitian ilmiah. Misalnya Muhammad bin Musa al-Khawarizmi seorang tokoh matematika besar yang menemukan angka nol.

Bukunya, Hisab al-Jabar wal Muqabalah dan Kitab al-Jama’ wat-Thariq sangat mempengaruhi ahli ilmu Aljabar Leonardo Fibonacci dari Pisa di Italia. Bidang lain dalam matematika banyak ditemukan seperti istilah sinus, kosinus, tangen, kotangen atau ilmu astronomi seperti istilah azimut, zenith dan nadir.

Semua itu diciptakan oleh sarjana Muslim yang bernama al-Battani, yang di Barat disebut Albategni atau Albategnius. Sedangkan dalam ilmu kimia modern, dirintis oleh Jabir bin Hayyan al-Kufi (738-813) dan Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria ar-Razi (865-925).

Dalam bidang filsafat ada Ibnu Rusyd (1126-1198) yang dihormati Barat dengan nama Averroes. Dalam bidang sosial, politik dan budaya ada Ibnu Khaldun (lahir 27 mei 1332) dan dalam bidang navigasi ada Ibnu Battutah (1304-1377) yang menjelajah dunia dari Rusia hingga Samudra Pasai, dan Ibnu Majid yang menemukan kompas modern.

Masih banyak lagi cendekiawan Muslim lainnya. Jadi, Banyak ilmuan Muslim yang menjadi sumber rujukan orang Barat sebelum terjadi kebangkitan ilmu pengetahuan.*/Lahmuddin SpdI, Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan VI- UNIDA-Gontor

HIDAYATULLAH

Biografi Singkat Khawla Nakata Kaori, Ulama Perempuan Pertama Jepang

Nama Khawla Nakata Kaori mungkin secara luas tidak dikenal di dunia Muslim, namun kontribusi ulama perempuan ini terhadap Islam di Jepang, dan khususnya komunitas Muslim, tidak dapat dianggap remeh

Hidayatullah.com — Saya, misalnya, secara pribadi mendapat manfaat dari karya dan idenya. Banyak orang yang mengenalnya tersentuh oleh kepribadian dan keanggunan intelektualnya. Seorang Muslimah yang berdedikasi untuk mendukung keilmuan Islam, dia melanjutkan upaya ini sampai nafas terakhirnya.

Saya berharap umat Islam di seluruh dunia mendapat kesempatan untuk belajar tentang ulama lain dari kami yang sering mendapat sangat sedikit perhatian karena ketidakjelasan seputar kehadiran Islam di Asia Timur.

Bisa dikatakan bahwa Khawla Nakata Kaori adalah salah satu ulama Muslim perempuan pertama di Jepang. Seorang individu yang terpelajar, dia jelas berpengalaman dalam peradaban Barat dan Islam, setelah menghabiskan waktu di Prancis, Mesir, dan Arab Saudi. Dia juga memperoleh Ijazah dari sejumlah ulama Islam tradisional di Mesir, Suriah, dan Arab Saudi. Selain itu, dia fasih berbahasa Jepang, Arab, dan Barat. Sebagai hasilnya, ia dapat membawa pengalaman pribadinya kepada orang-orang di Jepang dan memberikan cakupan pengetahuan dan gagasan yang luas dari berbagai bangsa dan budaya.

Perjalanan hidupnya adalah sesuatu yang langka, tidak hanya bagi seorang wanita Muslim di Jepang, tetapi bagi sebagian besar orang Jepang. Singkatnya, dia benar-benar warga dunia dan membawa pengalaman eklektiknya ke Jepang. Salah satu kontribusi yang signifikan adalah pembentukan jaringan wanita Muslim Jepang, menyatukan banyak dari mereka usai sebelumnya tersebar di seluruh Jepang.

Ia juga menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menerjemahkan karya klasik Islam, seperti Tafsir al-Jalalain, ke dalam bahasa Jepang tanpa mengubah artinya. Pada saat yang sama, dia sadar menggunakan bahasa Jepang biasa dalam kuliah dan buku pengantar untuk mengakomodasi pembaca Jepang dengan latar belakang yang beragam. Karena itu, Islam dibawa ke khalayak Jepang dalam bentuk yang murni.

Pada catatan yang lebih pribadi, interaksi saya sendiri dengan ide-idenya yang membawa saya ke perjalanan saya tentang Islam. Harapan saya adalah dengan memberikan biografi singkat Khawla Nakata Kaori ini, lebih banyak Muslim akan mengakui kontribusi jasanya untuk agama, ilmu dan masyarakat Muslim.

Khawla Nakata Kaori lahir pada tanggal 26 Januari 1961 di Shizuoka, Jepang. Dia lulus dari Fakultas Sastra Universitas Kyoto dengan tesisnya meliputi novel Albert Camus The Stranger. Pada tahun 1990, setelah lulus, dia pergi ke Prancis untuk melanjutkan pendidikannya. Di sanalah, saat mengunjungi sebuah masjid di Paris, dia terinspirasi untuk mengejar beasiswa Islam.

Tidak lama setelah dia memutuskan untuk belajar Islam, dia masuk Islam, mengucapkan syahadatnya pada Januari 1991. Dari Agustus 1991 hingga April 1992, dia tinggal di Mesir, di mana dia bertemu dan menikah dengan warga negara Jepang lainnya, Nakata Ko, seorang mahasiswa doktoral di bidang filsafat di Universitas Kairo. Pada Juli 1992, mereka kembali ke negara asalnya Jepang, dan mulai menerbitkan Muslim Shinbun (Koran Muslim) bulanan.

Mereka kemudian kembali ke Kairo, di mana mereka kembali tinggal selama satu tahun dan menerima ijazah pembacaan Al-Qur’an dari Sayyid Abdullah al-Jawhary. Kaori menerima Ijazah Irsyad ‘amm Tasawwuf Qadiriyyan Shaziliyyah Darqawiyyah ‘Alawiyyah, oleh Syaikh Yusuf al-Bakhkhur al-Hassani, Ijazah Tafsir al-Qur’an oleh Syaikh Dr. Majdi ‘Ashur, dan beberapa Ijazah lainnya dalam kajian Islam tradisional. Setelah mendapatkan mandatnya di Mesir, dia pindah kembali ke Jepang di mana dia mengajar di Universitas Prefektur Yamaguchi dari tahun 1999-2002.

Pada 16 Agustus 2008, Kaori meninggal dunia di usia muda, 47 tahun. Saat sakit, dia terus menulis hingga meninggal dunia di rumah sakit.

Pencapaian Kaori tidak hanya mencakup pencarian ilmu, yang sangat bermanfaat bagi komunitas Muslim di Jepang, namun ia juga membangun landasan keilmuan Islam bagi komunitas Muslim Jepang. Dia menulis serangkaian buku pengantar tentang aqidah dasar, ibadah, dan praktik lainnya, dan membangun jaringan pendidikan untuk wanita Muslim di seluruh Jepang. Lebih penting lagi, dia menerjemahkan Tafsir al-Jalalain ke dalam bahasa Jepang di bawah pengawasan suaminya, Nakata Ko. Ini adalah Tafsir pertama yang tersedia dalam bahasa Jepang.

Buku terakhirnya adalah Pengenalan Kepada Allah. Buku ini adalah komentarnya dalam bahasa Jepang tentang Risalah fi al-Tawhid karya Arslan al-Dimashqi. Di dalamnya, Kaori menjelaskan esensi Tauhid dalam bahasa Jepang sederhana, seperti halnya para ulama Islam di banyak wilayah peradaban Islam lainnya telah berusaha untuk mengungkapkan Tauhid dalam bahasa daerah lainnya.

Pengenalan Kepada Allah diterbitkan sebagai seri di Koran Muslim dari No. 101 sampai No. 187. Di bawah ini adalah kutipan dari kata penutup buku ini;

Selama (menulis) seri ini, saya mengalami gejala metastasis otak akibat kanker payudara, [dan] menerima radiasi otak. Sekitar setahun kemudian saya menerima perawatan pisau gamma. Enam bulan kemudian, saya dibawa ke rumah sakit dengan ambulans dengan gejala baru edema otak. Saya dirawat di rumah sakit, dan hari ini sudah satu setengah bulan.

Gejala saya jauh lebih baik daripada sebelum dirawat di rumah sakit dan saya memiliki energi untuk bekerja di komputer saya.

Saya berharap buku ini akan tersedia tidak hanya untuk umat Islam tetapi juga untuk masyarakat umum. Kami di Koran Muslim akan menerbitkan edisi terbatas hanya 100 eksemplar, dan pada akhirnya kami berharap dapat bernegosiasi dengan penerbit umum. Insya Allah.

Sebagai penutup catatan tambahan ini, saya ingin berbagi dengan Anda kutipan dari beberapa tulisan saya ke beberapa Muslimah.

Meninjau buku ini (Risalah fi al-Tauhid), saya menyadari bahwa ini adalah buku yang luar biasa. Dan yang lebih hebat lagi, kini kami (saya dan suami Hasan) dituntun untuk menemukannya.

Iman Islam dimulai dengan “La ilaha illa Allah” dan bertujuan untuk kesempurnaannya, dan itulah arah yang kita tuju sekarang.

Sampai sekarang, kami pikir kami sendirian dalam ibadah dan lainnya. Tapi sekarang saya hidup dengan pola pikir bahwa Allah melakukan segalanya untuk saya. Sekarang saya berdoa dalam wudhu ini karena saya memiliki sedikit kelumpuhan di tubuh bagian bawah saya dan saya mudah kembung, dan saya melakukan Sujud sebagai rasa terima kasih karena telah diberi kesempatan untuk melakukan Sujud di sini lagi. Saya sekarang mengerti bahwa Qadar dan kehendak bebas juga merupakan masalah dualistik yang tidak perlu dibahas dalam keadaan Tauhid. Saya berterima kasih kepada Allah karena telah memberi saya anugerah penyakit.

3 Maret 2008.

Khawla Nakata Kaori

Ditulis Oleh Dr. Qayyim Naoki Yamamoto. Penulis saat ini adalah asisten profesor di Sekolah Pascasarjana Studi Turki, Universitas Marmara. Ia menyelesaikan PhD-nya di Graduate School of Asia and Africa Studies, Universitas Kyoto pada 2018. Ia berspesialisasi dalam Tasawwuf Utsmaniyyah dan budaya tradisional Jepang. Publikasinya meliputi terjemahan bahasa Jepang dari Kitāb al-Futuwwa karya Sulami dan Pengantar Tasawwuf: Perbandingan dengan Manga Shonen (Seri Esai Web Shueisha).*

Diterjemahkan dari Traversing Tradition

HIDAYATULLAH

Bolehkah Perempuan Berpolitik

Bolehkah perempuan berpolitik? Sebagai negeri demokrasi, Tentunya membutuhkan campur tangan dari banyak elemen. Agaknya perempuan juga harus hadir mengisi pos-pos pemerintahan, yang mana memang biasanya struktural tersebut lebih maslahat diisi perempuan. 

Sebutlah nama besar seperti Sri Mulyani, Khofifah Indar Parawansa, dan seabrek nama lainnya, yang dengan gigih mengabdikan diri kepada negara. Atau dalam spektrum global, kita menemui nama elit politik yang bersinar seperti Ratu Bilqis (penguasa Yaman di era Nabi Sulaiman As), Ratu Elizabeth (Ratu UK), dan Halimah Yacob (Presiden Singapura), serta lainnya. 

Kalau boleh dianalogikan, politik itu semacam pisau. Boleh jadi bermanfaat, namun juga riskan memberikan madharat. Maka dari itu, tergantung pelaku politiknya. Tidak semua elit politik itu buruk, beberapa dari mereka juga pasti ada yang memang benar-benar ingin memberikan maslahat. 

Sebagaimana definisi politik yang diutarakan oleh Ibnu Aqil, di mana beliau menjelaskan;

السِّيَاسَةُ مَا كَانَ فِعْلًا يَكُونُ مَعَهُ النَّاسُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ، وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ، وَإِنْ لَمْ يَضَعْهُ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ.

“Politik merupakan berbagai hal yang sifatnya praktis yang mendekati kemaslahatan bagi manusia dengan tujuan menjauhkan dari kerusakan meskipun tak digariskan oleh Rasulullah Saw.” (Ibnu Al-Qayyim, Al-Thuruq Al-Hukmiyyah fi al-siyasah al-syar’iyyah  Halaman 12) 

Maka seyogyanya seorang elit politik mencurahkan tenaganya untuk memberikan kemaslahatan pada publik, dan biasanya yang peka terhadap masalah beginian adalah kaum hawa. 

Lalu bolehkah seorang perempuan berpolitik? Jawabannya adalah boleh, bahkan untuk menjadi Hakim pun boleh dalam pandangan beberapa Ulama’. Meski tidak ada redaksi yang secara implisit menyatakan kebolehan berpolitik, namun ada banyak literatur yang memberikan implikasi pemahaman bahwa perempuan boleh berpolitik. 

Misalnya dalam konteks perempuan menjadi Hakim, Pakar hukum Islam kontemporer, Prof Wahbah Al-Zuhaili dalam salah satu magnum opusnya yang berjudul Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh memetakan masalah ini dari berbagai pro kontra para Ulama’. Dituliskan;

اتفق أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط العدالة، والذكورة، والاجتهاد

“Imam-imam mazhab sepakat bahwa hakim disyaratkan berakal, baligh, merdeka, muslim, memiliki pendengaran, penglihatan, dan percakapan yang baik. Tetapi mereka berbeda pendapat perihal syarat ‘adalah’ (sejenis kesalehan), jenis kelamin laki-laki, dan kemampuan ijtihad,” 

Terkait status jenis kelamin, Syekh Wahbah Al-Zuhaili membahasnya dengan panjang lebar. Beliau menyatakan;

وأما الذكورة: فهي شرط أيضاً عند غير الحنفية، فلا تولى المرأة القضاء؛ لقوله صلّى الله عليه وسلم: «لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة»، ولأن القضاء يحتاج إلى كمال الرأي وتمام العقل والفطنة والخبرة بشؤون الحياة، والمرأة ناقصة العقل، قليلة الرأي، بسبب ضعف خبرتها واطلاعها على واقع الحياة، ولأنه لا بد للقاضي من مجالسة الرجال من الفقهاء والشهود والخصوم، والمرأة ممنوعة من مجالسة الرجال بعداً عن الفتنة، وقد نبه الله تعالى على نسيان المرأة، فقال: {أن تضل إحداهما فتذكِّر إحداهما الأخرى} [البقرة:282/ 2] ولا تصلح للإمامة العظمى ولا لتولية البلدان، ولهذا لم يولِّ النبي صلّى الله عليه وسلم ولا أحد من خلفائه ولا من بعدهم امرأة قضاء ولا ولاية بلد.

“Adapun jenis kelamin, maka ini juga menjadi syarat untuk menjadi koti dalam pandangan mazhab selain Imam Abu Hanifah. Sehingga seorang perempuan itu tidak boleh menjadi seorang Hakim karena Rasulullah SAW itu bersabda “tidak akan sukses suatu kaum ketika mereka itu menyerahkan ke pemerintahannya kepada seorang perempuan” dan juga karena masalah peradilan itu membutuhkan pada kesempurnaan pandangan, akal, kecerdasan, dan pengalaman. 

Sedangkan seorang perempuan itu dalam pandangan beberapa ulama tidak terlalu bisa manajemen akalnya nalarnya juga lemah yang demikian ini ditengarai sedikitnya pengalaman dan pembacaannya atas realitas kehidupan. Yang demikian juga adalah karena seorang Hakim itu harus berinteraksi dengan laki-laki yang mana mereka banyak mengisi pos ahli fiqih, saksi dan juga para pelaku kriminil, sedangkan seorang perempuan itu dilarang untuk berinteraksi dengan lelaki guna untuk menghindari fitnah. 

Sungguh Allah telah memperingatkan kita atas sifat lupanya seorang perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya “supaya jika seorang lupa maka ada seorang mengingatkannya”. 

Dengan demikian seorang perempuan itu tidak patut untuk menjadi kepala pemerintahan dan pejabat negara, oleh karenanya Rasulullah SAW itu tidak menyerahkan kepemimpinan (baik hakim agung, maupun pejabat negara) kepada seorang perempuan demikian pula dilakukan oleh para khalifah dan pejabat setelahnya.”

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya hukum seorang perempuan berpolitik, ketika memang memiliki kompetensi diperbolehkan untuk berpolitik, Bahkan dalam pandangan Sebagian ulama itu di legitimasi untuk menjadi seorang Hakim atau Mufti Agung. Keterangan ini disarikan dari kitab yang berjudul Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Al-Zuhaili.

Sekian penjelasan terkait hukum perempuan berpolitik. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Saat Ali bin Abi Thalib Minum Sambil Berdiri

Mengharamkan yang halal sama dengan menghalalkan yang haram.

Suatu kali, Ali bin Abi Thalib RA berdiri di tengah khalayak penduduk Kuffah. Diambilnya sebuah bejana berisi air kemudian ia minum sembari berdiri.

Spontan saja tingkah Ali menjadi sorotan orang-orang. Apa pasal yang terjadi pada sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW itu. Mengapa ia mempertontonkan kelakuan ghairu muaddib (kurang adab) karena minum sambil berdiri?

Ali pun bertutur, “Sebagian orang tidak menyukai minum sambil berdiri. Padahal, Nabi SAW pernah melakukan seperti yang telah aku lakukan ini.” (HR Bukhari).

Sebagian orang tidak menyukai minum sambil berdiri. Padahal, Nabi SAW pernah melakukan seperti yang telah aku lakukan ini.

HR BUKHARI

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari karangannya menjelaskan, itulah yang dilakoni Ali bin Abi Thalib RA dalam mencegah kemungkaran. Kemungkaran bukan hanya dalam konteks menghalalkan yang haram, melainkan juga mengharamkan yang halal.

Nahi mungkar bukan hanya pencegahan bagi orang yang akan melakukan perbuatan haram. Sebaliknya, perbuatan yang sejatinya tidak haram tak boleh ada pencegahan untuk melakukannya. Inilah yang ditegaskan Rasulullah SAW, “Siapa yang mengharamkan yang halal sama dengan orang yang menghalalkan yang haram.” (HR Thabrani).

Ali RA khawatir jika penduduk Kuffah menganggap minum dalam kondisi berdiri adalah terlarang. Jika dibiarkan berlarut-larut, masyarakat awam akan meyakini perbuatan itu adalah haram. Ibnu Hajar mengatakan, hendaklah orang alim yang mengetahui hukum segera menjelaskan hukum persoalan tersebut sekalipun tidak diminta.

Rasulullah SAW sendiri melakukan banyak hal untuk mengubah pola pikir masyarakat Arab yang suka mengharamkan sesuatu yang halal. Misalnya, adat masyarakat Arab mengharamkan untuk menikahi wanita yang telah diceraikan anak angkat.

Padahal, tak ada larangan seperti ini dalam Islam. Rasulullah SAW pun menikahi Zainab binti Jahsy setelah diceraikan anak angkat Beliau SAW, Zaid bin Haritsah.

Siapa yang mengharamkan yang halal sama dengan orang yang menghalalkan yang haram.

HR THABRANI

Tindakan anti-mainstream tersebut tentu jadi kontroversi di masyarakat Arab. Namun, begitulah cara Rasulullah SAW agar umatnya tak menganggap tabu apa yang sebenarnya dihalalkan Allah SWT. Karena, mengharamkan sesuatu yang sebenarnya halal sama berat konsekuensinya dengan menghalalkan apa yang diharamkan.

Pernah suatu kali Rasulullah SAW keceplosan mengatakan tidak akan meminum madu. Beliau SAW hendak mengharamkan meminum madu bagi dirinya sendiri karena kerap berpotensi konflik dari istri-istri Beliau SAW.

Ketika itu Beliau SAW langsung mendapatkan teguran Allah SWT dalam Alquran, “Hai Nabi, mengapa engkau haramkan apa yang Allah halalkan bagimu? Engkau hendak mencari kesenangan hati istri-istrimu.” (QS at-Tahrim [66]: 1).

Hikmahnya, sedemikian kuatnya Islam memperhatikan kebebasan hidup bagi umatnya. Dari sekian banyak hal yang halal, hanya segelintir yang diharamkan Allah SWT. Kalaupun ada yang diharamkan, pasti syariat memberikan solusi alternatif. Misalkan, Allah SWT mengharamkan riba. Solusinya, Allah halalkan jual beli. Allah SWT mengharamkan zina. Solusinya, Allah halalkan pernikahan. Demikian seterusnya.

Syariat yang diturunkan Allah SWT bagi manusia sudah sangat sempurna dan menyeluruh. Demikian juga, soal pengaturan halal-haram yang dijalankan umat manusia. Jadi, manusia tak boleh melanggar hal-hal yang sudah diharamkan. Demikian pula, manusia tak boleh menambah-nambah item pengharaman yang sebenarnya dihalalkan Allah SWT.

Ketika manusia mengharamkan yang halal, ia telah melahirkan suatu syariat baru. Hukumnya sama seperti perbuatan bid’ah (mengada-ada). Allah SWT dilecehkan karena syariat-Nya serasa tidak sempurna, jadi butuh penambahan-penambahan.

photo

Inilah yang perlu diperhatikan para mubaligh, umara, pemangku adat, dan pengambil kebijakan di masyarakat. Mengimbau orang agar tak melakukan perbuatan haram sudah biasa. Tetapi, mengimbau orang agar tak mengharamkan sesuatu yang halal masih kerap diremehkan. Padahal, secara hukum, keduanya punya dosa yang sama.

Sangat banyak didapati dalam kehidupan kultural masyarakat, hal-hal yang halal, tetapi dijustifikasi sebagai perbuatan terlarang. Segolongan pihak ada yang menganggap tabu, padahal perbuatan tersebut hakikatnya halal. Mulai dari aturan adat yang melarang pernikahan sepersukuan, larangan-larangan adat soal pernikahan dan warisan, hingga paradigma poligami.

Kaum yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT pasti mendapat petaka. Banyak bukti dari umat-umat terdahulu hingga sekarang yang dilaknat karena melanggar batas-batas yang diharamkan Allah SWT.

Demikian juga, petaka yang akan menghampiri kaum yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah SWT. Contoh ringannya, larangan adat yang tak membolehkan adik menikah lebih dulu dari kakak. Karena tak kunjung diperbolehkan menikah, akhirnya si adik pun terjatuh pada perzinaan. Inilah petaka yang lahir akibat pengharaman sesuatu yang dihalalkan Allah SWT.

Demikian juga, hal-hal yang patut menjadi perhatian bagi para pemimpin. Ketika melahirkan kebijakan jangan terkesan menciptakan suatu syariat pengharaman bagi hal-hal yang dihalalkan Allah SWT. Kaidah asalnya, sesuatu yang sejatinya halal tak boleh dilarang untuk melakukannya. Terkecuali ada aspek maslahat dan mudarat yang terkandung dalam larangan tersebut. Wallahu a’lam.

ISLAMDIGEST

Dahsyatnya 7 Keutamaan Istighfar oleh Ustadz Adi Hidayat

USTADZ Adi Hidayat, Lc., MA., menerangkan tentang keutamaan istighfar. Hal itu beliau sampaikan di channel Youtube Ceramah Pendek.

Ustadz Adi Hidayat menegaskan bahwa poin besar dari Istrighfar adalah mampukah kita ketika mengucapkan istighfar, langsung ingat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Karena ketika menjelaskan banyak orang yang mengucap istigfar, hati dan akalnya tidak fokus terhadap apa yang diucapkan.

“Mengapa kita harus mengucapkan istighfar, rahasia besarnya ada pada Al Quran surat Nuh (71): 9 – 13,” ujar beliau.

“Kemudian aku (Nuh) menyeru mereka secara terbuka dan dengan diam-diam. Maka aku berkata (kepada mereka), mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh, dia maha pengampun, niscaya dia akan menurunkan hujan yang lebat kepadamu, dan dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu, dan mengadakan sungai-sungai untukmu, mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah?”

Dalam surat ini dijelaskan, apa yang Nabi Nuh sampaikan selama 950 tahun, adalah beristighfar kepada Allah.

Ketika Nabi Nuh menyeru kaumnya pada saat itu untuk beristighfar pada Allah, kalimat dalam Al Quran nya tidak berhenti sampai disitu.

Pada ayat selanjutnya tercantum beberapa manfaat istighfar;

Allah akan memberi ghofur, atau ampunan terhadap hambanya

Allah akan memberi kepada hambanya yang senantiasa beristighfar, curahan hujan yang membawa berkah

Ketika seorang hamba terus menerus beristighfar, maka Allah akan melimpahruahkan kekayaan hambanya.

Keturunan yang banyak

Allah akan melimpahkan, kebun-kebun yang indah dan sungai-sungai yang mengalir. Makna dari kebun-kebun yang indah dan sungai sungai itu adalah kenyamanan atau kemapanan Kenikmatan

Hidup tenang

“Ternyata esensi kalimat istighfar itu bukan kalimat biasa. Anda mampu mengucapkannya dengan baik, maka Allah turunkan kemulian sebagaimana diucapkan Nabi Nuh pada ayat tersebut,” papar Ustadz Adi Hidayat.

Tidak hanya di bumi, bagi pelaku istighfar, di akhirat Allah akan memberikan surga seluas langit dan bumi, tercantum di dalam Al Quran surat ali Imran (3):133; “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” []

ISLAMPOS

Hati Hati! Melakukan 10 Dosa Ini Bisa Bikin Kamu Jadi Miskin, Susah Kaya Dan Hidup Tidak Bahagia!

DOSA besar dalam Islam adalah segala jenis dosa yang balasannya adalah siksa di neraka. Larangan untuk melakukan dosa besar disebutkan dalam Al-Qur’an pada Surah An-Najm ayat 32.

Di antara dosa-dosa besar, terdapat lima belas dosa yang paling besar, yaitu syirik menyekutukan Allah, durhaka terhadap orang tua, sihir, pembunuhan yang diharamkan, riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan, memberikan tuduhan atau berbuat zina kepada wanita mukmin, Meminum khamar, bersumpah palsu dan bersaksi palsu, berbohong, meninggalkan salat, memutuskan hubungan silaturahim, bergunjing dan bermaksiat karena lalai.

Pandangan sahabat Nabi

Sahabat Nabi di antaranya Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas memiliki pandangan mengenai dosa besar. Keduanya menyakini bahwa dosa besar hanya akan diampuni oleh Allah selama pelakunya selalu memohon ampunan kepada Allah setelah melakukan perbuatannya. Sebaliknya, dosa kecil dapat menjadi dosa besar jika dilakukan secara terus-menerus.

ISLAMPOS

Kemenag-Arab Saudi Sepakat Berlakukan Visa Bio untuk Haji 2023

Kemenag-Arab Saudi berkomitmen menyiapkan pelayanan haji dan umrah terbaik.

Kementerian Agama (Kemenag) dan otoritas Arab Saudi sepakat menggunakan Aplikasi Visa Bio untuk seluruh jamaah haji Indonesia 1444 H/2023 M. Aplikasi ini digunakan dalam proses penerbitan visa melalui pendaftaran fitur biometrik wajah, sidik jari dan fotokopi paspor.

Kesepakatan ini dihasilkan dalam pertemuan antara Tim Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag dengan delegasi Arab Saudi di Kantor Kedutaan Besar Arab Saudi di Kuningan, Jakarta, Kamis (9/3/2023).

Delegasi ini terdiri atas perwakilan Kementerian Haji dan Umrah, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, General Authority of Civil Aviation (GACA), Wukala, serta tim Visa Bio dan tim Makkah Route. Mereka dipimpin oleh Abdurrahman Al Bijawi dari Kementerian Haji dan Umrah Saudi. 

Dari Kemenag, hadir Dirjen PHU Hilman Latief. Ikut mendampingi Direktur Layanan Haji Dalam Negeri Saiful Mujab beserta jajarannya.

Penggunaan aplikasi “Saudi Visa Bio” ini memungkinkan jamaah melakukan pendaftaran secara mandiri, tanpa perlu mengunjungi kedutaan dan konsulat Arab Saudi atau pusat penerbitan visa di Indonesia. Aplikasi “Saudi Visa Bio” ini sudah tersedia di Playstore maupun App store.

“Penggunaan aplikasi ‘Saudi Visa Bio’ akan diterapkan pada seluruh jamaah haji Indonesia tahun 1444 H/2023 M untuk memberikan kemudahan dan kecepatan pemeriksaan jamaah saat datang di bandara Arab Saudi,” kata Hilman dalama keterangan yang didapat Republika, Jumat (10/3/2023).

Ia menyebut aplikasi tersebut juga dapat diunduh melalui gawai masing-masing jamaah. Nantinya, seluruh identitas termasuk sidik jari dan wajah jamaah, akan direkam pada aplikasi tersebut.

Selain itu, rapat koordinasi dua negara ini juga membahas implementasi Mecca Route atau fast track. Tahun ini, layanan tersebut kembali dilaksanakan di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) bagi jamaah dari DKI Jakarta, Banten, Lampung dan sebagian Jawa Barat.

“Dalam rangka meningkatkan kualitas layanan, pihak Saudi meminta fasilitas ruang tunggu fast track Bandara Soetta yang lebih luas dan akses yang lebih mudah,” ujar dia. 

Layanan fast track, kata Hilman, sudah dimulai sejak 2018. Melalui layanan ini, proses imigrasi jamaah haji dilakukan sejak di bandara Indonesia, sehingga mereka tidak perlu melakukan pemeriksaan paspor dan visa saat tiba di Arab Saudi.

“Jumlah jemaah yang akan dilayani oleh fasilitas fast track sebanyak 55.321 jamaah,” ucap Dirjen PHU. 

Direktur Layanan Haji Dalam Negeri Saiful Mujab menambahkan, untuk keberlanjutan layanan jalur cepat ini, Saudi meminta agar MoU Indonesia dan Arab Saudi bisa segera dilakukan. Dengan begitu, perencanaannya dapat dilakukan lebih awal.

“Untuk lokasi fasilitas fast track, akan dilakukan pembahasan bersama dengan pihak Otoritas Bandara Soetta, Angkasa Pura 2, Imigrasi, Avsec dan maskapai penerbangan,” kata dia.

Dalam pertemuan itu dibahas juga tentang jadwal penerbangan haji. Pihak GACA Saudi sudah meminta Ditjen PHU dan maskapai tentang jadwal penerbangan haji.

Jadwal ini disebut telah dibuat bersama antara Ditjen PHU dengan maskapai. Pihaknya sepakat dalam sehari rata-rata sebanyak 17 kloter akan berangkat dari berbagai embarkasi ke Arab Saudi.

IHRAM

Doa Mustajab Menjelang Ramadhan 

Berikut ini adalah doa mustajab menjelang Ramadhan yang dianjurkan agar tetap bisa menjumpai bulan Ramadhan. Pasalnya,  Ramadhan sudah sangat dekat menghampiri kita tinggal  beberapa hari lagi. 

Nabi Muhammad  menyambut bulan Ramadhan dengan suka cita. di hadapan para sahabatnya dan mengajak mereka bersama untuk merayakan datangnya bulan Ramadhan. Dalam kitab Al Musnad, Imam Ahmad meriwayatkan hadits Abu Hurairah, beliau mengatakan: 

كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُبَشِرُ اَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ يَقُوْلُ : ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

Artinya: Rasulullah saw. memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya tentang kedatangan bulan Ramadhan seraya beliau berkata: ‘Telah datang kepada kalian Ramadhan,bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa di dalamnya.

Di bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.

Di negeri kita ini biasa yang kita lihat iklan-iklan bertebaran mengucapkan ahlan wa sahlan wa marhaban ya ramadhan, dan ini adalah salah satu bentuk penyambutan dengan kedatangan bulan ramadhan.

Selain dianjurkan bersuka cita menyambut datangnya bulan ramadhan juga dianjurkan beberapa doa yang telah diajarkan para ulama kita diantaranya:

Doa Mustajab Menjelang Ramadhan

Doa mustajab menjelang Ramadhan ini termaktub dalam kitab Durus Syaikh Khalid Rasyid  juz 4, hal 78, yang berbunyi;

¯وقال يحيى بن كثير: كان من دعائهم: ‌اللهُمَّ ‌سَلِّمْنِي ‌إِلَى ‌رَمَضَانَ، ‌وَسَلِّمْ ‌لِيْ ‌رَمَضَانَ، ‌وَتَسْلِمْهُ ‌مِنِّي ‌مُتَقَبَّلاً يَا رَبَّ اَلأَنَامِ

Artinya: yahya bin katsir berkata diantara doa mereka sebelum datangnya bulan ramadhan adalah: “Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan wahai tuhannya manusia”.

Doa ini dibaca dengan harapan semoga kita tetap menjumpai bulan ramadhan dalam keadaan sehat sehingga kita bisa beramal dan diterima amal kita pada saat tibanya ramadhan.

Kemudian dalam kitab ithaful maharah karya dari cucunya Ibnu Hajar al-Asqalani yang bernama ahmad bin ali terdapat hadis tentang doa yang dianjurkan dibaca ketika telah melihat hilal

كَانَ النَّبِيُّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ‌إِذَا ‌رَأَى ‌الْهِلالَ ‌قَالَ: ” اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلامَةِ وَالرُّشْدِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ “

 Artinya: “Sesungguhnya Nabi saw ketika telah melihat hilal Ramadan, beliau berdoa; Allahumma ahillahu ‘alaina bil yumni wal imani wassalamati wal islam. Rabbi wa rabbuka allah (Ya Allah jadikanlah hilal (bulan) ini bagi kami dengan membawa keberkahan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”    

Demikian penjelasan terkait doa mustajab menjelang Ramadhan. Semoga kita bisa mengamalkan ilmu yang diperolah dan semoga artikel ini bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Fatwa Ulama: Hukum Meninggalkan Istri dan Anak-Anak untuk Safar Bersama Istri Kedua

Pertanyaan:

Suami saya menikah lagi dan tinggal berbeda kota dengan saya berjarak 9 jam perjalanan. Dia pergi ke tempat istri kedua tersebut dan meninggalkan saya dan anak saya yang masih kecil di rumah selama lebih dari 1 minggu dalam sebulan. Dan saya tidak memiliki mahram sama sekali. Tidak dari keluarga saya maupun keluarga suami saya. Saya khawatir atas diriku dan takut dengan kesendirian saya. Apakah suami saya berhak melakukan hal tersebut, atau teranggap berbuat zalim kepada saya dan anak-anak saya?

Jawab:

Alhamdulillah.

Wajib bersikap adil di antara kedua istri dalam hal pembagian, yakni pembagian jatah bermalam, baik itu di kota yang sama atau di dua kota yang berbeda.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan ulama mengenai wajibnya sama rata dalam jatah bermalam antara para istri. Allah Ta’ala berfirman,

وعاشروهن بالمعروف

Dan pergaulilah mereka dengan ma’ruf.’

Dan berat sebelah bukan termasuk ma’ruf. Allah Ta’ala berfirman,

فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة

Maka janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.’” (Al-Mughni, 7: 301)

Beliau (Ibnu Qudamah) rahimahullah berkata, “Maka jika istrinya berada di dua kota berbeda, maka wajib atasnya untuk senantiasa bersikap adil di antaranya, karena ia telah memutuskan tinggal berjauhan di antara keduanya, tidak terhalang hak istri-istrinya atas dirinya disebabkan hal tersebut. Dia bisa pergi bersama istri yang tidak berada bersamanya pada hari-harinya atau dia mendatangi istrinya tersebut, atau pindahkan keduanya di satu kota yang sama. Jika dia menolak untuk datang, maka haknya hilang untuk ditaati.

Jika harus tinggal di dua kota yang berbeda, dan tidak mungkin berbagi malam 1 malam (di sini) 1 malam (di sana), maka usahakan pembagian yang memungkinkan, seperti sebulan-sebulan, atau lebih atau kurang dari itu, dipilih yang paling mungkin, dan berdasarkan jauh atau dekatnya jarak kota tersebut.” (Al-Mughni, 7: 311)

Dan kepada suamimu hendaknya berbagi malam dengan adil, jika dia seminggu di tempat istri kedua, maka demikian juga seminggu bersamamu, jika sebulan di tempat istri kedua, maka wajib juga di tempatmu sebulan. Jika dia tidak melakukannya, maka dia telah berbuat zalim membawa dirinya kepada azab yang keras.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

Barangsiapa memiliki dua istri dan condong pada salah satunya, maka dia akan datang di hari kiamat dalam keadaan miring sebelah.” (HR. Abu Daud no. 2133, An-Nasaa’i no. 3881, disahihkan oleh Al-Albani)

Dan jika perkara tersebut terjadi seperti yang Anda sampaikan dalam pertanyaan, suami Anda bermalam selama seminggu setiap bulan di tempat istri kedua, maka ini lebih sedikit dari hak dia dalam pembagian malam, maka tidak ada yang perlu Anda permasalahkan, bahkan istri keduanya berhak menuntut lebih dari itu, hingga jatahnya sama dengan Anda.

Adapun anak-anak, jika mereka takut dan akan berbahaya karena ketidakhadiran suami Anda (ayah anak-anak), maka hal tersebut zalim atas anak-anak. Dan wajib atasnya untuk mempertimbangkan mashlahat (kebaikan) anak-anak, begitu juga istrinya. Jika memungkinkan, ia menyatukan tempat tinggal di kota yang sama, atau dua kota berbeda yang berdekatan, maka akan lebih baik untuk Anda dan suami, dan lebih dekat rumahnya dengan anak-anaknya, dan lebih mudah merawat keluarganya.

Dan hendaknya Anda menasihati suami Anda dengan cara terbaik, mengingatkannya untuk adil, tidak condong pada istri kedua maupun Anda, dan kembalikan kepada ulama untuk mengetahui hukum yang atas perkara Anda ini.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP
Artikel: Muslim.or.id
Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/437743/

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83470-hukum-meninggalkan-istri-dan-anak.html

3 Penghalang Hidayah

Hidayah adalah nikmat yang besar dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala perintahkan kita untuk memintanya dalam setiap salat,

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon hidayah kepada Allah Ta’ala,

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُكَ الهُدَى، وَالتُّقَى، وَالعَفَافَ، وَالغِنَى

Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kehormatan diri, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 2721 dan At-Tirmidzi no. 3489)

Demikian pentingnya hidayah bagi kehidupan seorang muslim, maka kehilangan hidayah merupakan kerugian yang amat besar. Di antara penghalang hidayah terdapat pada kisah wafatnya paman Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, Abu Thalib.

Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, Abu Thalib enggan mengucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah yang dituntun oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Sa’id bin Musayyib, dari bapaknya, beliau menceritakan,

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَبِي طَالِبٍ ‏”‏ يَا عَمِّ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ‏”‏‏.‏ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ‏.‏ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏”‏ أَمَا وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ، مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ ‏”‏‏.‏ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ مَا كَانَ لِلنَّبِي الآيَةَ‏

Ketika Abu Thalib mendekati wafatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya, dan beliau mendapati Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah di dekatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Thalib, ‘Wahai Pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illa Allah, kalimat yang dapat aku persaksikan dirimu di sisi Allah.’

Maka, Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, ‘Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama keturunan Abdul Mutthalib?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengulang-ulang hal tersebut, hingga akhir kalimat Abu Thalib tetap berada di atas agama Abdul Mutthalib dan tetap enggan mengucapkan Laa ilaaha illa Allah. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Dan demi Allah, aku akan memohonkan ampun untukmu kepada Allah selama aku tidak dilarang melakukannya.’ Maka, Allah turunkan kepada Rasulullah ayat …” (HR. Bukhari no. 1360)

Dalam kisah wafat Abu Thalib terdapat 3 penghalang hidayah Islam kepadanya.

Baca Juga: Renungan Bagi Atheis, Semoga Anda Mendapatkan Hidayah Islam

Pertama: Bergaul dengan teman yang buruk agamanya

Dengan siapa kita berteman diatur dalam agama Islam. Karena teman dapat menyeret dan menarik seseorang untuk condong dan mengikutinya. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan, shohib sahib, sahabat itu menyeret.

Teman yang tidak baik akan mengajak kepada yang tidak baik pula. Sebaliknya, berteman dengan orang saleh akan menularkan kebaikannya kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu minyak wangi, atau engkau membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau akan dapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau akan dapatkan bau asap yang tidak sedap.” (HR. Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

المرءُ على دينِ خليلِه فلينظرْ أحدُكم مَن يُخاللُ

Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya, maka perhatikanlah dengan siapa engkau berteman.” (HR. Abu Daud no. 4833, Ahmad no. 8398, dan Tirmidzi no. 2378, hadis sahih)

Abu Thalib telah mengajarkan kita bagaimana bukti nyata sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Abu Thalib menjadi korban atas pertemanannya bersama Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah. Walaupun mereka orang-orang yang terpandang dan tinggi derajatnya di sisi manusia, namun mereka bukan teman yang baik dalam hal agama, sehingga pertemanan tersebut tidak mendatangkan manfaat agama.

Kedua: Taklid pada agama nenek moyang

Agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan wahyu yang nyata dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala mencela orang yang mengikuti agama nenek moyang secara taklid buta tanpa petunjuk yang benar.

بَلْ قَالُوٓا۟ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّهْتَدُونَ

Bahkan, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’” (QS. Az-Zukhruf: 22)

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Mari ikuti apa yang telah diturunkan Allah dan ikuti Rasul.’ Mereka menjawab, ‘Cukup bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah: 104)

Adapun ketika Abu Thalib diajak untuk mengucapkan kalimat Laa ilaaha illa Allah, ia enggan disebabkan kecintaannya kepada agama Abdul Mutthalib. “Apakah engkau membenci agama Abdul Muttholib?” Demikian kalimat yang diulang Abu Jahl kepada Abu Thalib.

Walaupun Abu Thalib senantiasa menolong dan melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berdakwah, namun hal tersebut tidak menolongnya dari wafat dalam keadaan kafir. Dan taklid kepada agama nenek moyang merupakan di antara sebab seseorang melakukan dosa kesyirikan yang tidak pernah Allah ajarkan. Mengikuti sesuatu tanpa ilmu dan petunjuk yang sahih.

Ketiga: Takut dicela manusia/gengsi

Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak Abu Thalib melafazkan laa ilaaha illa Allah, Abu Thalib berkata,

قالَ: لَوْلا أنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ، يقولونَ: إنَّما حَمَلَهُ علَى ذلكَ الجَزَعُ لأَقْرَرْتُ بها عَيْنَكَ

Seandainya bukan karena cemooh orang Quraisy, mereka akan mengatakan ‘Sesungguhnya dia mengucapkan itu karena jiwanya takut.’ Pasti kuucapkan kalimat tersebut agar jiwamu tenang.” (HR. Muslim no. 25)

Abu Thalib memiliki kedudukan yang tinggi di tengah kaumnya. Sebagai keturunan bani Hasyim, ia merasa perlu menjaga wibawa dan marwah sukunya. Ia gengsi dan takut dicela oleh kaumnya yang telah memposisikannya sebagai orang yang tinggi kedudukannya.

Karena kegengsiannya tersebut di hadapan Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah, Abu Thalib harus menelan kenyataan pahit meninggal dalam keadaan kafir di atas agama nenek moyangnya.

Demikian. Semoga bermanfaat

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83468-penghalang-hidayah.html