Hukum Meratapi Mayit

Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ البَيْعَةِ أَنْ لاَ نَنُوحَ ، فَمَا وَفَتْ مِنَّا امْرَأَةٌ غَيْرَ خَمْسِ نِسْوَةٍ: أُمِّ سُلَيْمٍ، وَأُمِّ العَلاَءِ، وَابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ امْرَأَةِ مُعَاذٍ، وَامْرَأَتَيْنِ – أَوِ ابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ، وَامْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَةٍ أُخْرَى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sumpah setia dari kami ketika kami berbai’at, yaitu kami dilarang meratap. Dan tidak ada yang bisa menepatinya di antara kami, kecuali hanya lima perempuan saja, yaitu Ummu Sulaim; Ummul ‘Alaa; anak perempuan Abu Sabrah, yang merupakan istri dari Mu’adz; dan dua perempuan lainnya; atau [1] anak perempuan Abu Sabrah; istri Mu’adz; dan satu perempuan lainnya.” (HR. Bukhari no. 1306 dan Muslim no. 936)

Meratapi mayit, di antaranya dalam bentuk berteriak-teriak, menangis histeris karena kematiannya, adalah perbuatan yang terlarang. Perbuatan semacam ini sangat berat untuk ditinggalkan, kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah Ta’ala. Terutama sangat berat bagi wanita. Oleh karena itu, dari sejumlah shahabiyyah yang berjanji di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya tersisa lima orang saja yang bisa melaksanakannya. Hal ini karena memang individu atau person sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak terjaga (maksum) dari berbuat dosa. Meskipun apabila berbuat dosa, mereka adalah orang-orang yang dimudahkan untuk segera bertaubat.

Terdapat ancaman berupa hukuman khusus di akhirat bagi orang yang gemar meratapi mayit. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ  وَقَالَ: النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Ada empat perkara khas jahiliyah [2] yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan) [3]; (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) dan niyahah (meratapi mayit).” 

Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair [4] dan memakai pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)

Disebutkannya “wanita” pada hadits di atas adalah karena mayoritas pelakunya adalah wanita. Sehingga jika laki-laki juga meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia pun berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. 

Perkara ini juga sangat mendapatkan perhatian dari para sahabat, sampai-sampai mereka pun mengingatkannya ketika mereka sakit parah. Abu Musa (‘Abdullah bin Qais) radhiyallahu ‘anhu merasakan sakit hingga jatuh pingsan sementara kepalanya menyandar dalam pangkuan salah seorang istrinya. Istrinya pun berteriak histeris sementara dia (Abu Musa) tidak bisa mencegah perbuatan istrinya sedikit pun (karena pingsan, meskipun masih bisa mendengar suara ratapan istrinya, pent.). 

Ketika sadar, maka Abu Musa radhiyallahu ‘anhu pun berkata, 

أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ، وَالْحَالِقَةِ، وَالشَّاقَّةِ

“Saya berlepas diri dari tindakan yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Rasulullah berlepas diri dari wanita yang meratap (menangis histeris), yang memotong-motong (mencukur atau menggundul) rambut kepala [5], serta menyobek-nyobek baju.” (HR. Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari umatnya yang meratapi mayit. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (meratap).” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)

Tindakan-tindakan di atas adalah bentuk ratapan yang dikenal pada jaman itu. Maksud “menyeru dengan seruan jahiliyyah” dicontohkan para ulama dengan mengatakan, “Wahai sandaran hidupku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Atau ucapan, “Wahai pelindungku, mengapa Engkau pergi meninggalkanku sendiri?” Kalimat-kalimat semacam itu, yang diucapkan ketika seseorang mendapatkan musibah, termasuk dalam ucapan ratapan yang terlarang. Penjelasan lain dari “seruan jahiliyyah” adalah seruan untuk fanatisme kekelompokan (fanatisme golongan).

Yang diperbolehkan adalah (hanya) menangis dengan meneteskan air mata, tanpa mengucapkan kalimat-kalimat terlarang di atas. Kalau mulut ikut berteriak histeris, ini adalah bentuk meratap yang terlarang.

Sebagaimana dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika anak beliau, Ibrahim, meninggal dunia. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meratapi Ibrahim dengan ucapan-ucapan kalimat yang menunjukkan ekspresi kesedihan.

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Abu Saif Al-Qaiyn yang (isterinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim (putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian setelah itu pada kesempatan yang lain, kami mengunjunginya sedangkan Ibrahim telah meninggal. 

Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang air mata. Lalu berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu kepada beliau, “Mengapa Anda menangis, wahai Rasulullah?” 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 

يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ

“Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).” 

Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda,

إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

“Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim, pastilah bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 62)

Menangis, meneteskan air mata adalah wajar karena menunjukkan kasih sayang kita kepada saudara atau kerabat yang meninggal. Akan tetapi, tangisan air mata tersebut tidak boleh diiringi dengan ratapan berupa ucapan-ucapan yang terlarang. [6]

[Selesai]

***

@Puri Gardenia i10, 11 Syawwal 1440/15 Juni 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/50884-hukum-meratapi-mayit.html

Anjuran Membuatkan Makanan untuk Keluarga yang Ditinggal Mati

Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3132, Tirmidzi no. 998, Ibnu Majah no. 1610, Ahmad 3: 280, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Penjelasan teks hadis

Sahabat Ja’far yang dimaksud dalam hadis ini adalah Ja’far bin Abu Thalib, saudara laki-laki dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Istri beliau adalah Asma’ binti Umais. Beliau (Ja’far) terbunuh mati syahid beliau berusia empat puluh satu tahun.

Kalimat (perintah), “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far!” ditujukan kepada keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ditujukan pula untuk kerabat Ja’far, tetangga beliau, dan semacamnya, agar mereka membuatkan makanan untuk keluarga Ja’far. Yang dimaksud dengan “keluarga Ja’far” di sini adalah istri beliau (Asma’ binti Umais) dan juga anak-anaknya.

Telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”, maksudnya adalah mereka tertimpa musibah yang kemudian membuat mereka tidak sempat atau tidak terpikir untuk membuat makanan yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari.

Kandungan hadis

Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya menghidangkan atau membuatkan makanan untuk keluarga yang ditinggal mati pada hari terjadinya musibah tersebut. Hal ini karena kasih sayang kita kepada mereka dan juga karena memperhatikan kondisi mereka yang baru saja tertimpa musibah. Ini termasuk dalam kebaikan-kebaikan yang diajarkan oleh agama Islam untuk memperkuat hubungan persaudaraan di antara kaum muslimin, dan disyariatkannya gotong royong ketika ada saudara yang sedang tertimpa musibah.

Di dalam hadis ini, tidak disebutkan lama waktu membuatkan makanan. Sebagian ulama mengatakan bahwa lamanya adalah sehari semalam. Hal ini karena dalam sebagian besar kondisi, kesedihan yang bisa membuat seseorang tidak terpikir untuk membuat makanan dan minuman itu tidak akan berlangsung sampai lebih dari sehari. Sebagian ulama mengatakan tiga hari, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab fikih mazhab Hambali dan selainnya, juga karena melihat bahwa tiga hari itu adalah masa duka cita.

Tidak boleh berlebih-lebihan di dalam membuatkan makanan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Hal ini karena berlebih-lebihan itu termasuk perbuatan yang dilarang oleh syariat. Hendaknya kita membuatkan makanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Diperbolehkan untuk orang-orang yang mengunjungi keluarga yang ditinggal mati tersebut untuk ikut makan, karena makanan itu memang dibuatkan untuk keluarga si mayit, bukan mereka buat (siapkan) sendiri.

Hukum membuatkan makanan untuk keluarga si mayit

Zahir dari perkataan ulama menunjukkan bahwa hukum membuatkan makanan untuk keluarga si mayit adalah sunah secara mutlak. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukumnya bukan sunah secara mutlak, akan tetapi sunah bagi mereka yang memang betul-betul tidak sempat untuk membuat makanan sehari-hari. Hal ini sebagaimana perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.

Sehingga jika kondisi keluarga si mayit itu memiliki makanan yang cukup, apalagi berlimpah, maka zahir hadis ini menunjukkan bahwa hal itu (membuatkan makanan untuk keluarga si mayit) menjadi tidak dianjurkan.

Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pendapat ini adalah pendapat yang kuat, menurut pandanganku, terlebih lagi jika melihat fenomena berlebih-lebihan dalam membuat makanan.” (Minhatul ‘Allam, 4: 378)

Bagaimana jika keluarga si mayit yang justru membuatkan makanan?

Makna sebaliknya dari hadis ini adalah bahwa keluarga si mayit tidak boleh membuatkan makanan untuk orang-orang, karena perbuatan ini menyelisihi sunah, dengan beberapa dampak negatif sebagai berikut:

Pertama, perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Karena yang dianjurkan oleh syariat adalah masyarakatlah yang bergotong royong membantu keluarga yang sedang tertimpa musibah ini, bukan sebaliknya.

Kedua, perbuatan tersebut bisa mengantarkan kepada perkara yang dilarang oleh para ulama, yaitu manusia berkumpul di rumah keluarga si mayit. Sahabat Jarir bin ‘Abdullah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ

Kami berpandangan bahwa berkumpul-kumpul di keluarga mayit dan membuat makanan adalah bagian dari Niyahah (ratapan).” (HR. Ibnu Majah no. 1612, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Ketiga, perbuatan tersebut adalah membelanjakan harta tidak pada tempatnya, sehingga termasuk dalam perbuatan boros dan berlebih-lebihan. Apalagi jika hal itu diambil dari harta peninggalan si mayit yang seharusnya untuk ahli waris yang miskin dan kekurangan.

Keempat, perbuatan ini menyebabkan beban yang berlebih kepada keluarga si mayit, padahal mereka sedang tertimpa musibah dengan meninggalnya anggota keluarga mereka. Perbuatan ini tentu saja tidak akan diizinkan oleh syariat dan tidak akan diterima oleh akal sehat. Wallahu ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 12 Sya’ban 1444/ 4 Maret 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 376-379).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83466-membuat-makanan-untuk-keluarga-yang-ditinggal-mati.html

Cara Minta Maaf Pada Orang Meninggal

Berikut cara minta maaf pada orang meninggal. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti pernah melakukan kesalahan kepada orang lain, baik yang sengaja maupun tidak. Terkadang tanpa kita sadari tindakan atau ucapan yang kita lakukan dapat menyakiti orang lain, seperti menghina, mengejek, memfitnah dan lain sebagainya.

Ketika seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, maka menjadi keharusan untuk meminta maaf kepada orang tersebut. Demikian pula sebaliknya, ketika seseorang meminta maaf, maka sudah seharusnya orang yang dimintai maaf memberikan maafnya.

Namun, dalam hubungan sosial sesama manusia proses maaf dan memaafkan merupakan suatu hal yang sulit untuk dikerjakan. Dimana seseorang mungkin merasa berat hati untuk memaafkan orang lain yang telah berbuat suatu kesalahan hingga menyakiti hati. 

Cara Minta Maaf Pada Orang Meninggal

Persoalannya adalah bagaimana cara meminta maaf kepada orang yang telah meninggal?Dalam kitab Mirqatusu’ud at-Tasdiq Syarah Sulam at-Taufiq karya Muhammad bin Umar al-Jawi seorang ulama yang berasal dari tanah Jawa. Beliau memberikan jalan keluar bagi seseorang yang ingin minta maaf kepada orang yang telah meninggal.

فاذا فرغنا من حقوق الله تعالي فننظر الي حقوق العبد

Setelah beliau selesai menjelaskan cara meminta maaf dari hak-hak Allah. Beliau melanjutkan pembahasan mengenai cara meminta maaf dari hak-hak sesama manusia.

Hak sesama manusia bisa terbagi menjadi dua; pertama hak berupa harta, seperti ghasab, pencurian, memakan harta orang lain tanpa izin darinya ataupun merusak harta seseorang.

Hal tersebut mungkin bisa terjadi melalui kekuasaan, sumpah palsu, atau dengan perolehan dari orang dhalim dan lain sebagainya.

فما علمنا منها مالكه فنستحله وان صدرت هذه الاشياء منه في حال الصبا اذ يلزم الصبي غرامة مالية 

Adapun harta yang diketahui pemiliknya, maka caranya adalah dengan meminta halal kepada pemiliknya, meskipun perbuatan itu ia lakukan saat masih kecil, karena anak kecil juga mempunyai tanggungan yang bersifat harta.

وان مات المالك فنستحله من الورثة ان وجدت, وان لم توجد او لم يعلم المالك فنعطيه ان كان باقيا اوقيمته ان كان هالكا الي الفقراء بنية ان يكون وديعة عند الله تعالى يوصلها الى صاحبها يوم القيامة

Apabila pemilik harta tersebut sudah meninggal dunia, maka caranya adalah dengan meminta halal kepada ahli warisnya. Jika tidak ditemukan ahli waris atau tidak diketahui pemilik harta tersebut, maka dengan cara memberikan harta atau nilai harta tersebut kepada fakir miskin dengan niat menjadi barang titipan di sisi Allah yang akan disampaikan kepada pemiliknya di hari kiamat.

وغير مالي, وهو ايضا نوعان بدني مثل الجرح والضرب والاستخدام بغير حق, وقلبي مثل الشتم والاستهزاء ونحوهما.

Bagian yang kedua adalah hak bukan harta, hak ini terbagi menjadi dua, pertama hak yang bersifat fisik seperti, luka, pukulan, menjadikan budak tanpa adanya hak. Kedua hak yang bersifat hati seperti mencaci, menghina dan lain sebagainya. 

وطريق الخلاص منهما ايضا الاستحلال ان امكن والا فالتضرع الى الله تعالى في الدعاء والتصدق لمن له الحق لعل الله يرضيه يوم القيامة

Adapun cara terbebas dari keduanya (hak yang bersifat fisik maupun hati) ialah dengan cara meminta halal kepada orang yang berhak jika memungkinkan, namun apabila tidak memungkinkan maka bisa dengan cara memohon kepada Allah pada saat berdoa dan bersedekah atas nama orang yang mempunyai hak tersebut. Dengan harapan agar Allah menjadikan pemilik hak tersebut ridha pada hari kiamat. 

Dapat disimpulkan dari ibarat yang disampaikan Imam Nawawi sebagai berikut:

Pertama, jika kesalahan berkaitan dengan harta, maka caranya adalah dengan meminta halal kepada ahli warisnya. Dan jika ahli waris tidak ditemukan, maka cukup menyedekahkan harta tersebut kepada orang- orang fakir atas nama pemilik yang sudah meninggal.

Kedua, jika tidak berkaitan dengan harta, semisal menggunjing, memfitnah, menghina, dan lain sebagainya, maka cukup dengan mendoakan kebaikan serta bersedekah atas nama orang yang sudah meninggal. Dengan harapan semoga Allah menjadikan orang tersebut ridha atas kesalahan kita pada hari kiamat.

Demikian penjelasan bagaimana cara minta maaf kepada orang yang telah meninggal. Sekian, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Sejarah dan Keutamaan Nisfu Sya’ban Beserta Amalannya

Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan yang dimuliakan Allah, sehingga Nabi Muhammad mencontohkan kepada umatnya untuk meningkatkan amalan ibadahnya pada bulan ini, terutama pada malam Nisfu Sya’ban. Alasannya, terdapat beberapa keutamaan malam nisfu Sya’ban melebihi hari-hari yang lain pada bulan yang sama.

Terdapat beberapa hadist Rasulullah yang menunjukkan keutamaan malam Nisfu Sya’ban, salah satunya, pada malam Nisfu Sya’ban Allah mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang yang menyekutukan Allah dan orang yang bermusuhan.

Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari Ra. bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban mengawasi seluruh makhlukNya dan mengampuni semuanya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan.” (HR. Ibnu Majah).

Sejarah peringatan malam Nisfu Sya’ban

Al-Imam Al-Qasthalani menjelaskan awal mula adanya peringatan malam Nisfu Syaban dalam kitabnya Al-Mawahib Al-Laduniyah, kala itu Tabi’in tanah Syam seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul, mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam Nisfu Sya’ban. Dari mereka inilah orang-orang kemudian ikut mengagungkan malam Nisfu Syaban.

Dikatakan bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat (kabar atau cerita yang bersumber dari ahli kitab, Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam) tentang hal tersebut.

Lantas, ketika perayaan malam Nisfu Sya’ban dilakukan banyak kalangan, orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda mulai menanggapinya. Sebagian ada yang menerima dan sebagian lagi tidak bisa menerima. Mereka yang mengingkari mayoritas ulama Hijaz.

Pandangan  Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari kalangan fuqaha’ Madinah juga mengemukakan pendapat bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban seluruhnya adalah bid’ah disusul pendapat Ashab Maliki yang juga mangaminkan pendapat tersebut. Peringatan malam Nisfu Syaban yang kini diamalkan dasarnya adalah mengikuti perbuatan segolongan ulama Tabi’in negeri Syam atau kini dikenal dengan negara Suriah.

Kapan Jatuhnya Malam Nisfu Sya’ban?

Malam Nisfu Syaban jatuh pada tanggal 15 Syaban atau pertengahan bulan Syaban di kalender Islam. Tepatnya, di tahun 2023, malam Nisfu Syaban akan jatuh di hari Rabu, 8 Maret 2023. Artinya malam ini merupakan malam yang istimewa bagi umat muslim.

Akan banyak keutamaan yang dikaruniakan kepada manusia mala mini, salah satunya bahwa Allah SWT akan menghapuskan segala dosa-dosa hamba-Nya yang memohon ampunan. Sehingga, malam ini pun juga disebut sebagai malam pengampunan. Di malam ini pula diyakini bahwa catatan amal setiap manusia akan dikirim atau dilaporkan kepada Allah SWT.

Amalan sunnah yang dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban

Pertama, membaca surat Yasin sebanyak tiga kali.

Dengan mambaca surat Yasin sebanyak tiga kali di malam istimewa ini akan mampu membawa keberkahan bagi pembacanya. Untuk bacaan yang pertama, niatkan untuk memohon panjangkan umur dalam kondisi yang taat dan patuh kepada Allah SWT. Bacaan kedua, niatkan untuk menolak bala. Dan bacaan ketiga niatkan untuk meminta kekayaan dan kecukupan selama masih hidup di dunia.

Kedua, melakukan shalat sunnah.

Sholat sunnah yang dianjurkan untuk menunaikan shalat sunnah, seperti shalat taubat, shalat hajat, dan shalat tasbih.

Ketiga, memperbanyak doa, istigfar, dan dzikir.

Di malam Nisfu Syaban, umat muslim dianjurkan untuk memperbanyak doa dan istigfar. Pasalnya, manusia tak ada manusia yang luput dari dosa. Sedangkan pada malam istimewa diyakini Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang memohon ampunan kepada-Nya.

Doa yang bisa dipanjatkan yang tertuang dalam karya Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Yahya dalam Kitab Maslakul Akyar, sebagai berikut, “Allahumma ya dzal manni wa la yumannu ‘alaik, ya dzal jalali wal ikram, ya dzat thawli wal in’am, la ilaha illa anta zhahral lajin wa jaral mustajirin wa ma’manal kha’ifin. Allahumma in kunta katabtani ‘indaka fî ummil kitabi syaqiyyan aw mahruman aw muqtarran ‘alayya fir rizqi, famhullahumma fî ummil kitabi syaqawati wa hirmani waqtitara rizqi, waktubni ‘indaka sa’idan marzuqan muwaffaqan lil khairat. Fa innaka qulta wa qawlukal haqqu fî kitâbikal munzal ‘alâ lisâni nabiyyikal mursal, “yamhullâhu mâ yasyâ’u wa yutsbitu, wa ‘indahû ummul kitâb” wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammad wa alâ âlihî wa shahbihî wa sallama, walhamdu lillâhi rabbil ‘alamîn.”

Artinya adalah, “Wahai Tuhanku yang maha pemberi, engkau tidak diberi. Wahai Tuhan pemilik kebesaran dan kemuliaan. Wahai Tuhan pemberi segala kekayaan dan segala nikmat. Tiada Tuhan selain Engkau, kekuatan orang-orang yang meminta pertolongan, lindungan orang-orang yang mencari perlindungan, dan tempat aman orang-orang yang takut. Tuhanku, jika Kau mencatatku di sisi-Mu pada Lauh Mahfuzh sebagai orang celaka, sial, atau orang yang sempit rezeki, maka hapuskanlah di Lauh Mahfuzh kecelakaan, kesialan, dan kesempitan rezekiku.”

Selain doa juga pentingnya manusia untuk memperbanyak dzikir dengan mengucapkan takbir dan tahmid sebanyak 100 kali. Lalu dilanjutkan dengan shalawat Nabi 100 kali dan dzikir lainnya kepada Allah SWT.

ISLAMKAFFAH

Kemenag Berencana Sertifikasi Muthowwif, Sapuhi: Bisa Bekerjasama dengan Kerajaan Saudi

Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) berencana melakukan sertifikasi kepada muthowwif. Hal ini dilakukan menyusul program sertifikasi pembimbing manasik haji yang telah berjalan.

Menanggapi rencana itu, Ketua Umum Sekretariat Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (SAPUHI) Syam Resfiadi menyatakan dukungannya. Untuk pelaksanaan sertifikasi ini, ia menyebut Kemenag bisa melakukan kerja sama dengan otoritas Saudi.

“Kalau di luar negeri, ada yang namanya sertifikasi tour guide. Jadi tour guide adalah orang yang menemani tamunya selama perjalanan di lokasi tujuan. Hal ini mirip dengan muthowwif, yang juga menemani jamaah umrah selama di Tanah Suci,” kata dia saat dihubungi Republika, Selasa (7/3/2023) malam.

Selama ini, muthowwif disebut bekerja dalam satu paket, mulai dari kedatangan hingga kepulangan. Langkah ini diambil untuk mendukung efisiensi dan efektifitas dari pelayanan mereka.

Dalam pekerjaannya, Syam menyebut muthowwif harus mengetahui tidak hanya seputar sejarah yang ada di dua kota suci Makkah dan Madinah, tapi mereka juga memberikan bimbingan ibadah kepada tiap jamaah yang ada dalam perjalanan tersebut.

“Fungsi sertifikasi ini ya nantinya agar mereka harus tahu, baik di Madinah dan Makkah, apa sejarah di kota masing-masing dan syariat ibadah umrah. Umrah ini kan pelaksanaannya di Makkah, tapi sebelumnya sudah ada ritual syariahnya,” lanjut dia.

Sejauh ini, ia menyebut dari otoritas Arab Saudi belum ada wacana untuk melakukan sertifikasi bagi muthowwif. Jika Kemenag berkeinginan, maka hal ini harus dilakukan dengan kerja sama bersama pihak terkait.

Mengingat muthowwif ini kegiatannya di Saudi, Syam menyebut maka yang berhak mengeluarkan sertifikasi adalah Saudi. Indonesia bisa memberi akses atau kemudahan bagi mukimin, atau yang berada di sana dengan visa kerja, yang ingin menjadi muthowwif agar mendapatkan sertifikasi.

Ia menyebut para muthowwif ini biasanya tidak hanya melayani jamaah dari Indonesia, tapi juga dari wilayah Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan Brunei, yang bahasanya relatif sama.

“Pemerintah Indonesia kemungkinan harus mengikuti aturan main dari Saudi. Jangan juga mendahului Saudi, mau membuat sertifikasi dan prosesnya di Indonesia, sementara muthowwifnya ada di Saudi,” ucap Syam.  

IHRAM

Ramadan: Mega Proyek Kebaikan

Bismillah

Ramadan adalah saat-saat yang dinantikan oleh jutaan kaum muslimin. Semerbak ketaatan, khusyuknya ibadah, lembutnya kepedulian, dan hangatnya jalinan ukhuwah, serta semaraknya program kebaikan di bulan penuh berkah.

Sungguh, kesejukan ibadah yang dirindukan oleh insan beriman. Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan zikir kepada Allah. Ingatlah, bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d : 28)

Sebagaimana telah ditafsirkan oleh sebagian ulama terdahulu, bahwa hakikat dari zikir kepada Allah adalah segala bentuk ketaatan kepada-Nya. Sehingga barangsiapa yang taat kepada Allah, pada hakikatnya dia telah mengingat-Nya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مثل الذي يذكر ربه والذي لا يذكر ربه مثل الحي والميت

Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak pernah mengingat Rabbnya itu seperti perumpamaan orang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Kehidupan hati hanya bisa diraih dengan ilmu, iman, dan ketaatan. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makan dan minum dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu itu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” Sebagaimana dinukil perkataan ini oleh Ibnul Qayyim dalam Miftah Daris Sa’adah.

Oleh sebab itu, kebutuhan hamba kepada siraman ilmu dan hidayah laksana kebutuhan bumi kepada guyuran air hujan dari langit. Begitu pula kebutuhan manusia kepada tauhid dan ibadah kepada Allah. Ia merupakan intisari kehidupan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Begitulah gambaran kebutuhan kita kepada zikir dan ketaatan. Seperti seekor ikan yang membutuhkan air. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zikir bagi hati laksana air bagi ikan. Maka, bagaimana kiranya kondisi ikan itu ketika berpisah dari air?” (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib)

Ramadan dalam hidup seorang muslim seperti sebuah mega proyek kebaikan. Proyek amal saleh yang sangat menggiurkan. Perdagangan yang tidak akan merugi. Keuntungan pahala berlipat ganda. Ampunan dan rahmat Allah yang tercurah sepanjang waktu. Pundi-pundi takwa yang bertebaran. Sungguh merugi jika seorang muslim tidak menggunakan kesempatan emas ini untuk meraup pahala dan ampunan Rabbnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mencari pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pahala serupa juga dijanjikan kepada mereka yang menghidupkan malam Ramadan dengan salat tarawih. Apalagi ganjaran bagi para pembaca Al-Qur’an, walaupun harus terbata-bata. Begitu pula pahala melimpah bagi para muhsinin yang membantu menyediakan hidangan berbuka.

Ramadan akan selalu dirindukan oleh kaum mukmin di segala penjuru bumi. Ramadan adalah musim semi ketaatan. Saat di mana ibadah menjadi merekah, keimanan bertambah, dan kerinduan bertemu dengan Allah kian membuncah. Barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah, maka Allah pun suka bertemu dengannya.

Nikmatnya iman dan lezatnya ibadah membuat kaum muslimin rela menahan haus dan lapar sejak terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari. Sebuah kenikmatan yang hanya bisa dicicipi oleh manusia yang masih bersemayam iman dalam sanubarinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلًا

Pasti merasakan lezatnya iman orang yang rida Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Barangsiapa yang meninggalkan makanan dan minuman karena Allah pada siang hari Ramadan, maka niscaya Allah gantikan untuknya sesuatu yang lebih baik.

Baca Juga: Merindukan Ramadan

Sambut Ramadan dengan suka cita

Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah, bulan Ramadan adalah bulan yang mulia, bulan penuh berkah, bulan ampunan, bulan kedermawanan, dan bulan kesabaran.

Di dalam bulan Ramadan inilah, umat Islam di berbagai penjuru bumi tunduk patuh kepada Allah, dengan menahan diri dari makan dan minum serta pembatal-pembatal puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Inilah ibadah yang agung, ibadah yang menjadi salah satu perwujudan makna firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, ibadah kepada Allah adalah bentuk perendahan diri dan kepatuhan kepada-Nya dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Ibadah kepada Allah ini akan terwujud dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sesuai dengan tuntunan syari’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Saudara-saudara seiman yang semoga selalu dirahmati Allah, ibadah puasa ini menjadi sebuah ujian bagi kita, ujian atas nilai-nilai ketakwaan yang tertancap di dalam hati kita. Apakah kita termasuk orang yang tunduk dan taat, ataukah kita termasuk orang yang membangkang dan bermaksiat? Dengan puasa, akan tampak siapa yang bertakwa dan siapa yang lebih mendahulukan hawa nafsunya!

Oleh sebab itu, marilah kita berusaha mewujudkan nilai-nilai ketakwaan ini dengan sebenarnya melalui gerak-gerik hati, ucapan lisan, dan juga perbuatan anggota badan.

Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Bukanlah iman itu semata-mata dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan luar. Akan tetapi, hakikat iman itu adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”

Marilah kita sambut bulan puasa ini dengan hati yang penuh kegembiraan. Kegembiraan akan rahmat dan ampunan Allah, kegembiraan terhadap curahan hidayah dan kelembutan taufik-Nya. Ibadah puasa adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim kepada Rabbnya. Ibadah puasa melatih diri kita untuk meninggalkan hal-hal yang kita senangi demi menggapai kecintaan Rabb penguasa langit dan bumi.

Para ulama kita menasihatkan, “Jika engkau berpuasa, maka hendaklah berpuasa pula lisanmu, penglihatanmu, dan anggota badanmu. Janganlah engkau jadikan hari di saat kamu berpuasa sama saja dengan hari-hari biasa.”

Keistimewaan puasa

Syekh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan olehnya dari Rabbnya (hadits qudsi), “Setiap amal anak Adam untuknya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.” Suatu hal yang dimaklumi bahwa semua ibadah itu untuk Allah dan diberikan pahala, tetapi bagaimana Allah memberikan kekhususan bahwa puasa itu untuk-Nya saja?

Beliau menjawab,

الخاصية فيه أنه بين العبد وربه فيمكن للشخص أن يتظاهر بأنه صائم لكنه إذا ذهب إلى بيته أو إلى مكان خالٍ يأكل .

هذا وفيه مزية وفضيلة للصوم ، وكذا بقية الأعمال لكلٍ شرفه وميزته ، والرسول – صلى الله عليه وعلى آله وسلم – يقول كما في حديث أبي أمامة وقد قال : دلني على عمل يا رسول الله أعمله ؟ : ” عليك بالصوم ؛ فإنه لا مثل له ” ، وليس معناه أن الصوم أفضل من الصلاة لكن معناه أن له هذه المزية ، وأنه يدل على الإخلاص

“Keistimewaan yang terkandung di dalamnya ialah bahwa puasa merupakan amalan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Karena bisa saja seorang menampakkan diri bahwa dia sedang berpuasa, tetapi apabila dia pulang ke rumahnya atau ke tempat sepi, lalu dia pun makan. Ini menunjukkan bahwa puasa mengandung suatu kelebihan dan keutamaan khusus.

Begitu pula setiap amal itu memiliki nilai lebih dan kemuliaannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sebagaimana dalam hadis Abu Umamah yang menuturkan kepada beliau, “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan untuk aku kerjakan wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu berpuasa. Sesungguhnya tidak ada amal lain yang serupa dengannya.”

Bukanlah artinya puasa menjadi lebih utama daripada salat. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa puasa itu memiliki suatu keistimewaan tersendiri dan ia menunjukkan kepada keikhlasan.”

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel: Muslim.or.id
Sumber: muqbel.net

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83342-ramadan-mega-proyek-kebaikan.html

Beberapa Faedah dari Hadis-Hadis yang Berisi Anjuran Ziarah Kubur

Diriwayatkan dari Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah.” (HR. Muslim no. 977)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

Saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun tidak diperkenankan oleh-Nya. Dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya, lalu diperkenankan oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan mengingatkan kalian akan kematian.” (HR. Muslim no. 976)

Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan,

قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat.” (HR. Tirmidzi no. 1054, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Adapun dalam riwayat Ibnu Majah terdapat tambahan,

فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

Karena ia dapat menjadikan zuhud di dunia dan ingat dengan akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1571, namun tambahan ini dinilai dha’if oleh Al-Albani)

Dari hadis-hadis di atas, terdapat beberapa faedah berikut ini.

Faedah pertama

Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa di awal-awal Islam, ziarah kubur itu dilarang. Hal ini, wallahu ta’ala a’lam, mungkin disebabkan karena kekhawatiran bahwa ziarah kubur tersebut akan menyebabkan ketergantungan hati dan pengagungan kepada si mayit, lalu menjadi peribadahan kepada jenazah tersebut, sebagaimana yang telah terjadi pada jaman jahiliyah.

Ketika akidah kaum muslimin sudah tertanam di dalam hati, dan kaum muslimin juga memahami apakah yang dimaksud dengan ziarah kubur yang syar’i, maka hukum tersebut (larangan ziarah kubur) kemudian dihapus. Masalah ini termasuk dalam contoh penghapusan hukum dari sunah (hadis) dengan hadis, yaitu antara hukum yang dihapus dan dalil penghapusan hukumnya terdapat dalam dalil yang sama.

Faedah kedua

Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya ziarah kubur. An-Nawawi rahimahullah dan sejumlah ulama yang lainnya mengutip ijma tentang disunahkannya ziarah kubur bagi laki-laki, bukan untuk wanita.

Anjuran untuk ziarah kubur tersebut disertai dengan hikmah dan faedah yang sangat banyak yang bisa didapatkan oleh kaum muslimin dengan berziarah kubur. Tidak diragukan lagi bahwa ketika suatu amal itu disertai dengan hikmah atau faedah tertentu, maka diharapkan kaum muslimin bisa konsisten di dalam mengamalkannya. Di antara faedah dan hikmah dari ziarah kubur antara lain:

Pertama, ziarah kubur dapat mengingatkan akhirat. Seseorang menyadari bahwa tempat tinggal abadinya bukanlah di kehidupan dunia, akan tetapi dia sedang berjalan menuju akhirat.

Kedua, ziarah kubur dapat mengingatkan kematian. Ketika seseorang ziarah kubur, dia menyadari bahwa kelak dia akan tertimbun di dalam tanah, dan kematian adalah akhir dari kenikmatan yang dia peroleh selama di dunia.

Ketiga, menjadi zuhud dari kehidupan dunia. Ketika seseorang ziarah kubur, dia melihat bahwa manusia yang dulunya hidup gemerlap dengan kehidupan dunia, pada akhirnya akan tertimbun di dalam tanah. Sehingga dia pun menjadi zuhud dari kehidupan dunia, tidak tamak dan memiliki ambisi berlebihan terhadap kehidupan dunia, karena dia sadar semua itu akan dia tinggalkan ketika mati.

Faedah ketiga

Ziarah kubur yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah ziarah kubur syar’i, yang dimaksudkan untuk dua perkara:

Pertama, perkara (faedah) yang kembali kepada penziarah, yaitu untuk mengingatkan akhirat dan zuhud dari kehidupan dunia, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Kedua, perkara (faedah) yang kembali kepada si mayit, yaitu mendoakan untuk kebaikan si mayit.

Syarat tambahan agar termasuk ziarah kubur syar’i adalah tidak berniat melakukan safar (perjalanan jauh) untuk semata-mata berziarah kubur. Jika dia sengaja melakukan safar demi ziarah ke makam tertentu, hal itu tidak diperbolehkan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي

Dan tidaklah ditekankan untuk berziarah (melakukan safar), kecuali untuk mengunjungi tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. Bukhari no. 1197 dan Muslim no. 415, 827)

Ziarah kubur yang syar’i itu tidak membutuhkan safar (perjalanan jauh). Karena jika sampai melakukan safar, maka biasanya dia memaksudkan untuk mengunjungi makam tertentu yang dianggap keramat atau ingin diambil berkahnya.

Adapun ziarah kubur yang bid’ah adalah ziarah kubur yang dimaksudkan untuk salat di sisi makam, atau tawaf mengelilinginya, menciumnya, mengusap-usap makam untuk mencari keberkahan, atau berdoa meminta kepada orang yang sudah mati untuk mendatangkan manfaat atau menolak bahaya, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat mengantarkan menuju kemusyrikan.

***

@Rumah Kasongan, 12 Sya’ban 1444/ 4 Maret 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83457-hadis-ziarah-kubur.html

Sunnah Yang Terlupakan, Ucapan “Innal ‘Aisya, ‘Aisyul Akhirah”

Syaikh Ibnul Utsaimin –rahimahullah– mengatakan:

Rasul –shallallahu’alaihi wasallam– dahulu bila melihat suatu perkara dunia yg membuatnya takjub, beliau mengatakan:

لبيك إن العيش عيش الآخرة

/Labbaik, innal ‘aisya ‘aisyul akhirah/
Aku penuhi panggilanmu ya Allah, sungguh kehidupan yg hakiki adalah kehidupan akherat” (HR. Bukhari 2834, Muslim 1805)

Karena bila seseorang melihat suatu perkara dunia yang membuatnya takjub, mungkin saja dia meliriknya, sehingga dia berpaling dari Allah. Oleh karena itu beliau mengatakan: “labbaik” sebagai jawaban panggilan Allah azza wajalla, kemudian beliau memantapkan hatinya dg mengatakan: “Sungguh kehidupan yg hakiki adalah kehidupan akhirat“.

Karena kehidupan yang membuatmu takjub ini adalah kehidupan yang pasti sirna, sedang kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akherat. Oleh karena itu, termasuk diantara sunnah ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan di dunia ini adalah mengucapkan: “Labbaik, innal aisya aisyul akhirah” (Syarah Mumti‘, 3/124).

Imam Syafi’i –rahimahullah– mengatakan:

Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam– mengucapkannya (yakni ucapan: “Innal ‘Aisya ‘Aisyul Akhirah“) di momen yang paling membahagiakan dan di momen yang paling menyusahkan.

(Nihayatul Mathlab, karya Al Juwaini, 4/237-238).

Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini Lc., MA.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/21680-sunnah-yang-terlupakan-ucapan-innal-aisya-aisyul-akhirah.html

Ini 3 Cara Mempelajari Alquran bagi Mualaf

SAHABAT mulia Islampos, Alquran merupakan petunjuk hidup di dunia dan akhirat. Seorang muslim pasti berpegang tegus kepadanya. Oleh karena itu, seseorang yang baru masuk Islam atau menjadi mualaf, perlu mempelajari Alquran. Hal itu memang tidak mudah bagi seorang mualaf. Namun, ada tiga cara mempelajari Alquran yang praktis bagi mualaf.

Menurut Nouman Ali Khan, berikut tiga cara yang bisa dicoba bagi seorang mualaf untuk mempelajari Alquran:

1 Cara mempelajari alquran bagi mualaf: Pelajari perlahan-lahan

Pelajarilah sedikit demi sedikit. Jangan terburu-buru, jangan memaksakan diri, dan jangan memaksakan diri bahwa kalian belum mengetahui segalanya atau kalian belum tahu cara melafalkannya dengan benar, atau kalian belum memahami semuanya. Alquran dan hubungan kita dengannya adalah tentang kualitas dan bukan tentang kuantitas.

2 Cara mempelajari alquran bagi mualaf: Luangkan waktu untuk menghafal

Muslim baru merasakan tekanan untuk ingin berdoa dengan cara yang sama seperti semua Muslim lainnya berdoa dalam bahasa Arab. Itu perjalanan yang cukup panjang. Perlu meluangkan waktu dan menghafal bab-babnya, bahkan jika butuh waktu berbulan-bulan untuk melakukannya, tidak apa-apa. Tidak apa-apa bagi mengambil sedikit demi sedikit waktu sejauh itu menyangkut hafalan.

Bahkan mungkin timbul pertanyaan, “Mengapa saya harus berdoa dalam bahasa Arab? Bisakah saya berdoa dalam bahasa Inggris atau Spanyol atau bahasa lainnya?”

Ya, pasti bisa, tetapi kita percaya Alquran adalah firman Allah yang literal, tidak masalah dari etnis atau latar belakang kalian berasal.

Jadi, meskipun kalian membutuhkan waktu, cobalah untuk menghafal beberapa bab pendek menjelang akhir (juz amma), dan Insya Allah, kalian akan menemukan cara untuk memahaminya dengan lebih baik.

3 Cara mempelajari alquran bagi mualaf: Pelajari terjemahan Alquran

Pelajarilah Alquran atau membaca sedikit tentang makna-makna Alquran atau dengarkan penjelasan Alquran dalam terjemahan, lakukan terus menerus.

Bukan hanya untuk Muslim baru tetapi sebenarnya untuk setiap Muslim karena itu adalah kehidupan spiritual kita. Kalian akan berdoa dengannya, dan pada akhirnya kalian akan membacanya dalam waktu yang cukup singkat, Insya Allah, bahkan dalam bahasa Arab.

Tetapi sampai itu terjadi dan bahkan setelah itu terjadi, kalian harus terus berusaha memahaminya dalam bahasa lokal kalian. Sedikit demi sedikit, itu akan memberi kalian dorongan spiritual, dan bahkan membuka pikiran kalian terhadap berbagai hal, dan memperluas kebijaksanaan Allah kepada kalian dengan cara yang tidak kalian duga. []

SUMBER: ABOUT ISLAM

2 Ketentuan Puasa Sya’ban

SAHABAT mulia Islampos, sekarang ini umat Islam telah berada di bulan Sya’ban, yakni bulan menjelang Ramadhan. Pada bulan inilah, dianjurkan memperbanyak puasa sunah. Namun, bagaimana sebenarnya ketentuan puasa Sya’ban?

Boleh dibilang ketentuan puasa di bulan Sya’ban cukup rumit dan sedikit membingungkan. Sebab, ada dua pendapat yang bertentangan di masyarakat. Satu mengatakan bahwa puasa di bulan Sya’ban dianjurkan. Pendapat lainnya menyatakan bahwa puasa di paruh kedua bulan Sya’ban itu tidak boleh.

Kedua pendapat tersebut didasarkan hadis Rasulullah ﷺ.

Perbanyak puasa di bulan Sya’ban

Pendapat pertama datang dari hadist yang mengisahkan di mana apabila telah datang bulan Sya’ban, Rasulullah hampir setiap hari berpuasa.

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنْ صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ : كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا.

“Dari Abu Salamah ia berkata, saya pernah bertanya kepada Aisyah Ra. tentang puasa Rasulullah SAW, maka ia pun berkata, ‘Rasulullah SAW sering berpuasa hingga kami mengira bahwa beliau akan puasa seterusnya. Dan beliau sering berbuka (tidak puasa) sehingga kami mengira beliau tidak puasa terus-menerus. Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa terus sebulan penuh kecuali Ramadan. Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban hingga sisa harinya tinggal sedikit.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hendaknya kita tidak boleh melewatkan satu bulan pun tanpa berpuasa sama sekali.

Hadis tadi juga menunjukkan Rasulullah sering berpuasa di bulan Sya’ban, hanya sedikit hari yang dilalui oleh Nabi SAW di bulan Sya’ban tanpa berpuasa. Hikmah di balik puasa Rasul di bulan Sya’ban karena amalan hamba selama setahun penuh diangkat di bulan ini. (An-Nawawi, al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj, juz 8 hlm. 37)

Tidak boleh puasa di akhir bulan Sya’ban

Namun, di sisi lain terdapat hadist Nabi ﷺ yang menyatakan tidak boleh berpuasa ketika memasuki paruh kedua bulan Sya’ban yakni dari tanggal 16 sampai akhir.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا

“Dari Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila telah memasuki paruh kedua bulan Sya’ban, maka kalian tidak boleh berpuasa!” (HR. at-Tirmidzi, Abu Daud, Ibn Majah, Ad-Darimi, dan Ahmad)

Kebanyakan ulama madzhab Syafi’i menghukumi haram puasa di separuh akhir bulan Sya’ban yakni dari tanggal 16 sampai akhir. Namun, keharaman tersebut tidak berlaku di beberapa kondisi. Kondisi apakah itu?

Setidaknya ada tiga situasi di mana puasa di paruh kedua bulan Sya’ban hukumnya boleh. Berikut ketiga kondisi tersebut:

Puasa di separuh akhir bulan Sya’ban dibarengi dengan puasa di hari sebelumnya. Jadi, bila seseorang berpuasa sejak tanggal 15 kemudian lanjut ke tanggal 16, 17 sampai akhir bulan Sya’ban, maka itu tidak haram.

Apabila puasa di paruh kedua bulan Sya’ban sesuai dengan jadwal puasa seseorang yang memang sudah terbiasa berpuasa di hari itu. Misalnya orang yang terbiasa puasa hari Senin dan Kamis tetap boleh melaksanakannya walau hari Senin dan Kamis itu memasuki separuh akhir bulan Sya’ban.

Apabila puasa yang dilaksanakan adalah puasa nadzar, qadla, atau kafarat. Jadi, terutama untuk perempuan, boleh hukumnya berpuasa di paruh kedua bulan Sya’ban bila puasa tersebut adalah ganti atau qadla dari puasa Ramadan. (Abu Bakar Syatha ad-Dimiyati, I’anatut Thalibin, juz 2, hlm. 309) []

SUMBER: MUI