Spesialis Bedah Tulang Ingatkan Momen-Momen Kritis untuk Jamaah Haji dan Umroh Lansia

Dewan Pakar DPP Al-Ittihadiyah dan Dosen Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta, Dokter Ustadz Basuki Supartono, menyampaikan agar jamaah umroh dan haji melaksanakan ibadah dengan nyaman dan menyenangkan hal ini karena sarana dan prasarana bagi jamaah haji lansia sudah tersedia.

Dokter Ustadz Basuki memberi saran bagi jamaah haji agar menggunakan sesuatu yang nyaman termasuk sandal, yang memungkinkan bisa bergerak dengan seimbang, lancar dan tidak menimbulkan rasa sakit. Sebab jamaah haji lansia biasanya mengalami pelemahan pada area di bawah tumit.

Para pihak di Arab Saudi sudah menyediakan sarana dan prasarana untuk jamaah disabilitas dan lansia. Maka jamaah haji yang sehat, jangan salah menggunakan tempat untuk disabilitas dan lansia. Ibadah haji adalah kewajiban bagi yang mampu, maka orang menabung untuk bisa berhaji dari berbagai macam penjuru dunia.

“Mereka (Arab Saudi) sangat serius memperhatikan agar berbagai macam orang yang punya karakteristik berbeda-beda bisa menikmati umroh dan haji secara menyenangkan,” kata Dokter Ustadz Basuki dalam kajian virtual Baitul Izza bertema Menjaga Kesehatan Tulang dan Sendi Saat Haji, Ahad (7/5/2023).

Dokter Ustaz Basuki mengatakan, amal sholeh manusia itu selalu memperbaiki kehidupannya, agar bisa ibadah menyenangkan karena tujuan manusia hidup untuk beribadah.

Dia mengingatkan, saat berhaji ada tawaf yakni mengelilingi Kabah. Bagi jamaah haji yang sehat bisa melakukan tawah di bawah atau di atas. Tawaf dari atas atau lantai dua bisa menghabiskan waktu satu jam untuk tujuh putaran mengelilingi Kabah.

“Kalau jamaah yang tidak bisa jalan, bisa menggunakan kursi roda, karena yang terpenting nyaman dan lancar dalam beribadah, bahkan bisa naik skuter saat tawaf,” ujar Dokter Ustadz Basuki.

Menurutnya, dalam melaksanakan sai biasanya yang cukup melelahkan bagi lansia. Dikarenakan ibadah haji menggunakan fisik, maka minum air zamzam disunnahkan. Tentu ada pesan dari Nabi Muhammad SAW agar jamaah haji memperhatikan kecukupan air dalam tubuh.

Baca juga: 22 Temuan Penyimpangan Doktrin NII di Pesantren Al Zaytun Menurut FUUI 

Disarankan juga, kalau jamaah kondisinya tidak baik-baik saja atau mengalami inflamasi, kurangi makanan yang mengandung minyak. Kalau tidak bisa makan yang mengandung minyak, bisa makan telur.

Dia menyampaikan, di Makkah, buah-buahan lengkap walau kondisi di Makkah kering. “Kalau kita tidak bisa menikmati makanan yang berminyak, kita bisa menikmati buah-buahan dan buahnya manis-manis,” jelas Dokter Ustadz Basuki.

Dokter Ustaz Basuki mengatakan, jamaah haji tidak perlu khawatir, di Arab Saudi ada tim medis yang siap membantu jamaah haji.  

IHRAM

Makna dan Hukum Perkataan “Bi Abi wa Ummi”

Perkataan “bi abi wa ummi” jika banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan “demi ayahku dan ibuku”. Sehingga sekilas nampak seperti ucapan sumpah. Padahal kita mengetahui Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك

“Barangsiapa bersumpah atas nama selain Allah, maka ia telah kafir atau berbuat syirik.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaqi, disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad 7: 199)

Di sisi lain, perkataan “bi abi wa ummi” terdapat dalam banyak hadis, digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan para sahabat.

Tulisan ringkas berikut ini akan mengurai kerancuan seputar masalah perkataan tersebut.

Hadis-hadis yang menyebutkan “bi abi wa ummi”

Berikut ini beberapa hadis yang memuat perkataan “bi abi wa ummi”. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ما رَأَيْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُفَدِّي رَجُلًا بَعْدَ سَعْدٍ سَمِعْتُهُ يقولُ: ارْمِ فِدَاكَ أَبِي وأُمِّي

Aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan ayah bundanya sebagai tebusan, kecuali untuk Sa’ad bin Malik. Aku mendengar beliau berkata, ‘Lepas anak panahmu, ayah dan bundaku menjadi tebusannya.‘” (HR. Bukhari no. 2905 dan Muslim no. 2411).

Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مَن يَأْتِ بَنِي قُرَيْظَةَ فَيَأْتِينِي بخَبَرِهِمْ. فانْطَلَقْتُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ جَمع لي رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أبَوَيْهِ فقالَ: فِداكَ أبِي وأُمِّي

Siapa yang dapat mendatangi Bani Quraizhah lalu membawa kabar mereka kepadaku?’ Maka, aku (Abdullah bin Az-Zubair) berangkat. Ketika aku kembali, aku dapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan kedua orangtua beliau sebagai tebusan bagiku dengan mengatakan, ‘Bapak dan ibuku sebagai tebusan bagimu.’” (HR. Bukhari no. 3720)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

دَخَلْتُ الجَنَّةَ أوْ أتَيْتُ الجَنَّةَ، فأبْصَرْتُ قَصْرًا، فَقُلتُ: لِمَن هذا؟ قالوا: لِعُمَرَ بنِ الخَطَّابِ، فأرَدْتُ أنْ أدْخُلَهُ، فَلَمْ يَمْنَعْنِي إلَّا عِلْمِي بغَيْرَتِكَ قالَ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ: يا رَسولَ اللَّهِ، بأَبِي أنْتَ وأُمِّي يا نَبِيَّ اللَّهِ، أوَعَلَيْكَ أغارُ

“Ketika aku tidur, aku bermimpi diperlihatkan surga. Aku melihat ada istana. Aku pun bertanya, ‘Milik siapa istana ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini milik Umar bin Khathab.’ Kemudian aku pun ingin memasukinya dan tidaklah ada yang menghalangiku, kecuali ingatanku tentang semangatmu wahai Umar.’” Umar pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku menjadi tebusannya, semangatku adalah untuk membelamu.’” (HR. Bukhari no. 5226 dan Muslim no. 2394)

Dan hadis-hadis lainya yang sangat banyak, yang memuat perkataan “bi abi wa ummi” atau yang semakna dengannya.

Makna perkataan “bi abi wa ummi”

Perkataan “bi abi wa ummi” sebenarnya bukan perkataan sumpah. Karena bentuk lengkap dari perkaraan ini adalah

أفديك بأبي وأمي

/afdiika bi abi wa ummi/

Aku jadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan untukmu.”

Syekh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya apa makna “bi abi wa ummi”, beliau menjawab,

يعني أفديك بأبي وأمي، كلمة تقولها العرب في تعظيم المخاطب

Maksudnya adalah ‘Aku jadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan untukmu’. Ini adalah kalimat yang biasa diucapkan orang Arab untuk mengagungkan lawan bicaranya.” (Fatawa Ad-Durus, no. 40412)

Al-fida’ atau tebusan di sini maksudnya pengganti. Ibnu Faris mengatakan,

فدي : أن يُجعل شيءٌ مكان شيءٍ حمًى له

Fadyun artinya menjadikan B sebagai pengganti dari A untuk melindungi A.” (Maqayis Al-Lughah, 4: 483)

Maka, dengan mengatakan “Aku jadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan untukmu”, menunjukkan lawan bicara adalah orang yang sangat dimuliakan dan dicintai sampai-sampai rela orang tuanya sendiri diserahkan untuk menggantikan posisi orang tersebut untuk melindunginya. Namun, tentu saja ini sekedar kiasan bukan benar-benar menyerahkan orang tuanya sebagai tebusan.

Hukum perkataan “bi abi wa ummi”

Telah berlalu penjelasan bahwa perkataan ini bukan termasuk sumpah, sehingga tidak termasuk bersumpah dengan nama selain Allah yang terlarang. Perkataan ini jika digunakan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka para ulama ijma‘ akan bolehnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih layak untuk dimuliakan dan didahulukan melebihi ayah dan ibu siapa pun. Ibnu Mulaqqin rahimahullah mengatakan,

فيه تفدية النبي – صلى الله عليه وسلم – بالآباء والأمهات وهو إجماع، وهل يجوز تفدية غيره من المؤمنين فيه ثلاثة مذاهب

Dalam hadis disebutkan penebusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ayah dan ibu. Ulama sepakat akan bolehnya. Adapun apakah boleh melakukan hal demikian kepada selain Nabi dari kalangan kaum mukminin? Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.” (Al-I’lam bi Fawaid Umdatil Ahkam, 3: 16)

Namun, jika digunakan terhadap orang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semisal mengatakan, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan untukmu wahai Syekh Fulan”, maka dalam masalah ini ada khilaf di antara ulama. Namun, jumhur ulama berpendapat akan bolehnya. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

فيه جواز التفدية بالأبوين وبه قال جماهير العلماء ، وكرهه عمر بن الخطاب والحسن البصري، وكرهه بعضهم في التفدية بالمسلم من أبويه والصحيح الجواز مطلقاً، لأنه ليس فيه حقيقة فداء، وإنما هو كلام وألطاف وإعلام بمحبته له ومنزلته، وقد وردت الأحاديث الصحيحة بالتفدية مطلقاً

Dalam hadis ini terdapat tafdiyah (ucapan penebusan seseorang) dengan kedua orang tua. Ini dibolehkan oleh jumhur ulama, namun dimakruhkan oleh Umar bin Khathab, Al-Hasan Al-Bashri, dan sebagian ulama jika dilakukan terhadap seorang muslim (selain Rasulullah). Namun, pendapat yang sahih, hukumnya boleh secara mutlak. Karena dalam ucapan tersebut tidak ada penebusan secara hakiki, namun perkataan tersebut sekedar ucapan kelembutan dan pengabaran rasa cinta dan pengagungan kepada seseorang. Dan terdapat beberapa hadis yang menyebutkan tafdiyah secara mutlak.” (Syarah Shahih Muslim, 15: 184)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

قد استوعب الأخبار الدالة على الجواز، أبو بكر بن أبي عاصم وجزم بجواز ذلك، فقال: للمرء أن يقول ذلك لسلطانه ولكبيره ولذوي العلم، ولمن أحب من إخوانه غير محظور عليه ذلك، بل يثاب عليه إذا قصد توقيره واستعطافه ولو كان ذلك محظوراً لنهى النبي صلى الله عليه وسلم قائل ذلك، ولأعلمه أن ذلك غير جائز أن يقال لأحد غيره. اهـ

Jika semua dalil dikumpulkan, akan menunjukkan bolehnya ucapan tersebut. Abu Bakar bin Abi Ashim menegaskan kebolehan ucapan tersebut. Beliau mengatakan, ‘Seseorang boleh berkata demikian kepada sultannya, atau pembesarnya, atau ulama, atau kawannya yang ia cintai, tanpa larangan sama sekali. Bahkan, ia mendapatkan pahala jika diniatkan untuk mengagungkan atau ingin mempererat hubungan. Andaikan ucapan tersebut terlarang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah melarang untuk mengucapkannya. Dan tentu beliau akan mengabarkan bahwa perkataan tersebut tidak diperbolehkan untuk diucapkan kepada siapa pun.” (Fathul Bari, 10: 584)

Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wal ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Penulis: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84680-makna-dan-hukum-perkataan-bi-abi-wa-ummi.html

3 Amalan Senilai Surga Seluas Langit dan Bumi

ADAKAH yang rela untuk menukar surga Allah Ta’ala seluas langit dan bumi dengan kebodohan diri -enggan melakukan tiga amalan yang disebutkan dalam QS. Ali Imran: 134 ?-

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali ‘Imran ayat 134)

Amalan Senilai Surga Seluas Langit dan Bumi: Orang yang rajin berinfak dan bersedekah saat lapang atau sempit

Yakni dalam keadaan susah dan dalam keadaan makmur, dalam keadaan suka dan dalam keadaan duka, dalam keadaan sehat dan juga dalam keadaan sakit. Dengan kata lain, mereka rajin berinfak dalam semua keadaan.

Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka tidak kendur dan lupa oleh suatu urusan pun dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Mereka membelanjakan harta untuk keridaan-Nya serta berbuat baik kepada sesamanya dari kalangan kaum kerabatnya dan orang-orang lain dengan berbagai macam kebajikan.

Allah Ta’ala berfirman,

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 261)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR Muslim)

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39).

Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya kecuali akan turun (datang) dua malaikat kepadanya lalu salah satunya berkata; “Ya Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan hartanya”, sedangkan yang satunya lagi berkata; “Ya Allah berikanlah kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang menahan hartanya (bakhil).” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)

Dari Asma’ binti Abi Bakr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padaku,

لاَ تُوكِي فَيُوكى عَلَيْكِ

“Janganlah engkau menyimpan harta (tanpa mensedekahkannya). Jika tidak, maka Allah akan menahan rizki untukmu.” Dalam riwayat lain disebutkan,

أنفقي أَوِ انْفَحِي ، أَوْ انْضَحِي ، وَلاَ تُحصي فَيُحْصِي اللهُ عَلَيْكِ ، وَلاَ تُوعي فَيُوعي اللهُ عَلَيْكِ

“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan barokah rizki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhari no. 1433 dan Muslim no. 1029, 88)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah beristighfar (mohon ampun kepada Allâh) karena sungguh aku melihat kalian sebagai penghuni neraka yang paling banyak.” (HR. Muslim)

Amalan Senilai Surga Seluas Langit dan Bumi: Orang yang mampu menahan marah

Saat mereka mengalami emosi, maka mereka menahannya (yakni memendamnya dan tidak mengeluarkannya), selain itu mereka memaafkan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka.

Disebutkan dalam sebagian asar yang mengatakan:

Allah Ta’ala berfirman, “Hai anak Adam, ingatlah kepada-Ku jika kamu marah, niscaya Aku mengingatmu bila Aku sedang murka kepadamu. Karena itu, Aku tidak akan membinasakanmu bersama orang-orang yang Aku binasakan.

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang kuat itu bukanlah karena jago gulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah. (HR. Ahmad)

Seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, berwasiatlah untukku.” Nabi Shalallahu alaihi wasallam menjawab, “Kamu jangan marah.” Lelaki itu melanjutkan kisahnya, “Maka setelah kurenungkan apa yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam tadi, aku berkesimpulan bahwa marah itu menghimpun semua perbuatan jahat.” (HR Ahmad)

Abu Zar berkata , “Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda kepada kami (para sahabat): “Apabila seseorang di antara kalian marah, sedangkan ia dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk hingga marahnya hilang. Apabila marahnya masih belum hilang, hendaklah ia berbaring.” (HR Ahmad)

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda: ‘Sesungguhnya marah itu perbuatan setan, dan setan itu diciptakan dari api, dan sesungguhnya api itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, apabila seseorang di antara kalian marah, hendaklah ia berwudu’.” (HR. Ahmad)

Nabi Shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Barang siapa menahan amarahnya, sedangkan dia mampu melaksanakannya, niscaya Allah memenuhi rongganya dengan keamanan dan keimanan.” (HR Ahmad)

Amalan Senilai Surga Seluas Langit dan Bumi: Orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain

Mereka juga memaafkan orang yang telah berbuat aniaya terhadap dirinya, sehingga tiada suatu uneg-uneg pun yang ada dalam hati mereka terhadap seseorang. Hal ini merupakan akhlak yang paling sempurna. Karena itulah dalam akhir ayat ini disebutkan:

Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Hal yang disebut di atas merupakan salah satu dari kebajikan. Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:

Ada tiga perkara yang aku berani bersumpah untuknya, tiada harta yang berkurang karena sedekah, dan tidak sekali-kali Allah menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf melainkan hanya keagungan, serta barang siapa yang merendahkan dirinya karena Allah, niscaya Allah mengangkat (kedudukan)nya.

Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menginginkan bangunan untuknya (di surga, dimuliakan, dan derajat (pahala)nya ditinggikan, hendaklah ia memaafkan orang yang berbuat aniaya kepadanya, memberi kepada orang yang kikir terhadap dirinya, dan bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya.

Telah diriwayatkan melalui Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Apabila hari kiamat terjadi, maka ada seruan yang memanggil, “Di manakah orang-orang yang suka memaafkan orang lain? Kemarilah kalian kepada Tuhan kalian dan ambillah pahala kalian!” Dan sudah seharusnya bagi setiap orang muslim masuk surga bila ia suka memaafkan (orang lain).

Memang tak ada yang bisa pungkiri bahwa ketiga amalan tersebut adalah amalan tingkat tinggi yang berat dilakukan. Karena balasannya pun tak tanggung-tanggung. Namun beratnya amalan tersebut ternyata bukan menjadi hal yang perlu dimaklumi untuk tidak dilakukan, melainkan saat meninggalkannya justru akan memperburuk keadaan, menyusahkan diri sendiri baik secara lahir atau pun batin.

Wallahu a’lam bi showab. []

Sumber: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir

ISLAMPOS

Perempuan Menjadi Khatib Jumat? Inilah Pendapat Madzhab Empat

Madzhab empat menolak perempuan menjadi imam shalat Jumat, bahkan di Madzhab Hanafi perempuan tidak memiliki kelayakan dalam mengimami shalat Jumat

Hidayatullah.com | PARA ULAMA ulama sepakat bahwasannya khutbah merupakan rukun dalam pelaksanaan shalat Jumat. Imam Al Mawardi menyebutkan bahwa shalat Jumat tidak sah kecuali dengan adanya khutbah, dan itu pendapat seluruh fuqaha`. (Al Hawi Al Kabir, 2/432).

Para ulama juga menyebutkan bahwasannya perempuan tidak diwajibkan atasnya melaksanakan shalat Jumat menurut ijma` ulama. (Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 4/484).

Namun jika mereka mengikuti shalat Jumat, maka shalatnya sah menurut ijma` ulama juga. (Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 4/484).

Nah, bagaimana hukumnya jika perempuan menjadi khatib shalat Jumat? Apakah shalat Jumat yang demikian sah? Demikian pandangan para ulama dalam madzhab empat:

Madzhab Hanafi

Dalam Madzhab Hanafi khatib diharuskankan laki-laki. Ibnu Abidin menyatakan,”Adapun bagi khatib, maka disyaratkan padanya kelayakan menjadi imam dalam shalat Jumat” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/147).

Hal yang sama disampaikan oleh Ibnu Nujaim Al Mishri dalam Syarh Kanz Ad Daqa`iq (Al Bahr Ar Ra`iq, 2/159). Sedangkan dalam Madzhab Hanafi perempuan tidak memiliki kelayakan dalam mengimami shalat Jumat, karena tidak boleh mengimami laki-laki. (Al Hidayah bersama dengan syarahnya Al Inayah, 2/62)

Madzhab Maliki

Dalam Madzhab Maliki, disyaratkan bahwa khatib dan imam dalam shalat Jum`at satu orang kecuali udzur. (Syarh Al Jawahir Az Zakiyyah, 27/206). Sedangkan syarat imam shalat Jumat sebagaimana syarat imam pada shalat-shalat lainnya, di mana disyaratkan laki-laki, untuk mengimami laki-laki. (Bidayah Al Mujtahid, 1/155).

Madzhab Syafi`i

Syeikh Qalyubi menyatakan dalam hasyiyah beliau, ”Dan syarat laki-laki berlaku kepada seluruh khatib.” (Hasyiyah Qalyubi atas syarh Al Mahalli, 1/322).

Madzhab Hanbali

Sedangkan dalam Madzhab Hanbali disyaratkan kepada khatib Jumat, bahwa perempuan tidak sah jika mengimami shalat Jumat. Al Buhuti menyatakan, ”Maka tidak sah khutbah bagi siapa yang tidak wajib atasnya melaksanakan shalat Jumat, seperti  hamba dan musafir.” (Syarh Muntaha Al Iradat, 1/305).

Demikian juga perempuan, karena tidak diwajibkan atasnya melaksanakan shalat Jumat. Sebab itulah bagi madzhab Hanbali perempuan tidak sah untuk menjadi khatib Jumat.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwasannya shalat Jumat tidak sah jika pengkhutbahnya perempuan menurut kesepakatan para ulama dalam empat madzhab. Wallahu a`lam bishshawab.*/Thoriq, LC, MA, pengasuh rubrik fikih Majalah Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Ketika Menjenguk Orang Sakit, Ini Tata Cara Mendoakannya Sesuai Sunnah Nabi 

Ketika ada suadara kita yang sedang sakit, baik tetangga, kerabat, teman dan lainnya, kita dianjurkan untuk menjenguknya. Di dalam Islam, ketika kita menjenguk orang sakit, kita dianjurkan untuk mendoakannya agar segera sembuh. Dalam kitab Dzikir wa Tadzkir disebutkan bahwa ketika menjenguk orang sakit, maka tata cara dan langkah-langkah mendoakannya sesuai sunnah Nabi Saw adalah sebagai berikut;

Pertama, ketika baru masuk menemui orang yang sakit, kita dianjurkan membaca doa berikut;

Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membuat dosamu bersih, Insya Allah.

Kedua, memegang tangan orang yang sakit sambil membaca doa berikut;

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ، أَذْهِبِ الْبَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِى لا شِفَاءَ إِلا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لا يُغَادِرُ سَقَمًا

Ya Allah, Tuhan manusia, hilangkanlah sakit (ini), sembuhkanlah ia, Engkau adalah Dzat Yang menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan  dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan sakit.

Ketiga, kemudian meruqyah orang yang sakit dengan membaca doa berikut;

بِسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عيْنِ حَاسِدٍ، اللَّهُ يشْفِيك، بِسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ .

Dengan nama Allah, aku meruqyahmu, dari segala yang menyakitimu, dari kejahatan setiap manusia dan mata orang yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu. Dengan nama Allah, aku meruqyahmu.

Keempat, jika orang yang sakit merasa kesakitan di bagian tubuhnya, maka kita dianjurkan meletakkan tangan kita pada bagian tubuh yang sakit tersebut sambil membaca doa berikut;

 3 x بِسمِ اللَّهِ ارحمن الرحيم

Bismillahirrohmanirrohim 3 x

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

7 x أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِن شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحاذِرُ

A’udzu bi ‘izzatillah wa qudrotihi min syarri ma ajidu wa uhadziru 7 X

Aku berlindung dengan keperkasaan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang aku dapati dan aku waspadai.

BINCANG SYARIAH

Doa Terhindar dari Kebakaran

Syekh Shafwak Sa’dallah Al-Mukhtar dalam karyanya Anisul Mu’minin (Juz, 1, Hlm. 111) Mengutip doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada Abi Dardak. Doa terhindar dari kebakaran tersebut khasiatnya untuk menolak kebakaran rumah.

Dalam kutipan tersebut dikisahkan, bahwa seorang lelaki datang menemui Abi Dardak kemudian ia berkata,

“Wahai Abi Dardak apakah kamu tidak khawatir akan terjadi kebakaran di rumahmu”. Abi Dardak menjawab, “Rumahku tidak akan kebakaran karena aku pernah mendengar sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang membaca doa ini di waktu subuh maka rumahnya tidak akan kebakaran”.

Adapun Doa terhindar dari kebakaran rumah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Abi Dardak tertera sebagai berikut:

اللهم أنت ربي لا إله الا أنت عليك توكلت وأنت رب العرش العظيم، ماشاء الله كان وما لم يشأ لم يكن لاحول ولا قوة الا بالله العلي العظيم، أعلم أن الله على كل شيء قدير، وأن الله قد أحاط بكل شي علماً، اللهم إني أعوذ بك من شر نفسي، ومن شر كل دابة أنت آخذ بناحيتها، أن ربي على صراط مستقيم

Allaahumma anta robbi laa ilaaha illa anta ‘alaika tawakkaltu wa anta robbul ‘arsyil ‘adhiim. Maasyaa Allahu kaana wamaa lam yasya’ lam yakun. La haula walaa quwaata illa billahil ‘aliyyil ‘adhiim. A’lamu annallahha ‘alaa kulli syaiin qodliir. 

Wa innallaha qod ahatho bikulli syai in ‘ilmaa. Allahumma inni a’uudzubika min syarri nafsii wa min syarri kulli daabbtin anta aakhidzu binaa shiyatihaa inna robbii ‘alaa shiroothin mustaqiim.

Artinya: “Ya Allah engkau tuhanku, tiada tuhan selain engkau, kepada engkau aku berserah diri, engkaulah tuhan ‘Arasy yang besar, apa yang dikehendaki Allah terjadilah dan apa yang tidak dikehendaki oleh Allah tidak akan terjadi, tidak ada daya dan upaya kekuatan hanya dengan Allah yang maha tinggi lagi maha besar. 

Aku mengetahui bahwa Allah telah melihat segala sesuatu itu dengan pengetahuannya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu daripada kejahatan diriku dan dari kejahatan segala yang melata di dunia ini. engkau ya Allah yang mengambil dengan pundaknya segalanya. Sesungguhnya tuhanku adalah pada jalan yang lurus”.

Selanjutnya Syekh Shafwak Sa’dallah Al-Mukhtar menambahkan ketika doa di atas sering dibaca, si pembaca, keluarga, dan hartanya, akan terhindar dari segala marabahaya. Wallahu A’lam Bissawab.

Demikian doa terhindar dari kebakaran rumah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kemenag Bahas Persiapan untuk Haji Ramah Lansia

Di setiap sektor akan disiapkan 10 petugas haji ramah lansia.

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) tahun ini mengangkat slogan Haji Ramah Lansia. Sejumlah persiapan pun dilakukan, salah satunya dengan menguatkan petugas layanan jamaah lanjut usia (lansia).

Setelah tertunda karena pandemi, jumlah jamaah haji lansia tahun ini meningkat signifikan. Angkanya mencapai 67 ribu atau sekitar 30 persen dari total kuota jamaah haji Indonesia.

“Kami telah menyiapkan langkah mitigasi layanan jamaah lansia. Apalagi, tidak adanya pendamping jamaah lansia dan penggabungan mahram,” kata Direktur Bina Haji Arsad Hidayat, dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Sabtu (6/5/2023).

Sejumlah inovasi disebut telah disiapkan, termasuk menyiapkan struktur khusus dalam organisasi Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) tahun ini. Nantinya, ada Kepala Bidang Pelayanan Lansia dan Disabilitas yang akan dibantu Kepala Seksi di setiap kantor daerah kerja (Daker). Di setiap sektor wilayah juga disiapkan 10 petugas haji ramah lansia yang siap melayani mereka setiap saat.

“Hal ini kami susun, mengingat jamaah haji lansia yang berangkat tahun ini meningkat secara signifikan 30 persen dari kuota. Ini tentu membutuhkan perhatian khusus dari semua pihak, khususnya pemerintah yang berkewajiban melindungi dan melayani jemaah hajinya,” ucap dia.

Proses persiapan lainnya adalah menyiapkan buku panduan manasik haji dan umroh ramah lansia. Buku ini akan menjadi panduan dalam pelaksanaan manasik jamaah, baik di Kankemenag Kabupaten/Kota maupun Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.

Arsad lantas menyebut pembimbing ibadah harus dapat menjelaskan beragam kemudahan bagi jamaah lansia dalam beribadah haji. Mereka harus menjelaskan, mana yang wajib dan mana yang bisa diwakilkan.

Direktorat Jenderal PHU dan stakeholder yang terlibat disebut terus mengidentifikasi masalah, menjalin komunikasi, serta memberikan edukasi kepada jamaah. Hal ini dinilai penting, agar jamaah mempunyai pemahaman yang valid dan tidak terpengaruh dengan hoaks yang beredar.

IHRAM

Serial Fikih Muamalah (Bag. 18): Mengenal Khiyar karena Adanya Aib dan Kecacatan serta Pengaruhnya terhadap Akad Jual Beli

Kecacatan yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang dapat mengurangi nilai barang yang akan diakadkan menurut orang yang ahli di bidangnya; baik itu menurut pedagang maupun produsen barang tersebut. Jika sebuah akad terjadi pada barang yang memiliki cacat yang sudah lama (sebelum berlangsungnya akad), maka pembeli memiliki hak khiyar apabila penjual atau pemilik pertama belum menjelaskan dan memberitahukan adanya cacat tersebut saat berlangsungnya akad. Khiyar ini bertujuan untuk mencegah adanya kecurangan dan penipuan terhadap orang lain serta mencegah manusia untuk memakan harta orang lain dengan cara yang terlarang.

Lalu bagaimanakah hakikat khiyar aib ini? Bagaimanakah sikap ahli ilmu terhadapnya? Apa saja syarat sahnya? Dan apa saja pengaruhnya terhadap sebuah akad?

Hakikat khiyar aib

Khiyar aib adalah hak pembatalan akad dan berubahnya akad menjadi akad jaiz yang timbul apabila seseorang yang baru saja memiliki sesuatu yang sudah ditentukan barangnya mendapati adanya cacat yang tidak diketahui ketika berlangsungnya akad. Contohnya seperti seseorang yang baru saja membeli mobil lalu ia mendapati salah satu komponen mesinnya rusak sedangkan penjual menyembunyikannya darinya, bisa jadi dengan menutupinya atau mengelabuinya. Barulah ketika si pembeli ini membongkar mesinnya untuk sebuah keperluan, ia dapati komponen tersebut sudah rusak dan tidak berfungsi.

Pada kasus semacam ini, pihak pembeli diberi hak untuk membatalkan akad jual beli yang telah dilakukannya. Uang yang telah dibayarkan pun harus dikembalikan. Begitu pula mobil tersebut, maka juga dikembalikan ke pihak penjual.

Sikap ahli ilmu perihal khiyar aib

Para ahli ilmu sepakat akan adanya khiyar yang timbul karena cacat pada barang yang diakadkan apabila pembeli tidak mengetahui adanya cacat tersebut serta pihak penjual tidak menjelaskannya. Beberapa hal yang menguatkan adanya khiyar ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

المسلمُ أخو المسلمِ ولاَ يحلُّ لمسلمٍ باعَ من أخيهِ بيعًا فيهِ عيبٌ إلاَّ بيَّنَهُ لَه

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang di dalamnya ada cacat, kecuali ia menerangkan cacatnya tersebut.” (Hadits riwayat Ibnu Majah no. 2246 dan Ahmad no. 17487)

Kedua: Hadis yang menceritakan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari melewati seseorang yang sedang berjualan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam gundukan makanan tersebut sehingga jari-jarinya basah. Beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Ia menjawab, “Kehujanan, wahai Rasulullah!” Rasulullah bersabda,

أفَلا جعلتَهُ فَوقَ الطَّعامِ حتَّى يراهُ النَّاسُ ثمَّ قالَ مَن غشَّ فلَيسَ منَّا

“Kenapa tidak engkau letakkan di (bagian) atas makanan sehingga orang-orang dapat melihatnya?” Kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa menipu, maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR. Tirmidzi no. 1315)

Menjual barang dengan menyembunyikan cacat yang ada padanya dianggap sebagai sebuah kecurangan dan penipuan yang tidak disetujui oleh syariat. Dan pensyariatan khiyar aib merupakan bentuk syariat mencegah terjadinya penipuan semacam ini.

Ketiga: Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا تُصَرُّوا الإبِلَ والغَنَمَ، فَمَنِ ابْتاعَها بَعْدُ فإنَّه بخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أنْ يَحْتَلِبَها: إنْ شاءَ أمْسَكَ، وإنْ شاءَ رَدَّها وصاعَ تَمْرٍ.

“Janganlah kalian melakukan tashriyah (tindakan membiarkan hewan penghasil susu, seperti kambing, sapi, atau onta,  untuk tidak diperah beberapa hari, agar ambing susunya kelihatan besar sebelum dijual. Sehingga ketika dijual, pembeli menganggap, hewan yang dia beli susunya banyak)  pada onta dan kambing. Siapa yang membeli hewan setelah dilakukan tashriyah, maka dia memiliki dua pilihan setelah dia perah susunya. Jika mau, dia bisa memilikinya dan tidak perlu dikembalikan. Dan jika mau, dia boleh mengembalikan hewan itu dengan memberikan satu sha’ (gantang) kurma.” (HR. Bukhari no. 2148)

Syarat berlakunya khiyar aib

Para ahli fikih menyaratkan beberapa syarat agar khiyar aib ini dapat berlaku, yaitu:

Pertama: Kepastian akan adanya cacat pada objek akad sebelum pihak pembeli menerima barang/ objek transaksinya. Jika cacatnya itu terjadi setelah si pembeli menerima barangnya, maka ia tidak lagi memiliki hak khiyar aib, karena khiyar ini hanya berlaku apabila cacat yang terjadi sudah ada sebelum pembeli menerima barangnya.

Kedua: Kekurangan atau cacat yang ada berpengaruh terhadap berkurangnya nilai barang yang diakadkan menurut pandangan pedagang, seperti kuda tunggangan yang liar dan tidak mau diatur. Atau cacatnya ini membuat pembeli tidak bisa memanfaatkan objek transaksinya untuk melakukan sesuatu yang dibenarkan, seperti seseorang yang membeli kambing lalu ia dapati telinganya terpotong. Cacat pada telinganya ini membuat si pembeli tidak bisa memanfaatkannya untuk disembelih, meskipun cacat ini bisa jadi tidak mengurangi nilai barangnya tersebut. Atau seperti seseorang yang membeli baju, namun ukurannya kekecilan hingga ia tidak bisa memakainya, pada kasus seperti ini seorang pembeli memiliki hak khiyar aib, meskipun aib dan cacatnya tidak mempengaruhi nilai jual barangnya.

Ketiga: Hendaknya cacat tersebut tetap ada pada objek akad sampai waktu di mana si pembeli mengajukan pembatalan akad dikarenakan adanya cacat tersebut. Jika cacatnya sudah hilang terlebih dahulu sebelum pembeli sempat mengajukan komplain/pembatalan akad, maka tidak ada lagi hak khiyar. Contohnya jika seseorang membeli seekor kuda yang lemas dan tidak prima sedang ia belum mengetahui kondisi kudanya tersebut, akadnya pun sudah tuntas (selesai) sedang ia belum menerima kudanya tersebut. Lalu, ketika ia menerima kuda yang ia beli, kudanya tersebut sudah kembali membaik serta tidak lemas lagi, maka cacat atau aib semacam ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang menyebabkan bolehnya pembatalan akad.

Keempat: Tidak adanya persyaratan dari penjual untuk berlepas diri dari cacat dan aib yang ada, atau tidak bertanggung jawabnya dirinya dari cacat yang akan ditemukan ke depannya pada barang yang diakadkan. Adapun jika pihak penjual menyaratkan hal tersebut, maka pihak pembeli sudah tidak memiliki lagi hak khiyar aib ini menurut pendapat Hanafiyyah, baik si penjual mengetahui adanya cacat tersebut ataupun tidak. Alasannya, pembeli ketika sudah deal dan setuju dengan kondisi barang yang diakadkan dengan adanya kemungkinan cacat padanya, maka ia sama saja telah menyetujui keberadaan cacat tersebut. Sehingga tidak ada lagi hak baginya untuk mengembalikan barang yang telah dibelinya pada waktu tersebut.

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Malikiyyah, di mana mereka memperinci masalah ini. Mereka membedakan antara kondisi penjual yang telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut dan kondisi di mana penjual tidak mengetahuinya. Pada kondisi ketidaktahuan akan adanya aib dan cacat pada barang tersebut, maka persyaratan yang diajukannya dapat dibenarkan, sehingga pembeli tidak memiliki lagi hak khiyar pada akad tersebut. Sedangkan pada kondisi si penjual mengetahui adanya aib, maka ia tidak dibenarkan untuk mengajukan persyaratan lepas tanggung jawab. Pihak pembeli memiliki hak khiyar aib apabila di kemudian hari ia menemukan kecacatan tersebut. Karena jika si penjual tetap mengajukan persyaratan pada kondisi semacam ini, ia sama saja menipu dan mengelabui konsumennya. Apalagi jika kita melihat kondisi di zaman sekarang, di mana kecurangan dan penipuan menyebar luas di tengah-tengah kita, maka pendapat Malikiyyah ini insyaAllah lebih mendekati kebenaran.

Kelima: Aib dan cacatnya ada pada akad transaksional (jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya) yang sudah ditentukan barangnya dan jelas deskripsinya, seperti tanah atau kendaraan. Oleh karenanya, khiyar ini tidak berlaku pada objek transaksi yang tidak ditentukan secara persis mana objeknya, seperti tukar menukar mata uang. Sebagaimana pula khiyar ini tidak berlaku pada akad non-transaksional (akad tabarru’/ pemberian).

Pengaruh khiyar aib pada sebuah akad/ transaksi

Sudah menjadi suatu hal yang umum untuk diketahui, akad sebelum adanya aib dan cacat maka hukumnya lazim dan efektif, seluruh konsekuensinya pun berlaku seperti berpindahnya hak kepemilikan objek diakadkannya. Hanya saja, ketika mendapati sebuah cacat dan aib yang sudah ada sebelum akad, maka unsur keridaan yang membangun akad tersebut menjadi tidak sempurna.

Hak khiyar aib yang telah kita bahas sebelumnya ini menghilangkan kelaziman akad yang sudah ada bagi pihak pembeli. Ia diberi pilihan antara melanjutkan akad yang sudah ada dengan harga yang telah disepakati ataupun membatalkan akad tersebut dengan mengembalikan objek akadnya ke penjualnya dan harga yang sudah dibayarkan pun dikembalikan kepadanya secara sempurna. Apabila objek akadnya tidak bisa dikembalikan karena beberapa sebab, seperti munculnya aib dan cacat yang baru, atau karena sudah terpotong jika bentuknya itu berupa kain, maka bagi pembeli untuk mengembalikan harga yang sebanding dengan kekurangan pada barang yang disebabkan olehnya atau telah dimanfaatkannya.

Wallahu a’lam bisshawab

Bersambung.

Sumber:

  1. Kitab Al-Madkhal Ila Fiqhi Al-Muamalat Al-Maliyyah karya Prof. Dr. Muhammad Utsman Syubair dengan beberapa penyesuaian.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84678-mengenal-khiyar-karena-adanya-aib-dan-kecacatan.html

Arab Saudi Umumkan Daftar Vaksin Bagi Jamaah Haji 2023

Beberapa vaksin yang diperlukan untuk mereka yang datang dari luar Arab Saudi.

Pelaksanaan ibadah haji 2023 semakin dekat. Otoritas kesehatan Arab Saudi mendesak jamaah domestik dan luar negeri yang akan berpartisipasi tahun ini untuk mendapatkan vaksin, baik wajib dan tidak.

Kementerian Kesehatan Kerajaan telah menyebut vaksin-vaksin antara lain vaksinasi penuh terhadap Covid-19, vaksin anti-meningitis bagi mereka yang tidak mendapatkannya dalam lima tahun terakhir, serta suntikan flu musiman.

Untuk jamaah haji dalam negeri, kementerian menyebut mereka perlu mendaftar untuk vaksinasi melalui aplikasi “Sehaty”, guna memastikan ziarah yang sehat dan aman.

Dilansir di Gulf News, Sabtu (6/5/2023), vaksinasi tersedia mulai saat ini hingga 10 hari sebelum dimulainya ritual haji. Adapun ibadah haji tahun ini dijadwalkan berlangsung pada akhir Juni.

Bagi jamaah haji luar negeri, mereka bisa mendapatkan vaksin di negara asalnya sebelum melakukan perjalanan ke Arab Saudi. Beberapa vaksin yang diperlukan untuk mereka yang datang dari luar Arab Saudi termasuk demam kuning, virus polio dan Covid-19.

Ibadah haji adalah salah satu dari lima kewajiban Islam.  Arab Saudi mengatakan usia minimum untuk menunaikan ibadah haji tahun ini adalah 12 tahun, mengingat jumlah jamaah akan kembali ke masa pra-pandemi.

Kementerian Haji Saudi mengatakan prioritas untuk mendaftar haji tahun ini diberikan kepada umat Islam yang belum pernah melakukan haji sebelumnya.

Selain itu, Kerajaan Saudi juga mengatakan tidak akan ada batasan jumlah peziarah dari seluruh dunia untuk musim haji mendatang. Mereka menghapus pembatasan yang sebelumnya dibuat, yang dipicu oleh pandemi global.

Dalam dua tahun terakhir, Arab Saudi mengurangi jumlah umat Islam yang diperbolehkan menunaikan ibadah haji untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sekitar 2,5 juta Muslim biasanya menghadiri haji setiap tahun di masa pra-pandemi. Muslim, yang secara fisik dan finansial mampu melakukan haji, harus menunaikannya setidaknya sekali seumur hidup.

IHRAM

Apakah Seseorang Disiksa karena Diratapi ketika Meninggal Dunia?

Dari sahabat Ibnu ‘Umar, dari ayahnya (‘Umar bin Khattab) radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ

Mayat akan disiksa di dalam kuburnya disebabkan ratapan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 1292 dan Muslim no. 17. 927)

Juga diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa yang meratapi mayit, maka mayit tersebut akan disiksa pada hari kiamat karena ratapan itu.” (HR. Bukhari 1201 dan Muslim no. 933)

Apakah seseorang mendapatkan hukuman karena perbuatan orang lain?

Hadis di atas membingungkan para ulama karena seseorang mendapatkan hukuman (azab) disebabkan karena perbuatan orang lain. Sedangkan Allah Ta’ala mengatakan,

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164)

Terdapat berbagai macam penjelasan dari para ulama untuk keluar dari kebingungan tersebut. Sebagian mereka mengingkari hadis tersebut dan menganggap bahwa perawi telah salah dalam mengutip atau meriwayatkan hadis. Mereka menganggap bahwa teks hadis bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Di antaranya yang berpendapat demikian adalah ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, beliau berkata,

ذُكِرَ عِنْدَ عَائِشَةَ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

Pernah dituturkan di sisi ‘Aisyah tentang ungkapan Umar bahwa mayit itu akan disiksa lantaran tangisan keluarga atasnya.”

 فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعَ شَيْئًا فَلَمْ يَحْفَظْهُ إِنَّمَا مَرَّتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَنَازَةُ يَهُودِيٍّ وَهُمْ يَبْكُونَ عَلَيْهِ فَقَالَ أَنْتُمْ تَبْكُونَ وَإِنَّهُ لَيُعَذَّبُ

Aisyah pun berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman, ia telah mendengar (hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), tetapi ia belum menghapalnya (dengan baik). Peristiwanya begini, suatu ketika lewat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jenazah seorang Yahudi dan ditangisi keluarganya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalian menangisinya, sementara ia benar-benar disiksa.” (HR. Bukhari no. 3978 dan Muslim no. 931, 932. Lafaz hadis di atas adalah milik Muslim)

Sebagian ulama yang lain memalingkan makna hadis di atas dengan takwil yang beragam. Ada yang berpendapat bahwa hadis di atas itu khusus untuk orang yang rida dan berwasiat khusus agar ketika dia meninggal dunia, orang-orang meratapinya. Sehingga perbuatan meratap (an-niyahah) itu disebabkan karena wasiat si mayit sendiri. Hal ini sebagaimana kebiasaan kaum jahiliyah yang berwasiat agar kerabatnya meratapinya ketika mati. Akan tetapi, pendapat ini lemah (dha’if). Karena lafaz hadis di atas bersifat umum dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum memahami hadis tersebut dengan adanya hukuman (azab) meskipun si mayit tidak berwasiat untuk diratapi. Demikian juga terdapat takwil lainnya. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 4: 290)

Di antara penjelasan yang paling mendekati adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “يُعَذَّبُ” (diazab) adalah si mayit tersebut merasakan sakit, merasa sempit, atau terganggu disebabkan oleh ratapan orang lain kepadanya. Padahal seharusnya orang tersebut mendoakan dan memohonkan ampun untuk si mayit, bukan meratapi. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menggunakan kata يعاقب (dihukum atau mendapatkan hukuman). Sedangkan “azab” itu lebih umum daripada hukuman. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ

Safar (bepergian) itu adalah potongan dari azab.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut safar sebagai azab, padahal bukan maksudnya sebagai hukuman atas sebuah dosa. (Lihat Al-Fataawa, 24: 369 dan Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 4: 293)

Adapun perbuatan ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menganggap bahwa Ibnu Umar salah dalam meriwayatkan hadis, hal itu tidaklah bisa diterima. Karena hadis di atas tidak hanya diriwayatkan (diceritakan) oleh Ibnu Umar saja, akan tetapi juga diceritakan oleh ayahnya (Umar bin Khattab) dan Al-Mughirah bin Syu’bah, juga Abu Musa, Hafshah binti Umar, dan Shuhaib radhiyallahu ‘anhum. Hadis di atas tidak boleh ditolak dengan menggunakan perkataan ibunda Aisyah sebagai argumen. Hal ini karena mustahil semua sahabat yang disebutkan tersebut itu salah paham (keliru) dalam menceritakan hadis.

Dengan demikian, hadis ini menunjukkan bahwa mayit itu tersakiti atau merasa sempit dengan sebab ratapan orang kepadanya. Oleh karena itu, wajib bagi wali atau kerabat si mayit untuk meninggalkan perbuatan tersebut dan mencegahnya, supaya si mayit tidak tersakiti. Jika memang maksud dari an-niyahah itu adalah ekspresi kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai, bagaimana mungkin dia justru melakukan sesuatu yang menimbulkan mudarat untuk si mayit? Ini di antara pertimbangan agar seseorang menjauhi perbuatan tersebut.

Bagaimana si mayit bisa tersakiti karena ratapan?

Adapun bagaimana si mayit bisa tersakiti karena an-niyahah, terdapat beberapa hadis tentang hal tersebut. Dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أُغْمِيَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ فَجَعَلَتْ أُخْتُهُ عَمْرَةُ تَبْكِي وَا جَبَلَاهْ وَا كَذَا وَا كَذَا تُعَدِّدُ عَلَيْهِ فَقَالَ حِينَ أَفَاقَ مَا قُلْتِ شَيْئًا إِلَّا قِيلَ لِي آنْتَ كَذَلِكَ

Dahulu aku pingsan mendengar kematian Abdullah bin Rawahah. Seketika itu pula saudara perempuannya (saudara perempuan Nu’man, maksudnya) menangis dan mengatakan, ‘Aduuh, telah binasa orang yang mulia.’ Demikian ia katakan secara berulang-ulang. Ketika Nu’man siuman, Nu’man berkata kepada saudara perempuannya, ‘Semua yang kamu katakan tadi ditanyakan kepadaku, Apakah engkau juga seperti itu pula?‘” (HR. Bukhari no. 4267)

Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ بَاكِيهِ، فَيَقُولُ: وَاجَبَلَاهْ وَاسَيِّدَاهْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، إِلَّا وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَلْهَزَانِهِ: أَهَكَذَا كُنْتَ؟

Tidaklah seseorang meninggal, lalu orang-orang berdiri meratapinya dengan berkata, ‘Wa jaballah, wa sayyidah!’ (Aduhai celakanya aku, Aduhai sialnya aku!) dan sejenisnya, niscaya akan dikirim dua orang malaikat untuk memukulinya sambil menghardiknya dengan berkata, ‘Betulkah demikian keadaanmu (di dunia)?‘” (HR. Tirmidzi no. 1003, Ibnu Majah no. 1594, dan Ahmad 32: 488)

Kerusakan yang timbul dari perbuatan an-niyahah

Hadis di atas merupakan dalil terlarangnya perbuatan an-niyahah atas mayit, yaitu dengan meninggikan suara (berteriak histeris) dan menyebutkan kebaikan-kebaikan, memuji-muji, dan menyanjung-nyanjung si mayit. Perbuatan ini termasuk ciri khas kaum jahiliyah. Ada banyak kerusakan yang timbul dari an-niyahah, di antaranya:

Pertama, an-niyahah hanya akan menambah kesusahan dan kesedihan orang yang melakukannya.

Kedua, perbuatan tersebut menunjukkan tidak rida (marah) dengan takdir Allah Ta’ala dan menunjukkan tidak adanya sikap sabar dalam menghadapi musibah kematian. Seolah-orang orang melakukan an-niyahah itu mengatakan, “Seharusnya orang dengan kebaikan seperti ini dan itu tidak layak untuk mati.”

Ketiga, perbuatan tersebut menyakiti si mayit, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis di atas.

Keempat, dengan berbagai macam mafsadat tersebut, an-niyahah tidak bisa mengubah takdir atas apa yang telah terjadi.

Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ  وَقَالَ: النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Ada empat perkara khas jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan); (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) an-niyahah (meratapi mayit).”

Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertobat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair dan memakai pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)

Hadis ini menunjukkan bahwa an-niyahah termasuk dosa besar (al-kabair) karena terdapat ancaman yang keras terhadap pelaku an-niyahah. Demikian pula perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “jika dia belum bertobat sebelum ajalnya”, terdapat dalil bahwa an-niyahah termasuk dosa besar karena dipersyaratkan untuk bertobat.

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

@Rumah Kasongan, 4 Syawal 1444/ 25 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84610-apakah-seseorang-disiksa-karena-diratapi-ketika-meninggal-dunia.html