Fatwa Ulama: Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Terkena Sihir?

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Fadhilatus syekh, terdapat keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau terkena sihir. Oleh karena itu, kami ingin engkau menjelaskan kepada tentang tersihirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga, apakah tersihirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu bisa membatalkan kenabian?

Jawaban:

Terdapat hadis dalam Ash-Shahihain dan juga (kitab hadis) selain keduanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkena sihir (HR. Bukhari no. 3228 dan Muslim no. 2189). Akan tetapi, sihir tersebut tidak memiliki pengaruh dari sisi penetapan syariat atau wahyu. Sihir tersebut maksimal hanya sampai pada satu pengaruh di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merasa melakukan sesuatu, padahal sebetulnya tidak. Sihir yang mengenai beliau itu dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Lubaid bin Al-A’sham. Dialah yang mengirim sihir tersebut. Akan tetapi, Allah Ta’ala menyelamatkannya, sampai-sampai turunlah wahyu berkaitan dengan hal itu. Beliau pun meminta perlindungan dengan membaca surah Al-Falaq dan An-Nas.

Sihir tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap kedudukan kenabian. Karena sihir tersebut tidak memiliki pengaruh yang berkaitan dengan wahyu atau ibadah, sebagaimana (penjelasan) sebelumnya. Sebagian orang mengingkari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkena sihir, dengan argumentasi bahwa perkataan (keyakinan) tersebut berarti sama saja dengan membenarkan perkataan orang-orang kafir yang mengatakan,

إِذْ يَقُولُ الظَّالِمُونَ إِن تَتَّبِعُونَ إِلاَّ رَجُلاً مَّسْحُوراً

(yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata, ‘Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang terkena sihir.’” (QS. Al-Isra’: 47)

Akan tetapi, keyakinan bahwa Nabi itu terkena sihir tidaklah berkonsekuensi menyetujui perkataan orang-orang zalim (kafir) tersebut yang menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkena sihir. Hal ini karena orang-orang kafir itu mengklaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkena sihir yang berpengaruh terhadap perkataan beliau dari wahyu. (Orang-orang kafir mengklaim) bahwa syariat yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah dari igauan (halusinasi) sebagaimana halusinasi orang yang sedang terkena sihir. Adapun sihir yang terjadi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu tidak memiliki pengaruh sedikit pun terhadap wahyu kenabian, dan tidak pula berpengaruh sedikit pun terhadap ibadah. Kita tidak boleh mendustakan suatu berita (hadis) yang sahih dengan pemahaman kita yang tidak benar terhadap dalil-dalil yang lain.

***

@Rumah Kasongan, 29 Syawal 1444/ 20 Mei 2023

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fiqhul Ibadat, hal. 70-71, pertanyaan no. 40.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85081-apakah-nabi-shallallahu-alaihi-wasallam-terkena-sihir.html

Apakah Kewajiban Berjilbab Termasuk Masalah Khilaf?

Kewajiban perempuan mengenakan hijab –selain perintah Al-Quran—juga merupakan perkara yang sudah disepakati (ijma’), yang tidak ada khilafiyah

SEBAGAIMANA diketahui bahwasannya syari`at mewajibkan kepada kaum perempuan  untuk menutupi rambut dan kepala serta leher. Hal itu diwajibkan di saat melaksanakan shalat serta untuk menghindari pandangan laki-laki selain mahram.

Namun, apakah ada perbedaan para ulama dalam masalah ini? Para ulama menyebutkan bahwasannya kewajiban untuk menutup seluruh anggota badan kecuali wajah.

Dan perkara itu merupakan ijma’  (kesepakatan) para ulama. Dan dilarang kepada laki-laki baligh untuk melihatnya.

Nukilan Ijma’ para ulama tentang wajibnya menutupi kepala perempuan

Banyak dari kalangan ulama yang menyampaikan bahwa kewajiban menutup kepala dan rambut merupakan perkara yang telah disepakati. Di antara mereka adalah:

1.        Al Hafidz Ibnu Al Qaththan mengutip dari Al Muwadhdhah, ”Wajib bagi seorang perempuan untuk menutupi seluruh badannya kecuali wajahnya. Jika ia melakukan hal itu, maka shalatnya sempurna menurut kesepakatan.” (Al Iqna` fi Masa`il Al Ijma`, 1/344).

2.        Ibnu Al Mundzir juga menyatakan, ”Para ulama bersepakat atas perempuan merdeka yang baligh bahwa ia mengenakan khimar (kain penutup kepala) di kepala jika melaksanakan shalat. Dan atas perempuan jika ia melaksanakan shalat sedangkan kepalanya terbuka seluruhnya maka shalatnya rusak. Dan ia harus mengulanginya.” (Al Austah fi As Sunan, 5/69).

3.        Demikian pula Ibnu Hazm Adz-Dzahiri menyatakan, ”Mereka (para ulama) bersepakat bahwa rambut perempuan merdeka serta tubuhnya, kecuali wajah dan tangannya, merupakan aurat.” (Maratib Al Ijma`, hal. 29).

4.        Syamsuddin Ibnu Qudamah menyatakan, ”Adapun selain wajah dan dua telapak tangan dan dua telapak kaki ia adalah aurat berdasarkan ijma`.” (Asy Syarh Al Kabir, 1/459).

5.        Muwaffaquddin Ibnu Qudamah juga menyatakan, ”Para ulama bersepakat atas perempuan merdeka yang baligh bahwa ia mengenakan khimar (kain penutup kepala) di kepala jika melaksanakan shalat. Dan atas perempuan jika ia melaksanakan shalat sedangkan kepalanya terbuka seluruhnya maka ia harus mengulanginya.” (Al Mughni, 1/430).

6.        Imam An Nawawi mengatakan, ”Dan haram bagi laki-laki baligh melihat aurat perempuan merdeka yang bukan mahram.” Lantas, Kamaluddin Abu Al Baqa` Ad Dumairi berkata,”Ini adalah perkara yang tidak ada khilaf di dalamnya.” Kemudian ia melanjutkan,”Dan yang dimaksud dengan aurat di sini adalah aurat ketika shalat, yakni selain wajah dan dua telapak tangan.” (Najm Al Wahhaj, 7/19).

Ijma’ Sumber Hukum setelah Al-Quran dan As Sunnah

Imam As Subki menyatakan bahwa ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal aqdi dari umat Rasulullah ﷺ atas suatu persolan dari berbagai persoalan. Dan yang dimaksud dengan ahlul halli wal aqdi di sini adalah para mujtahidin. (Al Ibhaj, 2/349).

Ijma’ sendiri merupakan sumber hukum selain Al Qur`an dan As Sunnah. Berdasarkan beberapa dalil, salah satunya dari As Sunnah:

لَا تَجْتَمِعَ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ))))

Artinya: Tidaklah umatku bersepakat dalam kesesatan.

Hadits itu diriwayatkan Imam Ahmad dan lainnya melalui berbagai jalur. Al Hafidz As Sakhawi mengatakan, ”Ia adalah hadits yang masyhur matannya dan memiliki banyak syawahid (penguat dari segi matan) baik secara marfu` atau lainnya.” (Maqasid Al Hasanah, hal. 717).

Salah satu jalur periwayatan hadits ini yang diriwayatkan Imam At Tirmidzi dan Imam Al Hakim dari Ibnu Abbas dihukumi hasan sanadnya oleh Syeikh Abdullah bin Ash Shiddiq Al Ghumari. (Al Ibtihaj bi Takhrij Ahadits Al Minhaj, hal. 183).

Pentingnya Mengetahui Masalah Ijma’dalam Menggali Hukum

Siapa saja yang berfatwa dan melakukan ijtihad maka ia harus mengetahui apakah masalah itu adalah masalah ijma`, sehingga ia tinggal mengikutinya. Ataukah masalah itu masalah yang mana para ulama berbeda pendapat, sehingga ia bisa melakukan ijtihad. (Qawathi` Al Adillah, 2/306).

Imam Ibnu Qudamah menyatakan, ”Wajib begi setiap mujtahid dalam setiap persoalan melakukan tinjauan pertama kepada ijma`. Jika ia mengetahui bahwasannya hal itu adalah ijma`, maka ia tidak perlu meninjau dalil lainnya. (Raudhah An Nadhir, 2/389).

Walhasil, kewajiban perempuan mengenakan hijab merupakan perkara yang sudah disepakati, sehingga klaim bahwasannya hal itu merupakan perkara khilafiyah tidak bisa diterima. Wallahu `alam bish shawab.*/Throriq, LC, MA, pengasuh rubrik fikih Majalah Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Viral Ronaldo Selebrasi Sujud, Bolehkah Pemain Bola Sujud Syukur?  

Bolehkah pemain bola sujud syukur? Cristiano Ronaldo tengah viral di media sosial. Pasalnya, bomber mantan pemain Manchester United itu sukses mencetak gol krusial melalui tendangan dari luar kotak penalti yang mengantar klub barunya, Al-Nassr meraih kemenangan penting di Saudi League.

Lebih lagi, mantan pemain Manchester United tersebut tidak merayakan golnya dengan selebrasi ikoniknya, melompat sembari mengatakan “siuuu”, tetapi terlihat seperti memperagakan gerakan sujud syukur dengan sang pemain meletakkan kepalanya di tanah saat dikerubungi rekan-rekan setimnya.

Sujud syukur dalam permainan sepak bola merupakan fenomena yang banyak dilakukan oleh pemain bola, khususnya pemain bintang muslim, semisal Sadio Mane, Mohamad Salah, dan Karim Benzema. Lantas, bagaimana hukum melakukan sujud syukur pemain bola?

Sujud syukur adalah salah satu bentuk ibadah dalam agama Islam yang dilakukan sebagai tanda rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat atau keberhasilan yang diterima. Sujud syukur dilakukan dengan cara meletakkan dahi, hidung, kedua tangan, lutut, dan ujung jari kaki pada permukaan yang bersih.

Dalam konteks pertandingan sepak bola, sujud syukur yang dilakukan oleh pemain setelah mencetak gol atau meraih kemenangan tidak termasuk dalam kewajiban utama agama Islam. Hal ini karena sujud syukur dalam Islam dikerjakan dalam konteks ibadah dan dilakukan di tempat-tempat ibadah seperti masjid atau rumah.

Namun, secara prinsipil, sujud syukur merupakan tanda rasa syukur kepada Allah SWT, yang merupakan nilai baik dalam agama Islam.

Berdasarkan keterangan dalam beberapa riwayat, anjuran sujud syukur bersumber dari hadis Nabi yang menyatakan sahabat Abi Bakrah melihat Rasulullah melaksanakan sujud syukur ketika memperoleh nikmat.

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَتَاهُ أَمْرٌ يَسُرُّهُ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شُكْرًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ رَوَاهُ الخمسة إلا النسائي

Artinya: “Dari sahabat Abu Bakrah ra, Rasulullah saw bila mendapat sebuah kenikmatan yang menyenangkannya atau menggembirakannya, maka ia turun bersujud sebagai bentuk syukur kepada Allah swt,”

Lantas apakah boleh sujud syukur boleh tanpa wudhu atau dalam keadaan tidak suci? Menurut Imam Muhammad Ali As-Syaukani dalam kitab Nailul Authar Syarah Muntaqal Akhbar, jilid III halaman 120, bahwa sujud syukur dapat dilakukan tanpa dalam keadaan berwudhu [suci]. Artinya, siapa saja yang mendapatkan nikmat dari Allah, diperbolehkan melaksanakan sujud syukur, kendatipu tidak dalam keadaan suci.

وليس في أحاديث الباب ما يدل على اشتراط الوضوء وطهارة الثياب والمكان. وإلى ذلك ذهب الامام يحيى وأبو طالب وليس فيه ما يدل على التكبير في سجود الشكر

Artinya: “Pada hadits bab ini tidak ada riwayat yang menunjukkan syarat wudhu, kesucian pakaian, dan tempat sujud. Ini merupakan pandangan Imam Yahya dan Abu Thalib. Di sini juga tidak ada keterangan yang menunjukkan keharusan takbir untuk sujud syukur.

Demikian penjelasan terkait viral Ronaldo selebrasi sujud, bolehkah pemain bola sujud syukur? Smeoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Larangan KDRT dalam Al-Qur’an dan Hadis

Kekerasan dalam Rumah Tangga [KDRT] meliputi berbagai bentuk penyalahgunaan fisik, emosional, seksual, atau ekonomi terhadap anggota keluarga. Dalam Islam, pernikahan dianggap sebagai ikatan yang suci, didasarkan pada cinta, kepercayaan, dan saling menghormati antara suami dan istri. Untuk itu,  ada larangan KDRT dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Lebih lanjut, kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena yang memprihatinkan di berbagai belahan dunia, termasuk dalam konteks masyarakat muslim. Namun, penting untuk diingat bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, menekankan pentingnya perdamaian, kasih sayang, dan saling menghormati dalam hubungan antar manusia.

Dalam Islam, terdapat larangan yang tegas terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Agama Islam mengajarkan kasih sayang, saling pengertian, dan keadilan dalam hubungan antara suami dan istri. Kekerasan fisik, verbal, atau emosional terhadap pasangan hidup tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.

Larangan KDRT dalam Al-Qur’an

Kitab suci umat Islam, Al-Qur’an, memberikan pedoman yang jelas terkait hubungan suami-istri dan larangan terhadap kekerasan. Berikut adalah beberapa kutipan teks Arab yang relevan dari Al-Qur’an, yang melarang KDRT. Pertama ayat Al-Qur’an Q.S ar Rum [30]; 21:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.

Berdasarkan ayat tersebut, tergambar jelas bahwa termask tujuan dalam rumah tangga dan pernikahan merupakan keterpaduan sakinah, penuh rasa cinta dan memiliki kasih sayang antara suami dan istri.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh  Imam Fakhruddin Ar Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan bahwa  ketentraman dalam rumah tangga dapat dirasakan dari pasangan. Untuk mewujudkan Sakinah, mawadah wa rahmah dibutuhkan dari dua belah pihak–tidak hanya istri bagi suami juga sebaliknya suami bagi istri.

Kedua Allah berfirman dalam Q.S al Hujarat [49]; 11 tentang larangan menyakiti dan mencela orang lain. Pasalnya, perbuatan tersebut, termasuk perbuatan yang dibenci Allah. Allah berfirman;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok).

Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.

Ketiga, firman Allah dalam Q.S al Baqarah [2]; ayat 234;

نِسَآؤُكُمۡ حَرۡثٌ لَّكُمۡ فَأۡتُواْ حَرۡثَكُمۡ أَنَّىٰ شِئۡتُمۡ ۖ وَقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُمۡ ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

Istrimu adalah ladang bagimu. Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai. Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menghadap kepada-Nya. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin.

Selain Al-Qur’an, terdapat pula Hadis, yaitu perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW, yang memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga. Berikut adalah salah satu Hadis yang relevan:

Pertama, Nabi tidak pernah memukul istri-istri nya, justru memberikan cinta dan kasih sayang pada pasangannya. Nabi bersabda;

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ، ﻗﺎﻟﺖ: «ﻣﺎ ﺿﺮﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻗﻂ ﺑﻴﺪﻩ، ﻭﻻ اﻣﺮﺃﺓ، ﻭﻻ ﺧﺎﺩﻣﺎ

“Aisyah berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukul apapun dengan tangannya, tidak memukul wanita dan pembantu.” (HR Muslim).

Kedua, Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Imam Bukhari, dijelaskan bahwa seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya, yang bertugas memberikan cinta dan kasih sayang pada keluarganya. Suami juga diberikan amanah dan tanggung jawab yang sangat besar untuk melindungi anak dan istrinya dari segala musibah.

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ

Dari Abdullah, Nabi SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya.

Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai tanggung jawabany. Juga seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (H.R Bukhari).

Ketiga, hadis dari Abu Daud yang melarang memukul istrinya. Nabi bersabda;

“Janganlah kalian memukul hamba Allah perempuan, yaitu istri-istri kalian. Lalu Umar datang kepada Nabi dan berkata ada istri yang membangkang kepada para suami. Lalu Nabi memberi keringanan memukul mereka.

Namun setelah itu banyak wanita mengadu kepada keluarga Nabi karena dipukul suaminya. Nabi bersabda; Sungguh perempuan-perempuan mendatangi keluarga Muhammad yang mengadu atas perbuatan suaminya. Para suami (yang suka memukul) bukan orang-orang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud)

Keempat, dalam hadis Ibnu Majah dijelaskan bahwa Rasulullah bersikap baik pada istrinya. Berbicara tentang keluarga, istri adalah orang pertama setelah suami. Nabi bersabda;

خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلي

“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik sikapnya terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR Ibnu Majah).

Hal ini menegaskan pentingnya memperlakukan pasangan hidup dengan penuh kasih sayang, penghormatan, dan keadilan. Kekerasan dalam rumah tangga tidak diperbolehkan dalam Islam, dan umat Islam diwajibkan untuk menjaga hubungan harmonis dengan pasangan hidup mereka.

Demikian penjelasan terkait larangan KDRT dalam Al-Qur’an dan Hadis. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Dulunya di Madinah Banyak Penyakit, Lalu Nabi Muhammad SAW Ucapkan Doa ini

Ada kisah yang kerap luput dari perhatian banyak orang tentang sejarah kota Madinah di Arab Saudi. Kisah ini diriwayatkan dari Siti Aisyah RA.

Dalam riwayat itu, sebagaimana ada dalam terjemah kitab Shahih Muslim, Aisyah berkata, “Ketika kami baru tiba di Madinah, ternyata kota ini adalah kota banyak penyakit, sehingga Abu Bakar dan Bilal pun sakit.”

Kemudian ketika Rasulullah SAW melihat para sahabatnya banyak yang mengalami sakit, maka beliau SAW berdoa:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ اِلَينَا المَدِيْنَةَ كَمَا حَبَّبْتَ مَكَّةَّ اَو اَشَدَّ وَ صَحِّحْهَا وَ بَارِكْ لَنَا فِى صَاعِهَا وَ مُدِّهَا وَحَوِّلْ حُمَّا هَا اِلَى الجُحْفَةِ

Latin:

Allahumma habbib ilaynal madiinata kamaa habbabta makkata aw asyadda wa shohhihhaa wa baarik lanaa shoo ‘ihaa wa muddiha wa hawwil hummaa haa ilal juhfah

Artinya:

Ya Allah, jadikanlah Madinah kota yang kami cintai, seperti Engkau menjadikan Makkah kami cintai, bahkan lebih dari itu. Jadikanlah Madinah suatu kota yang sehat, dan berkatilah gantang dan takarannya (perekonomian) untuk kami, serta buanglah penyakitnya ke Juhfah. (HR Muslim)

Dalam riwayat lain, dari Sahal bin Hunaif RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah menunjuk dengan tangannya ke Madinah, sambil beliau bersabda, “Sesungguhnya Madinah itu adalah sebuah Tanah Haram yang aman.” (HR Muslim)

Diriwayatkan pula dari Jabir RA, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Nabi Ibrahim AS menjadikan kota Makkah sebagai Tanah Haram, dan aku pun menjadikan kota Madinah sebagai Tanah Haram, yaitu antara kedua bukitnya yang berbatu-batu hitam itu. Karena itu, jangan dipotong pohon-pohonnya dan jangan dibunuh hewan buruannya.” (HR Muslim)

Dari Abdullah bin Zaid ibnu Ashim RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Nabi Ibrahim AS membangun kota Makkah menjadi Tanah Haram, dan mendoakan kemakmuran untuk penduduknya. Aku membangun kota Madinah menjadi Tanah Haram sebagaimana Nabi Ibrahim mengharamkan Kota Makkah dan mendoakan kemakmuran untuk penduduknya sebagaimana Nabi Ibrahim mendoakan penduduk Makkah.” (HR Muslim)

IHRAM

Arab Saudi Simulasi Pengangkutan Jamaah ke Armuzna dengan 3.000 Bus

Simulasi ini bertujuan meningkatkan kewaspadaan maksimal di lapangan

Persiapan menjelang ibadah haji 1444 H/2023 M terus dilakukan oleh Kerajaan Saudi. Kementerian Haji dan Umrah yang diwakili oleh Badan Kementerian Urusan Haji, mulai melaksanakan simulasi kedua mengangkut dan memberangkatkan jamaah ke tempat suci Arafah, Mina, dan Muzdalifah (Armuzna)

Simulasi ini dilakukan menggunakan lebih dari 3.000 bus, yang mencakup enam tahap Tafweej (pengiriman rombongan) jamaah. Hal ini dilakukan melalui kemitraan dengan semua lembaga keamanan dan pengatur haji, serta dengan lebih dari 10 ribu peserta.

Dalam simulasi tersebut, Menteri Haji dan Umrah Tawfig Al-Rabiah mengatakan, langkah ini membuktikan kesiapan kementerian pada musim ini. Di sisi lain, ini juga mencerminkan kesiapan sistem secara umum dalam menghadapi potensi krisis mendadak.

Dilansir di Riyadh Daily, Kamis (25/5/2023), Kementerian Haji disebut berusaha menguji kapasitas operasional dan perencanaan perusahaan. Di sisi lain, dilihat pula efektivitas sistem teknis yang mendukung pengangkutan jamaah dan integrasinya dengan infrastruktur, kelengkapan operasi pengangkutan dan pengiriman jamaah, serta meningkatkan efisiensi pekerja.

Simulasi yang berlangsung selama 15 jam tersebut melibatkan pengiriman 3.000 bus secara bersamaan. Termasuk di antaranya adalah bus reguler dan shuttle bus milik 57 perusahaan transportasi.

Sesuai kapasitas operasional, telah dialokasikan 37 jalur lalu lintas, dengan 107 kantor pelayanan dan 19 perusahaan yang menyediakan layanan lapangan di Tempat Suci.

Simulasi ini bertujuan meningkatkan kewaspadaan maksimal di lapangan dan memastikan tim yang berpartisipasi dapat menjalankan tugas mereka secara efisien, juga sesuai dengan langkah-langkah keamanan yang disetujui secara internasional.

Hal ini juga bertujuan memastikan ketersediaan orang-orang yang berkepentingan untuk melayani jamaah di tempat-tempat suci, kepatuhan terhadap waktu pengiriman, dan kerjasama antara semua pihak. Di sisi lain, simulasi juga penting untuk meningkatkan kualitas proses operasional dan organisasi dalam pengiriman bus dan transportasi jamaah dengan mudah.

Adapun simulasi telah dilakukan tiga bulan lalu. Kala itu, 1.300 bus diberangkatkan secara serentak selama kurang lebih 3,5 jam.

Dalam kegiatan itu sudah termasuk empat tahap, yaitu pengiriman jamaah ke Arafah, dari Arafah ke Muzdalifah, dari Muzdalifah ke Mina, serta kembali ke Arafah.

IHRAM

Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Seorang Muslim dalam Hal Bersuci (Bag. 1)

Di antara tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah menjelaskan tata cara beribadah yang benar. Karena ibadah seorang hamba tidaklah diterima oleh Allah Ta’ala, kecuali apabila telah terpenuhi dua syarat: 1) ikhlas mengharap wajah Allah Ta’ala; dan 2) sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَن أَحْدَثَ في أَمْرِنَا هذا ما ليسَ فِيهِ، فَهو رَدٌّ

“Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya, maka perkara itu tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697)

Di antara amal ibadah sehari-hari yang butuh perhatian khusus untuk kita pelajari dan kita ketahui hukum-hukumnya, serta wajib juga mengetahui kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya (sehingga bisa kita hindari) adalah ibadah bersuci dengan dua macamnya, yaitu bersuci dari najis dan bersuci dari hadas. Keduanya menjadi sangat penting untuk kita pelajari karena merupakan salah satu syarat sahnya salat kita.

Bersuci dari najis ada pada tiga tempat: 1) pada badan kita, 2) pakaian kita, dan 3) tempat yang kita gunakan untuk salat. Sedangkan bersuci dari hadas, maka memiliki dua bentuk: 1) bersuci dari hadas besar dengan mandi besar dan 2) bersuci dari hadas kecil dengan wudu. Bila tidak mendapati air untuk mandi ataupun wudu, atau tidak mampu menggunakan air (karena sakit misalnya), maka tayamum menjadi pengganti bagi keduanya.

Pada pembahasan kali ini kita tidak akan terlalu mendetail membahas berbagai macam jenis bersuci ini. Akan tetapi, akan kita cermati bersama beberapa poin penting terkait bersuci serta beberapa kesalahan yang sering terjadi di dalamnya. Sehingga kita bisa lebih hati-hati dan tidak terjatuh ke dalam kesalahan yang ada. Pembahasan ini semoga saja juga bisa meluruskan kesalahpahaman terkait bersuci ini yang mungkin saja masih kita yakini dan kita amalkan.

Pertama: Istinja’ (Bersuci setelah buang air besar maupun kecil dengan air) tidak ada kaitannya dengan wudu.

Istinja’ tidak ada kaitannya dengan wudu. Hanya saja, setelah kita buang air besar ataupun kecil, maka istinja’ harus didahulukan dan tidak boleh dilakukan selepas berwudu terlebih dahulu. Di antara kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang adalah meyakini akan keharusan ber-istinja’ setiap kali hendak berwudu sampai-sampai sebagian dari mereka tertinggal salat jemaah disebabkan ramainya antrean di kamar mandi masjid tersebut.

Adapun apabila seseorang melakukan buang hajat, lalu ber-istinja’ agar ia bisa tetap dalam kondisi suci dalam durasi waktu yang lebih lama dan buang hajatnya tersebut tidak membuatnya terlambat menghadiri jemaah, maka hal itu termasuk perkara yang baik. Begitu pula orang yang sudah tidak bisa menahan kencing dan buang air besarnya, sehingga ia butuh untuk menyelesaikan hajatnya agar bisa salat dalam kondisi tidak menahan keduanya, maka hal itu juga dianjurkan.

Kedua: Wajib berhati-hati ketika buang air kecil.

Setelah buang air kecil wajib hukumnya bersuci setelahnya, baik itu dengan air ataupun istijmar, diiringi dengan menjaga kebersihan dari percikan air kencing dan tidak tergesa-gesa di dalam ber-istinja’. Tidak berdiri, kecuali tetesan air kencingnya benar-benar telah berhenti. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda,

إنَّهُما لَيُعَذَّبَانِ، وما يُعَذَّبَانِ في كَبِيرٍ، أمَّا هذا: فَكانَ لا يَسْتَتِرُ مِن بَوْلِهِ، وأَمَّا هذا: فَكانَ يَمْشِي بالنَّمِيمَةِ

“Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya karena suka mengadu domba.” (HR. Bukhari no. 6052 dan Muslim no. 292)

Ketiga: Siapa yang dengan yakin mendapati najis di bajunya, namun tidak tahu letak persisnya, maka ia harus mencuci bagian baju yang diduga kuat bahwa jika ia mencuci bagian tersebut, maka sudah mencakup semua bagian atau tempat yang terkena najisnya.

Keempat: Air yang bisa mengangkat hadas dalam wudu adalah air yang tetap pada sifat penciptaannya.

Contohnya adalah air sumur, mata air, air laut, air sungai, dan air hujan. Meskipun ia tidak bersifat tawar (seperti air laut), atau tidak terlalu jernih (air sungai), namun jika ia tetap pada sifat dan karakter awal penciptaannya dari Allah Ta’ala, maka air tersebut dapat digunakan untuk mengangkat hadas.

Adapun air yang sudah berubah warna, rasa, atau aroma (bau) karena suatu hal (benda) yang suci, sedangkan yang mencampurinya tersebut mendominasinya hingga air tersebut berubah sebutannya menjadi sebutan yang baru, maka air itu meskipun dihukumi air yang suci, ia tidak bisa digunakan untuk mengangkat sifat hadas (tidak menyucikan). Hal itu karena ia sudah tidak lagi disebut “air” dengan bukti adanya perubahan pada sebutannya.

Adapun air yang yang sudah berubah warna, rasa, atau aroma (bau) karena suatu hal (benda) yang najis, maka ia tidak lagi dianggap sebagai air suci. Karenanya, ia tidak bisa digunakan juga untuk mengangkat sifat hadas. Perlu digarisbawahi, air yang najis bisa berubah menjadi suci dengan memperbanyak volumenya dan bisa juga dengan menggunakan mesin penjernih air modern dengan syarat hilangnya aroma atau warna atau rasa yang disebabkan oleh najis tersebut.

Kelima: Tidak memasukkan tangan ke dalam wadah berisi air setelah bangun dari tidur, kecuali sudah mencucinya sebanyak tiga kali.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلاثًا فَإِنَّهُ لا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

“Apabila seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah memasukkan tangannya ke dalam bejana, kecuali setelah ia mencucinya sebanyak tiga kali. Karena sesungguhnya ia tidak mengetahui ke mana tangannya berada pada waktu malam.” (HR. Muslim no. 278)

Saat bangun dari tidur, disarankan menggunakan keran air atau pancuran air untuk mencuci tangan sebanyak tiga kali terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk mencuci anggota tubuh lainnya.

Yang perlu diperhatikan juga ketika bangun dari tidur adalah ber-istintsar (memasukkan air ke rongga hidung lalu mengeluarkannya) sebanyak tiga kali. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِن مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ؛ فإنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ علَى خَيَاشِيمِهِ

“Jika salah seorang kalian bangun dari tidur, hendaknya dia melakukan istintsar sebanyak tiga kali. Karena setan bermalam di rongga hidungnya.” (HR. Muslim no. 238)

Memasukkan air ke dalam rongga hidung di sini menurut pendapat yang lebih berhati-hati adalah hukum khusus yang berbeda dengan memasukkan air ke rongga hidung yang ada di dalam rangkaian wudu. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“Dan ia (istintsar) bukanlah istintsar yang ada dalam wudu, karena istintsar wudu adalah salah satu rangkaian wudu. Sedangkan ini adalah istintsar khusus. Sampai-sampai jika diasumsikan ada seseorang yang berada di alam liar dan tidak memiliki air, lalu dia ingin tayamum alih-alih berwudu. Kami katakan, ‘Dia tetap dianjurkan untuk ber-istintsar agar meraih hikmah ini.’” (As-Syarhu Al-Mukhtasar li Bulughi Al-Maram, 2: 50)

Keenam: Niat merupakan perkara yang harus ada dalam setiap wudu dan mandi besar.

Niat merupakan syarat sah wudu dan mandi besar. Niat di sini maksudnya adalah berniat mengangkat dan membuang hadas sehingga ia dapat mengerjakan amalan-amalan yang mengharuskan adanya penghilangan hadas seperti salat ataupun amal ibadah lainnya. Niat harus sudah ada sebelum melakukan wudu ataupun mandi dan tidak terputus sampai selesai dari keduanya. Apabila niat itu terputus karena sebuah kegiatan atau kesibukan yang dapat mengalihkan dirinya dari wudu atau mandi, maka ia harus mengulang kembali rangkaian keduanya dari awal.

Ketujuh: Rukun wudu jumlahnya ada enam.

Yaitu: 1) mencuci wajah (termasuk di dalamnya kumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung), 2) kemudian mencuci kedua tangan sampai siku, 3) kemudian mengusap kepala seluruhnya (termasuk di dalamnya kedua telinga), 4) kemudian mencuci kedua kaki sampai mata kaki, 5) dilakukan berurutan antara semua anggota tubuh wudu yang telah disebutkan, serta 6) tidak boleh terputus antara semua anggota tubuh wudu tersebut. Tidak boleh mengakhirkan mencuci salah satu anggota tubuh wudu hingga anggota tubuh wudu sebelumnya yang telah kita cuci mengering.

Kedelapan: Niat tidak perlu dilafalkan, baik dalam wudu ataupun ibadah lainnya.

Niat letaknya ada di hati. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menyebutkan, “Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah melafalkan di awal wudu ‘nawaitu raf’a al-hadasi’ dan tidak pula ‘istibaahatu as-salati’ (Saya bermaksud untuk menghilangkan najis atau menjadikan salat boleh untuk dilakukan), tidak pernah sama sekali, baik dari Nabi maupun para sahabatnya. Tidak ada satu huruf pun yang menukilkan hal itu, baik dengan rantai sanad yang benar maupun yang lemah.”

Kesembilan: Membaca basmalah di awal wudu.

Meskipun ia bukan termasuk fardu (rukun) wudu, membaca basmalah hukumnya wajib dalam kondisi ingat atau sunnah muakkadah. Hal itu karena adanya hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan hal tersebut. Sudah menjadi kewajiban kita untuk bersemangat di dalam mengamalkannya.

Kesepuluh: Boros di dalam penggunaan air merupakan hal yang tercela.

Baik itu ketika wudu maupun ketika mandi besar, boros dan terlalu banyak menggunakan air tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang muslim. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَغْسِلُ، أوْ كانَ يَغْتَسِلُ، بالصَّاعِ إلى خَمْسَةِ أمْدَادٍ، ويَتَوَضَّأُ بالمُدِّ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membasuh, atau mandi dengan satu sha’ hingga lima mud, dan berwudu dengan satu mud.” (HR. Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325)

Satu sha’ jika kita konversikan dengan hitungan liter, maka setara 2,75 liter, dan satu mud itu ¼ sha’ (atau sekitar 0,7 liter). Hadis di atas menujukkan betapa perhatiannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam penggunaan air. Oleh karena itu, untuk para pengurus masjid, sangat disarankan memasang anjuran-anjuran di tempat wudu atau kamar mandi yang berisi ajakan menghemat penggunaan air dan tidak boros di dalamnya.

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85072-hal-hal-yang-harus-diperhatikan-seorang-muslim-dalam-hal-bersuci-bag-1.html

Hindari Cobaan Berat dengan Membaca Doa Ini

Perlu berdoa agar kita terhindar dari cobaan berat.

Manusia bisa meminta kepada Allah ﷻ agar terhindar dari cobaan yang berat. Karena, terkadang cobaan datang tanpa kita ketahui waktunya.

Terdapat doa yang dibaca bersumber dari hadist agar dapat terhindar dari cobaan berat, di samping itu doa ini juga sebagai perlindungan agar dihindarkan dari kesengsaraan hebat dan takdir yang jelek. Berikut doanya:

الَّلُهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ وَ دَرَكِ الشَّقَاءِ وَ سُوْءِ الْقَضَاءِ وَ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ

ALLOOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN JAHDIL BALAA-I, WA DAROKISY SYAQOO-I, WA SUU-IL QODHOO-I, WA

SYAMAATATIL A’DAAI.

Artinya: Ya Allah aku meminta perlindungan kepada-Mu dari beratnya cobaan, kesengsaraan yang hebat, takdir yang jelek, dan kegembiraan musuh atas kekalahan. (HR. Al-Bukhari, no. 6347 dan Muslim, no. 2707)

IHRAM

Setoran Haji dengan Standar Emas, Bisakah Jadi Solusi?

Calon jamaah bisa membayar dengan mencicil atau menabung di bank syariah yang memiliki tabungan emas.

Pembahasan biaya perjalanan ibadah haji (bipih)  selalu menuai kontroversi setiap tahun. Akibat inflasi, biaya haji kerap melangit sehingga pelunasan yang harus ditanggung jamaah membengkak bila dibandingkan dengan nilai setoran awal yang sudah dibayar oleh jamaah saat mendapatkan nomor porsi belasan tahun sebelum pemberangkatan. 

Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Pusat M Nizarul Alim mengusulkan setoran awal haji bisa dilakukan dalam bentuk standar emas. Nantinya, calon jamaah bisa membayar dengan konsep mencicil atau menabung di bank syariah yang memiliki tabungan emas.

“Sekarang, hampir setiap bank syariah menawarkan tabungan emas, itu bisa menjadi solusi. Setoran haji bisa dalam bentuk standar emas walaupun sifatnya adalah menabung,” kata dia dalam kegiatan Seminar Nasional Konsep Istitha’ah, Biaya Ibadah Haji dan Kualitas Layanan Ibadah Haji untuk Ekosistem Berkelanjutan, Kamis (23/2/2023).

Mengenai istithaah, ia menyebutkan, biaya perlu disesuaikan secara perlahan dengan penurunan nilai mata uang rupiah yang digunakan sebagai tolok ukur setoran awal. Hal itu tidak dilihat pada saat keputusan penentuan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) dan biaya perjalanan ibadah haji (bipih).

Sejak awal, setoran awal jamaah haji bisa dinaikkan. Itu karena menyesuaikan dengan kurs valuta asing. Semua ukuran biaya haji memang menggunakan valuta asing. Jika hal itu dilakukan, tambahan untuk nilai akhir BPIH tidak terlalu besar, apalagi yang berangkat tahun ini telah menunggu selama beberapa tahun.

“Rp 25 juta 10 tahun lalu dan sekarang sudah tidak signifikan jika dilihat dari harga emas. Satu gram emas 10 tahun lalu sekitar Rp 600 ribuan, sekarang sudah di atas Rp 1 juta. Artinya, apabila setelah menyetor dana awal haji dan menunggu 40 tahun, maka perlu teknik investasi lain atau pembayaran lain,” lanjutnya.

Rp 25 juta 10 tahun lalu dan sekarang sudah tidak signifikan jika dilihat dari harga emas. Satu gram emas 10 tahun lalu sekitar Rp 600 ribuan, sekarang sudah di atas Rp 1 juta.

M NIZARUL ALIM Pengurus Ikatan Akuntansi Indonesia Pusat

Ia menyebutkan, Bank Syariah Indonesia (BSI) memiliki layanan tabungan emas sebesar 10 gram dan bisa dilunasi dalam dua tahun. Jika dikurskan dengan nilai uang haji, waktu pelunasannya mungkin bisa lebih panjang lagi, menyesuaikan dengan masa tunggunya. “Misal 25 juta juta hampir setara dengan 25 gram, ini akan beda antara 25 gram dan rupiah sekarang dengan 25 tahun ke depan,” ucapnya.

Nizarul Alim pun menyampaikan keyakinannya bahwa naik-turunnya valuta asing sangat bergantung pada naik-turunnya nilai emas. Ke depan, ia berpikir akan banyak mata uang yang hilang. Cina, sebagai contoh, mulai menjadikan emas sebagai underlying mata uangnya dengan memborong emas sekian ribu ton dari perdagangan internasional.

Terakhir, ia kembali menyebut setoran awal bisa diubah tidak dalam rupiah, tapi standar emas. Bank syariah bisa menggunakan sistem pembayaran menabung atau mencicil emas tersebut.

photo

Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Ismed Hasan Putro mengapresiasi ide tersebut dan menilai itu perlu didalami. Ismed menjelaskan, wacana patut menjadi pertimbangan dari BPKH dan Kemenag. Menurut dia, setoran berstandar emas bisa menjadi titik tengah yang menguntungkan, tidak hanya bagi jamaah haji tapi juga aman bagi BPKH.

Selama ini, harga emas termasuk yang selalu terjaga dan stabil. Angka seputaran emas tidak pernah terlalu drastis naik dan turunnya. Sementara itu, kurs mata uang dolar selalu fluktuatif.

Di sisi lain, ia menyebut perihal pembayaran ini sangat bergantung pada pihak Kerajaan Arab Saudi. Setiap layanan yang digunakan, dari akomodasi, transportasi, hingga katering, pembayarannya dilakukan di Saudi.

“Nah, itu saya kira masing-masing pihak harus duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Kata kuncinya adalah bagaimana agar jamaah dengan pembayaran yang dilakukan tetap taat pada konsep syariah terkait istithaah,” ucap dia.

Kata kuncinya adalah bagaimana agar jamaah dengan pembayaran yang dilakukan tetap taat pada konsep syariah terkait istithaah.

ISMED HASAN PUTRO Ketua IPHI

Kata kunci kedua, lanjut Ismed, adalah bagaimana agar ke depannya BPIH tidak lagi menjadi beban jamaah yang akan berangkat dengan sistem membayar di depan atau uang setoran, serta memiliki masa antrean tertentu.

Hal yang perlu dijaga dan diperhatikan adalah menjaga agar nilai uang setoran awal ini tidak tergerus dan terkena inflasi. Ismed menyebut hal itu adalah hal penting yang harus dijadikan perhatian. Dengan emas, hal tersebut dinilai bisa meminimalkan risiko tekanan inflasi.

“Saya tidak begitu memahami praktik menggunakan transaksi emas. Tetapi, paling tidak usulan ini merupakan masukan yang baik bagi BPKH dan Kementerian Agama. Siapa tahu, ini bisa menjadi solusi terhadap upaya agar tidak membebani jamaah dan tidak menjadi risiko dan beban bagi BPKH,” ujar dia.

Terakhir, BPKH juga disebut perlu mempelajari bagaimana mekanisme jika ada jamaah yang membayar dengan emas. Sejauh ini, emas bisa dijadikan alat transaksi kepada pihak investor untuk mendapatkan margin sehingga ada dana maslahat yang didapat.

Sedang disusun

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief menyebut pihaknya tengah menyusun standar pembiayaan haji reguler sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019. Salah satunya dengan memetakan siklus pembiayaan operasional haji agar didapatkan komponen riil untuk kebutuhan formulasinya.

“Pembiayaan haji ini meliputi 13 komponen, yaitu penerbangan, akomodasi, transportasi, layanan Armuzna, perlindungan, dan lain-lain. Kita coba buatkan satu standar biaya yang merupakan bentuk penerjemahan UU ini,” ucapnya dalam kegiatan Seminar Nasional Konsep Istitha’ah, Biaya Ibadah Haji dan Kualitas Layanan Ibadah Haji untuk Ekosistem Berkelanjutan, Kamis (23/2/2023).

Kemenag juga disebut sedang mempersiapkan proses eksplorasi komponen tetap (fix) dan variabel cost yang tercantum dalam BPIH. Selain itu, Kemenag juga memetakan siklus pembiayaan operasional haji untuk mendapatkan komponen riil untuk kebutuhan formulasi.

photo

Hilman mengungkapkan, saat ini sering muncul pertanyaan mengenai biaya langsung dan tidak langsung, serta biaya tetap dan variabel. Ketika berbicara mengenai istithaah, hal itu bersinggungan dengan biaya serta hal general selama tahun-tahun ke depan.

Bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk akademisi, pihaknya disebut tengah berupaya memformulasikan prediksi BPIH pada tahun-tahun mendatang. Ketika persiapan haji 1444 H/2023 M ini sudah matang, pihaknya akan meluncurkan perkiraan (forecasting) biaya haji.

“Ketika persiapan haji 1444 H ini sudah matang, maka sudah bisa launching ke publik kira-kira tahun-tahun ke depan prediksinya forecasting biaya haji yang sesuai dengan inflasi, kebutuhan-kebutuhan, dan kebijakan Saudi, sehingga jamaah bisa lebih mudah dalam mengidentifikasi berapa biaya mereka untuk tahun-tahun berikutnya. Setidaknya 3-5 tahun bisa terbaca,” kata dia.

Upaya lain yang tengah Kemenag lakukan berkaitan dengan biaya haji adalah mengoptimalkan besaran setoran awal. Hal itu akan disampaikan ke publik dalam waktu dekat sebagai bagian dari upaya memperkuat posisi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan mempermudah posisi jamaah dalam hal pelunasan.

Mekanisme setoran pelunasan tak ketinggalan menjadi perhatian Kemenag, yang mana pihaknya tengah mendiskusikan secara detail untuk konsep top-up. Model mekanisme ini berkaitan dengan pemanfaatan waktu tunggu sembari melunasi bipih.

“Model mekanisme setoran pelunasan ini merupakan proses modeling terkait mekanisme pelunasan bipih yang harus dipenuhi jamaah dengan memanfaatkan waktu tunggu. Selama waktu tunggu, ke depannya jamaah bisa top-up, memberikan pelunasan bipih secara cicilan,” lanjut dia.

Terakhir, Kemenag juga tengah menganalisis efisiensi BPIH dan nilai manfaat. Hal itu merupakan tahap penentuan efisiensi pembiayaan operasional haji. Kemenag perlu mengetahui proses yang memerlukan efisiensi dan yang memang harus dioptimalkan.

Pembiayaan BPIH disebut bergantung pada kemampuan BPKH setiap tahunnya. Jika ada gambaran ke depan maka akan terlihat berapa peningkatan nilai manfaat dan simulasi berapa kontribusinya dalam BPIH.

KHAZANAH REPUBLIKA

Masihkah Terbuka Pintu Tobat?

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar. Selawat dan salam semoga tercurah kepada sang pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, Nabi akhir zaman pembawa rahmat bagi segenap alam. Amma ba’du.

Tobat adalah nikmat yang sangat besar bagi seorang hamba. Karena dengan bertobat kepada Allah, maka seorang hamba kembali kepada jalan ketaatan dan amal saleh setelah sebelumnya dia terjerumus dan terseret dalam arus dosa dan kemaksiatan. Maka, menjadi harapan setiap muslim untuk terus bertobat dalam setiap hari yang dia lalui karena dia menyadari bahwa dirinya penuh dengan dosa dan kekurangan dalam mengabdi kepada Ar-Rahman.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima tobat pelaku dosa di siang hari dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima tobat pelaku dosa di malam hari, sampai matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Muslim)

Kesempatan untuk bertobat masih terus terbuka selama nyawa belum berada di tenggorokan. Tidakkah kita mengingat kisah seorang pembunuh 100 nyawa yang masih diberi kesempatan bertobat dan Allah pun menerima tobatnya. Tidakkah kita ingat kisah tobatnya Ka’ab bin Malik dan teman-temannya radhiyallahu ’anhum yang diabadikan di dalam Al-Qur’an, sebagai pelajaran, peringatan, dan nasihat bagi setiap insan beriman.

Bertobat dari keteledoran

Nikmat yang Allah berikan kepada kita tiada terhingga, tetapi seringkali kita tidak menunaikan syukur atasnya dengan baik. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hakikat syukur adalah mengakui limpahan nikmat (dari Allah) dan berusaha menunaikan pengabdian (kepada-Nya). Barangsiapa yang perkara ini semakin banyak muncul dari dirinya, maka dia disebut sebagai syakuur (orang yang pandai bersyukur). Dari sanalah, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan, “Betapa sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (lihat Fath Al-Bari, tahqiq Syaibatul Hamdi, 3: 20)

Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hak-hak Allah itu terlalu agung sehingga para hamba tidak akan bisa menunaikan hak-hak Allah secara sepenuhnya. Sebab, nikmat-nikmat dari-Nya amat besar sehingga terlalu banyak untuk bisa dihingga (dihitung). Meskipun demikian, mereka selalu berusaha untuk menjadi orang-orang yang patuh di pagi hari dan menjadi orang-orang yang selalu bertobat di sore hari.” (lihat Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Ibnu Baththal, 3: 122)

Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Sungguh apabila aku mendapatkan kesehatan dan kelapangan kemudian aku menunaikan syukur, itu jauh lebih aku sukai daripada aku tertimpa cobaan (musibah) sehingga aku harus bersabar menghadapinya.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 441)

Abu Abdillah Ar-Razi rahimahullah berkata, “Sufyan bin ‘Uyainah berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya di antara bentuk syukur atas nikmat-nikmat Allah adalah dengan engkau memuji-Nya atas hal itu dan engkau gunakan nikmat-nikmat itu di atas ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu, bukanlah orang yang bersyukur kepada Allah orang yang menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya justru untuk melakukan maksiat (kedurhakaan) kepada-Nya.’” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 441)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Orang yang bersyukur itu adalah orang yang mengetahui (menyadari) bahwa nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala. Allah memberikan nikmat itu kepadanya untuk melihat bagaimana dia bersyukur, bagaimana dirinya bersabar?” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang memandang tidak ada kenikmatan dari Allah kepada dirinya selain hanya dalam urusan makanan dan minumannya, sungguh telah sedikit fikih/ilmunya dan telah datang azab pada dirinya.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 885)

Wajibnya bersabar dan bersyukur

Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak semakin menambah kedekatan kepada Allah ‘Azza  Wa Jalla, maka pada hakikatnya hal itu adalah bencana.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 888)

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ’anhu berkata, “Kami diuji dengan kesulitan, maka kami pun bisa bersabar. Akan tetapi, tatkala kami diuji dengan kesenangan, maka kami pun tidak bisa bersabar.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 163)

Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah, itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164)

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah menjadi fakih (ahli ilmu) barangsiapa yang tidak bisa menganggap bahwa musibah (duniawi) adalah nikmat (agama) dan kelapangan (dunia) adalah musibah.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 165)

Bisyr bin Al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui seorang pun, kecuali dia pasti tertimpa cobaan. Seorang yang Allah berikan kelapangan pada rezekinya, maka Allah ingin melihat bagaimana dia menunaikan syukur atas hal itu. Dan seorang yang Allah ‘Azza Wajalla cabut sebagian dari rezekinya, ketika itu Allah ingin melihat bagaimanakah dia bisa bersabar.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 172)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan bahwa makna ayat di atas adalah, “Sesungguhnya Aku menciptakan mereka tidak lain untuk Aku perintahkan mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena kebutuhan-Ku kepada mereka.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim [7: 425])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bahkan, ibadah kepada Allah, ma’rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya, itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya…” (lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir [5: 97])

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Dia (Allah) tidaklah membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kafir, maka kerajaan Allah tidak akan berkurang. Bahkan, kamulah yang membutuhkan diri-Nya. Kamu yang memerlukan ibadah itu. Salah satu bentuk kasih sayang Allah adalah memerintahkanmu beribadah kepada-Nya demi kemaslahatan dirimu. Jika kamu beribadah kepada-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Ibadah menjadi sebab Allah memuliakan kedudukanmu di dunia dan di akhirat. Jadi, siapakah yang memetik manfaat dari ibadah? Yang memetik manfaat dari ibadah adalah hamba. Adapun Allah Jalla Wa ‘Ala, Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 15-16)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85070-masihkah-terbuka-pintu-tobat.html