Larangan Menyebar Pornografi dalam Islam

Berikut ini artikel tentang larangan menyebar pornografi dalam Islam. Di zaman yang kian canggih ini, segala hal diperoleh dengan mudah dan cepat. Termasuk menyebarkan kemaksiatan, yang bisa dilakukan melalui berbagai alat teknologi komunikasi sehingga terpublish dan menyebar kemana-mana. 

Seperti salah satu kasus yang tengah viral di jagat entertain Indonesia. Video tak senonoh artis yang diduga berinisial RK tersebar di sejumlah akun media sosial. Tentunya hal tersebut memberikan dampak negatif bagi masyarakat kita. 

Larangan Islam Pada Penyebaran Maksiat

Melihat dari adanya kasus penyebaran sejumlah video artis di atas, sebagai orang beriman, kita diharapkan untuk mau bersabar dan tidak ikut-ikutan melakukannya agar terhindar dari dosa yang menggunung dan terus-menerus dan azab dari Allah. 

Sebagaimana dalam firman Allah dalam surah An-Nuur Ayat 19 :

اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ؕ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْـتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat” (QS. An-Nuur: 19).

Lebih-lebih kita tidak tahu berapa banyak di kalangan umat yang sudah terdampak (keburukannya) akibat menerima kiriman perbuatan maksiat. Dan tak tertutup kemungkinan, di antara orang yang menerimanya ada yang ikut menyebarkannya lebih luas lagi.

Demikianlah seterusnya. Kita juga tidak tahu bagaimana harus menghentikan keinginan orang-orang yang menerimanya untuk menyebarkan kepada orang lain lagi, sehingga pelaku pertama ikut menerima aliran dosa dari penyebar berikutnya. Sebagaimana diingatkan dalam suatu hadits :

 “Siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka” (HR. Muslim).

Landasan Hukum Positif 

Selain itu dalam hukum Indonesia juga mengatur tegas terkait hukuman bagi penyebaran konten pornografi. Diantaranya yakni diatur dalam sejumlah pasal perundang-undangan :

  • Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Aturan ini memuat berbagai penjelasan tentang pornografi telah disediakan mulai dari definisi hingga perlindungan anak. Berbagai peran pemerintah hingga masyarakat pun juga diatur dalam UU tersebut.

  • Ancaman hukuman Pasal 29 UU Pornografi

Tepatnya dalam Bab VII UU Pornografi tahun 2008 tersebut diatur pula hukuman pidana bagi pelaku penyebaran konten pornografi. Dalam pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tersebut, pelaku penyebaran dapat dipenjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun. Tak hanya itu, pelaku penyebaran juga bisa didenda minimal Rp250 juta dan maksimal Rp6 miliar.

  • UU No. 19 Tahun 2016 dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE

Undang-undang ini sebagai bentuk pembaharuan dari UU Nomor 11 tentang ITE yang disahkan pada tahun 2008 lalu. Peraturan ini sendiri mengatur berbagai informasi elektronik di Indonesia, termasuk salah satunya adalah konten pornografi.

  • Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE

Landasan hukum yang juga digunakan dalam menangani penyebaran konten pornografi adalah Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. UU tersebut mengatur siapa pun yang secara sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau membuat akses dokumen atau informasi elektronik tentang pornografi dianggap melanggar kesusilaan.

  • Ancaman hukuman Pasal 45 ayat (1) UU ITE

Pasal tersebut berisikan ancaman hukuman bagi para pelaku yang dimaksud dalam pasal 27 ayat (1). Dalam pasal Pasal 45 ayat (1) UU ITE, pelaku penyebaran dapat dipidana dengan penjara paling lama selama 6 tahun dan maksimal denda Rp1 miliar.

Namun jika ternyata ada berbagai elemen lain seperti pemaksaan hingga pencemaran nama baik maka landasan hukum dan ancaman hukumannya pun bisa lebih luas dan banyak lagi.

Jadi selain dilarang dalam agama perbuatan menyebar kemaksiatan juga dilarang dalam hukum positif, aturannya pun lengkap beserta ancaman sanksi yang ditujukan bagi sang pelaku, agar jera dan sadar atas kesalahan yang dibuatnya. 

Demikian penjelasan larangan menyebar pornografi dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Penanganan Pertama Kaki Melepuh pada Jamaah Haji

Menggunakan alas kaki merupakan langkah utama pencegahan kaki melepuh.

uasa panas yang menyengat dengan suhu harian berkisar 38-40 derajat Celsius memungkinkan jamaah rentan alami kaki melepuh. Untuk itu, jamaah diingatkan mengenakan alas kaki selama beraktivitas di luar ruangan.

Kasi Layanan Penghubung Kesehatan Daker Madinah dokter Desnita mengatakan, menggunakan alas kaki merupakan langkah utama pencegahan kaki melepuh. Andai jamaah khawatir alas kaki hilang, maka ada baiknya bawa kantong plastik atau tas kecil yang cukup untuk membawa alas kaki.

Langkah selanjutnya, keberadaan botol air minum juga sangat penting. Selain untuk mencegah dehidrasi, air dalam botol minum ini bisa digunakan sebagai penanganan pertama kaki melepuh.

“Sebenarnya penanganan bisa dilakukan dengan menggunakan air dari keran yang mengalir. Fungsi air ini untuk menurunkan suhu panas pada kaki agar segera turun. Makanya ketika kaki sudah berasa panas ada baiknya berhenti terlebih dahulu selama setengah jam agar melepuhnya tidak melebar,” ujar dia.

Karenanya, kata dia, ketika jamaah sudah merasa panas kakinya hindari melanjutkan perjalanan. Siram kaki yang panas dengan air jangan pakai odol. Pengunaan odol ini justru membuat panas tidak keluar.

“Tidak disarankan itu,” kata dia.

Apabila suhu kaki sudah turun dan bisa melanjutkan perjalanan segera oleskan krim sebagai langkah penanganan berikutnya. 

IHRAM

Ini 7 Aturan Penting Bagi Jamaah Haji Sebelum dan Saat Tiba di Saudi

Jamaah haji lansia akan menjadi atensi kementerian agama.

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi telah mengumumkan serangkaian pedoman yang harus dipatuhi oleh jamaah haji sebelum dan setibanya di Arab Saudi. Ketentuan itu dimaksudkan untuk memastikan kelancaran ibadah haji.

Pertama, seperti dilansir Gulf News, Jumat (26/5/2023), jamaah diharuskan membawa semua dokumen resmi yang diperlukan saat tiba di bandara untuk menyelesaikan prosedur perjalanan. Kedua, sebagaimana instruksi kementerian, semua perangkat elektronik harus disimpan di dalam bagasi terdaftar.

Ketiga, peziarah harus memastikan bahwa setiap bagasi yang akan dikirim mematuhi dimensi yang disetujui untuk memastikan penerimaannya. Keempat, tanda pengenal khusus harus ditempatkan pada setiap barang bawaan sebelum pengiriman.

Kelima, jamaah dilarang membawa barang yang telah diatur larangannya oleh Kementerian Haji dan Umrah Saudi. Adapun barang yang dilarang dibawa tersebut, di antaranya ialah kantong plastik, botol air, bahan cair, dan bagasi yang tidak dibungkus atau tidak diikat. Kotak yang dibungkus dan dilapisi kain juga dilarang.

Keenam, setibanya di Arab Saudi, jamaah diharuskan untuk melaporkan uang tunai atau barang berharga apa pun yang mereka miliki melebihi nilai 60 ribu riyal Saudi. Ini termasuk mata uang asing, hadiah, perangkat elektronik, perhiasan dan logam mulia. Ketujuh, kementerian menekankan pentingnya mengisi deklarasi bea cukai saat memasuki atau keluar dari Arab Saudi. Ini sangat penting jika peziarah membawa mata uang lokal atau asing atau barang apa pun yang bernilai lebih dari 60 ribu riyal Saudi. Deklarasi pabean yang sama juga diperlukan untuk penumpang yang membawa barang dalam jumlah komersial senilai lebih dari 3.000 riyal Saudi atau barang yang dilarang untuk diimpor atau diekspor, seperti barang antik. Hal ini juga berlaku untuk barang-barang yang dikenakan cukai. Kementerian telah mengeluarkan peringatan keras kepada jamaah yang gagal melengkapi dan menandatangani deklarasi bea cukai, mencatat bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban.

IHRAM

Hadits Keutamaan Ibadah Haji Dan Umrah

Artikel untuk rubrik hadits kali ini adalah syarah (penjelasan) hadits yang kami angkat dan terjemahkan secara bebas (dengan penambahan dan pengurangan kata dengan tanpa merubah isi dan maksud) dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (5/851-868), karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan –hafizhahullah-, cetakan Daar Ibnil Jawzi, cetakan ke-8, Rabi’ul Awwal, tahun 8421 H, Dammam, KSA.

Hadits tersebut adalah:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرةُ إلى العمرةِ كفَّارَةٌ لمَا بينَهمَا ، والحجُّ المبرورُ ليسَ لهُ جزاءٌ إلا الجنَّةُ

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pembahasan hadits ini akan ditinjau dari beberapa sisi:

1. Takhrij hadits

Imam al-Bukhari telah mengeluarkan hadits ini (di dalam Shahih-nya) pada Abwabul Umrah (bab-bab tentang umrah), yaitu pada Babu Wujubil Umrah wa Fadhliha (bab tentang wajibnya umrah dan keutamaannya), nomor 1773. Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim (di dalam Shahih-nya pula), nomor 1349; dari jalan Sumayy budak Abi Bakar bin Abdurrahman, dari Abu Shalih as-Samman, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, secara marfu’ (sampai kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam).

2. Keutamaan memperbanyak ibadah umrah

Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan memperbanyak ibadah umrah. Hal ini disebabkan umrah memiliki keutamaan yang agung, yaitu dapat menggugurkan dan menghapuskan dosa-dosa. Hanya saja, mayoritas ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah dosa-dosa kecil, dan tidak termasuk dosa-dosa besar.

Kemudian, kebanyakan para ulama pun menyatakan bolehnya (seseorang) mempersering dan mengulang-ulang ibadah umrah ini dalam setahun sebanyak dua kali ataupun lebih. Dan hadits ini jelas menunjukkan hal tersebut, sebagaimana diterangkan pula oleh Ibnu Taimiyah. Karena memang hadits ini jelas dalam hal pembedaan antara ibadah haji dan umrah. Juga, karena jika umrah hanya boleh dilakukan sekali saja dalam setahun, niscaya (hukumnya) sama seperti ibadah haji, dan jika demikian seharusnya (dalam hadits) disebutkan, “Ibadah haji ke ibadah haji berikutnya…”. Namun, tatkala Nabi hanya mengatakan “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya…”, maka hal ini menunjukkan bahwa umrah boleh dilakukan (dalam setahun) secara berulang-ulang (beberapa kali), dan umrah tidaklah sama dengan haji.

Dan hal lain pula yang membedakan antara haji dan umrah adalah; umrah tidak memiliki batasan waktu, yang jika seseorang terlewatkan dari batasan waktu tersebut maka umrahnya dihukumi tidak sah, sebagaimana halnya ibadah haji. Jadi, dapat difahami apabila waktu umrah itu mutlak dapat dilakukan kapan saja, maka hal ini menunjukkan bahwa umrah sama sekali tidak menyerupai haji dalam hal keharusan dilakukannya sekali saja dalam setahun (lihat Majmu’ul Fatawa, 26/268-269).

Namun, Imam Malik berkata, “Makruh (hukumnya) seseorang melakukan umrah sebanyak dua kali dalam setahun” (lihat Bidayatul Mujtahid, 2/231). Dan ini juga merupakan pendapat sebagian para ulama salaf, di antara mereka; Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair dan Muhammad bin Sirin. Mereka berdalil; bahwa Nabi dan para sahabatnya tidak melakukan umrah dalam setahun melainkan hanya sekali saja.

Namun, hal ini bukanlah hujjah (dalil). Karena Nabi benar-benar menganjurkan umatnya untuk melakukan umrah, sebagaimana beliau pun menjelaskan keutamaannya. Beliau juga memerintahkan umatnya agar mereka memperbanyak melakukan umrah. Dengan demikian, tegaklah hukum sunnahnya tanpa terkait apapun. Adapun perbuatan beliau, maka hal itu tidak bertentangan dengan perkataannya. Karena ada kalanya beliau meninggalkan sesuatu, padahal sesuatu tersebut disunnahkan, hal itu disebabkan beliau khawatir memberatkan umatnya. Dan ada kemungkinan lain,seperti keadaan beliau yang tersibukkan dengan urusan kaum Muslimin yang bersifat khusus ataupun umum, yang mungkin lebih utama jika dipandang dari sisi manfaatnya yang dapat dirasakan oleh banyak orang.

Dan di antara dalil yang menunjukkan keatamaan mempersering dan memperbanyak umrah adalah hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

تَابِعُوا بين الحجِّ والعمرةِ ، فإنَّهما ينفيانِ الفقرَ والذنوبَ ، كما يَنفي الكيرُ خَبَثَ الحديدِ والذهبِ والفضةِ ، وليس للحجةِ المبرورةِ ثوابٌ إلا الجنةُ

Iringilah ibadah haji dengan (memperbanyak) ibadah umrah (berikutnya), karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana alat peniup besi panas menghilangkan karat pada besi, emas dan perak. Dan tidak ada (balasan) bagi (pelaku) haji yang mabrur melainkan surga” [Hadits ini dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi (810), dan an-Nasa-i (5/115), dan Ahmad (6/185); dari jalan Abu Khalid alAhmar, ia berkata: Aku mendengar ‘Amr bin Qais, dari ‘Ashim, dari Syaqiq, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu secara marfu’. Dan at-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan shahih gharib dari hadits Ibnu Mas’ud . Hadits ini pada sanadnya terdapat Abu Khalid al-Ahmar, ia bernama Sulaiman bin Hayyan. Dan terdapat pula Ashim bin Abi an-Nujud. Hadits mereka berdua dikategorikan hadits hasan. Karena Abu Khalid al-Ahmar seorang yang shoduqun yukhthi’ (perawi yang banyak benarnya dan terkadang salah dalam haditsnya), sedangkan Ashim bin Abi an-Nujud adalah seorang yang shoduqun lahu awhaam (perawi yang banyak benarnya dan memiliki beberapa kekeliruan dalam haditsnya)].

3. Keutamaan haji mabrur

Hadits ini menunjukkan keutamaan haji yang mabrur (baik), dan balasan orang yang mendapatkannya adalah surga. Haji yang mabrur, telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, “Adalah haji yang tidak tercampur dengan perrbuatan riya’ (ingin dipuji dan dilihat orang), sum’ah (ingin didengar oleh orang), rafats (berkata-kata keji dan kotor, atau kata-kata yang menimbulkan birahi), fusuq (berbuat kefasikan dan kemaksiatan), dan dilaksanakan dari harta yang halal…” (lihat at-Tamhid, 22/39).

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa haji mabrur memiliki lima sifat:

  1. Dilakukan dengan ikhlash (memurnikan niat dalam melaksanakan hajinya) hanya karena Allah Ta’ala semata, tanpa riya’ dan sum’ah.
  2. Biaya pelaksanaan haji tersebut berasal dari harta yang halal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:إنَّ اللهَ طيِّبٌ ولا يقبلُ إلا طيبًا“Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan Ia tidak menerima kecuali hal yang baik…”. (HR Muslim, 1015).
  3. Menjauhi segala dosa dan perbuatan maksiat, segala macam perbuatan bid’ah dan semua hal yang menyelisihi syariat. Karena, jika hal tersebut berdampak negatif terhadap semua amal shalih dan bahkan dapat menghalangi dari diterimanya amal tersebut, maka hal itu lebih berdampak negatif lagi terhadap ibadah haji dan keabsahannya. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, di antaranya firman Allah Ta’ala:الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji…” (QS al-Baqarah: 197).
  4. Dilakukan dengan penuh akhlak yang mulia dan kelemah-lembutan, serta dengan sikap tawadhu’ (rendah hati) ketika ia berkendaraan, bersinggah sementara pada suatu tempat dan dalam bergaul bersama yang lainnya, dan bahkan dalam segala keadaannya.
  5. Dilakukan dengan penuh pengagungan terhadap sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah). Hal ini hendaknya benar-benar diperhatikan oleh setiap orang yang sedang melakukan ibadah haji. Dengan demikian, ia benar-benar dapat merasakan dan meresapi syi’ar-syi’ar Allah dalam ibadah hajinya. Sehingga, akan tumbuh dari dirinya sikap pengagungan, pemuliaan dan tunduk patuh kepada Sang Pencipta, Allah Rabbul ‘Alamin. Dan tanda seseorang benar-benar telah melaksanakan hal tersebut adalah; ia melaksanakan tahapan demi tahapan rangkaian ibadah hajinya dengan tenang dan khidmat, tanpa ketergesa-gesaan dan segala perkataan dan perbuatannya. Ia akan senantiasa waspada dari sikap tergesa-gesa dan terburu-buru, yang justru hal ini banyak dilakukan oleh banyak para jamaah haji di zaman ini. Ia pun akan senantiasa berusaha bersabar dalam ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya hal yang demikian ini lebih dekat untuk diterimanya ibadah hajinya di sisi Allah Ta’ala.

Dan termasuk bentuk pengagungan (seorang yang beribadah haji) terhadap sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah) adalah menyibukkan dirinya dengan banyak-banyak berdzikir, bertakbir, bertasbih, bertahmid dan istighfar. Karena ia tengah beribadah, dan ia berada di tempat yang mulia dan utama.

Dan sungguh Allah pun telah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengagungkan, memuliakan dan menjaga kehormatan sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah). Allah berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya…” (QS al-Hajj: 30).

Dan Allah juga berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS al Hajj: 32).

Dan yang dimaksud dengan hurumatullah (hal-hal terhormat di sisi Allah) adalah segala sesuatu yang memiliki kehormatan di sisi Allah, yang Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengagungkannya, baik berupa ibadah dan yang lainnya. Dan di antaranya adalah manasik (tata cara ibadah haji) ini, tanah-tanah haram, dan ber-ihram.

Adapun sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah), maka maksudnya adalah lambang-lambang agama yang tampak jelas, yang di antaranya juga manasik (tata cara ibadah haji) ini. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ

Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar-syi’ar Allah…” (QS al-Baqarah: 158).

Dan sungguh Allah Ta’ala telah menjadikan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar-Nya sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun ketakawaan, dan salah satu syarat pengabdian dan penghambaan kepada-Nya. Allah pun jadikan pengagungan terhadap hurumatullah (hal-hal terhormat di sisi Allah) sebagai sebuah jalan bagi hamba-Nya untuk meraih pahala dan pemberian karunia dari-Nya.

Dan orang yang memperhatikan dengan seksama dan melihat dengan cara pandang orang yang mau belajar tata cara ibadah haji Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, niscaya dia akan memahami bagaimana beliau melaksanakan ibadah hajinya dengan penuh pengagungan dalam segala perkataan dan perbuatan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.

Wallahu A’lam.

***

Penulis: Ust. Arief Budiman Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/27810-hadits-keutamaan-ibadah-haji-dan-umrah.html

Hukum Qurban Bergilir Antar Anggota Keluarga

Kebiasaan qurban bergilir ini marak di masyarakat kita. Yaitu misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan dua anak. Maka tahun ini yang berqurban suami, tahun depan istri, tahun setelahnya anak pertama, tahun setelahnya lagi anak kedua, dan seterusnya.

Ini menjadi hal yang unik, karena kami belum mendapatkan hal seperti ini di kitab-kitab fikih.

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu berqurban setiap tahun. Namun tidak dinukil riwayat bahwasanya beliau mempergilirkan qurban, kepada istri-istrinya dan anak-anaknya. Bahkan beliau menganggap qurban beliau sudah mencukupi seluruh keluarganya.

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang yang tidak berqurban dari umatnya” (HR. Ibnu Majah no.3122, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil [4/353]).

Demikian juga para sahabat Nabi, yang berkurban di antara mereka adalah para kepala keluarga, dan mereka juga tidak mempergilirkan qurban pada anak dan istri mereka.

Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:

كانَ الرَّجلُ في عَهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُضحِّي بالشَّاةِ عنهُ وعن أَهلِ بيتِهِ فيأْكلونَ ويَطعَمونَ ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dan sembelihan tersebut dan memberi makan orang lain. Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan qurban) sebagaimana engkau lihat” (HR. Tirmidzi no.1505, Ibnu Majah no. 3147, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Syaikh Ibnu Al Utsaimin ditanya: “apakah setiap anggota keluarga dituntut untuk berqurban atas diri mereka masing-masing?”. Beliau menjawab:

لا.السنة أن يضحي رب البيت عمن في البيت، لا أن كل واحد من أهل البيت يضحي، ودليل ذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بشاة واحدة عنه وعن أهل بيته، وقال أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه: ( كان الرجل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته ) ولو كان مشروعاً لكل واحد من أهل البيت أن يضحي لكان ذلك ثابتاً في السنة، ومعلوم أن زوجات الرسول عليه الصلاة والسلام لم تقم واحدة منهن تضحي اكتفاء بأضحية النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak. Yang sesuai sunnah, kepala rumah tangga lah yang berkurban. Bukan setiap anggota keluarga. Dalilnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Dan Abu Ayyub Al Anshari berkata: “Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya”. Andaikan disyariatkan setiap anggota keluarga untuk berkurban atas dirinya masing-masing tentu sudah ada dalilnya dari sunnah Nabi. Dan kita ketahui bersama, bahwa para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak ada yang berqurban, karena sudah mecukupkan diri dengan qurban Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“.

Beliau juga mengatakan:

فإن قال قائل: لعل ذلك لفقرهم؟ فالجواب: إن هذا احتمال وارد لكنه غير متعين، بل إنه جاءت الآثار بأن من أزواج الرسول عليه الصلاة والسلام من كانت غنية

“Jika ada orang yang berkata: mungkin itu karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat miskin? Maka kita jawab: memang kemungkinan tersebut ada, namun tidak bisa kita pastikan. Bahkan terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa para istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang-orang kaya“ (Durus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 8/5) [Versi online simak di islamport.com].

Dan perlu diperhatikan bahwa ibadah qurban ini wajib ikhlas hanya untuk meraih wajah Allah Ta’ala.

Hendaknya jauhkan perasaan ingin dilihat, ingin dikenal pernah berqurban, ingin nampak namanya atau semisalnya yang merupakan riya dan bisa menghanguskan pahala amalan.

Karena terkadang alasan orang berqurban atas nama istrinya atau anaknya karena anak dan istrinya belum pernah nampak namanya dalam list shahibul qurban. Allahul musta’an.

Oleh karena itulah dalam hadits Abu Ayyub di atas disebutkan:

ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga sebagaimana engkau lihat”

Yaitu menjadikan ibadah qurban sebagai ajang berbangga di hadapan orang banyak.

Di sisi lain, ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah mensyaratkan yang berqurban haruslah yang memberikan nafkah, barulah mencukupi untuk satu keluarga.

Dalam kitab Al Muntaqa karya Al Baji disebutkan:

والأصل في ذلك حديث أبي أيوب كنا نضحي بالشاة الواحدة يذبحها الرجل عنه وعن أهل بيته زاد ابن المواز عن مالك وولديه الفقيرين قال ابن حبيب: وله أن يدخل في أضحيته من بلغ من ولده وإن كان غنيا إذا كان في نفقته وبيته

“Landasan dari hal ini adalah hadits Abu Ayyub: ‘dahulu kami biasa berqurban dengan satu kambing yang disembelih SEORANG LELAKI untuk dirinya dan keluarganya’. Dalam riwayat Ibnu Mawaz dari Malik adal tambahan: ‘dan orang tuanya dan orang fakir yang ia santuni’. Ibnu Habib mengatakan: ‘Maka boleh meniatkan qurban untuk orang lain yang bukan keluarganya, dan ia orang yang kaya, jika memang orang lain tersebut biasa ia nafkahi dan tinggal di rumahnya’”

Sehingga dengan pendapat ini, jika yang berqurban adalah istri atau anak, maka qurban tidak mencukupi seluruh keluarga.

Walhasil, kami bertanya kepada beberapa ulama dalam masalah ini, dengan teks pertanyaan, “wahai Syaikh, terkait qurban. Diantara kebiasaan di negeri kami, seorang lelaki misalnya tahun ini berqurban, namun tahun depan dia tidak berqurban melainkan istrinya yang berqurban. Tahun depannya lagi anak pertamanya, dan terus demikian secara bergiliran. Apakah ini baik?”.

Syaikh Walid Saifun Nashr menjawab:

لا أعلم له أصلا

“Saya tidak mengetahui ada landasan dari perbuatan ini” [Kami tanyakan melalui Whatsapp Messenger]

Syaikh Dr. Aziz Farhan Al Anazi menjawab:

الأصل أن على ان أهل كل بيت أضحية والذي يتولى ذلك الوالد لانه هو المكلف بالإنفاق على زوجته واولاده

“Asalnya tuntutan untuk berqurban itu pada setiap keluarga, dan yang bertanggung-jawab untuk menunaikannya adalah suami karena dia yang wajib memberikan nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya” [Simak di status twitter].

Adapun mengenai keabsahan qurban jika yang berqurban bukan kepala keluarga namun salah seorang dari anggota keluarga, maka tetap sah jika syarat dan rukun qurban terpenuhi. Semisal jika istrinya yang berqurban atau anaknya, maka boleh dan tetap sah. Namun kurang utama, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/50577-hukum-qurban-bergilir-antara-anggota-keluarga.html

Bercerminlah! Agar Tahu Kekurangan Kita

Jika kita ingin orang lain berbuat baik pada kita, maka berbuat baiklah pada orang lain,  karena orang lain adalah cermin kita

BENAR memang kata orang, jikalau kita ingin terlihat lebih baik maka bercerminlah. Karena dengan cermin kita bisa mengetahui kotoran atau noda di wajah kita, sekecil apapun itu, bahkan pada bagian-bagian yang tak bisa dijangkau oleh pandangan mata.

Tapi sayang, tidak semua orang bisa bercermin, lebih tepatnya tidak mengetahui fungsi cermin yang sebenarnya. Apalagi cermin kehidupan kita. Rasulullah ﷺ telah bersabda

المؤمن مرآة المؤمن

“seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”

Untuk mendapatkan hasil yang sempurna, seyogyanya kita mengetahui langkah-langkah penggunaan cermin yang benar. Berikut ini beberapa poin yang berhasil pernulis rangkum dari berbagai kata-kata bijak.

Mencari kesalahan, kekurangan juga kotoran yang ada pada diri kita (instropeksi diri). Mungkin kita tidak sadar, bila ternyata baju yang kita pakai itu sobek atau bolong.

Begitupun dalam keseharian kita. Bagaimana kita bisa mengetahui kesalahan, kekurangan dan keburukan diri kita jika tanpa melalui orang lain, sabda Rasulullah ﷺ

انّ احدكم مرآة اخيه

“sesungguhnya setiap dari kalian adalah cermin bagi saudaranya.”

Terkadang kita terlena dengan hanya mencari-cari keburukan orang lain, mengumbar kesalahan orang lain, tapi kita tidak pernah melihat dan mengoreksi keburukan, kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri. Wajar saja jika pepatah mengatakan, “semut di seberang laut tampak, gajah di pelopak mata tak tampak.“

Itulah kesalahan dan kelalaian kita yang perlu di benahi. Maka dari itu, sebelum kita menilai orang lain, nilailah diri kita sendiri.

Seperti maqolah;

حاسبوا قبل ان تحاسبوا

“koreksilah diri kalian sebelum kalian dikoreksi (dihisab)”

Caranya? Bisa dengan bertanya pada orang lain apa saja kesalahan dan kekurangan kita, atau dengan meresapi kritikan atau ejekan orang lain atau bahkan teman kita sendiri. Khusnudzon sajalah.

Bila dia mengkritik, bukan berarti dia benci atau sengit. Justru itu merupakan bukti bahwa dia sebenarnya perhatian pada kita dan ingin kita merubahnya.

Itu merupakan peluang bagi kita untuk mengoreksi dan menyadari kesalahan serta kekurangan kita, walaupun kebanyakan dari kita jika dikritik malah marah-marah, termasuk saya. Astaghfirullahaládzim.

Mengetahui kesalahan yang kecil atau bahkan yang tidak bisa terjangkau oleh pandangan mata (tidak kita sadari). Sering kita merasa apa yang telah kita lakukan sudah dirasa benar tapi belum tentu menurut orang lain seperti itu, karena memang dia melihatnya dari sisi yang berbeda sehingga terkadang kita tidak menyadari kesalahan itu sendiri atau juga dalam gagasan, pendapat kita.

Sehingga Imam Syafi’i pernah berkata

 رأينا صدق يحتمل الخطاء و رأي غيرنا خطاء يحتمل الصدق

“Pendapatku benar tapi juga masih bias salah, dan dapat selainku salah, tapi juga masih bisa benar.”

Memperbaiki kesalahan dan bertaubat lebih baik. Setelah kita mengetahui kesalahan kita, tentu kita juga ingin memperbaikinya supaya tidak terulang lagi.

Seperti kata pepatah “keledai tak akan pernah jatuh ke lubang yang sama”. Dalam hal itu tentu juga kita membutuhkan orang lain.

Tujuannya, supaya kita bisa tahu cara yang benar dalam memperbaiki diri, pendek kata “menyelesaikan masalah tanpa menambah masalah”.

Dalam hal ini mungkin bisa dengan meminta nasehat, pertimbangan atau kita bicarakan dengan teman. Bahasa gaulnya curhat atau kalau menurut santri musyawarah. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ

ما خاب من استشار و لا ندم من استخار

“Tidak ada ruginya orang yang bermusyawarah, dan tidak ada sesal orang yang beristikharah.”

Meneliti ulang hasilnya (evaluasi diri). Setelah kita selesai memperbaikinya, coba kita periksa kembali, siapa tahu masih ada suatu yang tidak benar atau kurang pas.

Dalam suatu maqolah dikatakan

إذا تّم الأمر بدأ نقصه

“Ketika suatu perkara telah sempurna, baru akan nampak kekurangannya.”

Cobalah kita tanyakan lagi pada orang lain, sudah benarkah kita dalam menyikapi dan memperbaikinya? Hal ini bertujuan agar kita mencapai klimaks yang sempurna.

Menyamakan/membandingkan dengan orang lain (barometer standarisasi). Jika kita ngefans pada seorang idola, atau kita melihat orang yang baik, tentu kita ingin meniru dan mengikuti gayanya, katakanlah biar kita sama, setidaknya mirip dia.

Begitupun sebaliknya, bila kita melihat seseorang itu jelek, tentu kita tidak ingin seperti  dia. Itu manusiawi memang.

Terkadang kita juga perlu menempatkan seseorang sebagai barometer standaritas diri kita. Mau kita jadikan seperti apa diri kita tak lepas dengan memandang orang lain sebagai tolak ukurnya. Siapa orangnya, itu terserah Anda.

المرء مع من احبّه

“Seseorang itu akan bersama dengan orang yang ia sukai kelak di hari kiamat.”

Dan seperti apa dia, ya itulah perwujudan kita setelah menirukannya. Jika kita melihat kesempurnaan pada diri orang lain maka jangan hanya kita melihat hasilnya, karena bisa saja itu akan menjadi bayangan semu bagi kita, fatamorgana dan kamuflase belaka.

Tapi cobalah kita menilik prosesnya, bagaimana dia bisa mencapai kesempurnaan itu, supaya kita bisa menemukan dan melihat bayangan yang benar-benar nyata.

Atau juga ketika kita tidak ingin menemukan bayangan dalam cermin terlihat buruk maka janganlah memperburuk diri kita. Dalam arti, jika kita tidak ingin orang lain menyakiti atau menghina kita, maka jangan sampai pernah kita menyakiti atau menghina orang lain, pun juga kita ingin dia berbuat baik pada kita maka berbuat baiklah padanya. Karena orang lain adalah cermin nyata bagi kita.

“Apabila baik (amal kita) maka baik pula (balasannya) dan bila buruk (amal kita) maka buruk pula (balasannya).”

Semoga Anda bisa bercermin dan sayapun juga. Amin.*

HIDAYATULLAH

Bahaya Politisasi Agama bagi Indonesia

Pada era globalisasi yang semakin maju ini, politisasi agama telah menjadi salah satu isu yang sangat kontroversial dan berbahaya di berbagai belahan dunia. Politisasi agama merujuk pada upaya pemanfaatan dan penyalahgunaan agama oleh aktor politik untuk kepentingan politik mereka sendiri. Berikut ini bahaya politisasi agama bagi Indonesia.

Fenomena ini mengancam keragaman, kestabilan, dan keharmonisan sosial dalam masyarakat yang beragam keyakinan dan kepercayaan. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bahaya politisasi agama dalam konteks sosial dan politik serta implikasinya yang serius.

Salah satu bahaya terbesar dari politisasi agama adalah terjadinya polarisasi masyarakat. Ketika agama digunakan sebagai alat politik, perbedaan keyakinan yang seharusnya menjadi sumber kekayaan budaya dan pemahaman saling menguntungkan, justru berubah menjadi pemicu konflik dan perpecahan.

Politisasi agama sering kali memperkuat garis pemisah antara kelompok agama yang berbeda, menimbulkan sentimen anti-agama, dan menciptakan suasana sosial yang penuh ketegangan. Hal ini mengakibatkan terjadinya polarisasi sosial yang memperburuk hubungan antar kelompok, mengancam toleransi, dan menghancurkan ikatan sosial yang selama ini dibangun.

Selain itu, politisasi agama juga dapat mengganggu proses demokrasi yang sehat. Ketika agama digunakan sebagai alat politik, maka keputusan politik dan kebijakan publik sering kali tidak didasarkan pada pertimbangan rasional atau kepentingan umum, melainkan dipengaruhi oleh pertimbangan agama yang sempit. Hal ini mengarah pada diskriminasi terhadap kelompok minoritas, pelanggaran hak asasi manusia, dan pembatasan kebebasan beragama.

Politisasi agama juga sering mengabaikan pemisahan antara agama dan negara yang merupakan prinsip dasar dalam sistem demokrasi sekuler. Ketika agama dijadikan instrumen politik, integritas lembaga-lembaga negara dapat terkikis dan korupsi politik semakin merajalela.

Lebih lanjut, politisasi agama dapat memberikan ruang bagi kelompok-kelompok ekstremis untuk meraih kekuasaan dan menyebarkan ideologi radikal. Dalam situasi politik yang terpecah belah, kelompok-kelompok ekstremis seringkali memanfaatkan situasi tersebut untuk memperkuat pengaruh mereka dan mempromosikan agenda mereka yang intoleran dan kekerasan.

Politisasi agama menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan gerakan-gerakan radikal yang memicu terorisme dan kekerasan agama. Hal ini mengancam keamanan nasional dan membahayakan keselamatan masyarakat secara keseluruhan.

Selain bahaya-bahaya tersebut, politisasi agama juga dapat merusak tatanan sosial dan ekonomi suatu negara. Ketika agama digunakan sebagai sarana politik, fokus pembangunan dan perbaikan masalah sosial-ekonomi sering kali terabaikan.

Sumber daya dan energi yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat, justru teralihkan untuk kepentingan politik yang sempit. Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan ketidakadilan sosial yang lebih besar.

Langkah untuk Mengantisipasi Politisasi Agama

Untuk menghadapi bahaya politisasi agama, langkah-langkah perlu diambil secara kolektif oleh pemerintah, lembaga keagamaan, masyarakat sipil, dan individu. Pertama, penting untuk memperkuat prinsip pemisahan agama dan negara dalam konstitusi dan kebijakan publik.

Pemerintah harus menjaga kemandirian lembaga-lembaga agama dari campur tangan politik, sementara lembaga keagamaan harus menghindari jatuh ke dalam perangkap politik yang dapat merusak otoritas moral mereka.

Kedua, pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada nilai-nilai universal harus ditekankan. Masyarakat harus diajarkan tentang pentingnya toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan penolakan terhadap diskriminasi berbasis agama.

Pendidikan agama harus mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang esensi agama sebagai sumber kedamaian dan kerukunan, bukan sebagai alat politik. [Baca juga: Fenomena Gairah Beragama].

Terakhir, dialog antar agama dan dialog antarkelompok harus ditingkatkan. Melalui dialog yang konstruktif, kelompok-kelompok agama dan politik dapat mencari kesamaan dan membangun pemahaman saling menguntungkan.

Kerjasama antara pemerintah, lembaga keagamaan, dan masyarakat sipil dapat membantu mengatasi kesalahpahaman, mempromosikan perdamaian, dan memperkuat keragaman.

Politik dan agama adalah dua domain yang berbeda dengan peran dan tujuan yang berbeda pula. Politisasi agama membahayakan keragaman, kestabilan, dan keharmonisan sosial.

Untuk membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan damai, kita perlu menghindari politisasi agama dan memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan beragama, dan pemisahan antara agama dan negara.

Dengan begitu, kita dapat melangkah menuju masa depan yang lebih baik, di mana agama dihormati sebagai sumber inspirasi pribadi tanpa terjebak dalam politik yang merusak.

Demikian penjelasan bahaya politisasi agama bagi Indonesia. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Meski Hujan, Jamaah Haji Semangat Dirikan Sholat Arbain

Jamaah haji ingin mendirikan sholat jamaah selama 40 kali di Masjid Nabawi.

Madinah diguyur hujan deras disertai petir dan angin kencang sekitar pukul 17.55 Waktu Arab Saudi atau bertepatan dengan masuknya waktu salat magrib.

Kondisi tersebut tidak menghalangi antusiasme jamaah berbondong-bondong datang ke Masjid termasuk calon haji dari Indonesia untuk melaksanakan ibadah Arbain.

Seperti yang dilakukan pasangan suami istri lanjut usia (lansia) Wartono dan Ismoyowati, calon haji dari Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang salat Magrib dan Isya di Masjid Nabawi meskipun istrinya menggunakan kursi roda.

Hal sama juga dilakukan Zainuddin dan Surinah, jamaah haji kloter l asal Kabupaten Lingga Kepri memutuskan untuk tetap melaksanakan ibadah Arbain meski turun hujan.

“Saya sudah melaksanakan ibadah Arbain sejak Subuh kemarin. Sudah target sampai selesai, dapat 40 waktu,” ujar Zainuddin, Kamis (25/5).

Jamaah calon haji kloter pertama yang tiba di Bandara Amir Muhammad Bin Abdul Aziz (AMAA) Madina pada Rabu 24 Mei 2023 ini baru bisa melaksanakan ibadah haji pada tahun ini karena pada 2020 terhalang pandemi. Begitu juga pada 2022, Zainuddin tidak bisa berangkat haji karena istrinya harus menjalani operasi.

“Alhamdulillah tahun ini bisa berangkat haji,” katanya.

Hal yang sama juga disampaikan Sita (46) jamaah haji kloter l ini mengaku tetap melaksanakan ibadah arbain meski turun hujan.

“Mumpung masih di sini, jangan melewatkan Arbain,” katanya.

Selain Masjid Nabawi, hujan juga mengguyur Bandara Internasional Pangeran Amir Mohammad Bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah. Ini merupakan kali kedua hujan mengguyur kawasan tersebut.

Hujan deras disertai angin kencang tersebut terjadi sekitar pukul 17.15 WAS. Landasan dan pesawat yang biasanya terlihat juga tertutup tingginya curah hujan. Tidak hanya itu, angin kencang juga menerbangkan benda benda seperti plastik yang ada di area bandara

Sebelumnya, hujan disertai angin kencang juga melanda bandara tersebut pada pukul 19.30 WAS ketika jamaah haji asal embarkasi Jakarta Bekasi (JKS) dan jemaah dari Pakistan baru keluar dari ruang pemeriksaan Imigrasi. Jamaah calon haji Indonesia yang baru di bandara langsung mengucap syukur.

sumber : Antara

Pahala bagi Orang Tua yang Mengajak Anak Pergi Haji dan Umroh

Orang tua yang mengajak anak pergi haji umroh mendapat pahala yang sama dari anaknya.

Menunaikan ibadah haji merupakan salah satu perintah agama Islam bagi pemeluknya yang mampu, diwajibkan sekali dalam seumur hidup. Orang tua juga perlu menanamkan kecintaan berhaji ke Baitullah pada anaknya.

“Jika memang mampu dan memungkinkan, ajaklah anak-anak menunaikan ibadah haji dan umroh. Sebab, pemandangan Ka’bah, Masjidil Haram, Shafa, Marwa dan semua syiar yang ada di tanah suci akan membekas dalam hati mereka,” kataPengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi’i Jember, Ustaz Abdullah Zaen Lc.,MA, melalui pesan Telegram.

“Demikian pula dengan kalimat talbiyah, doa orang yang berthawaf, sholatnya orang-orang yang bertaubat, lantunan dzikir tahlil dan yang lainnya di padang Arafah, serta permintaan orang-orang yang berhajat akan mempengaruhi jiwa anak, dengan izin Allah ta’ala. Lebih dari itu kita juga akan mendapat pahala dari haji mereka,” lanjut Ustadz Abdullah.

Dikisahkan bahwa di musim haji ada seorang ibu mengangkat anaknya seraya berkata kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam,

“أَلِهَذَا حَجٌّ؟” قَالَ: “نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ”.

“Apakah anak ini mendapat pahala haji?” Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjawab, ”Ya, dan engkau juga mendapat pahala”. HR. Muslim dari Ibn Abbas radhiyallahu’anhuma.

“Ini bagi mereka yang mampu. Adapun untuk mereka yang kurang mampu, maka bisa mengenalkan anak tentang ibadah haji ini dengan berbagai sarana yang ada. Bisa menggunakan buku bergambar atau video atau yang lainnya,” ujar Ustadz Abdullah.

“Tanamkan dalam jiwa anak kecintaan terhadap ibadah haji dan tanah suci Mekah. Bisa diawali dengan cara mengajarkan pada mereka saat shalat, bahwa mereka menghadap ke arah Ka’bah yang ada di Makkah. Jika ada rezeki lebih ajarkan mereka untuk menabung untuk menunaikan ibadah haji, sekalipun nominal uang yang dimilikinya kecil,” lanjut Ustadz Abdullah.

Ustadz Abdullah menjelaskan, hajinya anak kecil dianggap sah, sebagaimana disebutkan di atas. Hanya saja dia tidak dianggap telah menunaikan haji fardhu. Sehingga bila sudah baligh dan mampu, maka dia wajib menunaikan haji lagi. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari mazhab yang empat. Bahkan ada yang mengatakan sudah ijma’.

Hukum tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam,

“أيُّمَا صَبِيِّ حَجَّ ثُمَّ بَلَغَ فَعَلَيْهِ حَجَّةً أُخْرَى”

“Siapa saja anak kecil yang melakukan haji, kemudian dia baligh, maka wajib baginya untuk menunaikan haji lagi”. HR. Ibn Abi Syaibah dari Ibn ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, dan dinilai sahih oleh Ibn Hajar.

“Jadi, umroh dan haji yang dilakukan anak yang belum baligh, dianggap ibadah sunah. Tidak dinilai sebagai haji atau umroh wajib baginya. Wallahu ta’ala a’lam,” kata Ustadz Abdullah.

IHRAM

Cerita Jamaah Haji 119 Tahun Akhirnya Sampai ke Tanah Suci

Jamaah haji Harun berharap sampai ke tanah tempat para nabi mendakwahkan tauhid.

Seorang kakek berjalan setapak demi setapak menuju pintu keluar Gedung F1 Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Sambil tertatih, tangannya dipegang Musdi, keponakan sang kakek.

Namanya Harun bin Senar. Kelahiran 1 Juli 1904 , atau kini usianya mencapai 119 tahun. Asalnya dari Dusun Karang Duak, Desa Pangbatok, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan, Madura. Harun adalah jamaah haji tertua di Indonesia untuk musim haji tahun ini.

Harun tercatat sebagai jamaah haji yang berangkat dari Embarkasi Surabaya. Dia masuk pada Kelompok Terbang (Kloter) 6. masuk ke asrama haji pada Rabu (25/5), dan terbang ke Tanah Suci pada Kamis (26/5).

Di sekitaran gedung tempatnya transit sehari di asrama haji, Harun mengenakan batik haji Indonesia warna hijau kombinasi ungu lengan panjang, berkopiah hitam kombinasi oranye dan bersarung coklat tua kombinasi garis coklat muda.

Saat diajak berbincang, Harun lebih banyak tertunduk. Karena faktor usia, pendengarannya sedikit terganggu. Komunikasinya juga hanya bisa menggunakan Bahasa Madura.

“Kakek Harun tidak bisa Bahasa Indonesia. Ngomongnya juga agak sedikit keras agar beliau dengar,” ujar Musdi, yang Bahasa Indonesianya tidak terlalu lancar.

Dia bercerita keseharian Harun di rumah. Kadang ia berjualan ayam di pasar. Saat masih belum seusia sekarang, ia ke pasar menggunakan sepeda kayuh, namun kini berjalan kaki.

Kepalanya terus tertunduk ketika berbicara, hanya sesekali menghadap lawan bicaranya, tapi tidak lama tertunduk lagi. Di jari tengah tangan kanannya melingkar tasbih digital berwarna putih kombinasi hitam.

Harun menjadi salah seorang anggota jamaah yang bisa disebut beruntung. Pada 2017, ia memutuskan untuk mendaftar haji ke salah satu KBIH dekat desanya, dan mendapat jatah berangkat ke Tanah Suci pada 2046.

Namun, kebijakan Pemerintah yang memprioritaskan jamaah berusia lanjut untuk berangkat tahun ini, membuat namanya masuk menjadi calon haji. “Hanya” menunggu enam tahun, namanya tercatat masuk kuota salah satu jamaah haji.

Setelah mendapat kabar dan diminta melunasi kekurangan biaya haji, tanpa pikir panjang Harun yang sudah lama ingin mengajak keponakannya berhaji segera membayarnya.

Dua sapi betina miliknya dijual. Hasilnya dibayarkan lunas untuk biaya beribadah ke Tanah Suci. Nama Harun dan Musdi pun lolos.

Bahkan, dari data medis tim kesehatan, semua hasilnya terkonfirmasi bahwa Harun dalam keadaan baik dan tak ada rekomendasi obat-obatan khusus yang harus dibawa, kecuali vitamin C beserta rekomendasi beristirahat yang cukup.

Dari sisi makanan, Harun juga tidak merepotkan, yang terpenting ada sayur dan kuah. Untuk minum ia selalu minta air putih hangat, khususnya air putih hasil dimasak.

Ketika ditanya kisah perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, Harun langsung menegakkan kepala. Memorinya seolah teringat dan semangat bercerita saat ia masih duduk di bangku sekolah.

Ia, bahkan masih bisa menyanyikan lagu “Nippon” dengan jelas. Nada dan liriknya juga masih dilantunkannya dengan semangat. Terlebih ia mengaku saat sekolah kerap mendapat pelajaran Bahasa Jepang, bukan Bahasa Melayu.

Dari Madura ke Madinah

Pergi ke Mekkah dan Madinah adalah impiannya sejak lama. Harun bercerita sangat ingin menunaikan ibadah rukun Islam yang kelima dengan keluarga, namun takdir berbicara lain. 

Dari enam kali pernikahannya, semua istrinya sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Baru pada beberapa tahun terakhir ini, Allah SWT mengizinkannya untuk berkunjung ke Baitullah, tapi seorang diri, hanya didampingi sang keponakan.

 “Saya menikahnya setelah istri meninggal dunia, enam kali. Anak-anak sudah keluarga semua, cucu, cicit juga. Ada yang sudah meninggal, ada yang masih ada,” tuturnya.

Harun adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Kakak dan adiknya, semua juga sudah wafat.

Di hadapan Ka’bah, ia ingin berdoa memohon kepada Allah SWT untuk selalu diberi keberkahan. Lalu, tak lupa akan mendoakan seluruh keluarga, kerabat, masyarakat Pamakesan, Jawa Timur, dan Bangsa Indonesia pada umumnya.

Ia juga mendoakan agar seluruh masyarakat Tanah Air selalu sehat, diberi umur panjang dan dilancarkan rezekinya.

Keberadaan Harun dalam rombongan jamaah haji tahun ini didengar oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Tanpa pikir panjang, orang nomor satu di Pemprov Jatim itu bergegas ke Asrama Haji Sukolilo.

Ketika Harun bertemu Khofifah

Meski hanya bertemu kurang dari sejam, Khofifah kaget bercampur kagum karena Harun masih bisa membaca Alquran.

Saat itu, Harun didampingi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur Husnul Maram beserta sejumlah Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Surabaya lainnya.

Bertempat di Posko Bidang Lansia, Gedung Ar Roudho, Harun disambut Khofifah dan mengajaknya berbincang. Husnul Maram mendadak menjadi penerjemah bahasa saat keduanya berbincang.

“Ternyata, Mbah Harun ini rutin membaca Alquran dan tanpa kaca mata. Karena memang waktu beliau banyak, sehingga setiap saat bisa membaca Alquran. Kemudian beliau juga istikamah melakukan shalat malam,” ucap Khofifah.

Ketua Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama itu menyampaikan bahwa shalat malam dapat mengingatkan bahwa masing-masing manusia sebetulnya punya hajat, sehingga kemudian dimunajatkan di saat ibadah malam, maka insya Allah hajat itu diijabah oleh Allah SWT.

Saat itu terungkap bahwa Harun tidak berkenan disiapkan kursi roda. Karena itu, bagi Khofifah, tekad dan semangatnya itu luar biasa. Khofifah berdoa semoga Harun beserta seluruh jamaah calon haji Indonesia, terutama asal Jatim, diberikan kesehatan, kelancaran dan menjadi haji yang mabrur.

Orang nomor satu di Pemprov Jatim tersebut secara khusus meminta Harun untuk mendoakan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jatim, di Tanah Suci nanti agar bahagia selalu, aman, nyaman, dan berkah.

Perhatian ke jamaah lansia

Pemerintah Provinsi Jatim melakukan berbagai upaya komprehensif untuk memberikan pelayanan maksimal bagi para jamaah calon haji, terutama yang berusia lanjut (lansia).

Bahkan, saat memimpin Apel Kesiapan Petugas Haji Indonesia Embarkasi Surabaya-Jawa Timur Tahun 2023 di Halaman Gedung Negara Grahadi Surabaya beberapa waktu lalu, Khofifah secara khusus menekankan pentingnya perhatian yang ekstra bagi jamaah lansia.

Pemprov Jatim berkomitmen untuk selalu berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag maupun dengan para petugas haji, termasuk dengan Kadinkes Jatim serta Dirut RSU Haji yang lokasinya berada persis di sebelah Asrama Haji Sukolilo. 

Petugas haji jangan sampai lengah dalam mengawal kesehatan para jamaah calon haji, terutama berusia lanjut, sehingga mobilitasnya juga bisa cepat dilakukan bila dibutuhkan.

IHRAM