Empat Tanda Tobat

Rasulullah ﷺ yang jelas ma’shuum (terpelihara dari segala dosa), biasa meminta ampunan/ istighfar tak kurang dari 100 kali sehari  

TOBAT dari segala dosa itu wajib bagi setiap manusia. Sebabnya, setiap manusia senantiasa berbuat dosa yang bisa dilakukan setiap hari atau setiap waktu.

Rasulullah ﷺ bersabda;

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap manusia pasti berbuat dosa. Sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang gemar bertobat.” (kepada Allah) (HR Ibnu Majah).

Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri, yang jelas-jelas ma’shuum (terpelihara dari segala dosa), biasa meminta ampunan/ istighfar tak kurang dari 100 kali sehari (HR Muslim).

Tobat yang Allah perintahkan tentu adalah tobat yang sebenar-benarnya (tawbat[an] nasuuha) (QS at-Tahrim [66]: 8). Selain banyak beristighfar (memohon ampunan) kepada Allah, tobat yang sebenar-benarnya tentu memiliki sejumlah tanda.

Menurut Syaqiq al-Balkhi rahimahulLaah:

علامة التوبة البكاء على ما سلف، والخوف من الوقوع في الذنب، وهجران إخوان السوء، وملازمة الأخيار

Tanda tobat (yang sebenar-benarnya) itu adalah: menangisi (menyesali) dosa-dosa masa lalu; takut terjerumus  kembali ke dalam dosa; menjauhi teman-teman yang buruk; dan selalu bergaul dengan orang-orang pilihan (baik/shalih). (Adz-Dzahabi, Siyar A’laam an-Nubalaa’, 9/315).

Semoga kita senantiasa bisa benar-benar bertobat kepada Allah SWT. Tobat  setiap saat. Tobat dari segala dosa dan maksiat. Semoga dengan itu Allah mengampuni semua dosa-dosa kita hingga kita selamat, di dunia dan akhirat. Aamiin.*/Arief B. Iskandar, khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

HIDAYATULLAH

Mari Memperbanyak Tobat

Bismillah.

Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله تعالى يَبْسُطُ يدَه بالليلِ ليتوبَ مسيءُ النَّهارِ، ويَبْسُطُ يدَه بالنَّهارِ ليتوبَ مسيءُ الليلِ، حتى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam, agar orang yang berbuat dosa di siang hari segera bertobat. Dan Allah bentangkan tangan-Nya di waktu siang, agar orang yang berbuat dosa di waktu malam hari segera bertobat. Sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Muslim)

Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

للَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ، سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ، وَقَدْ أَضَلَّهُ فِي أَرْضِ فَلاَةٍ

Sungguh, Allah sangat-sangat bergembira terhadap tobat salah seorang di antara kalian jauh melebihi kegembiraan salah seorang dari kalian di saat ia berhasil menemukan kembali ontanya yang telah menghilang.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع

Cukuplah dianggap berdosa jika seseorang senantiasa menceritakan segala sesuatu yang didengarnya.” (lihat Az-Zuhd Li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 45)

Pada suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu berwasiat kepada putranya, Abdurrahman. Beliau berkata, “Wahai putraku, aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah. Kendalikanlah lisanmu. Tangisilah dosa-dosamu. Hendaknya rumahmu cukup terasa luas bagimu.” (lihat Az-Zuhd Li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 30)

Sebagian tabi’in mengatakan, “Barangsiapa yang banyak dosanya, hendaklah dia suka memberikan minum. Apabila dosa-dosa orang yang memberikan minum kepada seekor anjing bisa terampuni, maka bagaimana menurut kalian mengenai orang yang memberikan minum kepada seorang beriman lagi bertauhid sehingga hal itu membuatnya tetap bertahan hidup!” (lihat Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 1: 500)

Waki’ rahimahullah berpesan, “Mintalah pertolongan (kepada Allah) untuk menguatkan hafalan dengan mempersedikit dosa.” (lihat Muqaddimah Az-Zuhd, hal. 91)

Masruq rahimahullah berkata, “Semestinya seorang memiliki kesempatan-kesempatan khusus untuk menyendiri, lalu mengingat-ingat dosanya dan memohon ampunan kepada Allah atasnya.” (lihat Min A’lam As-Salaf, 1: 23)

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Seandainya dosa itu memiliki bau (tidak sedap), maka niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku.” (lihat Muhasabat An-Nafs Wa Al-Izra’ ‘Alaiha, hal. 82)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah serta senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87)

Seorang lelaki berkata kepada Hatim Al-Asham rahimahullah, “Berikanlah nasihat kepadaku.” Maka, beliau berkata, “Jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Tuhanmu, maka lakukanlah hal itu di tempat yang tidak dilihat-Nya.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i Li Hilyat Al-Auliya’, hal. 362)

Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Janganlah kamu melihat kecilnya kesalahan! Akan tetapi, lihatlah kepada siapa kamu berbuat durhaka!” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i Li Hilyat Al-Auliya’, hal. 362)

Bakr bin Abdullah Al-Muzani rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang melakukan dosa sambil tertawa-tawa, maka dia akan masuk neraka sambil menangis.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i Li Hilyat Al-Auliya’, hal. 362)

Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini menunjukkan kepada kalian tentang penyakit dan obat bagi kalian. Adapun penyakit kalian adalah dosa-dosa, sedangkan obatnya adalah istigfar.” (lihat Tazkiyat An-Nufus, hal. 52)

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang terjerumus dalam kemaksiatan, baik berupa melakukan perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban, maka itu terjadi dikarenakan rendahnya kecintaan kepada Allah sehingga membuatnya lebih mendahulukan hawa nafsunya.” (lihat Fath Al-Bari, 1: 78)

‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu berkata di dalam khotbahnya di hadapan penduduk Mesir, “Sungguh betapa jauhnya jalan dan gaya hidup kalian dengan jalan dan gaya hidup Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun beliau, maka beliau adalah orang yang paling zuhud dalam urusan dunia, sedangkan kalian adalah orang-orang yang paling gandrung kepadanya.” (lihat Fawa’id Abi Muhammad Al-Fakihi, hal. 127)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85791-mari-memperbanyak-taubat.html

Cara Tobat Nasuha

Manusia adalah makhluk yang seringkali berbuat dosa. Namun, ada yang segera memperbaikinya dan ada yang tenggelam dalam kubangan kehinaan. Sebagai seorang mukmin sudah selayaknya kita menjaga perasaan takut kepada Allah dan yakin bahwa Allah ‘Azza Wajalla Maha Mengampuni dosa hamba-hamba-Nya, kemudian bertobat atas segala dosa.

Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Dengan banyaknya kezaliman manusia kepada diri mereka sendiri berupa perbuatan maksiat, Allah membuka selebar-lebarnya pintu rahmat-Nya, yakni pengampunan bagi mereka yang bertobat dengan sungguh-sungguh kepada-Nya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 135)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda, Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

يا ابنَ آدمَ إنك لو أتيتَني بقُرابِ الأرضِ خطايا, ثم لَقِيتَني لا تشركُ بي شيئًا, لأتيتُك بقُرابها مغفرةً 

Wahai anak Adam, seandainya engkau mendatangiku dengan kesalahan seluas bumi dalam keadaan tidak berbuat kesyirikan, Aku (Allah) akan membalasmu dengan seluas bumi ampunan.” (HR. At-Tirmidzi)

Daftar Isi

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85177-cara-tobat-nasuha.html

Masihkah Terbuka Pintu Tobat?

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar. Selawat dan salam semoga tercurah kepada sang pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, Nabi akhir zaman pembawa rahmat bagi segenap alam. Amma ba’du.

Tobat adalah nikmat yang sangat besar bagi seorang hamba. Karena dengan bertobat kepada Allah, maka seorang hamba kembali kepada jalan ketaatan dan amal saleh setelah sebelumnya dia terjerumus dan terseret dalam arus dosa dan kemaksiatan. Maka, menjadi harapan setiap muslim untuk terus bertobat dalam setiap hari yang dia lalui karena dia menyadari bahwa dirinya penuh dengan dosa dan kekurangan dalam mengabdi kepada Ar-Rahman.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima tobat pelaku dosa di siang hari dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima tobat pelaku dosa di malam hari, sampai matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Muslim)

Kesempatan untuk bertobat masih terus terbuka selama nyawa belum berada di tenggorokan. Tidakkah kita mengingat kisah seorang pembunuh 100 nyawa yang masih diberi kesempatan bertobat dan Allah pun menerima tobatnya. Tidakkah kita ingat kisah tobatnya Ka’ab bin Malik dan teman-temannya radhiyallahu ’anhum yang diabadikan di dalam Al-Qur’an, sebagai pelajaran, peringatan, dan nasihat bagi setiap insan beriman.

Bertobat dari keteledoran

Nikmat yang Allah berikan kepada kita tiada terhingga, tetapi seringkali kita tidak menunaikan syukur atasnya dengan baik. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hakikat syukur adalah mengakui limpahan nikmat (dari Allah) dan berusaha menunaikan pengabdian (kepada-Nya). Barangsiapa yang perkara ini semakin banyak muncul dari dirinya, maka dia disebut sebagai syakuur (orang yang pandai bersyukur). Dari sanalah, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan, “Betapa sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (lihat Fath Al-Bari, tahqiq Syaibatul Hamdi, 3: 20)

Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hak-hak Allah itu terlalu agung sehingga para hamba tidak akan bisa menunaikan hak-hak Allah secara sepenuhnya. Sebab, nikmat-nikmat dari-Nya amat besar sehingga terlalu banyak untuk bisa dihingga (dihitung). Meskipun demikian, mereka selalu berusaha untuk menjadi orang-orang yang patuh di pagi hari dan menjadi orang-orang yang selalu bertobat di sore hari.” (lihat Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Ibnu Baththal, 3: 122)

Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Sungguh apabila aku mendapatkan kesehatan dan kelapangan kemudian aku menunaikan syukur, itu jauh lebih aku sukai daripada aku tertimpa cobaan (musibah) sehingga aku harus bersabar menghadapinya.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 441)

Abu Abdillah Ar-Razi rahimahullah berkata, “Sufyan bin ‘Uyainah berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya di antara bentuk syukur atas nikmat-nikmat Allah adalah dengan engkau memuji-Nya atas hal itu dan engkau gunakan nikmat-nikmat itu di atas ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu, bukanlah orang yang bersyukur kepada Allah orang yang menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya justru untuk melakukan maksiat (kedurhakaan) kepada-Nya.’” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 441)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Orang yang bersyukur itu adalah orang yang mengetahui (menyadari) bahwa nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala. Allah memberikan nikmat itu kepadanya untuk melihat bagaimana dia bersyukur, bagaimana dirinya bersabar?” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang memandang tidak ada kenikmatan dari Allah kepada dirinya selain hanya dalam urusan makanan dan minumannya, sungguh telah sedikit fikih/ilmunya dan telah datang azab pada dirinya.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 885)

Wajibnya bersabar dan bersyukur

Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak semakin menambah kedekatan kepada Allah ‘Azza  Wa Jalla, maka pada hakikatnya hal itu adalah bencana.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 888)

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ’anhu berkata, “Kami diuji dengan kesulitan, maka kami pun bisa bersabar. Akan tetapi, tatkala kami diuji dengan kesenangan, maka kami pun tidak bisa bersabar.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 163)

Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah, itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164)

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah menjadi fakih (ahli ilmu) barangsiapa yang tidak bisa menganggap bahwa musibah (duniawi) adalah nikmat (agama) dan kelapangan (dunia) adalah musibah.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 165)

Bisyr bin Al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui seorang pun, kecuali dia pasti tertimpa cobaan. Seorang yang Allah berikan kelapangan pada rezekinya, maka Allah ingin melihat bagaimana dia menunaikan syukur atas hal itu. Dan seorang yang Allah ‘Azza Wajalla cabut sebagian dari rezekinya, ketika itu Allah ingin melihat bagaimanakah dia bisa bersabar.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 172)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan bahwa makna ayat di atas adalah, “Sesungguhnya Aku menciptakan mereka tidak lain untuk Aku perintahkan mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena kebutuhan-Ku kepada mereka.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim [7: 425])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bahkan, ibadah kepada Allah, ma’rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya, itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya…” (lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir [5: 97])

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Dia (Allah) tidaklah membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kafir, maka kerajaan Allah tidak akan berkurang. Bahkan, kamulah yang membutuhkan diri-Nya. Kamu yang memerlukan ibadah itu. Salah satu bentuk kasih sayang Allah adalah memerintahkanmu beribadah kepada-Nya demi kemaslahatan dirimu. Jika kamu beribadah kepada-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Ibadah menjadi sebab Allah memuliakan kedudukanmu di dunia dan di akhirat. Jadi, siapakah yang memetik manfaat dari ibadah? Yang memetik manfaat dari ibadah adalah hamba. Adapun Allah Jalla Wa ‘Ala, Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 15-16)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85070-masihkah-terbuka-pintu-tobat.html

Tata Cara Salat Tobat

Setiap manusia berpotensi melakukan dosa baik kecil maupun besar. Akan tetapi, Allah ‘Azza Wajalla menunjukkan rahmat-Nya kepada kita semua, yaitu dengan membuka pintu tobat selebar-lebarnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

إنَّ اللَّهَ كَتَبَ كِتابًا قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الخَلْقَ: إنَّ رَحْمَتي سَبَقَتْ غَضَبِي، فَهو مَكْتُوبٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ

Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla menetapkan satu ketetapan sebelum menciptakan makhluk yang berisi: sesungguhnya rahmat-Ku jauh melampaui kemurkaan-Ku. Dan itu tercatat di sisi-Nya di atas ‘arsy.” (HR. Bukhari no. 7554)

Termasuk dengan disyariatkannya salat tobat bagi mereka yang mengerjakan perbuatan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ : “وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Tidaklah seorang hamba melakukan dosa, kemudian bersuci dan salat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah pasti akan mengampuni dosanya. Kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama membaca ayat,

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(nya).” (QS Ali Imran: 135).” (HR. Abu Dawud no. 1521)

Dalam hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ، غَفَرَ لَهُ

Barangsiapa berwudu dengan baik kemudian mengerjakan salat dua rakaat atau empat rakaat (perawi hadis ragu terhadap redaksi – komentar ini bukan bagian lafaz hadis) dengan memperbagus zikir dan khusyu, kemudian meminta ampunan kepada Allah, maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Ahmad no. 26998)

Dan cara-cara mengerjakannya adalah sebagai berikut:

Pertama: Dikerjakan dalam rangka bertobat setelah melakukan perbuatan dosa.

Kedua: Salat tobat dikerjakan sebanyak dua rakaat sebagaimana salat sunah yang lain.

Ketiga: Disunahkan untuk dikerjakan secara sendirian, bukan berjemaah.

Keempat: Disunahkan beristigfar setelahnya dengan lafaz-lafaz istigfar yang datang dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama atau dengan kalimat yang mudah baginya untuk diucapkan.

Kelima: Dianjurkan bagi siapapun yang bertobat dari dosa untuk memperbanyak amalan kebaikan setelahnya.

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita agar senantiasa dan bersegera untuk bertobat kepada-Nya. Aamin

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82389-tata-cara-salat-taubat.html

Menempuh Jalan Tobat

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Seorang yang berakal semestinya senantiasa merasa takut akibat dosa-dosa yang telah diperbuatnya, meskipun dia sudah bertobat darinya dan menangisinya. Aku lihat kebanyakan manusia sudah merasa tenang dan yakin bahwa tobatnya pasti diterima.

Seolah-olah mereka itu bisa memastikannya seratus persen. Padahal, hal itu hakikatnya adalah perkara gaib. Kemudian, seandainya dosanya itu memang sudah diampuni, maka perasaan malas untuk terus melakukannya (tobat) akan meliputinya. Hendaklah benar-benar waspada dari faktor-faktor yang menimbulkan kemalasan ini.

Perkara ini sedikit sekali diperhatikan oleh orang yang bertaubat dan orang yang berusaha untuk bersikap zuhud. Hal itu dikarenakan dia telah menganggap bahwasanya dosa-dosanya sudah pasti dimaafkan dengan tobat yang dianggapnya sudah tulus. Oleh sebab itu, apa yang saya sebutkan ini seharusnya mengingatkan untuk tetap bersikap waspada dari terjerumus dalam kemalasan itu.” (Shaidul Khaathir)

Permulaan dan puncak tobat

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya tobat itu ada permulaan dan ada titik puncaknya. Adapun permulaannya adalah bertobat dari dosa-dosa besar, kemudian dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perkara-perkara makruh, kemudian dari perkara-perkara yang kurang utama, kemudian dari sikap merasa sudah banyak berbuat baik.

Kemudian dari pandangan bahwa dirinya sudah tulus dalam bertobat, kemudian dari segala bersitan hati yang muncul demi meraih selain keridaan Allah Ta’ala. Adapun titik puncaknya adalah bertobat setiap kali terlena dari menyaksikan kebesaran Tuhannya yang Mahatinggi serta supaya tidak terlena dari mendekatkan diri kepada-Nya walaupun barang sekejap.”

Dari apakah kita bertobat?

Saudaraku yang kusayangi! Ketahuilah, sesungguhnya dosa-dosa yang harus ditobati terbagi menjadi dua: dosa kecil dan dosa besar. Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’ sudah menunjukkan adanya pembagian ini. Allah Ta’ala berfirman,

إِن تَجۡتَنِبُوا۟ كَبَاۤىِٕرَ مَا تُنۡهَوۡنَ عَنۡهُ نُكَفِّرۡ عَنكُمۡ سَیِّـَٔاتِكُمۡ 

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang bagi kalian, niscaya Kami akan menghapuskan dosa-dosa kecil kalian.” (QS. An-Nisa’: 31)

Allah Yang Maha suci juga berfirman,

ٱلَّذِینَ یَجۡتَنِبُونَ كَبَـٰۤىِٕرَ ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡفَوَ ٰ⁠حِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَۚ 

Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar serta perbuatan-perbuatan keji, kecuali al-lamam.” (QS. An-Najm: 32)

Sedangkan yang dimaksud ‘al-lamam’ adalah dosa-dosa yang tingkatannya berada di bawah tingkatan dosa besar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Salat lima waktu, salat Jumat yang satu hingga salat Jumat yang berikutnya, puasa Ramadan yang satu hingga puasa Ramadan yang berikutnya adalah menjadi penghapus bagi dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)

Pembagian ini bukanlah berarti bahwa tobat yang wajib hanya dari dosa besar saja, karena bertobat dari dosa besar dan dosa kecil itu sama-sama wajibnya. Bahkan di dalam Sunnah terdapat peringatan keras agar tidak meremehkan perbuatan dosa-dosa kecil, yaitu dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berhati-hatilah kalian dari dosa-dosa yang kelihatannya remeh, karena sesungguhnya apabila dosa-dosa kecil itu terus terkumpul pada diri seseorang, niscaya itu akan membuatnya binasa. Permisalannya ialah sebagaimana seseorang yang berada di sebuah padang kemudian datanglah serombongan orang-orang. Seorang demi seorang datang dengan membawa kayu bakar hingga terkumpullah menjadi tumpukan kayu bakar lalu mereka menyalakan api dan terbakar habislah segala hal yang dilemparkan ke dalamnya.” (HR. Ahmad, dengan sanad hasan)

Pelajaran penting

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa terkadang apabila dosa besar itu diiringi dengan rasa malu kepada Allah, rasa takut kepada-Nya, dan pelakunya menganggapnya sebagai dosa yang sangat besar, pada akhirnya keberadaan faktor-faktor itu menyebabkan perbuatannya digolongkan dalam golongan dosa-dosa kecil.

Namun, terkadang apabila dosa-dosa kecil diiringi dengan rasa malu yang sangat minim, tidak mau peduli, tanpa diikuti rasa takut, dan disertai sikap meremehkannya, maka hal itu justru dapat membuatnya tergolong pelaku dosa-dosa besar, bahkan bisa jadi mencapai tingkatan dosa besar yang tertinggi.

Oleh karenanya, maka berhati-hatilah (wahai saudaraku yang kusayangi) dari berbagai perbuatan dosa besar maupun dosa kecil. Waspadalah dari berbagai kejelekan yang turut mengiringi perbuatan dosa kecil sehingga dapat mendongkrak bahayanya sampai menempati timbangan dosa-dosa besar. Di antara bentuk kejelekan tersebut adalah:

Terus-menerus melakukan dosa kecil

Oleh sebab itulah, para ulama mengatakan, “Tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istigfar. Dan tidak ada dosa kecil apabila dilakukan secara terus menerus.”

Menganggap kecil dosa dan meremehkannya

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu pernah berkata tentang hal ini sebagaimana sudah disebutkan di depan. Dalam hal ini pula, Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian ini akan melakukan berbagai macam perbuatan yang lebih remeh daripada sehelai rambut dalam pandangan kalian, namun sebenarnya hal itu kami anggap sebagai perkara yang dapat membinasakan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Merasa gembira dengan berbuat dosa kecil

Hal ini juga merupakan tanda begitu parahnya kelalaian, begitu kuat keinginan dirinya untuk berbuat maksiat, serta sangat dalam kebodohannya terhadap keagungan Allah Ta’ala.

Hal itu juga menunjukkan begitu bodohnya dirinya mengenai keburukan-keburukan yang timbul akibat perbuatan dosa, maksiat, dan bahayanya. Sehingga apabila kelalaiannya sudah sangat parah sampai mencapai taraf separah ini, niscaya hal itu mendorongnya untuk terus menerus mengerjakannya.

Sehingga, tertanamlah di dalam dirinya keinginan untuk terus berbuat menyimpang dan bertekad untuk mengulangi lagi kemaksiatan. Dan itu merupakan dosa baru lagi yang bisa jadi malah jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan dosanya yang pertama. Inilah salah satu hukuman perbuatan dosa yaitu terjadinya dosa lain yang lebih besar dari dosa sebelumnya.

Meremehkan kemurahan Allah dan kelembutan-Nya yang telah berkenan menutupi kejelekan kita

Seorang pelaku dosa kecil yang tidak melihat hukuman lahiriah yang timbul akibat dosanya, maka dia pun lupa diri karena tertutupinya dosa itu dari penglihatan manusia berkat karunia Allah. Kemudian dia menyangka bahwasanya Allah Ta’ala mencintai dan memuliakan diri-Nya. Padahal ‘si miskin’ ini tidak sadar bahwa sesungguhnya hal itu adalah kemurahan dari Allah agar dia mau bertobat kepada-Nya dan mau meninggalkan dosa-dosa yang telah dilakukannya.

Mengoyak tirai penghalang yang dianugerahkan Allah untuk menutupi dosanya, yaitu dengan cara sengaja menceritakannya (kepada orang lain)

Barangsiapa yang terjerumus dalam berbagai perbuatan dosa kecil dan Allah sudah menutupi hal itu, kemudian dia malah memperlihatkannya dan sengaja menceritakannya kepada orang lain, maka sesungguhnya dia telah melipatgandakan dosa kecilnya akibat dosa lain yang timbul sesudahnya. Karena apabila dia menceritakan dosanya itu bukan dalam bentuk penyesalan, atau bahkan diringi rasa bangga, hal itu justru akan mendorong orang lain yang mendengarkan ceritanya untuk ikut melakukan perbuatan dosa tersebut, meskipun hal itu tergolong dosa kecil.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Semua umatku akan dimaafkan, kecuali orang yang berbuat dosa secara terang-terangan. Dan termasuk tindakan berterus terang dalam berbuat dosa adalah apabila ada seseorang yang berbuat dosa pada malam harinya, kemudian Allah pun menutupinya, tetapi lantas pada pagi harinya dia justru menceritakannya kepada orang lain, ‘Wahai fulan, tadi malam aku telah berbuat demikian dan demikian.’ Padahal di malam harinya dosanya telah ditutupi Allah. Akan tetapi, di pagi hari dia malah menyibak tirai yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedudukan pelaku dosa kecil sebagai orang yang menjadi panutan orang atau orang yang dikenal saleh

Orang semacam ini apabila melakukan dosa kecil secara sengaja dan disertai rasa sombong dan sengaja menentang dalil-dalil, maka terkadang dosa kecilnya ini justru membengkak menjadi dosa besar. Akan tetapi, apabila orang yang melakukannya karena didasari takwil, sedang dalam keadaan marah, atau sebab lain, maka dia bisa memperoleh ampunan, terlebih lagi apabila dia memiliki amal-amal saleh yang akan bisa menghapuskannya. (Al ‘Ibadaat Al Qalbiyah dengan ringkas)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77751-menempuh-jalan-taubat.html

Catatan kaki:

Tulisan ini diambil dari buku mungil ‘Ayyuhal Muqashshir Mata Tatuubu

Syarat Tobat Ada Tiga, Apa Saja?

Ketua Umum Al Washliyah Masyhuril Khamis menyebutkan bahwa setiap manusia masih selalu diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum ajal menjemput. Dan pertaubatan nasuha akan menghapus seluruh dosa kita yang telah lalu.

“Bahkan dalam sebuah hadist dikatakan bahwa seseorang yang mau bertaubat kepada Allah, pasti akan diterima dan Allah tidak peduli sebesar apapun dosa-dosa kita,”ujar dia kepada Republika, Senin (16/5).

Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540)

Ulama mengatakan syarat tobat ada tiga, 

Pertama, berhenti dari maksiat tersebut.

Kedua, menyesali kesalahan tersebut.

Ketiga, berkomitmen tidak akan mengulanginya.

Jika ketiga syarat ini terpenuhi, maka tobatnya sah disebut tobat nasuha. namun jika salah satu dari tiga syarat tidak terpenuhi, maka pertaubatan itu tidak akan menghapus dosa-dosa yang lalu.

Selanjutnya,  dosa yang ia lakukan ada hubunganya dengan orang lain, maka ada satu tambahan, yaitu memperbaiki masalah yang timbul karena dosa kita. Jika dosanya mengambil harta, maka kembalikan, jika dosanya adalah menghibah, maka memohon maaf, jika dosanya adalah menyebarkan foto yang terbuka auratnya, maka hapuslah dan perbaiki semampunya.

Allah berfirman:

{ إِلَّا ٱلَّذِینَ تَابُوا۟ مِنۢ بَعۡدِ ذَ ٰ⁠لِكَ وَأَصۡلَحُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورࣱ رَّحِیمٌ }

[Surah Al-Imran: 89] Kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu, dan melakukan perbaikan, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

“Namun jika syarat nomor empat ini tidak bisa dilakukan secara sempurna, karena keterbatasan kemampuan setelah berusaha semampu kita, maka Insya Allah Allah telah melihat usaha kita dan semoga diterima pertaubatan kita. Sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk bertakwa semampu kita,”jelas dia.

Pertobatan serta perbaikan atas kesalahan yang telah lalu memang menjadi syarat diterimanya taubat. namun semua itu dibebankan kepada kita hanya sebatas kemampuan kita saja. diluar itu maka Allah tidak akan menghisab kita diluar kemampuan

Jadi kesimpulannya semua perbuatan kita masa lalu yang kita sadari kurang baik tentunya kita bertaubat, termasuk mengunggah foto-foto tanpa hijab, karenanya diupayakan untuk menghapusnya sedaya mampunya. 

“Kesungguhan untuk bertobat menjadi catatan baik mendapatkan ampunan Nya. Insya Allah pintu taubat tetap di buka sebelum ajal tiba, namun perlu diingat, ajal kita tdk menunggu taubat kita,”ujar dia

IHRAM

Kasih Sayang Allah Kepada Hamba yang Bertaubat

Allah memberikan kasih sayangnya terhadap hambanya yang serius ingin memperbaiki diri. Allah SWT berfirman,

“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka, kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS az-Zumar [39]:53-54).

Lihatlah bagaimana Allah SWT justru mengundang orang-orang yang berbuat dosa untuk datang kepada-Nya. Allah SWT membuka pintu maaf seluas-luasnya bagi orang yang ingin kembali. Hal ini berbeda 180 derajat jika kita berbuat kesalahan kepada manusia. Bertemu dengan orang tersebut saja kita merasa malu. Tapi, apa jadinya jika kita berbuat kesalahan, tapi justru disambut dengan hangat oleh orang tersebut?

Begitulah Allah SWT memperlakukan hamba-Nya.Tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Toh, setiap kita yang tampak alim sekali pun pasti tak luput dari setiap dosa-dosa yang terus mengintai. Datanglah kepada Allah dan pasti Allah akan menerima tobat kita. “Dan, barang siapa yang bertobat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima tobatnya.” (QS al-Furqaan [25]: 71)

IHRAM

Saudaraku, Inilah Waktu Hijrahmu

Berhijrah ke tempat yang lebih baik

Tidak ada kata lain selain “tinggalkan”. Tinggalkan hal-hal yang dapat mencelakai diri -baik secara duniawi maupun ukhrowi- yang tidak ada lagi jalan lain untuk menghindarinya selain dengan meninggalkannya.

Allah Ta’ala memerintahkan agar kita meninggalkan kesyirikan sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa’: 48)

Namun, apabila kita tinggal di tempat sarang praktik kesyirikan, setiap orang-orang yang hidup di sekitar kita sulit untuk meninggalkan penyakit batin yang paling akut itu. Dakwah menyeru kepada tauhid dan sunnah pun diabaikan. Tidak ada obat memang, selain doa untuk kebaikan mereka. Maka, tinggalkanlah tempat itu, berhijrahlah ke tempat yang lebih baik.

Allah Ta’ala mewajibkan kita mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh utusan-Nya shallahahu ‘alaihi wa sallam, khususnya dalam perkara ukhrowi sebagaimana firman-Nya,

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS an-Nisa’: 80)

Ibadah tidak diterima apabila tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Ketika kita hidup di tengah-tengah manusia yang mengangkangi ketentuan sunnah yang jelas-jelas telah dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian telah datang kepada mereka seruan untuk kembali kepada kemurnian ajaran Muhammad shallahualaihi wa sallam, hendaklah bersegera tinggalkan tempat itu, berhijrahlah ke tempat yang lebih baik sebagaimana perintah hijrah dalam al-Qur’an,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah: 218)

Allah Ta’ala telah menerangkan secara gamblang kepada hamba-Nya, apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan. Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam pun telah mengurai secara rinci halal-haramnya segala perkara duniawi-ukhrowi sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ketika kita saat ini berada di tengah-tengah umat yang kental dan familiar dengan kemaksiatan kepada Sang Pencipta, kemudian mereka pun sejatinya mengetahui bahwa apa yang sedang mereka asyikkan itu adalah larangan, maka bergegaslah tinggalkan tempat itu, berhijrah ke tempat yang lebih baik.

Akibat buruk di tempat yang buruk

Jika kita pertahankan hidup di tempat yang demikian, dikhawatirkan perlahan tapi pasti kita akan mengikuti jejak mereka -waliyadzu billah-. Karena setiap harinya kita berinteraksi dengan mereka, mau tak mau mereka adalah manusia yang kita mesti bermuamalah dengannya.

Oleh sebab itu, berhijrahlah sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

” … Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika lingkungan tidak lagi ramah terhadap perintah Allah Ta’ala, bahkan malah cenderung mengakomodir larangan-Nya, hijrah adalah satu-satunya jalan terbaik untuk ditempuh seorang hamba yang lemah dan tidak berdaya untuk menepis segala pengaruh buruk yang bisa menimpa diri dan keluarganya.

Oleh karena itu, terima atau tidak mereka -orang-orang yang hidup di sekeliling kita-  adalah teman/saudara kita yang setiap hari bertatap muka dan saling bertegur sapa dengan kita. Sedangkan dalam timbangan syariat bahwa agama seseorang itu dapat dinilai dari sisi agama temannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

Agama seseorang itu sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 927)

Perbaiki niat sebelum berhijrah

Akan tetapi, niat dalam hati perlu diperbaharui, kepada siapa tujuan hijrah kita. Karena setiap amal tergantung kepada niat orang yang melakukannya dan seseorang akan dinilai berdasarkan bagaimana dia meletakkan niat di dalam hatinya, apakah dia ikhlas memurnikan tujuan hijrah hanya kepada Allah Ta’ala ataukah kepada selainnya. Ini merupakan perkara besar karena hijrah merupakan ibadah, sedangkan ibadah adalah terlarang apabila tidak diikhlaskan hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Perhatikanlah hadits berikut. Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Khawatir terhadap rezeki ketika hijrah?

Sumber ekonomi merupakan hal yang paling dikhawatirkan oleh seorang hamba apabila hendak berhijrah meninggalkan lingkungan yang tidak lagi bersahabat dengan syariat Allah. Padahal berhijrah dengan niat lillahi Ta’ala akan membuka pintu rezeki sebagaimana firman AllahTa’ala,

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 100)

Allah menjanjikan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah akan mendapati dua hal : Pertama (مُرَاغَمًا ), Kedua (سَعَةً).

Imam Ar-Razi rahimahullah menjelaskan makna “مُرَاغَمًا” dalam ayat di atas yaitu kebaikan dan kenikmatan di negeri/tempat yang baru yang menjadi sebab kehinaan dan kekecewaan para musuh yang berada dinegeri asalnya.  Karena ketika orang di negeri asal mendengar berita bahwa kenikmatan da kebaikan yang ia dapatkan di negeri asing tersebut mereka akan merasa mala atas buruknya muamalah yang mereka berikan. Maka dengan demikian mereka merasa hina (1).

Sedangkan makna “سَعَةً” menurut Qatadah rahimahullah adalah  “keluasan dari kesesatan kepada petunjuk dan dari kemiskinan kepada banyaknya kekayaan” (2). Maka kekhawatiran akan sulitnya mencari sumber ekonomi bukanlah alasan seorang mukmin apabila waktu berhijrah telah tiba. Karena justru dengan berhijrah pintu rezeki terbuka dengan luasnya, insyaa Allah Taala.

Semoga kita termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang mendapatkan petunjuk dan hidayah-Nya serta Allah Ta’ala mudahkan kita untuk beribadah, beramal, dan bermuamalah di lingkungan orang-orang yang takut terhadap azab Allah. Sehingga bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk meningkatkan kualitas amal dan ibadah semata-mata hanya bagi Allah Ta’ala.

[Selesai]

Penulis: Fauzan Hidayat, S.STP, MPA

Artikel: Muslim.or.id

Pahala Meninggalkan Maksiat

Sekecil apa pun perbuatan dosa, ingatlah kepada siapa dosa itu diperbuat.

Pahala meninggalkan maksiat itu begitu hebat. Saking hebatnya sampa-sampai Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan kehinaan maksiat menuju kemuliaan taat, maka Allah akan membuatnya kaya tanpa harta, mengokohkannya tanpa tentara, dan membuatnya berjaya tanpa massa pendukung.” (HR. Baihaki). Alhamdulillah.

Secara umum, orang dikatakan kaya karena berharta. Harta dibelanjakan untuk mendapatkan kesenangan dan ketenangan. Namun harta hanya bisa membeli kesenangan, tidak ketenangan. Oleh karena itu, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Nashaihul Ibad, orang yang meninggalkan maksiat akan diberikan ketenangan di dalam hati.

Sebuah bangsa menjadi kokoh karena dijaga oleh bala tentara. Sama seperti orang yang menjadi aman karena banyak para penjaga di kiri dan kanan. Namun bagi orang yang meninggalkan maksiat, akan diberikan kekuatan oleh Allah SWT. Sebuah kekuatan yang tidak ada yang mampu membandinginya dan menandinginya.

Dalam kontestasi politik, seorang kandidat pejabat legislatif atau eksekutif memburu konstituen untuk mendapatkan dukungan. Namun bagi orang yang meninggalkan maksiat, Allah SWT akan memberikan kejayaan dalam berbagai lapangan kehidupan tanpa perlu ada manusia yang mendukungnya. Allah SWT sendiri yang membuatnya berkibar.

Secara filosofis, meninggalkan maksiat adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Seseorang yang berbuat dosa kecil, misalnya, ia tidak boleh memandang kecilnya dosa itu. Tetapi kepada siapa dosa kecil diperbuat, yakni kepada Allah SWT. Sama seperti orang yang mendapatkan kebaikan kecil, harus dipandang dari siapa kebaikan itu berasal.

Dalam Mukasafah al-Qulub, Imam al-Ghazali bercerita tentang Utbah al-Ghulam. Sebelum menjadi seorang waliyullah, ia adalah pelaku maksiat kelas kakap. Satu waktu, ia tertarik untuk datang ke majelis Syaikh Hasan al-Basri di Basrah Irak. Ada yang hendak ditanyakan perihal maksiat yang dilakukannya kepada guru sufi yang dikenal bijak-bestari itu.

Dengan menundukkan kepala, di hadapan Syaikh Hasan al-Basri, Utbah al-Ghulam bertanya, “Wahai Syaikh, apakah orang seperti aku yang selama hidupnya berbuat maksiat, akankah tobatku diterima oleh Allah SWT?”. Dengan ringan Syaikh Hasan Bashri menjawab,”Ya, Allah SWT akan menerima tobatmu dan mengampunimu”.

Mendengar jawaban itu, bukan main kagetnya Utbah al-Ghulam. Saking kagetnya seketika ia pingsan. Setelah siuman, kembali ia menanyakan perihal perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya. Kembali Syaikh Hasan al-Basri menjawab dengan jawaban yang sama. Namun untuk kedua lainya, Utbah al-Ghulam pingsan karena rasa gembiranya yang begitu hebat.

Setelah sadar, ia mengangkat mukanya dan menengadahkan tangan seraya berdoa kepada Allah SWT. “Ya Allah, kalau benar Engkau telah mengampuni dosaku, maka mudahkanlah aku dalam mempelajari ilmu agama. Ya Allah, kalau benar Engkau telah mengampuni dosaku, anugerahi aku suara yang indah dalam melantunkan Alquran.

Ya Allah, kalau benar Engkau telah mengampuni dosaku, maka penuhi kecukupan makanan untukku setiap hari”. Singkat cerita, doa Utbah dikabulkan Allah SWT. Ia diberikan  kemudahan  memahami ilmu agama sehingga ia jadi orang yang dalam ilmunya. Allah SWT juga menganugerahinya suara indah, sehingga banyak orang kafir masuk Islam saat mendengar ia membaca Alquran.

Terakhir, Allah SWT juga menurunkan beberapa potong roti lengkap dengan kuahnya setiap pagi untuknya. Inilah pahala meninggalkan maksiat yang sangat hebat. Pahala yang berefek positif bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.  Semoga ada di antara kita yang mampu melaksanakannya.   Aamiin.

KHAZANAH REPUBLIKA