Bagaimana Sujud Orang dengan Kepala Diperban?

Di fikih termasuk anggota sujud yang wajib menyentuh lantai adalah jabhah (dahi). Sehingga apabila ada penghalang antara dahi dan tempat sujud, maka dapat menyebabkan shalatnya tidak sah. Lantas bagaimana sujud orang dengan kepala diperban karena luka? Apakah harus melepas perbannya ketika hendak melaksanakan shalat? 

Menurut ulama, orang yang memiliki luka pada sebagian anggota sujudnya tergolong orang yang udzur untuk menyempurnakan anggota sujud beserta syaratnya. Seseorang yang kepalanya diperban, shalatnya tetap sah meskipun saat sujud ada penghalang di dahinya untuk menyentuh tempat sujud secara terbuka. Dan shalat yang dia kerjakan tak wajib di ulang ketika luka di kepalanya sudah sembuh. 

Hal ini sebaimana yang diterangkan oleh Syaikh Nawawi Al-Jawi dalam kitab Nihayatuzzain [69];

وَأَن يكون السُّجُود (بِوَضْع بعض جَبهته بكشف) للجبهة إِن سهل الْكَشْف بِحَيْثُ لَا يَنَالهُ بِهِ مشقة لَا تحْتَمل عَادَة ‌فَلَو ‌كَانَ ‌بجبهته ‌جرح أَو نَحوه وَعَلِيهِ عِصَابَة وشق عَلَيْهِ نَزعهَا صَحَّ السُّجُود عَلَيْهَا وَلَا تلْزمهُ الْإِعَادَة

Artinya; ‘’adanya sujud harus dengan meletakkan (menyentuhkan) sebagian dahinya dengan terbuka apabila terbukanya itu mudah dan tak ada kesulitan secara adat. Sehingga apabila pada dahi terdapat luka dan semacamnya yang diperban dan tidak memungkinkan untuk dilepas, maka sujudnya tetap sah dan shalatnya tidak wajib untuk diulang’’. 

Hukum  semacam ini juga diterangkan oleh Qodhi Abu Syuja’ dalam kitab Kifayatul Akhyar [108];

‌لَو ‌كَانَ ‌على ‌جَبهته ‌جِرَاحَة وعصبها وَسجد على الْعِصَابَة أَجزَأَهُ وَلَا قَضَاء عَلَيْهِ على الْمَذْهَب لِأَنَّهُ إِذا سَقَطت الْإِعَادَة مَعَ الْإِيمَاء بِالسُّجُود فَهُنَا أولى وَلَو عجز عَن السُّجُود لعِلَّة أَوْمَأ بِرَأْسِهِ فَإِن عجز فبطرفه وَلَا إِعَادَة عَلَيْهِ

Artinya; ‘’Seandainya pada dahi seseorang terdapat luka yang dibalut dan dia sujud dengan balutan tersebut maka itu mencukupi, dan tak ada kewajiban mengulangi shalat menurut al-madzhab (dzahir riwayat). Karena jika mengulangi shalat itu gugur di samping adanya  isyarat pada sujud, apalagi masalah ini. Tentunya lebih lagi (lebih menggugurkan). Apabila seseorang kesulitan sujud karena penyakit, maka dia berisyarat sujud dengan kepalanya. Jika masih kesulitan, maka dengan kelopak matanya. Dan tak ada kewajiban mengulangi shalat baginya’’.

Qadhi Abu Syuja’ perihal hukum mengulangi shalat bagi orang yang sujudnya tidak sempurna sebab udzur, membandingkan dengan sujud yang di ganti dengan isyarat yang hal tersebut tak mewajibkan seseorang mengulangi shalatnya. Sebagai contoh adalah orang yang disabilitas menggunakan kursi roda, baginya cukup berisyarat sujud dengan kepalanya tanpa harus menyentuhkan dahinya ke tempat sujud. 

Dan baginya tak ada kewajiban mengulangi shalatnya ketika sembuh. Nah, jika yang demikian saja tidak mewajibkan mengulangi shalat, apalagi orang yang luka kepalanya diperban dan dia tetap sujud pada tempat sujudnya, tidak dengan isyarat. Tentunya lebih berhak untuk mendapatkan hukum tak wajib mengulangi shalatnya. 

Demikan jawaban atas nama bagaimana sujud orang dengan kepala diperban? Allah SWT menghendaki kemudahan bagi hambanya dan tak menghendaki kesukaran. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Percayalah, Panggilan untuk Perang Fisik terhadap Israel Tak Akan Membantu dalam Mencapai Perdamaian!

Serangan Israel ke warga Palestina di jalur Gaza memang sangat menyayat hati dan melampaui batas kemanusiaan. Tanpa memandang dari agama sekalipun, penulis yakin bahwa serangan Israel yang ‘membabi-buta’ itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat ditoleransi.

Sebab, pasukan Israel yang menyerang Palestina tidak memandang tempat dan sasaran (orang). Semua orang, termasuk warga sipil dan anak-anak, menjadi korban. Adalah wajar jika masyarakat dunia ngamuk dan mengutuk serangan tersebut.

Ormas Persatuan Ulama Muslim Internasional di Indonesia menyerukan untuk membantu Palestina dengan berangkat ke Gaza dan berperang secara fisik. Seolah ajakan tersebut rasional dan dapat menjadi solusi. Padahal, seruan tersebut tidak akan membantu dalam mencapai perdamaian.

Memang kita tidak boleh hanya berpangku tangan sembari mengecam tindakan Israel terhadap warga Palestina. Namun demikian, penting bagi kita semua untuk mencari solusi yang damai dan adil untuk mengakhiri pertempuran dan penderitaan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Namun, penulis justru menekankan bahwa panggilan untuk perang fisik terhadap Israel atau siapa pun tidak akan membantu dalam mencapai perdamaian yang kita  harapkan.

Perdamaian dan keadilan adalah tujuan yang harus dicapai melalui dialog, diplomasi, dan negosiasi yang berkelanjutan. Konflik Israel-Palestina telah menyebabkan banyak penderitaan bagi warga sipil di kedua sisi, dan kita harus berusaha untuk menghindari peningkatan eskalasi yang hanya akan memperburuk situasi.

Beberapa Langkah

Untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina, berikut beberapa langkah yang bisa diambil:

Pertama, dialog dan negosiasi. Hal ini sesuai dengan Ketua LBM PBNU. Bahwa, perang fisik dan tidak perang fisik sama-sama memiliki risiko. Oleh karena itu, kita harus menggunakan pilihan yang paling rasional. Dengan demikian, seruan perdamiaan itu sementara ini adalah satu hal yang terbaik daripada menyerukan untuk melakukan perang fisik.

Dialog dan negosiasi menjadi jembatan utama terwujudnya perdamaian. Sehingga, kedua belah pihak  berdialog untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Ini termasuk membahas isu-isu seperti perbatasan, pengungsi, status Yerusalem, dan lain-lain.

Kedua, pemberian bantuan kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan kepada warga sipil yang terkena dampak konflik, termasuk akses kepada perawatan medis, makanan, air bersih, dan tempat tinggal adalah langkah yang paling bijak dan mendesak untuk saat ini.

Pemerintah Indonesia dan juga beberapa negara dunia telah melakukan atau mengirimkan bantuan untuk warga Palestina yang sengsara akibat peperangan yang meningkat dalam beberapa waktu ini.

Ketiga, pendidikan dan rekonsiliasi. Aspek ketiga ini adalah jangka panjang. Antara warga Palestina dan Israel harus mendapatkan pendidikan dan melakukan rekonsiliasi untuk membangun perdamaian yang hakiki. Dalam proses ini, kemanusiaan dan ketertiban, bahkan streotip serta prasangka harus dihapus.

Keempat, dukungan internasional. Lembaga perdamaian dunia seperti PBB tidak boleh intervensi atau malah mendukung salah satu pihak untuk terus melancarkan serangannya. Negara-negara internasional harus berpern aktif dalam mendukung perdamaian. Keluarkan kebijakan yang tegas terhadap negara yang tidak mendukung perdamaian. Selanjutnya, negara-negara di seluruh dunia harus mendesak kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan damai.

Kita tentu sepakat untuk mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil, tak terkecuali kekerasan yang ditujukan kepada warga sipil Palestina. Pada saat yang sama, kita harus ingat bahwa perang fisik hanya akan menghasilkan lebih banyak penderitaan dan korban. Oleh karena itu, jangan biarkan kemarahan dan frustrasi kita mendorong kita ke arah yang salah-kaprah.

ISLAM KAFFAH

Menimbang Solidaritas dalam Aksi Boikot untuk Membela Palestina

Konflik berkecamuk antara Palestina dan Israel telah menghadirkan penderitaan yang tak terkira bagi saudara-saudara kita di Palestina. Serangan udara yang terjadi sejak 7 Oktober 2023 telah merenggut ribuan nyawa, terutama anak-anak dan wanita yang menjadi korban.

Dalam situasi yang memilukan ini, banyak di antara kita merasa prihatin dan ingin berkontribusi dalam mencari jalan menuju perdamaian dan keadilan. Salah satu tindakan yang sering diusulkan adalah memboikot produk yang berasal dari Israel dan negara-negara yang mendukungnya. Produk-produk seperti HP, Siemens, AXA (asuransi), PUMA, Ahava, Taf Toys, Tiny Love, Sabra, Waze, dan McD menjadi target pemboikotan.

Aksi pemboikotan ini adalah ungkapan solidaritas kita dengan saudara-saudara kita di Palestina yang telah menderita akibat konflik yang tak kunjung usai. Ayat suci Al-Quran mengingatkan kita tentang pentingnya persatuan dan perdamaian di antara umat beriman. “Orang-orang yang beriman itu hanyalah saudara-saudara seagama. Sebab itu, damaikanlah antara saudara-saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Surah al-Hujurat: 10).

Ayat ini menegaskan bahwa kita, sebagai saudara seagama, memiliki kewajiban untuk menjaga persatuan dan kedamaian di antara sesama. Dalam konteks konflik Palestina, ayat ini menegaskan pentingnya kesatuan dalam menghadapi konflik, serta mengajarkan kita untuk menyebarkan nilai-nilai kasih sayang dan rahmat di tengah penderitaan.

Meskipun aksi pemboikotan telah menjadi metode yang sering digunakan untuk menyuarakan solidaritas dengan Palestina, perlu diakui bahwa tidak semua orang setuju dengan pendekatan ini sebagai solusi efektif. Ada pandangan bahwa tindakan pemboikotan dapat merugikan warga Palestina yang bergantung pada pekerjaan di perusahaan-perusahaan Israel.

Selain itu, ada argumen bahwa pemboikotan produk Israel mungkin memiliki dampak lebih besar pada ekonomi Indonesia daripada pada ekonomi Israel. Beberapa perusahaan Israel yang menjadi sasaran pemboikotan di Indonesia memiliki lisensi lokal dan telah menyerap tenaga kerja serta sumber daya dalam negeri.

Meski demikian, perlu dicatat bahwa aksi pemboikotan produk terbukti berhasil dalam beberapa kasus di seluruh dunia. Contohnya adalah gerakan pemboikotan terhadap perusahaan yang berinvestasi di pemukiman Israel di Tepi Barat. Aksi ini berhasil menggugah perhatian dan menciptakan tekanan pada perusahaan-perusahaan tersebut, yang akhirnya mengurangi investasi mereka di wilayah tersebut.

Keberhasilan aksi pemboikotan juga terlihat dalam penurunan harga saham beberapa perusahaan besar yang menjadi target. Saham Starbucks turun hingga mencapai harga terendahnya sejak dimulainya aksi pemboikot. Begitu pula dengan saham perusahaan-perusahaan seperti McDonald’s dan PepsiCo, yang mengalami penurunan harga saham yang signifikan.

Dalam upaya kita untuk mendukung perdamaian dan keadilan, penting juga bagi kita untuk memahami konflik ini secara mendalam. Informasi yang benar dan akurat sangat diperlukan agar kita dapat berkontribusi dengan bijak dalam mencari solusi. Ini juga memanggil kita untuk terus berupaya memahami akar permasalahan, dinamika konflik, dan peran kita dalam upaya perdamaian.

Upaya perdamaian yang lebih besar melibatkan berbagai elemen, termasuk diplomasi internasional, dialog antara pihak-pihak yang terlibat, dan dukungan dari komunitas internasional. Sebagai individu, kita juga memiliki peran penting dalam upaya ini. Aksi pemboikotan produk Israel bisa menjadi salah satu langkah yang mendukung perdamaian dan hak asasi manusia di Palestina.

Semoga Allah memberikan rahmat dan bimbingan kepada kita semua dalam menjalani peran kita sebagai individu dalam mendukung perdamaian sejati dan memperingati kita tentang pentingnya persatuan dan kemanusiaan di tengah konflik yang berkecamuk di Palestina.

ISLAMKAFFAH

Bagaimana Malaikat dan Setan Datang di Hati Manusia

Setan dan malaikat bersemi di hati manusia.

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali atau yang dikenal Imam Al-Ghazali dalam buku Minhajul Abidin menjelaskan bahwa Allah Ta’ala telah menempatkan pada hati anak Adam (manusia) malaikat yang disebut Mulhim, ajakan atau bisikan malaikat itu disebut dengan ilham. 

Sebagai pesaingnya, Allah SWT menguasakan setan yang bernama Waswasah yang mengajak manusia kepada keburukan, yang disebut dengan sikap was-was. 

Malaikat Mulhim mengajak manusia kepada kebaikan, sedang setan yang disebut Waswasah mengajak kepada keburukan.

Imam Al-Ghazali menyampaikan bahwa guru kami menjelaskan setan itu adakalanya mengajak manusia kepada kebaikan dengan tujuan untuk menjerumuskan mereka yang terperangkap itu kepada keburukan. Contohnya, setan mengajak seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dipandang utama. Padahal tujuan setan yang sesungguhnya yaitu menghalangi manusia dari jalan yang utama yang sebenarnya.

Contoh lainnya, setan mengajak seseorang kepada kebaikan, tapi sebenarnya tujuan setan untuk menyeret orang itu kepada dosa yang lebih besar, yang kebaikannya tidak mencukupi untuk menghapus keburukan atau doa yang dilakukannya itu. Seperti perbuatan ‘ujub mengagumi amal sendiri dan lain sebagainya.

Menurut sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Jika dilahirkan seorang bayi anak Adam (manusia), Allah Ta’ala menyertainya dengan satu malaikat dan satu setan. Maka setan tersebut menempel pada telinga hati sebelah kiri, sedang malaikat menempel pada telinga hati sebelah kanan. Keduanya sama-sama membisikkan ajakannya.”

Rasulullah SAW juga bersabda, “Pada hati manusia terdapat persinggahan setan dan malaikat.”

Kemudian, Allah memasangkan pada diri anak Adam itu tabiat yang cenderung kepada syahwat dan kelezatan duniawi, baik maupun buruk. Itulah yang disebut dengan hawa nafsu, yang menjerumuskan manusia kepada berbagai penyakit moral.

Bisikan-bisikan di dalam hati itu mendorong manusia melakukan sesuatu atau tidak berbuat apa-apa, juga mengajaknya kepada apa yang dibisikkan itu. Inilah yang disebut khawatir (bisikan-bisikan hati).

IHRAM

Edward Said dan Serak Suara Palestina yang Makin Lantang

Tidak mudah hidup sebagai seorang Edward Said. Seorang pemikir dengan subyektifitas yang disadarinya retak sejak awal. Lahir sebagai seorang Palestina, tapi hidup, tumbuh dan tinggal di Amerika. Dua kenyataan kontras, mengingat keduanya selalu bersitegang, utamanya dalam silang sengketa perebutan wilayah di medan al-Quds. Palestina nyaris hilang dari brangkas kesadaran Edward Said.

Edward Said mengaku, lama sekali dia menemukan ke-Palestina-annya. Ayah dan ibunya tidak banyak memberikan informasi dan suplai kesadaran mengenai Palestina. Bahkan menurut Said, ayahnya cenderung “membenci Palestina”.

Ada semacam trauma yang membekas tebal dalam diri ayahnya. Di negara tempat seluruh kepercayaan lama itu bertemu, Palestina dan Yerussalem bagi ayah Edward Said tak lebih dari sekedar noktah dan kuburan tempat keluarga dan kerabatnya hilang dan mati.

Edward Said pun sampai lupa, apa bahasa pertama yang dia ucapkan; Arabkah, atau justru Inggris-Amerika?  Persoalan bahasa dan keretakan kesadaran ini diungkap Said dalam halaman-halaman awal otobiografinya, Out of Place.

Dalam buku yang ditulis khusus untuk menyelamatkan ingatannya di tengah jibaku dengan leukimia yang sedikit demi sedikit menggerogoti tubuhnya, Edward Said langsung membukanya dengan uraian mengenai entitas subyek yang bingung, mengganda dan terjebak dalam celah jurang yang sangat dalam. Dan memang itulah faktanya. Said tumbuh dalam kondisi dualitas yang kelak akan menjadi pekerjaan rumah yang menghabiskan waktu seumur hidupnya.

Meskipun begitu, tampaknya Said memang berhasil keluar dari labirin. Ia mendaku Palestinanya. Tak hanya itu, ia pun menjadi toa yang paling nyaring berbicara atas nama Palestina di Barat. Said adalah rujukan awal dan pembicara pertama yang diburu warta kala ketegangan di Palestina, ataupun di Timur Tengah, kembali mencapai eskalasinya.

Dalam Out of Place, ada kisah unik bagaimana Said memperlihatkan akhir dari perjalanannya mendaku “yang Palestina”.  Sampai tahun 1998, Said sudah beberapa kali mengunjungi Jerussalem. Selain untuk keperluan akademik dan pekerjaan riset, salah satu niat utama yang selalu Said sisipkan kala berkunjung ke Yerussalem adalah napak tilas.

Mengunjungi lokasi, bangunan, rumah dan kampung tempat dulu keluarganya tinggal. Meski tak banyak menerima informasi dari kedua orang tuanya, Said terbiasa mengisi kesadaran Palestinanya dengan caranya sendiri; salah satunya dengan menziarahi tempat-tempat yang dulunya dia kenal sebagai kampung halaman. Yerussalem, Haifa, Tiberias, Nazareth dan Acre, adalah beberapa lokasi yang rajin Said kunjungi.

Selama perjalanan ke Yerussalem,  hal rutin yang dialami Edward Said adalah inspeksi aparat Israel. Meskipun hidup dalam otonomi, Palestina sepenuhnya dikontrol oleh petugas keamanan Israel. Termasuk dalam perkara penjagaan perbatasan, checkpoint dan pemeriksaan di bandara. Said pun tak lepas dari pertanyaan-pertanyaan.

Apalagi ketika paspor Amerikanya mengindikasikan kalau Said lahir di Yerussalem. Pertanyaan yang paling sering Said terima adalah, “setelah lahir, kapan tepatnya anda meninggalkan ‘Israel’?” Said selalu meresponsnya dengan, “Saya meninggalkan ‘Palestina’ pada Desember 1947!” ya, Said mengganti kata “Israel” dengan kata “Palestina”. Sebentuk perlawanan yang rajin Said lakukan.

Produk pemikiran dan gagasan-gagasan Said pun tidak pernah tidak berkaitan dengan pengalamannya sebagai orang Palestina. Hampir seluruh riset, buku dan ulasannya mengenai sesuatu, lahir dari amatannya terhadap situasi dan kondisi yang terjadi, khususnya antara Barat dan Timur. Gagasannya tentang nasionalisme, orientalisme, imperialisme dan kebudayaan selalu adalah cerminan geliat dan konstelasi politik yang terjadi di celah Timur-Barat.

Nasionalisme dalam benak Edward Said misalnya, selalu mengenai nasionalisme dalam kontur kebudayaan, dibanding maknanya dalam ranah administratif ataupun politik. Persoalan yang terjadi kini mengenaskan; definisi nasionalisme yang kedua telah menginjak, mengokupasi dan memonopoli makna nasionalisme yang pertama.

Ada proses penghilangan jejak-jejak sejarah dan keabsahan historikal subyek dalam memaknai asal-muasalnya. Sebagaimana kasus rakyat Palestina yang kini menjadi “tak bernegara”, “eksil” dan “pengungsi” di tanah mereka sendiri, nasionalisme yang muncul ke permukaan tak lebih dari hanya sekedar dalih dari praktik kolonialisme.

Begitu juga ketika Edward Said berbicara soal imperialisme, bahkan intelektualisme. Said adalah penganut keyakinan bahwa seorang intelektual harus berangkat dari realitas. Teori harus berpijak para realitas, dan realitas harus dijadikan dasar setiap perumusan teori.

Orientalisme, yang menjadi magnum opus Said, panjang lebar berbicara soal ekses-ekses kolonialistik dalam kebudayaan di abad modern, termasuk soal rebut-merebut wilayah, baik fisik maupun mentalitas serta kebudayaan, di bawah kepentingan ekspansi Barat di Timur.

Pasca 1967, Said menghabiskan waktunya untuk mencari solusi atas persoalan Israel-Palestina. Edward Said menegaskan, bahwa solusi paling rasional untuk menyelesaikan ketegangan di Palestina adalah “two state solution”.

Namun, pasca “Oslo Accords” yang mempertemukan Mahmud Abbas dan Shimon Peres, tampaknya Edward Said semakin pesimis dengan gagasan “two state solution”. Lebih-lebih ketika Israel masih melanjutkan ekspansinya ke wilayah-wilayah Palestina, Said semakin yakin bahwa “two state solution” hampir mencapai titik kematiannya.

NamunEdward Said tidak berhenti. Mengambil inspirasi dari pengalaman Afrika Selatan, Said lantas memikirkan sistem dwi-nasional. Yakni gagasan mengenai “satu negara dua bangsa”. Dengan skema semacam ini, orang Yahudi dan orang Arab bisa hidup berdampingan dalam sistem demokrasi yang sekuler.

Edward Said percaya, konflik berkepanjangan di Timur Tengah yang sudah berlangsung selama puluhan tahun tidak akan selesai jika persoalan Palestina juga tak kunjung diselesaikan. Selama Palestina terus membara, Timur Tengah hanya akan melanjutkan kisahnya sebagai gelanggang pertempuran antar kepentingan.

Sokongan tak terbatas yang diterima Israel dari Amerika Serikat dan sekutu, yang kemudian membuatnya memiliki kekuatan militer tak terbatas pula, adalah satu hal dari sekian banyak bukti bahwa pertempuran kepentingan di Timur Tengah tidak hanya tentang bangsa-bangsa Arab dan Timur, tapi juga Barat yang masih berambisi melanjutkan trah imperialismenya di Timur. Kasus Arab Saudi dan Mesir, dalam banyak hal, juga berkaitan erat dengan problem geopolitik yang melibatkan Palestina.

Edward Said, dengan seluruh pekerjaannya, baik sebagai seorang pemikir maupun aktivis, adalah perwajahan perjuangan panjang pembelaan atas hak kemerdekaan wilayah Palestina. Hidup dan tinggal di Amerika, tempat seluruh kericuhan di Palestina bermula, Said tidak gentar.

Dia tetap bersuara, bahkan berteriak. Sebuah memoar fotograph yang memperlihatkan Edward Said melempar batu ke arah pasukan Israel, adalah potongan mozaik dari parodi panjang Said melemparkan batu ke arah jantung Imperialisme Barat.

Apa yang saya bicarakan tentang Edward Said dan Palestina adalah perasaan yang saya tangkup kala membaca otobiografi Said, Out of The PlaceOut of Place memang tidak seserius dan seteoritik Orientalism. Ia juga bukan buku sejarah politik yang mencoba mengisahkan detail dinamika konflik di Palestina.

Said tidak menyuguhkan teori aneh-aneh di dalamnya. Meskipun dalam beberapa buku yang lain—seperti The Question of Palestine—, Edward Said berusaha mengidentifikasi dan mencari jalan penyelesaian, Out of Place jelas-jelas tidak ditujukan untuk itu. Sebaliknya, Out of Place adalah Said sendiri; Said yang telanjang dan menganga. Out of Place adalah romantika dialektis yang bertubrukan di sepanjang koridor perjuangan untuk mengentaskan krisis identitas yang Said alami.

Edward Said yang selalu merasa “aneh” dan “asing”, sampai akhirnya dia menemukan Palestina. Pasca penemuannya—yang meskipun Said sadari akan terus membentuk proses tanpa akhir—, Palestina menjadi totem yang menggerakkan ide-ide dan gagasannya. Said lantas sadar, bahwa keberpihakan pada akhirnya adalah rumusan yang penting untuk memberi nyawa bagi gagasan dan ide seseorang.

Kini sejarah pun mengingat, kalau Edward Said adalah Palestina dan Palestina adalah Said. Dan mungkin Said tersenyum kala mengetahui itu semua.

BINCANG SYARIAH

Tidak Berlebihan dalam Beramal Itu Lebih Utama

Suatu amal yang dikerjakan secara proposional (mudah dan lapang) itu lebih utama daripada amalan yang dikerjakan dengan cara takalluf (berlebih-lebihan) sehingga membebani diri melampaui batas kemampuan dirinya. Agama Islam adalah agama yang dilandasi dengan prinsip kemudahan.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Jika Allah Ta’ala saja tidak membenani seseorang kecuali dengan apa yang hamba-Nya mampu, bagaimana mungkin seseorang ingin mengerjakan sesuatu di luar kemampuannya. Tidak mungkin syariat Islam mengajarkan suatu amalan yang melampaui batas.

Allah Ta’ala juga berfirman,

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menginginkan kesulitan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Oleh karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk meniti jalan pertengahan, tidak ifrath (ekstrim/melampaui batas) dan tidak tafrith (meremehkan/meninggalkan).

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَتْ عِنْدِي امْرَأَةٌ، فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «مَنْ هَذِهِ؟» قُلْتُ: فُلَانَةُ، لَا تَنَامُ تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ، فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا» ، قَالَتْ: وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينَ إِلَيْهِ الَّذِي يَدُومُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

Dari Aisyah radiyallahu ‘anha, “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menemuiku dan di sisiku ada seorang wanita.” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Siapa wanita ini?” Aisyah menjawab, “Ia adalah wanita yang tidak tidur karena sepanjang malam ia mengerjakan salat.” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, “Wajib bagi kalian beramal dengan amal yang kalian mampu. Demi Allah, Allah tidak akan bosan sampai kalian sendiri yang merasa bosan.” (Lihat Shahih Abu Dawud no. 1238, riwayat serupa dalam HR. Bukhari no. 41)

Tetaplah beramal dengan amal yang sederhana, sedikit-sedikit tidak masalah yang penting istikamah.

Nabi melarang berlebih-lebihan dalam ibadah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ، وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟» ، فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا،

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Abdullah, apakah benar berita bahwa engkau berpuasa di waktu siang (maksudnya, puasa setiap hari, pent.), lalu salat malam sepanjang malam?”

Saya menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan itu, tetapi berpuasa dan berbukalah! Salat malam dan tidurlah! Karena badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan, matamu punya hak atasmu, istrimu punya hak atasmu, dan tamumu pun punya hak yang harus engkau tunaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam yang lain,

إن الدين يسر ولن يشاد الدين إلا غلبه فسددوا وقاربوا وأبشروا واستعينوا بالغدوة والروحة وشيء من الدلجة

Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya, kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, bersikap tengahlah (luruslah), sederhanalah (berupaya mendekati amal yang sempurna), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala), serta memohon pertolongan (kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang, dan sebagian malam.(HR. Bukhari)

Kemudahan dalam ibadah

Salah satu kemudahan beribadah dalam Islam adalah keringanan dalam mengerjakan salat.

Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya pernah terkena wasir, maka saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

‘Salatlah dengan berdiri! Jika kamu tidak bisa, maka duduklah. Dan jika tidak bisa, maka salat dengan berbaring.’(HR. Bukhari)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mencontohkan perihal bolehnya menjamak (menggabungkan) salat ketika ada kebutuhan dan men-qashar (meringkas) salat ketika safar.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

جَمَع النبيُّ صلى الله عليه وسلم بين المغرب والعشاء بِـجَمْع، لِكُلِّ واحدة منهما إقامة، ولم يُسَبِّحْ بينهما، ولا على إثْرِ واحدةٍ مِنْهُمَا

“Rasulullah pernah menjamak salat Magrib dan Isya. Setiap salat didahului dengan ikamah. Beliau tidak salat sunah di antara keduanya dan tidak juga di akhir salatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu ‘Umar adhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ بَعْدَهُ وَعُمَرُ بَعْدَ أَبِى بَكْرٍ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaksanakan salat di Mina dua rakaat, begitu pula Abu Bakr setelah itu dan juga Umar setelahnya.” (HR. Muslim)

Di antara keringanan salat yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan salat wajib di rumah bagi laki-laki jika turun hujan.

Dari Usamah bin Umair radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ مُطِرْنَا فَلَمْ تَبُلَّ السَّمَاءُ أَسَافِلَ نِعَالِنَا فَنَادَى مُنَادِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ

Dahulu kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada waktu Hudaibiyah dan hujan pun menimpa kami tapi tidak sampai membasahi sandal-sandal kami. Lalu, muazin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengumandangkan, ‘Shallu fii rihaalikum (salatlah ditempat tinggal kalian).’ (HR. Ahmad, 5: 74  dan Abu Dawud no. 1057)

Begitu pula dalam ibadah puasa wajib (Ramadan), maka Allah telah memberikan kemudahan bagi orang-orang yang berat melaksanakannya sebagaimana orang sakit, musafir, orang tua renta, ibu hamil, dan menyusui.

Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka, barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Semoga kita terhindar dari sikap berlebihan dalam ibadah dan mendapatkan kemudahan dari Allah Ta’ala untuk istikamah dalam beramal saleh.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88856-tidak-berlebihan-dalam-beramal-itu-lebih-utama.html

Sejarah Baitul Maqdis Diserbu Imigran Yahudi

Inggris-lah yang mensponsori mengalirnya masuknya imigran Yahudi Eropa. Ratusan ribu orang Yahudi pindah ke Palestina dan tinggal di Baitul-Maqdis hingga saat ini

DI BAWAH kekuasaan kaum Muslimin, Masjid al-Aqsha direkonstruksi dan diperindah. Sampai akhirnya jatuh lagi dan mengalami bencana besar.

Pahlawan pembebas Masjid al-Aqsha, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, wafat pada tahun 1193 M. Sesudah wafatnya sang legendaris itu, Dinasti Ayyubiyah tetap menguasai Baitul-Maqdis.

Pemerintah juga melindungi kawasan ini dari serangan-serangan Pasukan Salib di masa-masa berikutnya. Pada penghujung tahun 1200-an dan di awal 1300-an, pamor Dinasti Ayyubiyah perlahan memudar.

Akhirnya kekuasaan diambil-alih oleh Kesultanan Mamalik di Mesir, yang ketika itu dikuasai tentara-tentara budak Turki. Selama Kesultanan Mamalik, ternyata minat bangsa Eropa untuk melakukan peperangan Salib perlahan memudar pula.

Alhasil, kondisi Baitul-Maqdis menjadi lebih aman dari serangan orang-orang kafir.

Para sultan kemudian memiliki kesempatan untuk lebih memperhatikan fisik bangunan di Baitul-Maqdis, terutama di dalam dan di sekitar Kompleks Masjid al-Aqsha. Kondisi masjid kebanggaan umat Islam ini semakin hari semakin membaik.

Sebuah beranda bersanggakan barisan tiang dibangun di sisi barat Kompleks Masjid al-Aqsha, berbatasan dengan pasar-pasar kota. Kubah Batu juga direnovasi. Sekian kubah lain dan air mancur diperbaiki pula.

Sekolah-sekolah juga dibangun. Pelajar dan penuntut ilmu dari negeri-negeri jauh seperti India dan China pun berdatangan untuk beribadah dan belajar di Masjid al-Aqsha.

Pada tahun 1500-an, dunia Islam bukan lagi dipimpin oleh Kesultanan Mamalik tetapi oleh Kesultanan Utsmaniyyah yang berpusat di Istanbul, Turki. Pada tahun 1513, Sultan Salim I memerangi Kesultanan Mamalik.

Pada tahun 1516, dia muncul di luar tembok kota Baitul-Maqdis bersama pasukannya, dan menerima penyerahan kunci dengan damai oleh penduduk kota bertembok itu.

Berbagai perubahan terus terjadi di Baitul-Maqdis. Kesultanan Utsmaniyah lalu mengirimkan gubernur, tentara, dan pejabat lainnya untuk mengatur kota itu.

Dalam kaitanya dengan Masjid al-Aqsha, era Utsmaniyah menandai dimulainya era kontruksi, penataan, dan kegiatan memperindahnya.

Putra Salim I, Suleyman al-Kauni, berkuasa di tahun 1520. Di masa pemerintahannya, Kubah Batu direnovasi dan diperindah.

Bagian luar bangunan dilapis marmer, ubin-ubin warna-warni, serta kaligrafi. Ayat-ayat Surat Yasin dijadikan hiasan di bagian atas temboknya.

Suleyman memerintahkan dibangunnya sebuah air mancur di dekat gerbang masuk utama Masjid al-Aqsha, untuk dipakai berwudhu jamaah.

Suleyman juga memerintahkan arsiteknya yang bernama Mimar Sinan, untuk membangun kembali dinding tembok di sekitar Masjid al-Aqsha. Tembok itu masih bertahan hingga kini.

Inggris dan Israel Zionis

Selama berabad-abad, Baitul-Maqdis dan Masjid al-Aqsha dalam keadaan aman. Pada saat kaum Muslimin menjadi penguasanya, maka orang Yahudi dan Kristen diberi kebebasan dalam menjalankan ajaran agama.

Namun keharmonian hidup ketika itu diganggu oleh munculnya gerakan Zionisme di Eropa. Mereka berusaha mengubah Baitul-Maqdis dan kawasan di sekitarnya menjadi negara Yahudi saja.

Keinginan itu sempat disampaikan oleh kaum Zionis kepada penguasa Islam ketika itu, Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1800-an. Namun Sultan menolak mentah-mentah, karena menganggap bahwa Baitul-Maqdis bukan miliknya, namun milik seluruh kaum Muslimin di dunia.

Kaum Yahudi Zionis terus melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Salah satunya adalah berpaling kepada Inggris di saat Perang Dunia ke I.

Kesultanan Utsmaniyah masuk ke kancah perang melawan Inggris pada tahun 1914. Pasukan Inggris dengan cepat maju merebut Sinai Palestina selama 1915-1918.

Pada tahun 1917, Inggris akhirnya berhasil merebut Baitul-Maqdis. Untuk pertama kalinya sejak dibebaskan dari tentara Salib oleh Shalahuddin al-Ayyubi, Baitul-Maqdis jatuh ke tangan orang kafir.

Akan tetapi, tidak terjadi pembantaian seperti di masa Perang Salib. Yang kemudian terjadi adalah Inggris mensponsori mengalir masuknya imigran Yahudi Eropa. Ratusan ribu orang Yahudi pindah ke Palestina dan tinggal di Baitul-Maqdis.

Ketika pasukan Inggris dicabut untuk meninggalkan tanah Palestina pada tahun 1948, orang-orang Yahudi Zionis meratakan ratusan desa, mengusir ribuan warga Muslim Arab Palestina, lalu mendirikan negara yang mereka sebut ‘Israel’ di atas sebagian besar tanah Palestina.

Separuh dari kompleks Masjid al-Aqsha dan Kubah Batu berhasil dipertahankan oleh kaum Muslimin. Yordania kemudian memegang otoritas atas Baitul-Maqdis (Jerussalem) Timur dan keseluruhan Kompleks Masjid al-Aqsha yang dikenal juga sebagai Haram ash-Sharif.

Pada 7 Juni 1976, pada hari ketiga perang enam hari, pasukan ‘Israel’ merebut Baitul-Maqdis dan keseluruhan sisa kawasan Tepi Barat Sungai Yordan. Pasukan ‘Israel’ masuk ke Masjid al-Aqsha dengan mudah dan kemudian mengibarkan bendera ‘Israel’ di atas Kubah Batu. Sebuah bencana besar bagi kaum Muslimin.

Pada 21 Agustus 1969, Masjid al-Aqsha dibakar oleh seorang Kristen Australia, Denis Michael Rohan. Konon dia berharap bahwa hancurnya Masjid al-Aqsha akan mempercepat kedatangan “Yesus” ke bumi.

Sebagian besar kaligrafi dari masa berabad-abad sebelumnya hancur, bersama dengan terbakarnya Mimbar Shalahuddin.

Hingga kini, kaum ‘Israel’ Zionis terus berupaya menghancurkan Masjid al-Aqsha. Di bawah kaum penjajah, kini kaum Muslimin tak dapat dengan bebas memasuki Masjid al-Aqsha untuk beribadah. Padahal tempat ini adalah hak kaum Muslimin.*/Ditulis oleh tim peneliti Institut al-Aqsa untuk Riset Perdamaian (ISA)/Suara Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Sultan yang Menolak Perlakukan Istimewa saat Ibadah Haji

Sultan diberikan ruang khusus saat melaksanakan perjalanan haji.

Al Mu’azhzham Isa Syafaruddin Rah. adalah seorang Sultan Al Ayyubiyah yang memerintah Damaskus antara 1218-1227 M. Dia putra pertama dari Sutlan Al Adil I, sekaligus kemenakan Salahuddin al Ayyubi, pendiri dinasti ini.

Ketika Sultan Al Mu’azhzham melakanakan ibadah haji, dia menyempatkan ziarah ke Madinah. Dia pun mendapatkan perlakuan istimewah dari Gubernur Madinah saat itu.

“Aku akan membukakan kamar suci untukmu, agar engkau bisa mengunjunginya secara khusus. Ini tak didapatkan orang selainmu,” kata sang Gubernur.

Sultan menyahut, “Naudzubillah.” Sepertinya aku tidak berhak mendapat dan diperlakukan seperti ini. Biarlah aku tinggal di pinggiran masjid saja. Aku hanyalah seorang yang tidak bermoral baik. Aku katakan kepada diriku: Engkau tidak pantas mendapatkan perlakukan baik seperti ini, untuk mengaggungkan dan memuliakan Rasulullah SAW.”

Lalu salah seorang yang sholeh bercerita, bahwa dia memimpikan Rasulullah SAW. Beliau berkata,” Katakan kepada Isa (Sultan Al Mua’zhzham Isa Syafaruddin), Allah telah menerima hajinya dan ziarahnya. Allah telah mengampuni dosa-dosanya dan keluarganya karena penghormatan dan etikanya kepadaku.”

Sultan berkuasa sampai wafatnya pada 1227 M. Dan, kemudian digantikan oleh putranya, An Nasir Dawud.

Sumber:

198 Kisah Haji Wali-Wali Allah oleh Abdurrahman Ahmad As Sirbuny

Hukum Shalat Pakai Kaos Bergambar Caleg

Bagaimana hukum shalat pakai kaos bergambar caleg? Fenomena ini jamak dijumpai menjelang tahun politik. Lantas bagaimana hukumnya?

Pada dasarnya dalam urusan busana shalat tidak ada syarat tertentu harus menggunakan pakaian yang menunjukkan atribut bangsa atau budaya tertentu. Yang diwajibkan hanyalah menggunakan pakaian yang bisa menutupi aurat dengan baik dan tentunya juga yang terbebas dari najis.

Sebagaimana menurut Syekh Nawawi Banten dalam Kasyifatu al-Saja (84) sebagai berikut:

(و) الثالث (ستر العورة) بجرم طاهر يمنع رؤية لون البشرة

“Yang ketiga (dari syarat sah shalat) adalah menutup aurat dengan bentuk pakaian yang suci yang mampu menghalangi pandangan terhadap warna kulit”

Kaos partai sama halnya dengan kaos lainnya yang bisa digunakan untuk menutupi bagian tubuh yang tentunya bisa juga menutupi aurat laki-laki dalam shalatnya, maka dari itu shalat dengan menggunakan kaos partai adalah sah, hanya saja jika bahan kaosnya dari kain yang tipis dan menerawang sehingga memperlihatkan warna kulit maka jelas tidak sah.

Problematikan shalat menggunakan kaos partai sebenarnya bukan dari sah atau tidaknnya, akan tetapi kepada pantas atau tidaknya untuk digunakan shalat yang mana shalat adalah ibadah sakral yang menjadi simbol praktik seorang hamba untuk menghadap Tuhannya. Ironitas ini muncul memandang karena desain kaos partai memuat lambang partai dan tentunya wajah kontestan pemilu dan namanya.

Al-Khathib al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj (1/437) menyebutkan tentang kemakruhan shalat memakai baju bermotif atau bergambar, sebagai berikut :

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة ، وأن يصلي عليه ، وإليه

“Dimakruhkan shalat memakai baju dengan desain bergambar, begitu juga makruh menggunakannya alas atau sajadah, atau sesuatu yang berada dihadapannya ketika shalat.”

Hukum kemakruhan tersebut tentunya mempunyai alasan yang tendensius, sangat jelas sekali jika kemakruhan ini ada jalur linieritas dengan problematika kekhusyuan dan ketenangan dalam shalat. Sebagaimana menurut Sayyid Bakri dalam I’anatu al-Thalibin jilid 1, halaman 114;

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة أو نقش لانه ربما شغله عن صلاته

“Makruh sholat menggunakan baju yang berdisain gambar atau ukiran, karena bisa mengalihkan perhatian seseorang dari fokus shalatnya.”

Bahkan tidak hanya gambar, begitu juga motif dan corak baju yang bisa berpotensi mengganggu fokus perhatian seseorang dalam shalatnya, dan menurut al-Bujairami diksi gambar itu hanya sebagai satu contoh kasus karena point of view-nya adalah merusak fokus shalat.
Sebagai dalam Hasyiyah-nya atas kitab al-Iqna’ jilid 1, halaman 453;

وقوله : ( فيه صورة ) أي مثلا ، والمراد ما فيه شيء يلهي كما في ق ل فشمل ما فيه خطوط

“Gambar hanya sebagai salah satu contoh kasus dalam hukum makruh tersebut, dan yang dikehendaki adalah segala hal yang bisa menghilangkan fokus dalam shalat sebagaimana menurut al-Qulyubi, maka motif atau garis-garis juga termasuk yang dimakruhkan.”

Pengalihan fokus perhatian shalat di atas tentunya juga sangat berdampak kepada orang lain yang shalat berjamaah bersama si pemakai kaos partai, dan tentunya dampak negatif ini tidak hanya mengenai dirinya sendiri sebagaimana uraian diksi dari beberapa referensi yang disebutkan akan tetapi juga menyasar kepada orang lain yang ironisnya mereka shalat berhadapan dengan logo partai dan wajah seseorang.

Jika saja si pemakai kaos tidak merasa hilang fokus dalam shalat dan tidak terganggu oleh desain kaosnya bahkan orang lain tidak terpengaruh dengan desain kaos tersebut maka tidak dimakaruhkan. Sebagaimana catatan Abdurrahman al-Jaziri dalam al-Fiqhu ala Madzahib al-Arba’ah Jilid 1, halaman 368;

ومنها أن يكون بين يديه ما يشغله من صورة حيوان أو غيرها فإذا لم يشغله لا تكره الصلاة إليها وهذا عند المالكية والشافعية

“Termasuk kemakruhan dalam shalat menurut madzhab maliki dan syafi’i adalah shalat menghadap sesuatu yang bisa mengganggu fokus seperti gambar hewan atau sesuatu yang lain, jika tidak merasa terganggu, maka tidak dimakruhkan.”

Overall, hukum shalat memakai kaos partai dengan motif logo dan wajah kontestannya memang tidak memengaruhi keabsahan shalat, hanya saja kemakruhan ini perlu ditekankan kepada masyarakat karena sangat berpotensi untuk mengganggu fokus perhatian seseorang dalam shalat mengingat fenomena like and dislike seseorang terhadap kontestan pemilu yang sangat menjamur dimasyarkat.

Tentunya jika saja dala jamah ada makmum yang memakai kaos bergambar capres yang tidak disukai maka otomatis hatinya akan bergumam buruk ketika dia melihat wajah capres itu dalam shalatnya, dan ini sangat bisa menodai ketenangan seseorang dalam beribadah.

Demikian penjelasan terkait hukum shalat pakai kaos bergambar Caleg. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Membuang Barang dengan Alasan Boikot

Baru-baru ini viral di lini masa, aksi sekelompok orang yang membuang minuman dalam kemasan yang dipercaya sebagai produk dari Prancis dengan alasan boikot. Boikot terhadap produk Prancis sendiri ramai digaungkan oleh mayoritas muslimin di seluruh dunia menyusul sikap Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang mendukung publikasi karikatur Nabi Muhammad SAW pada Majalah Charlie Hebdo.

Aksi sekelompok orang yang membuang minuman tersebut menuai berbagai tanggapan dari netizen. Mayoritas netizen menyayangkan tindakan tersebut karena menurut mereka hal itu merupakan tindakan mubadzir. Dalam tulisan ini akan kita kaji bagaimana sesungguhnya syariat menilai tindakan membuang barang dengan alasan boikot. Untuk menjawab persoalan ini, terlebih dulu akan kita kaji apa hukum boikot dalam Islam, agar persoalan bisa terurai dengan baik.

Secara singkat, pengertian boikot adalah suatu wujud protes sekelompok orang terhadap seseorang atau organisasi tertentu dengan cara menolak untuk menggunakan, membeli, atau berurusan dengan pihak yang diboikot. Umumnya boikot dilakukan secara terorganisir dan tidak melibatkan tindak kekerasan dengan tujuan untuk memaksa pihak yang diboikot mengubah suatu kebijakan. Boikot juga bisa diartikan sebagai suatu tindakan persekongkolan sekelompok orang untuk menolak bekerjasama, menggunakan, atau berurusan dengan seseorang, produk, atau organisasi tertentu. Dalam persoalan ini, tindakan Presiden Prancis sebagaimana tergambarkan diatas, memicu aksi dari kaum muslimin di seluruh dunia untuk melakukan boikot atau berhenti menggunakan produk dari Prancis sebagai bentuk protes mereka.

Apakah tindakan boikot semacam ini mendapatkan legalitas syariat Islam? Para ulama berpendapat bahwa hukum asal boikot adalah mubah. Ulama berpendapat demikian, karena pada dasarnya, hukum bermuamalah dengan orang kafir ialah mubah atau boleh-boleh saja. Sejarah mencatat bahwa meskipun diserang baik secara fisik maupun batin oleh orang kafir, namun hal tersebut tidak membuat Nabi Muhammad enggan bermuamalah dengan mereka. Sebuah riwayat dari Ibunda Kaum Muslimin, Aisyah Ra. bahkan menyebutkan bahwa ketika Nabi wafat, baju besi beliau tergadai di tempat orang Yahudi untuk membeli gandum sebanyak 30 sho’ (Shahih Bukhari, juz III, no. 1068).

Dengan pertimbangan semacam itu, berarti kita tidak memiliki pijakan dalil yang kuat tentang tindakan boikot produk kafir karena Nabi Muhammad sendiri pernah bermuamalah dengan orang kafir. Ketiadaan dalil ini kemudian membuat hukum boikot secara spesifik tidak sunnah, tidak pula wajib, namun mubah (boleh) saja. Dalam ilmu ushul fikih, sebuah hukum mubah, baru akan naik pada derajat sunnah atau bahkan wajib, hanya jika dilekati dengan pertimbangan lain. Contohnya ialah boikot dalam rangka menghormati kemuliaan Nabi.

Boikot dengan pertimbangan semacam inilah yang kemudian diserukan oleh MUI lewat juru bicaranya, yakni Dr. Asrorun Niam Sholeh. Beliau menegaskan bahwa wajib hukumnya menghormati Rasululah. Jika dengan boikot ini bisa menyadarkan Emmanuel Macron agar menghormati Nabi, maka hukum boikot menjadi wajib. Sebagaimana kaidah fikih yang menyatakan:

وَسَائِلُ الأُمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ

“Hukum perantara sama dengan hukum tujuan. Hukumilah dengan hukum tersebut untuk tambahan lainnya.”

Hukum maqashid yang dimaksud ialah hukum wajib menghormati Nabi. Perantaranya ialah boikot. Jika dengan perantara boikot akan bisa menyadarkan Macron untuk menghormati Nabi, maka hukum boikot bisa menjadi wajib.

Beranjak kepada persoalan berikutnya. Jika kita bisa menyatakan bahwa boikot wajib dengan alasan diatas, maka berarti kita wajib stop membeli atau mengkonsumsi produk yang berasal atau diproduksi oleh Prancis. Lantas bagaimana dengan tindakan sebagian saudara kita yang membuang produk tersebut yang tentu saja sudah dia beli sebelumnya. Apakah hal tersebut juga wajib? Diperbolehkan? Atau tidak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu memahami sebuah kaidah fikih yang berbunyi:

اَلضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ

“Kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang semisal apalagi kemudharatan yang lebih parah”

Satu sisi kita tahu bahwa ada kemudharatan pada penggunaan produk yang kita boikot, tapi di sisi lain, ketika kita membuang produk tersebut, maka ada kemudharatan baru yang mengancam kita, yaitu tabdzir atau tindakan menyia-nyiakan barang, terlebih apabila barang tersebut ialah makanan. Allah berfirman dalam QS. Al-Isra [17]: 26-27,

وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

wa āti żal-qurbā ḥaqqahụ wal-miskīna wabnas-sabīli wa lā tubażżir tabżīrā

Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.

Larangan menyia-nyiakan harta ini pun ditegaskan oleh Rasulullah dalam sebuah hadis,

إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

“Sesungguhnya Allah membeci kalian karena 3 hal: “katanya-katanya” (berita dusta), menyia-nyiakan harta, dan banyak meminta.” (HR. Bukhari 1477 & Muslim 4578).

Dengan demikian, meskipun diniati sebagai ibadah, namun boikot dengan cara membuang produk orang kafir yang sudah kita beli, hukumnya adalah haram karena bisa dianggap sebagai tindakan menyia-nyiakan harta.

Pilihan yang lebih bijaksana dalam boikot sebenarnya ialah kita berhenti membeli produk-produk orang kafir, dan untuk produk yang sudah terlanjur kita miliki, sebaiknya kita konsumsi dengan baik agar jangan sampai tersia-siakan.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.

BINCANG SYARIAH