Kesabaran merupakan salah satu akhlak mulia yang senantiasa ditekankan oleh syariat ini kepada umatnya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan pertolongan dan bantuan-Nya kepada hamba-Nya. Ia berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini menyebutkan,
“Kesabaran memiliki dampak yang besar di dalam menolong seorang hamba dalam segala hal, karena tidak ada jalan keluar dan solusi sama sekali bagi orang yang tidak bersabar untuk menggapai apa yang diinginkannya. Dalam hal ketaatan yang seringkali sulit dan berat untuk dilakukan dan harus berkesinambungan di dalam melaksanakannya, maka itu membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk merasakan kepahitan yang menyakitkan. Saat seorang hamba konsekuen dengan kesabarannya, niscaya dia akan memperoleh kemenangan dan pertolongan di dalam menjalani ketaatan tersebut. Dan bila dia dijauhkan dari kesabaran dan konsekuen terhadapnya, niscaya dia tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali kehampaan. Demikian pula, dalam hal kemaksiatan yang mana dorongan nafsu dan godaannya begitu kuat untuk melakukannya, maka ini tidaklah mungkin ditinggalkan, kecuali dengan kesabaran yang besar serta menahan godaan nafsunya karena Allah Ta’ala.”
Pada akhirnya, kesabaran adalah teman terbaik seorang hamba di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan banyak sekali keutamaan kepada hamba-Nya.
Definisi sabar
Sabar merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa, sabar bermakna melarang dan menahan diri. Adapun secara istilah, sabar bermakna “Menahan jiwa dari rasa cemas dan gelisah, menahan lidah dari mengeluh, dan menahan anggota badan lainnya dari menampar pipi, merobek kantong, dan lain sebagainya yang menggambarkan kecemasan dan kemarahan karena hilangnya kesabaran.”
Sabar merupakan karakter jiwa yang akan mencegah seseorang melakukan apa pun yang tidak baik dan tidak indah. Dan ia merupakan salah satu kekuatan jiwa yang membuat setiap tindak tanduk pelakunya menjadi baik dan urusannya menjadi mudah dan dilancarkan.
Cakupan “sabar” sangatlah luas, sampai-sampai ada yang mengatakan perihal definisi kesabaran, “Sabar berarti menjauhi kemaksiatan, tetap tenang ketika menghadapi pahitnya musibah, dan menampakkan kecukupan ketika kemiskinan menghampiri kehidupan.”
Sabar juga diperlukan saat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Yaitu, dengan menerima seluruh kewajiban yang diwajibkan kepadanya dengan lapang dada, lalu menjalankannya dengan tidak mengeluh dan berputus asa.
Kesabaran, wasiat Luqman kepada anaknya
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan wasiat Luqman kepada anaknya,
يَٰبُنَىَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱنْهَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
Begitu pentingnya kesabaran ini, hingga menjadi salah satu poin penting dalam wasiat Luqman kepada anaknya. Karena dengan kesabaran ini, seseorang akan dimudahkan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dimudahkan juga untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang, serta dimudahkan juga untuk menghadapi segala macam ujian yang menimpa.
Pahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabar
Kesabaran, meskipun terlihat mudah ketika diucapkan, pada kenyataanya tidaklah mudah untuk direalisasikan. Saat ujian menimpa, saat kita dituntut dengan beragam bentuk perintah, dan saat kita juga harus meninggalkan berbagai macam larangan Allah Ta’ala, maka dalam hati seringkali masih muncul perasaan tidak rida, lelah, mengeluh, dan putus asa. Belum lagi, besarnya godaan dan bisikan setan yang menghasut kita untuk bersikap murka, tidak terima, dan tidak rida dengan takdir dan ujian yang Allah berikan.
Begitu beratnya ujian kesabaran ini, hingga Allah Ta’ala janjikan pahala tanpa batas bagi siapa pun yang bisa bersabar. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa dirinya mencintai orang-orang yang bersabar,
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146)
Allah Ta’ala juga menyelamatkan mereka yang bersabar dari pedihnya siksa api neraka serta memberikan mereka nikmat surga yang kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman,
إِنِّي جَزَيْتُهُمْ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمْ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya pada hari ini Aku memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. Al-Mukiminun: 111)
Syekh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya memaknai kemenangan dengan, “Berhasil meraih kenikmatan yang lestari dan keselamatan dari neraka Jahim.”
Di dalam sebuah hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah didatangi seorang wanita hitam yang mengadu kepadanya,
إنِّي أُصْرَعُ، وإنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي ، قَالَ إنْ شِئْتِ صَبَرْتِ ولَكِ الجَنَّةُ، وإنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أنْ يُعَافِيَكِ، فَقَالَتْ: أصْبِرُ،فَقَالَتْ: إنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لي ألَّا أتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا
“Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku.” Beliau bersabda, “Jika kamu berkenan, bersabarlah, maka bagimu surga. Dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Ia berkata, “Baiklah, aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi, “Namun, berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka, beliau mendoakan untuknya. (HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan kepada wanita tersebut, antara bersabar menghadapi penyakitnya lalu akan mendapatkan surga Allah Ta’ala, ataukah mendapatkaan doa Nabi agar diberikan kesembuhan. Dan wanita tersebut memilih untuk bersabar di dalam menghadapi penyakitnya dengan harapan ia akan mendapatkan surga. Sungguh sebuah keutamaan yang besar bagi siapapun yang bisa bersabar atas setiap cobaan dan ujian yang sedang dihadapinya.
Realisasi sifat sabar di era digital dan media sosial
Kita hidup di era digital, di mana informasi sangat mudah diakses dan disebarluaskan. Media sosial menjadi salah satu wadah dan tempat bertukar informasi, ngobrol, dan bersenda gurau, layaknya seseorang yang berkumpul dan berjumpa langsung dengan teman-temannya di dunia nyata.
Hingga kemudian, layaknya sedang ngobrol dan berkumpul dengan temannya, banyak dari mereka yang lalai hingga mengorbankan sifat kesabaran yang dimilikinya. Ada yang begitu mudahnya mengumbar problem dan kesulitan yang sedang dihadapinya ke khalayak umum. Ketika sedang dirundung prahara dalam rumah tangganya, lalu memasang status di WA. Sedang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, update story di FB dan media sosial lainnya. Hingga kemudian semua orang jadi tahu dengan permasalahan yang dihadapinya.
Ada juga yang jari jemarinya tidak terkontrol untuk berkomentar buruk, keji, dan tidak senonoh saat melihat sebuah postingan atau mendapati fenomena tertentu di berandanya. Ada juga yang tidak sabar untuk menyebarluaskan segala macam informasi tanpa ia tahu kevalidannya dan tanpa berpikir terlebih dahulu asas kebermanfaatannya.
Ketahuilah wahai saudaraku, perbuatan semacam ini merupakan salah satu perusak bangunan kesabaran dari diri seorang muslim. Seorang muslim seharusnya hanya mengadukan rasa susah yang dihadapinya kepada Allah Ta’ala dan bukan kepada makhluk selain-Nya. Sebagaimana Nabiyullah Ya’qub alaihissalam mengatakan,
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ
“Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” (QS. Yusuf: 86)
Begitu pula, Nabi Ayyub ‘alaihis salam mengatakan,
أَنِّي مَسَّنِي الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.“ (QS. Al-Anbiya’: 83).
Aduan perihal penyakit yang dideritanya tersebut kepada Tuhannya tidaklah Allah kategorikan sebagai perbuatan yang merusak kesabarannya. Bahkan Allah Ta’ala mengatakan tentang beliau ‘alaihis salam,
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44)
Saat sedang diliputi masalah dan problematika, maka tidak sepatutnya seorang muslim untuk mengumbarnya ke khalayak umum. Karena perbuatan semacam ini jelas akan meniadakan makna sabar dari diri kita. Saat sedang menghadapi masalah, bersimpuhlah di hadapan Allah Ta’ala, karena hanya kepada-Nyalah seorang hamba mengadu dan menumpahkan pernak pernik masalahnya. Sebagaimana hal ini telah diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
“Apabila ada masalah berat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat.” (HR. Abu Dawud no. 1319 dan dihasankan oleh Syekh Albani)
Semisal pun kita butuh untuk berdiskusi dan meminta masukan dari orang lain, maka carilah orang yang benar-benar amanah dan kompeten. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Tanyalah kepada ahlinya (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Seorang muslim juga dituntut untuk menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang tidak Allah sukai. Menahan diri dari mengucapkan dan menuliskan hal-hal yang dapat melukai dan mengganggu saudara muslim lainnya. Tidak mudah terprovokasi dan tersulut emosinya saat ada yang menyinggungnya. Dan tidak membalas komentar buruk dengan keburukan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesabaran di dalam menghadapi setiap ujian yang menimpa kita. Semoga Allah menjadikan kita salah satu hamba-Nya yang bisa bersabar dalam segala kondisi, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya.
رَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ۗ
“Rabbana afrigh ‘alaina shabraw wa tsabbit aqdamana wansurna ‘alal qaumil kafirin.”
“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 250)
Wallahu A’lam bisshawab
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
MUSLIM