Hari Ibu Nasional: Islam Perintahkan untuk Berbakti Pada Ibu

Hari Ibu Nasional adalah hari peringatan tahunan untuk menghormati peran ibu dalam keluarga dan masyarakat. Di Indonesia, Hari Ibu Nasional diperingati setiap tanggal 22 Desember.

Peringatan Hari Ibu Nasional di Indonesia didasari oleh peristiwa sejarah penting, yaitu diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia pertama kali di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini dihadiri oleh 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia, dan menghasilkan keputusan-keputusan penting yang menjadi tonggak sejarah bagi perjuangan perempuan Indonesia.

Perayaan Hari Ibu Nasional tersebut sebagai bentuk penghormatan kita pada perjuangan dan jasa seorang ibu. Semua tahu tentunya, selama 9 bulan ibu telah mengandung, melahirkan bahkan menyusui, merawat anak-anaknya hingga tumbuh dewasa. Dalam ajaran Islam seorang wanita ditempatkan di posisi tinggi.

Oleh karenanya kita pun senantiasa diperintahkan untuk selalu menyayangi dan mengutamakan ibu kita. Rasulullah SAW bahkan menyebut kata ibu hingga sebanyak tiga kali dalam salah satu haditsnya. Bahwa seorang anak haruslah menghormati dan berbakti kepada kedua orang tuanya, terutama ibunya.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

Artinya: “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Menurut pandangan Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi berpendapat, hadits di atas menunjukkan kecintaan dan kasih sayang kepada seorang ibu harus 3 kali lipat dibandingkan pada seorang ayah. Sebab, seorang ibu harus melewati banyak kesulitan selama mengandung sang anak.

“Kesulitan di masa kehamilan, ketika melahirkan, serta kesulitan saat menyusui dan merawat anaknya. Hal itu hanya dialami seorang ibu, tidak seorang ayah,” tulis Imam Al-Qurthubi yang diterjemahkan Nurul Asmayani dalam buku Perempuan Bertanya, Fikih Menjawab.

Selaras dengan pandangan di atas, dalam hadits riwayat lain juga mengusung redaksi serupa tentang besaran bakti kepada ibu. Rasulullah SAW bersabda;

Artinya: “Sesungguhnya Allah berwasiat tiga kali kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat.” (HR Ibnu Majah)

Alkisah dahulu bahkan Rasulullah juga pernah berpesan kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib untuk mencari seseorang bernama Uwais al Qarni. Umar dan Ali dipesankan untuk meminta Uwais mendoakan pengampunan bagi diri mereka.

Usut punya usut, Uwais al Qarni ternyata adalah seorang anak yang sangat memuliakan ibunya. Rasulullah SAW bersabda,

إن خيرَ التابعين رجلٌ يقالُ له أويسٌ . وله والدةٌ . وكان به بياضٌ . فمروه فليستغفرْ لكم

Artinya: “Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang lelaki bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu, dan ia memiliki tanda putih di tubuhnya. Maka temuilah ia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk kalian.” (HR Muslim).

Selain sejumlah hadist di atas dalam Al-Qur’an Allah SWT memerintahkan secara langsung agar umat muslim berbakti pada kedua orang tua atau birrul walidain. Salah satunya diterangkan dalam firmanNya surah Al Isra ayat 23 dan 24.

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا, وَٱخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًا

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita diwajibkan untuk berbakti kepada orang tua.  Bahkan juga disebutkan dalam hadits bahwa birrul walidain memiliki derajat yang setara bahkan lebih tinggi daripada jihad. 

Termasuk bagi orang tua yang sudah meninggal, anak masih dapat berbakti dengan senantiasa mendoakannya. Demikian semoga dalam peringatan hari ibu ini kita dapat bermuhasabah, untuk lebih menghargai, menghormati dan menyayangi ibu kita lebih baik lagi. 

BINCANG SYARIAH

Selamat Hari Ibu: Peran Ibu Sebagai Madrasah Pertama Dalam Pendidikan Anak

Hari Ibu jatuh pada tanggal 22 Desember merupakan momen yang sangat istimewa dan penuh makna bagi masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tanggal ini tidak hanya menjadi ajang untuk merayakan kasih sayang dan pengorbanan seorang ibu, tetapi juga sebagai penghormatan atas peran dan kontribusinya dalam membangun keluarga dan masyarakat.

Ibu merupakan Madrasah yang paling utama dalam pembentukan kepribadian anak. Disamping itu ia sangat berperan sebagai figur central yang dicontoh dan diteladani dengan perilaku atau moralitas melalui arahan dalam berbagai keutamaan yang mulia. Untuk mencapai keutamaan ini seperti menanamkan akhlak-akhlak terpuji baik terhadap keluarga maupun di kalangan masyarakat maka para ibu perlu sekali memperhatikan anak-anaknya sejak dini, setiap muncul sifat-sifat negatif seperti sombong, congkak, hendaknya mereka segera mengobatinya. Jika sifat ini dipelihara maka di masa yang akan datang perangainya akan cenderung tidak mau menerima nasehat dan tidak mau berkecimpung dengan kelompok-kelompok yang baik.

Dalam hal ini sering sekali terjadi bukan hanya pengaruh lingkungan masyarakat saja akan tetapi juga keluarga. Lebih-lebih lagi apabila anak-anak hidup dalam sebuah keluarga yang suasana tidak damai dan diliputi oleh nilai-nilai yang tidak teriringi akhlak mulia, maka psycologisnya akan tidak tertanam nilai-nilai moral yang berbasis Islami. Untuk mengatasi problema ini maka seorang ibu merupakan tokoh utama untuk mewujudkan suasana harmonis agar terwujudnya kesuksesan dalam mendidik anak.

Peran Ibu Sebagai Madrasah Dalam Mendidik Anak

Kata ibu dalam al-Qur’an disebut “umm” yang berasal dari akar kata yang sama dengan ummat yang artinya “pemimpin” yang dituju atau yang diteladani. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ibu akan dapat menciptakan pemimpin-pemimpin dan bahkan dapat membina umat melalui perhatian dan keteladanannya dalam mendidik anak. Demikian juga sebaliknya, jika yang melahirkannya tidak berfungsi sebagai ibu (umm) maka akan hancur generasigenerasi selanjutnya dan tidak akan muncul pemimpin yang bisa diteladani. Selanjutnya kata “Madrasah” adalah istilah kata dari bahasa Arab yaitu nama tempat dari kata “darasa-yadrusu-darsan wa durusun wa dirasatun, yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadi usang, dan melatih.

Dilihat dari pengertian ini maka madrasah berarti tempat untuk mencerdaskan para peserta didik, menghilangkan ketidaktauan atau memberantas kebodohan peserta didik serta melatih kemampuan mereka sesuai dengan bakat dan minat dan kemampuannya. Dari pengertian tersebut di atas, maka dapat diberikan penjelasan yang mendasar bahwa ibu sebagai madrasah yaitu pembangun (fondamen) dasar perilaku atau moralitas melalui arahan dengan berbagai keutamaan, hasrat, kemajuan, tindak, dan keyakinan diri. Karena merubah perilaku anak sangat sulit hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Ṣallallāh ‘alayh wa Sallam: “Anak adalah raja selama tujuah tahun pertama dan hamba pada tujuh tahun kedua, serta teman musyawarah pada tujuh tahun ketiga”.

Berdasarkan siklus kehidupan tersebut maka ibu merupakan penanggung jawab utama terhadap pendidikan baik mendidik akhlak maupun kepribadian mereka, dan harus bekerja keras dalam mengawasi tingkah laku mereka dengan menanamkan perilaku terpuji, serta tujuan-tujuan yang mulia. Sebagai contoh: ketika anak-anak muncul sifat negatif seperti sombong, congkak hendaknya para ibu segera mengobati mereka karena sifat-sifat ini akan meresap ke dalam jiwa anak-anak seiring dengan perjalanan waktu. Ibarat pohon yang akar-akarnya telah meresap ke dalam tanah sungguh sulit untuk mengobati penyakit tersebut bila sudah besar. Karena sifat-sifat ini bukan hanya dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat saja, akan tetapi sangat dominan di lingkungan rumah atau keluarganya.

Ibu Sebagai Suri Tauladan Dalam Rumah Tangga

Suri tauladan merupakan kurikulum yang diamanahkan Allah Swt kepada sosok manusia yang mengembangkannya, menerjemahkan, serta mengartikulasikannya kepada perilaku yang tektual dan dapat dirasakan. Oleh karena itu Allah mengutus Nabi Muhammad Ṣallallāh ‘alayh wa Sallam untuk menerjemahkan kurikulum ini agar menjadi suri tauladan yang baik bagi segenap umatnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt, yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik” (al-Ahzab:21).

Sesuai dengan ayat tersebut contoh mendidik anak sebagaimana yang dipraktekkan Rasulullah. Hal ini sesuai dengan karakteristik sosok teladan yang dimiliki Rasulullah sebagai landasan dan metode mendidik anak. Di samping itu pula, Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap keluargamu dan aku adalah yang paling baik dalam memperlakukan keluargaku. (HR. Ibnu Hibban) Penjelasan dari hadis tersebut di atas memberikan gambaran bahwa kehidupan Rasulullah Saw sebagai ayah kebaikannya berinteraksi dengan anakanak para sahabat dan tetangganya merupakan tauladan sesuai dengan karakteristik mulia yang beliau miliki.

Berdasarkan contoh diatas maka seorang ibu berperan sebagai madrasah dalam keluarga harus memiliki teladan yang dijadikan contoh oleh anak-anaknya. Di mana dalam kehidupan sehari-hari misalnya seorang ibu dapat membentuk norma-norma dan nilai-nilai serta dapat memperbaiki akidah anak-anaknya.

Contoh yang lain seorang ibu harus berlaku adil terhadap anak-anaknya dan mendidik mereka dengan hal-hal terpuji serta tumbuh dengan aqidah Islam yang kokoh, demikian pula seorang ibu mendidik bersikap amanah di depan anak-anaknya dan sebaliknya jika seorang anak melihat ibunya berdusta dan mimpi tidak mungkin sama sekali belajar kejujuran. Jika ibu bersikap angkuh, sombong, dan dengki maka anaknyapun tidak mungkin belajar keutamaan dan berakhlak baik.

Pengaruh Bahasa Dalam Mendidik Anak

Bahasa memiliki peranan penting dalam pertumbuhan seoran anak dari seluruh aspek kepribadiannya. Pedoman ini bisa merujuk pada masa dahulu yaitu pada zaman sejarah bangsa Arab. Dengan itu dapat diketahui pentingnya bahasa dalam pendidikan anak dan pengaruhnya terhadap bidang-bidang kehidupan.

Bangsa Arab dulu berusaha keras apabila ada anak-anak kecil dan bayi dilahirkan untuk mengirimkan mereka ke desa perkampungan dan di sana dicari ibu-ibu susuan dengan tujuan agar mendidik bahasa dengan baik dan berbicara dengan tutur kata yang indah dan bahasa Arab yang fasih yang dipergunakan oleh penduduk Arab pedalaman. Tujuan ini tidak lain agar anak-anak mereka memiliki sifat-sifat yang penuh keberanian, cerdik, perilaku terpuji, mulia, dan murah hati dan ksatrianya.

Berdasarkan sudut pandang tersebut maka pada zaman era globalisasi ini seorang ibu sangat sulit menggunakan yang demikian lebih-lebih cara kita memandang terhadap penduduk pedalaman telah berubah, diakibatkan oleh keterlambatan sampainya aliran peradaban yang membaca cara-cara pemeliharaan kesehatan, metode-metode pendidikan, dan program-program perubahan wawasan pengetahuan di kampung-kampung pedalaman.

Walaupun hal ini memang sulit untuk diciptakan paling tidak kita mampu mengusahakan untuk menciptakan lingkungan Islami yang mirip dengan lingkungan-lingkungan seperti itu dan mau berusaha menjadikan pergaulan dengan anak-anak kita secara terarah dan baik dengan menggali ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu ibu merupakan unsur asasi dan pokok dasar dalam keluarga maka kepadanyalah jatuh tanggung jawab tersebut untuk melakukan hal-hal baik.

Dan seorang anak yang dididik dalam pangkuan ibu yang penuh perhatian dengannya dan melaksanakan pendidikannya secara baik dengan ungkapan bahasa yang paling tepat dan indah maka tidak diragukan lagi anak-anak akan patuh dan akan mendapatkan pengalaman yang baik.

Sebagai contoh: “Anakku jangan ribut, karena ibu sedang capek mau beristirahat. Kalau ibu tidak beristirahat nanti ibu tidak bisa bekerja lagi”. Jika anak-anak kita memberikan respon positif dengan ucapan demikian, maka seorang ibu jangan pernah lupa mengucapkan terima kasih.

Pentingnya Hiburan Bagi Anak-Anak

Hiburan adalah suatu kata yang dipakai untuk menyatakan jenis kegiatan yang konstruktif yang dijalankan oleh seseorang pada waktu senggangnya. Hal ini bukan untuk memperoleh materi, akan tetapi dapat bersifat fisik, akal, sosial, etika, maupun seni. Jiwa manusia itu berbeda-beda sesuai dengan karakternya masing-masing dan cara untuk mendapatkan hiburan juga berbeda-beda. Sebagian anak-anak suka hiburan menaiki kuda. Hal ini untuk memperoleh ketenangan jiwa dan menghirup udara bebas yang bersih yang memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan badan. Sebagian yang lain ada yang suka berenang, berlari, berburu, dan lain sebagainya.

Ragam hiburan di sini perlu sekali diketahui oleh seorang ibu, karena di zaman modern ini terdapat beraneka ragam permainan yang menarik dan menggoda anak-anak sehingga perlu pelibatan para ahli pendidikan untuk mengawasi pembuatan mainan. Sehingga jenis permainan dapat dipisahkan untuk anak-anak dalam batas waktu tertentu. Jadi, peran ibu di sini adalah menggunakan waktu untuk mencarikan permainan yang sesuai dengan anaknya. Demikian pula, seorang ibu perlu menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa hiburan yang dilakukan harus sesuai dengan ajaran Islam.

Apabila tujuannya untuk memperkuat jasmani dan membuat pikiran menjadi rileks dan bersemangat untuk melaksanakan tugas-tugas yang lain maka akan menjadi ibadah dan mendapatkan pahala. Sebagai contoh jika seorang ibu melihat kecenderungan anaknya untuk menggambar atau menulis huruf-huruf Arab berupa tulisan indah (kaligrafi) maka ia harus membantunya dan mengembangkan bakatnya itu dengan cara menyediakan berbagai jenis perlengkapan seperti buku pedoman kaligrafi, pena, pewarna dan sebagainya yang dianggap perlu. Namun sebaiknya hal itu dilakukan pada waktu-waktu senggang agar tidak mengganggu tugas-tugas lain yang lebih penting dikerjakan.

ISLAMKAFFAH

Bukti Islam Memuliakan Ibu : Kisah Ibunda Hebat dalam Al Quran

Ibu dalam Islam menempati posisi yang mulia. Peringatan Hari Ibu sejatinya juga sejalan dengan semangat prioritas Islam tentang keberadaan seorang ibu. Hadist yang begitu sangat populer tentang disebutkannya ibu tiga kali oleh Rasulullah ketika ditanya seorang sahabat tentang siapa yang berhak diperlakukan dengan baik.

Ulama sepakat penyebutan tiga kali itu sebagai bukti perjuangan ibu dalam membesarkan anak lebih berat dari pada seorang ayah. Ibu mengalami perjuangan saat hamil, melahirkan dan merawat anak hingga dewasa.

Islam dalam penghormatan seorang ibu melukiskan perjuangan wanita-wanita dalam al-Quran. Kisah yang pertam dan sangat fenomenal adalah Ibunda Ismail, Hajar. Dalam surat Ibrahim kisah itu dilukiskan ketika mereka berdua ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim di gurun yang tandus.

Lihatlah kesabaran, ketabahan dan kegigihan Hajar yang mencari air untuk memenuhi bayinya yang kehausan. Berlari bolak balik dari bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air. Kisah ketulusan seorang ibu inilah yang diabadikan dalam Islam dalam ritual haji sa’i. Itulah prasasti perjuangan seorang ibu.

Kisah kedua adalah keberanian seorang ibu bernama Milyanah Ibunda Nabi Musa. Dikisahkan dalam Surat Al-Qashash ketika Firaun mengeluarkan kebijakan yang kejam untuk membunuh semua bayi laki-laki bani Israel kala itu. Untuk menyelematkan sang anak, Milyanah mengambil sikap yang berani di tengah ketakutan orang-orang kala itu.

Atas petunjuk Allah ia meletakkan Nabi Musa dalam peti dan dihanyutkan ke Sungai Nil. Allah memerintahkan Ibunda Nabi Musa untuk menyusui anaknya dan segera menghanyutkan ke sungai. Allah menjanjikan anak itu akan kembali dan tidak perlu khawatir. Sungguh kesedihan luar biasa yang dihadapi ketika harus berpisah dengan bayi yang baru ia lahirkan.

Ketiga ibunda yang hebat lainnya adalah Maryam ibunda Nabi Isa. Al-Quran menceritakannya sebagai perempuan yang mulia, suci dan penuh kesabaran. Namun, ia harus menghadapi kenyataan yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ia telah dipilih Allah untuk mengandung seorang bayi tanpa seorang ayah. Kesucian Maryam menjadi bukti kekuasaan Tuhan tentang kelahiran Nabi Isa.

Islam mendorong umatnya untuk menghormati dan memuliakan ibunya. Nabi suatu ketika memerintahkan Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Tahlib untuk mencari seorang pemuda biasa agar mendoakan mereka berdua. Sungguh penasaran kedua sahabat tentang siapa pemuda itu.

Tentu tidak lain, orang itu bernama Uwais al Qarni seorang pemuda dengan pengetahuan keagamaan yang biasa dan bukan bangsawan. Tetapi, ia adalah seorang yang berbakti kepada ibunya. Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang lelaki bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu, dan ia memiliki tanda putih di tubuhnya. Maka temuilah ia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk kalian. (HR Muslim). Itulah kemuliaan anak yang bisa menghormati dan memuliakan ibunya.

ISLAMKAFFAH

Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial

Kesabaran merupakan salah satu akhlak mulia yang senantiasa ditekankan oleh syariat ini kepada umatnya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan pertolongan dan bantuan-Nya kepada hamba-Nya. Ia berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini menyebutkan,

“Kesabaran memiliki dampak yang besar di dalam menolong seorang hamba dalam segala hal, karena tidak ada jalan keluar dan solusi sama sekali bagi orang yang tidak bersabar untuk menggapai apa yang diinginkannya. Dalam hal ketaatan yang seringkali sulit dan berat untuk dilakukan dan harus berkesinambungan di dalam melaksanakannya, maka itu membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk merasakan kepahitan yang menyakitkan. Saat seorang hamba konsekuen dengan kesabarannya, niscaya dia akan memperoleh kemenangan dan pertolongan di dalam menjalani ketaatan tersebut. Dan bila dia dijauhkan dari kesabaran dan konsekuen terhadapnya, niscaya dia tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali kehampaan. Demikian pula, dalam hal kemaksiatan yang mana dorongan nafsu dan godaannya begitu kuat untuk melakukannya, maka ini tidaklah mungkin ditinggalkan, kecuali dengan kesabaran yang besar serta menahan godaan nafsunya karena Allah Ta’ala.”

Pada akhirnya, kesabaran adalah teman terbaik seorang hamba di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan kesabaran inilah, Allah Ta’ala akan memberikan banyak sekali keutamaan kepada hamba-Nya.

Definisi sabar

Sabar merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa, sabar bermakna melarang dan menahan diri. Adapun secara istilah, sabar bermakna “Menahan jiwa dari rasa cemas dan gelisah, menahan lidah dari mengeluh, dan menahan anggota badan lainnya dari menampar pipi, merobek kantong, dan lain sebagainya yang menggambarkan kecemasan dan kemarahan karena hilangnya kesabaran.”

Sabar merupakan karakter jiwa yang akan mencegah seseorang melakukan apa pun yang tidak baik dan tidak indah. Dan ia merupakan salah satu kekuatan jiwa yang membuat setiap tindak tanduk pelakunya menjadi baik dan urusannya menjadi mudah dan dilancarkan.

Cakupan “sabar” sangatlah luas, sampai-sampai ada yang mengatakan perihal definisi kesabaran, “Sabar berarti menjauhi kemaksiatan, tetap tenang ketika menghadapi pahitnya musibah, dan menampakkan kecukupan ketika kemiskinan menghampiri kehidupan.”

Sabar juga diperlukan saat menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Yaitu, dengan menerima seluruh kewajiban yang diwajibkan kepadanya dengan lapang dada, lalu menjalankannya dengan tidak mengeluh dan berputus asa.

Kesabaran, wasiat Luqman kepada anaknya

Allah Ta’ala berfirman mengisahkan wasiat Luqman kepada anaknya,

يَٰبُنَىَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱنْهَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ

“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

Begitu pentingnya kesabaran ini, hingga menjadi salah satu poin penting dalam wasiat Luqman kepada anaknya. Karena dengan kesabaran ini, seseorang akan dimudahkan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dimudahkan juga untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang, serta dimudahkan juga untuk menghadapi segala macam ujian yang menimpa.

Pahala tanpa batas dan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang bersabar

Kesabaran, meskipun terlihat mudah ketika diucapkan, pada kenyataanya tidaklah mudah untuk direalisasikan. Saat ujian menimpa, saat kita dituntut dengan beragam bentuk perintah, dan saat kita juga harus meninggalkan berbagai macam larangan Allah Ta’ala, maka dalam hati seringkali masih muncul perasaan tidak rida, lelah, mengeluh, dan putus asa. Belum lagi, besarnya godaan dan bisikan setan yang menghasut kita untuk bersikap murka, tidak terima, dan tidak rida dengan takdir dan ujian yang Allah berikan.

Begitu beratnya ujian kesabaran ini, hingga Allah Ta’ala janjikan pahala tanpa batas bagi siapa pun yang bisa bersabar. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. (QS. Az-Zumar: 10)

Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa dirinya mencintai orang-orang yang bersabar,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Allah menyukai orang-orang yang sabar.”  (QS. Ali Imran: 146)

Allah Ta’ala juga menyelamatkan mereka yang bersabar dari pedihnya siksa api neraka serta memberikan mereka nikmat surga yang kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman,

إِنِّي جَزَيْتُهُمْ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمْ الْفَائِزُونَ

“Sesungguhnya pada hari ini Aku memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. (QS. Al-Mukiminun: 111)

Syekh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya memaknai kemenangan dengan, “Berhasil meraih kenikmatan yang lestari dan keselamatan dari neraka Jahim.”

Di dalam sebuah hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah didatangi seorang wanita hitam yang mengadu kepadanya,

إنِّي أُصْرَعُ، وإنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي ، قَالَ  إنْ شِئْتِ صَبَرْتِ ولَكِ الجَنَّةُ، وإنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أنْ يُعَافِيَكِ، فَقَالَتْ: أصْبِرُ،فَقَالَتْ: إنِّي أتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لي ألَّا أتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا

“Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku.” Beliau bersabda, “Jika kamu berkenan, bersabarlah, maka bagimu surga. Dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Ia berkata, “Baiklah, aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi, “Namun, berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka, beliau mendoakan untuknya. (HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan kepada wanita tersebut, antara bersabar menghadapi penyakitnya lalu akan mendapatkan surga Allah Ta’ala, ataukah mendapatkaan doa Nabi agar diberikan kesembuhan. Dan wanita tersebut memilih untuk bersabar di dalam menghadapi penyakitnya dengan harapan ia akan mendapatkan surga. Sungguh sebuah keutamaan yang besar bagi siapapun yang bisa bersabar atas setiap cobaan dan ujian yang sedang dihadapinya.

Realisasi sifat sabar di era digital dan media sosial

Kita hidup di era digital, di mana informasi sangat mudah diakses dan disebarluaskan. Media sosial menjadi salah satu wadah dan tempat bertukar informasi, ngobrol, dan bersenda gurau, layaknya seseorang yang berkumpul dan berjumpa langsung dengan teman-temannya di dunia nyata.

Hingga kemudian, layaknya sedang ngobrol dan berkumpul dengan temannya, banyak dari mereka yang lalai hingga mengorbankan sifat kesabaran yang dimilikinya. Ada yang begitu mudahnya mengumbar problem dan kesulitan yang sedang dihadapinya ke khalayak umum. Ketika sedang dirundung prahara dalam rumah tangganya, lalu memasang status di WA. Sedang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, update story di FB dan media sosial lainnya. Hingga kemudian semua orang jadi tahu dengan permasalahan yang dihadapinya.

Ada juga yang jari jemarinya tidak terkontrol untuk berkomentar buruk, keji, dan tidak senonoh saat melihat sebuah postingan atau mendapati fenomena tertentu di berandanya. Ada juga yang tidak sabar untuk menyebarluaskan segala macam informasi tanpa ia tahu kevalidannya dan tanpa berpikir terlebih dahulu asas kebermanfaatannya.

Ketahuilah wahai saudaraku, perbuatan semacam ini merupakan salah satu perusak bangunan kesabaran dari diri seorang muslim. Seorang muslim seharusnya hanya mengadukan rasa susah yang dihadapinya kepada Allah Ta’ala dan bukan kepada makhluk selain-Nya. Sebagaimana Nabiyullah Ya’qub alaihissalam mengatakan,

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ

Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” (QS. Yusuf: 86)

Begitu pula, Nabi Ayyub ‘alaihis salam mengatakan,

أَنِّي مَسَّنِي الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. (QS. Al-Anbiya’: 83).

Aduan perihal penyakit yang dideritanya tersebut kepada Tuhannya tidaklah Allah kategorikan sebagai perbuatan yang merusak kesabarannya. Bahkan Allah Ta’ala mengatakan tentang beliau ‘alaihis salam,

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shad: 44)

Saat sedang diliputi masalah dan problematika, maka tidak sepatutnya seorang muslim untuk mengumbarnya ke khalayak umum. Karena perbuatan semacam ini jelas akan meniadakan makna sabar dari diri kita. Saat sedang menghadapi masalah, bersimpuhlah di hadapan Allah Ta’ala, karena hanya kepada-Nyalah seorang hamba mengadu dan menumpahkan pernak pernik masalahnya. Sebagaimana hal ini telah diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى

“Apabila ada masalah berat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat. (HR. Abu Dawud no. 1319 dan dihasankan oleh Syekh Albani)

Semisal pun kita butuh untuk berdiskusi dan meminta masukan dari orang lain, maka carilah orang yang benar-benar amanah dan kompeten. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Tanyalah kepada ahlinya (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl: 43)

Seorang muslim juga dituntut untuk menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang tidak Allah sukai. Menahan diri dari mengucapkan dan menuliskan hal-hal yang dapat melukai dan mengganggu saudara muslim lainnya. Tidak mudah terprovokasi dan tersulut emosinya saat ada yang menyinggungnya. Dan tidak membalas komentar buruk dengan keburukan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesabaran di dalam menghadapi setiap ujian yang menimpa kita. Semoga Allah menjadikan kita salah satu hamba-Nya yang bisa bersabar dalam segala kondisi, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya.

رَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ۗ

“Rabbana afrigh ‘alaina shabraw wa tsabbit aqdamana wansurna ‘alal qaumil kafirin.”

“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 250)

Wallahu A’lam bisshawab

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

MUSLIM

Ketua PAN Zulkifli Hasan Ditegur Ketua MUI dan  Dilaporkan Penistaan Agama

Gara-gara sebuah candaan, akhirnya Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan alias Zulhas akan dilaporkan ke kepolisian. Menteri Perdagangan ini dinilai telah melakukan penistaan agama akibat candaanya yang tengah viral.

Ketua Forum Ummat Islam Bersatu (FUIB), Rahmat Himran mengajak seluruh ormas Islam melaporkan Zulhas ke Mabes Polri pada Kamis, 21 Desember 2023. Rahmat menilai, pernyataan Zulhas merupakan penistaan agama.  

“Sehubungan dengan viralnya video pidato Zulkifli Hasan yang dinilai sangat melukai ummat Islam, di mana Zulkifli Hasan menjadikan salat sebagai bahan candaan dan guyonan,” kata Rahmat Himran melalui keterangan resminya, Rabu (20/12/2023).

Diketahui, dalam rapat kerja nasional (Rakernas) Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Zulhas yang hadir sebagai Mendag mengungkapkan adanya kelompok yang sangat fanatik terhadap pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Begitu fanatisnya sampai saan menjalankan salat ia tidak berani mengucapkan ‘Amin’ saat imam selesai membaca Surat Al Fatihah. Kata Zulhas, bahkan saat tasyahud akhir, ia tidak mengacurngkan satu jari, tapi dua.

“Jadi saat sholat Maghrib baca Alfatihah waladholin, ada yang diem sekarang, Pak, ada yang diem. Saking cintanya sama Pak Prabowo,” ungkap Zulhas, pada video yang betebaran di medsos.

“Terus kalau tahiyyatul akhir kan begini pak ya (menggunakan jari telunjuk), sekarang begini (menggunakan dua jari),”kata Zulhas.

Kata Rahmat Himran, gurauan Zulhas ini sebuah penistaan keji. “Dalam pidato tersebut sangat jelas Zulkifli Hasan menyatakan bahwa saat ini banyak jamaah yang salat tidak menyebutkan Amin di akhir bacaan surat Al-Fatihah. Ini merupakan penistaan Agama yang sangat keji,” ujarnya.

Teguran Ketua MUI

Selain Forum Ummat Islam Bersatu (FUIB) Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat (2015-2020), Dr. Cholil Nafis, juga menegur candaan Zulhas yang dinilai tidak pada tempatnya.

“Candaannya kering dan tak lucu. Mungkin bagi sebagian orang merasa agamanya dilecehkan. Tak pas disampaikan Anda ituuuhhh,” demikian tulis Kiai Cholil di media “X”, yang dulunya bernama twitter.

“Pak @ZUL_Hasan cari candaan dan humor yg lucu aja daahh. Jangan nyerempet2 agama gitu ya,” tambah Kiai Cholil Nafis.

Menanggapi kasus ini, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengatakan pihak yang menyinggung ritual keagamaan melalui narasi politik sebagai bentuk perilaku kekanak-kanakan.

“Kita ini jangan kayak kanak-kanaklah, urusan ‘Amin’ itu kan tidak berarti calon presiden. Amin itu dari dulu sudah ada,” kata Ma’ruf dikutip laman Tempo, usai menghadiri agenda Anugerah Revolusi Mental diikuti dalam jaringan (daring) di Jakarta, Rabu, 20 Desember 2023.*

HIDAYATULLAH

Kemenkes Butuh 2.052 Petugas Kesehatan Haji 2024

Petugas kesehatan haji sesuai dengan rasio jamaah

Kementerian Kesehatan RI membutuhkan sebanyak 2.052 calon petugas kesehatan haji untuk bertugas melayani jamaah dalam penyelenggaraan ibadah haji 1445 Hijriah/2024 Masehi.

“Diperkirakan jumlah Kloter ada 598 kloter, kira-kira kita butuh 598 dokter dan 1.196 perawat untuk petugas kloter,” ujar Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes, Liliek Marhaendro Susilo, dalam siniar yang diikuti dari Jakarta, Kamis (21/12/2023).

Liliek mengatakan pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan haji tersebut didasarkan pada jumlah jamaah haji reguler yang berangkat. Adapun komposisinya sebanyak 598 dokter dan 1.196 perawat untuk di kelompok terbang (Kloter) serta 258 petugas kesehatan haji (PPIH) untuk penempatan di Arab Saudi.

Menurut dia, dalam satu kelompok terbang akan diisi satu dokter dan dua perawat. “Tenaga kesehatan yang mendampingi jamaah dari sejak di embarkasi keberangkatan sampai pulang ke debarkasi,” kata dia.

Sementara petugas kesehatan haji di Arab Saudi terbagi dalam tiga penempatan, yakni Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Madinah dan Mekkah, Pos Kesehatan di Bandara, dan di sektor-sektor dekat penginapan jamaah.

Dia merinci untuk pelayanan kesehatan haji di Arab Saudi meliputi dokter umum, dokter-dokter spesialis, dokter gigi, apoteker, ahli gizi, hingga sanitasi. “Komposisinya seperti mencukupi klinik yang besar,” katanya.

Menurut dia, jumlah jamaah calon haji lanjut usia (Lansia) masih tinggi. Berdasarkan data dari Kementerian Agama jamaah Lansia 1445 Hijriah/2023 Masehi diperkirakan sekitar 40 ribu orang.

“Pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan harus semakin meningkat setiap tahunnya. Perekrutan tahun ini akan sangat selektif dan transparan untuk kelancaran penyelenggaraan ibadah haji,” kata dia.

Liliek menjelaskan proses pendaftaran dibuka secara online melalui aplikasi Daftarin yang berlangsung sejak 18 hingga 31 Desember 2023. Sementara penetapan hasil rekrutmen akan dilakukan pada 26-28 Januari 2024. Adapun untuk selengkapnya calon peserta bisa mengakses laman https://daftarin.kemkes.go.id/.

Sebelumnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan kuota petugas ibadah haji 1445 Hijriah/2024 Masehi bertambah dari yang awalnya hanya 2.100 orang menjadi 4.421 orang.

Kepastian tersebut disampaikan Menag setelah menggelar pertemuan dengan Menteri Haji dan Umrah (Menhaj) Arab Saudi Taufiq F Al Rabiah di Jeddah.

“Saya juga mengajukan penambahan kuota petugas haji untuk lebih memaksimalkan layanan. Semoga ini juga bisa disetujui Menhaj Saudi,” ujar Yaqut. 

sumber : Antara/ihram

Tanya Jawab Tentang Iman dan Islam

Bismillah.

Berikut ini, kami sajikan beberapa tanya-jawab seputar iman dan Islam. Semoga bisa menjadi sarana belajar dan meningkatkan pemahaman bagi kaum muslimin.

Makna Islam

Pertanyaan:

Apakah makna Islam?

Jawaban:

Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Inilah pengertian Islam yang telah disampaikan oleh para ulama kepada kita. Dengan demikian, tidak mungkin Islam tegak pada diri seorang hamba, kecuali setelah dia mewujudkan tauhid. Oleh sebab itu, setiap nabi mengajak kepada kalimat tauhid ‘lailahaillallah’. Allah berfirman,

 وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25)

Makna iman

Pertanyaan:

Apakah makna Iman?

Jawaban:

Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menjelaskan bahwa iman itu meliputi ucapan dengan lisan, diamalkan dengan anggota badan, dan diyakini dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan dan menjadi berkurang karena kemaksiatan. (lihat Irsyadul ‘Ibad ila Ma’ani Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 80-81)

Ibnu Abi Zamanin Al-Andalusi rahimahullah (wafat 399 H) mengatakan bahwa para ulama ahlusunah menyatakan bahwa iman mencakup keikhlasan kepada Allah dari dalam hati, mengucapkan syahadat dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan disertai niat yang baik dan sesuai dengan sunah (tuntunan). (lihat Ushul As-Sunnah, hlm. 143)

Makna tauhid

Pertanyaan:

Apakah makna tauhid?

Jawaban:

Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya, yaitu dalam perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Pembagian tauhid ini muncul berdasarkan penelitian (istiqra’) terhadap dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah.

Ketiga macam tauhid ini telah terpadu di dalam sebuah ayat, yaitu firman Allah,

رَّبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَیۡنَهُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ لِعِبَـٰدَتِهِۦۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِیࣰّا

“Rabb penguasa langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka, beribadahlah kepada-Nya dan teruslah bersabar dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang setara dengan-Nya?” (QS. Maryam: 65)

Makna tauhid rububiyah

Pertanyaan:

Apakah yang dimaksud dengan tauhid rububiyah?

Jawaban:

Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, penguasaan, dan pengaturan. Meyakini bahwa tidak ada pencipta, selain Allah; tidak ada yang menguasai seluruh makhluk ini, selain Allah; dan tidak ada yang mengatur segala urusan, kecuali Allah. Atau dengan ungkapan lain, yang dimaksud tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya.

Tauhid rububiyah ini tidak diingkari oleh kaum musyrikin yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus di tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡعَلِیمُ

“Dan sungguh apabila kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab bahwa yang menciptakannya adalah (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 9)

Allah juga berfirman,

وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ

“Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, benar-benar mereka akan menjawab ‘Allah’.” (QS. Luqman: 25)

Dalam ayat lain, Allah menegaskan,

وَلَىِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَیَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ

“Dan sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’, pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (QS. Az-Zukhruf: 87)

Makna tauhid uluhiyah

Pertanyaan:

Apakah makna dari tauhid uluhiyah?

Jawaban:

Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Dengan bahasa lain, tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Allah. Apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada Allah sebagai ilah (sesembahan), maka ia disebut tauhid uluhiyah. Dan apabila ditinjau dari penyandaran tauhid ini kepada hamba sebagai pelaku ibadah, maka ia disebut tauhid ibadah. Dalil yang menunjukkan bahwa hanya Allah yang patut disembah adalah firman Allah,

 ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا یَدۡعُونَ مِن دُونِهِ ٱلۡبَـٰطِلُ

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah (ilah/sesembahan) yang benar, dan apa-apa yang mereka seru (ibadahi) selain Allah adalah batil.” (QS. Luqman: 30)

Tauhid uluhiyah inilah yang ditolak dan diingkari oleh kebanyakan manusia. Oleh sebab itulah, Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab dalam rangka mengajak manusia untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman,

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang pun rasul, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar), selain Aku. Maka, sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Umat-umat yang kafir telah mengetahui apa maksud dari dakwah para rasul. Yaitu, bahwasanya mereka datang dalam rangka mengajak umat untuk mengesakan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Oleh sebab itu, mereka mengatakan,

أَتَنۡهَىٰنَاۤ أَن نَّعۡبُدَ مَا یَعۡبُدُ ءَابَاۤؤُنَا

“Apakah kamu hendak melarang kami menyembah apa-apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?” (QS. Hud : 62)

Mereka juga mengatakan,

أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ

“Apakah dia (Muhammad) itu menjadikan sesembahan-sesembahan ini hanya menjadi satu sesembahan saja.” (QS. Shad: 5)

Makna ibadah

Pertanyaan:

Apakah makna ibadah?

Jawaban:

Secara bahasa, ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan. Ibadah kepada Allah itu dilandasi oleh puncak perendahan diri kepada Allah, disertai dengan puncak kecintaan kepada-Nya. Dalam terminologi syariat, istilah ibadah mencakup dua pemaknaan:

Pertama, ibadah adalah ta’abbud (perbuatan menghamba kepada Allah). Yaitu, merendahkan diri kepada Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Kedua, ibadah dalam arti segala sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibadah itu bisa dilakukan dengan lisan, hati, atau anggota badan.

Ibadah yang dimaksud adalah ibadah yang bersih dari syirik. Tidak cukup beribadah kepada Allah apabila tidak disertai dengan sikap menjauhi segala bentuk perbuatan syirik. Seandainya orang melakukan salat dan puasa, bahkan haji dan berumrah, tetapi dia berdoa kepada selain Allah, maka semua amalnya menjadi bagaikan debu-debu yang beterbangan.

Allah berfirman,

وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)

Maka, tidaklah bermanfaat ibadah, kecuali apabila disertai dengan sikap menjauhi segala macam bentuk syirik.

Demikian sedikit kumpulan tanya jawab seputar Islam dan iman. Semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

***

Penulis: Ari Wahyudi

MUSLIMorid

Bolehkah Merokok Pada Saat Khutbah Jumat?

Bolehkah merokok pada saat khutbah Jumat? Pada dasarnya jamaah Jumat harus memperhatikan khutbahnya khatib, karena seorang khatib harus memperdengarkan khutbahnya minimal pada 40 orang. Oleh karenanya sebelum khutbah, bilal mengingatkan dengan membacakan;

مَعَاشِرَالْمُسْلِمِينَ، وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِينَ رَحِمَكُمُ اللهِ، رُوِيَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ، وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَو (أَنْصِتُوا وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا رَحِمَكُمُ اللهِ ٢×) أَنْصِتُوا وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: “Wahai golongan kaum muslim dan kaum mukmin, semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya kepada kamu sekalian. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

ketika kamu berkata “ansit” kepada temanmu pada hari Jumat (salat Jumat), sedangkan khatib sedang berkhotbah, maka kamu telah melakukan hal yang sia-sia. Barangsiapa yang melakukan hal sia-sia, maka tidak ada Jumat baginya, maka perhatikan kebaikan dan taatilah, semoga Allah memberikan kepada kamu sekalian.”

Bolehkah Merokok Pada Saat Khutbah Jumat?

Lalu bolehkah merokok pada saat khutbah Jumat? Dalam konteks fikih, merokok ini hukumnya sama dengan minum. Dalam pandangan madzhab Syafi’i, minum saat khutbah bagi khatib ataupun jamaah adalah makruh hukumnya. Dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhaadzab berikut;

يُسْتَحَبُّ لِلْقَوْمِ اَنْ يُقْبِلُوا عَلَى الْخَطِيبِ مُسْتَمِعِينَ وَلَا يَشْتَغَلُوا بِغَيْرِهِ حَتَّى قَالَ اَصْحَابُنَا يُكْرَهُ لَهُمْ شُرْبُ الْمَاءِ لِلتَّلَذُّذِ وَلَا بَأْسَ يَشْرَبُهُ لِلْعَطَشِ لِلْقَوْمِ وَالْخَطيبِ هَذَا مَذْهَبُنَا. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ رَخَّصَ فِي الشُّرْبِ طَاوُسٌ وَمُجَاهِدٌ وَالشَّافِعِيُّ وَنَهَي عَنْهُ مَالِكٌ وَالْاَوْزَاعِيُّ وَاَحْمَدُ وَقَالَ الْاَوْزَاعِيُّ تَبْطُلُ الْجُمُعَةُ إِذَا شَرِبَ وَالْاِمَامُ يَخْطُبُ وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُنْذِرِ اَلْجَوَازَ قَالَ وَلَا اَعْلَمُ حُجَّةً لِمَنْ مَنَعَهُ قَالَ الْعَبْدَرِىُّ قَوْلُ الْاَوْزَاعِيِّ مُخَالِفٌ لِلْاِجْمَاعِ.

“Disunnahkan bagi jemaah untuk menghadap pada khatib dan mendengarkannya dan jangan menyibukkan diri dengan lainnya sehingga ulama kami (ulama Syafi’iyah) berpendapat bahwa makruh bagi mereka minum air untuk kenikmatan.

Namun  tidak masalah jika minum air karena haus, baik bagi jemaah maupun khatib sendiri. Ini adalah pendapat kami (ulama Syafiiyah). Ibnul Mundzir mengatakan bahwa Thawus, Mujahid, dan Imam Syafii memberikan rukhsah. Sedangkan Imam Malik, Al-Auza‘i, dan Imam Ahmad melarang minum saat khutbah sedang berlangsung. Al-Auza‘i berpendapat kebatalan jumatan ketika minum saat imam atau khathib sedang berkhutbah. Sedangkan Ibnul Mundzir memilih pendapat untuk membolehkannya.

Ia berkata, ‘Saya tidak tahu hujjah ulama yang melarang minum saat khutbah sedang berlangsung.’ Sedang Al-‘Abdari menyatakan, ‘Pendapat Al-Auza‘i menyalahi ijma’ ulama,’” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 4, h. 401)

Demikian adalah hukum minum, namun dalam masalah merokok ini terdapat pengecualian tersendiri. Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal menyatakan;

قال شيخنا المؤلف ويجوز شرب التنباك في المسجد لكنه مكروه تنزيها قال لأنه إذا جاز إخراج الريح في المسجد فدخان التنباك أولى. وقال البجيرمي في حواشي الإقناع بعد أن ذكر كراهة دخول المسجد لكل ذي ريح كريه ومن الريح الكريه ريح الدخان المشهور الآن, ولا فرق في الكراهة بين كونه خاليا أولا لتأذي الملائكمة به قلت” شرب التنباك في المسجد يعد مزريا بالمسجد فالوجه الذي فيه تحريم ذلك فيه بخلاف دخول من في فمه ريح كريه من تنباك أو غيره فليس فيه إزراء به وكلام البجيرمي إنما هو في دخول من في فمه ريح كريه من تنباك في المسجد لا شربه في المسجد.

“Guru kami menyatakan bahwa boleh menghisap rokok di masjid namun hukumnya makruh tanzih, sebab bila diperbolehkan mengeluarkan kentut di masjid, maka merokok lebih utama untuk dibolehkan.

Syekh al-Bujairimi dalam Hasyiyah al-Iqna’, setelah memaparkan kemakruhan memasuki masjid bagi orang yang memiliki aroma tak sedap, beliau berkata, termasuk aroma yang dibenci adalah aroma rokok di era sekarang. Tidak ada perbedaan dalam kemakruhan, antara dilakukan saat masjid sepi atau tidak, karena malaikat merasakan ketidaknyamanan aroma tersebut.

Aku berkata, menghisap rokok di masjid tergolong menghina masjid, maka pendapat yang benar adalah mengharamkan hal tersebut, berbeda dengan orang yang di mulutnya terdapat bau yang dibenci dari rokok atau lainnya, maka bukan termasuk menghina masjid.

Dan statemen al-Bujairimi konteksnya hanya mengarah kepada hukum memasuki masjid bagi orang yang di mulutnya terdapat aroma tidak sedap berupa rokok di dalam masjid, bukan mengarah kepada hukum meghisap rokok di dalam masjid.” (Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Ahdal, ‘Umdah al-Mufti wa Al-Mustafti,  Juz 1, hal. 84)

Dengan demikian hukum minum dengan merokok ini dibedakan, sebagaimana penuturan di atas. Bahkan Kementrian Wakaf Kuwait menyatakan adanya konsensus atas hukum ini, dikatakan;

لا يجوز شرب الدخان في المساجد باتفاق، سواء قيل بإباحته أو كراهته أو تحريمه، قياسا على منع أكل الثوم والبصل في المساجد، ومنع آكلهما من دخول المساجد حتى تزول رائحة فمه، وذلك لكراهة رائحة الثوم والبصل، فيتأذى الملائكة والمصلون منها، ويلحق الدخان بهما لكراهة رائحته – والمساجد إنما بنيت لعبادة الله، فيجب تجنيبها المستقذرات والروائح الكريهة – فعن جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من أكل البصل والثوم والكراث فلا يقربن مسجدنا، فإن الملائكة تتأذى مما يتأذى منه بنو آدم

“Tidak boleh merokok di dalam masjid menurut kesepakatan ulama’ baik yang menyatakan hukum rokok boleh, makruh atau haram. Hal ini dikarenakan diqiyaskan pada larangan memakan bawang putih dan bawang merah di masjid dan melarang orang yang memakan keduanya untuk masuk masjid sampai bau keduanya hilang dari mulutnya.

Di mana malaikat dan orang yang shalat tidak akan suka dengan baunya. Sedangkan masjid dibangun untuk ibadah sehingga wajib menjauhkan masjid dari hal-hal menjijikkan dan bau yang tidak enak.” (Al-Mausu’ah al Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, Juz 10 H. 108)

Hukum ini juga dipertegas oleh seorang ulama’ besar di Mekkah, Syekh Ismail Zein dalam kompilasi fatwanya menyatakan;

إن شرب الدخان من حيث هو مكروه عند الشافعية وبعض العلماء وحرام عند آخرين لكونه من الأشياء ذوات الروائح الخبيثة وأما إذا كان في المسجد أو مجالس العلم فهو حرام لما فيه من انتهاك حرمة المكان برائحة الخبيثة والله سبحانه وتعالى أمر بتعظيمه

“Sesungguhnya menghisap rokok hukum makruh menurut ulama Syafi’iyyah dan sebagian ulama, dan haram menurut ulama lain, karena termasuk perkara yang beraroma tidak sedap. Adapun bila di lakukan di masjid atau majlis ilmu, maka haram. Karena merusak kehormatan tempat dengan aroma yang tidak sedap. Dan Allah memerintahkan untuk mengagungkan tempat tersebut.” (Syekh Isma’il al-Zain, Qurrah al-‘Ain, H. 188)

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya hukum merokok saat khutbah ini Haram, sebab yang demikian dianggap tidak menghormati masjid dan mengganggu orang lain. Adapun hukum minum, yang demikian makruh pada asalnya. Namun menjadi boleh jika karena haus atau ingin melepas dahaga, hukum ini berlaku bagi khatib maupun jamaah.

Demikian penjelasan terkait bolehkah merokok pada saat khutbah Jumat ? Wallahu a’lam bi Al-Shawab. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Seputar Anekdot Tidak Lagi Membaca Amin

Salah satu anekdot di tengah hingar bingar kampanye Pemilu (pemilihan umum) 2024 ialah tentang orang-orang yang tidak lagi membaca amin di tengah shalat dan di penghujung setiap doa, atau membaca amin dengan suara pelan (sir).

Pilihan itu, katanya, dilakukan agar tidak terindikasi memihak kepada pasangan calon yang menggunakan “amin” sebagai akronim dalam jargon kampanye mereka. Yang disembunyikan dari cerita itu; apakah ia sebatas anekdot atau memang kasus nyata?

Terlepas dari nyata atau rekaan, bagaimanapun, cerita itu berhasil membuat pecah tawa pendengar. Setidaknya begitu ekspresi yang saya tangkap setelah menonton potongan video viral dari Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat dan Zulkifli Hasan ketika masing-masing melontarkan anekdot tentang “amin” di depan khalayak. Meskipun ketiga tokoh itu menuturkan cerita yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi, tetapi yang viral dan “disebut-sebut” menista agama hanya Zulkifli Hasan.

Terlepas dari anekdot yang tengah dipandang miring itu, saya tertarik mengulas tentang bagaimana keistimewaan bacaan amin dalam shalat? Bagaimana pandangan ulama tentang cara membaca amin dalam shalat? Apa keistimewaan bacaan amin di luar shalat? Apa makna amin dan bagaimana cara melafalkannya?

Keistimewaan Bacaan Amin Shalat

Setidaknya ada dua keistimewaan bacaan amin dalam shalat. Pertama; ulama mengutip bahwa membaca amin dalam shalat merupakan salah satu keunggulan umat Islam. Keunggulan itu, dikatakan, menjadi salah satu penyebab orang-orang Yahudi iri kepada umat Islam. Pandangan ini berdasarkan hadis yang diterima dari Ummu al-Mu’minin ‘Aisyah ra., beliau mengatakan:

حسدنا اليهود على القبلة التي هدينا إليها وضلوا عنها وعلى الجمعة وعلى قولنا خلف الإمام آمين

“Orang Yahudi iri kepada kita (umat Islam) disebabkan kiblat yang diberikan kepada kita dan mereka kehilangannya, disebabkan Jum’at, dan disebabkan bacaan amin yang kita baca di belakang imam”. (H.R. Ibnu Majah dan Ahmad) (Lihat Khatib Syirbini, Syarh al-Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar el-Marefah, 1418 H/1997 M] cetakan pertama, juz I, halaman 247)

Kedua; keistimewaan bacaan amin dalam shalat adalah sebagai ibadah penghapus dosa. Keistimewaan ini masyhur dalam perbincangan terkait membaca amin setelah surat al-Fatihah. Dasarnya ialah hadis yang diterima dari Sahabat Abu Hurairah ra., beliau mengatakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا قال أحدكم في الصلاة آمين والملائكة في السماء آمين فوافق إحداهما الأخرى غفر له ما تقدم من ذنبه 

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda; apabila salah seorang kamu membaca amin dalam shalat, lalu malaikat di langit (yang ikut shalat dengan orang itu) juga membaca amin, dan bertepatan amin orang itu dengan amin malaikat, maka diampuni seluruh dosa-dosanya di masa lalu”. (Hadis Muttafaq ‘Alaih) (Lihat Syekh Nur al-Din al-‘Itr, I’lam al-Anam Syarh Bulugh al-Maram, [Damaskus: Dar al-Yamamah, 1999 M] cetakan ke tujuh, juz I, halaman 509)

Berlatar kepada kedua keistimewaan itu, pilihan untuk tidak lagi membaca amin dalam salat untuk alasan politis terlalu naif. Di samping membaca amin dalam shalat telah menjadi kebiasaan, apalagi bagi masyarakat muslim di Indonesia. Mempertimbangkan hal terakhir ini, agaknya cerita dalam anekdot itu kehilangan latar faktualnya.

Cara Membaca Amin

Adapun cara membaca amin dalam shalat terdapat perbedaan pendapat para ulama. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali sepakat tentang cara membaca amin ialah sehabis membaca surat al-Fatihah dengan suara nyaring. Kesunahan itu berlaku bagi setiap orang yang mendirikan shalat jahar (dengan suara nyaring), baik imam, makmum, atau munfarid (orang shalat sendiri).

Sebaliknya ketika seseorang mendirikan shalat sir (dengan suara pelan), dia sunat pula membaca amin dengan suara sir (pelan). (Lihat Syekh Nur al-Din al-‘Itr, I’lam al-Anam Syarh Bulugh al-Maram, [Damaskus: Dar al-Yamamah, 1999 M] cetakan ketujuh, juz I, halaman 509)

Diantara dasar hukumnya adalah hadis yang diterima dari Sahabat Abu Hurairah ra., beliau mengatakan:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من قراءة القرآن رفع صوته وقال آمين

“Rasulullah Saw. apabila selesai membaca al-Fatihah meninggikan suara beliau, lalu membaca amin”. (H.R. Dar al-Quthni dan al-Hakim)

Sementara ulama Mazhab Hanafi berpandangan; cara membaca amin dalam seluruh salat ialah dengan suara pelan setelah membaca surat al-Fatihah. Diantara dasarnya ialah hadis yang diterima dari Sahabat Wail bin Hujr ra. melalui jalur Syu’bah. Lafaz hadisnya begini:

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ غير المغضوب عليهم ولا الضالين فقال آمين وأخفى بها صوته 

“Saya mendengar Rasulullah Saw. membaca “ghari al-Maghdubi ‘alaihim wa la al-dhallin” lalu beliau membaca “amin” dengan suara pelan”. (H.R. Ahmad, Dar al-Quthni, Abu Ya’la dan lain-lain)

Jadi untuk persoalan membaca amin dalam shalat, para ulama sepakat sunat hukum membacanya. Sementara tentang tatacaranya; nyaring atau pelan, para ulama berbeda pendapat. Dasar perbedaan ini adalah perbedaan riwayat tentang tatacara salat Rasulullah Saw. 

Dengan demikian, meskipun ada ulama yang berpandangan amin dibaca dengan suara pelan (sir), dapat dipastikan bahwa dasarnya jauh dari fanatisme politik musiman. Dasar penting bagi para ulama dalam merinci perbuatan dan perkataan dalam shalat adalah sifat shalat Rasulullah Saw. Perbedaan pendapat seputar perbuatan shalat didasarkan pada perbedaan riwayat tentang sifat shalat Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bersabda:

صلوا كما رأيتمني أصلي 

“Salatlah sebagaimana kalian melihat (tatacara) shalat”. (H.R. Bukhari, Baihaqi, Ibnu Hiban dan lain-lain).

Keistimewaan Membaca Amin di Luar Shalat

Berikutnya berkenaan dengan bacaan amin di luar shalat ada dua hal yang patut diperhatikan. Pertama; membaca amin setelah membaca al-Fatihah di luar shalat. Para ulama mengatakan hukumnya sunat. (Khatib Syirbini, Syarh al-Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar el-Marefah, 1418 H/1997 M] cetakan pertama, juz I, halaman 247)

Kedua; amin merupakan penutup ucapan yang mengandung doa dan salah satu penyebab doa dikabulkan. Hal ini berdasarkan kisah Abu Zuhair ra. bersama Rasulullah Saw. Dalam sebuah riwayat beliau mengisahkan:

قال أبو زهير خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فاتينا على رجل قد الح في المسئلة فوقف النبي صلى الله عليه وسلم يستمع منه فقال النبي صلى الله عليه وسلم أوجب إن ختم فقال رجل من من القوم باي شيئ يختم؟ قال بآمين فإنه إن ختم بآمين فقد أوجب فانصرف الرجل الذي سأل النبي صلى الله عليه وسلم فاتى الرجل فقال اختم يافلان بآمين وأبشر

”Abu Zuhair bercerita, “Suatu malam, kami keluar bersama Rasulullah Saw. Lalu, kami melihat seseorang yang sedang bersungguh-sungguh dalam doanya. Nabi Muhammad Saw. kemudian menghentikan langkah dan berkata, ‘Doanya akan dikabulkan jika dia menutupnya’.

Seseorang kemudian bertanya kepada Nabi Muhammad, ‘Dengan apa ia menutupnya?’. Nabi Muhammad menjawab, ‘Dengan amin, karena jika ia menutupnya dengan amin, maka doanya akan dikabulkan’. Orang yang bertanya tersebut segera pergi dan menemui orang yang bersungguh-sungguh dalam doanya tadi sembari berkata, ‘Wahai Fulan, tutuplah doamu dengan amin dan bergembiralah’ (H.R. Abu Dawud, nomor 938)

Sesuai makna hadits ini, kalau ada orang memiliki hajat tertentu, tetapi malah tidak lagi membaca lafaz amin dalam doa-doanya, berarti dia sedang memperlebar kemungkinan untuk tidak terwujudnya harapan itu.

Makna Bacaan Amin dan Cara Melafalkannya

Terakhir, lafadz amin, menurut pendapat yang masyhur, merupakan isim fiil amar. Maknanya secara umum adalah doa memohon perkenankan (اسنجب \ دعاء الاستجابة) kepada Allah Swt. Tentang cara mengucapkan lafaz amin, ulama merincinya kepada lima macam:

  • Aaamiin (آمين) dengan memanjangkan (mad) hamzah dan mim tanpa tasydid. 
  • Eeemiin (آمين) dengan memanjangkan hamzah serta imalah (memiringkan bacaan fathah ke kasrah) dan mim tanpa tasydid.
  • Amiin (أمين) dengan tanpa memanjangkan hamzah dan mim tanpa tasydid
  • Aaammiin (آمّين) dengan memanjangkan hamzah dan mim bertasydid
  • Ammiin (أمّين) dengan tidak memanjangkan hamzah dan mim bertasydid (Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh Ibn al-Qasim al-Gazi, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1420 H/1999 M] cetakan kedua, juz I, halaman 323)

Berdasarkan semua lafaz amin ini, tidak ada pelafalan yang sama persis dengan akronim salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Apalagi dari segi kandungan makna lafadz, sama sekali tidak ada kemiripan.

Meskipun pasangan calon yang disentil itu, bahkan semua pasangan calon, memang berharap Allah ta’ala memperkenankan tujuan mereka untuk menjadi presiden dan wakil presiden, sesuai makna lafaz amin. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Mengangkat 2 Jari Saat Tasyahud

Dalam Islam, mengangkat satu jari saat tasyahud adalah sunnah yang dianjurkan. Hal ini dilakukan ketika mengucapkan kalimat syahadat, yaitu “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan asulullah“. Lantas bagaimana hukum mengangkat 2 jari saat Tasyahud.

Saat melaksanakan tasyahud, disunnahkan untuk mengangkat jari telunjuk pada lafadz jalalah (huruf hamzahnya) di kalimat Asyhadu An La Ilaha Illallah. Syekh Zainuddin Al-Malibari menyatakan;

وسن رفعها أي المسبحة مع إمالتها قليلا عند همزة إلا الله للاتباع وإدامته أي الرفع فلا يضعها بل تبقى مرفوعة إلى القيام أو  السلام والأفضل قبض الإبهام بجنبها بأن يضع رأس الإبهام عند أسفلها على حرف الراحة كعاقد ثلاثة وخمسين. ولو وضع اليمنى على غير الركبة يشير بسبابتها حينئذ. ولا يسن رفعها خارج الصلاة عند إلا الله وسن نظر إليها أي قصر النظر إلى المسبحة حال رفعها ولو مستورة بنحو كم كما قال شيخنا

Artinya; “Disunnahkan untuk mengangkat jari telunjuk ketika sampai pada hamzahnya lafadz Illallah, sebab yang demikian itu adalah perilakunya Rasulullah SAW ketika sholat. Jari telunjuknya itu diangkat sampai ia mau berdiri (untuk menuju Rakaat selanjutnya) atau sampai ia Salam (keluar dari sholat). Disunnahkan juga untuk melihat jari telunjuknya ketika posisinya itu telah diangkat, yang demikian itu masih sunnah meskipun jari telunjuk yang diangkat itu tertutup oleh lengan baju.” (Fathul Mu’in, H.122). 

Adapun alasan mengapa yang dijulurkan adalah jari telunjuk saat tasyahud, ini dijelaskan oleh komentatornya. Syekh Abi Bakar Syatha menjelaskan;

(قوله: إلا المسبحة) إنما سميت مسبحة لأنها يشار بها للتوحيد والتنزيه عن الشريك، وخصصت بذلك لاتصالها بنياط القلب أي العرق الذي فيه، فكأنها سبب لحضوره.

Artinya; “(Keterangan kecuali jari penunjuk) dinamakan musabbihah karena dia adalah jemari yang digunakan untuk memberikan isyarat pada tauhid dan penyucian Allah dari segala kesyirikan, dan dalam tasyahhud (tahiyat) jari yang dipakai hanya jari penunjuk karena pertautannya dengan hati dalam arti didalamnya terdapat otot yang bertautan dengan hati, dengan demikian diharapkan dapat berakibat khusyuknya seseorang dalam shalat”. (I’anah al-Thalibin, I/203) 

Memandang bahwa terdapat nilai filosofis dari penjuluran jari telunjuk saat tasyahud, maka ini tidak bisa digantikan oleh jari yang lain. Syekh Al-Abbadi menyatakan;

 (قَوْلُهُ لِفَوَاتِ سُنَّةِ وَضْعِهَا السَّابِقِ) قَدْ يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ لَوْ قُطِعَتْ مِسْبَحَتُهُ لَا يُشِيرُ بِغَيْرِهَا مِنْ بَقِيَّةِ أَصَابِعِ الْيُمْنَى لِفَوَاتِ سُنَّةِ وَضْعِ الْبَقِيَّةِ الْمَعْرُوفَةِ

Artinya; “Ketika jari telunjuknya tidak ada, maka tidak bisa digantikan dengan jari yang lain di tangan kanan. Sebab yang bersangkutan ini sudah kehilangan kesunnahan”. (Hasyiyah Al-Abbadi ala al-Tuhfah, 2/80) 

Bahkan ini tidak bisa digantikan oleh jari telunjuk tangan kiri, dikatakan;

وَتُكْرَهُ الْإِشَارَةُ بِسَبَّابَةِ الْيَسَارِ وَإِنْ قُطِعَتْ يُمْنَاهُ لِفَوَاتِ سُنَّةِ وَضْعِهَا السَّابِقِ وَمِنْهُ يُؤْخَذُ أَنَّهُ لَا يُسَنُّ رَفْعُ غَيْرِ السَّبَّابَةِ لَوْ فُقِدَتْ لِفَوَاتِ سُنَّةِ قَبْضِهَا السَّابِقِ.

Artinya; “Dimakruhkan berisyarah (menjulurkan jari) menggunakan jari telunjuk tangan kiri ketika tasyahud. Meskipun ia tidak memiliki tangan kanan, sebab yang bersangkutan ini sudah kehilangan kesunnahan mengangkatnya. Dengan demikian tidak disunnahkan untuk mengangkat jari selain telunjuk, karena yang demikian tidak sunnah”. (Tuhfatul Muhtaj Fi Syarh Al-minhaj, 1/207)

Syekh Ibrahim Al-Bajuri membeberkan alasan kenapa jari telunjuk tangan kanan ini tidak bisa digantikan dengan jari lainnya, beliau dalam Hasyiyah-nya menyatakan;

وخصت المسبحة بذلك لأن فيها عرقاً متصلا بالقلب بخلاف الوسطى فإن لها عرقاً متصلا بالذكر وبهذا يحصل الغيظ عند الإشارة بها، وينوي الإشارة بالمسبحة بالتوحيد فيجمع فيه بين قلبه ولسانه وجوارحه.

Artinya; “Alasan mengapa yang diangkat itu jari telunjuk tangan kanan, dikarenakan jari telunjuk mempunyai urat atau saraf yang terhubung dengan hati. Hal itu berbeda dengan jari tengah, dikarenakan saraf dari jari tengah itu terhubung dengan dzakar (Alat vital laki-laki), serta falsafah tersebut untuk isyarat tauhid (mengesakan Allah)”. (Hasyiyah Al-Baijuri, 1/330).

Lalu bagaimana ketika seseorang itu memiliki 2 jari telunjuk? Ibnu Qasim Al-Ubbadi dalam Hasyiyahnya menyatakan;

وَلَوْ كَانَ لَهُ سَبَّابَتَانِ أَصْلِيَّتَانِ كَفَى رَفْعُ إحْدَاهُمَا شَيْخُنَا وَقَالَ ع ش سُئِلَ الْمُؤَلِّفُ م ر عَمَّنْ لَهُ سَبَّابَتَانِ اشْتَبَهَتْ الزَّائِدَةُ مِنْهُمَا بِالْأَصْلِيَّةِ فَأَجَابَ الْقِيَاسُ الْإِشَارَةُ بِهِمَا كَذَا بِهَامِشٍ وَهُوَ قَرِيبٌ أَقُولُ وَيَنْبَغِي أَنَّ مِثْلَ ذَلِكَ مَا لَوْ كَانَتَا أَصْلِيَّتَيْنِ فَيُشِيرُ بِهِمَا اهـ.

Artinya; “Menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, orang yang memiliki 2 jari telunjuk itu dicukupkan dengan mengangkat salah satunya saja. Sedangkan menurut Imam Ramli yang dituturkan oleh Syekh Ali Syibramalisi, bahwa orang yang memiliki jari telunjuk tambahan yang serupa dengan telunjuk aslinya, maka ia mengangkat keduanya. Sehingga kalaupun kedua jari telunjuknya sama-sama asli, maka keduanya diangkat juga saat tasyahud”. (Hasyiyah As-syirwani wa al-ubbadi Ala Al-Tuhfah, 2/207).

Syekh Sulaiman Al-Bujairimi berbeda dalam masalah perinciannya, dalam Hasyiyahnya beliau menyatakan;

وَلَوْ تَعَدَّدَتْ الْمُسَبِّحَةُ فَالْعِبْرَةُ بِالْأَصْلِيَّةِ فَلَوْ كَانَتَا أَصْلِيَّتَيْنِ فَالْعِبْرَةُ بِمَا جَاوَرَ الْإِبْهَامَ، فَلَوْ قُطِعَتْ هَلْ تَقُومُ الْأُخْرَى مَقَامَهَا أَوْ لَا؟ مَحَلُّ نَظَرٍ وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا تَقُومُ مَقَامَهَا وَلَا يُشِيرُ بِالسَّبَّابَةِ الْيُسْرَى وَإِنْ فُقِدَتْ الْيُمْنَى.

Artinya; “Jika jari telunjuknya ada banyak, maka tang dipertimbangkan adalah yang asli. Adapun ketika sama-sama asli, maka yang diangkat adalah jari telunjuk yang berada di sebelahnya jempol. Adapun ketika yang asli ini terpotong, maka jari telunjuk yang tambahan ini bisa menggantikannya saat tasyahud. Namun tetap tidak diperbolehkan menggantikannya dengan mengangkat jari telunjuk tangan kiri, ketika tangan kanan terpotong”. (Hasyiyah Al-Bujairimi Ala Al-Khatib, 2/73) 

Dengan demikian bisa diketahui bahwa jika jari telunjuknya seseorang itu ada 2, maka menurut Ibnu Hajar diangkat salah satunya saja, sedangkan menurut Imam Ramli diangkat kedua-duanya.

Adapun bagi yang jari telunjuknya cuma satu, maka makruh mengangkat kedua jari (misalnya jari telunjuk sama jari tengah) saat tasyahud, karena menyalahi kesunnahan. 

Semoga penjelasan terkait hukum mengangkat 2 jari saat tasyahud bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH