Peran dan Sikap Kyai dalam Berpolitik

Kyai sebagai pengasuh Pesantren menjadi tokoh sentral, tidak saja sebagai pengelola Pesantren, tetapi Kyai juga sebagai tokoh dan panutan masyarakat Pesantren. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Kyai di Pesantren bagaikan Raja-raja kecil yang mempunyai kekuasaan penuh atas masyarakat yang memberikan mandat kepadanya.

Namun dalam dunia politik, ketokohan Kyai tidak bisa disamakan dalam posisinya sebagai tokoh Pesantren. Hal ini bukan karena Kyai tidak layak untuk menjadi panutan dalam berpolitik, tetapi dalam dunia politik, Pesantren menggunakan perspektif sunni, di mana kekuasaan adalah kewajiban kelompok (fardu kifayah), sehingga politik dijadikan sebagai wasilah/media bukan ghoyah/tujuan dalam rangka mencapai kemashlahatan ummat.

Partisipasi Politik Dalam Islam

Partai politik secara etomologis berasal dari kata partai dan politik. Kata “partai” berasal dari bahasa Inggris “part” yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang seazaz, sehaluan, dan setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik yang dalam bahasa Inggris politics berarti ilmu yang mengatur ketatanegaraan, atau seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan. Jadi partai politik adalah perkumpulan orang-orang yang seidiologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, sertatempat berkumpulnya orang-orang yang seide, cita-cita dan kepentingan.

Dalam kepustakaan ilmu politik, ditemukan beberapa definisi yang berbeda mengenai partai politik. Namun ilmuwan politik tersebut tidak menyertakan aspek ideologi dalam menyusun definisi partai politik. Ramlan Surbakti menduga, hal itu disebabkan oleh pengaruh pandangan di Barat bahwa ideologi telah mati. Padahal pada kenyataannya setiap negara pasti memiliki ideologi, apakah bersifat doktriner, pragmatis atau jalan tengah dari keduanya, dan hal ini tercermin dalam partai yang ada di negara bersangkutan, terlepas dari keragaman definisi ideologi yang dipakai oleh setiap partai politik.

Karena itulah Ramlan Surbakti merumuskan partai politik sebagai Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.

Dari sinilah kemudian muncul istilah partai Islam, atau partai yang dilandasakan pada simbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi ajaran Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tak bisa mengelakkan dengan menjamurnya partai-partai yang menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik yang secara tekstuial maupun substansial. Untuk itu format dan bentuk partai Islam perlu dirumuskan baik sebagai kontektualisasi ajaran Islam maupun sebagai sumbangan Islam terhadap perkembangan politik di Indonesia.

Peran Kyai dalam Partai Politik

Di tengah masyarakat Indonesia, tokoh agama atau kyai adalah sosok manusia yang disegani, dihormati, dan kadang ditakuti. Rasa segan, hormat, dan takut masyarakat itu tercipta karena kiai mampu memberikan rasa aman, nyaman, dan damai di daerahnya. Bahkan seringkali mampu memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat. Malah penghormatan masyarakat tidak saja kepada sang kiai tetapi juga kepada anak kiai dan keluarganya.

Kiai politik bisa saja berbeda secara diametral dengan politik kiai. Mungkin saja seorang kiai politik sedang menjalankan misi politik kiai. Tetapi mungkin juga kiai politik lepas sama sekali dengan politik kiai. Misi ke-kiai-annya hilang karena ada kepentingan lain yang lebih menguntungkan, biasanya secara material. Kalau sudah sampai persoalan ini, maka semua tergantung kepada individu masing-masing kiai.

Dalam konteks ini, memposisikan kiai hanya sebagai penjaga dan pengawal moral bangsa tampaknya terlalu sederhana. Namun kiai tidak sebatas pada urusan moralitas semata. Kiai adalah manusia juga. Sebab kiai memang macam-macam dan macam-macam pula politiknya. Politik kiai dalam konteks ini bukan politik dalam pengertian partisan, yang tidak lebih dari sekadar berebut kursi dan kekuasaan, siapa memperoleh apa dengan cara bagaimana dan kapan, yang seringkali menimbulkan konflik. Politik kiai adalah politik dalam pengertian yang lebih luas, politik kebangsaan, politik bagaimana mengarifi kehidupan yang plural. Sehingga doktrin kiai adalah tasamuh, tawazun, dan ta’adul.

Politik kiai bukan siapa menguasai siapa dan siapa menguasai apa. Politik kiai adalah politik yang santun terhadap pluralitas. Sayangnya, doktrin politik kiai yang tasamuh, tawazun, dan ta’adul sering dimanfaatkan oleh kiai politik dan politisi pada umumnya untuk lebih memperkuat basis legitimasinya. Kasus pilkada di beberapa daerah menegaskan realitas tersebut. Lebih sayang lagi, setelah legitimasi diperoleh, kiai ditinggalkan begitu saja. Tetapi namanya kiai, tetap berjiwa besar dan tidak mendendam.

Politik Kyai di Indonesia

Bahasan tentang kyai di tengah politik orde baru tidak bisa lepas dari peran para kyai dalam medukung partai politik pada masa orde baru. Kyai sebagai sentral figur di pesantren mempunyai peran penting, tidak saja bagi civitas akademika pesantren tetapi juga masyarakat sekitar yang sehari-harinya bergaul dengan masyarakat pesantren.

Seringkali kyai pesantren menjadi bahan perebutan antar elite partai dalam memenangkan pemilu pada masa orde baru. Kyai tidak saja sebagai cultural broker sebagaimana disinyalir oleh Geertz, tetapi kyai juga bisa menjadi political activities. Karena sesungguhnya aktifitas politik merupakan bagian dari dakwah yang bisa dilakukan oleh seorang kyai di tengah-tengah masyarakatnya.

Mereka bisa menjadi simbol moral dalam melaksanakan tugas-tugas politik yang oleh banyak pihak disinyalir banyak terjadi kecurangan dan kelemahan. Sayangnya, fungsi-fungsi budaya dan politik itu kebanyakan hanya menjadi lipstik yang terlihat cantik di permukaan. Para ulama’ yang berjuang di jalur politik, kebanyakan hanya sibuk mengurusi pengikutnya sendiri dan memenangkan partainya sendiri di arena Pemilu. Begitu juga, orang-orang yang menjadi perantara budaya, akhirnya juga banyak yang hanya menjadi corong pembenar kebijakan pemerintah.

Ulama’ yang hanya diam ketika terjadi kemungkaran di hadapannya, menurut al-Ghazali digolongkan sebagai ulama al-su’ (ulama yang buruk). Ulama jenis ini, biasanya bila berbicara atau mengeluarkan fatwa hanya sekedar basa-basi atau pengguguran tugasnya saja, agar dia tetap dianggap kompeten di bidangnya. Jarang sekali, fatwa yang diberikan betul-betul keluar dari hati nurani dan berniat membela rakyat yang tertindas.

Terhadap fenomena politik, aktifitas dan suara kyai yang aktif di politik sangat dinanti masyarakat. Sebetulnya aktifitas para kyai dalam dunia politik, lebih bersifat fiqih oriented yang menekankan pada dakwah bil hal. Mereka akan buka suara sekeras-kerasnya dalam rangka menyampaikan amar makruf nahi munkar. Dalam persoalan wajib atau tidak mengikuti pemilihan umum legislatif dan pilpres, para ulama mendasarkan pada kaidah ma la yatimmu al-wajiib illa bihi fahwa waajib.

Kewajiban Berpolitik

Pemilihan umum adalah jembatan dalam memilih pemimpin dalam pemerintahan, sementara taat kepada pemimpin adalah sebuah kewajiban atas dasar teologis. Oleh karena itu dengan sendirinya pemilu adalah wajib hukumnya. Persoalan pemimpin mereka nantinya bisa bersikap adil atau tidak itu berkaitan dengan kewajiban-kewajiban seorang pemimpin negara, seperti yang disebutkan dalam kaidah lain, tasharruful imaam alaal-raiyyah manutun bi al-maslahah. Kewajiban pemilih hanya sampai memilih pemimpin yang adil dan kompeten. Bila dilihat secara normatif berpolitik merupakan salah satu bentuk realisasi keIslaman seseorang.

Pertama, dari aspek dakwah bil hal, berpolitik menempati urutan yang penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di era negara bangsa (nation state) sekarang ini kehidupan di tengah masyarakat tidak bisa lepas dari perilaku politik. Berbagai kebijakan kepemerintahan dari tingkat RT hingga tingkat kenegaraan, merupakan hasil kesepakatan yang diperoleh oleh lembaga politik. Oleh karena itu berpolitik merupakan salah satu upaya memasuki jaringan kekuasaan dan pemerintahan. Paling tidak lewat politik, umat Islam bisa ikut serta menetukan konsep dan perilaku kemasyarakatan dalam bentuk kebijakan publik.

Kedua, dalam fiqh siyasah dinyatakan bahwa persoalan yang pertama muncul setelah Nabi Muhammad meninggal dunia adalah persoalan politik kenegaraan atau khilafah. Siapa yang akan menggantikan Nabi baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala agama. Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan bahwa persoalan khilafah mempunyai kedudukan penting sebagai pengganti kenabian dengan fungsinya untuk melindungi agama dan mengatur urusan dunia (kharatsa al-diin wa siyasah al-duniya).

ISLAMKAFFAH

6 Janji Allah bagi yang Senang Sedekah, Mulai Mendapat Pahala Hingga Bisa Masuk Surga Lewat Pintu Khusus

Islam merupakan agama yang indah, bahkan perbuatan sederhana seperti sedekah dinilai sebagai ibadah. Sedekah yang dilakukan dengan ikhlas akan mendatangkan pahala yang besar dan menjadi sebuah amalan yang pahalanya tidak akan pernah terputus meski sudah meninggal dunia.

Dalam Islam, sedekah tak mesti dengan uang, makanan, atau benda. Seorang muslim bisa bersedekah dengan apa saja asalkan memberikan manfaat untuk orang lain dan dilakukan ikhlas karena Allah SWT.

Misalnya bersedekah dengan menolong orang lain yang sedang mengalami kesusahan, mengajarkan ilmu yang bermanfaat dengan ikhlas, memberikan nafkah keluarga, dan lain yang sebagainya.

Adapun sedekah yang paling mudah digambarkan dalam sebuah hadist Rasulullah saw adalah memberikan senyuman. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah,” (HR. Tirmidzi).

Tak cuma mendapatkan pahala, Allah SWT juga berjanji memberikan keutamaan bagi mereka ahli sedekah. Berikut ini adalah 6 janji Allah SWT kepada hambanya yang senang bersedakah.

  1. Mendapat Pahala yang Berlipat Ganda

Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, ibadah sederhana yang satu ini bisa memberikan pahala yang berlipat ganda bagi yang melakukannya.

Allah SWT akan melipat gandakan pahala bagi orang yang bersedekah, janji ini diabadikan dalam Al-Quran surat Al-Hadid ayat 18.

“Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasulnya baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan (ganjarannya) kepada mereka dan bagi mereka pahala yang banyak,” (QS. Al-Hadid ayat 18).

  1. Dihapus Dosa

Selain mendapat pahala, sedekah juga bisa menghapus dosa. Hal ini disampaikan Rasulullah saw dalam sabdanya.

Di mana dalam hadist tersebut, Rasulullah saw menggambarkan dihapusnya dosa-dosa orang yang bersedekah itu ibarat seperti air yang memadamkan api.

“Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api,” (HR. Tirmidzi).

  1. Dibebaskan dari Siksa Kubur

Alam kubur merupakan tempat persinggahan manusia sesudah mati. Sebelum dihisab, orang-orang akan mendapatkan nikmat atau siksa terlebih dahulu di alam kubur, sesuai dengan amal perbuatannya di dunia.

Apabila amal perbuatannya baik maka dia akan dibebaskan dari siksa kubur, jika amalannya buruk maka ia akan mendapatkan siksa kubur. Salah satu amal yang bisa membebaskan manusia dari siksa kubur adalah bersedekah.

“Sedekah akan memadamkan api siksaan di dalam kubur,” (HR. Ath-Tabrani).

  1. Mendapat Naungan di Hari Akhir

Di hari akhir kelak tidak ada seorang pun yang bisa menolong orang lain, maka tidak heran setiap muslim berharap bisa mendapatkan naungan di hari akhir. Satu-satunya yang bisa menolongnya hanyalah amal perbuatannya saja di dunia.

Ada berapa golongan manusia yang kelak di hari akhir akan mendapat naungan. Salah satu dari mereka adalah orang yang bersedekah dengan ikhlas, sebagaimana dalam HR. Bukhari berikut ini.

“Seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya, ia menyembunyikan amalannya itu sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya,” (HR. Bukhari).

  1. Dijauhkan dari Api Neraka

Janji Allah SWT selanjutnya bagi mereka yang senang sedekah adalah dijauhkan dari api neraka. Sedekah yang dilakukan ikhlas karena Allah SWT akan membuat seseorang dijauhkan dari api neraka. Rasulullah saw bersabda.

“Jauhilah api neraka walau hanya dengan bersedekah sebiji kurma, jika kamu tidak punya, maka bisa dengan kalimah toyyibah,” (HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Masuk Surga Lewat Pintu Khusus Ahli Sedekah

Sedangkan yang terakhir, Allah SWT memberikan janji bagi orang yang bersedekah bisa masuk surga lewat pintu khusus yakni pintu ahli sedekah. Rasulullah saw bersabda.

“Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga; “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan, jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan sholat, ia akan dipanggil dari pintu sholat, yang berasal dari kalangan mujahid maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan bersedekah maka ia akan dipanggil dari pintu sedekah,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi janganlah berat bersedekah, karena bentuk sedekah bukan hanya harta benda saja, senyum pun termasuk sedekah. Selain mendatangkan pahala yang berlipat, Allah SWT juga berjanji akan memberikan keutamaan-keutamaan bagi orang-orang yang melakukannya. Wallahu a’lam bhissawab.

ISLAMKAFFAH

Konsep Islam Wasathiyah Sebagai Wujud Islam Rahmatan Lil’alamin

Terpecahnya dunia Islam ke dalam berbagai Negara bangsa, dan proyek modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintahan baru berhaluan Barat, mengakibatkan umat Islam merasakan terkikisnya ikatan agama dan moral yang selama ini mereka pegang teguh. Hal ini menyebabkan munculnya gerakan radikal dalam Islam yang menyerukan kembali ke ajaran Islam yang murni sebagai sebuah penyelesaian dalam menghadapi kekalutan hidup. Tidak hanya sampai disitu, gerakan ini melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap sekuler dan menyimpang dari ajaran agama yang murni.

Islam Rahmatan Lil Alamin

Dalam Al-Quran Allah mengatakan bahwa Islam dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi semesta Alam. Allah berfirman dalam QS. Al-Anbiya (21):107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”

Allah mendidik secara langsung Nabi Muhammad dengan didikan yang terbaik dan hal itu menjadikan sikap, ucapan dan bahkan seluruh totalitas beliau menjadi rahmat. Totalitas beliau sama dengan ajaran yang beliau sampaikan, karena ajaran beliau pun adalah rahmat menyeluruh, dengan demikian menyatu ajaran dan penyampaian ajaran, menyatu risalah dan rasul, dan karena itu Nabi Muhammad sebagai wujud dari ajaran agama Islam itu sendiri memiliki akhlak Al Quran, sebagaimana dilukiskan oleh Aisyah R.A.

Rahmat sebagai substansi ajaran Islam yang diwujudkan oleh akhlak Nabi Muhammad memiliki arti bahwa kehadiran Islam adalah untuk memenuhi hajat batin umat manusia untuk meraih ketenangan, ketentraman, serta pengakuan atas wujud, hak, bakat, dan fitrahnya, sebagaimana terpenuhi juga hajat keluarga kecil dan besar, menyangkut perlindungan, bimbingan dan pengawasan serta saling pengertian dan penghormatan. Jangankan manusia, binatang dan tumbuhan pun memperoleh rahmat-Nya.

Kehadiran dan wujud Islam di berbagai negara yang mayoritas penduduknya muslim memiliki karakter yang khas. Islam di Indonesia pun terkenal karena kekhasannya, yaitu wujud Islam yang moderat yang dapat berbaur dengan berbagai agama lain di Indonesia (di samping beberapa kasus ekstrim yang mengatasnamakan Islam).

Kemoderatan Islam Indonesia tak lepas dari sikap umat Islam itu sendiri yang secara garis besar merupakan anggota organisasi keislaman. Dan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang konsisten untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa adalah NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini memang memiliki latar belakang kemunculan yang berbeda, namun dalam konsep keislaman keduanya mengaku sebagai wujud Islam Wasathiyah.

Konsep Islam Wasathiyah

Kata wasathan/wasathiyah diambil dari istilah wasatha, wustha yang bermakna tengah, dan menjadi istilah wasithalwasith artinya penengah. Disebutkan tentang hal ini, yaitu dala Qs. Al Baqarah ayat 143:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S Al Baqarah:143).

Di dalam Tafsir Al Misbah dijelaskan bahwa umat Islam dijadikan sebagai ummatan wasathan (pertengahan) adalah moderat dan teladan, sehingga dengan demikian keberadaan umat Islam dalam posisi pertengahan tersebut, sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada di pertengahan juga. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu hal di mana dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapa pun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak.

Yusuf Al-Qardhawi menyatakan pertengahan sebagai al-tawazun (keseimbangan), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan: ruhiyah (spiritualisme) dengan maddiyah (materialisme), fardiyah (individu) dengan jamaiyah (kolektif), waqiiyah (kontekstual) dengan mitsaliyah (idealisme), tsabat (konsisten) dengan taghayyur (perubahan). Oleh karena itu keseimbangan (al-tawazun).

Lanjut Al-Qardhawi, sesungguhnya merupakan watak alam raya (universum) sekaligus menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi. Bahkan, amal menurut Islam bernilai saleh, jika amal itu diletakkan dalam prinsip-prinsip keseimbangan antara hablun minallah dan hablun minannaas. Di atas prinsip keseimbangan inilah, Islam sebagai hudan (pedoman hidup) telah membimbing umatnya keluar dari kegelapan menuju cahaya dan mengantarnya menggapai kemajuan dan kejayaan.

Ibnu Katsir dalam kitabnya Jamiul Bayan mengatakan istilah umatan wasathan bermakna sebagai kemampuan-kemampuan positif yang dimiliki umat Islam. Sebagaimana dalam kurun pertama sejarahnya yakni dalam capaian-capaian kemajuan di bidang material maupun spiritual.

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam yang rahmat dan wasathiyah itu terwujud pada sikap dan perilaku berislam yang inklusif, humais dan toleran. Sikap tersebut seharusnya lebih ditonjolkan dalam menyikapi pluralisme dan kebinekaan seperti Indonesia, dan seharusnya pula umat Islam tampil sebagai “mediator” atau penengah, adil dan fair dalam hubungan antar kelompok yang berbeda-beda.

Spirit Positif Dalam Islam

Di dalam Islam itu sendiri terdapat ruh atau spirit yang dalam, dan beberapa spirit tersebut harus dipertahankan dan dijaga baik-baik. Di antara spirit positif tersebut adalah:

Pertama, Toleransi dalam Keberagaman

Para penyebar Islam telah menanamkan benih-benih toleransi kepada masyarakat Indonesia. Benih-benih yang disebar tersebut tumbuh dan berkembang dengan subur. Penyemaian benih toleransi oleh para penyebar Islam di nusantara tentu atas dasar ijtihad yang mendalam dan bertanggungjawab. Mereka paham dan mengerti bahwa Islam membawa ajaran moral yang universal, di antaranya adalah ajaran toleransi, sebab secara fitrah, manusia dilahirkan dalam aneka warna yang berbeda-beda.

Kedua, Apresiasi dan Penghargaan Terhadap Tradisi yang Baik

Perlu disadari bahwa Islam pada masa Nabi pun dibangun di atas tradisi lama yang baik (tahmil, taghyir dan tahrim). Hal ini tentu saja menjadi bukti bahwa Islam tak selamanya memusuhi tradisi lokal. Tradisi yang baik tidak dimusuhi, namun justru menjadi sarana vitalisasi nilai-nilai Islam, sebab nilai-nilai Islam perlu kerangkan yang akrab dengan pemeluknya. Dan untuk bisa berkembang, justru Islam harus masuk dalam ruang tradisi, bukan penghancuran kepada tradisi. Tetapi tradisi yang diapresiasi dan dihargai adalah tradisi yang baik, dan memajukan peradaban, bukan tradisi yang tidak baik seperti sistem kasta, ketidaksetaraan, dan lain-lain yang bertentangan dengan spirit Islam.

Ketiga, Elastis dan Tidak Kaku dalam Membaca Teks

Teks Al Quran maupun hadis turun di abad ke-7 dengan kondisi teks yang tidak berubah hingga sekarang. Akan tetapi kehidupan dan kebudayaan masyarakat berbeda dari tahun ke tahun hingga abad ke abad. Baik dari tingkat pengetahuan, perangkat-perangkat saintifik, problemproblem sosial, ekonomi, politik serta problematika pengetahuan.

Semua akan membaca teks dalam kerangka tingkat pengetahuan dan problematika tersebut di atas yang membatasinya. Mereka mendapati atau memahami dalam ayat tentang hal-hal yang tidak didapati orang lain. Hal ini menegaskan bahwa teks mengandung “karakter kehidupan”, memiliki “kondisi berada” (kainunah) pada dirinya, dan mengandung “kondisi berproses” (sayrurah) dan “kondisi menjadi (shayrurah)” untuk lainnya.

Oleh karena itu, teks itu tetap sedangkan kandungan makna makna akan bergerak terus menerus sesuai dengan masa yang dihadapi manusia”, dan teks selalu beradapan dengan realists sehingga teks harus melakukan dialektika teks dan kandungan makna.

ISLAMKAFFAH

Hukum Memberikan Zakat kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyebutkan beberapa hadis berkaitan dengan masalah ini di kitab beliau, Bulughul Maram.

Hadis pertama

Diriwayatkan dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ

“Sesungguhnya sedekah itu tidak diperkenankan untuk keluarga Muhammad, karena zakat hanyalah kotoran manusia.” (HR. Muslim no. 1072)

Hadis kedua

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ، وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ، وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ

“Sedekah ini hanyalah kotoran manusia. Sesungguhnya zakat itu tidak halal (diberikan) kepada Muhammad dan juga keluarga Muhammad.” (HR. Muslim no. 1072)

Hadis ketiga

Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

مَشَيْتُ أَنَا وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْطَيْتَ بَنِي المُطَّلِبِ وَتَرَكْتَنَا، وَنَحْنُ وَهُمْ مِنْكَ بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا بَنُو المُطَّلِبِ، وَبَنُو هَاشِمٍ شَيْءٌ وَاحِدٌ

“Aku dan Utsman bin Affan berjalan menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu kami katakan, “Wahai Rasulullah, engkau memberikan kepada Bani Muthalib (yaitu seperlima harta ghanimah, pent.), tetapi kami tidak, padahal kami di hadapanmu kedudukannya sama.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Bani Muthalib dan Bani Hasyim adalah satu (sama kedudukannya).” (HR. Bukhari no. 3140)

Hadis keempat

Diriwayatkan dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى الصَّدَقَةِ مِنْ بَنِي مَخْزُومٍ، فَقَالَ لِأَبِي رَافِعٍ: اصْحَبْنِي فَإِنَّكَ تُصِيبُ مِنْهَا، قَالَ: حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْأَلَهُ، فَأَتَاهُ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: مَوْلَى الْقَوْمِ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، وَإِنَّا لَا تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki agar mengambil zakat dari Bani Makhzum, kemudian ia berkata kepada Abu Rafi’, “Temani aku, sesungguhnya engkau akan memperoleh sebagian darinya.” Ia berkata, “Hingga aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta kepada beliau.” Kemudian ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta kepadanya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Mantan) budak sebuah kaum adalah bagian dari mereka, dan sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi kami.” (HR. Ahmad 39: 300, Abu Dawud no. 1650, At-Tirmidzi no. 657, An-Nasa’i 5: 107. Ibnu Khuzaimah no. 2344, dan Ibnu Hibban 8: 88. At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadis hasan sahih.” Dinilai sahih oleh Al-Albani.)

Kandungan hadis

Kandungan pertama

Hadis-hadis tersebut merupakan dalil bahwa zakat itu tidak boleh diberikan kepada keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Bani Hasyim. Hasyim adalah kakek kedua bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena Abdu Manaf itu memiliki empat orang anak: 1) Hasyim; 2) Muthalib; 3) Abdu Syams; dan 4) Naufal. Yang dimaksud dengan Bani Hasyim adalah keluarga ‘Abbas bin Abdul Muthalib, keluarga Abu Thalib bin Abdul Muthalib, keluarga Al-Harits bin Abdul Muthalib, dan keluarga Abu Lahab bin Abdul Muthalib.

Abdurrahman bin Qudamah rahimahullah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa Bani Hasyim itu tidak boleh menerima sedekah wajib (zakat, pent.) … “ (Asy-Syarh Al-Kabir, 7: 289)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menjelaskan hikmah hal tersebut dengan mengatakan,

إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ

“Karena zakat hanyalah kotoran manusia.”

Maksudnya, zakat itu disyariatkan untuk membersihkan dan menyucikan harta dan jiwa manusia. Maka hal itu seperti membersihkan kotoran dari badan manusia, sehingga badan menjadi bersih.

Kandungan kedua

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu (hadis ketiga di atas), para ulama Syafi’iyyah berdalil bahwa Bani Muthalib itu sama dengan Bani Hasyim, yaitu sama-sama tidak boleh menerima zakat. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad. Argumentasi mereka, bahwa keluarga Bani Muthalib itu berhak memperoleh seperlima dari harta rampasan perang (ghanimah), sehingga hal itu sudah mencukupi dari menerima harta zakat (Al-Majmu’, 6: 227).

Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa keluarga Bani Muthalib boleh menerima zakat, karena: (1) dalil-dalil umum dalam masalah ini; dan (2) mereka bukanlah termasuk keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah yang berasal dari Bani Hasyim. Sehingga Bani Muthalib tidaklah tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ

“Sesungguhnya sedekah itu tidak diperkenankan untuk keluarga Muhammad.”

Adapun sebab mengapa Bani Muthalib mendapatkan pembagian seperlima harta ghanimah adalah karena pertolongan dan dukungan mereka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi situasi sulit saat diboikot oleh orang-orang kafir Quraisy; dan bukan semata-mata karena hubungan keluarga (kekerabatan) (Al-Mughni, 4: 111-112). Buktinya, Bani Abdi Syams dan Bani Naufal juga sama-sama kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun mereka tidak mendapatkan ghanimah sama sekali.

Oleh karena itu, dalam hadis ketiga di atas, Utsman bin Affan (yang berasal dari Bani Abdi Syams) dan Jubair bin Muth’im (yang berasal dari Bani Naufal) berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Engkau memberikan kepada Bani Muthalib seperlima harta ghanimah, sedangkan kami tidak diberi, padahal kedudukan kami dan mereka itu sama.” Maksudnya, sama-sama masih kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena semuanya berasal dari Bani Abdi Manaf sebagaimana penjelasan di atas.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menjelaskan rahasia mengapa Bani Muthalib mendapatkan hak seperlima, yaitu karena Bani Muthalib dan Bani Hasyim itu satu, sama kedudukannya ketika di masa jahiliyah dan di masa Islam. Berbeda dengan Bani Naufal dan Bani Abdi Syams, karena mereka ikut memerangi dan memusuhi Bani Hasyim ketika Allah Ta’ala mengutus Muhammad sebagai Rasul-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّا وَبَنُو الْمُطَّلِبِ لَا نَفْتَرِقُ فِي جَاهِلِيَّةٍ، وَلَا إِسْلَامٍ، وَإِنَّمَا نَحْنُ وَهُمْ شَيْءٌ وَاحِدٌ

“Sesungguhnya kami (Bani Hasyim) dan Bani Muthalib itu tidak berpisah pada masa jahiliyah dan juga pada masa Islam. Kami dan mereka adalah satu (sama kedudukannya).” (HR. Abu Dawud no. 2980, An-Nasa’i 7: 131, Ibnu Majah no. 2881, Ahmad 27: 304-305. Dinilai sahih oleh Al-Albani.)

Ketika Bani Hasyim diblokade oleh orang Quraisy di sebuah lembah, orang-orang Quraisy memboikot mereka dari aktivitas jual beli, pernikahan, dan sebagainya. Di masa-masa sulit itu, datanglah Bani Muthalib yang membantu dan menolong Bani Hasyim. Bani Muthalib mengatakan, “Kalian adalah saudara kami, kami tidak rida meninggalkan (membiarkan) kalian.”

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan Bani Muthalib sebagai kerabat (keluarga) beliau dan memberikan hak seperlima harta ghanimah. Dan beliau tidak memberikan harta tersebut kepada Bani Naufal dan Bani Abdi Syams, kareka keduanya tidak ikut membantu dan menolong Bani Hasyim. Sehingga Bani Abdi Syams dan Bani Naufal tidak memiliki keutamaan sebagaimana Bani Muthalib.

Adapun pertolongan, pembelaan, dan dukungan dari Bani Muthalib tidaklah berkonsekuensi bahwa mereka tidak boleh menerima harta zakat. Sehingga pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama yang berpendapat bahwa keluarga Bani Muthalib boleh menerima zakat. Hal ini karena dalil-dalil yang menunjukkan bahwa keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu tidak boleh menerima zakat hanyalah khusus berlaku untuk Bani Hasyim, tidak selainnya. Bani Hasyim ini adalah keturuan yang paling dekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, paling mulia, dan merekalah keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Kandungan ketiga

Dzahir perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ

“Sesungguhnya sedekah itu tidak diperkenankan untuk keluarga Muhammad”, bahwa yang dimaksud dengan “sedekah” di sini mencakup sedekah wajib (zakat) dan sedekah sunah. Akan tetapi, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ

“Karena zakat hanyalah kotoran manusia”, menunjukkan bahwa hal itu hanya khusus berkaitan dengan sedekah wajib (zakat), bukan sedekah sunah, karena sedekah sunah tidaklah memiliki sifat demikian. Sehingga Bani Hasyim boleh menerima harta dari sedekah sunah. Dikecualikan dari hal ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, beliau tidak boleh menerima zakat dan tidak boleh pula sedekah sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama (Al-Mughni, 4: 113-115).

Sebagian ulama, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagian ulama Hanabilah, sebagian ulama Syafi’iyyah, dan sebagian ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa keturunan Bani Hasyim sekarang boleh diberikan harta zakat, ketika mereka tidak mendapatkan seperlima harta ghanimah. Hal ini untuk menghilangkan kesusahan ketika mereka miskin, karena banyak di antara mereka yang terlilit utang. Sehingga boleh memberikan sebagian harta zakat kepada mereka ketika ada kebutuhan dan maslahat. Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa keturunan Bani Hasyim tidak boleh menerima harta zakat secara mutlak, karena cakupan dalil-dalil umum yang melarangnya. (Lihat Al-Ikhtiyarat, hal. 104; Al-Inshaf, 3: 255; Fiqhuz Zakat, 2: 732)

Kandungan keempat

Adapun hadis keempat merupakan dalil bahwa zakat iu tidak boleh disalurkan kepada budak Bani Hasyim. Hukum bagi mereka dan tuannya dari bani Hasyim itu sama, yaitu sama-sama tidak boleh menerima harta zakat. Hal ini berdasarkan pekataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَوْلَى الْقَوْمِ مِنْ أَنْفُسِهِمْ

“(Mantan) budak sebuah kaum adalah bagian dari mereka.”

Maksudnya, hukum budak yang sudah merdeka itu sama seperti hukum tuannya, kemuliaan tuan mereka (yaitu tuan mereka dari Bani Hasyim) itu juga mereka dapatkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, bahkan Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengklaim adanya ijmak dalam masalah ini.

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Selesai]

***

@Kantor Pogung, 27 Jumadil awal 1445/ 11 Desember 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90569-hukum-memberikan-zakat-kepada-bani-hasyim-dan-bani-muthalib.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hikmah Memaafkan Orang Lain Menurut Imam Nawawi 

Memaafkan orang lain bukanlah tindakan yang mudah, apalagi ketika kita dilukai secara mendalam. Namun, dalam ajaran Islam, memaafkan memiliki hikmah dan keutamaan yang sangat besar. Imam Nawawi, seorang ulama besar, banyak menerangkan tentang hikmah memaafkan orang lain.

Sejatinya, orang yang telah di bicarakan kejelekannya oleh orang lain, baik ia mengetahui atau tidak mengetahui, maka dianjurkan baginya untuk memaafkan orang yang telah membicarakan kejelekannya dengan penuh kerelaan hati. 

Orang yang memaafkan kesalahan orang lain, misalkan memaafkan ketika ia di ghibah atau disakiti, maka Allah akan menambah kemuliaan bagi dirinya sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

وما زاد الله عبدا بعفو إلا عزا

Artinya: “Dan tidaklah seorang hamba memaafkan (perbuatan zalim orang lain), kecuali Allah akan menambah kemuliaannya”. (HR. Muslim : 4689)

Imam Nawawi dalam karyanya Al-Adzkar An-Nawawiyyah Juz 1, halaman 845, menjelaskan tentang sikap atau tindakan orang yang dibicarakan kejelekannya oleh orang lain. Beliau menegaskan:

ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻟﺼﺎﺣﺐ ﺍﻟﻐﻴﺒﺔ ﺃﻥ ﻳﺒﺮﺋﻪ ﻣﻨﻬﺎ، ﻭﻻ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺫﻟﻚ ﻷﻧﻪ ﺗﺒﺮﻉ ﻭﺇﺳﻘﺎﻁ ﺣﻖ ﻓﻜﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﺧﻴﺮﺗﻪ، ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻟﻪ ﺍﺳﺘﺤﺒﺎﺑﺎً ﻣﺘﺄﻛﺪﺍً ﺍﻹﺑﺮﺍﺀ، ﻟﻴﺨﻠﺺ ﺃﺧﺎﻩ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻣﻦ ﻭﺑﺎﻝ ﺍﻟﻤﻌﺼﻴﺔ ﻭﻳﻔﻮﺯ ﻫﻮ ﺑﻌﻈﻴﻢ ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻣﺤﺒﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ

Artinya: “Ketahuilah bahwa dianjurkan bagi orang yang dighibah untuk memaafkan kesalahan orang yang mengghibah. Namun hal yang demikian tidaklah wajib karena hal itu merupakan perbuatan baik yang menjadi haknya, maka hal itu menjadi kebaikannya. 

Akan tetapi dianjurkan baginya untuk memaafkan agar dia dapat mensucikan saudaranya sesama muslim dari perbuatan maksiat. Dan apabila telah memaafkan, maka dia akan beruntung yaitu mendapatkan pahala besar dan cinta dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. yang demikian itu adalah perkataan imam syafi’i”.

Penjelasan Imam Nawawi di atas, memberi arahan di saat kita di bicarakan kejelekan kita oleh orang lain. Arahan tersebut terbagi menjadi dua bagian. Adapun uraiannya sebagai berikut: 

Pertama, memaafkan orang yang berghibah. Orang yang memaafkan kesalahan atau kelalaian orang lain, ia akan mensucikan perbuatan dosa orang lain. Karena ghibah termasuk haqqul Adami (hak anak Adam) dosa yang berkaitan dengan hak anak Adam tidak akan termaafkan, kecuali ia meminta maaf atau ridha dari orang yang telah ia sakiti atau dighibahi. 

Memaafkan orang yang mengghibah memang tidak mudah. Butuh kesabaran, keikhlasan, dan kekuatan iman untuk melakukannya. Namun, jika kita mampu melakukannya, maka kita akan mendapatkan banyak kebaikan dan keutamaan dari Allah.

Kedua, orang yang memaafkan kesalahan orang lain, ia yang akan beruntung. Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain, dan ia akan dicintai oleh Allah, karena ia mempunyai sifat pemaaf. Sebaliknya Allah sangat murka kepada orang yang sombong dan tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. 

Dalam Islam, memaafkan kesalahan orang lain merupakan salah satu sifat terpuji yang dianjurkan oleh Allah SWT. Orang yang memaafkan kesalahan orang lain akan mendapatkan banyak kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat.

Di dunia, orang yang memaafkan kesalahan orang lain akan merasakan ketenangan jiwa dan pikiran. Ia tidak akan terbebani dengan rasa dendam dan amarah. Hal ini akan berdampak positif pada kesehatan fisik dan mentalnya.

Selain itu, orang yang memaafkan kesalahan orang lain akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Allah SWT akan meninggikan derajatnya dan memasukkannya ke dalam surga.

Sebaliknya, orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain akan mendapatkan murka dari Allah SWT. Ia akan direndahkan derajatnya dan dimasukkan ke dalam neraka

Semoga kita bisa menjadi orang  yang dapat memaafkan kesalahan orang lain. Sungguh sangat indah menjadi seorang pemaaf, hatinya merasa lega dan tenang. Dan akan mudah untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap sesama. 

Demikian hikmah memaafkan orang lain. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Raih Keberkahan Tahun Baru 2024: Menyongsong Sukses dengan 5 Kunci Sukses Perspektif Islam

Tidak lama lagi, kita akan memasuki tahun baru 2024. Tentu banyak catatan, bahkan kenangan yang telah terjadi selama tahun 2023. Tahun baru selalu diidentikkan dengan hal baru. Selain itu, di tahun baru, setiap orang lazimnya ingin lebih sukses atau beruntung dari tahun sebelumnya.

Dalam sebuah hadis yang sangat populer, Rasulullah bersabda: “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi..” (HR. al-Hakim).

Karena itu, menyambut tahun baru 2024, harus diiringi dengan semangat kuat untuk lebih sukses. Islam sebagai agama kamil dan syamil, telah memberikan panduan lengkap bagi umatnya, salah satunya adalah bagaimana mencapai kesuksesan di dunia dan akhirat.

Tulisan ini akan mengulas 5 kunci sukses ala Islam, yang tentu saja diharapkan dapat menjadi sebuah bacaan yang mencerahkan dan dapat membantu umat Islam dalam mengarungi hari demi hari setidaknya selama tahun 2024 dengan penuh keberkahan dan kesuksesan.

Memantabkan Niat

Dalam Islam, niat memiliki posisi yang inti. Bahkan dalam sebuah hadis, Nabi bersabda: “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut Imam Baihaqi, hadis tentang niat tersebut merupakan sepertiga Islam, karena tindakan seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya, dan niat yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut dan yang paling utama.

Begitu pentingnya niat, sampai-sampai menjadi salah satu tolok ukur diterima atau tidaknya suatu amalan. Karena itu, mantabkan dan luruskan niat untuk menjalani kehidupan yang bermanfaat. Jika sudah, insyaallah sepanjang tahun 2024 akan dipenuhi dengan kebaikan dan dilancarkan segala kegiatan.

Disiplin

Kunci sukses kedua adalah disiplin. Disiplin adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan melakukan apa yang harus dilakukan, sekalipun itu tidak menyenangkan atau tidak nyaman. Namun, demi profesionalitas dan untuk meningkatkan kapasitas diri, harus dilakukan.

Dalam Islam, disiplin menjadi sifat orang yang bertaqwa. Hal ini, salah satunya, tercermin dari kewajiban ibadah. Bahwa waktu sholat fardhu yang mempunyai batasan waktu awal dan akhir menunjukkan betapa setiap Muslim disiplin; harus sholat tepat di waktu sholat yang telah ditentukan, jika tidak maka sholatnya dianggap tidak sah.

Sikap disiplin sejalan dengan kunci hidup sukses karena dapat mengatur waktu secara tepat dan konsisten. Selain itu, disiplin juga berbanding lurus dengan peningkatan produktivitas. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-‘Ashr [103]:1-3.

Dengan demikian, jika sikap disiplin ini sulit dilakukan pada tahun 2023, maka semangat tahun baru 2024 adalah menerapkan kedisiplinan di segala bidang. Jika sudah demikian, maka kesuksesan dan kebaikan akan selalu menyertai.

Selalu Bersikap Jujur

Jujur pasti mujur“, ungkapan dalam bahasa Jawa tersebut memberikan makna mendalam bahwa perilaku jujur akan membawa seseorang sukses. Apalagi di tengah kondisi bangsa yang krisis kejujuran seperti saat sekarang ini, menerapkan jujur dalam setiap tindakan dan lisan, menjadi kunci memenangkan dalam setiap ‘kesempatan’.

Nabi Muhammad didapuk dalam sejarah manusia sebagai sosok yang paling sukses dan berpengaruh di dunia salah satu faktor utamanya adalah karena kejujuran. Gelar Al-Amin atau orang yang dapat dipercaya, karena beliau jujur dan amanah. Maka, kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh kejujurannya.

Maka, di tahun 2024, sikap jujur tidak hanya perlu ditingkatkan. Lebih dari itu adalah harus dijadikan sebagai gaya hidup. Dalam sebuah riwayat, Nabi bersabda: “Jaminlah kepadaku enam perkara dari diri kalian, niscaya aku menjamin kepada kalian balasan surga: [1] jujurlah ketika berbicara, [2] penuhilah janji, [3] tunaikan jika dipercaya, …” (H.R. Ahmad).

Kerja Keras

Jika sudah memantabkan niat, menerapkan disiplin ketat, dan selalu bersikap jujur, maka kunci sukses selanjutnya adalah bekerja keras. Memiliki etos kerja bagi setiap muslim sejatinya sudah diajarkan sejak di bangku sekolah.

Bahkan dalam ayat yang super terkenal, Allah memberikan informasi kepada umatnya untuk bekerja keras. Sebab, jika tidak ada usaha, maka Allah tidak akan mengubah nasib hamba-Nya (QS. Ar-Ra’d: 11).

Jika semangat tahun baru 2024 adalah perubahan, maka perubahan itu sesungguhnya berada pada sikap malas-malasan. Harus dirubah supaya menjadi pribadi yang penuh semangat dan kerja keras. Ingat pesan Allah dalam QS. At Taubah ayat 105: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu,..”

Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (QS. An-Najm: 39-41).

Memperbanyak Sedekah

Jika sudah bekerja keras namun belum juga menuai hasil yang maksimal, maka perlu diimbangi dengan memperbanyak sedekah. Hal ini untuk mengetuk pintu langit. Dalam bahasa al-Qur’an, akan mendapatkan rezeki dari arah yang tak disangka sangka ( QS. Ath-Thalaq: 3).

Demikian 5 kunci sukses ala Islam yang disarikan dari berbagai ayat al-Qur’an dan hadis. Tentu masih banyak kunci sukses lainnya dalam al-Qur’an dan hadis. Namun demikian, 5 kunci sukses ini sangat relevan untuk menyambut dan mengarungi tahun baru 2024 untuk lebih baik dan menggandakan kemanfataan secara luas.

ISLAMKAFFAH

Doa Terhindar dari Marabahaya

Di awal tahun 2024 ini, sebagai umat muslim tentunya disunnahkan untuk melakukan amalan-amalan baik, salah satunya adalah dengan perbanyak berdoa. Harapannya agar di tahun ini kita senantiasa mendapatkan keberkahan, segala keinginan tercapai dan terhindar dari segala marabahaya. Nah berikut doa terhindar dari marabahaya.

Sebuah hadits riwayat Bukhari juga menyebutkan anjuran untuk umat muslim untuk mengamalkan doa tak terkecuali jelang tahun baru seperti saat ini, agar kita terhindar dari marabahaya. Berikut bunyi hadits berisikan anjuran membaca doa terhindar dari marabahaya.

تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ جَهْدِ الْبَلاَءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الأَعْدَاءِ

ta’awwudzu billahi min jahdil balaa’i wa darakis syaqaa’i wa suu’il qadhaa’i wa shamaatatil a’daa’i
Artinya: “Berlindunglah kalian kepada Allah dari kerasnya musibah, turunnya kesengsaraan yang terus menerus, buruknya qadha, serta kesenangan musuh atas musibah yang menimpa kalian.” (HR. Bukhari).

Doa terhindar dari bahaya ini bisa kita amalkan ketika hendak beraktivitas dan berpergian, agar Allah Swt. senantiasa memberikan kita keselamatan dari segala marabahaya.

Doa Meminta Perlindungan Kepada Allah 

Berikut ini adalah bacaan doa terhindar dari bahaya dan meminta perlindungan kepada Allah Swt. lengkap dengan tulisan Arab, dan artinya.

بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa haula wa laa quwwata illaa billah
Artinya: “Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.”

Doa Terhindar dari Marbahaya

Berikut ini adalah bacaan doa terhindar dari bahaya lengkap dengan tulisan Arab, dan artinya:

سُبْحَانَ الَّذِىْ سَخَّرَلَنَا هَذَا وَمَاكُنَّالَهُ مُقْرِنِيْنَ وَاِنَّآ اِلَى رَبّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ

Subḥānallāhillażī sakhkharra lanā hāḍā wa mā kunnā lahụ muqrinīna wa innā ilā rabbinā lamunqalibūna

Artinya: “Maha suci Allah yang memudahkan ini (kendaraan) bagi kami dan tiada kami mempersekutukan bagi-Nya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.”

Bacaan Tolak Bala

Ada 4 surat dalam Al-Qur’an yang dapat menjadi doa terhindar dari bahaya. Membaca surat Al Kautsar, Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas dapat menolak bala.  Keempat surat tersebut juga bisa kita gunakan sebagai dzikir untuk menolak bala atau terhindar dari bahaya pertama membaca Surat Al Kautsar 17 kali, kemudian membaca Surat Al Ikhlas 5 kali, dilanjut Surat Al Falaq 1 kali, dan terakhir baca Surat An Nas 1 kali

Doa Keselamatan untuk Keluarga

اللهُمَّ ادفَعْ عَنَّا الغَلَاءَ والبَلاءَ والوَباءَ والفَحْشَاءَ والمَنْكَرَ والشُّيُوفَ المُخْتَلِفَةَ والشَّدَائِدَ والمحَنَ ما ظَهَرَ مِنْهَا وما بَطَنَ مِنْ بَلَدِنا هذا خَاصَّةً ومِنْ بُلْدَانِ المُسْلِمِينَ عَامَّةً إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Allāhumma adfa’ ‘annā al-ghāla’a wa al-bala’a wa al-wābi’a wa al-faḥshā’a wa al-mankara wa al-shuyūfa al-mukhtalifata wa al-syadā’ida wa al-maḥāna mā ẓahara minhā wa mā baṭana min baladinā hāżā khaṣṣatan wa min buldān al-muslimīn ʿāmmatan innaka ʿalā kulli shay’in qadīr.

Alangkah baiknya jelang pergantian tahun kita bisa mengamalkan doa terhindar dari bahaya untuk berdzikir kepada Allah SWT. Mengamalkan doa-doa di atas sudah pasti akan membuat kita mendapatkan pahala serta dapat melindungi diri dan keluarga dari marabahaya. Selain itu, juga bisa membuat kita lebih dekat dengan Nabi Muhammad SAW dan lebih banyak mendapatkan syafaat. 

Bahkan, ketika kita membaca doa ini nantinya ketika meninggal dalam keadaan syahid. Maka perbanyaklah membaca doa terhindar dari bahaya sebagai salah satu bentuk ikhtiar kita dalam menolak bala dan memohon keselamatan kepada Allah SWT. 

Demikian informasi selengkapnya tentang doa terhindar dari marabahaya. Semoga tulisan ini bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Aturan Memukul dalam Islam, Jangan Sembarangan!

Islam itu agama yang berisi aturan. Seluruh aspek di dalam Islam itu diatur sedemikian rupa untuk kemaslahatan kaum muslimin. Bahkan, memukul anak dan istri juga ada aturannya. Oleh karena itu, dalam Islam, sangat melarang kekerasan. Sehingga, Islam tidak melegalkan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dengan alasan ada ayat yang menerangkan untuk memukul istri yang membangkang atau ada hadis yang menyuruh untuk memukul anak karena tidak mau salat.

Demikianlah, jika membaca Al-Qur’an atau hadis hanya sepotong-sepotong disertai dangkalnya pemahaman agama. Sebagaimana orang yang hanya membaca ayat,

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ

“Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat.” (QS. Al-Ma’un: 4)

Padahal, orang celaka dalam ayat selanjutnya adalah orang yang lalai dalam salatnya (orang yang tidak benar salatnya).

Aturan memukul di dalam Islam itu sangat ketat dan detail. Ada beberapa aturan memukul yang harus diperhatikan agar dalam memukul sesuai dengan syariat yang telah ditentukan terkait jenis, tempat, dan jumlahnya. Berikut ketentuannya.

Pertama, pukulan adalah alternatif terakhir

Jadi, yang namanya pukulan, bukan menjadi satu-satunya cara dan prioritas utama dalam mendidik anak dan istri. Ketika cara pertama, kedua, dan seterusnya yang halus tidak memberi efek dan perubahan, maka barulah digunakan cara terakhir, yaitu pukulan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya (melakukan pembangkangan sehingga tidak memenuhi hak suami), maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka (tinggalkan mereka untuk tidur sendiri), dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya (merugikan mereka). Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisa’: 34)

Dari ayat di atas, dijelaskan tata cara yang dilakukan untuk menasihati istri yang durhaka dan tidak taat. Yang pertama adalah menasihati, lalu mendiamkan (tidak diajak bicara) jika nasihat tidak dihiraukan. Jika masih saja tidak berefek (mempan), barulah dipukul. Dan pukulan ini jangan sering dilakukan karena akan membuat anak menjadi stres dan trauma.

Kedua, jenis pukulannya ringan dan tidak melukai

Ada beberapa macam jenis pukulan. Ada yang ringan, sedang, dan berat. Maka, yang dianjurkan dalam Islam adalah memukul dengan pukulan yang ringan dan tidak menimbulkan luka.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad, 1: 313  no. 2867 dan Ibnu Majah no. 2431. Lihat Al-Arba’in no. 32.)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menerangkan bahwa jika seorang suami terpaksa memukul istri (atau anaknya), hendaklah ia memukul dengan pukulan yang ringan sehingga tidak membuat si istri (atau anak) menjauh ataupun dendam kepada suaminya. (Lihat Fathul Bari, 9: 377)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata bahwa pukulan tersebut adalah pukulan yang tidak melukai dan mendatangkan perbaikan, bukan mencelakakan. (Lihat Liqa Al-Bab Al-Maftuh, 95: 18)

Ketiga, tidak boleh memukul wajah (kepala)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا ضرَب أحَدُكم فليتَّقِ الوَجْهَ

Jika kalian memukul, maka jauhi wajah (kepala). (HR. Abu Daud no. 4493)

Hal tersebut karena kepala adalah bagian tubuh yang terhormat dan banyak organ sensitif yang berada di area wajah.

Keempat, jumlah pukulan tidak berlebihan dan maksimal 10 kali

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى

Seseorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam masalah had (dosa besar yang sudah ditentukan kadar hukumannya: rajam, penggal, potong tangan). (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika dipukul sekali dan anak sudah jera, maka tidak boleh ditambah menjadi dua kali. Jika dua kali sudah membuat anak kapok, maka tidak boleh dipukul tiga kali. Jika sudah mencapai sepuluh kali, maka tidak boleh lebih dari itu. Dan apabila ingin melakukan pukulan yang berkali-kali (2-10 kali), maka lokasi yang dipukul harus berpindah-pindah dan tidak di satu titik saja karena bisa membahayakan (saraf). Kemudian antara pukulan pertama dan kedua (atau selanjutnya) diberikan jarak.

Kelima, tidak boleh memukul saat emosi memuncak

Ketika memukul niatnya harus benar, yakni ingin mendidik. Jika niatnya keliru, seperti ingin melampiaskan emosi dan amarahnya, maka alhasil yang muncul adalah dendam yang tertanam. Akhirnya jika itu adalah sang anak, ia bisa melampiaskan dendamnya kepada adiknya, temannya, bahkan orang tuanya kelak ketika jasad sudah menua dan tak berdaya.

Saat memukul, orang tua tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor baik berupa cacian atau umpatan untuk melampiaskan kemarahannya. Kemudian, orang yang sedang marah biasanya tidak bisa mengontrol dirinya sehingga menjadikan pukulan itu tidak terkendali. Oleh karenanya, jika seseorang sedang dalam keadaan marah, maka sebaiknya ia diam dulu agar bisa mengendalikan dirinya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imron: 134)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَ إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah (dahulu).” (HR. Ahmad, 1: 239)

Dalam sabda beliau yang lain,

لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat marah. (HR. Bukhari)

Keenam, disesuaikan dengan kadar kesalahan

Kesalahan itu tidak satu level. Ada yang ringan, sedang, dan berat. Maka dari itu, hukuman yang diberikan juga tidak sama. Jika kesalahan yang dilakukan ringan, tetapi hukuman (pukulan) yang diberikan berat, maka termasuk bentuk kezaliman.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اتَّقُوْا اللهَ، وَإِيَّاكُمْ وَالظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bertakwalah kalian semua kepada Allah, dan takutlah kalian dari perbuatan zalim, karena sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang tua adalah sebagaimana dokter yang memberi obat. Tatkala dokter memberi obat, maka dosis yang diberikan disesuaikan dengan tingkat penyakit yang diderita. Jika penyakit parah dan diberikan obat dosis kecil, maka tidak akan memberikan efek. Sebaliknya, jika penyakit yang diderita ringan dan diberikan obat dengan dosis tinggi, maka akan terjadi over dosis. Begitu pula, orang tua harus memberikan hukuman sesuai dengan kadar kesalahannya.

أَنَّ رَجُلًا يُقَالُ لَهُ جُزْءٌ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَهْلِي يُغْضِبُونِي فَبِمَ أُعَاقِبُهُمْ؟ فَقَالَ: «تَعْفُو» ، ثُمَّ قَالَ: الثَّانِيَةَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ: «فَإِنْ عَاقَبْتَ فَعَاقِبْ بِقَدْرِ الذَّنْبِ وَاتَّقِ الْوَجْهَ»

Seorang sahabat yang bernama Juz’un datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, terkadang istri atau anakku membuat aku marah. Dengan cara apa aku menghukum mereka?”

Beliau menjawab, “Maafkan!”

Dia mengulangi lagi ucapannya dua hingga tiga kali. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika memang engkau harus menjatuhkan hukuman, maka hukumlah sesuai dengan kadar kesalahan dan hindari wajah.” (HR. Ath-Thabaraniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan dinyatakan dha’if)

Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi radhiyallahu anhu ia berkata,

أميّ ألى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم بقِطْف من عِنَبٍ فأكلت منه قبل أن أبلغه إيّاه فلمّا جئت به أخذ بأذني، وقال: يا غـدر

Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau, saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer daun telinga saya (dalam riwayat lain: dan beliau mengusap kepalaku) seraya bersabda, Wahai anak yang tidak amanah.’(HR. Ibnu Sunni dan An-Nawawi mengambil riwayat ini dalam Al-Adzkar)

Dari sini, dapat diketahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang anak. Beliau shallallahu alaihi wasallam tidak membiarkan seorang anak tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan. Dan sisi lain, beliau menghukum juga dengan tidak berlebihan.

Ketujuh, usia dipukul minimal sudah tamyiz

Tamyiz yaitu sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang berbahaya dan mana yang tidak. Maka, tidak boleh ketika anak di bawah 5 tahun melakukan kesalahan yang remeh, bahkan ia tidak tahu kalau hal tersebut salah, lalu dipukul. Bahkan, sebagian ulama melarang untuk memukul anak di bawah umur 10 tahun, sebagaimana hadis,

مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud no. 495 dan Ahmad no. 6650)

Kedelapan, pukulan harus berefek positif (menimbulkan efek jera)

Hal ini berdasarkan perkiraan yang kuat. Dilihat dari karakter yang dimiliki anak. Ada anak yang mungkin jika dipukul tambah melawan. Ada pula sebagian anak yang lembut (sensitif) perasaannya. Maka, yang paling paham karakter seorang anak adalah orang tuanya (jika tinggal serumah).

Apabila disangkakan pukulan tersebut tidak menimbulkan efek jera, maka tidak boleh memukul dan harus menggunakan cara lain. (Lihat Qawa’idul Ahkam, 1: 102)

Dalam Liqa Al-Bab Al-Maftuh, (95: 18) dijelaskan bahwa perintah memukul ini dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi pukulan tersebut tidak bermanfaat. Hanya sekedar menyebabkan jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat.

Kesembilan, tidak memukul ketika anak emosi dan menangis

Hendaknya dalam memukul anak tidak di saat si anak akalnya kurang sempurna, semisal ketika ia sedang menangis. (Lihat Al-Bahrur Raiq, 5: 53) Hal ini karena jika memukul anak ketika akalnya kurang sempurna, membuatnya tidak bisa memahami maksud dari pengajaran yang diinginkan, sehingga maslahat yang diharapkan tidak tercapai.

Kesepuluh, alat yang digunakan tidak boleh melukai

Alat pukul bisa berupa tongkat, cambuk, ujung baju yang dianyam menjadi keras atau yang lain, asalkan tidak sampai melukai daging, namun hanya mengenai bagian luar kulit. Alat yang melukai daging semisal benda tajam atau batu, berarti bertentangan aturan memukul dalam syariat Islam. Sebaliknya, alat pukul juga tidak boleh terlalu lunak, tapi pertengahan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عُلِّقُوا السَّوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ الْبَيْتِ، فَإِنَّهُ أَدَبٌ لَهُمْ

Gantungkanlah cambuk di tempat yang dilihat oleh penghuni rumah, sebab ia menjadi pengajaran bagi mereka.” (HR. Ath-Thabrani, dihasankan dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah no. 1447)

Maksud dari hadis di atas terkait perintah menggantungkan cambuk di rumah bukanlah untuk dipukulkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan untuk melakukan hal tersebut kepada siapa pun dan Nabi tidak pernah melakukannya kepada istri, anak, atau pembantu beliau.

Keberadaan cambuk yang digantung tersebut tujuannya agar mendorong anak-anak untuk taat kepada orang tua, melaksanakan perintah agama, bersikap sopan, serta berakhlak mulia. Bukanlah maksud hadis di atas agar orang tua atau suami sering memukul anggota keluarganya. Namun, supaya sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. (Lihat Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hal. 97)

Kesebelas, hentikan pukulan saat anak menyadari kesalahan

Pukulan adalah sarana untuk mencapai tujuan (anak sadar). Jika ketika dipukul sekali anak sudah sadar dan meminta ampun, maka tidak boleh melanjutkan pukulannya. Apalagi ketika si anak sudah menyebut nama Allah, maka harus dihentikan pukulannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا ضرب أحدكم خادمه فذكر الله فارفعوا أيديكم

Apabila seseorang di antara kalian memukul pelayannya, lalu pelayannya menyebut nama Allah, maka tahanlah tangan kalian (dari memukulnya). (HR. Tirmidzi, dalam Kitabul Birri wash Shilah, no. 1873)

Nasihat akhir, “Ajari anak, bukan hajari anak.”

Tingkah laku anak memang terkadang membuat jengkel orang tuanya. Dan perlu diketahui bahwa anak-anak biasanya masih dalam proses pertumbuhan, di mana belum banyak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Maka, perbanyaklah maklum dan berprasangka baik kepada anak karena ia memang belum mengetahui kalau itu salah atau keliru dan belum mengerti tentangnya. Orang tua harus lebih banyak memaafkan dan mengarahkan anak dalam fase pertumbuhannya, lebih banyak mengajari bukan menghajari anak!

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

ما ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا قَطُّ بيده، ولا امرأة ولا خادما، إلا أن يجاهد في سبيل الله، وما نيِل منه شيء قَطُّ فينتقم من صاحبه، إلا أن ينتهك شيء من محارم الله تعالى، فينتقم لله تعالى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memukul apa pun dengan tangannya. Ia juga tidak pernah memukul istri-istri dan pelayannya, kecuali apabila beliau berjihad di jalan Allah. Ketika beliau disakiti, beliau sama sekali tidak pernah membalas orang yang menyakitinya, kecuali bila ada larangan Allah yang dilanggar, maka beliau membalas karena Allah.” (HR. Muslim)

Dan bila terpaksa melakukan hukuman, maka selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Sumber: https://muslim.or.id/90420-aturan-memukul-dalam-islam.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Sudah 22 Ribu Warga Gaza Syahid, Jumlah Terbesar sejak Peristiwa Nakba

Biro Pusat Statistik Palestina mengkonfirmasi bahwa lebih dari 22 ribu orang tewas gugur syahid di Palestina sejak 7 Oktober 2023, 98% di antaranya berada di Jalur Gaza, yang merupakan jumlah korban jiwa terbesar yang pernah dialami Palestina sejak Nakba tahun 1948.

“Pada akhir tahun 2023, jumlah penduduk di Jalur Gaza telah mencapai 2,3 juta orang, termasuk 1,06 juta anak di bawah usia delapan belas tahun yang merupakan 47% dari populasi Jalur Gaza, ” demikian pernyataan yang dikeluarkan hari Ahad menjelang pergantian Tahun Baru 2024.

Dia menjelaskan bahwa lebih dari dua bulan setelah agresi terhadap Gaza, 40% korban adalah anak-anak dan sekitar 30% adalah perempuan.

22 Ribu Gugur

Secara rinci, Badan Statistik memastikan jumlah syuhada di Palestina sejak awal tahun 2023 mencapai 22.404 syuhada, termasuk 22.141 syuhada sejak 7 Oktober 2023.

98% di antaranya berada di Jalur Gaza, termasuk sekitar 9.000 anak-anak dan 6.450 perempuan, sedangkan jumlah syuhada di Tepi Barat sejak 7 Oktober mencapai 319 syuhada, termasuk 111 anak-anak dan 4 perempuan.

Badan Statistik menunjukkan bahwa lebih dari 100 jurnalis gugur, menurut catatan Kementerian Kesehatan Palestina.

Sementara jumlah orang hilang yang dilaporkan di Jalur Gaza mencapai lebih dari 7.000 orang, termasuk 67% di antaranya adalah anak-anak dan perempuan, mengungsi di dalam Jalur Gaza, jauh dari tempat tinggal mereka.

Menurut data Otoritas Urusan Tawanan dan Mantan Tawanan hingga akhir tahun 2023, jumlah tawanan Palestina di penjara penjajah ‘‘Israel’’ mencapai sekitar 7.800 tawanan pada akhir November 2023.

Di antara meraka termasuk 76 tawanan perempuan dan 260 anak-anak, serta 76 tawanan perempuan dan 260 anak-anak. Jumlah tawanan administratif (tawanan tanpa dakwaan) mencapai 2870.

Badan Statistik juga menunjukkan bahwa meskipun penjajah ‘‘Israel’’ membangun ratusan unit pemukiman, lebih dari 745.000 pemukim tinggal di 151 koloni yang didirikan di tanah Palestina di Tepi Barat pada akhir tahun 2022.

Badan Statistik menunjukkan bahwa penjajah ‘‘Israel’’ menghancurkan lebih dari 1.200 bangunan dan fasilitas, seluruhnya atau sebagian, di Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), menurut data dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).

Badan mencontohkan, sejak agresi ‘‘Israel’’ di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, penjajah ‘‘Israel’’ telah menghancurkan total sedikitnya 65.000 unit rumah, selain menghancurkan sebagian lebih dari 290.000 unit rumah.

Terlebih lagi, warga Jalur Gaza kekurangan kebutuhan dasar hidup, termasuk perumahan, makanan, dan air.

Badan Bantuan dan Pemberdayaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengindikasikan bahwa setidaknya 40% penduduk Jalur Gaza berisiko mengalami kelaparan.

Hal ini berarti bahwa penduduk Jalur Gaza menderita kelaparan yang sangat parah, dan hal ini menunjukkan bahwa bahwa Jalur Gaza kini dianggap sebagai salah satu wilayah paling kelaparan di dunia.

Krisis Air Parah

Dalam pernyataannya, badan statistik tersebut menekankan bahwa Jalur Gaza menderita krisis parah dalam akses terhadap air, karena dalam kondisi normal pada periode sebelum 7 Oktober, rata-rata konsumsi air per kapita di Jalur Gaza diperkirakan sekitar 82,7 liter/orang/ hari.

Ia menjelaskan bahwa dengan pecahnya agresi, perkiraan menunjukkan bahwa penduduk Jalur Gaza hampir tidak dapat mencapai antara 1-3 liter/orang/hari saja, karena persentase pasokan dari sumber air menurun sebesar 90%, sehingga persentase pasokan dari sumber air menurun sebesar 90%. konsumsi air menurun sebesar 92% dibandingkan sebelum agresi.

Dia mencatat bahwa ada satu pipa yang memasok wilayah selatan hanya dengan sekitar 1.100 meter kubik per jam, sementara wilayah utara di Jalur Gaza menderita kekurangan akses terhadap air bersih.

Lahan Pertanian Terkena Dampak  

Badan tersebut juga menunjukkan bahwa data menunjukkan bahwa 18% wilayah pertanian di Jalur Gaza rusak, dan kerusakan langsung dan terbesar terjadi di wilayah utara Gaza, karena kerusakan tersebut berdampak pada 39% wilayah pertanian di Kegubernuran Jalur Gaza Utara, dan 27% di Kegubernuran Gaza.

Data sensus pertanian tahun 2021 menunjukkan bahwa 32% lahan pertanian di Jalur Gaza berada di Kegubernuran Khan Yunis, dan 29% di Kegubernuran Gaza Utara.

Biro Pusat Statistik Palestina mengatakan dalam pernyataannya, perkiraan jumlah warga Palestina pada akhir tahun 2023 adalah sekitar 14,63 juta warga Palestina. 5,55 juta jiwa berada di Negara Palestina, lebih dari sepertiganya berdomisili di Jalur Gaza.

Sekitar 1,75 juta jiwa warga Palestina di wilayah 1948, sekitar 6,56 juta jiwa di negara-negara Arab, dan sekitar 772 ribu jiwa di luar negeri.

Dia menunjukkan bahwa jumlah warga Palestina diperkirakan akan mencapai sekitar 7,3 juta di wilayah Palestina “yang bersejarah” (jajahan 1948 dan 1967), sementara jumlah warga ‘‘Israel’’ akan mencapai 7,2 juta pada akhir tahun 2023.

Pada akhir tahun 2023, persentase individu (0-5) mencapai 16% dari total populasi di Palestina, 15% di Tepi Barat dan 18% di Jalur Gaza, sedangkan persentase individu di bawah 18 tahun mencapai 44%, dengan 41% di Tepi Barat dan 47% di Jalur Gaza.

Dijelaskannya, persentase individu berusia di bawah 30 tahun di Palestina mencapai 65% dari total penduduk di Palestina. 63% di Tepi Barat dan 68% di Jalur Gaza. Persentase individu berusia (65 tahun ke atas) adalah 4%.

Pernyataan tersebut diakhiri dengan menegaskan bahwa berdasarkan kejadian terkini di Jalur Gaza dan pembantaian yang dilakukan oleh penjajah ‘‘Israel’’ terhadap warga Palestina dan keluarga mereka di Jalur Gaza.

Penjajah juga melalikan usaha penghapusan sejumlah besar keluarga Palestina, tanpa memandang jenis kelamin dan usia mereka, diperkirakan tidak akan terjadi ketidakseimbangan besar dalam komposisi usia dan gender penduduk.*

HIDAYATULLAH

Keyakinan Islam tentang Nabi Isa Menurut Alquran

Allah mengangkat tubuh dan roh Nabi Isa sekaligus ke sisi-Nya.

Dalam Islam, Nabi Isa dianggap sebagai salah satu nabi dan rasul yang penting. Keyakinan umat Islam tentang Nabi Isa telah tertuang dalam Alquran, kitab suci umat Islam. Di antaranya, terdapat dalam Surat An-Nisa’ ayat 157 dan ayat 158.

Berikut keyakinan Islam tentang Nabi Isa menurut Alquran.

1. Nabi Isa tidak Disalib

Allah SWT berfirman:

وَّقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللّٰهِۚ وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۗوَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ ۗمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًاۢ

Artinya: “(Kami menghukum pula mereka) karena ucapan mereka, “Sesungguhnya kami telah membunuh Almasih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang menurut mereka menyerupai (Isa). Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentangnya (pembunuhan Isa), selalu dalam keragu-raguan terhadapnya. Mereka benar-benar tidak mengetahui (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), kecuali mengikuti persangkaan belaka. (Jadi,) mereka tidak yakin telah membunuhnya.” (QS  Surat An-Nisa’ [4]: 157).

Dalam Tafsir Tahlili Kemenag dijelaskan bahwa ayat tersebut menerangkan bahwa di antara sebab-sebab orang Yahudi mendapat kutukan dan kemurkaan Allah ialah karena ucapan mereka, bahwa mereka telah membunuh Almasih putra Maryam, Rasul Allah. Padahal mereka sebenarnya tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang disalib dan yang dibunuh itu ialah orang yang diserupakan dengan Isa Almasih bernama Yudas Iskariot, salah seorang dari 12 orang muridnya.

Sedangkan dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah dijelaskan bahwa orang-orang yang berencana membunuh Isa itu kemudian menyalib seorang laki-laki yang menyerupainya dan menyangka dia adalah Isa Al-masih, sehingga orang-orang Yahudi menyangka telah membunuhnya, padahal mereka telah terkecoh dan tertipu oleh tipu daya dan bualan para pembesar mereka.

Terjadi perselisihan sengit antara orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenai perkara Isa dan kehidupannya. Mereka saling berselisih tentang hakikat dan risalahnya sebagaimana perselisihan mereka mengenai kematiannya.

Hal ini mengakibatkan mereka terpecah menjadi banyak golongan yang semuanya tersesat dan kebingungan dalam memahami hakikat isa sehingga mereka saling mengkafirkan dan saling menuduh. Mereka membangun akidah mereka di atas prasangka-prasangka dan dugaan-dugaan dan menyulamnya dengan dongeng-dongeng dan khurafat.

Namun kenyataannya tidak seperti yang mereka sangka, mereka sama sekali tidak membunuhnya, bahkan mereka sendiri tidak yakin telah membunuhnya. Namun, dengan kuasa Allah Yang Maha Besar, Dia mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup dengan ruh dan jasadnya. Allah Maha Perkasa dalam kuasa-Nya dan Maha Bijaksana dalam pengaturan-Nya.

2. Nabi Isa akan Diturunkan di Akhir Zaman

Alquran surat An-Nisa’ ayat 158, Allah SWT berfirman:

بَلْ رَّفَعَهُ اللّٰهُ اِلَيْهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

Akan tetapi, Allah telah mengangkatnya (Isa) ke hadirat-Nya.185) Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

https://go.rcvlink.com/static/iframe.htm

Berdasarkan Tafsir Tahlili Kementerian Agama, ayat ini menerangkan bahwa Isa itu diangkat atas perintah Allah dengan badan dan rohnya dan akan diturunkan kembali di akhir zaman sebagai pembela umat Islam dan penerus syariat Nabi Muhammad SAW pada saat umat Islam berada dalam keadaan lemah setelah datangnya Dajjal.

Kejadian ini menunjukkan kekuasaan Allah untuk menyelamatkan Nabi-Nya, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tercantum dalam firman Allah:

اِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسٰٓى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ اِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا

(Ingatlah), ketika Allah berfirman, ”Wahai Isa! Aku mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir…” (Ali Imran/3:55).

Tentang diangkatnya Nabi Isa ke atas langit ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ahli tafsir, diangkat dengan jasmani dan rohaninya, dalam keadaan hidup sebagai suatu mukjizat. Maka Isa As yang diangkat ke langit dengan jasmani dan rohani, sejak diangkat sampai turun kembali ke bumi, sepenuhnya di tangan Allah.

Jika manusia biasa saja, seperti Ashabul Kahfi, bisa tinggal dalam sebuah gua tanpa makan dan minum selama 309 tahun, kiranya tidak perlu dianggap aneh bagi seorang nabi seperti Nabi Isa, untuk tinggal di langit sekian lamanya, karena beliau diberi mukjizat oleh Allah. Pendapat lain mengatakan Nabi Isa diangkat ke langit sesudah wafat lebih dahulu.

Dalam Tafsir Al-Wajiz, pakar fikih dan tafsir negeri Suriah, Syekh Prof Wahbah az-Zuhaili menjelaskan Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya ke langit sebagaimana Yang Allah lakukan kepada Idris. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dalam kerajaan-Nya lagi Maha Bijaksana dalam segala perbuatan-Nya.

Sementara itu, dalam Tafsir Al-Mukhtashar/Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Imam Masjidil Haram, Syekh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid dijelaskan, sebenarnya Allah yang telah menyelamatkan Isa dari makar mereka. Allah mengangkat tubuh dan rohnya sekaligus ke sisi-Nya.

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dalam kerajaan-Nya, tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan-Nya, lagi Maha Bijaksana dalam mengatur makhluk-Nya, memutuskan keputusan-Nya, dan menetapkan syariat-Nya.

IQRA